Pembahasan Pembuatan Poliuretan Sebagai Media Penyaring Air Payau Dari Lignin Isolat Kayu Jati Dengan Bahan Aditif Pasir

4.1.7 Hasil Analisa Parameter Air Payau

Analisa parameter air payau dilakukan untuk mengetahui kemampuan poliuretan yang dihasilkan agar dapat dimanfaatkan sebagai penyaring air.Analisa yang dilakukan adalah Total Suspended Solid TSS dan Total Dissolved Solid TDS. Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 4.4 Analisa Air Payau dengan Poliuretan Tanpa Penambahan Pasir Parameter Sebelum Penyaringan Sesudah Penyaringan pH 6 6 TDS 23 mgL 23 mgL TSS 1,4 mgL 1,4 mgL Tabel 4.5 Analisa Air Payau Poliuretan-Pasir dengan perbandingan 3:7 Parameter Sebelum Penyaringan Sesudah Penyaringan Persentase pH 6 6 TDS 23 mgL 12 mgL 47,28 TSS 1,4 mgL 0,2 mgL 85,71

4.2 Pembahasan

4.2.1 Isolasi Lignin dari Kayu Jati

Sebelum dilakukan proses isolasi lignin, serbuk kayu jati dihaluskan dengan blender dan diayak dengan menggunakan ayakan 177 mikron. Tahap selanjutnya adalah proses isolasi lignin dari serbuk kayu jati. Tahap pertama adalah proses ekstraksi menggunakan etanol dan benzena. Proses ini dilakukan untuk melarutkan lemak, resin, ekstraktif,bahan-bahan larut pelarut organik tidak polar atau sedikit polar. Pada tahap ini menghasilkan serbuk hasil ekstraksi yang memiliki bau menyengat dari benzena, sehingga perlu dihilangkan dengan etanol dan air panas. Selanjutnya proses hidrolisis menggunakan H 2 SO 4 60 selama 45 menit. Tahap ini untuk memisahkan lignin dengan depolimerisasi selulosa dan hemiselulosa. Lalu dihidrolisis kembali dengan H 2 SO 4 3 untuk menyempurnakan penghilangan polisakarida dan komponen non-lignin yang masih bercampur.Kemudian dipanaskan selama 1 jam, diamkan 1 malam hingga diperoleh endapan. Lignin yang diperoleh masih bersifat asam, sehingga perlu dilakukan proses penetralan. Lignin yang diperoleh kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105°C. Lignin isolat yang diperoleh berwarna coklat dengan nilai rendemen 24,84. Perbedaan rendemen lignin disebabkan oleh penambahan asam sulfat dengan konsentrasi tinggi sehingga suhu pada saat proses pengendapan lignin meningkat yang menyebabkan lignin mengalami perubahan struktur menjadi senyawa lain yang larut dalam asam, adanya lignin yang tidak terendapkan saat pengasaman, selain itu juga karena tingkat pengasaman yang tidak merata akibat konsentrasi asam yang tinggi Ibrahim, 2003. Menurut Achmadi 1990 bahwa pada suasana asam lignin cenderung melakukan kondensasi sehingga lignin yang tak terkondensasi akan mengendap dan rendemen semakin besar.

4.2.2 Karakterisasi Lignin Isolat Kayu Jati dengan Spektroskopi FTIR

Analisa gugus fungsi dari lignin isolat yang dihasilkan diamati melalui interpretasi puncak-puncak serapan inframerah yang dihasilkan. Lignin isolat yang diperoleh memiliki vibrasi khas pada daerah serapan 1325,97 cm -1 untuk unit siringil dan serapan pada daerah 1269,69 cm -1 untuk unit guaiasil yang merupakan ciri khas kayu keras. Kayu lunak mengandung unit guaiasil yang diturunkan dari koniferil alkohol dan sedikit turunan sinapil alkohol. Sementara untuk kayu keras mengandung siringil-guaiasil yang diturunkan koniferil alkohol-sinapil alkohol dengan perbandingan tertentu Dence, 1992. Hasil identifikasi menunjukkan adanya serapan bilangan gelombang pada daerah 3448,72 cm -1 rentangan O-H, serapan 2959,52 cm -1 rentangan OH pada gugus metil dan metilen, daerah 1620,81cm -1 rentangan OH pada gugus metil dan metilen, 1488,18 cm -1 vibrasi cincin aromatik. Unit-unit penyusun lignin ditemui pada daerah 1319,21 cm -1 rentangan C-O dalam siringil dan 1219,21cm - 1 rentang C-O pada guaiasil Hergert, 1971. Spektrum standar yang diperoleh oleh Heradewi 2007 dari lignin dengan merek dagang Indulin AT menunjukkan serapan pada bilangan gelombang 3411,36 cm -1 rentangan OH, daerah 2936,36 cm -1 rentangan OH pada gugus metil dan metilen, daerah 1661,36 cm -1 rentangan C=O terkonjugasi dengan cincin aromatik, daerah 1602,27cm -1 dan 1426,14cm -1 vibrasi cincin aromatik, 1327,27 cm -1 vibrasi cincin siringil, daerah 1272,73 cm -1 vibrasi cincin guaiasil. Pergeseran bilangan gelombang mungkin saja terjadi akibat adanya pengaruh struktur batas pada inti aromatik yang terkandung dalam bahan yang dianalisis Fengel, 1995.

