Pemanfaatan Busa Poliuretan-Lignin Isolat Kayu Jati dan Beberapa Bahan Aditif Sebagai Penjernih Air Gambut

(1)

(2)

Lampiran 1.Sampel Serbuk Kayu Jati (Tectonagrandis linn F) yang Digunakan Dalam Penelitian

SerbukgergajiankayuJati Serbukkayujati<177 mikron

Lampiran 2. Proses Isolasi Lignin

Serbuk ekstrak kayu Jati Hidrolisis dengan H60% 2SO4 Pemanasan selama 1 jam

Pencucian dengan


(3)

Lampiran 3.Spektrum FTIR Lignin Isolat Kayu Jati


(4)

Lampiran 5. Perhitungan Pengenceran H2SO4 60% Menjadi H2SO4 3% V1 = Volume H2SO4 setelah pengenceran V2 = Volume H2SO4 awal

%1= Konsentrasi H2SO4 setelah pengenceran %2 = Konsentrasi H2SO4 awal

V1 × %1 = V2 × %2

V1× 3% = 216 mL × 60%

V1 = 4320 mL

Lampiran 6. Penentuan Rendemen Lignin Isolat Kayu Jati

Lampiran 7.Penentuan Kadar Kemurnian Lignin Isolat Kayu Jati

Kadar Lignin

=

Berat Lignin

Berat Kering Sampel

×

100%

Kadar Lignin

=

0,43 g

0,5 g

×

100 % Kadar Lignin

=

86%

Rendemen Lignin = Berat Lignin Kering

Berat Serbuk Kayu Kering× 100% Rendemen Lignin = 2,98 g

12 g × 100% Rendemen Lignin = 24,84%


(5)

Lampiran 8.Penentuan Kadar TDS Dalam Air Gambut

Lampiran 9. Penentuan Kadar TSS Dalam Air Gambut

Lampiran 9. Penentuan kadar TSS Dalam Air Gambut

Lampiran 10. Penentuan KadarTDS DalamAir Gambut SetelahPenyaringan dengan PU/Zat Aditif 6:4

TDS = a−b

c x 1000 mg/L

TDS = 70,23 gram−50,23 gram

50 mL x 1000 mg/L

Berat beaker glass dan residu setelah diuapkan (a) = 50,23 gram Berat beaker glass sebelum diuapkan (b) = 50,23 gram

Volume sampel (c) = 50 mL

TDS = 400 mg/L

TDS = a−b

c x 1000 mg/L

TDS = 98,15 gram−50,15 gram

50 mL x 1000 mg/L

Berat beaker glass dan residu setelah diuapkan (a) = 98,15 gram Berat beaker glass sebelum diuapkan (b) = 50,15 gram

Volume sampel (c) = 50 mL

TDS = 960 mg/L

TSS = a−b

c x 1000 mg/L

TSS =5,60 gram−1,20 gram

50 mL x 1000 mg/L

Berat kertas saring dan residu (a) = 5,60 gram Berat kertas saring (b) = 1,20 gram Volume sampel (c) = 50 mL


(6)

Lampiran 11. Penentuan Kadar TSS Dalam Air Gambut Setelah Penyaringan dengan PU/Zat Aditif 6:4

Lampiran 12.PersentasePenyerapanPoliuretanBerdasarkanNilai TDS dan TSS

TSS = a−b

c x 1000 mg/L TSS =3,09 gram−1,19 gram

50 mL x 1000 mg/L

Berat kertas saring dan residu (a) = 3,09 gram Berat kertas saring (b) = 1,19 gram

Volume sampel (c) = 50 mL

TSS = 38 mg/L

% TDS =TDS air Gambut− TDS setelah penyaringan

TDS air gambut × 100%

=960 mg/L− 400 mg/L

960 mg/L × 100%

= 56,07%

% TSS =TSS air payau− TSS setelah penyaringan

TSS air payau × 100%

=88 mg/L−38 mg/L

88 mg/L × 100%


(7)

Lampiran 13.PeraturanKementerianKesehatanRepublik Indonesia Nomor 492/Menkes/Per/IV/2010

No Jenis Parameter Satuan Kadar maksimum

yang diperbolehkan 1 Parameter yang berhubungan

langsung dengan kesehatan a. Parameter Mikrobiologi

1. E. Coli Jumlah per 0

100 mL sampel

2. Total bakteri koliform Jumlah per 0

100 mL sampel b. Kimia Anorganik

1. Arsen mg/L 0,01

2. Fluorida mg/L 1,5

3. Total kromium mg/L 0,05

4. Kadmium mg/L 0,003

5. Nitrit (sebagai NO2-) mg/L 3

6. Nitrat (sebagai NO3-) mg/L 50

7. Sianida mg/L 0,07

8. Selenium mg/L 0,01

2 Parameter yang tidak langsung berhubungan dengan kesehatan a. Parameter fisik

1. Bau Tidak berbau

2. Warna TCU 15

3. Total zat padat terlarut

(TDS) mg/L 500

4. Kekeruhan NTU 5

5. Rasa Tidak berasa

6. Suhu °C Suhu udara

b. Parameter kimiawi

1. Aluminium mg/L 0,2

2. Besi mg/L 0,3

3. Kesadahan mg/L 500

4. Khlorida mg/L 250

5. Mangan mg/L 0,4

6. pH mg/L 6,5-8,5

7. Seng mg/L 3

8. Sulfat mg/L 250

9. Tembaga mg/L 2


(8)

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, R. 2004. Kimia Lingkungan. ANDI : Yogyakarta.

Achmadi, S. S. 1990. Kimia Kayu. Bioteknologi Ilmu Hayat Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Al-layla, AM. 1998. Water Supply Engineering Design. Ann Abror Science Publisher Inc the Buffer Worth Group.

Ashida, K. 2007. Polyurethane and Related Foams; Chemistry and Technology.Taylor and Francis Group. New York.

Budi, S. S. 2006. Penurunan Fosfat dengan Penambahan Kapur (Lime), Tawas dan Filtrasi Zeolit pada Limbah Cair (Studi Kasus RS Bethesda Yogyakarta).[Tesis].Semarang : Universitas Diponegoro.

Cheremisinoff, P. N. 1989. Handbook of Polymer Science and Technology.Volume 2.

Cowd, M. A. 1991. Kimia Polimer. Penerbit ITB. Bandung.

Dence, C.W. 1992. Determination Of Lignin. In; Lin SY, Dence CW (Eds). Method In

Lignin Chemistry.Spinger-Verlag. Berlin.

[Dephut] Departemen Kehutanan. 2004. Statistik Kehutanan Indonesia 2003. Jakarta.

Dumanauw, J. F. 1992. Mengenal Kayu. Penerbit Kanisius. Semarang.

Fengel, D. dan Wegner, G. 1995.Wood; Chemistry, Ultrastructure and Reactions. Walter de Gruyter. Berlin.

Gupta, R. K., Kennel, E., and Kim, K. 2010. Polymer Nanocomposites Handbook.CRC Press. New York.

Hadisubroto, T. 1989. Ekologi Dasar. Depdikbud. Jakarta.

Harkin, J. M. 1969.Lignin and Its Uses. United States : U. S Department of Agriculture.

Hartomo, A. J. 1992. Memahami Polimer dan Perekat.Penerbit Andi Offset.Yogyakarta.

Haslindah, A. dan Zulkifli. 2012. Analisis Jumlah Koagulan (Tawas/(Al2(SO4)3)

yang Digunakan dalam Proses Penjernihan Air pada PDAM Instalasi Ratulangi Makassar. Iltek. Volume 7, Nomor 13 : 974-976.


(9)

Hatakeyama, H. 1995. Biodegradable Polyurethanes from Plant Component.J. Pure Applied Chemistry. (4): 743-750. Dalam: Rohaeti, E. Kajian Tentang Sintesis Poliuretan dan Karakterisasinya. Prosiding Semnas Penelitian.8 Februari 2005.Yogyakarta.

Haygreen, J. G. dan Bowyer, J. L. 1996.Hasil Hutan dan Ilmu Kayu.Gajah Mada University Press.Yogyakarta.

Heradewi.2007. Isolasi Lignin dari Lindi Hitam Proses Pemasakan Organozolv Serat Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS).[Skripsi]. Bogor.

Hinoshita, K. 1988. Carbon Electrochemical and Pysicochemical Properties.Jhon Wiley and Sons. New York.

Ibrahim, M.N.M. 2003. Characterization of Lignin Precipitated From The Soda Black Liquor of Oil Palm Empty Fruit bunch Fibers by Various Mineral Acids. AJSTD. 21 (1): 57-67.

Judoamidjojo, R. M., Said, E. G., dan Hartoto, L. 1989.Biokonversi.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Khopkar, S.M. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. UI-Press. Jakarta

Koessoebiono. 1979. Dasar-dasar Ekologi Umum. Pasca Sarjana IPB. Bogor. Kricheldorf, H. R. 2005. Handbook of Polymer Synthesis.Second Edition. Marcel

Dekker. New York.

Lemos, V. A. 2006. Application of Polyurethane Foam As A Sorbent For Trace Metal Pre-Concentration – A Review. Elsevier Brazil.

Lewis, N.G and Etsuo Yamamoto. 1990. Lignin: Occurrence, Biogenesis And Biodegradation. Virginia Polytechnic Institute and State University. Virginia.

Li, Y. 2012. Application of Cellulose Nanowhisker and Lignin in Preparation of Rigid Polyurethane Nanocomposite Foams.[Dissertation].Georgia Institute of Technology. August 2012.

Mawardi, P. 2012. Kaya dari Investasi Jati Barokah. Agromedia Pustaka. Jakarta. Mulja, M. 1995. Analisis Instrumental. Airlangga University Press. Surabaya. Muzzie, M. D. 2006. Hemiselulose and Lignin. New Jersey.

Patel, H.And R. T. Vashi. 2010. Removal Of Kongo Red Dye from Its Aqueous Solution Using Natural Caoagulants. Journal of Saudi Chemical Society. 17 December 2010.


(10)

Pradhan, K.C., and Nayak, P.I. 2012.Synthesis and Characterization of Polyurethane Nanocomposite from Castor Oil-Hexametthylene Diisocyanate (HMDI).P L Nayak Research Foundation.Advances in Applied Science Research. India. (5): 3045-3052.

Rahmawati, A. 2009.Efisiensi Filter Pasir-Zeolit Dan Filter Pasir-Arang Tempurung Kelapa Dalam Rangkaian Unit Pengolahan Air Untuk Mengurangi Kandungan Mangan Dari Dalam Air. Di Dalam: Seminar Internasional Hasil-Hasil Penelitian. Eksakta 3. Surakarta.

Risdianto, D. 2007. Optimisasi Proses Koagulasi Flokulasi untuk Pengolahan Air Limbah Industri Jamu (Studi Kasus PT. Sido Muncul).[Tesis].Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang.

Rohaeti, E. 2009. Karakterisasi Biodegradasi Polimer. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

Rudatin, S. 1989. Potensi dan Prospek Pemanfaatan Lignin dari Limbah Industri Pulp dan Kertas di Indonesia. Berita Selulosa. 1 (25): 14-17.

Rudin, A. 1998.Elements of Polymer Science and Engineering.Second Edition.Elsevier Science and Technology Books. New York.

Said, N.I Dkk. 1999.Teknologi Pengolahan Air Bersih Dengan Proses Saringan Lambat “Up Flow”. Jakarta.

Sari, R. 2015. Pembuatan Poliuretan Sebagai Media Penyaring Air Payau dari Lignin Isolat Kayu Jati dengan Bahan Aditif Pasir. [Skripsi]. Medan. Sarkawi, S. S., W. K. Dierkes, and J. W. M. Noordermeer. 2014. Elucidation of

Filler-to-Filler and Filler-to-Rubber Interactions in Silica-Reinforced Natural Rubber by TEM Network Visualization. Elsevier, 11 March 2014. Saryati, Sutisna, Sumarjo, Wildan ZL, Wahyudianingsih, dan Suprapti, S. 2002.

Komposit, Tawas, Arang Aktif, Zeolit untuk Memperbaiki Kualitas Air. Jurnal Sains Materi Indonesia. Puslitbang Iptek Bahan (P3IB). Tangerang. Volume 4, Nomor 1 : 9-15.

Sastrohamidjojo, H. 1996. Sintesis Bahan Alam. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.

Selintung, M. 2012. Studi Pengolahan Air Melalui Media Filter Pasir Kuarsa (Studi Kasus Sungai Malimpung). Di dalam: Prosiding Hasil Penelitian Fakultas Teknik UNHAS. Makassar.

Sihombing, D. T. H. 2000. Teknik Pengelolaan Limbah Kegiatan/Usaha Peternakan. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian. Institut Pertanian Bogor.

Silverstein, R. M. 2005. Spectrometric Identification of Organic coumponds.Jhon Wiley and Sons, Inc. USA.


(11)

Simon, H. 2000. Hutan Jati Dan Kemakmuran: Problematika Dan Strategi Pemecahannya. Bigraf Publishing. Yogyakarta.

Sinulingga, M dan Sri Darmanti.2003. Kemampuan Mengikat Air oleh Tanah Pasir yang Diperlakukan dengan Tepung Rumput Laut Gracilaria verrucosa.FMIPA UNDIP.

Sipon, dkk, 2001.Penelusuran Sifat Dasar Kayu Jati Sebagai Dasar Pertimbangan Rehabilitasi Hutan Di Kalimantan Timur. Hasil Penelitian. Tidak Diterbitkan.

Sjostrom E. 1995. Kimia Kayu Dasar-Dasar dan Penggunaan.Edisi Ke-2. Sastroamijoyo H, Penerjemah; Prawirohatmojo S, Editor, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan Dari: Wood Chemistry, Fundamentals And Application. Second Edition.

Sparrow, D. 1990.The ICI Polyurethanes Book. ICI. Belgium. Stevens, M. P. 2001. Kimia Polimer. Pradnya Paramitha. Jakarta. Suryana, Y. 2001. Budidaya Jati. Swadaya. Bogor.

Vick, C. B. 1999. Adhesive Bonding of Wood Material Wood Handbook, Wood as an Engineering Materials. Forest Product Society. USA.

Wirjosentono, B. 1995.Analisis dan Karakterisasi Polimer.USU Press. Medan. Youn, T. 2007. Physical Properties of Water-Blown Rigid Polyurethane Foams


(12)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:

- Seperangkat Alat FT-IR Shimadzu

- Seperangkat alat SEM Hitachi

- Seperangkat alat penyaringan

- Turbidimeter Hach

- Neraca Analitis Ohauss

- Termometer Fischer

- Hot Plate Cimarec

- Oven Carbolite

- pHmeter WalkLAB

- Ayakan

- Alat-alat gelas Pyrex

- Alu dan lumping

- Mixer Miyako

- Blender Miyako

- Magnetik Stirer - Desikator - Plat besi - Plat kaca


(13)

3.2 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut: - Serbuk Kayu Jati

- Alkohol 96% E. merck

- Benzena E. merck

- H2SO4 97% E. merck

- Toluena Diisosianat E. merck

- Polipropilena Glikol 1000 E. merck - Pasir

- Batu kapur - Tawas - Arang

3.3 Prosedur Kerja 3.3.1 Pembuatan Pereaksi

3.3.1.1Pembuatan Larutan H2SO4 60%

Sebanyak 153 mL H2SO4 98%diencerkan dengan aquadest dalam labu takar 250

mL hingga garis batas, dihomogenkan.

3.3.2 Preparasi Serbuk Kayu Jati

Serbuk gergajian kayu jati diblender hingga halus kemudian diayak dengan ayakan 80 mesh (≤ 177 mikron)

3.3.3 Isolasi Lignin dari Kayu Jati ( Metode Klason)

Sebanyak 12 gram serbuk kayu jati berukuran 177 mikron dimasukkan kedalam botol plastik lalu diekstraksi dengan 60 ml etanol:benzena dengan perbandingan 1:2 selama 8 jam. Hasil ekstraksi disaring, lalu dicuci residu dengan etanol dan air panas sampai bau benzena hilang lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC. Selanjutnya sampel dipindahkanke dalam beaker glass 250 mL lalu ditambahkan H2SO4 60% sebanyak 216 mL secara perlahan-lahan sambil diaduk dengan batang


(14)

pengaduk kaca selama 3-5 menit.Beaker gelas ditutup menggunakan kaca arloji dan dibiarkan pada bak perendaman selama ±45 menit dan sambil diaduk.Sampel dipindahkan ke dalam chamber 5 L dan ditambahkan aquadest sampai volume 4230 mL sehingga konsentrasi H2SO4 3%. Selanjutnya larutan dipanaskan dan

dibiarkan selama 60 menit dengan pemanasan tetap sambil diaduk.Kemudian dibiarkan selama 24 jam sampai endapan lignin mengendap sempurna. Larutan didekantasi dan endapan lignin dipindahkan ke kertas saring yang telah diketahui beratnya. Endapan lignin dicuci hingga bebas asam dengan aquadest panas, kemudian diukurpH dengan pH meter. Kemudian endapan lignin dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC.Rendemen lignin dihitung berdasarkan perbedaan berat antara lignin yang diperoleh setelah dikeringkan dengan berat kayu kering yang digunakan.

Rendemen (%) = Berat Lignin Kering (gram)

Berat Ser buk Kayu Kering (gram )× 100%(3.1)

3.3.4 Kadar Kemurnian Lignin (Metode Klason)

Sebanyak 0,5 gram lignin yang telah dikeringkan dilarutkan dengan 15 mL H2SO4

60% di dalambeaker glass secara perlahan-lahan sambil diaduk dengan batang pengaduk selama 3-5 menit, lalu ditutup dengan kaca arloji selama 120 menit. Selanjutnya diencerkan dengan aquadest sampai volume 400 mL. Sampel dipindahkan kedalam labu leher dua lalu direfluks selama 240 menit. Endapan lignin yang terbentuk disaring dengan kertas saring yang telah diketahui beratnya dan dicuci dengan aquadest hingga bebas asam. Kemudian sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC dan ditimbang sampai berat konstan, kadar kemurnian lignin dapat dihitung dengan persamaan berikut:

Kadar Lignin = Berat Lignin (gram )


(15)

3.3.5 Analisa Gugus Fungsi Lignin dengan Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FT-IR)

Sebanyak 2 gram lignin isolat diletakkan pada kaca transparan, diusahakan menutupi seluruh permukaan kaca.Kemudian diletakkan pada alat ke arah sinar infra merah. Hasilnya akan direkam ke dalam kertas berskala berupa aliran kurva bilangan gelombang terhadap intensitas.

3.3.6 Pembuatan Busa Poliuretan

Sebanyak 3,35 gram lignin isolat dimasukkan ke dalam beaker glass, ditambahkan dengan 12,50 gram PPG 1000,1,25 pphp air dan 8,15 gram TDI lalu diaduk dengan kecepatan 1200 rpm selama 5 menit sambil dipanaskan pada suhu 55°C. Kemudian ditambahkan zat aditif (pasir, arang, tawas dan batu kapur) sebanyak 6 gram dengan perbandingan yang sama secara perlahan-lahan sambil diaduk dan dituangkedalam cetakan (8 x 8 x 1cm), biarkan proses curing terjadi selama 2 hari.Diulangi prosedur yang sama untuk busa poliuretan-bahan aditif dengan perbandingan 2:8; 4:6; 6:4 dan 8:2.

3.3.7 Persiapan Sampel Air Gambut

Pengambilan sampel air gambut dilakukan di daerah Kec.Lintong Nihuta. Sampel air diambil secara manual pada tiga titik yang berbeda dengan jarak antar titik pengambilan yaitu ±100 m. Sampel air dari ketiga titik pengambilan dicampur ke dalam botol plastik lalu dihomogenkan. Penanganan sampel yang diambil untuk analisis total padatan tersuspensi dilakukan dengan memasukkan sampel air ke dalam botol plastik kemudian ditutup dengan aluminium foil kemudian dimasukkan ke dalam lemari pendingin.


(16)

3.3.8 Penyaringan Air Gambut

Air gambut yang akan disaring dikocok hingga homogen. Air gambut dialirkan melalui kolom yang telah diisi dengan busa poliuretan (Gambar 3.1) secara perlahan-lahan, kemudian filtratnya ditampung dan ditentukan waktu alir, nilai pH, nilai keketuhan, nilai TDS dan TSS. Berikut ditunjukkan skema pengerjaan penyaringan air gambut dengan busa poliuretan–zat aditif

Gambar 3.1 Skema Penyaringan Air Poliuretan (Manik, 2014)

3.3.9 Analisa Parameter Air 3.3.9.1 Analisa Derajat Keasaman

Sebanyak 50 mL sampel air diaduk hingga homogen, kemudian dimasukkan ke dalam beaker glass 100 mL.Dikalibrasi alat pH meter menggunakan larutan buffer standar pH 4, 7, dan 10, kemudian dibilas elektroda dengan aquadest lalu dikeringkan.Dicelupkan elektroda ke dalam sampel hingga menunjukkan nilai yang stabil dan dicatat nilai pH.

3.3.9.2 Analisa Total Zat Padat Tersuspensi (SNI 06-6989.3-2004)

Sebanyak 100 mL sampel air dipipet, kemudian dimasukkan ke dalam beaker glass 250 mL.Selanjutnya disaring menggunakan kertas saring Whatmann no. 42 yang telah diketahui beratnya. Kertas saring beserta endapan dipanaskan dalam oven selama 1 jam pada temperatur 105°C, kemudian didinginkan dalam

Air gambut

Kolom (diameter = 5 cm; panjang = 30 cm)

Busa Poliuretan Filtrat


(17)

desikator dan ditimbang hingga diperoleh berat konstan. Kadar total padatan tersuspensi (TSS) dapat dihitung menggunakan persamaan berikut :

TSS = a−b

c � 1000 mg/L (3.3) Keterangan :a = berat kertas saring dan residu setelah dipanaskan (g)

b = berat kertas saring sebelum dipanaskan (g) c = volume sampel (mL)

3.3.9.3 Analisa Total Zat Padat Terlarut (SNI 06-1839-1990)

Filtrat air gambut diuapkandi dalam beaker glass hingga habis menguap. Kemudian masukkan ke dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang massa dengan cepat sampai berat konstan. Kandungan TDS ditentukan dengan persamaanberikut :

TDS = a −b

c x 1000 mg/L (3.4) Keterangan :

a = berat beaker glass dan residu setelah diuapkan (g) b = berat beaker glass sebelum diuapkan (g)

c = volume sampel (mL)

3.3.9.4 Analisa Kekeruhan

Alat turbidimeter dikalibrasi sesuai dengan petunjuk penggunaan alat. Pemeriksaan kekeruhan sampel menggunkan standar 100 NTU kemudian dikalibrasi dengan standar 100 NTU. Sampel air gambut dikocok terlebih dahulu dan dibiarkan hingga gelembung udaran pada sampel hilang. Sampel air gambut dimasukkan kedalam tabung turbidimeter. Skala kekeruhan dibaca langsung dari alat dan dicatat nilai kekeruhan yang didapat.

3.3.10 Analisa Gugus Fungsi dengan FTIR (Heradewi, 2007)

Tepung lignin sebanyak 1 mg ditambahkan dengan 150 mg KBr, kemudian diamati serapannya dengan bilangan gelombang 4000-400 cm-1 (dengan panjang gelombang antara 2,5 - 25 µm).


(18)

3.3.11 Analisa Sifat Morfologi dengan Uji Scanning Electron

Microscope(SEM) Dalam melakukan analisa permukaan sampel dengan menggunakan Scanning

Electron Microscope (SEM) diawali dengan melapisi sampel dengan emas bercampur palladium dalam suatu ruang vakum yang bertekanan 0.2 Torr. Kemudian sampel disinari dengan pancaran elektron sebesar 1,2 kV sehingga menyebabkan sampel mengeluarkan elektron sekunder dan elektron terpental yang dapat dideteksi oleh detektor dan kemudian diperkuat oleh rangkaian listrik sehingga akan menghasilkan gambar ChatodeRay Tube. Kemudian dilakukan pemotretan dengan memilih bagian tertentu dan dilakukan perbesaran agar didapatkan foto yang jelas dan bagus.


(19)

3.4 Bagan Penelitian

3.4.1 Bagan Preparasi Serbuk Kayu Jati

Serbuk gergajian kayu jati

Diblender

Disaring dengan ayakan 80 mesh (≤177

mikron) Serbuk halus


(20)

3.4.2 Bagan Isolasi Lignin dari Serbuk Kayu Jati (Metoda Klason)

Lignin terdispersi

Lignin isolat

Dicuci sampai bebas asam Endapan lignin

Diencerkan hingga H2SO4 3%

Ekstrak kayu jati 12 gram serbuk kayu jati

Diekstraksi dengan 60 mL etanol : benzena ( 1: 2) selama 8 jam

Dicuci dengan etanol Dibilas dengan air panas

Dikeringkan dalam oven (T = 105oC) Serbuk kayu siap isolasi

Didiamkan selama 45 menit

Ditambahkan 216 mL H2SO4 60% secara perlahan-lahan

Dipanaskan selama 1 jam Didekantasi larutan

Dikeringkan dalam oven (T = 105oC)

Dikarakterisasi FT-IR


(21)

3.4.3 Bagan Penentuan Kadar Kemurnian Lignin (Metoda Klason)

3.4.4 Bagan Preparasi Bahan Aditif

Catatan:

Diulangi prosedur yang sama untuk bahan aditif Batu Kapur, Arang, dan Tawas Didiamkan selama 120 menit

Diaduk selama 3-5 menit

Endapan Lignin

Lignin Murni 0,5 gram Lignin Isolat

Dilarutkan dengan 15 mL H2SO4 60 %

Hasil Reaksi

Diencerkan dengan 400 mL aquades Direfluks selama 4 jam

Diencerkan dengan 400 mL aquades

Disaring

Dicuci dengan aquades hingga bebas asam Dikeringkan dalam oven ( T =105oC ; t= 4 jam)

Pasir

Pasir Halus

Dihaluskan dengan alu dan lumpang


(22)

3.4.5 Bagan Pembuatan Busa Poliuretan

Keterangan:

Diulangi prosedur yang sama untuk perbandingan PU/Bahan Aditif seperti yang tertera pada tabel 3.1

Tabel 3.1 PerbandinganBerat PU/Pasir PU

Bahan aditif (gram) PPG 1000

(gram)

Lignin

(gram) TDI (gram)

Air (pphp)

12,50 3,35 8,15 6 1,25

9,48 2,47 6,15 12 0,94

6,36 1,62 4,02 18 0,63

3,14 0,91 1,95 24 0,31

3,35 gram lignin

Dimasukkan ke dalam cetakan Dibiarkan selama 2 hari Dikarakterisasi

Poliuretan

Dimasukkan ke dalam beaker glass 100 mL Ditaburkan campuran bahan aditif 6 gram Ditambahkan 1,25 pphp air

Ditambahkan 12,50 gram PPG 1000 Ditambahkan 8,15 gram TDI

Diaduk sambil dipanaskan pada suhu 550C selama 10 menit

SEM FTIR


(23)

3.4.6 Bagan Penyaringan Air Gambut 50 mL Air Gambut

pH TSS

Dianalisa parameter Air Filtrat

TDS

Dialirkan melalui kolom


(24)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Isolasi Lignin dari Kayu Jati

Setelah dilakukan ekstraksi dan hidrolisis maka diperoleh lignin yang berwarna coklat. Dari 12 gram serbuk kayu jati yang digunakan diperoleh sebanyak 2,98 gram lignin isolat, yaitu sebanyak 24,84% dari massa awal serbuk kayu jati. Setelah dilakukan pemurnian diperoleh sebanyak 0,43 gram lignin isolat murni dari massa awal 0,5 gram dengan kadar kemurnian sebesar 86% (Lampiran 8).

Sebelum dilakukan proses isolasi lignin, serbuk kayu jati dihaluskan dengan blender dan diayak dengan menggunakan ayakan 177 mikron. Tahap selanjutnya adalah proses isolasi lignin dari serbuk kayu jati. Tahap pertama adalah proses ekstraksi menggunakan etanol dan benzena. Proses ini dilakukan untuk melarutkan lemak, resin, ekstraktif,bahan-bahan larut pelarut organik tidak polar atau sedikit polar. Pada tahap ini menghasilkan serbuk hasil ekstraksi yang memiliki bau menyengat dari benzena, sehingga perlu dihilangkan dengan etanol dan air panas.

Selanjutnya proses hidrolisis menggunakan H2SO4 60% selama 45 menit.

Tahap ini untuk memisahkan lignin dengan depolimerisasi selulosa dan hemiselulosa.Lalu dihidrolisis kembali dengan H2SO4 3% untuk menyempurnakan

penghilangan polisakarida dan komponen non-lignin yang masih bercampur.Kemudian dipanaskan selama 1 jam, diamkan 1 malam hingga diperoleh endapan. Lignin yang diperoleh masih bersifat asam, sehingga perlu dilakukan proses penetralan. Lignin yang diperoleh kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105°C.Lignin isolat yang diperoleh berwarna coklat dengan nilai rendemen 24,84%, sementara berdasarkan hasil analisa komponen kimia kayu jati memiliki rendemen sebesar 29,95%. Perbedaan rendemen lignin disebabkan oleh penambahan asam sulfat dengan konsentrasi tinggi sehingga suhu pada saat proses


(25)

pengendapan lignin meningkat yang menyebabkan lignin mengalami perubahan struktur menjadi senyawa lain yang larut dalam asam, adanya lignin yang tidak terendapkan saat pengasaman, selain itu juga karena tingkat pengasaman yang tidak merata akibat konsentrasi asam yang tinggi (Ibrahim, 2003). Menurut (Achmadi, 1990) bahwa pada suasana asam lignin cenderung melakukan kondensasi sehingga lignin yang tak terkondensasi akan mengendap dan rendemen semakin besar.

4.2. HasilAnalisaGugusFungsi Lignin MenggunakanSpektroskopi FTIR Hasilanalisagugusfungsi lignin dapatdilihatpadaTabel 4.1 dan Gambar 4.1 sebagai berikut:

Tabel 4.1 Pita Serapan FT-IR Lignin Isolat Kayu Jati BilanganGelombang (cm-1) Gugus

3448,72 Rentangan OH

2959,52 Rentangan OH pada gugus metil dan metilen 1620,81 Rentangan C=O terkonjugasi dengan cincin

aromatic

1488,18 Vibrasi cincin aromatik 1319,21 Vibrasicincinsiringil 1219,21 Vibrasicincinguaiasil


(26)

4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 12 19 ,21 13 19 ,21 14 88 ,18 16 20 ,81 29 59 ,52 34 48 ,72 % T rans mi tans i

Bilangan Gelombang (cm-1)

Analisa gugus fungsi dari lignin isolat yang dihasilkan diamati melalui interpretasi puncak-puncak serapan inframerah yang dihasilkan. Lignin isolat yang diperoleh memiliki vibrasi khas pada daerah serapan 1319,21 cm-1 untuk unit siringil dan serapan pada daerah 1219,21 cm-1 untuk unit guaiasil yang merupakan ciri khas kayu keras. Kayu lunak mengandung unit guaiasil yang diturunkan dari koniferil alkohol dan sedikit turunan sinapil alcohol, sementara untuk kayu keras mengandung siringil-guaiasil yang diturunkan koniferil alkohol-sinapil alkohol dengan perbandingan tertentu (Dence, 1992).

Hasil identifikasi menunjukkan adanya serapan bilangan gelombang pada daerah 3448,72 cm-1 (rentangan O-H), serapan 2959,52 cm-1 (rentangan OH pada gugus metil dan metilen), daerah 1620,81cm-1 (rentangan C=O terkonjugasi

dengan cincin aromatik), 1488,18 cm-1 (vibrasi cincin aromatik). Unit-unit penyusun lignin ditemui pada daerah 1319,21cm-1 (rentangan C-O dalam siringil) dan 1219,21cm-1 (rentang C-O pada guaiasil) (Hergert, 1971). Spektrum standar

yang diperoleh oleh Heradewi (2007) dari lignin dengan merek dagang Indulin AT menunjukkan serapan pada bilangan gelombang 3411,36 cm-1 (rentangan OH), daerah 2936,36 cm-1 (rentangan OH pada gugus metil dan metilen), daerah

1661,36 cm-1 (rentangan C=O terkonjugasi dengan cincin aromatik), daerah Gambar 4.1 Spektrum FTIR Lignin IsolatKayuJati


(27)

1602,27cm-1 dan 1426,14cm-1 (vibrasi cincin aromatik), 1327,27 cm-1 (vibrasi cincin siringil), daerah 1272,73 cm-1 (vibrasi cincin guaiasil). Pergeseran bilangan

gelombang mungkin saja terjadi akibat adanya pengaruh struktur batas pada inti aromatik yang terkandung dalam bahan yang dianalisis (Fengel, 1995).

4.3. Hasil Pembuatan Poliuretan-Zat Aditif

Poliuretan disintesis dalam 4 variasi dengan perbandingan tertentu. Hasil cetakan dapat dilihat pada gambar 4.2 berikut:

PU:Zat Aditif (8:2) PU:Zat Aditif (4:6)

PU:Zat Aditif (6:4) PU:Zat Aditif (2:8) Gambar 4.2 Poliuretan-Zat Aditif


(28)

Zat Aditif dihaluskan hingga berukuran <75 mikron. Tahapan pertama adalah mencampurkan lignin dan zat aditif, PPG 1000, air dan TDI ke dalam reaktor, sambil diaduk dengan kecepatan 1200 rpm dan disertai pemanasan pada suhu 55°C selama 5 menit. Hal ini dilakukan agar semua bahan bercampur homogen dan tidak ada gumpalan. Tahapan selanjutnya adalah proses pencetakan, kemudian dibiarkan proses curing selama 2 hari, lalu ditekan panas selama 10 menit. Poliuretan yang dihasilkan dibuat dengan variasi antara poliuretan dan Zat Aditif dengan perbandingan 8:2, 6:4, 4:6, 2:8.Variasi zat aditif yang ditambahkan sebagai bahan pengisi bertujuan untuk mendapatkan poliuretan dengan daya saring yang baik sehingga dihasilkan nilai maksimum.

Modifikasi sifat poliuretan yang disintesis dapat dilakukan dengan penambahan bahan aditif dan penggunaan pereaksi yang bervariasi.Hatakeyama (1995) mengungkapkan bahwa polimer alam memiliki kereaktifan karena adanya gugus fungsi pada molekulnya, misalnya hidroksi.Dengan adanya gugus hidroksi, lignin dapat dijadikan sebagai sumber poliol untuk sintesis poliuretan.Poliol yang diperoleh dari lignin dapat dijadikan sebagai koreagen yang kompetitif secara ekonomis.

Ada dua reaksi penting yang terjadi penelitian ini.Reaksi pertama adalah antara isosianat dengan gugus hidroksil baik dari lignin maupun polipropilen glikol yang membentuk poliuretan. Reaksi kedua adalah reaksi antara air dan isosianat yang menghasilkan amin dan gas CO2 yang berperan sebagai bahan

pengembang, lalu isosianat sisa akan bereaksi dengan amin membentuk urea sebagai segmen keras (Wang, 1998).


(29)

4.4 Hasil Analisa Waktu Alir Poliuretan

Hasil analisa waktu alir air payau terhadap PU-Zat Aditif dapat dilihat pada Tabel 4.2 berikut:

Tabel 4.2 Data perolehan fluks setiap busa poliuretan Variasi Zat Aditif dalam Busa Poliuretan (%) Diameter Foam (m) Ketebalan Foam (m) Waktu Alir (s) Nilai Fluks (L/m2.s)

20 0,045 0,010 536 0.4144

40 0,045 0,010 607 0.3660

60 0,045 0,010 487 0.4563

80 0,045 0,010 445 0.4993

Analisa waktu alir dilakukan untuk mengetahui kemampuan material yang disintesis dalam mengadsorpsi partikel yang dihubungkan terhadap ukuran pori-pori yang dihasilkan dengan waktu kontak yang diperoleh.Variasi penambahan pasir terhadap poliuretan dapat mengubah besarnya ukuran pori-pori material yang dihasilkan, sehingga dapat mempengaruhi laju alir air yang dilewatkan melalui material. Semakin besar ukuran pori-pori material akan mempercepat laju alirnya dan waktu kontak, sebaliknya semakin kecil ukuran pori-pori material akan memperlambat laju alir dan memiliki waktu kontak lebih optimum.

