Kelembagaan Dan Adaptasi Ekologi Komunitas Desa Muara Dalam Rehabilitasi Mangrove

(1)

KELEMBAGAAN DAN ADAPTASI EKOLOGI KOMUNITAS

DESA MUARA DALAM REHABILITASI MANGROVE

RIFAYANA

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2015


(2)

(3)

iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kelembagaan dan Adaptasi Ekologi Komunitas Desa Muara dalam Rehabilitasi Mangrove adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2015 Rifayana NIM I34110102


(4)

(5)

v

ABSTRAK

RIFAYANA. Kelembagaan dan Adaptasi Ekologi Komunitas Desa Muara dalam Rehabilitasi Mangrove. Dibimbing oleh FREDIAN TONNY NASDIAN.

CSR PT Pertamina telah melaksanakan pengembangan masyarakat berbasis ekosistem melalui rehabilitasi mangrove di Desa Muara sebagai tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Menganalisis keberlanjutan kelembagaan komunitas rehabilitasi mangrove di Desa Muara; (2) Menganalisis kemampuan adaptasi ekologi komunitas rehabilitasi mangrove di Desa Muara; dan (3) Menganalisis hubungan keberlanjutan kelembagaan dengan kemampuan adaptasi ekologi di Desa Muara. Penelitian ini dilakukan dengan metode kuantitatif dan kualitatif menggunakan kuesioner serta wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberlanjutan kelembagaan berada pada kategori unsustain dengan persentase 74.1 %, sedangkan kemampuan adaptasi ekologi berada pada kategori tinggi dengan persentase 92.6 %. Kemudian hasil uji korelasi Rank Spearman menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara variabel keberlanjutan kelembagaan dengan kemampuan adaptasi ekologi komunitas Desa Muara dalam rehabilitasi mangrove.

Kata kunci: Adaptasi Ekologi, Corporate Social Responsibility (CSR), Keberlanjutan Kelembagaan

ABSTRACT

RIFAYANA. Institutional and Ecology Adaptation of Muara Community in Mangrove Rehabilitation. Supervised by FREDIAN TONNY NASDIAN.

CSR of PT Pertamina has been implementing an ecosystem-based community development through mangrove rehabilitation in the village of Muara as a form of social and environmental responsibility of the company. The purpose of this study are: (1) Analyze the institutional sustainability of mangrove rehabilitation community in the village of Muara; (2) Analyze the adaptability of the ecological community after participating in mangrove rehabilitation activities in the village of Muara; and (3) to analyze the correlation of the community institutional sustainability and ecological adaptability in the village of Muara. This research was conducted with quantitative and qualitative methods using questionnaires and in-depth interview. The results showed that institutional sustainability is in the category unsustain with percentage 74.1%, while the ecological adaptability at high category with a percentage of 92.6%. Then Spearman Rank correlation test results stated that there was no correlation between the variables of institutional sustainibility with ecology adaptability of Muara community in mangrove rehabilitation.

Keywords: Adaptation Ecology, Corporate Social Responsibility (CSR), Institutional Sustainability


(6)

(7)

vii

KELEMBAGAAN DAN ADAPTASI EKOLOGI KOMUNITAS

DESA MUARA DALAM REHABILITASI MANGROVE

RIFAYANA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2015


(8)

(9)

ix

Judul Skripsi : Kelembagaan dan Adaptasi Ekologi Komunitas Desa Muara dalam Rehabilitasi Mangrove

Nama : Rifayana NIM : I34110102

Disetujui oleh

Ir Fredian Tonny Nasdian, MS Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Siti Amanah, MSc Ketua Departemen


(10)

(11)

xi

PRAKATA

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat-Nya serta kesempatan sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan skripsi dengan baik. Laporan skripsi yang berjudul “Kelembagaan dan Adaptasi Ekologi

Komunitas Desa Muara dalam Rehabilitasi Mangrove” membahas tentang bagaimana hubungan keberlanjutan kelembagaan dengan kemampuan adaptasi ekologi komunitas rehabilitasi mangrove di Desa Muara. Laporan skripsi ini ditujukan untuk mendapat gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih pun penulis sampaikan kepada berbagai pihak yang telah memberikan dukungan dan kontribusi selama proses pembuatan karya ilmiah. Pertama penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Ir Fredian Tonny Nasdian, MS selaku dosen pembimbing yang telah membimbing, mendukung dan memberikan inspirasi. Selanjutnya Penulis sampaikan terima kasih kepada keluarga yang telah memberikan dukungan dan doa kepada penulis. Tak lupa terima kasih kepada teman-teman sebimbingan dan seluruh teman-teman Departemen SKPM 48 serta teman-teman dalam lingkup Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kontribusi dan semangatnya kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan skripsi ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran penulis harapkan. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Juni 2015 Rifayana


(12)

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Masalah Penelitian 3

Tujuan Penelitian 4

Kegunaan Penelitian 5

PENDEKATAN TEORITIS 7

Tinjauan Pustaka 7

Corporate Social Responsibility 7

Adaptasi Ekologi 9

Kelembagaan 11

Ekosistem Mangrove 13

Kerangka Pemikiran 14

Hipotesis Penelitian 15

Hipotesis Uji 15

Definisi Operasional 15

PENDEKATAN LAPANGAN 19

Metode Penelitian 19

Lokasi dan Waktu 19

Teknik Pengumpulan Data 19

Teknik Pengolahan dan Analisis Data 21

PROFIL KOMUNITAS DESA 23


(14)

Kondisi Geografis 23

Karakteristik Penduduk 24

Mobilitas Penduduk 26

Struktur Sosial 26

Kondisi Ekonomi 26

Kondisi Pendidikan 28

Stratifikasi Sosial 29

Pola Kebudayaan Masyarakat 29

Pola-Pola Adaptasi Ekologi Masyarakat 30

Karakteristik Responden 31

Pendidikan 31

Golongan Umur 32

Mata Pencaharian 32

Ikhtisar 34

PROGRAM-PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) PT PERTAMINA

37

Pertamina Sobat Bumi 37

Investasi Sosial dengan PKBL (Program Kemitraan dan Bina Lingkungan)

40

Program Rehabilitasi Mangrove 40

Ikthisar 49

KEBERLANJUTAN KELEMBAGAAN 51

Keseimbangan Pelayanan-Peranserta 51

Demokrasi 53

Transparansi 54

Akuntabilitas 55

Jejaring Kelembagaan 57

Keberlanjutan Kelembagaan 58


(15)

iii

KEMAMPUAN ADAPTASI EKOLOGI 65

Teknologi Eksploitasi Sumberdaya Alam 65

Kepadatan Agraris 67

Kemampuan Adaptasi Ekologi 69

Ikthisar 71

HUBUNGAN KEBERLANJUTAN KELEMBAGAAN DENGAN

KEMAMPUAN ADAPTASI EKOLOGI

73

Hubungan Keberlanjutan Kelembagaan dengan Teknologi Eksploitasi Sumberdaya Alam

73

Hubungan Keberlanjutan Kelembagaan dengan Kepadatan Agraris 74 Hubungan Keberlanjutan Kelembagaan dengan Kemampuan Adaptasi Ekologi

75

Ikhtisar 76

SIMPULAN DAN SARAN 77

Simpulan 77

Saran 77

DAFTAR PUSTAKA 79

LAMPIRAN 81


(16)

DAFTAR TABEL

1 Metode Pengumpulan Data 20

2 Jumlah dan reit pertumbuhan penduduk laki-laki dan perempuan di Desa Muara Tahun 2011-2014

25 3 Jumlah dan persentase penduduk berdasarkan agama di Desa Muara

Tahun 2014

25 4 Jumlah dan persentase penduduk berdasarkan jenis mata pencaharian

di Desa Muara Tahun 2014

26 5 Jumlah kelembagaan ekonomi di Desa Muara Tahun 2014 27 6 Rasio jumlah murid per guru dan jumlah murid per sekolah pada

tingkatan pendidikan PAUD, SD, dan SMP di Desa Muara Tahun 2014 28 7 Jumlah dan persentase penduduk berdasarkan tingkat pendidikan di

Desa Muara Tahun 2014

28 8 Jumlah dan persentase anggota kelompok rehabilitasi mangrove

berdasarkan tingkat pendidikan di Desa Muara Tahun 2015

31 9 Jumlah dan persentase anggota kelompok rehabilitasi mangrove

berdasarkan golongan umur di Desa Muara Tahun 2015

32 10 Jumlah dan persentase anggota kelompok rehabilitasi mangrove

berdasarkan mata pencaharian di Desa Muara Tahun 2015

33 11 Jumlah dan persentase anggota kelompok rehabilitasi mangrove

berdasarkan tingkat pendidikan dan mata pencaharian di Desa Muara Tahun 2015

33

12 Jumlah dan persentase anggota kelompok rehabilitasi mangrove berdasarkan keseimbangan pelayanan-peranserta di Desa Muara Tahun 2015

51

13 Jumlah dan persentase anggota kelompok rehabilitasi mangrove berdasarkan demokrasi di Desa Muara Tahun 2015

53 14 Jumlah dan persentase anggota kelompok rehabilitasi mangrove

berdasarkan transparansi di Desa Muara Tahun 2015

54 15 Jumlah dan persentase anggota kelompok rehabilitasi mangrove

berdasarkan akuntabilitas di Desa Muara Tahun 2015

56 16 Jumlah dan persentase anggota kelompok rehabilitasi mangrove

berdasarkan jejaring kelembagaan di Desa Muara Tahun 2015

57 17 Jumlah dan persentase anggota kelompok rehabilitasi mangrove

berdasarkan keberlanjutan kelembagaan di Desa Muara 2015

59 18 Jumlah dan persentase anggota kelompok rehabilitasi mangrove

berdasarkan teknologi eksploitasi SDA mangrove di Desa Muara Tahun 2015

66

19 Jumlah dan persentase anggota kelompok rehabilitasi mangrove berdasarkan kepadatan agraris di Desa Muara Tahun 2015

68 20 Jumlah dan persentase anggota kelompok rehabilitasi mangrove

berdasarkan kemampuan adaptasi ekologi di Desa Muara Tahun 2015 70 21 Jumlah dan persentase anggota kelompok rehabilitasi mangrove

rehabilitasi mangrove berdasarkan keberlanjutan kelembagaan dan teknologi eksploitasi SDA di Desa Muara Tahun 2015


(17)

v

22 Jumlah dan persentase anggota kelompok rehabilitasi mangrove berdasarkan keberlanjutan kelembagaan dan kepadatan agraris di Desa Muara Tahun 2015

74

23 Jumlah dan persentase anggota kelompok rehabilitasi mangrove berdasarkan keberlanjutan kelembagaan dan kemampuan adaptasi ekologi di Desa Muara Tahun 2015

75

DAFTAR GAMBAR

1 Keterkaitan integratif Tripple Bottom Line 8

2 Ekologi Kebudayaan Clifford Geertz 10

3 Tipologi kelembagaan komunitas lokal 13

4 Kerangka Pemikiran 14

5 Persentase penduduk berdasarkan golongan umur di Desa Muara Tahun 2015

24 6 Penanaman yang telah dilakukan pada tahun 2012 44 7 Persentase anggota kelompok rehabilitasi mangrove berdasarkan

keseimbangan pelayanan-peranserta di Desa Muara Tahun 2015

52 8 Persentase anggota kelompok rehabilitasi mangrove berdasarakan

demokrasi di Desa Muara Tahun 2015

53 9 Persentase anggota kelompok rehabilitasi mangrove berdasarkan

transparansi di Desa Muara Tahun 2015

55 10 Persentase anggota kelompok rehabilitasi mangrove berdasarkan

akuntabilitas di Desa Muara Tahun 2015

56 11 Persentase anggota kelompok rehabilitasi mangrove berdasarkan

jejaring kelembagaan di Desa Muara Tahun 2015

58 12 Persentase anggota kelompok rehabilitasi mangrove berdasarkan

keberlanjutan kelembagaan di Desa Muara Tahun 2015

60 13 Persentase anggota kelompok rehabilitasi mangrove berdasarkan

teknologi eksploitasi SDA mangrove di Desa Muara Tahun 2015

66 14 Persentase anggota kelompok rehabilitasi mangrove berdasarkan

kepadatan agraris di Desa Muara Tahun 2015

69 15 Persentase anggota kelompok rehabilitasi mangrove berdasarkan

kemampuan adaptasi ekologi di Desa Muara Tahun 2015

71

DAFTAR LAMPIRAN

1 Jadwal Penelitian 82

2 Peta Lokasi Penelitian 83

3 Anggota Kelompok Rehabilitasi Mangrove di Desa Muara 84

4 Hasil Uji Korelasi Rank Spearman 85


(18)