4.2.3 Pembuatan PoliuretanPasir

Pasir yang digunakan dicuci untuk menghilangkan pengotor, kemudian dihaluskan hingga berukuran 75 mikron. Tahapan pertama adalah mencampurkan lignin, PPG 1000, air dan TDI ke dalam reaktor, kemudian taburkan pasir perlahan-lahan sambil diaduk dengan kecepatan tinggi dan dengan pemanasan.Hal ini dilakukan agar semua bahan bercampur homogen dan tidak ada gumpalan. Tahapan selanjutnya adalah proses pencetakan, kemudian dibiarkan proses curing selama 2 hari.Poliuretan yang dihasilkan dibuat dengan variasi antara poliuretan dan pasir dengan perbandingan 10:0, 5:5, 4:6, 3:7, 2:8, 1:9. Variasipasir yang ditambahkansebagaibahanpengisi bertujuan untuk mendapatkan poliuretan dengan dayasaring yang baik sehingga dihasilkan nilai maksimum.Gambar 4.8 berikut merupakan reaksi pembentukan poliuretan. CH 2 OH CH CH OH OCH 3 n + H O CH 2 CH CH 3 OH m + OCN NCO CH 3 y CH CH CH 2 O H 3 O NHCO CH 3 NH CO O CH 2 CH CH 3 O CO NH Gambar 4.8 Reaksi Sintesis Poliuretan menurut Hatakeyama 1995, Randall 2002 monomer Lignin Polipropilen Glikol Toluena Diisosianat NH COO C Poliuretan - Pembentukan Poliuretan : - Pembentukan Gas dan Urea : R NCO + H 2 O R + CO 2 Isosianat Air Amin Gas Karbondioksida R NH 2 Amin + R NCO Isosianat R NH CO NH R Urea NH C OH O Asam Karbamat NH 2 Modifikasi sifat poliuretan yang disintesis dapat dilakukan dengan penambahan bahan aditif dan penggunaan pereaksi yang bervariasi. Hatakeyama 1995 mengungkapkan bahwa polimer alam memiliki kereaktifan karena adanya gugus fungsi pada molekulnya, misalnya hidroksi. Dengan adanya gugus hidroksi, lignin dapat dijadikan sebagai sumber poliol untuk sintesis poliuretan. Poliol yang diperoleh dari lignin dapat dijadikan sebagai koreagen yang kompetitif secara ekonomis. Ada dua reaksi penting yang terjadi penelitian ini. Reaksi pertama adalah antara isosianat dengan gugus hidroksil baik dari lignin maupun polipropilen glikol yang membentuk poliuretan. Reaksi kedua adalah reaksi antara air dan isosianat yang menghasilkan amin dan gas CO 2 yang berperan sebagai bahan pengembang, lalu isosianat sisa akan bereaksi dengan amin membentuk urea sebagai segmen keras Wang, 1998.

4.2.4 Analisa Waktu Alir Poliuretan

Analisa ini dilakukan untuk mengetahui laju alir maksimum air yang dilewatkan melalui material yang disintesis. Variasi penambahan pasir terhadap poliuretan dapat mengubah besarnya ukuran pori material yang dihasilkan, sehingga mempengaruhi laju alir air yang dilewatkan melalui material. Semakin besar ukuran pori material akan mempercepat laju alirnya, sebaliknya semakin kecil ukuran pori material akan memperlambat laju alir. Berdasarkan pengamatan diperoleh waktu alir optimum pada poliuretan- pasir dengan perbandingan 3:7 yaitu sebesar 365 sekon. Optimumnya waktu alir air menunjukkan pori-pori yang terbentuk dalam poliuretan sangat rapat. Hal ini nenunjukkan bahwa pada perbandingan ini, poliuretan sebagai binder dapat mengikat pasir secara sempurna. Menurunnya waktu alir setelah mencapai titik optimum disebabkan oleh kemampuan poliuretan yang semakin menurun untuk mengikat pasir dengan komposisi yang lebih besar.