Berdasarkan pengamatan waktu alir optimum diperoleh pada poliuretan-zat aditif dengan perbandingan 6:4 yaitu sebesar 607 sekon. Optimumnya waktu alir dari air gambut yang dilewatkan terhadap material menandakan bahwa pori-pori yang terbentuk di dalam poliuretan sangat rapat. Hal ini menunjukkan bahwa telah tercapainya keseimbangan komposisi antara poliuretan yang bertindak sebagai bahan pengikatdan zat aditif sebagai bahan pengisi. Adanya keseimbangan ini menyebabkan zat aditif yang memiliki pori-pori yang besar dapat menjadi lebih rapat dengan hadirnya poliuretan sebagai bahan pengikat,


(30)

sehingga proses adsorpsi berlangsung dengan baik yang ditunjukkan oleh lebih lamanya waktu kontak dan waktu alir yang lebih besar. Menurunnya waktu alir air gambut pada komposisi PU:Zat Aditif dengan perbandingan 4:6 dan 2:8 disebabkan oleh ketidakseimbangan komposisi antara bahan pengikat dan bahan pengisi, dimana poliuretan dengan berat yang makin berkurang tidak mampu mengikat zat aditif yang meningkat dengan sempurna. Hal ini menunjukkan fungsi utama poliuretan sebagai bahan pengikat tidak efisien lagi dalam menutupi pori-pori zat aditif untuk membentuk material dengan pori yang lebih kecil, sehingga proses adsorpsi berlangsung lebih cepat dan waktu alir semakin kecil.

4.5 Hasil Analisa Gugus Fungsi Poliuretan Menggunakan Spektroskopi FTIR

Berdasarkan data uji permeabilitas yang telah dilakukan, diperoleh bahwa perbandingan tawas yang paling baik adalah busa poliuretan dengan perbandingan busa poliuretan : zat aditif (60% : 40%). Selanjutnya busa poliuretan dengan perbandingan busa poliuretan : zat aditif (60%:40%) tersebut diuji dengan FT-IR.Hasil analisa FT-IR yang diperoleh dibandingkan dengan busa poliuretan tanpa penambahan zat aditif dan menghasilkan spektrum seperti pada gambar 4.3 berikut.


(31)

Hasil identifikasi sampel busa poliuretan tanpa zat aditif yang diuji dengan FT-IR dapat ditunjukkan pada tabel 4.3 berikut :

Tabel 4.3 Pita serapan FT-IR busa poliuretan tanpa zat aditif No Sampel Busa Poliuretan

Tanpa Zat Aditif

Kedudukan (cm-1) Pita Serapan Asal

1 3425,58 3500-3400 Serapan gugus N-H terikat

2 3008,95 3100-3000 Serapan gugus C-H

3 2326,15 250

0-2000

Serapan C=O dari NCO

4 1647,21 1650-1580 Serapan vibrasi N-H

5 1315,45 1350-1000 Serapan vibrasi C-N

6 1126,43 1300-1100 Serapan C-O

Sedangkan hasil identifikasi FT-IR untuk sampel busa poliuretan dengan zat aditif ditunjukkan pada tabel 4.4 berikut :

Tabel 4.4 Pita serapan FT-IR busa poliuretan+zat aditif

No Sampel Busa

Poliuretan+Zat Aditif

Kedudukan (cm-1) Pita Serapan Asal

1 3414,00 3500-3400 Serapan gugus N-H terikat

2 3005,10 3100-3000 Serapan gugus C-H

3 2353,16 2500-2000 Serapan C=O dari NCO

4 1647,21 1650-1580 Serapan vibrasi N-H

5 1319,31 1350-1000 Serapan vibrasi C-N

6 1126,43 1300-1100 Serapan C-O

Berdasarkan hasil analisa waktu alir air gambut menunjukkan bahwa poliuretan-zat aditif dengan waktu alir optimum adalah perbandingan 6:4. Selanjutnya, dilakukan pengujian dengan spektroskopi FTIR untuk Poliuretan:zat aditif (dengan perbandingan 6:4 dan 10:0). Analisa FTIR dilakukan untuk mengetahui keberhasilan sintesis poliuretan melalui gugus-gugus fungsi yang terbentuk dan menganlisa interaksi yang terjadi antara pasir dan poliuretan.


(32)

Hasil identifikasi kedua variasi poliuretan menunjukkan adanya serapan gugus N-H terikat pada daerah 3425,58 cm-1 dan 3414,00cm-1, serapan pada

3808,95cm-1 dan 3005,10cm-1 merupakan serapan gugus C-H, daerah 1315,45 cm

-1 dan 1319,31cm-1 adalah vibrasi C-N, 1126,43cm-1adalah daerah serapan untuk

C-O, serta serapan pada daerah 2326,43 cm-1 untuk serapan C=O dari NCO (Silverstein, 2005).

Tidak terdapatnya serapan di daerah bilangan gelombang 2270 cm-1 (gugus NCO) menunjukkan bahwa seluruh isosianat yang digunakan telah habis bereaksi. Hasil yang tidak jauh berbeda diperoleh oleh Pradhan (2012), dimana hasil analisa FT-IR terhadap nanokomposit poliuretan yang disintesis dari minyak jarak dan heksametilen diamin menunjukkan adanya serapan pada daerah 3306 cm-1 (uluran N-H), 1731 cm-1 (uluran karbonil uretan), 1223 cm-1 (pasangan uluran C-N dan C-O), dan 1079 cm-1 (uluran C-O).

Berdasarkan perbandingan data yang ada diketahui bahwa poliuretan telah berhasil disintesis.Menurut hasil yang didapatkan tampak tidak ada perubahan bilangan gelombang yang signifikan antara poliuretan-zat aditif dengan perbandingan 10:0 dan 6:4.Hal ini menunjukkan bahwa interaksi yang terjadi antara zat aditif sebagai bahan pengisi dan poliuretan sebagai pengikat hanya sebatas interaksi fisik, bukan interaksi secara kimia.


(33)

4.6 Hasil Analisa Morfologi Poliuretan Menggunakan SEM

Analisa morfologi SEM dilakukan untuk mengamati permukaan dan mengetahui ukuran pori dari poliuretan yang telah berhasil dibuat. Berikut hasil analisa SEM poliuretan pada gambar 4.4 :

a. PU:Zat Aditif (10:0) b. PU:Zat Aditif (6:4)

a. PU:Zat Aditif (10:0) b. PU:Zat Aditif (6:4) Gambar 4.4 Hasil Analisa SEM Poliuretan dengan Perbesaran 100 kali


(34)

Ukuran pori-pori maupun kehomogenan permukaan suatu bahan polimer dapat diketahui melalui analisa menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM), dimana dalam penelitian ini besarnya ukuran pori akan menentukan kemampuan poliuretan yang dihasilkan untuk dimanfaatkan sebagai media penyaring air. Pada penelitian ini, PU:zat aditif yang dianalisa adalah dengan perbandingan 10:0 dan 6:4. Hal ini dilakukan untuk melihat penyebaran bahan pengisi yaitu pasir di dalam poliuretan yang dijadikan sebagai bahan pengikat .

Permukaan PU:Zat Aditif (10:0 dan 6:4) menunjukkan penyebaran yang merata. Kehomogenan penyebaran bahan pengisi di dalam bahan polimer menentukan kekuatan interaksi antara keduanya. Partikel yang tidak homogen akan menghasilkan anglomerat yang dapat memperkecil luas permukaan dan melemahkan interaksi antara pengisi dan bahan polimer sehingga menurunkan sifat fisik bahan polimer itu sendiri (Lemos, 2006).

Berdasarkan hasil analisa SEM pada PU:Zat Aditif (10:0) diperoleh bahwa poliuretan yang dihasilkan masih memiliki rata-rata ukuran pori yang besar sehingga kurang memungkinkan untuk dijadikan sebagai media penyaring air. Besarnya ukuran pori disebabkan oleh terproteksinya air oleh surfaktan , dimana air sebagai bahan pengembang masih mampu mengimbangi kuat tarik yang terjadi karena adanya ikatan hidrogen (Rahmawati, 2012). Penambahan bahan pengisi seperti arang, batu kapur, pasir dan tawas dengan pori-pori yang besar dapat saling menutupi pori-pori dengan poliuretan sehingga menjadi lebih kecil dan rapat. Hasil analisa SEM terhadap PU:Zat Aditif (6:4) menunjukkan adanya perubahan ukuran pori-pori yang menjadi lebih kecil. Hal ini menunjukkan bahwa kehadiran zat aditif dapat merapatkan pori-pori poliuretan menjadi lebih baik sehingga memungkinkan dijadikan sebagai media penyaring air.

Morfologi PU:Zat Aditif (10:0 dan 6:4) yang telah yang disintesis memiliki tipe sel terbuka. Hal ini dikarenakan sel-sel yang satu dengan sel yang lain dapat saling berhubungan sehingga fase gas dapat saling terhubung antara satu sama lainnya. Pembentukan sel terbuka ini akibat adanya penambahan air


(35)

pada reaksi polimerisasi sehingga memicu perkembangan gelembung menjadi sel. Poliuretan dengan tipe sel terbuka termasuk dalam jenis busa fleksibel.Busa dengan struktur sel terbuka memiliki pori-pori yang membentuk jatingan interkoneksi (Cheremisinoff, 1989).

4.7 Hasil Analisa Parameter Air Gambut

Analisa parameter air gambut dilakukan untuk mengetahui kemampuan poliuretan yang dihasilkan agar dapat dimanfaatkan sebagai penyaring air.Analisa yang dilakukan adalah pH, Total Suspended Solid (TSS) Total Dissolved Solid (TDS), dan Kekeruhan. Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.5 Analisa Air Gambut PU: Bahan Aditif (6:4)

Parameter Sebelum Penyaringan Sesudah Penyaringan

pH 5 6

TDS 960 mg/L 400 mg/L

TSS 88 mg/L 38 mg/L

Kekeruhan 9,4 NTU 4,8 NTU

Analisis air gambut yang dilakukan adalah pengaruh derajat keasaman, jumlah padatan terlarut, jumlah padatan tersuspensi dan kekeruhan. Berdasarkan analisa pH dan kekeruhan yang dilakukan, diperoleh perubahan pH dari 5 menjadi 6 dan kekeruhan dari 9,4 NTU menjadi 4,8 NTU telah sesuai dengan permenkes 2010.

Analisa jumlah padatan terlarut dari sampel air gambut sebelum penyaringan dengan PU:Zat Aditif (6:4) diperoleh sebesar 960 mg/L, sedangakan setelah penyaringan turun menjadi 400 mg/L. Penurunan kadar padatan terlarut ini disebabkan oleh terperangkapnya partikel-partikel zat terlarut di dalam pori-pori poliuretan-zat aditif karena berukuran lebih besar. Persentase penyaringan jumlah padatan terlarut sebesar 57,28% (Lampiran 15). Tidak sempurnanya proses penyaringan padatan terlarut disebabkan adanya hambatan yang ditimbulkan oleh anglomerat-anglomerat yang muncul di permukaan poliuretan (Lemos, 2006).


(36)

Analisa jumlah padatan tersuspensi dari air gambut sebesar 88 mg/L, sedangkan setelah penyaringan menggunakan Pu:Zat Aditif (6:4) berkurang menjadi 38 mg/L dengan persentase penyerapan sebesar 56,06% (Lampiran 15). Hal ini disebabkan oleh tertahannya partikel-partikel yang tidak larut seperti tanah, pasir, lumpur, dan bahan-bahan kimia anorganik pada pori-pori poliuretan-zat aditif yang dihasilkan (Manik, 2014).Poliuretan tidak mampu menyaring secara sempurna karena ukuran pori-pori yang terbentuk belum seragam.Hal ini menyebabkan masih adanya zat-zat yang lolos dari pori-pori poliuretan-zat aditif dengan ukuran partikel yang lebih kecil. Namun demikian, air hasil penyaringan yang diperoleh telah memenuhi standar yang ditetapkan oleh Peraturan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Nomor 492/Menkes/Per/IV/2010, sehingga poliuretan-zat aditif (6:4) dapat digunakan sebagai alternatif dalam proses penyaringan air.


(37)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Waktualir optimum dari air gambutdiperoleh dari PU:Zat Aditif pada perbandingan 6:4 sebesar 607 detik.

2. Analisagugusfungsi terhadap PU:Zat Aditif pada perbandingan 10:0 dan 6:4dengan FTIR menunjukkanpuncakserapan khas gugus N-H pada bilangan gelombang 3425,58cm-1dan 3414,00cm-1. Analisamenggunakan

SEM menunjukkan PU:Zat Aditif perbandingan 6:4 memilikipermukaan yang homogen danpori-pori yang lebihkecil.

3. Analisaair terhadap PU:Zat Aditifdengan perbandingan 6:4menunjukkan perubahan pH dan kekeruhan yang cukup baik, %TDS sebesar56,07% dan %TSS sebesar 58,33% yang menunjukkan bahwa air gambut setelah penyaringan memenuhi parameter air bersih.

5.2 Saran

1. Sebaiknya peneliti selanjutnya menggunakan zat aditif yang lain dan poliol dari bahan lignin kayu lainnya.

2. Sebaiknyapenelitiselanjutnyamenambahkanvariasibahanaditif yang lebihbanyakkedalampoliuretanuntukmemaksimalkan proses penyaringan air.


(38)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kayu Jati

Jati (Tectona Grandis Linn. F) adalah sejenis pohon penghasil kayu bermutu tinggi dan sampai sekarang masih menjadi komoditas mewah yang banyak diminati masyarakat walaupun harga jualnya mahal. Berikut ini taksonomi dan tatanama dari kayu jati :

Divisi : Spermatophyta Kelas : Angiospermae Sub kelas : Dicotyledoneae Ordo : Verbenales Famili : Verbenaceae Genus : Tectona

Spesies : Tectona grandis

Jati memiliki tekstur kayu agak kasar dengan serat lurus.Kulit jati berwarna abu-abu kecoklatan.Sementara itu, batang bagian tengah (teras) berwarna coklat muda dan bagian dalam (galih) berwarna coklat kemerahan.Permukaan kayu jati relatif licin dan memiliki corak yang estetis (Mawardi, 2012).

Tanaman jati secara alamiah banyak dijumpai di negara-negara Asia Selatan dan Asia Tenggara, yaitu Burma, Thailand, Laos, Kamboja, dan Indonesia. Pada abad ke-19 jati mulai dibudidayakan di Amerika tropik seperti Trinidad dan Nicaragua serta di Nigeria dan beberapa bagian Afrika Tengah (Simon, 2000). Tanaman jati yang tumbuh di Indonesia awalnya berasal dari India (Dephut RI, 2004). Tanaman jati mempunyai nama ilmiah Tectona grandis Linn F yang secara historis nama tectona berasal dari bahasa Portugis (tecton) yang berarti tumbuhan yang mempunyai kualitas yang tinggi (Suryana, 2001).


(39)

Kayu jati memiliki kadar selulosa 46,5%, lignin 29,95%, pentosan 14,4%, abu 1,4% dan silika 0,4% serta nilai kalor 5,081 kal/gr (Suryana, 2001). Daya resistansi kayu jati yang tinggi terhadap serangan jamur dan rayap disebabkan karena adanya zat ekstraktif tectoquinon atau 2-metil antraqinon. Selain itu juga megandung komponen lain, seperti tripoliprena, phenil naphthalene, antraquinon, dan komponen lain yang belum terdeteksi (Sipon dkk, 2001).

2.2 Lignin

Lignin adalah suatu produk alami yang dihasilkan oleh semua tumbuhan berkayu yang merupakan komponen kimia dan morfologi ciri dari jaringan tumbuhan tingkat tinggi.(Dumanauw, 1992).Lignin merupakan komponen utama penyusun kimia kayu selain selulosa dan hemiselulosa. Lignin merupakan polimer alami yang terdiri dari molekul-molekul polifenol yang berfungsi sebagai pengikat kayu antara satu sama lain sehingga bersifat keras dan kaku. Dengan adanya lignin, kayu dapat meredam kekuatan mekanis yang dikenakan terhadapnya (Rudatin, 1989).

Lignin merupakan makromolekul fenolik alami yang berasal dari dinding sel tanaman yang mengandung tiga penyusun utama unit fenilpropana (monolignols), yaitu coniferyl alcohol (G), sinapyl alcohol (S), dan p-coumaryl alcohol (H).Struktur lignin sangat kompleks dan terhubung dengan hemiselulosa secara acak dalam bentuk tiga dimensinya.Fungsi lignin di dalam tanaman adalah sebagai pembawa sifat biologis dan perekat diantara selulosa dan hemiselulosa di dalam dinding sel (Dence, 1992). Lignin secara universal terdistribusi pada semua jaringan kayu, dimana lignin menambah kekuatan dan stabilitas dinding sel. Lignin mempunyai struktur yang sangat kompleks, polimer, dan merupakan suatu jaringan aromatik yang tidak larut dalam air (Sastrohamidjojo, 1996).

Lignin adalah polimer yang terdiri dari unit fenilpropana.Penyelidikan lignin didasarkan pada isolasi ligninnya, misalnya lignin kayu-giling (milled wood lignin, MWL), lignin hasil degradasi oksidatif, reduksi, hidrolisis, asam atau basa (Achmadi, 1990).Lignin memiliki gugus metoksil dan inti fenol yang saling


(40)

berikatan dengan ikatan eter atau ikatan karbon dan mempunyai berat molekul tinggi (Sjostrom, 1995). Kandungan metoksil lignin juga bervariasi,dimana semakin tinggi tanaman berdiri dan berkembang maka kandungan metoksil lignin akan semakin tinggi (Harkin, 1969).

Unit dasar senyawa lignin berasal dari fenilpropana yakni terdiri dari sebuah cincin benzena dengan enam atom karbon yang pada salah satu sisinya melekat tiga atom karbon berantai lurus.Dan ada pula yang dikenal dengan gugus metoksil (H3CO-) yang banyak melekat pada cincin aromatik lignin.Namun

beberapa dari gugus tersebut terpisah selam proses pulping kraft (Harkin, 1969). Adapun struktur lignin dapat dilihat pada gambar 2.1 sebagai berikut:

Gambar 2.1 Struktur lignin (Harkin, 1969)

Zat organik polimer yang banyak dan penting dalam dunia tumbuhan selain selulosa adalah lignin.Lignin merupakan senyawa polimer tiga dimensi yang terdiri dari unit fenil propana yang diikat dengan C-O-C dan C-C (Judoamidjojo, 1989).Molekul lignin memiliki derajat polimerisasi tinggi.Oleh karena ukuran dan strukturnya yang tiga dimensi bisa memungkinkan lignin


(41)

berfungsi sebagai semen atau lem bagi kayu yang dapat mengikat serat dan memberikan kekerasan struktur serat.Bagian tengah lamela pada sel kayu, sebagian besar terdiri dari lignin, berikatan dengan sel-sel lain dan menambah kekuatan struktur kayu.Selain itu, dinding sel kayu juga mengandung lignin (Muzzie, 2006).

Didalam struktur lignin yang sebenarnya terdapat perbedaan jenis monomer penyusunnya.Lignin pada kayu lunak adalah jenis lignin guaiasil yang diturunkan dari coniferyl alcohol (G) dan sejumlah kecil sinapyl alcohol (S).Adapun beberapa struktur lignin pada kayu diperlihatkan pada gambar 2.2 sebagai berikut:

Gambar 2.2. Struktur lignin pada kayu (Lewis, 1990)

Pada kayu keras adalah lignin guaiasil-siringil yang diturunkan dari yaitu coniferyl alcohol (G) sinapyl alcohol (S) dengan perbandingan yag sama. Lignin pada rumput termasuk jenis guaiasil-siringil, tetapi diturunkan dari p-coumaryl alcohol (H) (Dence, 1992).Achmadi (1990) menjelaskan bahwa lignin dibagi dua kelompok, kelompok lignin guaiasil (koniferil alkohol) yang terdapat dalam kayu jarum (softwood) berkisar 26-32% dan yang kedua adalah kelompok lignin guaiasil-siringil (sinapil alkohol atau koniferil alkohol) yang terdapat pada kayu


(42)

daun lebar (hardwood) sebanyak 20-28%.Menurut Fengel dan Wegener (1995), lignin dapat diisolasi dengan berbagai cara yaitu:

1. Lignin sebagai sisa. Lignin dihasilkan sebagai sisa hidrolisis asam polisakarida seperti lignin sulfat (klason) dan lignin asam klorida (lignin Halse) serta lignin hasil oksidasi atau pelarutan polisakarida seperti pada penentuan lignin kuoksam yang menggunakan asam sulfat dan kupramonium hidroksida.

2. Lignin dengan pelarutan. Terjadi reaksi yang cukup besar antara lignin dengan pelarut. Contohnya terjadi pada reaksi dengan getaran atau diekstraksi dioksan-air yang sering disebut lignin kayu yang digiling (MWL) atau lignin Bjorkman. Disamping itu juga ada yang menggunakan perlakuan enzimatik yang disebut lignin enzim selulolitik (CEL).

3. Lignin terlarut dalam senyawa organik. Pada proses ini lignin direaksikan dengan pelarut organik. Sebagai contoh adalah lignin alkohol yaitu lignin yang diperoleh dari reaksi dengan alkohol/HCl dan lignin phenol (phenol/ HCl).

4. Turunan dengan pereaksi organik. Secara umum, jenis lignin ini menghasilkan lignin teknis yaitu lignin yang dihasilkan dari proses pembuatan pulp seperti lignin alkali (proses soda/NaOH), lignin kraft atau lignin sulfat (NaOH/Na2S).

Lignin dapat diisolasi dari dari kayu bebas ekstraktif sebagai sisa yang tidak terlarut setelah penghilangan polisakarida dengan hidrolisis.Secara kuantitatif, lignin dapat dihidrolisis dan diekstraksi dari kayu atau diubah menjadi turunan yang mudah larut (Achmadi, 1990).Berat molekul lignin diperkirakan sangat tinggi, tetapi karena proses pemisahan dari selulosa tak terelakkan lagi menyebabkan degradasi, untuk menyatakan berapa besar tingginya adalah hal yang tidak mungkin. Karena lignin mengandung cincin aktif benzena dalam jumlah yang besar, lignin yang terdegradasi akan bereaksi dengan cepat (Stevens, 2001). Lignin merupakan termoplastik alam yang akan menjadi lunak pada suhu yang lebih tinggi dan akan keras kembali apabila menjadi dingin (Haygreen, 1996).


(43)

2.3 Poliuretan

Poliuretan merupakan bahan polimer yang mempunyai ciri khas adanya gugus fungsi uretan (-NHCOO-) dalam rantai utama polimer. Gugus fungsi uretan dihasilkan dari reaksi antara senyawa yang mengandung gugus hidroksil (-OH) dengan senyawa yang mengandung gugus isosianat (-NCO). Berdasarkan jenisnya, poliuretan dapat berupa termoplastik atau termoset yang merupakan produk reaksi isosianat polifungsi dan alkohol polihidroksi atau poliester tertentu (Hartomo, 1992).Polimer termoset mempunyai kekuatan yang tinggi, ketahanan terhadap kelembaban, cukup kaku, dan memiliki kemampuan jangka pembebanan yang lama tanpa mengalami perubahan bentuk.Jenis perekat yang tergolong kategori polimer ini adalah fenol, resorsinol, melamin, isosianat, urea, dan epoksi (Vick, 1999).