6 Dokumentasi 91 7 Lokasi, jumlah, dan jenis tanaman, serta teknik penanaman dalam

rangka kegiatan penyulaman di Desa Muara dan Desa Lemo

93


(19)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sampai dengan dekade 1980-an perencanaan dan strategi pembangunan masih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi (economic growth). Filosofi pertumbuhan ekonomi dilatarbelakangi oleh Teori Neo-Klasik dimana pertumbuhan merupakan fungsi dari modal dan teknologi sedangkan sumberdaya alam sama sekali tidak diperhitungkan karena dianggap pemberian alam yang melimpah (An-Naf 2005). Indonesia sebagai negara berkembang yang kaya akan sumberdaya alam, mengunggulkan pemanfaatan sumberdaya alam sebagai upaya mengejar pertumbuhan ekonomi. Tidak heran jika kemudian banyak perusahaan yang hadir dan berdiri di Indonesia baik swasta maupun badan usaha milik negara untuk mengeksploitasi sumberdaya alam tersebut. Sensus ekonomi tahun 2006 (SE06) yang dilakukan Badan Pusat Statistik menunjukkan terdapat 22.74 juta perusahaan/usaha di Indonesia (BPS 2008). Pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagai buah keberhasilan pembangunan telah menimbulkan dampak negatif terhadap ketersedian sumberdaya alam dan kualitas lingkungan. Berdasarkan permasalahan tersebut, dibutuhkan paradigma baru pembangunan, baik mengenai arah, strategi maupun kebijakan, agar berbagai masalah yang muncul dapat dipecahkan tanpa menimbulkan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan (Saptana dan Ashari 2007). Maka lahirlah paradigma baru dalam pembangunan yaitu paradigma pembangunan berkelanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan yaitu suatu upaya pembangunan yang menjamin pemenuhan kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang. Upaya ini dilakukan dengan mengintegrasikan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan di dalam program pembangunan.

Dalam kaitannya dengan perusahaan sebagai salah satu stakeholder yang memanfaatkan sumberdaya alam, maka perusahaan memiliki tanggung jawab atas lingkungan dan komunitas sekitar perusahaan. Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyebutkan, “Setiap perusahaan yang berkaitan dengan sumberdaya akan wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.” Upaya tersebut dapat dibuktikan dengan tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility.

Tanggung jawab sosial atau Corporate Social Responsibility adalah tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan dan komunitas sekitar perusahaan akibat proses produksi perusahaan yang mungkin memberikan dampak negatif terhadap komunitas lokal dan lingkungan. Sehingga perusahaan perlu menjalin komunikasi yang baik dengan komunitas sekitar perusahaan. Tidak hanya itu perusahaan diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat dan berperan serta dalam melestarikan lingkugan. Dengan begitu kemungkinan konflik dengan masyarakat ataupun kerusakan lingkungan dapat diminimalisir.

Pada umumnya tanggung jawab sosial perusahaan diwujudkan melalui program-program yang disalurkan kepada masyarakat ataupun kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk melestarikan lingkungan saja. Dan tidak sedikit perusahaan yang juga mewujudkan tanggung jawabnya sebatas pada kedermawanan atau


(20)

charity kepada masyarakat. Sehingga tidak menciptakan kemandirian bahkan hanya menimbulkan ketergantungan di kalangan masyarakat. Maka program pengembangan masyarakat perlu diupayakan kepada masyarakat untuk meningkatakan kualitas sumberdaya manusia dan pada akhirnya meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Selama ini pengembangan masyarakat hanya menekankan pada peningkatan ekonomi atau kesejahteraan masyarakat. Peningkatan kesejahteraan ditandai oleh peningkatan pendapatan. Sehingga yang menjadi fokus utama pengembangan masyarakat adalah hanya pada pencapaian peningkatan ekonomi tersebut. Namun sebenarnya ada pula hal yang tidak kalah penting dari pada itu. Hubungan manusia dengan lingkungan sekitar sangat perlu diperhatikan. Sehingga sumberdaya-sumberdaya yang ada jangan sampai tereksploitasi melebihi kapasitas daya dukungnya. Jika sumberdaya alam dikelola dengan tidak mempertimbangkan kemampuan ekosistem, maka bukan tidak mungkin akan terjadi kerusakan yang diakibatkan ketidakseimbangan pengelolaan sumberdaya alam di dalam ekosistem. Karena pada dasarnya alam bekerja lebih efisien daripada pengelolaan sumberdaya yang dilakukan oleh manusia.

Sama halnya dalam kegiatan pembangunan nasional, model-model pengembangan masyarakat dalam kegiatan pembangunan, terjadi kecenderungan masih adanya penyeragaman model pengembangan masyarakat diantara daerah. Sebab tiap daerah memiliki karakteristik masing-masing. Karakteristik itu menjadi keunikan sebuah ekosistem (Hasim dan Remiswal 2009). Maka dari itu penting untuk memperhatikan bagaimana kekhasan suatu ekosistem dapat mendukung proses pengembangan masyarakat. Artinya program pengembangan masyarakat dapat disesuaikan dengan ekosistem yang ada pada komunitas tersebut. Sehingga melalui pengembangan masyarakat berbasis ekosistem dapat tercapai pembangunan berkelanjutan.

PT Pertamina merupakan perusahaan milik negara yang bergerak di bidang energi meliputi minyak, gas serta energi baru dan terbarukan. Sejak didirikan pada 10 Desember 1957, Pertamina menyelenggarakan usaha minyak dan gas bumi di sektor hulu hingga hilir. Bisnis sektor hulu Pertamina yang dilaksanakan di beberapa wilayah di Indonesia dan luar negeri meliputi kegiatan di bidang-bidang eksplorasi, produksi, serta transmisi minyak dan gas. Sektor hilir Pertamina meliputi kegiatan pengolahan minyak mentah, pemasaran dan niaga produk hasil minyak, gas dan petrokimia, dan bisnis perkapalan terkait untuk pendistribusian produk Perusahaan. Produk yang dihasilkan meliputi bahan bakar minyak (BBM) seperti premium, minyak tanah, minyak solar, minyak diesel, minyak bakar dan Non BBM seperti pelumas, aspal, Liquefied Petroleum Gas (LPG), Musicool, serta Liquefied Natural Gas (LNG), Paraxylene, Propylene, Polytam, PTA dan produk lainnya.1

Sebagai perusahaan yang bergerak di bidang sumberdaya, PT Pertamina memiliki program-program CSR yang telah dilaksanakan di beberapa wilayah di Indonesia. Salah satu programnya adalah rehabilitasi hutan mangrove di Desa Muara, Kecamatan Teluk Naga, Kabupaten Tangerang, Banten. Kegiatan rehabilitasi hutan mangrove merupakan upaya PT Pertamina untuk menanggulangi kerusakan hutan mangrove yang ada di desa tersebut. Namun tidak hanya itu,


(21)

3

rehabilitasi hutan mangrove sekaligus memperbaiki mata pencaharian masyarakat sekitar hutan mangrove. Hal ini dikarenakan kelestarian hutan mangrove berdampak langsung kepada kelangsungan hidup satwa yang hidup di sekitar perairan hutan mangrove. Satwa tersebut yaitu, ikan, kepiting, dan udang. Sehingga nelayan yang biasa menangkap ikan, kepiting, dan udang pun merasakan peningkatan tangkapannya. Upaya tersebut merupakan salah satu bentuk pengembangan masyarakat yang didasarkan pada kemampuan dan kekhasan ekosistem.

Adanya rehabilitasi mangrove bukan tanpa alasan. Terjadinya perubahan ekologi, terutama berkenaan dengan penurunan stabilitas ekosistem sejak terjadinya penurunan jumlah dan kualitas sumberdaya mangrove akibat meningkatnya jumlah populasi dan kualitas aktivitas masyarakat atau pihak lain di Desa Muara. Kerusakan hutan mangrove di dalam kawasan hutan sekitar 1.7 juta hektar atau 44.73 % dan kerusakan di luar kawasan hutan 4.2 juta hektar atau 87.50 %, antara tahun 1982-1992 telah terjadi pengurangan hutan mangrove seluas 513.670 hektar atau 46.697 hektar per tahunnya di Indonesia (Gunawan dan Anwar dalam Bismark, dkk. 2010). Maka rehabilitasi mangrove dijadikan sebagai upaya memperbaiki penurunan stabilitas ekosistem yang sudah terjadi di Desa Muara. Kemudian kegiatan rehabilitasi mangrove tersebut membentuk suatu kelembagaan di dalam masyarakat Desa Muara. Kelembagaan yakni tata cara, aturan dan lainnya yang dapat mengatur perilaku masyarakat terhadap lingkungannya. Kelembagaan tersebut dapat saja sebatas pada norma atau aturan dan tatacara, atau pun sudah menjadi sebuah organisasi masyarakat yang terstruktur yang juga memiliki aturan dan tata cara dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya mangrove. Tentu agar rehabilitasi mangrove ini berhasil dalam arti dapat mengembalikan kestabilan ekosistem di kawasan tersebut perlu untuk menjaga keberlanjutan kelembagaan agar masyarakat memiliki kemampuan adaptasi ekologi yang dapat menjamin keseimbangan ekosistem. Sehingga keberlanjutan kelembagaan komunitas menjadi penting dalam meningkatkan kemampuan adaptasi ekologi masyarakat Desa Muara untuk terus berupaya menjaga dan melestarikan hutan mangrove. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan utama penelitian yakni sejauhmana hubungan keberlanjutan kelembagaan dengan kemampuan adaptasi ekologi komunitas Desa Muara dalam rehabilitasi mangrove.

Masalah Penelitian

Desa Muara merupakan salah satu desa yang dipilih CSR PT Pertamina sebagai desa yang diberikan program rehabilitasi terhadap hutan mangrove yang telah rusak. Pemilihan desa bukan tanpa alasan, Desa Muara merupakan desa yang terletak di pesisir pantai. Seperti pesisir pada umumnya, desa ini ditumbuhi pohon-pohon mangrove. Namun beberapa tahun terakhir telah terjadi penurunan jumlah dan kualitas mangrove di desa tersebut. Hal ini disebabkan oleh aktivitas baik dari masyarakat, pihak luar atau swasta, dan perubahan lingkungan itu sendiri. Amanah dan Narni (2014) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa nelayan di Desa Muara dihadapkan pada kondisi sumberdaya pesisir dan laut yang semakin menurun kualitasnya meliputi pencemaran air laut oleh limbah pabrik, muara dengan sedimentasi semakin tinggi, dan kelembagaan nelayan yang perlu berkembang


(22)

menjadi lebih kuat dan terorganisir. Kondisi tersebut berimplikasi pada kerusakan hutan mangrove di Desa Muara.

Untuk menanggulangi permasalahan kerusakan hutan mangrove yaitu penurunan jumlah dan kualitas mangrove, CSR PT Pertamina telah memberikan program rehabilitasi mangrove sejak tahun 2012. Kemudian kegiatan rehabilitasi mangrove oleh CSR PT Pertamina membentuk suatu kelompok yang terdiri dari masyarakat Desa Muara. Anggota kelompok tersebut diberikan penyuluhan terkait mangrove dan dilibatkan penuh dalam pelaksanaan rehabilitasi mangrove. Proses pelaksanaan rehabilitasi mangrove diawali dengan mencari benih kemudian disemai atau bisa langsung ditanam. Benih yang disemai akan ditanam dilapang pada umur tertentu. Kegiatan tersebut dilakukan dengan pemberian upah bagi anggota kelompok yang melakukan kegiatan tersebut. Interaksi tersebut menunjukkan tata cara atau aturan dalam kelompok baik sesama anggota maupun anggota kelompok dengan pihak lainnya. Interaksi tersebut tidak dapat hanya dikatakan sebagai kelembagaan sebagai pranata sosial namun lebih lagi interaksi tersebut telah memiliki kelompok sebagai wadah kelembagaan. Berdasarkan pernyataan tersebut maka dianalisis bagaimana keberlanjutan kelembagaan komunitas rehabilitasi mangrove di Desa Muara?

Kelembagaan yang dibentuk bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan mengubah perilaku masyarakat terhadap lingkungan khususnya sumberdaya mangrove di Desa Muara. Kegiatan rehabilitasi mangrove mengajak masyarakat untuk menanam dan memelihara mangrove sebagai bagian penting dari ekosistem pesisir. Sehingga meningkatkan kemampuan adaptasi ekologi komunitas Desa Muara. Berdasarkan pernyataan tersebut maka dianalisis bagaimana kemampuan adaptasi ekologi komunitas Desa Muara dalam rehabilitasi mangrove?

Keberlanjutan kelembagaan komunitas rehabilitasi mangrove menjadi penting dalam meningkatkan kemampuan adaptasi ekologi komunitas. Kemampuan adaptasi ekologi komunitas akan semakin baik apabila kelembagaan tersebut kuat. Berdasarkan pernyataan tersebut maka dianalisis sejauhmana hubungan keberlanjutan kelembagaan dengan kemampuan adaptasi ekologi komunitas Desa Muara dalam rehabilitasi mangrove?

Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan keberlanjutan kelembagaan dengan kemampuan adaptasi ekologi komunitas Desa Muara dalam rehabilitasi mangrove. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini, sebagai berikut:

1. Menganalisis keberlanjutan kelembagaan komunitas rehabilitasi mangrove di Desa Muara.

2. Menganalisis kemampuan adaptasi ekologi komunitas Desa Muara dalam rehabilitasi mangrove.


(23)

5

Kegunaan Penelitian Penelitian ini memiliki kegunaan sebagai berikut:

1. Bagi perusahaan, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pertimbangan bagi perusahaan dalam implementasi tanggung jawab sosial perusahaan.

2. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan hubungan keberlanjutan kelembagaan dengan kemampuan adaptasi ekologi komunitas.

3. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai tanggung jawab sosial perusahaan kepada masyarakat.


(24)

(25)

PENDEKATAN TEORITIS

Tinjauan Pustaka Corporate Social Responsibility (CSR)

Corporate Social Responsibility (CSR) telah banyak didefinisikan oleh berbagai ahli. Dari berbagai defnisi, World Bank dalam Ambadar (2008), mendefinisikan Corporate Social Responsibility sebagai “the commitment of business to contribute to sustainable economic development working with employees and their representatives the local community and society at large to improve quality of life, in ways that are both good for business and good for development”. Jika diterjemahkan: komitmen dunia usaha untuk memberikan sumbangan guna menopang bekerjanya pembangunan ekonomi bersama karyawan dan perwakilan-perwakilan mereka dalam komunitas setempat dan masyarakat luas untuk meningkatkan taraf hidup, intinya CSR tersebut adalah baik bagi keduanya, untuk dunia usaha dan pembangunan.

Wibisono (2007) mendefinisikan CSR sebagai tanggung jawab perusahaan kepada para pemangku kepentingan untuk berlaku etis, meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak postif yang mencakup aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan (tripple bottom line) dalam rangka mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Ambadar (2008) mengungkapkan bahwa Corporate Social Resposibility (CSR) merupakan salah satu upaya dalam menciptakan keberlangsungan usaha dalam menciptakan dan memelihara keseimbangan antara mencetak keuntungan, fungsi-fungsi sosial dan pemeliharaan lingkungan hidup (triple bottom line).

Teori “the triple bottom line” (3Ps) diperkenalkan oleh Jhon Elkingkton (1997) yang terdiri dari people, profit, dan planet. Dimana terintegrasinya antara profit dan planet menghasilkan bisnis yang berkelanjutan, profit dan people menghasilkan etika bisnis, sedangkan planet dan people menghasilkan efisiensi bisnis yang berbasis ekosistem (Nurdizal, dkk. 2011).

1. Profit: Perusahaan tetap harus berorientasi untuk mencari keuntungan ekonomi yang memungkinkan terus beroperasi dan berkembang.

2. People: Perusahaan harus memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan manusia. Beberapa perusahaan mengembangkan CSR seperti pemberian beasiswa bagi pelajar sekitar perusahaan, pendirian sarana pendidikan dan kesehatan, penguatan kapasitas ekonomi lokal, dan bahkan ada perusahaan yang merancang berbagai skema perlindungan sosial bagi warga setempat. 3. Planet: Perusahaan peduli terhadap lingkungan hidup dan keberlanjutan

keragaman hayati. Beberapa program CSR yang berpijak pada prinsip ini biasanya berupa penghijauan lingkungan hidup, penyediaan sarana air bersih, perbaikan permukiman, dan pengembangan parawisata.


(26)

(Sumber: John Elkington dalam Nurdizal, dkk. 2011)

Gambar 1 Keterkaitan integratif Tripple Bottom Line

Kemudian Ambadar (2008) juga menambahkan bahwa Corporate Social Responsibility (CSR) adalah sebuah konsep manajemen yang menggunakan pendekatan “tripple bottom line” yaitu keseimbangan antara mencetak keuntungan, harus seiring dan berjalan selaras dengan f ungsi-fungsi sosial dan pemeliharaan lingkungan hidup demi terwujudnya pembangunan yang sustainable (berkelanjutan). Pentingnya menjaga sustainibility dari ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam mendukung aktivitas perusahaan adalah sebagai berikut (Widjaja dan Pratama dalam Alfitri 2011):

1. Sustainibility Ekonomi

Setiap perusahaan yang didirikan pasti memiliki tujuan dasar yaitu mencari keuntungan. CSR tidak berarti melakukan aktivitas sosial dan menjaga kelestarian lingkungan hingga mempengaruhi keuntungan perusahaan. Dalam melaksanakan program CSR, perusahaan wajib memenuhi tujuan dasarnya, yaitu mencari keuntungan sebesar-besarnya. Sustainibility ekonomi perusahaan adalah dasar bagi perusahan dalam menjaga sustainibility sosial dan lingkungan. Perusahaan akan dapat menjaga sustainibility sosial dan lingkungan jika perusahaan tersebut mendapatkan keuntungan. Sustainibility ekonomi dicapai diantaranya dengan cara mendapatkan keuntungan, meminimalisasi biaya, dan memaksimalkan penjualan, membuat kebijakan bisnis strategis serta menjanjikan pengembalian yang menarik bagi para investor.

Ekonomi

Profit

Sosial

People

Lingkungan

Planet Sus

dev

Pengembangan berkelanjutan harus didukung oleh komitmen yang seimbang

antara ekonomi, sosial, dan lingkungan

Bentuk tanggung jawab perusahaan pada pemegang saham, yakni profit

Tanggung jawab perusahaan agar menjaga kemampuan lingkungan dalam mendukung keberlanjutan kehidupanbagi

generasi berikutnya

Kehadiran perusahaan harus memberikan manfaat pada stakeholder dan masyarakat


(27)

9

2. Sustainibility Sosial

Berdirinya sebuah perusahaan di tengah masyarakat pasti akan menimbulkan dampak bagi masyarakat tersebut. Kehadiran perusahaan diharapkan sedikit banyak akan mengangkat derajat kesejahteraan masyarakat sekitarnya baik melalui perekrutan tenaga kerja maupun sumbangsih perusahaan secara langsung terhadap masyarakat tersebut. Dengan adanya CSR terhadap masyarakat sekitar, perusahaan sebenarnya terbantu dalam mendapatkan rasa aman berusaha yang didapat dari masyarakat sekitarnya. Sustainibility sosial terkait dengan upaya perusahaan dalam mengutamakan nilai yang tumbuh dalam masyarakat.

3. Sustainibility Lingkungan

Lingkungan yang baik dan terpelihara adalah harapan dari semua pihak. Belakangan ini dunia sangat disibukkan dengan masalah global warming yang mengancam kehidupan manusia. Dalam masalah ini salah satu pihak disalahkan adalah perusahaan. Aktivitas industri perusahaan dituding sebagai penyebab utama terjadinya global warming. Banyaknya tuntutan dari masyarakat, LSM, dan organisasi internasional lainnya agar perusahaan memperhatikan masalah lingkungan ini menguatkan argumen bahwa sustainibility lingkungan adalah hal yang sangat penting dalam menjaga kelangsungan hidup perusahaan. Lingkungan yang baik dan terpelihara dapat sangat menunjang aktivitas perusahaan. Masalah pelestarian pelestarian ini begitu penting terutama bagi perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam. Tanpa lingkungan yang baik dan terpelihara maka ada ancaman besar bagi perusahaan tersebut dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Sustainibility lingkungan ini dijaga oleh perusahaan antara lain dengan cara menggunakan teknologi yang ramah lingkungan demi mengurangi emisi gas buang, mengimplementasikan sistem manajemen risiko lingkungan yang efektif, menerapkan prinsip eco-labeling. Adaptasi Ekologi

Konsep hubungan antara lingkungan dan kebudayaan banyak dijelaskan oleh para ahli sebagai bentuk adaptasi manusia dengan lingkungannya. Pendekatan ekologi budaya diperkenalkan oleh Julian Steward tahun 1955 dengan teori cultural ecology, yaitu ilmu yang mempelajari bagaimana manusia sebagai makhluk hidup menyesuaikan dirinya dengan lingkungan geografi tertentu. Terkait bagaimana manusia menyesuaikan diri terhadap lingkungan dipengaruhi oleh kebudayaan didalam lingkungan sosialnya. Menurut ilmu antropologi “kebudayaan” adalah: keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Hal tersebut berarti bahwa hampir seluruh tindakan manusia adalah “kebudayaan” karena hanya amat sedikit tindakan manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang tak perlu dibiasakannya dengan belajar, yaitu hanya beberapa tindakan naluri beberapa refleks, beberapa tindakan akibat proses fisiologi, atau kelakuan apabila ia sedang membabi buta (Koentjaraningrat 1990). J. J. Honigmann dalam Koentjraningrat (1990) membedakan adanya tiga “gejala kebudayaan”, yaitu (1) ideas, (2) activities, dan (3) artifacts. Kemudian J. J. Honigmann dalam Koentraningrat (1990) juga menyebutkan bahwa kebudayaan itu ada tiga wujudnya, yaitu:


(28)

1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.

2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.

3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Terdapat tujuh unsur kebudayaan yang dapat disebut sebagai isi pokok dari tiap kebudayaan di dunia, yaitu: 1) bahasa, 2) sistem pengetahuan, 3) organisasi sosial, 4) sistem peralatan hidup dan teknologi, 5) sistem mata pencaharian hidup, 6) sistem religi, dan 7) kesenian (Koentjaraningrat 1990).

