Analisis spasial kabupaten agam dalam kaitannya dengan kesenjangan pembangunan antar wilayah

(1)

ANALISIS SPASIAL KABUPATEN AGAM

DALAM KAITANNYA DENGAN KESENJANGAN

PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH

ANSORIUDIN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Spasial Kabupaten Agam dalam Kaitannya dengan Kesenjangan Pembangunan antar Wilayah adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir tesis ini.

Bogor, 28 Januari 2008

ANSORIUDIN


(3)

ABSTRACT

ANSORIUDIN. The Linkage between Spatial Analysis and Inter-regional

Development Disparities in Agam Regency. Under directed of SETIA HADI and MANUWOTO.

Regional development is started by analyzing regional characteristics, primary potential of the regions and existing problems in the regions which used as basic considerations in determining development strategy of the region.

The objectives of the research are: 1) to build regional tipology, 2) to identify regional hierarchy, 3) to identify spatial interaction between regions, 4) to assess the level of disparities, identify the determinant factors for disparities and the relation among these factors, and 5) to set up development strategy of the regions.

The result showed that: 1) physically there is difference between West Agam, Middle Agam and East Agam, 2) there is a clear structure of regional hierarchy with Lubuk Basung and Tilatang Kamang as the center, 3) the spatial interaction models of people/goods generally have strengthened relation among the regions, 4) the level of disparities relatively low between West Agam, Middle Agam and East Agam which are caused, mainly causing by infrastructure and agriculture as primary economic sector, and 5) the right action for strategy of regional development should be based on regional biophysics approach, maintenance and optimalize the service facilities and keep the balance of the economics growth.


(4)

RINGKASAN

ANSORIUDIN.

Analisis Spasial Kabupaten Agam dalam Kaitannya dengan Kesenjangan Pembangunan antar Wilayah. Dibimbing oleh: SETIA HADI dan MANUWOTO.

Kabupaten Agam sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Barat secara geografis terletak antara 000 01’ 34” s/d 000 28’ 43” Lintang Selatan dan

990 46’ 39” s/d 1000 32’ 50” Bujur Timur dengan luas wilayah 2 212.19 km2 yang

berarti hanya 5.26 persen dari luas Provinsi Sumatera Barat yang mencapai

43 229.04 km2. Terbagi atas empat wilayah berdasarkan topografinya yaitu:

1) wilayah datar dengan kemiringan 00 - 30 dengan luas 662 Km2; 2) wilayah datar

berombak dengan kemiringan 30 - 80 dengan luas 153 Km2; 3) wilayah berombak

dan bergelombang dengan kemiringan 80 - 150 dengan luas 801 Km2; dan

4) wilayah bukit bergunung dengan kemiringan 150 lebih dengan luas 616 Km2.

Terbagi tiga wilayah atas penggunaan lahan existing, meliputi:1) Agam Barat, wilayah perkebunan; 2) Agam Tengah, wilayah kehutanan; dan 3) Agam Timur, wilayah pertanian. Sedangkan berdasarkan aksesibilitas dan orientasi pergerakan dibagi dua wilayah: 1) barat didominasi pergerakan antar kabupaten dan lokal, dan 2) timur didominasi pergerakan antar propinsi dengan orientasi Padang-Bukittinngi-Riau.

Adanya pewilayahan tersebut berarti Kabupaten Agam telah

mengembangkan wilayahnya dengan menggunakan sistem informasi geografis (SIG). Dengan menggunakan SIG, semua informasi telah menggambarkan lokasi, posisi, kordinat, peta, keruangan dan pemodelan spasial serta permasalahannya. Namun demikian, pembangunan wilayah di Kabupaten Agam masih memiliki banyak kendala dan masalah, masalah pembangunan yang faktual diantaranya: 1) masih lemahnya pemahaman dan ketrampilan aparatur untuk menerapkan

nilai-nilai atau prinsip-prinsip tata kelola yang baik (good governance) dalam

pelaksanaan tugas pemerintahan dan pembangunan; 2)masih tingginya angka kemiskinan; 3) masih rendahnya produktivitas sektor pertanian, peternakan, dan perikanan; 4) masih rendahnya daya saing produk pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan; 5) belum optimalnya perluasan akses dan

pemerataan pendidikan terutama pada daerah terpencil dan terisolir; 6) pendapatan daerah didominasi oleh dana perimbangan sebesar 88.86 persen

sedangkan pendapatan asli daerah (PAD) hanya 4.67 persen; serta 7) belum terwujudnya pemerataan pembangunan atau masih terjadi kesenjangan antar wilayah kecamatan, yang ditandai dengan masih adanya daerah terisolir (Bappeda. 2005).

Apabila permasalahan tersebut dibiarkan begitu saja akan menimbulkan dampak terhadap kebijakan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah setempat serta bagi proses pembangunan itu sendiri terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat maupun sumberdaya alam yang ada. Disamping itu, akan

memberikan dampak terhadap ketersediaan lapangan pekerjaan, masalah sosial,

dan pendapatan wilayah bahkan berpotensi konflik.

Penelitian ini bertujuan: 1) membuat tipologi wilayah Kabupaten Agam berdasarkan data-data spasial dan data sosial ekonomi wilayah dengan unit analisis nagari, 2) mengidentifikasi hirarki wilayah berkaitan dengan pola sebaran


(5)

fasilitas publik yang ada, 3) mengidentifikasi keterkaitan antar wilayah dengan menggunakan data aliran barang/orang, 4) menghitung besarnya tingkat kesenjangan, mengidentifikasi faktor penentu penyebab kesenjangan dan mengetahui hubungan antar faktor-faktor tersebut, dan 5) menyusun strategi pembangunan wilayah.

Penelitian ini menggunakan data sekunder. Data sekunder yang digunakan terdiri dari data kuantitatif dan kualitatif yang berasal dari data Podes, Kabupaten Agam dalam angka (ADA), aliran barang/orang (Tatrawil), Database Kabupaten Agam, serta kecamatan dalam angka (KCDA). Selain itu juga digunakan peta-peta seperti Peta Administrasi Kabupaten, Peta Tanah, Peta Kemampuan Lahan, Peta Penggunaan Lahan, Peta Topografi, Peta Jaringan Jalan, Peta Status Kawasan Hutan, Peta Kelerengan, dan Peta RTRW.

Berdasarkan hasil analisis penelitian dapat dijelaskan bahwa: 1) secara

fisik ada perbedaan antara wilayah barat, tengah dan timur. Potensi wilayah di Kabupaten Agam memiliki keberagaman yang sangat tinggi. Keberagaman ini

mengindikasikan bahwa wilayah ini kaya akan potensi yang perlu dikembangkan. Namun demikian, secara umum wilayah ini memiliki karakteristik tipologi I dengan sektor pertanian sebagai ekonomi utama; 2) wilayah Kabupaten Agam memiliki hirarki dan struktur hirarkinya cukup jelas dengan pusat hirarki di Kecamatan Lubuk Basung (Agam Barat) dan Tilatang Kamang (Agam Timur); 3) pola pergerakan barang/orang secara umum memiliki hubungan yang saling memperkuat antar wilayah. Dimana pola pergerakannya dimulai dari Kecamatan Lubuk Basung dan Tilatang Kamang kemudian menyebar ke wilayah sekitarnya; 4)tingkat kesenjangan antara wilayah timur, tengah dan barat relatif rendah karena infrastruktur merata dan sektor ekonomi utama adalah pertanian; 5) strategi pengembangan wilayah yang tepat adalah bahwa setiap kegiatan pembangunan yang dilakukan harus didasari pendekatan fisik wilayah, tidak meninggalkan keberadaan masyarakat setempat, memelihara dan mengoptimalkan fasilitas pelayanan dan tetap menjaga pertumbuhan ekonomi yang berimbang. Strategi ini berbeda untuk tiap-tiap tipologi.


(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2008

Hak cipta dilindungi undang-undang

1.Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tesis tanpa mencantumkan nama atau menyebutkan sumber

a.Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan masalah

b.Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor 2.Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh

karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor


(7)

ANALISIS SPASIAL KABUPATEN AGAM

DALAM KAITANNYA DENGAN KESENJANGAN

PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH

ANSORIUDIN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

Pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(8)

(9)

Judul Tesis : Analisis Spasial Kabupaten Agam dalam Kaitannya dengan Kesenjangan Pembangunan antar Wilayah

Nama : Ansoriudin

NRP : A 353060294

Program Studi : Perencanaan Wilayah

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Setia Hadi, M.Si Ketua

Dr. Ir. Manuwoto, M.Sc Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Perencanaan Wilayah

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(10)

PRAKATA

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Rabb yang Maha Tahu dan Berkehendak atas segala apa yang ada muka bumi ini serta tak pernah berhenti melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni sampai Agustus 2007 ini adalah kajian tentang analisis spasial kaitannya dengan kesenjangan pembangunan. Untuk itu, tesis ini diberi judul Analisis Spasial Kabupaten Agam dalam Kaitannya dengan Kesenjangan Pembangunan antar Wilayah.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Dr. Ir. H. Setia Hadi, MS dan Dr.Ir. Manuwoto, M.Sc sebagai

pembimbing;

2. Bapak Dr.Ir.Ernan Rustiadi, M.Agr sebagai dosen penguji;

3. Staf pengajar dan pengelola Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah;

4. Pusbindiklatren Bappenas atas kesempatan beasiswa yang diberikan;

5. Pemerintah Kota Padang yang telah memberikan tugas belajar;

6. Ibu Dra. Sastri Yunizarti Bakry. Akt, Msi selaku Kepala Badan Pengawasan

Daerah Kota Padang yang telah memberikan dukungan penulis untuk melanjutkan tugas belajar;

7. Pemerintah Daerah Kabupaten Agam yang telah memberikan izin untuk

melakukan penelitian;

8. Novarianty, S.Hut, M.Si atas dukungannya berkenaan dengan penelitian;

9. Teman-teman mahasiswa PS-PWL Angkatan 2006;

10.Semua pihak yang berperan baik pada proses pengajaran dan penulisan karya

ilmiah ini.

Terima kasih tak terhingga kepada orang tua, isteri, dan anak-anak tercinta atas do’a dan kesabarannya dengan penuh harap menunggu di Padang menanti penulis selesai. Semoga Allah SWT memberikan rahmat dan karunia atas segala pengorbanan yang ada.

Demikian prakata ini ditulis, dan akhirnya tak lupa penulis menyampaikan mohon maaf atas kesalahan dan khilaf baik dalam penulisan maupun substansinya. Semoga ada manfaatnya untuk kita semua.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Bogor, 28 Januari 2008


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cirebon, Kabupaten Cirebon pada tanggal 14 Juli 1969 dari Ayah yang bernama Maksud dan Ibu bernama Jumanah. Penulis merupakan putra kedua dari enam bersaudara.

Tahun 1988 penulis lulus SMA Negeri Palimanan Kabupaten Cirebon Provinsi Jawa Barat dan pada tahun yang sama melanjutkan ke Fakultas Pertanian Universitas Andalas Padang dan lulus tahun 1993. Tahun 2006, penulis diterima di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah pada Sekolah Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Pusbindiklatren Bappenas dan Pemerintah Kota Padang.