2.3.1 Komponen Pembentuk Busa Poliuretan 2.3.1.1 Isosianat

Isosianat merupakan komponen dasar utama dari polimer poliuretan. Isosianat merupakan sumber gugus N=C=O (NCO) yang bisa bereaksi dengan gugus hidroksil dari poliol, air, dan pengcrosslink dalam pembentukan busa (Li, 2012). Isosianat aromatik komersil yang paling penting adalah toluenediisocyanate (TDI), diphenylmethane diisocyanate (MDI), dan naphtalene diisocyanate (NDI). TDI dibagi menjadi dua jenis berdasarkan letak gugus isosianatnya yang ditunjukkan pada gambar 2.3 sebagai berikut:

CH3

NCO

(i) NCO

(ii) OCN

CH3

NCO


(44)

2.3.1.2 Poliol

Komponen dasar kedua dari polimer poliuretan adalah poliol.Poliol polieter (polipropilen glikol dan triol) mempunyai berat molekul antara 400 dan 10000 yang mendominasi teknologi busa.Busa biasanya dibuat dengan triol, yang membentuk produk crosslink dengan diisosianat, sedangkan diol mendominasi dalam teknologi elastomer. Poliol polipropilen oksida (PPO), yang juga disebut polipropilen glikol (PPG) lebih murah dibandingkan poliol lain. Struktur PPG dilihat pada gambar 2.4 sebagai berikut :

H-[O-HC-H2C]n-O-R-O-[CH2-CH-O]n-H

CH3 CH3

Gambar 2.4 Struktur PPG(Kricheldorf, H. R. 2005).

Poliol sintetis dibagi menjadi dua jenis yaitu poliol poliester dan poliol polieter. (Sparrow, 1990). Poliol yang digunakan dalam pembentukan rigid PU foam mempunyai bilangan hidroksil yang tinggi (berat KOH dalam miligram yang akan menetralkan asam dari 1 gram poliol) antara 300 dan 800 mg KOH/g. (Ionescu, 2005). Poliol untuk busa uretan adalah senyawa polimer dengan sedikitnya dua gugus hidroksil (Ashida, 2007).

2.3.1.3 Bahan Pengembang (blowing agent)

Bahan pengembang (blowing agent) untuk pembuatan busa poliuretan terbagi dua yaitu blowing agent fisika, misalnya gas-gas (udara, nitrogen atau karbondioksida) yang oleh tekanan larut dalam polimernya; dan blowing agent kimia yang terurai oleh pemanasan untuk melepaskan gas, misalnya cairan bertitik didih rendah seperti metil klorida, aseton, dan CFCl3 (Stevens, M. P. 2001).

Blowing agent konvensional adalah air, yang merupakan sumber hidrogen aktif. Untuk kontrol yang lebih baik dalam proses foaming, air destilasi atau deionisasi digunakan sebagai blowing agent oleh pabrik busa (Youn, 2007).


(45)

2.3.2 Kegunaan Poliuretan

Poliuretan memiliki banyak kegunaan, diantaranya sekitar 70% digunakan sebagai busa, selebihnya sebagai bahan elastomer, lem, dan pelapis. Busa poliuretan yang elastis digunakan sebagai isolator, termasuk laminat-laminat tekstil untuk pakaian musim dingin, panel pelindung pada mobil, kain pelapis, tempat tidur, dan karpet dasar dan spon sintetis, sedangkan busa yang keras digunakan dalam panel-panel konstruksi terisolasi, pengemasan barang-barang lunak dan untuk furnitur ringan (Stevens, 2001).

2.4 Busa Poliuretan (foam polyurethane)

Busa (foam) didefinisikan sebagai substansi yang dibentuk dengan menjebak gelembung gas di dalam cairan atau padatan.Busa poliuretan diklasifikasikan ke dalam tiga tipe, yaitu flexible foam, rigid foam, dan semi rigid foam.Perbedaan sifat fisik dari tiga tipe foam poliurethane tersebut berdasarkan pada perbedaan berat molekul fungsionalitas poliol dan fungsionalitas isosianat. Berdasarkan struktur selnya, foam dibedakan menjadi dua, yaitu closed cell (sel tertutup) dan opened cell (sel terbuka). Foam dengan struktur closed cell merupakan jenis rigid foam sedangkan foam dengan struktur opened cell adalah flexible foam (Cheremisinoff, 1989). Klasifikasi dari busa poliuretan menurut Ashida(2007) dapat dilihat dalam tabel 2.1 sebagai berikut:

Tabel 2.1 Klasifikasi busa poliuretan

Polyol Rigid foam Semirigid foam Flexible foam

OH No. 350-560 100-200 5.6-70

OH equivalent No. 160-100 560-280 10,000-800

Functionality 3.0-8.0 3.0-3.5 2.0-3.1

Elastic Modulus at 23°C

Mpa >700 700-70 <70


(46)

2.5 Bahan Aditif 2.5.1 Pasir

Pasir kuarsa (quartz sands) juga dikenal dengan nama pasir putih atau pasir silika (silica sand) merupakan hasil pelapukan batuan yang mengandung mineral utama, seperti kuarsa dan feldspar. Hasil pelapukan kemudian tercuci dan terbawa oleh air atau angin yang terendapkan di tepi-tepi sungai, danau, atau laut. Pasir kuarsa adalah bahan galian yang terdiri atas kristal-kristal silika (SiO2) dan mengandun

senyawa pengotor yang terbawa selama proses pengendapan. Pasir kuarsa mempunyai komposisi gabungan dari SiO2, Fe2O3, Al2O3, TiO2, CaO, MgO, dan

K2O, berwarna putih bening atau warna lain tergantung pada senyawa

pengotornya (Selintung, 2012).

Sifat fisik tanah bergantung pada ukuran partikel-partikelnya. Partikel diatas 2,0 mm dikelompokkan sebagai kerikil, pasir antara 0,05 mm dan 2,0 mm, geluh atau silt antara 0,002 sampai 0,05 mm dan lempeng atau clay kurang dari 0,002 mm. Berdasarkan ukuran bahan padatan terebut, tanah digolongkan menjadi 3 partikel yaitu pasir, debu, dan liat. Ketiga partikel tersebut dinyatakan dalam % bersama-sama menyusun tanah dan disebut tekstur tanah. Kapasitas lapang adalah kemampuan tanah untuk menyerap air (Sinulingga, 2003). Filtrasi adalah proses pengolahan air secara fisik untuk menghilangkan partikel padat dalam air dengan melewatkan air tersebut melalui material berpori dengan diameter butiran dan ketebalan tertentu (Rahmawati, 2009). Kapasitas serap air pada tanah pasir sangat rendah, ini disebabkan karena tanah pasir tersusun atas 70% partikel tanah berukuran besar (0,02-2mm). Tanah pasir bertekstur kasar, dicirikan adanya ruang pori besar diantara butir-butirnya (Sinulingga, 2003).

2.5.2 Tawas

Persenyawaan aluminium sulfat (Al2(SO4)3) atau sering disebut tawas adalah

suatu jenis koagulan yang sangat populer secara luas digunakan, sudah dikenal bangsa Mesir pada awal tahun 2000 SM. Alum atau tawas sebagai penjernih air mulai diproduksi oleh pabrik pada awal abad 15. Alum atau tawas merupakan


(47)

bahan koagulan yang paling banyak digunakan, karena bahan ini paling ekonomis (murah), mudah didapatkan di pasaran, serta mudah penyimpanannya (Budi, 2006).Tawas atau alum berada dalam bentuk batuan, serbuk, atau cairan. Massa jenis alum adalah 480 kg/m3 dengan kadar air 11-17%. Alum dilarutkan dalam air dengan kadar 3-7% (5% rata-rata) untuk pembubuhan. Kadar maksimum aplikasi 12-15%. Aluminium sulfat memerlukan alkalinitas (seperti kalsium bikarbonat) dalam air agar terbentuk flok :

Al2(SO4)3.18H2O + 3Ca(HCO3)2→ 2Al(OH)3 + CaSO4 + 18H2O + 6CO2

CaSO4 + Na2CO3→ CaCO3 + Na2SO4

Bila alkalinitas alamnya kurang, perlu dilakukan penambahan Ca(OH)2 :

Al2(SO4)3.18H2O + 3Ca(OH)2→ 2Al(OH)3 + 3CaSO4 + 18H2O

Alternatif lain adalah penambahan NaCO3 yang relatif lebih mahal (Al-layla, AM.

1998).

Diketahui bahwa zat terlarut yang terkandung di dalam air akan mengalami proses pengendapan secara sempurna apabila koagulan (tawas/Al2(SO4)3) yang ditambahkan dalam dosis/jumlah yang tepat. Telah

dilakukan uji jar test yang menghasilkan grafik Hubungan Dosis (mg/L) dengan Kekeruhan (NTU) dan diperoleh 65 mg/L koagulan (tawas/Al2(SO4)3) yang

diperlukan dalam tiap 1 liter air baku (Haslindah, A. 2012).

2.5.3 Arang

Arang adalah suatu bahan padat berpori yang dihasilkan dari pembakaran pada suhu tinggi dengan proses karbonisasi, yaitu proses pembakaran tidak sempurna, sehingga bahan hanya terkarbonisasi dan tidak teroksidasi. Sebagian besar pori-pori pada arang masih tertutup dengan hidrokarbon, ter dan senyawa organik lainnya. Arang memiliki sifat fisik dan kimia meliputi kerapatan 0,45 gr/cm3, kandungan air 5-8%, kandungan abu 1-2%, dan kandungan karbon sebesar 80-90% (Hinoshita, 1988).


(48)

2.5.4 Batu Kapur

Pengapuran adalah pemberian kapur ke dalam air karena air terlalu masam bukan karena kekurangan Ca. Fungsi pengapuran antara lain :

1. Meningkatkan pH tanah dan air

2. Mengikat dan mengendapkan butiran lumpur halus

3. Kapur yang berlebihan dapat mngikat fosfat yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan plankton.

4. Mendukung kegiatan bakteri pengurai sehingga garam dan zat hara akan terbebas

5. Mengendapkan koloid yang melayang layang dalam air

2.6 Air Gambut

Air gambut adalah air permukaan yang banyak terdapat di daerah berawa maupun dataran rendah terutama di Sumatera dan Kalimantan, yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Intensitas warna yang tinggi (berwarna merah kecoklatan) 2. pH yang rendah

3. Kandungan zat organik yang tinggi

4. Kekeruhan dan kandungan partikel tersuspensi yang rendah 5. Kandungan kation yang rendah

Warna coklat kemerahan pada air gambut merupakan akibat dari tingginya kandungan zat organik (bahan humus) terlarut terutama dalam bentuk asam humus dan turunannya.Asam humus tersebut berasal dari dekomposisi bahan organik seperti daun, pohon atau kayu dengan berbagai tingkat dekomposisi, namun secara umum telah mencapai dekomposisi yang stabil.Karakteristik air gambut seperti yang telah disebutkan di atas menunjukkan bahwa air gambut kurang menguntungkan untuk dijadikan air minum bagi masyarakat di daerah berawa.Namun karena jumlah air gambut tersebut sangat banyak dan dominan berada di daerah tersebut maka harus bisa menjadi alternatif sumber air minum masyarakat.


(49)

Kondisi yang kurang menguntungkan dari segi kesehatan adalah sebagai berikut : 1. Kadar keasaman pH yang rendah dapat menyebabkan kerusakan gigi dan

sakit perut,

2. Kandungan organik yang tinggi dapat menjadi sumber makanan bagi mikroorganisme dalam air, sehingga dapat menimbulkan bau apabila bahan organik tersebut terurai secara biologi,

3. Apabila dalam pengolahan air gambut tersebut digunakan klor sebagai desinfektan, akan terbentuk trihalometan (THM’S) seperti senyawa argonoklor yang dapat bersifat karsinogenik (kelarutan logam dalam air semakin tinggi bila pH semakin rendah),

4. Ikatannya yang kuat dengan logam (Besi dan Mangan) menyebabkan kandungan logam dalam air tinggi dan dapat menimbulkan kematian jika dikonsumsi secara terus menerus.

2.7 Air Bersih

Pengertian air bersih berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaaan Air Minum, pada BAB 1, Pasal 1, Ayat 1 : Air baku untuk air minum rumah tangga, yang selanjutnya disebut air baku adalah air yang dapat berasal dari sumber air permukaan, cekungan air tanah, dan atau air hujan yang memenuhi baku mutu tertentu sebagai air baku untuk air minum. Menurut Hadisubroto, (1989), ada beberapa petunjuk yang digunakan untuk menjelaskan adanya pencemaran dan parameter kualitas air adalah :

a. Temperatur

Perubahan temperatur berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan biologi badan air. Temperatur sangat berperan dalam mengendalikan ekosistem perairan. Berdasarkan peranan tersebut, temperatur air dapat mempengaruhi kehidupan biota air yaitu melalui pengaruhnya terhadap kelarutan oksigen dalam air. Pada lapisan atas (epilimnion), kelarutan O2 lebih tinggi

dibandingkan kelarutan O2 pada lapisan bawah (hipolimnion) yang

temperaturnya lebih rendah (Achmad, 2004). b. Dissolved Oxygen (DO)


(50)

Pada temperatur kamar, jumlah oksigen terlarut dalam air adalah sekitar 8 mg/L. Pada air yang terkena pencemaran, produksi oksigen melalui fotosintesis dan oksigen terlarut dari udara dapat menjenuhkan air dengan oksigen (Hadisubroto, 1989).

c. Kekeruhan dan Warna

Kekeruhan dan warna adalah bentuk cemaran yang paling mudah dikenali dalam air. Pengaruh utama dari kekeruhan adalah terjadinya penurunan penetrasi cahaya matahari secara tajam. Penurunan ini akan mengakibatkan aktivitas fotosintesis dari fitoplankton menurun. (Koessoebiono, 1979). Kekeruhan disebabkan oleh partikel terlarut di dalam air yang ukurannya berkisar antara 0.01 – 10 mm. Suatu badan air jika kekeruhannya tinggi maka menunjukkan banyaknya zat organik dan anorganik yang ada pada air tersebut. Adapun sifat fisik yang penting adalah kandungan zat padat yang berefek estetika, kejernihan, warna, bau, dan temperatur (Risdianto, 2007). d. Derajat Keasaman (pH)

Nilai pH berkisar antara 0 hingga 14. Suatu larutan dikatakan memiliki pH netral apabila memiliki nilai pH = 7, sedangkan nilai pH > 7 menunjukkan larutan memiliki sifat basa, dan nilai pH < 7 menunjukkan sifat asam. Penambahan senyawa ion H+ terlarut dari suatu asam akan mendesak kesetimbangan ke kiri (ion OH- akan diikat oleh H+ membentuk air),

akibatnya terjadi kelebihan ion hidrogen dan meningkatkan konsentrasi asam (Effendi, 2003).

e. Konduktivitas

Penentuan daya hantar listrik pada dasarnya adalah pengukuran kemampuan sampel air untuk menghantarkan arus listrik. Kemampuan sampel air untuk menghantarkan arus listrik berhubungan erat dengan konsentrasi total zat terionisasi dalam air. Pada umumnya, senyawa anorganik terlarut dalam air ditemukan dalam bentuk ion-ion. Bentuk ion-ion tersebut akan menghantarkan aliran listrik dan bergerak ke arah elektroda-elektroda yang dicelupkan pada larutan tersebut. Ion-ion yang bermuatan negatif akan bermigrasi ke arah elektroda positif (Sihombing, 2000).


(51)

f. Kontaminasi Mikrobiologi

Ada batas-batas kandungan mikrobiologi pada air yang kita minum sehingga masih dapat diterima sistem kekebalan tubuh manusia yang akan melatih tubuh dalam membentengi diri dari penyakit. Tapi jika melebihi batas tersebut, dan bahkan mungkin pada jenis mikrobiologi tertentu dimana sistem kekebalan tubuh rentan dan tak mampu untuk mengakomodasinya, cemaran ini bisa sangat membahayakan bagi manusia.

2.8 Karakterisasi Polimer

2.8.1 Fourier Transform Infrared (FT-IR)

Konsep radiasi inframerah diajukan pertama kali oleh Sir William Herschel (tahun 1800) melalui percobaannya mendispersikan radiasi matahari dengan prisma, yang mana pada daerah setelah sinar merah menunjukkan adanya kenaikan temperatur tertinggi yang berarti pada daerah panjang gelombang radiasi tersebut banyak kalor (mulja, 1995). Serapan radiasi inframerah oleh suatu molekul terjadi karena adanya interaksi vibrasi ikatan kimia yang menyebabkan perubahan polaribilitas dengan medan listrik gelombang elektromagnit. Dalam teknik spektroskopi inframerah, sampel molekul disinari dengan radiasi inframerah dengan bilangan gelombang tertentu. Beberapa bilangan gelombang radiasi yang sesuai dengan frekuensi vibrasi akan diserap dan radiasi yang diteruskan diamati dengan suatu detektor fotolistrik (Wirjosentono, 1995). Spektroskopi inframerah bermanfaat untuk kajian mikrostruktur maupun gugus fungsi dalam polimer.Komposisi kopolimer olefin, gugus nitril, hidroksi sampai ketidakjenuhan dapat diungkapkan (Hartomo, 1995).Pada era modern ini, radiasi inframerah digolongkan atas empat daerah yang dapat dilihat dari tabel 2.2 berikut.


(52)

Tabel 2.2 Penggolongan daerah radiasi inframerah

No Daerah

Inframerah

Rentang panjang gelombang (λ)

dalam µm Rentang bilangan gelombang (ύ)cm-1 Rentang frekuensi (ν) Hz

1 Dekat 0,78-2,5 13000-4000 3,8-1,2(1014) 2 Pertengahan 2,5-50 4000-200 1,2-0,06(1014)

3 Jauh 50-1000 200-10 6,0-0,3(1012)

4 Terpakai untuk analisis

instrumental

2,5-15 4000-670 1,2-0,2(1014)

Disamping untuk maksud tujuan analisis kuantitatif, spektrofotometri inframerah ditujukan untuk maksud penentuan gugus-gugus fungsi molekul pada analisa kualitatif (Mulja, 1995). Kelebihan-kelebihan dari FT-IR mencakup ukuran sampel yang kecil, perkembangan spektrum yang cepat, dan dilengkapi komputer yang terdedikasi sehingga memiliki kemampuan untuk menyimpan dan memanipulasi spektrum. FT-IR telah membawa tingkat keserbagunaan yang lebih besar dalam penelitian-penelitian struktur polimer karena spektrum-spektrum bisa di-scan, disimpan dan ditransformasikan dalam hitungan detik, teknik ini akan memudahkan penelitian reaksi-reaksi polimer seperti degradasi dan ikat silang (Stevens, 2001).

Spektroskopi inframerah ditujukan untuk penentuan gugus-gugus fungsi molekul pada analisa kualitatif, disamping untuk analisis kuantitatif (Mulja, 1995). Adapun kelebihan dari FTIR mencakup persyaratan ukuran sampel yang kecil, perkembangan spektrum yang cepat, dan karena instrumen ini memiliki komputer yang terdedikasi kemampuan untuk menyimpan dan memanipulasi spektrum. Spektrum inframerah bahan polimer akan tergantung dari karakteristik spektrum dan struktur kimia satuan ulangannya. Ditambah lagi perubahan susunan geometri, perubahan orientasi ikatan, dan bentuk kristal akan mempengaruhi serapan inframerah oleh ikatan kimia satuan ulangannya (Wirjosentono, 1995).


(53)

2.8.2 Scanning Electron Microscopy (SEM)

SEM merupakan teknik yang digunakan untuk mempelajari permukaan sampel dan material yang tebal. Berkas elektron berenergi tinggi digunakan sehingga memberikan keuntungan resolusi yang lebih baik karena radiasi elektronnya memiliki panjang gelombang yang sangat pendek (Gupta, 2010).Dalam penelitian morfologi permukaan SEM terbatas pemakaiannya, tetapi memberikan informasi yang bermanfaat mengenai topologi permukaan dengan resolusi sekitar 100 Å. Suatu berkas insiden elektron sangat halus di-scan menyilangi permukaan sampel dalam sinkronisasi dengan berkas tersebut dalam tabung sinar katoda. Elektron-elektron yang terhambur digunakan untuk memproduksi sinyal yang memodulasi berkas dalam sinar tabung katoda, yang memproduksi suatu citra dengan kedalaman medan yang besar dan penampakan yang hampir tiga dimensi (Stevens, 2001).

Alat SEM terdiri atas bagian-bagian, yaitu sumber elektron (electrongun) berupa filamen kawat wolfram, alat untuk mencacah (scanner) titik-titik sepanjang spesimen berupa sistem lensa elektromagnetik dan foil pencacah elektromagnetik, seperangkat lensa elektromagnetik untuk memfokuskan elektron dari sumber menjadi titik kecil di atas spesimen, sistem detektor, serta sistem layar (Rohaeti, 2009)

2.8.3 Analisa Permeabilitas Busa Poliuretan

Analisa permeabilitas sebenarnya umum digunakan untuk membran, namun bisa juga digunakan untuk poliuretan yang difungsikan sebagai membran. Proses pemisahan dengan membran dapat terjadi karena adanya perbedaan ukuran pori, bentuk, serta struktur kimianya. Membran demikian biasa disebut sebagai memran semipermeabel, artinya dapat menahan spesi tertentu, tetapi dapat melewatkan spesi yang lainnya. Fasa campuran yang akan dipisahkan disebut umpan (feed), dan fasa hasil pemisahan disebut permeat (permeate). Sifat-sifat membran perlu dikarakterisasi, yang meliputi efisiensi serta mikrostrukturnya.


(54)

Permeabilitas merupakan ukuran kecepatan dari suatu spesi untuk melewati membran. Sifat ini dipengaruhi oleh jumlah dan ukuran pori, tekanan yang diberikan, serta ketebalan membran. Permeabilitas dinyatakan sebagai suatu besaran fluks dan dilambangkan dengan J, yang didefinisikan sebagai jumlah volume permeat yang melewati satu satuan luas membran dalam satuan waktu tertentu dengan adanya gaya penggerak berupa tekanan.

Fluks =

jumlah volume permeat

luas membran x waktu x tekanan (2.1)

2.9 Uji kualitas air

Air yang berkualitas baik untuk air bersih maupun untuk air minum memiliki parameter fisika seperti kondisi air yang jernih atau tidak keruh, tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbau, tidak mengandung zat padat tersuspensi (TSS) dan zat padat terlarut(TDS).

2.9.1. Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman menunjukkan kadar asam atau basa dalam suatu larutan melalui konsentrasi ion hidrogen (H+). Air dapat bersifat asam atau basa tergantung besar kecilnya pH air atau besarnya konsentrasi ion hidrogen di dalam air. Air normal yang memenuhi syarat untuk suatu kehidupan mempunyai pH berkisar antara 6,5-7,5. Air yang mempunyai pH lebih kecil dari pH normal akan bersifat asam, sedangkan aitr yang memiliki pH lebih besar dari pH normal akan bersifat basa. Mengingat nilai pH ditentukan oleh interaksi berbagai zat dalam air, termasuk zat-zat yang secara kimia dan biokimia tidak stabil, maka penentuan pH harus seketika setelah contoh diambil dan tidak diawetkan.

2.9.2. Zat padat tersuspensi (Total Suspended Solid=TSS)

Zat padat tersuspensi adalah residu dari padatan total yang tertahan oleh saringan dengan ukuran partikel maksimal 2 µm atau lebih besar dari ukuran partikel kolid. Jumlah zat padat atau residu terdiri dari bahan terlarut dan tersuspensi yang ada di air.TSS menyebabakan kekeruhan pada air akibat padatan tidak terlarut dan tidak


(55)

dapat langsung mengendap. Bahan tersebut dapat berupa partikel suspensi dari tanah liat, lumpur, bahan organik terurai, bakteri, plakton, dan organisme lainnya. Adanya zat padat di air menyebabkan kualutas air tidak baik, dapat menimbulkan berbagai reaksi dan menggangu estetika. TSS umumnya dapat dihilangkan dengan flokulasi dan penyaringan.