Menurut Steward (1955) ada bagian inti dari sistem budaya yang sangat responsif terhadap adaptasi. Karenanya berbagai proses penyesuaian terhadap tekanan ekologis secara langsung akan dapat mempengaruhi unsur-unsur inti dari suatu struktur sosial. Agar tetap produktif maka suatu perubahan kebudayaan yang diakibatkan oleh faktor ekologis, harus menimbulkan suatu upaya pengaturan kembali yang berpengaruh pada struktur sosial mereka. Dalam konteks ini Steward berpendapat bahwa: pertama, ada hubungan antara teknologi yang dipergunakan dengan keadaan suatu lingkungan tertentu; kedua, pola-pola kelakuan dalam mengeksploitasi suatu daerah, erat kaitannya dengan bentuk teknologi yang diciptakan; dan ketiga, pola-pola kelakuan tersebut akan berpengaruh terhadap berbagai aspek dari kebudayaan. Dijelaskan pula bahwa lingkungan dimana manusia hidup tidaklah seragam sehingga pola adaptasinya berbeda. Namun tidak berarti bahwa dengan kondisi alam yang sama juga akan menimbulkan adaptasi yang sama karena lingkungan dan kebudayaan lokal akan selalu mengikuti pola-pola yang khas berdasarkan karakteristik dan bercorak setempat.

Pengaruh Ekologi

Perubahan ekologi

(Sumber: Geertz, Clifford, 1963 dalam Tim Pengajar (tidak ada tahun)) Gambar 2 Ekologi Kebudayaan Geertz, Clifford, 1963

Kesehatan Ideologi

Sistem sosial politik

Populasi penduduk Organisasi ekonomi

Bahasa Sistem religi

Teknologi Eksploitasi SDA

Inti budaya


(29)

11

Gambar 2 menjelaskan bahwa dari unsur-unsur budaya terdapat beberapa unsur yang dapat mempengaruhi adaptasi ekologi manusia terhadap perubahan ekologi. Unsur tersebut yakni, teknologi eksploitasi sumber daya alam, populasi penduduk, organisasi ekonomi, dan sistem sosial politik. Unsur-unsur inilah yang disebut sebagai inti kebudayaan. Hutington dalam Setiadi, dkk. (2006) berpandangan bahwa iklim sangat menentukan perkembangan kebudayaan manusia. Alam lingkungan sebagai faktor yang berpengaruh terhadap kehidupan manuisa, tidak lagi dipandang sebagai faktor yang menentukan. Manusia dengan kemampuan budayanya dapat memilih kegiatan yang cocok sesuai dengan kemungkingan dan peluang yang diberikan oleh alam lingkunganya, telah dipandang aktif sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.

Bennet (1976) dalam Saharudin (2007) mendefinisikan adaptasi sebagai kapasitas manusia untuk menjalakan tujuan-tujuan individu (self-objection), belajar dan mengantisipasi. Adaptasi bukan hanya persoalan begaimana mendapatkan makanan dari suatu kawasan tertentu tetapi juga mencakup persoalan transformasi sumberdaya lokal dengan mengikuti model standar konsumsi manusia yang umum, serta biaya dan harga atau mode-mode produksi di tingkat nasional. Dalam kaitannya dengan lingkungan, adaptasi di bentuk dari tindakan yang berulang-ulang sebagai proses penyesuaian terhadap lingkungan tersebut (Bennet 1976 dalam Saharudin 2007). Selanjutnya Bogardus (1983) dalam Marzuki (2002) mengemukakan urutan-urutan adaptasi pada manusia adalah perubahan teknologi, pengisian waktu senggang, pendidikan, kegiatan bermasyarakat suasana dalam rumah tangga dan terakhir adalah agama dan kepercayaan.

Pada dasarnya manusia dapat bertahan hidup dan memanfaatkan lingkungannya karena adanya tiga bentuk utama adaptasi budaya dari manusia itu sendiri (Miller 1979 dalam Marzuki 2002) yaitu:

1. Dengan menggunakan peralatan-peralatan (teknologi) dalam memnuhi kebutuhan hidupnya.

2. Hidup di lingkungan dengan belajar secara efektif melalui organisasi sosial dan kerjasama (interaksi) sesama manusia.

3. Menggunakan bahasa untuk meningkatkan kerjasama secara efisien dan mewariskan pengetahuan tentang cara-cara bertahan hidup berdasarkan pengalaman yang lalu. Pada masyarakat nelayan, pola adaptasinya menyesuaikan dengan ekosistem lingkungan fisik laut dan lingkungan sosial di sekitarnya.

Kelembagaan

Kelembagaan dapat diartikan sebagai wadah ataupun sebagai norma atau pranata. Lembaga atau institusi adalah seperangkat aturan, prosedur, norma perilaku individual yang sangat penting bagi pengembangan pertanian (Gunadi 1998 dalam Nasution 2002). Sedangkan menurut Rofiq (1989) dalam Nasution (2002) lembaga kemasyarakaan adalah pranata sosial yang mengatur perilaku para anggota masyarakat. Koentjaraningrat (1964) dalam Soekanto (1982) mengatakan bahwa pranata sosial adalah “suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat”. Koentjaraningrat (1990) menyebutkan perbedaan antara pranata dan lembaga. Pranata adalah sistem norma atau aturan-aturan yang mengenai suatu aktivitas masyarakat yang khusus,


(30)

sedangkan lembaga atau institut adalah badan atau organisasi yang melaksanakan aktivitas itu. Jadi dalam hal ini kelembagaan sosial adalah sistem norma, nilai, dan pola hubungan yang mengatur warga masyarakat dalam kehidupan sehari-hari dalam rangka memenuhi kebutuhannya.

Sebagian besar sosiolog berpendapat bahwa kelembagaan itu bersifat suatu konsepsi, dan bukan sesuatu yang konkret. Suatu kelembagaan adalah suatu kompleks peraturan-peraturan dan peranan-peranan sosial. Dengan semikian, kelembagaan memiliki aspek kulural dan struktural. Segi kulural berupa norma-norma dan nilai-nilai, dari segi struktural berupa pelbagai peranan sosial. Kedua segi tersebut beruhubungan erat satu sama lain (Nasdian 2014).

Kapasitas kelembagaan adalah tingkat kemampuan suatu badan/lembaga/organisasi dengan struktur pengorganisasian tertentu, proses proses kerja, dan budaya kerja yang erat hubungannya dengan keterampilan dan kualifikasi individu berupa uraian pekerjaan, motivasi, dan sikap kerja dari individu-individu yang mendukung kelembagaan tersebut. Peningkatan kapasitas kelembagaan desa merupakan suatu yang sistemik dan manajerial, yang didalamnya mengandung proses interaksi, komunikasi, dan relasi diantara tiga “ruang kekuasaan” di aras desa. Rencana strategis desa, rencana pembangunan desa, peraturan desa, dan keuangan dirancang secara partisipatif dengan peran serta multi stakeholder merupakan basis dan instrumen penguatan kapasitas kelembagaan desa (Nasdian 2006).

Keberlanjutan kelembagaan muncul dari konsep pembangunan berkelanjutan yang muncul dari berbagai konferensi, seperti: Konferensi Lingkungan Hidup di Stockholm, KTT Bumi di Rio de Jeneiro, dan KTT pembangunan berkelanjutan di Johannesburg (Wibisono 2007). Dalam upaya pemberdayaan komunitas desa dan pengembangan kelembagaan yang berkelanjutan maka dikemukakan tiga alternatif yang dapat dilakukan yaitu: (1) Membangun dan mengembangkan kelembagaan kooperatif dan produktif di tingkat komunitas berbasis kemitraan; (2) Membangun dan mengembangkan manajemen pembangunan pedesaan (kawasan) di tingkat kabupaten sebagai wujud dari local goverment policies, dan (3) Membangun dan mengembangkan jejaring kelembagaan yang berbasis komunitas. Hanya melalui kelembagaan, suatu kegiatan masyarakat dapat menjadi efektif, normatif, quasi-autimatic, permanen, dan dapat diprediksi (Gehlen 1964 dalam Pfahl 2005).

Menurut Nasdian (2005) tipologi kelembagaan komunitas lokal “dikonstruksi” berdasarkan dua variabel pokok, yaitu: tinggi rendahnya “keseimbangan pelayanan-peranserta” dalam suatu kelembagaan dan (2) berfungsi -tidaknya good governance dalam suatu kelembagaan. Berdasarkan kedua variabel tersebut dapat diidentifikasi empat tipe kelembagaan yakni: (1) Tipe-1, kelembagaan yang sustain; (2) Tipe-2, kelembagaan yang semi sustain dengan kendala manajemen; (3) Tipe-3, kelembagaan yang tidak sustain; dan (4) Tipe-4, kelembagaan semisustain dengan kendala good governance. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3.


(31)

13

(Sumber: Nasdian 2005)

Gambar 3 Tipologi kelembagaan komunitas lokal

Ekosistem Hutan Mangrove

Hutan Mangrove di Indonesia sekitar 8.6 juta hektar, terdiri atas 3.8 juta hektar di dalam kawasan hutan dan 4.8 juta hektar di luar kawasan hutan. Kerusakan hutan mangrove di dalam kawasan hutan sekitar 1.7 juta hektar atau 44.73 persen dan kerusakan di luar kawasan hutan 4.2 juta hektar atau 87.50 persen, antara tahun 1982-1992 telah terjadi pengurangan hutan mangrove seluas 513.670 hektar atau 46.697 hektar per tahunnya (Gunawan dan Anwar dalam Bismark, dkk. 2010). Menurut Asian Wetland Bureau luas hutan mangrove di Indonesia diperlukan rehabilitasi atau restorasi. Kecenderungan penurunan luas hutan hutan dan kesulitan rehabilitasi mengindikasikan kerusakan ekosistem dan degradasi ekosistem mangrove. Kerusakan tersebut disebabkan oleh kegiatan konversi hutan menjadi lahan tambak, eksploitasi hutan dan penebangan liar.

Fungsi mangrove terhadap suplai energi ke perairan pantai dapat dilihat dari perannya dalam proses penguraiannya melepaskan unsur-unsur mineral seperti nitrogen dan unsur esensial zat hara lainnya. Unsur mineral ini merupakan kunci kesuburan dalam transfer dan rantai makanan. Detritus tumbuh-tumbuhan atau detritus organik tersebut merupakan sumber bahan makanan bagi organisme di atasnya, seperti berbagai jenis zooplankton, udang, ikan, kepiting, moluska, nematoda, dan amphibia.

Keberhasilan tanaman mangrove rehabilitasi selain dipengaruhi kondisi kimia fisik tanah, sangat dipengaruhi pula oleh hama dan gangguan ternak. Penyebab lain kegagalan tanaman mangrove adalah gangguan fisik berupa ombak dan gangguan manusia. Secara biologi, keberhasilan tanaman juga ditentukan oleh kesiapan bibit untuk ditanam. Beberapa kelompok tani secara mandiri dilaporkan telah berhasil dalam merehabilitasi hutan mangrove seperti dijumpai di Sinjai (Sulawesi Selatan), Grati (Pasuruan, Jawa Timur), dan Lampung (Bismark dan Sawitri dalam Bismark, dkk. 2010).

Berfungsi good governance

(1)

Sustainable

Unsustainable

(3) (2)

(4)

“Keseimbangan Pelayanan-Peranserta” “Keseimbangan Pelayanan-Peranserta”


(32)

Kerangka Pemikiran

Kegiatan rehabilitasi mangrove membentuk suatu kelembagaan komunitas di Desa Muara. Kelembagaan tersebut yakni aturan atau tatacara dalam mengelola sumberdaya mangrove di Desa Muara. Kelompok rehabilitasi mangrove dibentuk sebagai wadah kelembagaan tersebut. Keberlanjutan kelembagaan rehabilitasi mangrove menjadi penting untuk menjamin peningkatan jumlah dan kualitas mangrove yang rusak dan semakin berkurang.

Gambar 4 Kerangka Pemikiran Kelembagaan dan Adaptasi Ekologi Komunitas Desa Muara dalam Rehabilitasi Mangrove

Keterangan:

: berhubungan

Keberlanjutan kelembagaan diukur dengan lima indikator, yakni keseimbangan pelayanan dan peran-serta, demokrasi, transparansi, akuntabilitas, dan jejaring kelembagaan. Maka keberlanjutan kelembagaan dijadikan variabel X untuk mengukur keberlanjutan kelembagaan. Kemudian keberlanjutan kelembagaan tersebut akan meningkatkan kemampuan adaptasi ekologi komunitas Desa Muara. Adaptasi terhadap lingkungan atau adaptasi ekologi dapat dipengaruhi oleh unsur-unsur dalam kebudayaan. Namun tidak semua unsur kebudayaan dapat diadaptasikan terhadap perubahan ekologi. Menurut Clifford Geertz (1963) terdapat unsur-unsur budaya yang dapat diadaptasikan dengan perubahan lingkungan, yang disebut inti kebudayaan. Inti kebudayaan yakni, teknologi eksploitasi sumber daya alam, organisasi ekonomi, populasi penduduk dan sistem sosial dan politik. Dalam penelitian ini kemampuan adaptasi ekologi diukur dengan dua indikator yaitu, teknologi eksploitasi SDA dan populasi penduduk. Populasi penduduk dalam penelitian ini diasumsikan dengan kepadatan agraris. Maka kedua indikator dalam inti kebudayaan tersebut, yaitu teknologi eksploitasi SDA dan kepadatan agraris dapat dijadikan variabel Y untuk mengukur tingkat kemampuan adaptasi ekologi masyarakat.

Tingkat Kemampuan Adaptasi Ekologi 1. Teknologi eksploitasi

SDA

2. Populasi penduduk Keberlanjutan Kelembagaan

1. Tingkat keseimbangan pelayanan-peranserta 2. Jejaring kelembagaan 3. Tingkat demokrasi 4. Transparansi 5. Akuntabilitas


(33)

15

Hipotesis Penelitian

Semakin tinggi keberlanjutan kelembagaan, maka semakin tinggi kemampuan adaptasi ekologi komunitas Desa Muara.

Hipotesis Uji

1. Terdapat hubungan antara keberlanjutan kelembagaan dengan teknologi eksploitasi sumber daya alam.

2. Terdapat hubungan antara keberlanjutan kelembagaan dengan kepadatan agraris.

3. Terdapat hubungan antara keberlanjutan kelembagaan dengan kemampuan adaptasi ekologi.

Definisi Operasional 1. Karakteristik sosial-ekonomi

a. Jenis kelamin adalah sifat fisik responden sebagaimana yang tercatat dalam kartu identitas yang dimiliki responden, yang dinyatakan dalam dua jenis yaitu laki-laki dan perempuan.

b. Usia adalah selisih antara tahun responden dilahirkan hingga tahun pada saat penelitian dilaksanakan.

c. Tingkat pendidikan adalah sekolah tertinggi yang pernah ditamatkan oleh responden, yaitu:

1 Tidak sekolah/Tidak Tamat SD 2 Lulus SD atau sederajat

3 Lulus SMP atau sederajat 4 Lulus SMA atau sederajat 5 Kuliah tetapi tidak lulus 6 Sarjana/Pascasarjana

d. Lama tinggal di desa adalah ukuran waktu dalam tahun untuk mengukur berapa lama responden tinggal di desa tersebut. Pengukurannya adalah sebagai berikut:

1 Lebih dari 10 tahun 2 5-10 tahun

3 1-5 tahun

4 Kurang dari setahun

e. Mata pencaharian adalah sumber mata pencaharian masyarakat pesisir yang digolongkan menjadi dua, yaitu:

1 Nelayan

2 Bukan Nelayan

f. Aset kepemilikan adalah jenis dan jumlah aset yang dimiliki responden yang digunakan untuk memanfaatkan sumber daya ikan, udang,

rumpur laut, dan kepiting. Pengukuranya adalah sebagai berikut: 1 Alat pancing

2 Bubu 3 Jaring/Jala 4 Perahu kayu 5 Kapal kecil


(34)

6 Kapal besar

g. Pekerjaan adalah kegiatan responden guna menghasilkan pendapatan. Penggolongannya adalah sebagai berikut:

1 Buruh

2 Penjemur rumput laut 3 Pengolah ikan/udang 4 Pedagang ikan/udang 5 Pengusaha

6 Pegawai swasta 7 Pegawai pemerintah 8 Lain-lain

2. Keberlanjutan kelembagaan adalah tingkat atau ukuran keberlanjutan suatu kelembagaan yang ada di komunitas. Diukur dengan kuesioner dari lima indikator yaitu tingkat keseimbangan pelayanan-peranserta, tingkat jejaring kelembagaan, tingkat demokrasi, tingkat transparansi, dan tingkat akuntabilitas dengan skala likert dan menggunakan data ordinal. Skala likert digunakan dengan jawaban pernyataan “Sangat setuju”, “Setuju”, “Tidak setuju”, dan “Sangat tidak setuju”. Skor untuk masing-masing variabel adalah “1” untuk kategori rendah dan “2” untuk kategori tinggi. Maka pengkategorian keberlanjutan kelembagaan komunitas, sustain dan unsustain adalah sebagai berikut:

a. Sustain : jika skor total ke lima indikator berjumlah 8-10 b. Unsustain : jika skor total ke lima indikator berjumlah 5-7 Untuk masing-masing variabel, pengkategoriannya ialah sebagai berikut:

a. Tingkat keseimbangan pelayanan-peranserta adalah tingkat keseimbangan antara pelayanan dan keterlibatan peranserta masyarakat dalam proses pelaksanaan kegiatan rehabilitasi mangrove. Diukur dengan menggunakan sembilan pernyataan pada kuesioner dengan skala likert “Sangat setuju”, “Setuju”, “Tidak setuju”, dan “Sangat tidak setuju”. Skor “Sangat setuju” adalah “4”, “Setuju” adalah “3”, “Tidak setuju” adalah “2”, dan “Sangat tidak setuju” adalah “1”. Dikategorikan menjadi tinggi dan rendah dengan indeks sebagai berikut:

1. Tinggi : jika skor total pernyataan berjumlah 23-36 2. Rendah : jika skor total pernyataan berjumlah 9-22

b. Tingkat demokrasi adalah tingkat atau ukuran untuk mengukur seberapa tinggi pengambilan keputusan yang ditetapkan melalui musyawarah bersama anggota. Diukur dengan menggunakan tiga pernyataan pada kuesioner dengan skala likert “Sangat setuju”, “Setuju”, “Tidak setuju”, dan “Sangat tidak setuju”. Skor “Sangat setuju” adalah “4”, “Setuju” adalah “3”, “Tidak setuju” adalah “2”, dan “Sangat tidak setuju” adalah “1”. Dikategorikan menjadi tinggi dan rendah dengan indeks sebagai berikut:

1. Tinggi : jika skor total pernyataan berjumlah 8-12 2. Rendah : jika skor total pernyataan berjumlah 3-7

c. Transparansi adalah tingkat atau ukuran untuk mengukur seberapa tinggi kemudahan mengakses informasi secara benar dan memadai


(35)

17

terkait pengelolaan berbagai kegiatan di kelompok oleh anggota maupun pihak yang berkepentingan. Diukur dengan menggunakan tiga pernyataan pada kuesioner dengan skala likert “Sangat setuju”, “Setuju”, “Tidak setuju”, dan “Sangat tidak setuju”. Skor “Sangat setuju” adalah “4”, “Setuju” adalah “3”, “Tidak setuju” adalah “2”, dan “Sangat tidak setuju” adalah “1”. Dikategorikan menjadi tinggi dan rendah dengan indeks sebagai berikut:

1. Tinggi : jika skor total pernyataan berjumlah 8-12 2. Rendah : jika skor total pernyataan berjumlah 3-7 d. Akuntabilitas adalah tingkat atau ukuran untuk mengukur seberapa

tinggi ada atau tidaknya laporan dari pengurus kelompok kepada anggota ataupun dari kelompok kepada pihak terkait lainnya. Diukur dengan menggunakan empat pernyataan pada kuesioner dengan skala likert “Sangat setuju”, “Setuju”, “Tidak setuju”, dan “Sangat tidak setuju”. Skor “Sangat setuju” adalah “4”, “Setuju” adalah “3”, “Tidak setuju” adalah “2”, dan “Sangat tidak setuju” adalah “1”. Dikategorikan menjadi tinggi dan rendah dengan indeks sebagai berikut:

1. Tinggi : jika skor total pernyataan berjumlah 11-16 2. Rendah : jika skor total pernyataan berjumlah 4-10 e. Jejaring kelembagaan adalah tingkat atau ukuran yang mengukur

seberapa besar relasi kerjasama atau interaksi yang terbangun antar kelembagaan di dalam dan luar komunitas. Diukur dengan menggunakan sepuluh pernyataan pada kuesioner dengan skala likert “Sangat setuju”, “Setuju”, “Tidak setuju”, dan “Sangat tidak setuju”. Skor “Sangat setuju” adalah “4”, “Setuju” adalah “3”, “Tidak setuju” adalah “2”, dan “Sangat tidak setuju” adalah “1”. Dikategorikan menjadi tinggi dan rendah dengan indeks sebagai berikut:

1. Besar : jika skor total pernyataan berjumlah 26-40 2. Kecil : jika skor total pernyataan berjumlah 10-25 3. Tingkat kemampuan adaptasi ekologi adalah tingkat atau ukuran

kemampuan komunitas untuk menyesesuaikan diri terhadap perubahan ekologi. Diukur dengan dua indikator, yakni teknologi eksploitasi SDA dan populasi penduduk/kepadatan agraris dengan skala Bogardus dan menggunakan data ordinal. Skala Bogardus digunakan dengan jawaban pernyataan “Ya” dan “Tidak”. Skor untuk masing-masing variabel adalah “1” untuk kategori rendah dan “2” untuk kategori tinggi. Maka pengkategorian kemampuan adaptasi ekologi, tinggi dan rendah adalah sebagai berikut:

a. Tinggi : jika skor total ke dua variabel berjumlah 4 b. Rendah : jika skor total ke dua variabel berjumlah 2-3 Untuk masing-masing variabel, pengkategoriannya ialah sebagai berikut:

a. Tingkat teknologi eksploitasi sumber daya alam adalah tingkat atau ukuran untuk mengukur seberapa tinggi teknologi yang digunakan dalam pemanfaatan sumber daya alam tidak memberikan dampak


(36)

negatif terhadap lingkungan. Diukur dengan menggunakan lima pernyataan pada kuesioner dengan skala “Ya” dan “Tidak”. Dikategorikan menjadi tinggi dan rendah dengan indeks sebagai berikut:

1. Tinggi : jika skor total pernyataan berjumlah 5-7 2. Rendah : jika skor total pernyataan berjumlah 8-10

b. Tingkat populasi penduduk/kepadatan agraris adalah tingkat atau ukuran untuk mengukur seberapa tinggi perbandingan antara jumlah penduduk dengan luas lahan produktif atau perbandingan antara jumlah penduduk dengan peluang pemanfaatan sumber daya alam. Diukur dengan menggunakan lima pernyataan pada kuesioner dengan skala “Ya” dan “Tidak”. Dikategorikan menjadi tinggi dan rendah dengan indeks sebagai berikut:

1. Tinggi : jika skor total pernyataan berjumlah 5-7 2. Rendah : jika skor total pernyataan berjumlah 8-10


(37)

PENDEKATAN LAPANGAN

Metode Penelitian

Penelitian mengenai Kelembagaan dan Adaptasi Ekologi Komunitas Desa Muara dalam Rehabilitasi Mangrove ini menggunakan metode sensus dengan pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif. Pendekatan kuantitatif merupakan penelitian survei/sensus dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang diisi oleh responden. Sedangkan pendekatan kualitatif melalui wawancara mendalam kepada responden dan pihak lain yang bersangkutan sebagai informan. Data kualitatif digunakan sebagai data tambahan yang dapat mendukung atau menjelaskan data kuantitatif.