4.2.5 Karakterisasi Poliuretan dengan Spektroskopi FTIR

Berdasarkan hasil analisa waktu alir yang menunjukkan bahwa poliuretan dengan waktu alir optimum adalah perbandingan 3:7.Selanjutnya, dilakukan pengujian dengan spektroskopi FTIR untuk perbandingan 3:7 dan 10:0 tanpa penambahan pasir.Analisa FTIR dilakukan untuk mengetahui gugus fungsi yang terbentuk dan menganlisa interaksi yang terjadi di dalam poliuretan. Hasil identifikasi kedua variasi poliuretan menunjukkan adanya serapan gugus N-H terikat pada daerah 3425,58 cm -1 dan 3421,72 cm -1 , serapan pada 1411,89 cm -1 dan 1411,89 cm -1 merupakan vibrasi cincin aromatik, daerah 1315,45 cm -1 dan 1315,45 cm -1 adalah vibrasi C-N, 1018,41 cm -1 dan 1014,58 cm -1 adalah daerah serapan untuk C-O, serta serapan pada daerah 2881,65 cm -1 untuk gugus metil dan metilen Silverstein, 2005. Tidak terdapatnya serapan di daerah 2270 cm -1 gugus NCO menunjukkan bahwa seluruh isosianat digunakan dalam reaksi. Hasil yang tidak jauh berbeda diperoleh oleh Pradhan 2012, dimana hasil analisa FT-IR terhadap nanokomposit poliuretan yang disintesis dari minyak jarak dan heksametilen diamin menunjukkan adanya serapan pada daerah 3306 cm -1 uluran N-H, 1731 cm -1 uluran karbonil uretan, 1223 cm -1 pasangan uluran C- N dan C-O, dan 1079 cm -1 uluran C-O. Berdasarkan perbandingan data yang ada diketahui bahwa poliuretan telah berhasil disintesis. Menurut hasil yang didapatkan tampak tidak ada perubahan bilangan gelombang yang signifikan antara poliuretan-pasir dengan perbandingan 10:0 dan 3:7. Hal ini menunjukkan bahwa interaksi yang terjadi antara pasir sebagai bahan pengisi dan poliuretan sebagai pengikat hanya sebatas interaksi fisik, bukan inretaksi secara kimia.

4.2.6 Analisa Morfologi Poliuretan Menggunakan SEM

Ukuran pori-pori suatu material dapat diketahui melalui analisa menggunakan Scanning Electron Microscope SEM, dimana besarnya ukuran pori akan menentukan kemampuan poliuretan yang dihasilkan untuk dimanfaatkan sebagai penyaring air. Pada penelitian ini, sampel yang dianalisa adalah poliuretan tanpa penambahan pasir dan poliuretan-pasir dengan perbandingan 3:7. Berdasarkan hasil analisa SEM tanpa penambahan pasir diperoleh bahwa poliuretan yang dihasilkan masih memiliki rata-rata ukuran pori yang cukup besar sehingga kurang memungkinkan untuk dijadikan sebagai media penyaring air. Besarnya ukuran pori disebabkan oleh terproteksinya air oleh surfaktan , dimana air sebagai bahan pengembang masih mampu mengimbangi kuat tarik yang terjadi karena adanya segmen keras dan ikatan hidrogen Rahmawati, 2012. Penambahan bahan pengisi seperti pasir dapat menutupi pori-pori poliuretan sehingga berukuran lebih kecil dan rapat, dalam hal ini poliuretan dimanfaatkan sebagai pengikat pasir. Permukaan poliuretan kurang merata akibat tidak tersuspensinya lignin secara sempurna dalam pelarut yang digunakan. Hasil analisa SEM dengan perbandingan 3:7 menunjukkan ukuran pori rata- rata lebih kecil dibandingkan tanpa penambahan pasir. Hal ini menunjukkan bahwa pasir dapat merapatkan pori-pori poliuretan menjadi lebih baik sebagai penyaring air. Sementara permukaannya lebih homogen dan pasir tersebar di seluruh permukaan poliuretan. Morfologi poliuretan-pasir dengan perbandingan 10:0 dan 3:7 yang telah yang disintesis memiliki tipe sel terbuka. Hal ini dikarenakan sel-sel yang satu dengan sel yang lain dapat saling berhubungan sehingga fase gas dapat saling terhubung satu sama lain. Poliuretan dengan tipe terbuka termasuk jenis flexible foam Cheremisinoff, 1989.

4.2.7 Analisa Parameter Air Payau

Analisis air payau yang dilakukan adalah derajat keasaman pH, TDS, dan TSS. Analisa pH tidak ada menunjukkan perubahan dari sampel air payau asli dan dengan air payau setelah penyaringan dengan poliuretan. Hal ini dikarenakan pasir hanya berinteraksi secara fisika dengan matriks poliuretan,sehingga tidak terjadi interaksi kimia yang melibatkan interaksi ion-ion yang dapat menaikkan pH air payau. Analisa TDS dan TSS menunjukkan perubahan yang signifikan dengan nilai persentase penyaringan masing-masing sebesar 47,28 dan 85,71 Lampiran 13. Hal ini menunjukkan bahwa pasir yang ada di dalam poliuretan mampu menyaring padatan yang tak terendapkan, baik yang tersuspensi maupun yang terlarut dalam air payau. Poliuretan tidak mampu menyaring secara sempurna karena ukuran pori-pori yang terbentuk belum seragam. Hal ini menyebabkan masih adanya zat-zat yang lolos dari pori-pori poliuretan-pasir dengan ukuran partikel yang lebih kecil. Namun demikian, air hasil penyaringan yang diperoleh telah memenuhi standar yang ditetapkan oleh Peraturan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Nomor 492MenkesPerIV2010, sehingga poliuretan-pasir 3:7 dapat digunakan sebagai alternatif dalam proses penyaringan air.

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan