Metode Pengumpulan Data Metode Analisis Data Uji Analisis Regresi Berganda

3.3 Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini pelaksanaan metode pengumpulan data dimaksudkan untuk mendapatkan bahan-bahan yang relevan terkait dengan permasalahan yang diangkat dan akurat kualitasnya. Adapaun metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: studi pustaka, yaitu metode pengumpulan data dengan membaca literatur terkait konsumsi rokok dan kemiskinan, maupun sumber lain seperti dokumen di BPS, Riskesdas, buku panduan umum penggunaan dana pajak rokok untuk bidang kesehatan , yang terkait dengan penelitian ini.

3.4 Metode Analisis Data

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi Ordinary Least Square OLS. Analisis regresi merupakan metode untuk menganalisis hubungan antar variabel. Hubungan tersebut diekspresikan dalam bentuk persamaan yang menghubungkan variabel dependen dengan satu atau lebih variabel independen Gujarati,2003. Mengidentifikasi variabel dependen dan variabel independen digunakan model analisis inferensial, yaitu analisis regresi berganda yang dinyatakan dalam bentuk fungsi sebagai berikut: Y = f X 1 , X 2 ………….………….………….…………. 1 Sehingga model regresi dapat dituliskan sebagai berikut: Y = β0 + β 1 X1 + β 2 X2 + μ..................................................................2 Dimana: Y = Konsumsi Rokok Batang β = Konstanta intersep β 1 , β 2 = Parameter X 1 = Garis Kemiskinan Rupiah X 2 = Pajak Rokok Rupiah i = Error term

3.5 Pengujian Asumsi Klasik

3.5.1 Koefisien Determinasi R-Square

Mengetahui besarnya pengaruh variable independen yaitu Garis Kemiskinan X 1 , Pajak RokokX 2 , berpengaruh terhadap variable dependen yaitu Konsumsi Rokok Y, maka digunakan analisis koefisien determinasi R 2 . Melihat seberapa besar variasi dalam variabel dependen dijelaskan secara bersama-sama oleh variabel dependen, dan untuk melihat seberapa baik model dapat menjelaskan variabel dependen, maka statistik menggunakan R-Square R 2 . Kita dapat melihat seberapa besar R-square, semakin tinggi nilai R-square maka model semakin mampu mejelaskan variabel dependen. Maka R-square yang tinggi yang sangat diharapkan dalam penelitian. Logika ekonomi tetap diutamakan dalam melihat R-square tersebut. Apabila jenis data cross-section yang digunakan didapatkan nilai R-square rendah namun hasil pengujian signifikan dan arahnya sesuai dengan teori ekonomi maka model tersebut dapat digolongkan sebagai model yang layak secara statistik Gujarati,2003.

3.5.2 Uji F-Statistik

Uji signifikansi ini pada dasarnya dimaksudkan untuk membuktikan secara statistik bahwa seluruh variable independen yaitu garis kemiskinan X 1 , pajak rokok X 2 , berpengaruh terhadap variable dependen yaitu konsumsi rokok Y. Hipotesis dari uji ini adalah : 1. H0 : β0 = β1 = β2 = 0, semua variabel bebas secara bersama-sama tidak berpengaruh terhadap variabel tidak bebasnya. 2. H1 : Minimal ada satu βi ≠ 0, atau setidaknya ada satu variabel bebas yang mempengaruhi variabel tidak bebasnya Gujarati, 2003. Uji F digunakan untuk menunjukkan apakah keseluruhan variable independen berpengaruh terhadap variable dependen dengan menggunakan Level of significance 5 persen. Kriteria pengujiannya apabila nilai F-hitung F-tabel maka hipotesis diterima yang artinya seluruh variable independen yang digunakan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variable dependen. Apabila F-hitung F-tabel maka hipotesis ditolak yang berarti seluruh variable independen berpengaruh secara signifikan terhadap variable dependen dengan taraf signifikan tertentu.