Selesai S-1, penulis bekerja sebagai Sarjana Pendamping Purna Waktu (SP2W) atas kerjasama Bappenas, Yayasan Pembina Bangsa, dan Korps Alumni Penerima Beasiswa Supersemar (KMA-PBS) hingga tahun 1996. Tahun 1997, penulis menjadi PNS di lingkungan Pemerintah Kota Padang. Karir sebagai PNS dimulai dengan menjadi staf di Kantor Pembangunan Masyarakat Desa (PMD) hingga tahun 2001, staf di Kantor Pemberdayaan Masyarakat hingga tahun 2002. Kemudian menjadi staf di Kantor Inpektorat Wilayah Kota Padang hingga tahun 2004, dan tahun 2005 hingga saat menempuh pendidikan ini tercatat sebagai Auditor pada Badan Pengawasan Daerah Kota Padang Propinsi Sumatera Barat.


(12)

”Bila seseorang berupaya menyurutkan langkahmu untuk maju

dan sukses meraih cita-cita cobalah bersikap sabar”

”Kemajuan tidak hanya dibayar dengan harta

tetapi juga dengan kesejukan dan kelapangan hati”

Yang mulia:

Maksud – Jumanah

Arnis - Rosmainar

Do’a dan kasih sayangmu akan selalu menjadi obat kemajuan dan keberhasilan

Yang tercinta:

Henny Fitria, S.Pd (Ani)

Sebuah persembahan untuk ananda tersayang: Pramahesa Anshari (Hesa)

Rifqah Kinasih Anshari (Asih)

Semoga semangat kita terus terpacu untuk meraih ilmu yang bermanfaat untuk kehidupan dunia akhirat


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR LAMPIRAN... xv

PENDAHULUAN Latar Belakang... 1

Identifikasi dan Perumusan Masalah... 5

Tujuan Penelitian... 10

Manfaat Penelitian... 11

Batasan Penelitian... 11

TINJAUAN PUSTAKA Pembangunan Wilayah... 12

Kesenjangan antar Wilayah... 15

Keberimbangan Wilayah... 28

Analisa Spasial... 31

Indikator-indikator Pembangunan... 35

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran... 37

Lokasi dan Waktu Penelitian... 38

Bahan dan Alat... 39

Pengumpulan Data... 39

Analisa Data... 39

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian... 56

Analisis Hirarki Wilayah... 69

Analisis Tipologi Wilayah... 80

Analisis Interaksi Spasial... 91

Analisis Kesenjangan... 97

Analisis Keberagaman Aktivitas... 102

Analisis Deskriptif... 106

Strategi Pengembangan Wilayah... 118

KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA... 128


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Pembagian Wilayah Kabupaten Agam Berdasarkan Penggunaan

Lahan ... 2

2 Indeks Williamson Beberapa Indikator Ekonomi Kabupaten Agam 2001-2005... 8

3 Nilai Selang Hirarki Berdasarkan Jumlah Jenis Fasilitas Pelayanan... 46

4 Nilai Selang Hirarki Berdasarkan Jumlah Fasilitas Pelayanan... 46

5 Nilai Selang Hirarki Berdasarkan Indeks Perkembangan Nagari (IPN)... 47

6 Variabel dan Parameter yang Digunakan dalam Analisis Tingkat Kesenjangan... 50

7 Variabel dan Parameter yang Digunakan dalam Analisis Faktor- Faktor Penyebab Kesenjangan ... 51

8 Tingkat Perkembangan Wilayah Berdasarkan Analisis Keberagaman Aktivitas………... 52

9 Variabel dan Parameter yang Digunakan dalam Analisis Keberagaman Aktivitas………... 52

10 Jumlah dan Distribusi Penduduk Kabupaten Agam per Kecamatan Tahun 2006... 63

11 Prosentase Mata Pencaharian Penduduk Kabupaten Agam per Kecamatan ... 64

12 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) Menurut Lapangan Usaha dari Tahun 2001-2005 Jutaan Rupiah)... 67

13 Laju Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) Menurut Lapangan Usaha Tahun 2001 dan 2005 (Persen)... 69

14 Hirarki Nagari dalam Kabupaten Agam Berdasarkan Jumlah Jenis Fasilitas Pelayanan... 71

15 Hirarki Nagari dalam Kabupaten Agam Berdasarkan Jumlah Fasilitas Pelayanan... 73

16 Hirarki Nagari dalam Kabupaten Agam Berdasarkan Indeks Perkembangan Nagari (IPN)... 74

17 Eigenvalue Komponen-Komponen Utama... 81

18 Hasil Analisis Gerombol per Nagari... 83

19 Karakteristik Kluster Wilayah di Kabupaten Agam... 84


(15)

21 Matriks Tipologi Nagari Hasil Analisis Fungsi Diskriminan (DFA)... 87

22 Hasil Analisis Diskriminan Masing-Masing Nagari... 88

23 Fungsi Klasifikasi/Pengelompokkan Analisis Fungsi Diskriminan... 89

24 Nilai Rataan Hasil Analisis Diskriminan... 89 25 Hasil Pendugaan Parameter Interaksi Spasial Pergerakan Orang dan

Barang... 94

26 Pergerakan Orang dan Barang di Kabupaten Agam dan sekitarnya... 94

27 Nilai Indeks Kesenjangan Williamson dan Tingkatannya

Berdasarkan Kawasan... 98 28 Nilai Indeks Kesenjangan Williamson dan Tingkatannya

Berdasarkan Wilayah Administrasi Kecamatan………... 100 29 Hasil uji Regresi Berganda………... 102

30 Hasil Analisis Keberagaman Aktifitas Berdasarkan Kecamatan... 104

31 Hasil Analisis Keberagaman Aktivitas Berdasarkan Kawasan………. 105 32 Hasil Identifikasi Potensi, Kendala, Permasalahan dan Strategi

Pembangunan Wilayah di Agam Bagian Barat………... 121 33 Hasil Identifikasi Potensi, Kendala, Permasalahan dan Strategi

Pembangunan Wilayah di Agam Bagian Tengah………... 122

34 Hasil Identifikasi Potensi, Kendala, Permasalahan dan Strategi 123

Pembangunan Wilayah di Agam Bagian Timur………...


(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Peta Arahan Pemanfaatan Ruang Berdasarkan RTRW

Tahun 2004-2014... 3

2 Diagram Alir Kerangka Pemikiran... 38

3 Bagan Alir Pendekatan Penelitian... 55

4 Peta Administrasi Kabupaten Agam... 56

5 Peta Iklim Kabupaten Agam Berdasarkan Zona Oldeman... 58

6 Peta Ketinggian Wilayah Kabupaten Agam (mdpl)... 59

7 Peta Kemiringan Lahan Kabupaten Agam... 60

8 Peta Pembagian Wilayah Kabupaten Agam Berdasarkan DAS... 62

9 Peta Sebaran Objek Wisata Kabupaten Agam ... 66

10 Hirarki Fasilitas Pelayanan di Kabupaten Agam Berdasarkan Jumlah Jenis Fasilitas... 77

11 Hirarki Fasilitas Pelayanan di Kabupaten Agam Berdasarkan Jumlah Fasilitas... 78

12 Hirarki Fasilitas Pelayanan di Kabupaten Agam Berdasarkan Indeks Perkembangan Nagari... 79

13 Grafik Nilai Tengah Kelompok Variabel-Variabel Hasil Analisis Gerombol pada Masing-Masing Nagari di Kabupaten Agam... 85

14 Peta Kluster Wilayah Kabupaten Agam... 86

15 Peta Tipologi Wilayah Kabupaten Agam... 90

16 Jumlah Bangkitan dan Tarikan Menggunakan Angkutan Umum…… 95

17 Jumlah Bangkitan dan Tarikan Perjalanan Menggunakan Kendaraan Pribadi... 95

18 Peta Keberagaman Aktivitas di Kabupaten Agam... 105


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Matriks Data, Sumber Data, Teknik Analisis, dan Out Put yang

Di harapkan Menurut Tujuan Penelitian... 132

2 Variabel-variabel yang Digunakan dalam Analisis PCA... 133

3 Variabel-variabel yang Digunakan dalam Analisis Skalogram... 134

4 Pembagian Wilayah Administrasi di Kabupaten Agam... 135

5 Matriks Asal Tujuan Pergerakan Orang (Perjalanan/hari)... 136

6 Matriks Asal Tujuan Pergerakan Barang (ton/hari)...……… 137

7 Matriks Jarak Asal dan Tujuan... 138

8 Matriks Interaksi Aliran Orang/Barang dengan Kendala Jarak... 139

9 Faktor Loading Hasil Faktor Analisis... 147


(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Otonomi daerah sudah dilaksanakan sejak tahun 2001. Keadaan ini telah memberi kesadaran baru bagi kalangan pemerintah maupun masyarakat, bahwa pelaksanaan otonomi tidak bisa dibiarkan begitu saja mengalir tanpa upaya untuk mengarahkan dan mengisinya dengan berbagai tindakan nyata. Salah satu yang harus dilakukan dan sudah menjadi kebutuhan adalah upaya untuk mempersiapkan diri, khususnya masyarakat dan aparat pemerintah daerah (Pemda) untuk meningkatkan kualitas, baik kualitas sumberdaya manusia maupun kualitas sumberdaya lain, yang akan berdampak bagi terciptanya kuantitas program pembangunan di daerah.

Berkenaan dengan peningkatan kuantitas program pembangunan ini, banyak hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah dan masyarakat daerah khususnya. Diantaranya adalah Pemda harus mampu menciptakan suatu sistem yang kondusif bagi terlaksananya proses pembangunan daerah sejak awal (perencanaan) hingga proses evaluasinya, sehingga apa yang diharapkan dari setiap program pembangunan di daerah dapat terwujud. Dengan kata lain tujuan dan dampak yang ditimbulkan dari program pembangunan benar-benar dapat bermanfaat bagi masyarakat.

Untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan yang diinginkan, upaya-upaya

pembangunan harus diarahkan kepada efisiensi (efficiency), pemerataan (equity)

dan keberlanjutan (sustainability) dalam memberikan panduan kepada alokasi

sumber-sumber daya (semua capital yang berkaitan dengan natural, human,

man-made maupun sosial) baik pada tingkatan nasional maupun regional dan lokal.

Namun untuk mencapai hal tersebut sering memerlukan sumber daya dari luar, seperti barang-barang modal untuk diinvestasikan guna mengembangkan infrastruktur ekonomi sosial dan lingkungan (Anwar, 2005).

Kabupaten Agam sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Barat secara geografis terletak antara 000 01’ 34” s/d 000 28’ 43” Lintang Selatan dan

990 46’ 39” s/d 1000 32’ 50” Bujur Timur dengan luas wilayah 2 212.19 Km2 yang

berarti hanya 5.26 persen dari luas Provinsi Sumatera Barat yang mencapai


(19)

2

1) wilayah datar dengan kemiringan 00 - 30 dengan luas 662 Km2; 2) wilayah datar

berombak dengan kemiringan 30 - 80 dengan luas 153 Km2; 3) wilayah berombak

dan bergelombang dengan kemiringan 80 - 150 dengan luas 801 Km2; dan

4) wilayah bukit bergunung dengan kemiringan 150 lebih dengan luas 616 Km2

(BPS, 2005).

Berdasarkan penggunaan lahan existing, pembagian wilayah Kabupaten Agam terbagi menjadi 3 (tiga) bagian: 1) bagian barat; 2) bagian tengah; dan 3) bagian timur. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Pembagian Wilayah Kabupaten Agam Berdasarkan Penggunaan Lahan

No. Wilayah Kecamatan Kegiatan yang dominan

I. Agam bagian barat 1. Tanjung Mutiara Kebun kelapa, kelapa sawit,

2. Lubuk Basung hutan rawa air tawar, hutan

3. Ampek Nagari rawa gambut, sebagian pertanian

dan hutan alami

II. Agam bagian tengah 4. Tanjung Raya Hutan alam dan kebun campuran

5. Palembayan

6. Matur

7. Palupuh

8. Ampek Koto

III. Agam bagian timur 9. Tilatang Kamang Pertanian (sawah), permukiman,

10.Kamang Magek kebun campuran dan hutan alam

11.Baso

12. Ampek Angkek Canduang

13.Canduang

14.Banuhampu

15.Sungai Pua

Sumber: RTRW Kabupaten Agam 2004-2014

Dengan pola seperti itu, maka kawasan permukiman umumnya terdapat dibagian timur kabupaten, tepatnya di kecamatan-kecamatan sekitar Kota Bukittinggi yang merupakan konsentrasi permukiman, dan sebagian di sekitar Kecamatan Lubuk Basung yang terletak di bagian barat kabupaten yang saat ini menjadi ibukota kabupaten. Kawasan permukiman tersebut ada yang berbentuk linier mengikuti jalan dan ada pula yang berbentuk konsentris memusat (Bappeda, 2005).


(20)

Gambar 1 Peta Arahan Pemanfaatan Ruang Berdasarkan RTRW Tahun 2004-2014.

Berkenaan dengan arahan pemanfaatan ruang seperti yang terlihat pada Gambar 1 bahwa Kabupaten Agam terbagi dalam 3 bagian yaitu:

a. Wilayah pesisir dengan arahan pemanfaat ruang untuk pengembangan

perkebunan kelapa sawit, kelapa, permukiman, kebun campuran, tanaman pangan lahan basah, tanaman pangan lahan kering, hutan lindung, hutan produksi terbatas, dan perikanan laut meliputi Kecamatan Lubuk Basung,Tanjung Mutiara, dan Ampek Nagari ;

b. Wilayah Tengah Agam dengan arahan kelapa sawit, kelapa, hutan lindung,

hutan suaka alam, hutan produksi terbatas, agroforestry, kebun campuran, dan tanaman pangan lahan basah, dan perikanan darat yang mencakup Kecamatan Palembayan, Tanjung Raya, Matur, Ampek Koto dan Palupuh;

c. Wilayah Timur Agam dengan arahan pemanfaatan ruang untuk tanaman

pangan lahan basah, tanaman pangan lahan kering, permukiman, hutan suaka alam dan wisata, hutan produksi terbatas, agroforestry, dan hutan lindung yang mencakup wilayah Kecamatan Tilatang Kamang, Kamang Magek, Banuhampu, Sungai Puar, Ampek Angkek Canduang, Canduang, dan Baso.


(21)

4 Adanya arahan pemanfaatan ruang dengan pewilayahan pembangunan tersebut dimaksudkan untuk memfokuskan proses pembangunan di masing-masing wilayah. Adanya pewilayahan tersebut berarti Kabupaten Agam telah mengembangkan wilayahnya dengan menggunakan sistem informasi geografis (SIG). Dengan menggunakan SIG, semua informasi telah menggambarkan lokasi, posisi, kordinat, peta, keruangan dan pemodelan spasial serta permasalahannya. Karena SIG merupakan alat yang handal untuk menangani data-data spasial. Dalam SIG, data dipelihara dalam bentuk digital. Data ini lebih padat dibanding dalam bentuk peta cetak, tabel dan bentuk konvensional lainnya (Barus & Wiradisastra, 2000). Permasalahan yang menyangkut spasial tersebut dapat dianalisis dengan baik secara tekstual, spasial maupun kombinasinya dan yang paling penting adalah dapat disajikan dalam bentuk yang sesuai dengan kebutuhannya (Prahastra, 2004).

Namun demikian, pembangunan wilayah di Kabupaten Agam masih memiliki banyak kendala dan masalah, kendala tersebut meliputi: 1) keadaan fisiografis, dimana topografi daerah ini dominan bergelombang dan berombak (hampir 53 persen dari luas wilayah kabupaten); 2) merupakan daerah rawan bencana, berupa longsor terutama pada daerah yang memiliki lereng 25 persen ke atas dengan tekstur tanah kasar peka terhadap erosi, banjir dan genangan pada daerah dataran rendah (diantaranya pinggiran pantai), serta rawan gempa; 3) kondisi sarana jalan baru mencapai 50 persen yang sudah layak (diaspal); dan 4) Ada beberapa daerah yang masih sulit dijangkau oleh PDAM dan PLN padahal di daerah ini merupakan penyuplai energi listrik terbesar kedua setelah Kabupaten Solok, dimana jangkauan penggunannya meliputi wilayah Provinsi Sumatera Barat, Riau dan Jambi.

Sedangkan masalah pembangunan yang faktual diantaranya: 1) masih lemahnya pemahaman dan keterampilan aparatur untuk menerapkan nilai-nilai

atau prinsip-prinsip tata kelola yang baik (good governance) dalam pelaksanaan

tugas pemerintahan dan pembangunan; 2) masih tingginya angka kemiskinan; 3) masih rendahnya produktivitas sektor pertanian, peternakan, dan perikanan; 4) masih rendahnya daya saing produk pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan; 5) belum optimalnya perluasan akses dan pemerataan


(22)

pendidikan terutama pada daerah terpencil dan terisolir; 6) pendapatan daerah didominasi oleh dana perimbangan sebesar 88,86 persen sedangkan pendapatan asli daerah (PAD) hanya 4,67 persen ; serta 7) belum terwujudnya pemerataan pembangunan atau masih terjadi kesenjangan antar wilayah kecamatan, yang ditandai dengan masih adanya daerah terisolir (Bappeda, 2005).

Berdasarkan kendala dan permasalahan tersebut maka dalam perencanaan pengembangan wilayah di Kabupaten Agam: 1) harus melakukan evaluasi terhadap sumberdaya alam agar dalam pemanfaatannya dapat memberikan manfaat yang optimal dan berkelanjutan; dan 2) harus memperhatikan sumberdaya lainya seperti sumberdaya manusia, kelembagaan, sosial-kapital, dan buatan.

Identifikasi dan Perumusan Masalah

Pembangunan wilayah, secara spasial tidak selalu merata. Kesenjangan antar daerah seringkali menjadi permasalahan serius. Beberapa daerah mengalami pertumbuhan cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat. Daerah-daerah tersebut tidak mengalami kemajuan yang sama disebabkan oleh karena kurangnya sumber-sumber daya yang dimiliki, adanya kecenderungan penanam modal (investor) memilih daerah yang telah memiliki fasilitas seperti prasarana perhubungan, jaringan listrik, jaringan telekomunikasi, perbankan, asuransi, juga tenaga kerja terampil; disamping itu ada ketimpangan redistribusi pembagian pendapatan dari pemerintah pusat ke daerah.

Ada 6 (enam) hal yang menjadi faktor penyebab terjadinya disparitas (kesenjangan) antar daerah yaitu: 1) perbedaan karakteristik limpahan sumber daya alam; 2) perbedaan demografi; 3) perbedaan kemampuan sumber daya manusia; 4) perbedaan potensi lokasi; 5) perbedaan aspek aksesibilitas dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan; dan 6) perbedaan aspek potensi pasar. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, maka dalam suatu wilayah akan terdapat beberapa macam tipologi wilayah ditinjau dari aspek kemajuannya, yaitu: 1) wilayah maju; 2) wilayah sedang berkembang; 3) wilayah belum berkembang; dan 4) wilayah tidak berkembang (Anwar, 2005).

Wilayah maju adalah wilayah yang telah berkembang yang biasanya dicirikan dengan: 1) sebagai pusat pertumbuhan; 2) terdapat pemusatan penduduk,


(23)

6 industri, pemerintahan, dan pasar potensial; 3) tingkat pendapatan yang tinggi, tingkat pendidikan dan kualitas sumber daya manusia yang tinggi, serta struktur ekonomi yang relatif didominasi oleh sektor industri dan jasa. Wilayah yang sedang berkembang biasanya dicirikan dengan: 1) pertumbuhan yang cepat; 2) biasanya merupakan daerah penyangga dari wilayah maju; dan 3) mempunyai aksesibilitas yang sangat baik terhadap wilayah maju. Wilayah yang yang belum berkembang mempunyai ciri berikut: 1) tingkat pertumbuhan yang masih rendah, baik secara absolut maupun relatif; 2) memiliki potensi sumber daya alam yang belum dikelola atau dimanfaatkan; 3) kepadatan penduduk yang masih rendah dan tingkat pendidikan yang relatif rendah. Wilayah yang tidak berkembang dicirikan oleh dua hal: 1) tidak memiliki potensi sumber daya alam dan potensi lokasi

sehingga secara alamiah sulit berkembang dan kurang mengalami pertumbuhan;

2) sebenarnya memiliki potensi baik sumber daya alam maupun potensi tetapi tidak dapat berkembang karena tidak memiliki kesempatan dan cenderung dieksploitasi oleh wilayah yang lebih maju. Adapun ciri-ciri yang dapat dilihat dari jenis wilayah ini adalah tingkat kepadatan penduduk yang jarang dan kualitas sumber daya manusia yang rendah, tingkat pendapatan yang rendah, tidak memiliki infrastruktur yang lengkap, dan tingkat aksesibiltas yang rendah (Anwar, 2005).

Perkembangan suatu wilayah secara alami ditentukan oleh karakter dari sumber daya alam yang dimiliki oleh wilayah tersebut. Wilayah yang memiliki sumber daya alam yang melimpah relatif akan lebih maju dibanding dengan wilayah yang miskin sumberdaya, khususnya pada awal perkembangannya. Demikian juga wilayah yang secara alamiah berkembang menjadi pusat-pusat pertumbuhan umumnya terletak di suatu wilayah yang mempunyai kekayaan alam yang melimpah atau tingkat interaksi yang tinggi dengan wilayah lain disekitarnya (Rustiadi et al., 2006).

Selanjutnya Rustiadi et al. (2006) mengemukakan bahwa dalam

perkembangan wilayah yang menjadi indikator penting adalah tingkat interaksi antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Wilayah-wilayah yang lebih berkembang pada dasarnya mempunyai tingkat interaksi yang lebih tinggi dibanding dengan wilayah lain yang belum berkembang. Interaksi itu sendiri


(24)

terjadi karena adanya faktor aksesibilitas wilayah itu ke wilayah lain. Kemudahan akses ini menjadi faktor yang cukup penting dalam mendukung perkembangan suatu wilayah. Wilayah dengan akses yang lebih baik akan menyebabkan tingkat interaksi yang tinggi dengan wilayah lain sehingga menjadi lebih cepat berkembang. Faktor lain yang mendorong perkembangan wilayah adalah lokasinya yang berdekatan dengan pusat ekonomi atau pemerintahan. Lokasi yang dekat dengan pusat ekonomi atau pemerintahan umumnya akan lebih terpacu perkembangannya dibanding wilayah-wilayah yang relatif lebih jauh dan bisa jadi nantinya akan berkembang sebagai penyangga bagi wilayah pusat tersebut.

Perbedaan perkembangan wilayah tersebut akan membentuk suatu struktur wilayah yang berhirarki, dimana wilayah yang telah maju cenderung akan cepat berkembang menjadi pusat aktifitas baik perekonomian maupun pemerintahan. Wilayah yang sumber daya alamnya kurang mendukung akan relatif kurang

berkembang dan cenderung menjadi wilayah hinterland. Keadaan ini dapat

menjadi faktor pendorong terutama bagi sumber daya manusia untuk bekerja ke wilayah yang lebih berkembang dalam rangka meningkatkan taraf hidupnya sehingga akan semakin sulit bagi wilayah ini untuk berkembang karena telah mengalami kekurangan sumberdaya manusia.

Berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan pembangunan tahun 2006, kesenjangan pembangunan antar wilayah kecamatan di Kabupaten Agam merupakan salah satu permasalahan penting yang perlu mendapat perhatian dari

seluruh komponen pelaku pembangunan (stakeholder). Apabila kesenjangan

tersebut tidak dilakukan penanganan secara serius maka berdampak pada masalah ekonomi, sosial dan politik di daerah tersebut.

Berdasarkan hasil kajian Bappeda Kabupaten Agam (2006), terdapat tingkatan kesenjangan yang relatif tinggi pada sektor pertanian bahan makanan yaitu padi, sektor industri (industri kecil), dan perkoperasian. Kesenjangan hasil-hasil pembangunan untuk semua sektor tersebut terlihat pada Tabel 2.


(25)

8 Tabel 2 Indeks Williamson Beberapa Indikator Ekonomi Kabupaten Agam

2001-2005

No Indikator Ekonomi Tahun

2001 2002 2003 2004 2005

1. Padi

Produksi 0.846 0.972 0.766 0.703 0.792

Luas sawah 0.690 0.604 0.549 0.762 0.739

Produksi/ha 0.064 0.05 0.001 0.002 0.106

2. Industri kecil

Jumlah 0.637 0.867 0.94 0.940 0.942

Jumlah tenaga kerja 0.943 1.096 1.188 1.192 1.189

3. Pelanggan listrik 0.534 0.478 0.474 0.474 0.475

4. Koperasi

Volume usaha KUD 0.472 0.402 0.403 0.399 0.423

Volume usaha non KUD 1.045 0.903 0.902 0.901 1.129

Simpanan Anggota 1.012 0.929 0.861 0.875 1.056

Sumber: Bappeda Tahun 2006

Baik produksi maupun luas sawah mempunyai tingkat kesenjangan yang relatif tinggi. Angka ini turun menjadi 0.792 pada tahun 2005. Berbeda halnya dengan luas sawah mempunyai tingkat ketimpangan yang tinggi tahun 2001 dan memperlihatkan adanya kenaikan pada tahun 2005. Kenaikan kesenjangan antar wilayah ini disebabkan oleh perubahan luas sawah yang cukup berarti pada wilayah-wilayah pembangunan. Ada kecamatan yang mengalami pertambahan luas sawah (Kecamatan Palembayan) dan yang mengalami pengurangan luas sawah sebanyak 14 kecamatan. Penurunan luas sawah ini dipengaruhi oleh berkurangnya luas sawah tadah hujan dan pengairan sederhana, sedangkan luas sawah pengairan setengah teknis mengalami kenaikan.

Dampak positif kebijakan pembangunan antar wilayah untuk produksi padi diikuti oleh pelaksanaan kebijakan peningkatan produktivitas padi. Pada tahun 2001, tingkat kesenjangan produktivitas padi adalah rendah (0.064). Angka kesenjangan ini hanya sedikit mengalami kenaikan pada tahun 2005 (0.106).

Secara rata-rata, produksi padi per hektar tidak mengalami permasalahan yang berarti dalam tahun 2001-2005. Pada tahun 2001, produksi per hektar


(26)

berada sekitar 4.95 ton. Angka ini naik menjadi 4.96 ton pada tahun 2005 (naik sekitar 0.2 %). Kenaikan produksi per hektar ini kelihatannya tidak merata antar wilayah pembangunan. Beberapa kecamatan (Lubuk Basung, Matur dan Baso) mengalami peningkatan produksi per hektar dalam periode tahun 2001-2005. Sedangkan sejumlah kecamatan lainnya mengalami penurunan produksi per hektar yang relatif kecil pada periode yang sama. Perbedaan-perbedaan kenaikan dan penurunan produksi per hektar ini memberi kontribusi terhadap meningkatkan kesenjangan produktivitas padi antar wilayah.

Tingkat kesenjangan yang relatif tinggi diperlihatkan pula oleh sektor industri, baik diukur dari jumlah industri antar wilayah maupun diukur dengan jumlah tenaga kerja. Tingkat kesenjangan antar waktu memberikan indikasi peningkatan seperti terlihat Tabel 2.

Berbeda halnya dengan tingkat kesenjangan pelanggan listrik, walaupun angka kesenjangan antar wilayah pembangunan tidak terlalu tinggi, namun ada kecenderungan terjadinya penurunan tingkat kesenjangan dalam periode 2001-2005. Indeks Williamson menurun dari 0.534 tahun 2001 menjadi 0.475 pada tahun 2005 (turun sekitar 10.9 persen).

Selanjutnya, dari tiga variabel yang digunakan sebagai dasar pengukuran kesenjangan perkoperasian antar wilayah pembangunan, satu variabel (volume usaha KUD) menunjukan angka penurunan pada tingkat kesenjangan sedang, sedangkan dua variabel lainnya (volume usaha non KUD dan simpanan anggota) mempunyai tingkat kesenjangan sangat tinggi dan ada indikasi pertambahan dalam periode 2001-2005.

Disamping itu, tingkat kesenjangan berfluktuasi antara tahun 2001 dan 2005. Kesenjangan volume usaha KUD secara konsisten menurun dari tahun 2001 sampai dengan 2004, kemudian tahun 2005 meningkat dibanding tahun 2004. Hal yang sama terlihat pula pada variabel volume usaha non KUD dan simpanan anggota.

Adanya kesenjangan wilayah ini tentu akan berdampak terhadap kebijakan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah setempat serta dampaknya dari proses pembangunan itu sendiri terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat maupun sumber daya alam yang ada.


(27)

10 Adanya kesenjangan wilayah (daerah) seperti yang telah digambarkan

tersebut akan memberikan dampak terhadap ketersediaan lapangan pekerjaan.

Untuk wilayah yang telah maju akan menyediakan lapangan pekerjaan yang jauh lebih banyak dan beragam dibandingkan dengan wilayah yang kurang atau tidak berkembang. Perkembangan wilayah yang relatif maju akan menjadi daya tarik tenaga kerja dari berbagai wilayah di sekitarnya. Hal ini akan menyebabkan kesenjangan dalam penyebaran tenaga kerja dimana daerah yang maju akan mengalami kelebihan penawaran tenaga kerja sedangkan daerah yang belum atau tidak maju menjadi kekurangan suplai tenaga kerja.

Kerangka umum kebijakan pembangunan adalah mengurangi segala bentuk hambatan sehingga dapat mengalir ke segala wilayah secara efisien dan diharapkan dapat memecahkan atau mengurangi berbagai permasalahan pembangunan di setiap wilayah (Nugroho & Dahuri, 2004).

Pemerintah mempunyai peran yang besar dalam merumuskan strategi pembangunan, yaitu strategi pembangunan yang berpedoman pada pemahaman mendalam terhadap karakteristik, potensi dan permasalahan pembangunan untuk mencapai kemajuan wilayah yang kompetitif.

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah, perumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana karakteristik wilayah di Kabupaten Agam?

2. Apakah struktur wilayah-wilayah di Kabupaten Agam memiliki hirarki dan

bagaimana bentuk struktur hirarkinya?

3. Apakah ada keterkaitan antar wilayah dan bagaimana bentuk keterkaitannya?

4. Berapa besar tingkat kesenjangan pembangunan antar wilayah? Faktor-faktor

apa saja yang menyebabkan kesenjangan tersebut dan bagaimana pula hubungan antara faktor-faktor tersebut.

5. Bagaimana strategi pembangunan wilayah Kabupaten Agam?

Tujuan Penelitian

Memperhatikan hal tersebut, hasil penelitian ini diharapkan dapat

memberikan pertimbangan untuk menjawab sejumlah permasalahan


(28)

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:

1. Membuat tipologi wilayah Kabupaten Agam berdasarkan data-data spasial dan

data sosial ekonomi wilayah dengan unit analisis wilayah nagari;

2. Mengidentifikasi hirarki wilayah berkaitan dengan pola sebaran fasilitas

publik yang ada;

3. Mengidentifikasi keterkaitan antar wilayah dengan menggunakan data aliran

barang/orang;

4. Menghitung besarnya tingkat kesenjangan, mengidentifikasi faktor penentu

penyebab kesenjangan dan mengetahui hubungan antar faktor-faktor tersebut.

5. Menyusun strategi pembangunan wilayah.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan agar dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Memberikan sumbangan pemikiran kepada Pemerintah Kabupaten Agam

sebagai bahan pertimbangan dan rekomendasi dalam menyusun perencanaan pembangunan daerah;

2. Sebagai bahan masukan untuk pembelajaran (learning process) dalam

perumusan kebijakan pembangunan dan pengembangan daerah terutama berkaitan dengan keberimbangan pembangunan antar wilayah kecamatan;

Batasan Penelitian

Agar penelitian ini lebih fokus pada tujuan penelitian yang hendak dicapai, maka ditetapkan batasan-batasan penelitian sebagai berikut:

1. Analisis dilakukan hanya pada aspek-aspek fisik, sosial dan ekonomi yang

berpengaruh terhadap perkembangan wilayah serta permasalahan kesenjangan pembangunan;

2. Objek penelitian adalah seluruh nagari di Kabupaten Agam berdasarkan

dokumen RTRW tahun 2004-2014 yaitu sebanyak 73 nagari pada 15 kecamatan.


(29)

TINJAUAN PUSTAKA

Pembangunan Wilayah

Ilmu pembangunan wilayah merupakan wahana lintas disiplin yang mencakup berbagai teori dan ilmu terapan yaitu ilmu geografi, ekonomi, sosiologi, matematika, statistika, ilmu politik, perencanaan daerah, ilmu lingkungan, dan sebagainya. Hal ini dapat dimengerti karena pembangunan itu sendiri merupakan fenomena multifaset yang memerlukan berbagai usaha manusia dari berbagai bidang ilmu pengetahuan. Sesuai dengan pandangan pendiri ilmu wilayah, Walter Isard, bahwa pengetahuan pada berbagai ilmu adalah menyatu dan saling berkaitan.

Pembangunan wilayah adalah proses/tahapan kegiatan pembangunan di suatu wilayah tertentu yang dalam perwujudannya melibatkan interaksi antara sumber daya manusia dengan sumber daya lain termasuk sumberdaya alam dan lingkungan melalui kegiatan investasi pembangunan. Sedangkan tujuan pembangunan wilayah adalah pembangunan manusia indonesia seutuhnya dengan memanfaatkan sifat keadaan daerah dan lingkungan yang bersangkutan terutama aspek yang menyangkut sumberdaya fisik dan sosio-kultural yang hidup di masing-masing wilayah (Anwar, 2005).

Awal Repelita ke Enam (1994-1999) yang sekaligus menjadi pangkal tolak PJP II (Pembangunan Jangka Panjang tahap kedua, 1994 – 2019), sesungguhnya telah terjadi perubahan mendasar dalam paradigma pembangunan nasional yaitu dari orientasi pertumbuhan ekonomi ke orientasi pembangunan manusia, baik sebagai sumber daya maupun sebagai tujuan pembangunan, berbagai kelembahan paradigma lama diperbaiki. Misalnya, pembangunan yang terlalu menekankan pada pertumbuhan ekonomi mau tidak mau bersifat sektoral untuk meningkatkan produksi nasional, sehingga juga bersifat sentralistik. Pembangunan sektoral yang sentralistik berarti kurang memperhatikan kepentingan regional, yang pada

gilirannya berarti pembangunan wilayah atau pembangunan daerah

dinomorduakan. Dalam paradigma pembangunan yang berorientasi manusia, pemerataan pembangunan ditingkatkan untuk mengurangi berbagai ketimpangan ekonomi dan sosial antar daerah, antar sektor, dan antar kelompok-kelompok ekonomi. Dalam literatur ekonomi pembangunan ditegaskan bahwa dalam


(30)

paradigma pembangunan yang baru hasil pembangunan tidak sekedar diukur dengan pertumbuhan perkapita, tetapi juga harus diukur dengan tiga kriteria sosial-ekonomi lain, yaitu: kemiskinan, pengangguran, dan distribusi pendapatan. Dalam konteks politik Indonesia penegasan diterimanya paradigma baru ini tercantum dalam GBHN 1993-1998 yang selanjutnya dijabarkan dalam Repelita ke Enam, dengan dua bab baru yaitu bab delapan berjudul:”Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia”, dan bab sembilan dengan judul:”Pemerataan Pembangunan dan Penanggulangan Kemiskinan”. Dalam bab sembilan, dapat ditemukan paradigma baru ini, yang menegaskan bahwa pembangunan ekonomi tidak semata-mata bertujuan mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi memberdayakan ekonomi rakyat melalui pengembangan koperasi dan pembinaan pengusaha kecil, memperluas lapangan kerja dan lapangan usaha, serta meningkatkan pendapatan dan taraf kesejahteraan rakyat . Pembangunan dalam bidang kesejahteraan rakyat merupakan ujung tombak upaya pemerataan pembangunan dan penanggulangan kemiskinan karena manusia dan sumberdaya manusia itulah tujuan segala upaya pembangunan (Mubyarto, 2000).

Pada era otonomi daerah saat ini, salah satu konsep pengembangan wilayah yang perlu mendapat perhatian adalah pengembangan ekonomi wilayah. Oleh karena itu menurut Tukiyat (2002), konsep pengembangan ekonomi wilayah harus berorientasi pada pertumbuhan ekonomi wilayah dengan menggali potensi produk unggulan daerah.

Dalam hubungannya dengan suatu daerah (wilayah) maka konsep pembangunan daerah tidak pernah lepas dari konsep perencanaan pembangunan daerah, yang dapat didefinisikan sebagai suatu proses perencanaan pembangunan daerah yang bertujuan untuk melakukan pembangunan kearah perkembangan yang lebih baik bagi suatu masyarakat, pemerintah dan lingkungan daerah tertentu, dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumber yang ada dan harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap, tapi berpegang teguh pada asas prioritas (Riyadi & Bratakusumah, 2003).

Selanjutnya Riyadi dan Bratakusumah (2003) menyimpulkan bahwa


(31)

14 1) perencanaan komunitas; 2) sistem area (wilayah); dan 3) optimalisasi pemanfaatan sumber daya yang ada.

Perencanaan pembangunan wilayah tidak mungkin terlepas dari apa yang sudah ada saat ini di wilayah tersebut. Aktor/pelaku pembangunannya adalah seluruh masyarakat yang ada diwilayah tersebut, termasuk didalamnya pemerintah daerah serta pihak-pihak luar yang ingin melakukan kegiatan di wilayah tersebut. Paling tidak terdapat dua peran pemerintah daerah yang cukup penting dalam pembangunan wilayah, yakni sebagai pengatur/pengendali (regulator) dan sebagai pemacu pembangunan (stimulator). Dana yang dimiliki pemerintah dapat digunakan sebagai stimulan untuk mengarahkan investasi swasta atau masyarakat umum kearah yang diinginkan pemerintah (Mirza, 2006).

Strategi pengembangan suatu wilayah sangat ditentukan oleh karakteristik dan potensi yang terdapat di wilayah tersebut. Oleh karena itu, sebelum melakukan perumusan kebijakan yang dilaksanakan perlu mengetahui tipe/jenis wilayah. Menurut Tukiyat (2002), secara umum terdapat lima tipe wilayah dalam suatu negara, yaitu:

1. Wilayah maju;

2. Wilayah netral, yang dicirikan dengan adanya tingkat pendapatan dan

kesempatan kerja yang tinggi;

3. Wilayah sedang, yang dicirikan dengan adanya pola distribusi pendapatan dan

kesempatan kerja yang relatif baik;

4. Wilayah yang kurang berkembang atau kurang maju yang dicirikan adanya

tingkat pertumbuhan yang jauh dari tingkat pertumbuhan nasional dan tidak ada tanda-tanda untuk dapat mengejar pertumbuhan dan pengembangan;

5. Wilayah tidak berkembang.

Menurut Jayadinata (1986), sumber daya adalah setiap hasil, benda, atau sifat/keadaan, yang dapat dihargai bilamana produksi, proses dan penggunaannya

dapat dipahami. Sumber daya dapat dibagi menjadi: sumber daya alam (natural

resources), sumber daya manusia (human resouces), dan sumber daya teknologi.

Adapun rinciannya meliputi: 1) sumber daya alam (natural resources) terdiri dari:

a)sumber daya alam abstrak, yaitu hal-hal yang tidak tampak tetapi dapat diukur, seperti: lokasi, tapak atau posisi (site atau position), b) sumber daya alam yang


(32)

nyata berupa: bentuk daratan, air, iklim, tubuh tanah, vegetasi, hewan, mineral

atau pelikan ; 2) sumber daya manusia (human resouces) diantaranya adalah

keadaan penduduk (jumlah, kerapatan penyebaran, susunan/struktur); proses pendidikan; dan lingkungan sosial penduduk berupa kebudayaan/kebiasaan penduduk setempat; 3) sumber daya teknologi, kemampuan manusia untuk merubah sumber daya alam yang ada sehingga bermanfaat bagi kehidupannya dan perubahan tersebut berdampak pada daerah sekitarnya. Disamping itu, kemajuan teknologi selalu memegang peranan penting dalam proses pertumbuhan ekonomi pembangunan suatu wilayah.

Kesenjangan antar Wilayah

Konsep kesenjangan mempunyai kemiripan dengan konsep perbedaan. Seseorang mempunyai tinggi tubuh yang berbeda dengan seseorang yang lain. Fakta menunjukkan adanya perbedaan tinggi tubuh. Pemahaman terhadap perbedaan seperti itu relatif bersifat netral dan tidak terkait dengan moral pemahaman. Berbeda halnya kalau membicarakan perbedaan kekayaan dari kedua orang itu, maka pemahaman terhadap perbedaan kekayaan mempunyai implikasi moral dalam konteks hubungan sosial, misalnya siapa yang harus lebih toleran, bagaimana pembebanan kewajiban sosial pada tiap orang itu, dan sebagainya (Anonimous, 2007). Menurut Mysra (2000), kesenjangan wilayah mengandung makna tidak adanya keseimbangan pertumbuhan antara sektor primer, sekunder dan tersier dan atau sektor-sektor sosial pada suatu daerah.

Dalam konteks spasial, proses pembangunan yang telah dilaksanakan selama ini ternyata telah menimbulkan permasalahan yang berkaitan dengan tingkat kesejahteraan antar wilayah yang tidak berimbang. Pendekatan yang sangat menekankan pada pertumbuhan ekonomi dengan membangun pusat-pusat pertumbuhan telah mengakibatkan investasi dan sumber daya terserap dan terkosentrasi di perkotaan sebagai pusat-pusat pertumbuhan, sementara

wilayah-wilayah hinterland mengalami pengurasan sumber daya yang berlebihan (massive

backwash effect) (Anwar, 2005). Secara makro dapat kita lihat terjadinya ketimpangan pembangunan secara signifikan misalnya antara wilayah desa-kota, antara wilayah Indonesia Timur dan Indonesia Barat, antara wilayah Jawa dan non Jawa dan sebagainya.


(33)

16 Kesenjangan ini pada akhirnya menimbulkan berbagai permasalahan yang dalam konteks makro sangat merugikan bagi keseluruhan proses pembangunan. Potensi konflik menjadi sedemikian besar karena wilayah-wilayah yang dulunya kurang tersentuh pembangunan mulai menuntut hak-haknya. Demikian pula hubungan antar wilayah telah membentuk suatu interaksi yang saling

memperlemah (Rustiadi, 2001). Wilayah-wilayah hinterland menjadi lemah

karena pengurasan sumber daya yang berlebihan, sedangkan pusat-pusat pertumbuhan pada akhirnya juga menjadi lemah karena proses urbanisasi yang luar biasa.

Secara lebih terperinci terdapat beberapa faktor utama yang menyebabkan terjadinya kesenjangan pembangunan antar wilayah sebagaimana diungkapkan Rustiadi (2001) yaitu:

1) faktor geografis

Suatu wilayah atau daerah yang sangat luas akan terjadi variasi pada keadaan fisik alam berupa topografi, iklim, curah hujan, sumber daya mineral dan variasi spasial lainnya. Apabila faktor-faktor lainnya baik, dan ditunjang dengan kondisi geografis yang baik, maka wilayah tersebut akan berkembang dengan lebih baik.

2) faktor historis

Perkembangan masyarakat dalam suatu wilayah tergantung dari kegiatan atau budaya hidup yang telah dilakukan masa lalu. Bentuk kelembagaan atau budaya dan kehidupan perekonomian pada masa lalu merupakan penyebab yang cukup penting terutama yang terkait dengan sistem insentif terhadap kapasitas kerja.

3) faktor politis

Tidak stabilnya suhu politik sangat mempengaruhi perkembangan dan pembangunan di suatu wilayah. Instabilitas politik akan menyebabkan orang ragu untuk berusaha atau melakukan investasi sehingga kegiatan ekonomi di suatu wilayah tidak akan berkembang. Bahkan terjadi pelarian modal ke luar wilayah, untuk diinvestasikan ke wilayah yang lebih stabil.


(34)

4) faktor kebijakan

Terjadinya kesenjangan antar wilayah bisa diakibatkan oleh kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah yang sentralistik hampir di semua sektor, dan

lebih menekan pertumbuhan dan membangun pusat-pusat pembangunan di wilayah tertentu menyebabkan kesenjangan yang luar biasa antar daerah.

5) faktor administratif

Kesenjangan wilayah dapat terjadi karena kemampuan pengelola administrasi. Wilayah yang dikelola dengan administrasi yang baik cenderung lebih maju. Wilayah yang ingin maju harus mempunyai administrator yang jujur, terpelajar, terlatih, dengan sistem administrasi yang efisien.

6) faktor sosial

Masyarakat dengan kepercayaan-kepercayaan yang primitif, kepercayaan tradisional dan nilai-nilai sosial yang cenderung konservatif dan menghambat perkembangan ekonomi. Sebaliknya masyarakat yang relatif maju umumnya memiliki institusi dan perilaku yang kondusif untuk berkembang. Perbedaan ini merupakan salah satu penyebab kesenjangan wilayah.

7) faktor Ekonomi.

Faktor ekonomi yang menyebabkan kesenjangan antar wilayah yaitu:

a) Perbedaan kuantitas dan kualitas dari faktor produksi yang dimiliki seperti:

lahan, infrastruktur, tenaga kerja, modal, organisasi dan perusahaan;

b) Terkait akumulasi dari berbagai faktor. Salah satunya lingkaran kemiskinan,

kemudian kondisi masyarakat yang tertinggal, standar hidup rendah, efisiensi rendah, konsumsi rendah, tabungan rendah, investasi rendah, dan pengangguran meningkat. Sebaliknya di wilayah yang maju, masyarakat maju, standar hidup tinggi, pendapatan semakin tinggi, tabungan semakin banyak yang pada akhirnya masyarakat semakin maju;

c) Kekuatan pasar bebas telah mengakibatkan faktor-faktor ekonomi seperti


(35)

18 perdagangan, perbankan, dan asuransi yang dalam ekonomi maju memberikan hasil yang lebih besar, cenderung terkosentrasi di wilayah maju;

d) Terkait dengan distorsi pasar, kebijakan harga, keterbatasan spesialisasi,

keterbatasan ketrampilan tenaga kerja dan sebagainya.

Pengukuran kesenjangan wilayah adalah sebuah konsepsi dari adanya kebijakan ketidakberimbangan pembangunan wilayah. Terdapat dua poin penting yang harus diperhatikan dalam memahami konsep ini: pertama, kesenjangan tidak selalu harus dipahami dengan cara yang sama. Sebagai contoh, di negara-negara Uni Eropa seperti Finlandia dan Swedia, keduanya merupakan negara yang masih terbelakang dengan jumlah penduduk paling sedikit, merupakan kawasan lindung, terisolir dari negara lain, dan kondisi alamnya memiliki karakteristik yang dianggap tidak memiliki perkembangan atau perkembangan per km-nya rendah. Namun keduanya memiliki pendapatan perkapita yang tidak rendah. Kedua, bahwa mata rantai antara kebijakan terhadap suatu wilayah dan kesenjangan wilayah tidaklah berdiri sendiri. Maksudnya, dengan memahami faktor-faktor yang menyebabkan kesenjangan dan pengukurannya maka diharapkan dapat dengan mudah melakukan kegiatan perencanaan pembangunan wilayah sekaligus memetakannya (Wishlade & Douglas, 1997)

Selanjutnya menurut Wishlade & Douglas (1997) menyatakan bahwa secara konseptual ada tiga indikator yang dapat dijadikan ukuran kesenjangan wilayah

yaitu:1) indikator fisik, 2) indikator ekonomi, dan 3) sosial. Kenyataan di lapangan, sulit menggolongkan indikator-indikator tersebut secara jelas sebagai

penyebab kesenjangan. Meskipun demikian, ketiga kategori tersebut telah memberikan kerangka yang bermanfaat bagi masalah kesenjangan di suatu

wilayah di negara-negara anggota Uni Eropa.

Meskipun disparitas (kesenjangan) antar wilayah merupakan hal yang wajar yang bisa ditemui baik di negara maju maupun berkembang, namun seperti halnya bagian tubuh manusia, ketidakseimbangan pertumbuhan wilayah akan mengakibatkan suatu kondisi yang tidak stabil. Disparitas antar wilayah telah menimbulkan banyak permasalahan sosial, ekonomi dan politik. Untuk itu, dibutuhkan kebijakan pemecahan terhadap permasalahan disparitas antar wilayah


(36)

dan perencanaan yang mampu mewujudkan pembangunan wilayah yang berimbang. Kemiskinan disuatu tempat akan sangat berbahaya bagi kesejahteraan di suatu tempat sedangkan kesejahteraan di suatu tempat harus didistribusikan ke semua tempat. Setiap pemerintah, baik negara berkembang maupun belum berkembang selalu berusaha untuk mengurangi disparitas antar wilayah karena beberapa alasan sebagaimana pendapat Murty (2000), yaitu:

a. Untuk mengembangkan perekonomian secara simultan dan bertahap

Jika setiap wilayah bisa tumbuh dan berkembang, maka mereka akan membentuk hubungan mutualisma yang saling menguntungkan. Jika tidak,

sebagai contoh pendapatan yang rendah di daerah hinterland (backward area),

akan menghambat pertumbuhan demand terhadap produk-produk yang dihasilkan

oleh wilayah yang lebih maju. Lebih jauh lagi, pembangunan wilayah yang

berimbang akan mampu menghindari biaya transport dan sekaligus dapat

meminimalisasi tekanan inflasi terhadap perekonomian.

Berdasarkan hasil penelitian Hermawan (2007), rata-rata pertumbuhan ekonomi wilayah Provinsi Banten sama dengan laju pertumbuhan nasional yang tingginya sekitar 4 – 5 persen. Kondisi ini merupakan indikator bahwa prospek perekonomian di wilayah ini berkembang dengan baik dan saling memberi pengaruh yang menguntungkan. Apabila diamati pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun pada setiap daerah Kabupaten/Kota dilingkungan Provinsi Banten malahan ada yang diatas rata-rata nasional, contohnya Kabupaten Cilegon (7.32 persen), Kota Tanggerang (5.81 persen), dan Kabupaten Tanggerang (5.69 persen). Dengan demikian, wilayah-wilayah tersebut akan tumbuh sangat cepat menjadi wilayah maju karena telah terjadi interaksi yang saling memperkuat.

Interaksi antar wilayah yang saling memperkuat juga digambarkan dengan wilayah produsen seperti Jawa Barat mengirim untuk ekspor melalui DKI Jakarta.

maka nilai tambah yang terbentuk diwilayah outlet seperti DKI Jakarta terbagi

secara adil juga terhadap Jawa Barat (Jabar). Apabila hal ini dapat terlaksana dengan kesepakatan antara Jabar dengan DKI Jakarta, maka dapat menghindari

upaya Jabar untuk membangun outlet sendiri. Hal yang sama untuk Pelabuhan

Tanjung Perak Surabaya yang selama ini merupakan outlet kawasan timur.


(37)

20

dibagi secara adil dan proporsional dengan wilayah hinterland-nya di kawasan

timur, maka hal tersebut merupakan sinergi pembangunan antar wilayah. dan dapat menghindari munculnya pemborosan akibat tiap wilayah ingin membangun

outletnya sendiri. Pembangunan inter-regional berimbang juga dapat menghindari pemekaran wilayah yang tidak perlu dan cenderung dipenuhi alasan emosional (Rustiadi dan Hadi, 2007).

b. Untuk mengembangkan ekonomi secara cepat

Jika kecepatan semua pekerja dalam satu grup setara, maka grup tersebut

akan memberikan out put lebih cepat. Demikian pula apabila kemajuan ekonomi

negara ditopang oleh pertumbuhan semua wilayah secara simultan sesuai dengan potensinya masing-masing, maka pertumbuhan ekonomi akan berjalan dengan cepat.

Berdasarkan fakta empiris dapat dijelaskan bahwa wilayah Jakarta-Bogor-Tanggerang- Bekasi (Jabotabek) merupakan lokasi investasi yang sangat menarik karena telah tersedia sarana dan prasarana ekonomi yang relatif lengkap, jarak ke Jakarta cukup dekat dengan laju pertumbuhan penduduk di wilayah Botabek cukup tinggi. Persebaran pembangunan sarana dan prasarana perhubungan, seperti: jalan bebas hambatan yang menghubungkan antar wilayah Jabotabek membuka peluang-peluang baru investor untuk mengembangkan kegiatan ekonomi, seperti: pembukaan kawasan-kawasan industri baru dan kawasan perdagangan, terutama di sepanjang jalan tol Cikampek, Jakarta-Tanggerang dan Jakarta-Bogor. Oleh karenanya tumbuh kawasan-kawasan tertentu di sekitar kota induk. Sementara tempat kerja dan pusat bisnis masih berada di kota induk terutama di Jakarta, sehingga nampak dalam keseharian

kegiatan ulang-alik masyarakat (komuter) terjadi disekitar kawasan kota induk

(Sunartono, 2000).

c. Untuk mengoptimalkan dan mengkonservasi sumber daya

Ketika suatu wilayah mengembangkan sumber dayanya, maka sumber daya tersebut akan mengakibatkan wilayah tersebut menjadi berkembang. Keterkaitan ini akan mengurangi terjadinya pengurasan sumber daya oleh wilayah lain (umumnya wilayah yang lebih maju), karena resiko dan manfaat penggunaannya sangat dirasakan oleh wilayah yang memiliki sumber daya itu sendiri.


(38)

Berdasarkan hasil penelitian Romadhon (2004), untuk mengurangi disparitas yang disebabkan oleh faktor kuantitas dan kualitas sumber daya yang dimiliki desa di pulau Sapudi Kabupaten Sumenep-Madura maka harus mengacu pada kondisi tingkat perkembangan kuantitas dan kualitas sumber daya yang dimiliki. Contohnya, Desa Pancor memiliki potensi sektor perikanan dan transportasi yang kompetitif serta memiliki sarana dan prasarana yang memadai, maka arahan pengembangannya adalah bahwa Desa Pancor dijadikan sebagai daerah perikanan dan outlet perdagangan serta pusat perdagangan hasil pertanian dan kelautan. Dengan demikian, daerah tersebut bisa berkembang sesuai dengan karakteristik dan potensinya serta yang lebih penting tidak melakukan pengurasan sumberdaya lainnya yang mungkin berada di daerah sekitarnya.

d. Untuk meningkatkan lapangan kerja

Berkembangnya infrastruktur dan penyebaran industri di daerah hinterland

(backward region) akan meningkatkan lapangan kerja yang lebih luas di semua wilayah.

Menurut Suhandoyo et al. (2000), untuk pengembangan Kawasan

Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Batu Licin diperlukan pekerja dengan kualifikasi pendidikan yang beragam yakni dari kualifikasi rendah, menengah hingga pendidikan tinggi. Pendidikan rendah diupayakan menyerap angkatan kerja setempat/lokal, sedangkan yang menengah dan tinggi, dalam jangka pendek, dapat dipenuhi dari daerah lain atau dipaksakan angkatan kerja lokal dengan tambahan pelatihan ketrampilan, sedangkan untuk jangka panjang proporsi angkatan kerja lokal yang terserap dalam kegiatan ekonomi tersebut, harus semakin besar, baik kualifikasi rendah, menengah maupun tinggi. Kondisi ini dapat dicapai bila perencanaan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) terintegrasi dengan rencana pengembangan wilayah.

e. Untuk mengurangi beban sektor pertanian

Produktivitas per kapita sektor pertanian di Indonesia sangat rendah karena terlalu banyak penduduk yang bekerja di sektor ini. Dengan pembangunan wilayah yang berimbang, sektor-sektor non pertanian juga akan berkembang di

daerah hinterland, sehingga lapangan kerja di sektor pertanian juga akan


(39)

22 Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Batu Licin yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No.11 Tahun 1998 tanggal 19 Januari 1998 terletak di Kabupaten Daerah Tingkat II Kotabaru dengan sektor unggulan: perkebunan, kehutanan, pertambangan dan industri, dimana masing-masing sektor mempunyai komoditas unggulan: kelapa sawit, hutan tanaman industri tanaman akasia, batubara, dan semen. Keempat komoditas andalan tersebut apabila dikembangkan dapat meningkatkan nilai tambah untuk kesejahteraan masyarakat di kawasan, dan diharapkan dapat mendorong kegiatan ekonomi sektor-sektor

lainnya (Suhandoyo et al, 2000).

f. Untuk mendorong desentralisasi

Disparitas antar wilayah akan mendorong terjadinya sentralisasi. Wilayah berkembang mempunyai kapasitas untuk menarik investasi, industri, dan institusi-institusi perekonomian baru, sedangkan wilayah-wilayah yang tertinggal tidak mempunyai kapasitas tersebut. Akhirnya, permasalahan sentralisasi akan semakin berkembang. Sentralisasi di bidang ekonomi sendiri sebenarnya tidak menjadi masalah, tetapi kondisi ini kenyataannya mengakibatkan berbagai masalah yang lebih pelik seperti lokalisasi, urbanisasi, internal konflik dan sebagainya. Lokalisasi dan urbanisasi pada akhirnya menimbulkan berbagai masalah seperti kepadatan, kemacetan, kebisingan, polusi, masalah permukiman dan sebagainya. Sebagai akibatnya biaya hidup akan menjadi semakin tinggi, dan mengakibatkan timbulnya kemiskinan perkotaan.

Program Pembangunan Wilayah (PPW) merupakan salah satu fakta empiris dari sebuah pendekatan pembangunan yang secara jelas ingin melaksanakan pemerataan melalui desentralisasi pelaksanaan program-program. Kemiskinan dan ketidakmerataan kemakmuran antar daerah, yang menunjukkkan belum adanya keadilan sosial, merupakan salah satu pendorong utama dilaksanakannya PPW. PPW mengarahkan program-programnya pada kelompok sasaran tertentu yaitu mereka yang termasuk kelompok miskin di perdesaan. PPW telah menyentuh kehidupan 600.000 keluarga atau kira-kira 3 juta orang, dan menyangkut lebih dari 200 lembaga di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten (Mubyarto, 2000).


(40)

g. Untuk menghindari konflik internal dan instabilitas politik

Kesenjangan (disparitas) antar wilayah dari segi pendapatan dan kesejahteraan merupakan ancaman terbesar yang dapat meruntuhkan solidaritas masyarakat sebagai satu bangsa. Suatu wilayah akan cenderung melepaskan diri apabila terlalu kaya. Sebaliknya suatu wilayah juga akan cenderung melepaskan diri apabila terlalu miskin dan merasa diabaikan.

Menurut Rustiadi & Hadi (2007) menyatakan bahwa dalam konteks wilayah yang lebih luas, maka disparitas wilayah bisa pula dilihat dari ketimpangan wilayah dalam satu wilayah kabupaten, propinsi, regional, bahkan nasional. Ketimpangan wilayah dalam satu wilayah administratif sering melatari kecenderungan terjadinya pemekaran wilayah administratif. Hal ini tercermin dengan munculnya kabupaten - kabupaten baru dan provinsi-provinsi baru. Secara nasional, sempat muncul ancaman disintegrasi akibat ketimpangan pembangunan wilayah. Percepatan pembangunan Kawasan Timur Indonesia (KTI) adalah salah satu jawaban pemerintah untuk mengatasi kesenjangan yang mencolok pembangunan nasional dengan Kawasan Barat Indonesia (KBI).

h. Untuk mempertahankan negara dari serangan musuh

Apabila suatu wilayah mampu tumbuh dan berkembang, maka serangan musuh pada wilayah-wilayah tertentu tidak akan mampu melumpuhkan perekonomian negara.

Jatuhnya Pulau Sipadan dan Ligitan menjadi bagian dari negara Malaysia dengan putusan legal dari Mahkamah Internasional, kemudian disusul dengan sengketa di Perairan Ambalat, memberikan hikmah positif bagi bangsa Indonesia untuk meningkatkan kepedulian nasional mengenai urgensi pengelolaan dan pengawasan terhadap batas wilayah serta pembangunan di daerah-daerah di kawasan perbatasan. Haruslah diakui bahwa selama ini perhatian dan kepedulian pemerintah pusat terhadap pembangunan di kawasan perbatasan – juga pengawasan terhadap pulau-pulau terluar yang berbatasan langsung dengan negara-negara tetangga masih sangat rendah (Dina & Enny, 2007).

Pengembangan Border Development Center (2005-2007) di Provinsi

Kalimantan Barat sebagai pusat pertumbuhan di kawasan perbatasan antara lain karena kawasan perbatasan antar-negara merupakan wilayah yang sangat strategis


(41)

24 menyangkut aspek kedaulatan negara, pertahanan keamanan, rasa kebangsaan, ekonomi, sosial budaya, ideologi dan berbagai aspek lainnya. Namun hingga kini kawasan perbatasan masih menyimpan dan menyisakan berbagai persoalan yang pelik seperti keterbelakangan dan keterisolasian, penurunan nilai kebangsaan,

kerusakan lingkungan, dan maraknya kegiatan ekonomi illegal. Karena itu

kawasan perbatasan perlu dibangun (Pandiadi, 2007).

Sebagai bagian integral dari wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), pembangunan masyarakat dan pengelolaan segala sumber daya di wilayah-wilayah perbatasan memerlukan kerangka penanganan yang menyeluruh (komprehensif) dengan mencakup berbagai sektor pembangunan secara terkoordinasi, baik dan efektif mulai dari tataran pemerintah pusat hingga level pemerintah daerah. Implementasi kebijakan dan peraturan mengenai masalah ini hendaknya ditindaklanjuti dengan program dan kegiatan yang secara spesifik mampu menampung atau mengakomodasi nilai-nilai lokal dan kecenderungan pengaruh dari wilayah negara tetangganya yang berbatasan langsung. Dengan demikian, pengelolaan perbatasan bukan hanya sekadar menegaskan garis batas atau wilayah batas, melainkan juga harus dipikirkan bagaimana cara mengelola penduduk di wilayah perbatasan tersebut agar bersifat kondusif dan positif konstruktif bagi kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.

Berdasarkan hal diatas, sudah sangat jelas bahwa disparitas antar wilayah ini harus diatasi mengingat banyak dampak negatif yang bisa ditimbulkan. Hal ini tentunya sejalan dengan tujuan hakiki pembangunan. Karena itu diperlukan

upaya-upaya untuk mengatasi terjadinya urban bias yaitu kecenderungan proses

pembangunan untuk lebih memihak pada kepentingan perkotaan dengan memulai memperhatikan pengembangan kawasan pedesaan.

Menurut Rustiadi & Hadi (2007), strategi pembangunan wilayah yang pernah dilaksanakan di Indonesia untuk mengatasi berbagai permasalahan disparitas pembangunan wilayah antara lain :

1. Secara nasional dengan membentuk Kementrian Negara Percepatan

Pembangunan Kawasan Timur Indonesia (KTI);

2. Percepatan pembangunan wilayah-wilayah unggulan dan potensial


(42)

seperti (a) Kawasan andalan (Kadal), (b) Kawasan pembangunan ekonomi terpadu (Kapet) yang merupakan salah satu Kadal terpilih ditiap provinsi;

3. Program percepatan pembangunan yang bernuansa mendorong pembangunan

kawasan perdesaan dan sentra produksi pertanian seperti: (a) kawasan sentra

produksi (KSP atau Kasep); (b) pengembangan kawasan perbatasan; (c) pengembangan kawasan tertinggal; (d) proyek pengembangan ekonomi

lokal;

4. Program progam sektoral dengan pendekatan wilayah seperti:

(a) perwilayahan komoditas unggulan; (b) pengembangan sentra industri kecil; (c) pengembangan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP), dan lain-lain.

Selanjutnya Rustiadi & Hadi (2007), program-program di atas sebagian

besar dilaksanakan setelah munculnya berbagai tuntutan pemerataan

pembangunan. Pendekatan yang digunakan masih terpusat dan masih menggunakan pendekatan pembangunan yang sama yaitu mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi di pusat-pusat wilayah perkotaan, tidak memberikan dampak yang besar terhadap tujuan pemerataan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah-wilayah yang diidentifikasikan tertinggal. Banyak pusat pusat pertumbuhan baru berkembang dengan pesat namun wilayah

hinterland-nya mengalami nasib yang sama yaitu mengalami pengurasan sumber berdaya yang berlebihan. Beberapa pengalaman empiris bahkan menunjukkan bahwa berkembangnya pusat-pusat pertumbuhan baru seringkali lebih memberikan akses bagi para pelaku ekonomi di pusat pertumbuhan vang lebih

besar untuk melakukan eksploitasi sumberdaya di daerah hinterland. Akibatnya

proses eksploitasi wilayah belakang terus berjalan dan ketimpangan tetap terjadi. Hal ini didukung dengan pendapat Mudrajad (2004), salah satu contoh kegagalan penempatan kawasan andalan di Kabupaten Hulu Sungai Selatan Provinsi Kalimantan Selatan adalah karena hanya mengacu pada pendapatan perkapita dan subsektor unggulan sehingga keberadaanya belum memberikan dampak yang positif bagi pertumbuhan daerah sekitar.

Masalah utama yang menyebabkan kurang optimalnya pengembangan wilayah strategis dan cepat tumbuh adalah: (1) kurang optimalnya pemahaman


(43)

26 sumber daya manusia, baik pemerintah daerah maupun masyarakat pelaku pengembangan kawasan, dalam mengembangkan wilayah-wilayah strategis dan cepat tumbuh nasional, serta mengembangkan keterkaitan antara kawasan pusat pertumbuhan dengan kawasan tertinggal; (2) terbatasnya infrastruktur pendukung yang membuka akses antara pusat pertumbuhan wilayah atau pasar dengan wilayah pendukung sekitarnya; (3) belum tertatanya sistem kelembagaan dan manajemen dengan baik untuk pengelolaan pengembangan kawasan yang terpadu, dan berkelanjutan, dalam memberikan dukungan kepada peningkatan daya saing produk dan kawasan yang dikembangkannya; (4) belum berkembangnya sistem informasi yang dapat memberikan akses pada informasi produk unggulan, pasar, dan teknologi; serta (5) koordinasi dan kerjasama lintas sektor dan lintas pelaku yang belum optimal untuk meningkatkan kualitas produk-produk unggulan, sehingga dapat menciptakan sinergitas antar kawasan, menciptakan nilai tambah yang besar, dan pada akhirnya meletakkan fondasi yang kuat bagi pengembangan ekonomi daerah, dalam satu sistem keterkaitan antara wilayah strategis cepat tumbuh dengan wilayah perbatasan dan wilayah tertinggal (Bappenas, 2007).

Ada beberapa hal vang menjadi penyebab terjadinya backwash effect

tersebut. Pertama, terbukanya akses ke daerah perdesaan seringkali mendorong kaum elit kota, pejabat pemerintah pusat, dan perusahaan perusahaan besar untuk mengeksploitasi sumberdaya yang ada di desa. Masyarakat desa sendiri tidak berdaya karena secara politik dan ekonomi para pelaku eksploitasi sumberdaya tersebut memiliki posisi tawar yang jauh lebih kuat. Kedua, kawasan perdesaan sendiri umumnya dihuni oleh masyarakat yang kapasitas sumber daya manusia (SDM) dan kelembagaannyanya kurang berkembang (lemah). Kondisi ini mengakibatkan ide-ide dan pemilkiran modern dari kaum elit kota sulit untuk didesiminasikan. Oleh karena itu sebagian besar aktivitas pada akhimya lebih

bersifat enclave dengan mendatangkan banyak SDM dari luar yang dianggap lebih

mempunyai ketrampilan dan kemampuan (Rustiadi et al, 2006).

Pada tahun 2006, isu pengurangan ketimpangan wilayah yang ditangani berkaitan dengan program-program perkotaan tidak meninggalkan upaya memadukan pembangunan perkotaan dan perdesaan. Secara khusus, dalam usaha mengembangkan wilayah internal perkotaan terbagi menjadi tiga program yaitu


(44)

Program Pengembangan Keterkaitan Pembangunan antar Kota, Program Pengembangan Kota Kecil dan Menengah, serta Program Pengendalian Pembangunan Kota-Kota Besar dan Metropolitan. Program pengembangan keterkaitan pembangunan antar kota, kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan berupa: (1) pengembangan kebijakan dan program pembangunan antar kota; (2) fasilitasi kerjasama antar daerah dalam pengelolaan pelayanan umum di perkotaan; (3) sosialisasi Konsep Kebijakan Kerjasama dan Konsep Koordinasi Pengelolaan Pembangunan Perkotaan (4) Proyek Pembangunan Sektor Perkotaan/USDRP. Program pengembangan kota-kecil dan menengah berupa: (1) pemberdayaan profesionalisme aparatur dalam pengelolaan dan peningkatan produktivitas kota; (2) pemberdayaan kemampuan pemerintah kota dalam memobilisasi dana pembangunan dan mengembangkan ekonomi perkotaan; dan (3) fasilitasi pengembangan perkotaan untuk kota kecil dan menengah; (4) penyelenggaraan Bimbingan Teknis (Bintek) Pengelolaan Pembangunan Perkotaan. Program pengendalian pembangunan kota-kota besar dan metropolitan hasil yang dicapai adalah: (1) perencanaan kawasan permukiman perkotaan (2) penguatan kelembagaan di kawasan metropolitan; (3) pengembangan Program Peremajaan Kawasan Permukiman Kota; (4) pembentukan/ Penguatan Forum Permukiman dalam Upaya Penanganan Kawasan Permukiman Perkotaan; (5) fasilitasi Pengendalian dan Penataan Kawasan Kumuh (Bappenas, 2007).