Lokasi dan Waktu

Penelitian dilakukan pada salah satu desa binaan CSR PT. Pertamina yaitu di Desa Muara, Kecamatan Teluk Naga, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten. Pemilihan lokasi dilakukan dengan cara sengaja (purposive) dengan pertimbangan, antara lain :

1. Desa Muara merupakan salah satu desa binaan PT Pertamina yang menerima program pengembangan masyarakat berbasis ekosistem. 2. Kegiatan rehabilitasi mangrove dilakukan dengan membentuk

kelembagaan dalam bentuk kelompok.

3. Program pengembangan masyarakat berbasis ekosistem yang diwujudkan dalam kegiatan rehabilitasi mangrove merupakan salah satu upaya untuk merespon perubahan ekologi dengan mendorong adanya adaptasi ekologi.

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari 2015 sampai dengan Juni 2015. Kegiatan dalam penelitian ini meliputi penyusunan proposal skripsi, kolokium, pengambilan data lapang, pengolahan dan analisis data, penulisan draft skripsi, uji petik, sidang skripsi, dan perbaikan laporan skripsi. Rincian jadwal penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.

Teknik Pengumpulan Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari sumber pertama yaitu masyarakat yang menerima program pengembangan masyarakat oleh CSR PT Pertamina. Pengumpulan data primer dilakukan melalui kuesioner dan wawancara mendalam. Kuesioner merupakan daftar pertanyaan yang ditujukan kepada responden untuk mendapatkan data berupa jawaban dari responden yang digunakan sebagai sumber informasi yang relevan dengan tujuan penelitian. Sedangkan wawancara mendalam dilakukan untuk mendapat informasi tambahan dari informan. Metode pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 1. Pengumpulan data penelitian juga dilakukan dengan observasi (pengamatan langsung) oleh peneliti di desa tersebut.


(38)

Tabel 1 Metode Pengumpulan Data

No Kebutuhan Data Metode

Wawancara Kuesioner (Data Primer) Wawancara Mendalam (Data Primer) Dokumen (Data Sekunder) Observasi

1. Profil Komunitas Desa

- √ √ √

2. Laporan Kegiatan Rehabilitasi Mangrove - - √ - 3. Pelaksanaan Kegiatan Rehabilitasi Mangrove - √ √ -

4. Hasil Kegiatan Rehabilitasi Mangrove - √ - √ 5. Kemampuan Adaptasi Ekologi √ √ - √ 6. Keberlanjutan Kelembagaan √ √ - √

Wawancara mendalam dilakukan dengan penyelenggara kegiatan rehabilitasi mangrove, ketua kelompok rehabilitasi mangrove dan anggota kelompok rehabilitasi mangrove. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari dokumen CSR perusahaan, data desa, dan berbagai literatur yang relevan dengan penelitian ini, yaitu buku, jurnal penelitian, dan skripsi.

Subjek dalam penelitian ini adalah responden dan informan yang memberikan informasi mengenai diri mereka dan informasi persepsi mereka terhadap kegiatan rehabilitasi mangrove, adaptasi ekologi yang mereka lakukan dan kelembagaan yang terbentuk dalam rehabilitasi mangrove. Responden penelitian ini adalah masyarakat desa yang menerima dan ikut serta aktif dalam program rehabilitasi mangrove oleh CSR PT Pertamina. Responden diwawancarai berdasarkan pertanyaan kuesioner. Jawaban responden dianggap dapat menjelaskan keberlanjutan kelembagaan komunitas rehabilitasi mangrove oleh PT Pertamina dan dapat menggambarkan kemampuan adaptasi ekologi komunitas rehabilitasi mangrove. Penentuan responden dilakukan dengan cara sensus, yaitu seluruh anggota kelompok aktif menjadi responden penelitian. Jumlah responden dari penelitian ini adalah 27 orang yang menerima dan masih ikut serta aktif dalam program rehabilitasi mangrove oleh CSR PT Pertamina.

Sedangkan informan dalam penelitian ini adalah pihak-pihak yang terkait dan dianggap memiliki informasi yang relevan dengan penelitian ini. Informan tersebut yaitu, penyelenggara program, ketua kelompok rehabilitasi mangrove, anggota, dan masyarakat Desa Muara yang memiliki informasi relevan. Penentuan informan pertama dipilih secara purposive kemudian informan selanjutnya dipilih dengan melakukan teknik snowbowling.

Data yang telah dikumpulkan akan diolah dan disimpulkan. Penyimpulan hasil penelitian dilakukan dengan mengambil hasil analisis antar variabel yang konsisten.


(39)

21

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Data kuesioner yang diperoleh dianalisis secara kuantitatif. Setelah seluruh data terkumpul kemudian dilakukan pengkodean data. Kegiatan ini bertujuan untuk menyeragamkan data. Setelah pengkodean, tahap selanjutnya adalah perhitungan persentase jawaban responden yang dibuat dalam bentuk tabulasi frekuensi dan tabulasi silang. Data yang dikumpulkan selanjutnya diolah secara statistik deskriptif dengan menggunakan software SPSS (Statistical Program for Social Sciences) for Windows versi 20 dan Microsoft Excel 2010.

Variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah tingkat keberlanjutan kelembagaan komunitas yaitu, keseimbangan pelayanan-peranserta, jejaring kelembagaan, demokrasi, transparansi, dan akuntabilitas; dan tingkat kemampuan adaptasi ekologi, yaitu teknologi eksploitasi SDA dan populasi penduduk/kepadatan agraris. Uji realibilitasi dilakukan dengan hasil Cronbach’s Alpha sebesar 0.615 dengan total pertanyaan sebanyak 39 pertanyaan. Artinya alat pengumpul data kuesioner yang digunakan cukup reliabel.

Selain itu, dilakukan juga uji korelasi antara variabel tingkat keberlanjutan kelembagaan komunitas dengan tingkat kemampuan adaptasi ekologi menggunakan Uji Korelasi Rank Spearman untuk menunjukkan adanya korelasi variabel berskala ordinal-ordinal. Sedangkan data kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam digunakan sebagai data pendukung atau penjelasan hasil penelitian kuantitatif. Data primer yang diperoleh melalui pendekatan kualitatif dicatat dalam catatan harian. Kemudian dilakukan reduksi data dan disusun menjadi tulisan tematik. Kombinasi analisis dilakukan dengan pendalaman melalui wawancara terkait hasil pengolahan data kuantitatif. Kombinasi analisis dapat digunakan untuk mendapatkan penjelasan terkait hasil pengolahan data pada pendekatan kuantitatif. Penyimpulan hasil penelitian dilakukan dengan mengambil hasil analisis antar variabel yang konsisten.


(40)

(41)

PROFIL KOMUNITAS DESA

Pada bab ini menjelaskan mengenai profil komunitas desa dan karakteristik responden yang terbagi dalam beberapa sub bab. Sub bab pertama adalah mengenai kependudukan di Desa Muara, yang terbagi dalam uraian mengenai kondisi geografis, karakteristik penduduk, dan mobilitas penduduk. Sub bab kedua membahas mengenai struktur sosial di Desa Muara, yang terbagi dalam uraian mengenai kondisi ekonomi, kondisi pendidikan, dan stratifikasi sosial. Pada sub bab ketiga membahas mengenai pola-pola kebudayaan dan sub bab keempat membahas mengenai pola adaptasi ekologi di Desa Muara. Sub bab terakhir membahas karakteristik responden yaitu anggota kelompok rehabilitasi mangrove.

Kependudukan Kondisi Geografis

Desa Muara merupakan salah satu desa di Kecamatan Teluk Naga, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten. Desa Muara menjadi tempat bermuaranya sungai Tahang dan Kramat Kebo. Secara administratif batas desa ini adalah sebagai berikut:

1. Sebelah utara : Laut Jawa 2. Sebelah selatan : Desa Lemo 3. Sebelah timur : Desa Lemo

4. Sebelah barat : Desa Tanjung Pasir

Desa Muara terletak disebelah utara Kecamatan Teluk Naga. Desa ini berjarak 7.5 km dari ibu kota kecamatan, 54.5 km ke ibu kota kabupaten, dan 257 km ke ibu kota provinsi. Sedangkan ke Jakarta berjarak 35 km dan hanya 10 km ke lokasi bandara Soekarno-Hatta. Desa Muara dan wilayah Kecamatan Teluk Naga secara keseluruhan berada di pesisir Laut Jawa, dan berhadapan dengan Kepulauan Seribu yang masuk ke Provinsi DKI Jakarta.

Luas wilayah Desa Muara adalah 505 Ha. Sebagian daratan desa merupakan rawa dan hutan mangrove terutama di bagian utara wilayah yang dekat dengan laut. Beberapa bagian wilayah desa berupa empang atau sekedar permukaan tanah yang digenangi air. Ketinggian permukaan tanah desa adalah berkisar dari 0-1.5 m dpl. Suhu rata-rata udara sebesar 270 C-330 C. Dalam literatur disebut bahwa Kampong Muara dan sekitarnya secara morfologi merupakan pematang pantai (ridge beach) dan pedaratan (flat plains). Selanjutnya dikatakan bahwa wilayah permukiman di Kampung Muara merupakan kawasan pertambakan yang berpotensi banjir (Peta Geologi dalam Prabowo dkk dalam Amanah dan Narni 2014).

Kecepatan angin di Desa Muara bertiup dengan kecepatan 15 km dengan curah hujan rata-rata 21 mm/tahun. Walaupun wilayah desa ini diwarnai air di setiap pelosoknya namun air bersih sering menjadi masalah, sehingga warga harus mengeluarkan uang guna memenuhi keperluan minum dan memasak.


(42)

Karakteristik Penduduk

Berdasarkan data BPS Kabupaten Tangerang Tahun 2014 tercatat jumlah penduduk Desa Muara sebanyak 3.544 jiwa. Terdiri dari 1.804 jiwa penduduk laki-laki dan 1.740 jiwa penduduk perempuan. Berdasarkan karakteristik jenis kelamin, jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk perempuan. Namun perbedaannya tidak terlalu signifikan. Kemudian adapun jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur, yang terbagi dalam enam belas kelompok. Gambar 5 menunjukkan jumlah penduduk terbanyak ada pada kelompok umur 0-4 tahun dengan jumlah 390 jiwa atau sebesar 11 % dari total penduduk Desa Muara. Kemudian jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur terbanyak selanjutnya yaitu pada kelompok umur produktif muda yaitu pada kelompok umur 20-24, 25-29, dan 30-34 dengan jumlah masing-masing sebanyak 370, 329, dan 378 jiwa dan persentase masing-masing sebesar 10.44 %, 9.28 %, dan 10.67 %. Jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur dapat di lihat dalam Gambar 5.

(Sumber: Kecamatan dalam Angka 2014 (diolah))

Gambar 5 Persentase penduduk berdasarkan golongan umur di Desa Muara Tahun 2015

Pertumbuhan penduduk di Desa Muara dapat dilihat dari peningkatan jumlah penduduk baik laki-laki ataupun perempuan setiap tahun. Pertumbuhan penduduk Desa Muara tahun 2011 sampai 2014 disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2 menunjukkan terjadi peningkatan penduduk baik secara total ataupun untuk kategori laki-laki dan kategori perempuan, meskipun terjadi penurunan reit pertumbuhan penduduk baik secara total maupun untuk kategori laki-laki ataupun perempuan. Namun pertumbuhan penduduk tidak terjadi pada tahun 2011 ke tahun 2012.

Tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Desa Muara beragama islam sejumlah 3.349 orang dengan presentase 95.5 %. Adapun penganut agama lainnya dengan presentasi yang sangat kecil. Setelah islam, adapun pemeluk agama terbanyak kedua yaitu Budha sejumlah 141 orang dengan presentase 4.02 %. Banyaknnya jumlah pemeluk agama budha dikarenakan terdapat beberapa

1110,67 8,55 10,44 9,28 10,67 8,41 7,36 5,59 4,94 3,7 3,47 2,71 1,19 1,21 0,82 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12


(43)

25

pendatang etnis Cina yang menetap di Desa Muara. Mereka biasanya adalah pemilik-pemilik tambak yang terdapat di desa ini.

Tabel 2 Jumlah dan reit pertumbuhan penduduk laki-laki dan perempuan di Desa Muara Tahun 2011-2014

No Kategori Tahun

2011 2012 2013 2014

1. Laki-laki (jiwa) 1.754 1.754 1.790 1.804 2. Perempuan (jiwa) 1.683 1.683 1.726 1.740 3. Total Penduduk (jiwa) 3.437 3.437 3.516 3.544 4. Kepadatan Penduduk

(jiwa/km2)

681 681 696 702

5. Reit Pertumbuhan Penduduk Laki-Laki (%)

- 0 0,88 0,78

6. Reit Pertumbuhan Penduduk Perempuan (%)

- 0 2,52 0,81

7. Reit Pertumbuhan Penduduk (%)

- 0 2,27 0,79

Sumber: Kecamatan dalam Angka 2011, 2012, 2013 dan 2014 (diolah)

Tabel 3 Jumlah dan persentase penduduk berdasarkan agama di Desa Muara Tahun 2014

No Agama Jumlah (orang) Persentase (%)

1 Islam 3349 95.55

2 Budha 141 4.02

3 Katholik 9 0.26

2 Kristen 6 0.17

Total 3505 100.00

Sumber : Kecamatan 2014

Amanah dan Narni (2014) dalam penelitiannya di Desa Muara menjelesakan bahwa sebagian besar masyarakat di Desa Muara berprofesi sebagai buruh dan nelayan. Beberapa nelayan di Desa Muara juga ada yang bekerja sebagai penjaga tambak atau menjadi buruh pabrik. Hampir keseluruhan nelayan merupakan nelayan jala. Desa Muara tergolong dalam nelayan yang subsisten. Selain sebagai nelayan, penduduk di Desa Muara juga ada yang berprofesi sebagai pengolah udang rebon, pedagang, pegawai pemerintah, buruh pabrik, buruh bangunan, dan profesi lainnya. Hampir keseluruhan nelayan di Desa Muara melakukan penangkapan one day fishing dengan daerah penangkapan perairan di Desa Muara, Sungai Tahang dan perairan Ujung Pasir. Nelayan ini berangkat pukul 05.00 pagi dan kembali sekitar pukul 11.00-12.00 siang. Jenis ikan yang ditangkap antara lain ikan belanak, dan udang kecil. Ikan hasil tangkapan dijual ke pedagang pengumpul di desa.


(44)

Mobilitas Penduduk

Mobilitas penduduk di Desa Muara dapat dilihat dari migrasi penduduk baik migrasi masuk maupun migrasi keluar. Berdasarkan laporan bulanan umum di tingkat Kecamatan Teluk Naga pada bulan Februari tahun 2014 terdapat migrasi masuk sejumlah tujuh orang dan migrasi keluar sejumlah empat orang. Kemudian pada bulan berikutnya yaitu Maret 2014 terdapat migrasi masuk sebanyak lima orang dan migrasi keluar sebanyak tiga orang. Sedangakan dalam konteks migrasi antar desa cukup banyak juga dilakukan. Sebagian migrasi masuk atau pun migrasi keluar desa dilakukan dengan alasan pernikahan. Beberapa penduduk asli yang melakukan migrasi keluar yaitu dengan alasan menikah dan tinggal di desa lain, begitupun sebaliknya terdapat penduduk desa lain yang menikah dengan penduduk Desa Muara kemudian menetap di Desa Muara. Selain itu adapun migrasi masuk yang dilakukan oleh pendatang etnis Cina yang memiliki lahan ataupun usaha di desa ini. Kebanyakan lahan tersebut adalah lahan perhutani yang dijadikan tambak.

Struktur Sosial Kondisi Ekonomi

Amanah dan Narni (2014) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa sebagian besar mata pencaharian masyarakat Desa Muara adalah buruh tani dan nelayan pantai. Pendapatan mereka rata-rata berkisar Rp 10.000-Rp 15.000,-/hari/keluarga dengan tanggungan 4-9 orang, sehingga bisa disebut lebih dari 75 % adalah keluarga pra sejahtera. Minimnya pendapatan mereka berimplikasi pada rendahnya kualitas SDM. Terdapat 483 jiwa penduduk desa yang berada pada usia pekerja dan pencari kerja. Secara umum sumber mata pencaharian di Desa Muara yaitu, nelayan, petani, karyawan swasta, ABRI, pegawai negeri sipil, pertukangan, dan pensiunan. Tabel jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian pokok disajikan dalam Tabel 4.

Tabel 4 Jumlah dan persentase penduduk berdasarkan jenis mata pencaharian di Desa Muara Tahun 2014

No Jenis Mata Pencaharian Jumlah (orang) Persentase (%)

1. Buruh/Swasta 1280 62.68

2. Nelayan 470 23.02

3. Petani 133 6.51

4. Pengusaha 113 5.53

5. Peternak 25 1.22

6. Jasa 21 1.03

Total 2042 100.00

Sumber : Profil Desa Muara 2014 (diolah)

Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Desa Muara berprofesi sebagai buruh/swasta yaitu sebanyak 1.280 orang dengan presentase 62.68 %. Terdapat dua jenis pekerjaan buruh, yakni buruh tani dan buruh pabrik. Meskipun desa ini minim lahan pertanian, namun beberapa masyarakatnya bekerja sebagai buruh tani. Pekerjaan ini mereka lakukan diluar desa. Biasanya mereka dipekerjakan oleh pemilik lahan. Sistem pengupahannya adalah dengan pembagian hasil panen sesuai dengan kesepakatan. Sedangkan buruh pabrik merupakan pekerjaan yang dilakukan kebanyakan pemuda di desa ini. Sistem upahnya adalah


(45)

27

dengan gaji per minggu. Rata-rata gaji buruh pabrik yaitu sebesar Rp. 300.000,00-Rp 500.000,00/minggu. Salah satu infroman mengungkapkan,

sekarang mah banyak yang kerja buruh, apalagi pemudanya. Gaji tiap minggunya ya macem-macem tergantung pabriknya. Ada yang 300, ada yang 350, malah ada yang 500.”─RTI

Kemudian profesi terbanyak kedua yaitu nelayan dengan jumlah 470 orang dengan presentase 23.01 %. Profesi nelayan paling banyak di Desa Muara dekat dengan pantai yaitu di RW 08 yang juga dijadikan sebagai lokasi pelaksanaan program rehabilitasi mangrove oleh PT Pertamina. Nelayan Desa Muara melakukan penangkapan ikan, udang, kepiting dan kerang di sekitar sungai dan pesisir pantai. Selain itu juga banyak nelayan yang mencari rumput laut di pantai. Ikan, kerang, dan rumput laut mereka dapatkan di laut atau pesisir pantai, sedangkan udang dan kepiting mereka dapatkan di sungai atau tambak. Diantara hasil tangkap tersebut, udang, kerang, dan rumput lautlah yang paling banyak ditangkap atau dicari nelayan desa ini. Nelayan biasa menangkap udang di sungai dengan alat tangkap bubu. Mereka akan memasang perangkap bubu di sore hari, kemudian akan mengambil hasil tangkap udang di pagi hari. Pada masa panceklik hasil tangkap udang hanya berkisar 1-2 kg per hari, dengan harga jual Rp. 30.000,00/kg udang. Sedangkan pada masa panen atau udang sedang melimpah, hasil tangkap bisa mencapai 15-25 kg per hari. Namun masa-masa ini hanya berlangsung untuk beberapa hari di bulan tertentu setiap tahunnya.

Selain udang, adapun kerang yang didapatkan nelayan di pesisir pantai. Nelayan dapat mencari kerang dengan tangan ataupun dengan alat penggaruk pasir. Dalam sehari nelayan bisa mendapatkan kerang sebanyak kurang lebih 1 kwintal atau 100 kg. Harga jual kerang yaitu sebesar Rp. 4000,00/kg. Kerang tersebut biasa dijual ke pelele yang biasanya datang ke desa. Kemudian adapun rumput laut atau yang sering disebut “agar-agar” oleh masyarakat Desa Muara. Rumput laut biasanya dicari di pantai yang lebih dekat ke tengah laut. Rumput laut yang biasa didapatkan nelayan dalam sehari sebanyak lima karung per hari dengan berat 20-30 kg per karungnya. Harga jual rumput laut yaitu sebesar Rp. 2000,00/kg. Rumput laut tersebut dijual kepada pengumpul yang datang ke desa, yang selanjutnya dijual kembali ke pabrik pembuat bahan kosmetik. Adapun kelembagaan ekonomi di Desa Muara disajikan dalam tabel 5.

Tabel 5 Jumlah kelembagaan ekonomi di Desa Muara Tahun 2014

No. Jenis Kelembagaan Ekonomi Jumlah

1. Koperasi 1

2. Rentenir 8

3. Perdagangan 72

4. Bengkel 6

5. Percetakan 1

Sumber : Data Profil Desa Muara 2014 (diolah)

Tabel 5 menunjukkan jumlah kelembagaan ekonomi yang terdapat di Desa Muara. Kelembagaan ekonomi terbanyak yaitu usaha perdagangan. Usaha perdagangan yaitu, usaha warung, usaha penjual alat dan bahan pancing, kios klontong dan usaha lainnya. Banyaknya peluang usaha perdagangan dikarenakan potensi wisata baik ekowisata hutan mangrove ataupun kolam pancing.


(46)

Kondisi Pendidikan

Tingkat pendidikan penduduk sebagian besar hanya setingkat tamat SD atau kurang. Menurut data Potensi Desa tahun 2000 dalam Amanah dan Narni (2014) terdapat 494 jiwa tidak bisa membaca. Rasio perbandingan jumlah murid per guru dan jumlah murid per sekolah dari tingkatan pendidikan PAUD, SD, dan SMP. di Desa Muara disajikan dalam tabel 6. Adapun jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan yang disajikan dalam Tabel 7.