3.5.3 Uji t-Statistik

Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah masing-masing variable independen secara sendiri-sendiri mempunyai pengaruh secara signifikan terhadap variable dependen. Dengan kata lain, untuk mengetahui apakah masing-masing variable independen dapat menjelaskan perubahan yang terjadi pada variable dependen secara nyata. Bila t hitung t tabel maka H i diterima signifikan dan jika t hitung t tabel H o diterima tidak signifikan. Uji t digunakan untuk membuat keputusan apakah hipotesis terbukti atau tidak, dimana tingkat signifikan yang digunakan yaitu 5 dan derajat kebebasan atau df = n-k-1 dimana n ada 35 kabupatenkota yang ada di Jawa Tengah dan K adalah jumlah variabel 2 yaitu garis kemiskinan, dan pajak rokok. Maka nilai df yaitu 35-2- 1=32.

3.6 Uji Asumsi Klasik

Pengujian asumsi klasik pada model regresi digunakan untuk menunjukkan apakah hubungan antara variabel bebas memiliki hubungan yang valid atau tidak terhadap variabel terikat. Adapun asumsi dasar yang harus dipenuhi, antara lain:

3.6.1 Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi cross-section variabel-variabelnya berdistribusi normal atau tidak. Model regresi yang baik adalah memiliki distribusi data normal atau mendekati normal. Untuk mengetahui data tersebut berdistribusi normal, maka angka signifikansi probability harus lebih besar dari dari α 5 persen = 0,05.

3.6.2 Uji Multikolinearitas

Multikolinearitas adalah tidak adanya hubungan linear antar variabel independen dalam suatu model regresi. Untuk mengetahui atau mendeteksi ada tidaknya multikolinearitas dapat dilakukan dengan melihat korelasi antar variabel bebas Correlation Matrix dimana apabila kurang dari 0,80 maka tidak terdapat multikolinearitas dan sebaliknya apabila hubungan variabel di atas 0, 80 maka terdapat multikolinearitas.

3.6.3 Uji Heteroskedastisitas

Uji Heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi terjadi ketidaksamaan varian dari residul satu pengamatan ke pengamatan lain. Heteroskedastisitas terjadi apabila varian tidak konstan atau berubah-ubah atau keadaan dimana faktor gangguan tidak memiliki varian yang sama. Untuk mendeteksi heteroskedastisitas pada model persamaan regresi dilakukan dengan Uji White Test menggunakan White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors Covariance. Keputusan terjadi atau tidaknya heteroskedasitas pada model adalah melalui nilai probablitias Chi squares. Apabila nilai probablitias Chi squares lebih besar dari tingkat alpha 0,05 maka H diterima yang artinya tidak terjadi heteroskedasitas, sedangkan apabila nilai probablitias Chi squares lebih kecil dari tingkat alpha 0,05 maka H 1 diterima artinya terjadi heteroskedastisitas. 55 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

4.1.1 Perekonomian Daerah Jawa Tengah 4.1.1.1 Produk Domestik Regional BrutoPDRB Pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah tahun 2013 yang ditunjukkan oleh laju pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto PDRB atas dasar harga konstan 2000, lebih rendah dari tahun sebelumnya yaitu 5,81 persen 2012 = 6,34 persen. Rendahnya peningkatan investasi menjadi salah satu penyebab rendahnya pertumbuhan ekonomi tahun 2013 dibandingkan tahun 2012. Pertumbuhan riil sektoral tahun 2013 mengalami fluktuasi dari tahun sebelumnya. Pertumbuhan tertinggi dicapai oleh sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan sebesar 10,58 persen, namun peranannya terhadap PDRB hanya sekitar 3,73 persen. Sektor pertanian mengalami pertumbuhan yang paling rendah pada tahun 2013, yaitu sebesar 2.18 persen. Sektor industri pengolahan masih memberikan sumbangan tertinggi terhadap ekonomi Jawa Tengah yaitu sebesar 32,56 persen, dengan laju pertumbuhan sebesar 5,91 persen. Sektor perdagangan, hotel dan restoran yang juga merupakan sektor dominan memberikan sumbangan bagi perekonomian Jawa Tengah sebesar 20,73 persen dengan pertumbuhan rill sebesar 7,47 persen. Sektor pertanian mengalami pertumbuhan sebesar 2,18 persen, masih mempunyai peranan yang cukup besar terhadap pertumbuhan ekonomi, karena mampu memberi andil sebesar 18,30 persen. Angka-angka indeks implisit PDRB, dapat diketahui kenaikan harga dari waktu ke waktu baik secara agregat mauput secara sektoral. Secara agregat indek implisit di Jawa Tengah tahun 2013 sebesar 279,58. Sedangkan secara sektoral, pertumbuhan indeks implisit yang paling cepat atau di atas angka rata-rata indeks implisit Jawa Tengah pada tahun 2013 terjadi pada sektor listrik dan air bersih sebesar 334,48 persen. Sektor lain yang perkembangan indeks implisitnya paling lamban adalah sektor pertambangan dan penggalian yaitu sebesar 238,75 persen. Pada tahun 2013, Produk Domestrik Regional Bruto PDRB per kapita atas dasar harga berlaku mencapai 18,8 juta rupiah, naik 11,19 persen dari tahun sebelumnya. Sementara untuk PDRB perkapita atas dasar harga konstan 2000 sebesar 6,7 juta rupiah atau meningkat 4,97 persen.

4.1.1.2 Pengeluaran Konsumsi Perkapita

Besarnya pendapatan yang diterima rumah tangga dapat menggambarkan kesejahteraan suatu masyarakat. Pengeluaran rumah tangga terdiri dari pengeluaran makanan dan non makanan dapat menggambarkan bagaimana penduduk mengalokasikan kebutuhan rumah tangganya. Walaupun harga antar daerah berbeda, namun nilai pengeluaran rumah tangga masih dapat menunjukkan perbedaan tingkat kesejahteraan penduduk antar provinsi khususnya dilihat dari segi ekonomi. Rata-rata pengeluaran per kapita sebulan penduduk Jawa Tengah tahun 2013 tercatat sebesar 574.923 rupiah. Rata-rata pengeluaran di daerah perkotaan lebih tinggi dibandingkan di pedesaan, yakni 678.661 rupiah dibandingkan 478.159 rupiah. Dengan kata lain, rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di perdesaan hanya 71,78 persen dari pengeluaran di daerah perkotaan. Tahun 2013, sebesar 45,66 persen pengeluaran perkapita di perkotaan digunakan untuk kebutuhan makanan, sedangkan di perdesaan tercatat sebesar 54,61 persen. Dibandingkan tahun 2012, terlihat adanya penurunan persentase pengeluaran untuk konsumsi makanan di perkotaan. Pada tahun tersebut, persentase pengeluaran untuk konsumsi makanan di perkotaan dan perdesaan masing-masing hanya 47,80 dan 53,73 persen.

4.1.2 Kondisi Demografis

Jumlah penduduk Jawa Tengah pada Tahun 2013 berdasarkan proyeksi Sensus Penduduk SP 2010 sebanyak 33.264.339 jiwa atau sekitar 13,92 dari jumlah penduduk Indonesia. Ini menempatkan Jawa Tengah sebagai provinsi ketiga di Indonesia dengan jumlah penduduk terbanyak setelah Jawa Barat dan Jawa Timur. Jumlah Penduduk perempuan lebih besar dibandingkan penduduk laki-laki ini ditunjukkan oleh rasio jenis kelamin rasio jumlah penduduk laki-laki terhadap jumlah penduduk perempuan sebesar 98,42 yang terdiri dari laki-laki sebanyak 16.499.377 jiwa 49,58 dan perempuan sebanyak 16.764.962 jiwa 50,42. Dengan pertumbuhan penduduk 0 dan kepadatan penduduk 1.022 jiwakm 2 . Jumlah penduduk paling banyak berada di Kabupaten Brebes dengan jumlah penduduk sebanyak 1.764.648 jiwa. Jumlah rumah tangga di Jawa Tengah sebesar 8,8 Juta pada tahun 2013 sedangkan rata-rata penduduk perumah tangga di Jawa Tengah tercatat sebesar 3,8 Jiwa atau sekitar 4 Jiwa.