Selanjutnya menurut Bappenas (2007) dinyatakan bahwa pada tahun 2007, kegiatan-kegiatan pokok yang dilakukan dalam mengembangkan keterkaitan pembangunan antar kota yaitu: pengembangan konsep manajemen dan koordinasi pelayanan lintas kota, pembinaan penataan kota, fasilitasi kerjasama antar pemerintah kota, pengembangan asset manajemen perkotaan, dan

Pembangunan Sektor Perkotaan/Urban Sector Development Reform Project

(USDRP). Dalam pengembangan kota kecil menengah, kegiatan-kegiatan yang dilakukan adalah fasilitasi pengembangan perkotaan untuk Pemerintah Daerah, penyusunan petunjuk teknis peningkatan kualitas permukiman perkotaan, penyusunan petunjuk penyusunan rencana induk sistem pengembangan perkotaan, serta pendampingan penyusunan PJM infrastruktur kota untuk Pemerintah Daerah. Sedangkan dalam pengendalian kota besar dan metro, kegiatan yang


(45)

28 dilakukan adalah peningkatan kapasitas aparat daerah dalam pengelolaan wilayah metropolitan, pembinaan pengembangan kinerja perkotaan, penyusunan konsep pengembalian fungsi kawasan permukiman di metropolitan; pengembalian fungsi kawasan permukiman metropolitan melalui peremajaan di 15 (lima belas) kota; penyiapan jakstra penataan ruang dan rencana tindak pengembangan kota-kota besar dan metropolitan pada kawasan perkotaan dan metropolitan, serta pengembangan kelembagaan penataan ruang kota-kota besar dan metropolitan di 1 (satu) kota metropolitan.

Guna mendukung perwujudan kondisi aman dan damai, perlu tersedia prasarana dan sarana transportasi untuk mendukung percepatan pembangunan daerah termasuk daerah tertinggal dan kawasan perbatasan, mempererat hubungan antar wilayah dalam rangka menjaga keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta menunjang tindakan pencegahan dan penyelesaian konflik di daerah rawan konflik. Dalam rangka menunjang perwujudan Indonesia yang adil dan demokratis, maka peranan transportasi diperlukan untuk menjembatani kesenjangan dan mendorong pemerataan hasil-hasil pembangunan. Tersedianya pelayanan transportasi antar wilayah yang mendorong dan meningkatkan perdagangan antar wilayah, mengurangi perbedaan harga antar wilayah, meningkatkan mobilitas dan pemerataan tenaga kerja untuk mendorong terciptanya kesamaan kesempatan pembangunan wilayah. Pemerataan pelayanan transportasi secara adil dan demokratis juga dimaksudkan agar setiap lapisan masyarakat bisa mendapatkan kebutuhan pelayanan jasa transportasi secara mudah dan terjangkau (Tatrawil. 2006).

Keberimbangan Wilayah

Wilayah adalah unit geografis dengan batas-batas tertentu, dimana

komponen-komponen dari wilayah tersebut saling berinteraksi secara fungsional. Beberapa komponen wilayah adalah seperti biofisik alam, sumber daya buatan (infrastruktur), sumber daya manusia serta bentuk-bentuk kelembagaannya. Dengan demikian istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia dengan sumber-sumber daya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis

tertentu. Oleh karenanya istilah wilayah (region) sangat umum dipakai, baik


(46)

Keragaman didalam mendefinisikan konsep “wilayah” terjadi karena perbedaan di dalam permasalahan-permasalahan wilayah ataupun tujuan-tujuan pengembangan wilayah yang dihadapi. Dalam kenyataannya tidak ada konsep “wilayah” yang benar-benar diterima secara luas. Para ahli cenderung melepaskan perbedaan-perbedaan konsep wilayah dan lebih fokus pada masalah dan tujuan-tujuan pengembangan wilayah. Di Indonesia, perbedaan itu tampak dalam penggunaan terminologi “kawasan” dan “daerah”, dimana pengertian “kawasan” umumnya merupakan suatu unit wilayah yang mempunyai batasan dan sistem berdasarkan aspek fungsional, sedangkan pengertian “daerah” umumnya merupakan unit wilayah yang mempunyai batasan atau sistem berdasarkan aspek administratif.

Wilayah bukan merupakan suatu wilayah tunggal dan tertutup tetapi merupakan suatu kesatuan wilayah yang berinteraksi antara satu wilayah dengan wilayah lain. Wilayah akan berkembang bila berhubungan dengan wilayah lain. Untuk mencapai perkembangan wilayah yang ideal, Rondinelli (1985) memperkenalkan konsep pengembangan wilayah (spasial) yang terdiri dari tiga

konsep yaitu: 1) konsep kutub pertumbuhan (growth pole); 2) keterpaduan

fungsional-spasial; dan 3) pendekatan decentralized territorial.

Konsep growth pole, menekankan pada investasi masive pada industri padat

modal di pusat-pusat urban utama; pemerintah di negara-negara berkembang hendaknya dapat mendorong dan mampu menyebarkan pertumbuhan wilayah sehingga memiliki dampak yang lebih luas terhadap pembangunan ekonomi wilayah; kemudian kota-kota utama yang telah terbangun hendaknya: a) dapat

segera mengembalikan investasi (return of investmen), b) dapat mendukung

pelayanan komersial, c) menyediakan infrastruktur dan pelayanan administrasi sesuai dengan kebutuhan industri yakni dapat bekerja secara efisien; dan

d) adanya perluasan”diversifikasi” pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. Kondisi

dimaksud dapat dicapai dengan asumsi bahwa proses produksi di wilayah growth

pole dapat diekspor ke kota-kota metropolitan dan dapat menyebar secara luas,

kemudian bahan baku selalu tersedia dan ada efek penetasan kebawah “trickle

down effect”. Dengan demikian, kutub pertumbuhan berperan sebagai mesin


(47)

30 Namun demikian, konsep ini pada umumnya telah gagal menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi wilayah. Kasus ini terjadi di negara berkembang seperti

Amerika Latin dan Afrika. Proses penetesan (trickle down) tidak mampu

menggerakkan perekonomian wilayah malahan terjadi “enclave” dari sektor

ekonomi moderen yang menguras, mengalirkan bahan baku, modal dan tenaga kerja, serta bakat-bakat wirausaha dari wilayah pedesaan sekelilingnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Hansen (1982), proses penetasan dari sektor ekonomi moderen telah gagal menyentuh kelompok miskin, terutama di daerah pedesaaan, atau tidak memberikan keuntungan yang dapat memberi manfaat sedikitpun. Dia menambahkan bahwa pendapat yang meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan perkapita suatu wilayah tidak didukung

oleh fakta-fakta empiris. Dengan demikian, konsep growth pole yang gagal

menjadi pertumbuhan ekonomi wilayah menyebabkan kesenjangan wilayah. Kondisi kesenjangan di Indonesia sampai saat ini masih menjadi salah satu permasalahan pembangunan regional dan daerah yang belum dapat diselesaikan secara baik. Salah satu indikatornya adalah adanya kesenjangan pembangunan antar daerah. Kesenjangan ini pada akhirnya menimbulkan masalah dalam konteks makro. Potensi konflik antar daerah/wilayah menjadi besar, wilayah-wilayah yang dulu kurang tersentuh pembangunan mulai menuntut hak-haknya. Demikian pula hubungan antar wilayah telah membentuk suatu interaksi yang

saling memperlemah. Wilayah-wilayah hinterland menjadi lemah karena

eksploitasi sumber daya yang berlebihan. Semua komponen masyarakat, terutama para pelaku bisnis dan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, dituntut untuk lebih peka dan tanggap terhadap perubahan lingkungan yang penuh tantangan dan kendala (Bappenas, 2007).

Selanjutnya menurut Bapapenas (2007), meskipun hal tersebut sudah disadari oleh pemerintah, dan pemerintah terus melaksanakan berbagai program pembangunan di wilayah cepat tumbuh, potensial dan tertinggal, dengan maksud dapat mengurangi kesenjangan antar wilayah, namun ternyata program-program tersebut belum mampu mengatasi persoalan kesenjangan antar wilayah. Penyebabnya karena program-program ini lebih menekankan pada pengembangan aspek ekonomi wilayah melalui pendekatan pengembangan pusat-pusat


(48)

pertumbuhan, yang seringkali mengakibatkan adanya pengurasan oleh pusat-pusat

pertumbuhan terhadap sumbe rdaya di wilayah hinterland-nya. Disamping itu,

beberapa program pengembangan wilayah yang pernah dilakukan pada masa lalu, banyak yang tidak memiliki batasan wilayah pelaksanaan yang jelas, sehingga menyulitkan dalam pengendalian, monitoring, evaluasi proyek/program yang telah dilaksanakan. Masalah lain adalah terdapat ketidak-efisienan antar program di suatu wilayah. Untuk meminimalkan permasalahan tersebut maka perlu suatu strategi pengembangan kawasan yang mampu mengurangi kesenjangan antar

wilayah dan mewujudkan pengembangan antar kawasan yang berimbang (

inter-regional berimbang).

Menurut Rustiadi (2001), pembangunan regional yang berimbang merupakan sebuah pertumbuhan yang merata dari wilayah yang berbeda untuk meningkatkan pengembangan kapabilitas dan kebutuhan mereka. Hal ini tidak selalu berarti bahwa semua wilayah harus mempunyai perkembangan yang sama, atau mempunyai tingkat industrialisasi yang sama atau mempunyai pola ekonomi yang sama, atau mempunyai kebutuhan pembangunan yang sama. Akan tetapi yang lebih penting adalah adanya “pertumbuhan yang seoptimal mungkin dari potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah sesuai dengan kapasitasnya”. Dengan demikian diharapkan keuntungan dari pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan merupakan hasil dari sumbangan interaksi yang saling memperkuat diantara semua wilayah yang terlibat.

Keseimbangan antar kawasan menjadi penting karena keterkaitan yang bersifat simetris akan mampu mengurangi disparitas antar wilayah dan pada akhirnya mampu memperkuat pembangunan ekonomi secara menyeluruh. Seperti halnya bagian tubuh manusia, ketidakseimbangan pertumbuhan wilayah akan mengakibatkan kondisi yang tidak stabil.

Analisa Spasial

Perencanaan pembangunan wilayah adalah konsep yang utuh dan menyatu dengan pembangunan wilayah. Secara luas, perencanaan pembangunan wilayah diartikan sebagai suatu upaya merumuskan dan mengaplikasikan kerangka teori kedalam kebijakan ekonomi dan program pembangunan yang didalamnya mempertimbankan aspek wilayah dengan mengintegrasikan aspek sosial dan


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)