Tabel 6 Rasio jumlah murid per guru dan jumlah murid per sekolah pada tingkatan pendidikan PAUD, SD, dan SMP di Desa Muara Tahun 2014

Tingkatan sekolah Rasio Murid per Guru

(murid)

Rasio Murid per Sekolah (murid)

PAUD 8 28

SD 32 308

SMP 8 82

Sumber : Data Profil Desa Muara 2014 (diolah)

Tabel 6 menunjukkan rasio jumlah murid per guru pada tingkatan PAUD sebanyak delapan murid per guru, pada tingkatan SD sebanyak tiga puluh dua murid per guru dan pada tingkatan SMP sebanyak delapan murid per guru. Rasio jumlah murid per guru pada tingkatan PAUD dan SD masih wajar seperti pada sekolah umumnya, namun untuk rasio jumlah murid per guru pada tingkatan SMP tergolong rendah. Artinya jumlah murid masih sangat sedikit, sedangkan jumlah guru sudah memadai. Hal ini dikarenakan masih rendahnya kesadaran akan pendidikan untuk sebagian masyarakat. Selain itu sebagian masyarakat Desa Muara menyekolahkan anaknya untuk melanjutkan pendidikan setelah lulus SD di luar desa ataupun pesantren di luar desa. Begitupun pada rasio jumlah murid per sekolah. Rasio jumlah murid per sekolah pada tingkat pendidikan SMP pun tergolong sedikit. Tabel 7 Jumlah dan persentase penduduk berdasarkan tingkat pendidikan Desa

Muara Tahun 2014

No. Tingkat Pendidikan Jumlah Penduduk

(orang)

Persentase (%)

1. Tidak Sekolah 336 25.49

2. Tidak Tamat SD/Sederajat 160 12.14

3. Tamat SD/Sederajat 531 40.29

4. Tamat SLTP/Sederajat 149 11.31

5. Tamat SLTA/Sederajat 125 9.48

6. Sarjana/D1-D3 12 0.91

7. Pascasarjana/S2-S3 5 0.38

Total 1318 100.00

Sumber : Data Profil Desa Muara 2014 (diolah)

Sebagian besar masyarakat Desa Muara berpendidikan rendah yakni tidak pernah sekolah ataupun hanya sebatas lulus sekolah dasar. Masyarakat desa yang tidak pernah sekolah rata-rata adalah orang dewasa tua yang telah berkeluarga. Sedangkan sebagian besar penduduk dewasa muda berpendidikan sampai dengan SLTP/Sederajat atau SLTA/Sederajat. Kemudian sebagian dari mereka akan


(47)

29

melanjutkan bekerja menjadi buruh pabrik dan sebagian kecil lainnya membantu usaha nelayan keluarganya.

Stratifikasi Sosial

Stratifikasi sosial atau pelapisan sosial di Desa Muara dapat dilihat dari sumber mata pencaharian, kepemilikan lahan, dan aset kepemilikan. Sebagian besar masyarakat di Desa Muara bermata pencaharian sebagai nelayan. Letak geografis Desa Muara yang berada di pesisir pantai menjadikan nelayan sebagai mata pencaharian pokok masyarakatnya. Struktur sosial masyarakat Desa Muara terbagi atas tiga lapisan, yaitu lapisan atas, lapisan menengah, dan lapisan bawah. Adapun beberapa orang diluar masyarakat Desa Muara yang disebut sebagai “bos-bos” yang memiliki lahan di Desa Muara. Lahan-lahan tersebut dijadikan tambak. Maka “bos -bos” inilah yang menduduki lapisan teratas. Selain itu, adapun beberapa warga desa yang memiliki usaha ekowisata di desa ini yang juga menduduki lapisan teratas. Ekowisata tersebut yakni kegiatan penanaman mangrove, kolam pancing, rumah makan, saung, penyewaan perahu, dan lain-lain.

Sedangkan untuk lapisan menengah, yakni masyarakat yang bermata pencaharian sebagai nelayan, memiliki aset kepemilikan yakni perahu, jala, atau bubu, kemudian juga memiliki usaha atau pekerjaan lain disamping nelayan. Lapisan bawah merupakan masyarakat desa yang bermata pencaharian sebagai nelayan namun tak memiliki aset kepemilikan apapun. Nelayan tersebut tidak menggunakan alat apapun dalam mencari ikan, kerang, kepiting dan lain-lain di laut. Ataupun mereka dapat meminjam perahu kepada tetangga atau kerabat mereka yang memiliki perahu. Selain itu adapun masyarakat desa yang bermata pencaharian sebagai buruh, yakni buruh bangunan dan buruh pabrik. Buruh tersebut dikategorikan dalam lapisan bawah.

Pola Kebudayaan Masyarakat

Masyarakat Desa Muara tidak memiliki kebudayaan yang khas seperti masyarakat desa umum lainnya. Bahasa yang digunakan masyarakat Desa Muara pun adalah bahasa indonesia, namun logatnya seperti campuran antara sunda dengan betawi. Hal ini dikarenakan letak Muara di Kabupaten Tangerang yang merupakan bagian dari Provinsi Banten, namun berbatasan langsung dengan Jakarta. Sehingga logat masyarakat Desa Muara percampuran antara logat sunda dari Banten dan betawi dari Jakarta. Namun logat dominan yakni logat betawi. Kemudian tidak ada juga bentuk pranata sosial atau aturan lokal yang khas yang mengatur hubungan interaksi antara individu dengan masyarakat maupun antara individu dengan lingkungan.

Interaksi antar individu masih menganut nilai kekeluargaan yang masih kental di dalam hubungan masyarakat Desa Muara. Selain memang banyak masyarakat yang masih terikat dalam ikatan keluarga di dalam satu desa, nilai kerja sama dan tolong menolong antar warga pun masih kental. Nilai kerja sama dan tolong menolong ditunjukkan dengan adanya interaksi masyarakat untuk saling membantu masyarakat yang membutuhkan bantuan.


(48)

Pola-Pola Adaptasi Ekologi Masyarakat

Desa Muara sebelumnya merupakan hutan-hutan mangrove. Pada masa pemerintahan Soekarno, kemudian dibuka jalan menuju wilayah yang sekarang di sebut Desa Muara. Pada saat itu presiden membuat pengelolaan hutan bersama masyarakat. Kemudian dibuatlah jalur-jalur kecil untuk tambak ikan. Hal ini menarik masyarakat untuk terus mengembangkan tambak-tambak ikan di wilayah tersebut. Pada akhirnya, hutan mangrove semakin ditebang oleh masyarakat untuk dijadikan tambak. Pada saat itulah mulai terjadi pengurangan hutan mangrove. Tak sampai disitu, adanya korporasi besar yang berproduksi di lepas pantai dekat Desa Muara ternyata memberikan dampak terhadap pengurangan jumlah hutan mangrove. Korporasi besar yang memproduksi pasir terus menjalankan operasinya hingga menyebabkan menyebabkan pengurangan jumlah hutan mangrove secara drastis.

Letak desa ini tepat di pesisir pantai, sehingga sebagian besar masyarakat Desa Muara bermata pencaharian sebagai nelayan. Nelayan di Desa Muara selain menangkap ikan di laut, juga mencari udang, kerang, dan rumput laut. Selain itu juga ada yang mencari botol-botol atau kaleng-kaleng bekas di sekitar hutan mangrove. Karena biasanya terdapat banyak sampah atau limbah botol-botol dan kaleng-kaleng yang terbawa arus pantai dan tersangkut di sekitar hutan mangrove. Hasil tangkap nelayan dijual kepada pengumpul di desa tersebut. Tidak ada industri pengolahan hasil tangkap, sehingga apa yang mereka dapatkan dari melaut langsung dijual kepada pengumpul.

Sama halnya dengan pertanian di sawah atau ladang, melaut juga ada masa panen dan masa panceklik. Pada masa panen, hasil tangkap nelayan melimpah sehingga penghasilan nelayan jauh lebih tinggi dibanding buruh. Namun pada masa panceklik nelayan hanya mendapat sedikit sekali hasil tangkap, bahkan hasil tangkapnya tidak dapat dijual hanya dijadikan konsumsi saja. Maka nelayan di masa panceklik melakukan alternatif lain untuk mendapat penghasilan yakni dengan mencari botol bekas di pinggir pantai atau menjadi buruh lepas. Kemudian setelah adanya kegiatan rehabilitasi mangrove, beberapa nelayan yang tergabung menjadi anggota kelompok tani penanam mangrove juga menjadikan penanaman mangrove sebagai pekerjaan sampingan untuk menghasilkan uang. Karena setiap mencari bibit, menyemai, dan menanam mereka mendapat upah. Kegiatan ini juga dapat dijadikan alternatif untuk menghasilkan pendapatan. Semenjak adanya kegiatan rehabilitasi mangrove sekaligus menumbuhkan perilaku menanam dan memelihara hutan mangrove. Kemudian meningkatkan juga kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap kelestarian hutan mangrove. Meskipun perilaku tersebut harus didorong dengan bayaran upah bagi mereka.

Adanya Program rehabilitasi mangrove di Desa Muara yang difasilitasi oleh CSR PT Pertamina, mengajak masyarakat untuk merehabilitasi mangrove. Kegiatan rehabilitasi mangrove dilalukan dengan menanam kembali lahan yang kosong dengan pohon-pohon mangrove. Pohon-pohon mangrove yang ditanam tidak boleh untuk ditebang. Kegiatan tersebut dilakukan oleh kelompok tani yang dibentuk bagi masyarakat yang bersedia untuk merehabilitasi mangrove. Pemeliharaan pohon-pohon mangrove dilakukan secara rutin oleh ketua kelompok tani dan dilakukan secara sukarela oleh anggota kelompok tani maupun masyarakat Desa Muara yang belum tergabung dalam program rehabilitasi mangrove.


(49)

31

Tidak ada kegiatan yang secara langsung mengeksploitasi pohon mangrove. Masyarakat biasanya hanya mengambil buah kayu yaitu benih mangrove yang digunakan untuk ditanam kembali. Selain itu masyarakat juga dapat memetik buah dari salah satu jenis pohon mangrove, yakni jenis api-api. Buah yang mereka petik biasanya hanya untuk konsumsi saja, dimana buah mangrove tersebut dapat dibuat onde-onde dan kolak. Untuk kayu mangrove, tidak ada lagi kegiatan penebangan kayu mangrove. Meskipun sebelumnya kayu mangrove dapat dimanfaatkan untuk dijadikan kayu bakar, namun saat ini masyarakat telah beralih ke kompor gas. Sehingga tidak ada lagi penebangan pohon mangrove untuk diambil kayunya.

Adapun beberapa warga Desa Muara yang berprofesi sebagai pengusaha. Kawasan rehabilitasi mangrove memberikan potensi ekowisata di desa tersebut. Usaha yang terdapat di Desa Muara yaitu, kolam pancing, rumah makan, saung-saung, dan lain-lain.

Karakteristik Responden

Jumlah responden dalam penelitian ini adalah sebanyak 27 orang yang tergabung dalam anggota aktif kelompok rehabilitasi mangrove. Berikut adalah karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan, golongan umur, dan sumber mata pencaharian.

Pendidikan

Rata-rata pendidikan masyarakat Desa Muara adalah tamat SD dengan persentase 40.29 %. Sedangkan tidak tamat SD sebesar 12.14 % dan tidak sekolah sebesar 25.49 %. Sehingga persentase terbesar tingkat pendidikan masyarakat Desa Muara adalah tidak sekolah sampai tamat SD. Begitu pun rata-rata pendidikan responden penelitian ini. Tabel 8 menunjukkan persentase tingkat pendidikan terbesar berada pada tingkatan tidak sekolah/tidak tamat SD dengan persentase sebesar 74.1 %.

Tabel 8 Jumlah dan persentase anggota kelompok rehabilitasi mangrove berdasarkan tingkat pendidikan Tahun 2015

No Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) Persentase (%)

1. Tidak Sekolah/Tidak Tamat SD 20 74.1

2. Tamat SD 4 14.8

3. Tamat SMP 2 7.4

4. Tamat SMA 1 3.7

Total 27 100.0

Persentase terbesar pada tingkatan pendidikan tidak sekolah/tidak tamat SD dikarenakan sebagian besar orang tua di Desa ini tidak bersekolah atau hanya sampai SD. Sulitnya akses ke sekolah pada masa dulu menjadi salah satu alasan masyarakatnya tidak sekolah atau tidak melanjutkan sekolahnya. Namun saat ini Desa Muara telah memiliki fasilitas sekolah sehingga masyarakat Desa Muara yang berada pada usia sekolah sudah mulai merasakan pendidikan hingga SMP atau SMA.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)