4.1.3 Kondisi Konsumsi Rokok

Rokok adalah salah satu produk tembakau yang dimaksudkan untuk dibakar, dihisap, danatau dihirup termasuk rokok kretek, rokok putih, cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana Tabacum, Nicotiana Rustica, dan spesies lainnya atau sintetisnya yang asapnya mengandung nikotin dan tar, dengan atau tanpa bahan tambahan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Tabel 4.1 Prevalensi Perokok dan Konsumsi Rokok bedasarkan KabupatenKota di Jawa Tengah Tahun 2013 No. KabupatenKota Konsumsi Rokok Merokok Tidak 1 Kab. Cilacap 3.467,50 77,5 22,5 2 Kab. Banyumas 3.869,00 54,8 45,2 3 Kab. Purbalingga 3.796,00 73,3 26,7 4 Kab. Banjarnegara 3.504,00 68,3 31,7 5 Kab. Kebumen 3.139,00 49,5 50,5 6 Kab. Purworejo 3.212,00 67,9 32,1 7 Kab. Wonosobo 3.029,50 80,5 19,5 8 Kab. Magelang 3.248,50 79,2 20,8 9 Kab. Boyolali 3.869,00 57,5 42,5 10 Kab. Klaten 3.759,50 54 46 11 Kab. Sukoharjo 3.212,00 58 42 12 Kab. Wonogiri 3.285,00 47,3 52,7 13 Kab. Karanganyar 3.308,23 77,6 30,2 14 Kab. Sragen 3.832,50 58 42 15 Kab. Grobogan 3.978,50 61,9 38,1 16 Kab. Blora 4.124,50 71,4 28,6 17 Kab. Rembang 4.708,50 68 32 18 Kab. Pati 3.832,50 48,4 51,6 19 Kab. Kudus 4.015,00 75,5 24,5 20 Kab. Jepara 4.307,00 75,4 24,6 21 Kab. Demak 4.051,50 55,9 44,1 22 Kab. Semarang 3.321,50 65,9 34,1 23 Kab. Temanggung 3.577,00 51 49 24 Kab. Kendal 3.942,00 66,3 33,7 25 Kab. Batang 3.577,00 58,2 41,8 26 Kab. Pekalongan 3.504,00 52,8 47,2 27 Kab. Pemalang 3.613,50 41,4 58,9 28 Kab. Tegal 3.796,00 69,9 30,1 29 Kab. Brebes 4.015,00 52,3 47,7 30 Kota Magelang 3.613,50 64,1 35,9 31 Kota Surakarta 4.015,00 64,7 35,3 32 Kota Salatiga 4.197,50 94,9 5,1 33 Kota Semarang 3.905,50 60,2 39,8 34 Kota Pekalongan 3.686,50 61,1 38,9 35 Kota Tegal 3.978,50 74,3 25,7 Sumber: RISKESDAS Jawa Tengah, 2013 Kondisi perokok di Jawa Tengah sudah sangat mengkhawatirkan. Data Riskesdas menunjukkan bahwa prevalensi merokok di Jawa Tengah terbesar ketiga setelah Jawa Barat dan Jawa Timur. Prevelensi perokok di Jawa Tengah pada tahun 2013 terbanyak adalah Kota Salatiga dengan jumlah perokok 94,9 dan frekuensi perokok laki-laki paling sedikit adalah Kabupaten Pamalang dengan jumlah perokok hanya 41,1. Konsekuensinya , perlahan dan pasti penduduk Jawa Tengah terancam oleh berbagai penyakit berbahaya akibat merokok yang cenderung terus meningkat dari tahun ke tahun dan menurunkan produktivitas.

4.1.4 Kondisi Kemiskinan

Kemiskinan adalah kondisi yang berkurangan, tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar yaitu sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan yang disebabkan oleh banyak faktor. Kemiskinan di Jawa Tengah tergolong tinggi dibandingkan dengan jumlah kemiskinan di Provinsi lainnya di Indonesia. Menurut BPS Jawa Tengah September 2013 jumlah penduduk miskin mencapai 4704,87 Juta Orang. Selama periode Maret – September 2013, penduduk miskin di daerah perkotaan berkurang sekitar 40,48 ribu orang dari 1.911,21 ribu orang pada Maret 2013 menjadi 1.870,73 ribu orang pada September 2013, sementara di daerah perdesaan bertambah 12,40 ribu orang dari 2.821,74 ribu orang pada Maret 2013 menjadi 2.834,14 ribu orang pada September 2013. Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada Maret 2013 sebesar 12,87 persen menurun menjadi 12,53 persen pada September 2013. Namun persentase penduduk miskin di daerah perdesaan meningkat yaitu dari 15,99 persen pada Maret 2013 menjadi 16,05 persen pada September 2013. Garis kemiskinan atau batas kemiskinan adalah penjumlahan garis kemiskinan makanan GKM dan garis kemiskinan non makanan GKNM. Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan dibawah garis kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin. Garis kemiskinan makanan GKM merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minumum makanan yang disetarakan dengan 2100 kilo kalori perkapita perhari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak, lemak,dll. Garis kemiskinan non makanan GNKM adalah kebutuhan minumum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan. Dilihat dari garis kemiskinan di Jawa Tengah Kabupaten Surakarta menempati posisi pertama yang tertinggi garis kemiskinannya yaitu 371.918 RpKapbl dan Kabupaten Bajarnegara menempati garis kemiskinan yang paling rendah yaitu 221.056 RpKapbl. Tabel 4.2 Penduduk Miskin Menurut KabupetenKota di Jawa Tengah No KabupatenKota Jumlah Penduduk Miskin 000 Orang Garis Kemiskinan 2011 2012 2013 1 Kab. Cilacap 281,95 265,70 255,70 256.615 2 Kab. Banyumas 328,51 309,80 296,80 295.742 3 Kab. Purbalingga 196,00 184,90 181,10 265.262 4 Kab. Banjarnegara 177,31 167,00 166,80 221.056 5 Kab. Kebumen 279,42 262,80 251,10 267.763 6 Kab. Purworejo 121,94 114,80 109,00 273.481 7 Kab. Wonosobo 182,95 172,40 170,10 258.522 8 Kab. Magelang 179,58 169,40 171,00 235.430 9 Kab. Boyolali 139,52 131,50 126,50 247.845 10 Kab. Klaten 203,05 191,30 179,50 315.566 11 Kab. Sukoharjo 91,97 85,70 84,10 279.400 12 Kab. Wonogiri 146,37 137,90 132,20 235.728 13 Kab. Karanganyar 124,49 117,40 114,40 275.856 14 Kab. Sragen 154,26 145,30 139,00 247.495 15 Kab. Grobogan 227,78 214,60 199,00 278.786 16 Kab. Blora 134,93 127,10 123,80 237.850 17 Kab. Rembang 140,38 132,40 128,00 284.160 18 Kab. Pati 175,12 165,00 157,90 314.609 19 Kab. Kudus 73,59 69,30 70,10 299.097 20 Kab Jepara 113,35 107,00 106,90 285.287 21 Kab. Demak 192,47 181,60 172,50 299.773 22 Kab. Semarang 95,99 90,60 83,20 263.352 23 Kab. Temanggung 94,92 89,50 91,10 229.097 24 Kab. Kendal 128,58 121,20 117,70 275.016 25 Kab. Batang 95,31 89,80 87,50 208.671 26 Kab. Pekalongan 125,94 118,60 116,50 293.039 27 Kab. Pemalang 261,20 245,90 246,80 271.861 28 Kab. Tegal 161,12 151,70 149,80 258.366 29 Kab. Brebes 394,42 371,40 367,90 307.238 30 Kota Magelang 13,09 12,30 11,80 350.554 31 Kota Surakarta 64,50 60,70 59,70 371.918 32 Kota Salatiga 13,31 12,60 11,50 302.884 33 Kota Semarang 88,45 83,30 86,70 328.271 34 Kota Pekalongan 28,28 27,30 24,10 322.313 35 Kota Tegal 25,92 24,40 21,60 333.553 Sumber: BPS Jawa Tengah tahun 2013

4.1.5 Kondisi Pajak Rokok

Mengatur pajak daerah pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No.28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi. Pungutan pajak tersebut dilakukan oleh pemerintah daerah di satu sisi guna untuk meningkatkan pendapatan daerah di sisi lain sebagai kebijakan desentralisasi fiskal yang difokuskan pada pengutan kemampuan keuangan daerah yang salah satunya implementasi pajak rokok. Implementasi pajak rokok dengan bagi hasil kepada pemerintah pusat dengan mengenakan tambahan pajak pada rokok, meskipun sudah dikenakan cukai, selanjutnya bagian pemerintah provinsi tersebut akan dibagi hasilkan kembali kepada kabupatenkota. Kebijakan rokok melalui pajak rokok diharapkan satu sisi untuk meningkatkan PAD disisi lain diharapkan sebagai pengendali konsumsi, ketika harga rokok naik diharapkan konsumen mengurangi konsumsi rokok dan mengalihkan konsumsi ke makanan yang bergizi karena rokok tidak mengandung zat gizi yang dapat meningkatkan kesehatan. Ketika konsumsi rokok berkurang tidak hanya perokok aktif yang diuntungkan namun perokok pasif juga diuntungkan karena mengurangi dari paparan asap rokok. Pajak rokok juga digunakan sebagai pengendali peredaran rokok ilegal. Penerapan pajak rokok sebesar 10 dari cukai rokok dimaksudkan juga untuk memberikan peran yang optimal bagi pemerintah daerah dalam menyediakan pelayanan kesehatan masyarakat. Tabel 4.3 Penerimaan Pajak Rokok bedasarkan KabupatenKota di Jawa Tengah Tahun 2013 No. KabupatenKota Pajak 1 Kab. Cilacap 39.585.620.480 2 Kab. Banyumas 38.241.548.831 3 Kab. Purbalingga 27.372.881.030 4 Kab. Banjarnegara 27.680.795.681 5 Kab. Kebumen 32.147.247.240 6 Kab. Purworejo 24.983.129.527 7 Kab. Wonosobo 25.913.213.488 8 Kab. Magelang 32.503.398.408 9 Kab. Boyolali 28.641.098.809 10 Kab. Klaten 31.700.423.145 11 Kab. Sukoharjo 26.979.168.009 12 Kab. Wonogiri 28.597.135.242 13 Kab. Karanganyar 26.815.021.934 14 Kab. Sragen 27.483.329.850 15 Kab. Grobogan 34.457.478.678 16 Kab. Blora 27.068.699.426 17 Kab. Rembang 23.397.556.501 18 Kab. Pati 32.640.765.271 19 Kab. Kudus 26.271.956.192 20 Kab. Jepara 31.195.937.361 21 Kab. Demak 30.606.362.794 23 Kab. Temanggung 25.194.540.293 24 Kab. Kendal 28.164.040.120 25 Kab. Batang 25.162.238.641 26 Kab. Pekalongan 27.202.132.708 27 Kab. Pemalang 33.738.959.741 28 Kab. Tegal 35.748.125.589 29 Kab. Brebes 40.999.982.410 30 Kota Magelang 16.096.503.847 31 Kota Surakarta 21.994.193.176 32 Kota Salatiga 16.910.230.901 33 Kota Semarang 38.239.672.031 34 Kota Pekalongan 18.623.575.936 35 Kota Tegal 18.006.389.163 Sumber: Buku Panduan Umum Penggunaan Dana Pajak Rokok Untuk Bidang Kesehatan 2015. Penerimaan pajak rokok di Jawa Tengah tertinggi ketiga setelah Jawa Barat dan Jawa Timur. Penerimaan pajak rokok Jawa Barat pada tahun 2013 sebesar 1.896.133.248.260 dan Jawa Timur sebesar 1.651.708.378.655 serta Jawa Tengah sebesar 1.427.138.337.229. Jawa Tengah menempati posisi ketiga sebagai penerima pajak tertinggi karena Jawa Tengah juga menempati posisi ketiga pada konsumen rokok terbanyak di Indonesia. 35 KabupatenKota yang ada di Jawa Tengah penerimaan pajak rokok pada tahun 2013 tertinggi berada di Kabupaten Cilacap yaitu sebesar 39.585.620.480. Kabupaten yang penerimaan pajak rokok yang paling rendah di Jawa Tengah yaitu Kota Magelang sebesar 16.096.503.847. Kontribusi pajak rokok di Jawa tengah sebesar 13,14 persen dari total keseluruhan yang ada di Indonesia.

4.2 Uji Analisis Regresi Berganda

Analisis regresi berganda digunakan untuk melihat bagaimana pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat yang dibahas dalam penelitian ini. Dalam hal ini analisis regresi bertujuan untuk menghitung seberapa besar pengaruh garis kemiskinan dan pajak terhadap konsumsi rokok di Jawa Tengah pada tahun 2013. Hasil regresi ini menggunakan alat bantu yaitu program komputer Eviews 8.0. Hasil regresi berganda yang di dapat adalah sebagai berikut : Tabel 4.4 Hasil Regresi Berganda Variabel Koefisien Std. Eror t-Statistik Prob. C 2682,959 607,4643 4,416640 0,0001 GK 0,003597 0,001692 2,126210 0,0413 PJK 0,00000000117 0,0000000102 0,114600 0,9095 Sumber: Hasil Olahan Eviews 8 Persamaan regresi berganda antara Garis kemiskinan X 1 , Pajak X 2 , dan Konsumsi rokok Y di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 adalah Y = 2682,59 + 0,003597GK + 0,00000000117PJK + e Keterangan: Y adalah Konsumsi Rokok Batang GKX 1 adalah Garis Kemiskinan Rupiah PJKX 2 adalah Pajak Rokok Rupiah e adalah Error Dari hasil model regresi yang disajikan dapat dibuat suatu interpretasi statistik tentang perubahan pada variabel dependen yang disebabkan oleh perubahan pada variabel independen. 1. Nilai konstanta sebesar 2682,59. Mengandung arti bahwa tanpa adanya variabel-variabel garis kemiskinan dan pajak rokok, tingkat konsumsi rokok masyarakat Jawa Tengah adalah 2683 batang. 2. Nilai koefisien X1 Garis kemiskinan adalah 0,003597. Mengandung arti bila terjadi kenaikan garis kemiskinan 1 rupiah akan diikuti dengan kenaikan konsumsi rokok sebesar 0,003 batang rokok. Hal ini menunjukan bahwa signifikan hipotesis adanya pengaruh positif dan signifikan variabel garis kemiskinan terhadap konsumsi rokok terbukti. 3. Nilai koefisien X2 Pajak rokok adalah 0,00000000117. Mengandung arti bila terjadi kenaikan pajak rokok 1 rupiah akan diikuti dengan kenaikan konsumsi rokok sebesar 0,00 batang rokok.

4.3 Hasil Uji Kriteria Statistik