2.9.3. Zat padat terlarut (Total Dissolved=TDS)

Zat padat terlarut menyatakan jumlah bahan yang terlarut dalam suatu larutan yang dinyatakan dalam mg/L. Interksi antara pelarut air dengan zat padat, zat cair dan gas sehingga menghasilkan bahan terlarut dalam bentuk zat organik ataupun zat anorganik. Mineral logam dan gas merupakan zat anorganik yang mungkin terlarut dalam air. Zat tersebut dapat berhubungan dengan air di atmosfer, permukaan ataupun di dalam tanah. Zat organik bisa berasal dari pembusukan tumbuh-tumbuhan, zat organik dan gas organik.

Penentuan jumlah zat padat terlarut dapat dilakukan dengan menguapkan sampel yang telah disaring untuk menghilangkan padatan tersuspensi. Residu yang tersisa ditimbang dan merupakan jumlah zat padat terlarut dalam air. Kadar zat terlarut yang tinggi menunjukkan adanya kandungan K+, Na+, dan Cl-. Ion-ion ini hanya menimbulkan bahaya dalam waktu singkat. Selain itu, jumlah zat padat terlarut yang tinggi juga dapat disebabkan adanya logam berat dalam air yang berbahaya bagi kesehatan.

2.9.4. Kekeruhan

Air dikatakan berlumpur ketika air tersebut mengandung banyak partikel yang tersuspensi sehingga memberikan warna yang berlumpur dan kotor. Kekeruhan pada air akan menimbulkan dampak kurang memuaskan dalam penggunaan air. Untuk menentukan dapat digunakan turbidimeter.


(56)

Turbidimeter adalah suatu alat analisis untuk mengetahui atau mengukur tingkat kekeruhan air. Turbudimeter memiliki sifat optik akibat dispersi sinar dan dapat dinyatakan sebagai perbandingan cahaya yang dipantulkan terhadap cahaya yang datang. Intensitas cahaya yang dipantulkan terhadap cahaya yang datang. Intensitas cahaya dipantulkan oleh suatu suspensi adalah fungsi konsentrasi jika kondisi-kondisi lainnya konstan. Turbidimeter meliputi pengukuran cahaya yang diteruskan. Pada turbidimeter cahaya masuk melalui sampel, kemudian sebagian diserap dan sebagian diteruskan. Cahaya yang diserap itulah yang merupakan tingkat kekeruhan. Maka jika semakin banyak cahaya yang diserap maka semakin keruh cairan tersebut (Khopkar, 1990).


(57)

BAB1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Air bersih merupakan salah satu masalah utama yang sedang dihadapi oleh masyarakat indonesia pada saat ini. Air merupakan kebutuhan utama dalam kehidupan manusia dan terbatas kesediaannya. Air bersih akan menjadi bahan yang sukar diperoleh ketika manusia tidak mampu mengelolanya dengan bijaksana.

Air gambut adalah air permukaan yang banyak terdapat di daerah berawa maupun dataran rendah terutama di Sumatera dan Kalimantan. Karakteristik air gambut bersifat spesifik, bergantung pada lokasi, jenis vegetasi dan jenis tanah tempat air gambut tersebut berada, ketebalan gambut, usia gambut, dan cuaca. Karakteristik air gambut menunjukkan bahwa air gambut kurang menguntungkan untuk dijadikan air minum bagi masyarakat Indonesiadi daerah berawa. Namun karena jumlah air gambut tersebut sangat banyak dan dominan berada di daerah tersebut maka harus menjadi alternatif sumber air minum masyarakat dengan pengelolaan yang benar.

Poliuretan merupakan bahan polimer yang mempunyai ciri khas adanya gugus uretan (-NHCOO-) dalam rantai utama polimer. Gugus fungsi uretan dihasilkan dari reaksi antara senyawa yang mengandung gugus hidroksil (-OH) dengan senyawa yang mengandung gugus isosianat (-NCO-). Poliuretan memiliki banyak kegunaan, diantaranya sekitar 70% digunakan sebagai busa, selebihnya sebagai bahan elastromer, lem dan pelapis. Busa poliuretan yang elastis digunakan sebagai isolator, tekstil, panel pelindung pada mobil, kain pelapis, tempat tidur, dan karpet dasar spon sintetis, sedangkan busa yang keras digunakan dalam panel konstruksi, pengemasan barang-barang lunak dan untuk furnitur ringan. Busa poliuretan juga dapat digunakan sebagai perekat (binder), penyaring, dan pemisah fasa. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa mikropartikel poliuretan memiliki efek luar biasa pada kinerja penyerapan bahan komposit karena mikrostruktur dan bentuk mikropartikel polimer jenis ini mampu berinteraksi secara tepat dengan filler yang berinteraksi dengannya (Sari, 2015).

Sari (2015) telah melakukan penelitian tentang Pembuatan Poliuretan Sebagai Media Penyaring Air Payau Dari Lignin Isolat Kayu Jati Dengan Bahan Aditif Pasir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa analisa TDS setelah penyaringan sebesar 47,28% dan analisa TSS sebesar 85,71%.

Ramadhani, (2013) telah meneliti tentang Perbandingan Efektivitas Tepung Biji Kelor (Moringa oleifera lamk), Poly Aluminium Chloride (PAC), dan Tawas sebagai Koagulan untuk Air Jernih. Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa tawas mampu menurunkan turbiditas sebesar 93,44%, kadar warna sebesar 87,55%, dan TSS (Total Suspended Solid) 93,366%.


(58)

Saryati, dkk (2002) telah meneliti tentang komposit tawas, arang aktif, dan zeolit untuk memperbaiki kualitas air.Dari hasil penelitian tersebut diperoleh kesimpulan bahwa komposit tawas, arang aktif, dan zeolit mempunyai kemampuan menurunkan kekeruhan air.Selain itu komposit ini menurunkan bilangan permanganat dan jumlah bakteri Coli dalam air.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan memanfaatkan lignin isolat serbuk kayu jati sebagai poliol, yang kemudian akan ditambahkan dengan polipropilena glikol (PPG) 1000 dan toluena diisosianat (TDI) sehingga dapat menghasilkan pengikat poliuretan yang diharapkan dapat bertindak sebagai pengikat (binder) adifif arang, batu kapur, pasir dan tawas yang selanjutnya perpaduan ini menghasilkan material yang dapat dimanfaatkan sebagai alternatif dalam penyaringan air, khususnya air gambut.

1.2 Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu :

1. Berapakah perbandingan optimum dari berat PU: Zat Aditif yang diperoleh? 2. Bagaimana karakteristik dari busa poliuretan-zat aditif?

3. Bagaimana hasil uji analisa air gambut setelah dilakukan penyaringan dengan busa poliuretan-zat aditif?

1.3 Pembatasan Masalah

Penelitian ini mengambil batasan-batasan sebagai berikut :

1. Lignin yang digunakan diisolasi dari serbuk kayu jati yang berasal dari daerah Medan Denai.

2. Pereaksi yang digunakan Toluena Diisosianat (TDI) dan Polipropilena Glikol (PPG) 1000.

3. Bahan aditif yang digunakan arang, batu kapur, pasir ,tawas. 4. Suhu dalam pembuataan poliuretan alam 550C.

5. Air gambut yang digunakan berasal dari Desa Lintong Nihuta Kab. Humbahas Provinsi Sumatera Utara.

1.4 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui perbandingan optimum dari berat PU: Zat Aditif yang diperoleh?

2. Untuk mengetahui karakteristik dari busa poliuretan-zat aditif?

3. Untuk mengetahui hasil uji analisa air gambut setelah dilakukan penyaringan dengan busa poliuretan-zat aditif?

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian bahan ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah tentang pemanfaatan beberapa aditif dengan busa poliuretan-lignin sebagai penjernih air gambut.Dimana lignin diisolasi dari serbuk kayu jati.


(59)

1.6 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Ilmu Dasar USU, Laboratorium Kimia Organik UGM, Laboratorium Kimia Fisika FMIPA USU, Laboratorium Kimia Polimer FMIPA USU, dan Laboratorium Penelitian PTKI.

1.7 Metodologi Penelitian

Penelitian ini berupa eksperimen laboratorium. Ada beberapa tahap penelitian yaitu :

1. Tahap pertama adalah penyiapan serbuk kayu jati yang kemudian diisolasi untuk mendapatkan lignin.

2. Tahap kedua adalah pembuatan busa poliuretan dari lignin isolat- polipropilena glikol (PPG) dengan menggunakan pereaksi isosianat dan diiringi dengan penambahan beberapa bahan aditif.

3. Tahap ketiga adalah karakterisasi busa poliuretan untuk analisa gugus fungsi dengan menggunakan Fourier Transform Infrared (FT-IR), analisa sifat morfologi dengan menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM), dan analisa permeabilitas.

Variabel yang digunakan adalah : 1. Variabel tetap

- Suhu (oC) - Waktu (menit) - Volume (mL) - Berat (gram) 2. Variabel terikat

- Gugus fungsi dengan menggunakan Fourier Transform Infrared (FT-IR)

- Sifat morfologi dengan menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM)

- pH - TDS - TSS - Kekeruhan 3. Variabel bebas

- Berat TDI (gram) - Berat PPG 1000 (gram) - Berat Lignin (gram) - Berat air (pphp) - Berat aditif (gram)


(60)

PEMANFAATAN BUSA POLIURETAN-LIGNIN ISOLAT KAYU JATI DAN BEBERAPA BAHAN

ADITIF SEBAGAI PENJERNIH AIR GAMBUT

ABSTRAK

Pemanfaatan busa poliuretan-lignin isolat kayu jati dan beberapa bahan aditif sebagai bahan penjernih air gambut telah dilakukan. Pembuatan busa poliuretan sebagai media penyaring air gambut dari lignin isolat kayu jati dengan beberapa bahan aditif arang, batu kapur, pasir dan tawas dilakukan melalui dua tahap. Tahap pertama adalah proses isolasi lignin dari serbuk kayu jati dengan menggunakan H2SO4 60% yang dianalisis menggunakan analisis FTIR dan

menunjukkan serapan O-H pada bilangan gelombang 3448,72cm-1yang merupakan serapan khas lignin kayu keras. Tahap kedua adalah proses pembuatan busa poliuretan dengan mereaksikan lignin isolat, PPG 1000, air, TDI, dan bahan aditif arang, batu kapur, pasir dan tawas yang kemudian dikarakterisasi dengan uji penyaringan dengan air gambut,FTIR, dan SEM. Berdasarkan uji penyaringan, busa poliuretan-bahan aditif dengan perbandingan 6:4 menunjukkan hasil paling optimum dengan waktu alir sebesar 607 detik. Analisa FTIR menunjukkan adanya serapan N-H pada bilangan gelombang 3414,00cm-1 yang merupakan gugus penting poliuretan. Analisa SEM menunjukkan ukuran pori-pori yang lebih kecil dan permukaan yang homogen.Analisa pH, TSS, TDS dan kekeruhan dilakukan terhadap air gambut hasil penyaringan yang menunjukkan hasil pH air adalah 6, nilai TSS sebesar38 mg/L,nilai TDS sebesar 400 mg/L dan nilai kekeruhan air 4,8 NTU. Dapat disimpulkan bahwa air gambut setelah penyaringan memenuhi parameter air bersih.

Kata Kunci: Lignin isolat, Zat Aditif (Arang, Batu Kapur, Pasir, Tawas),Busa Poliuretan, Penyaring, Air Gambut.


(1)

DAFTAR ISI

Halaman

Persetujuan i

Pernyataan ii

Penghargaan iii Abstrak iv Abstract v

Daftar Isi vi Daftar Tabel viii

Daftar Gambar ix Daftar Lampiran x

Daftar Singkatan xi BAB 1. Pendahuluan 1.1.Latar Belakang 1

1.2.Permasalahan 3

1.3.Pembatasan Masalah 3

1.4.Tujuan Penelitian 3

1.5.Manfaat Penelitian 3

1.6.Lokasi Penelitian 4

1.7.Metodologi Penelitian 4

BAB 2. Tinjauan Pustaka 2.1.Kayu Jati 5

2.2.Lignin 6

2.3.Poliuretan 10

2.3.1. Komponen Pembentuk Busa Poliuretan 10

2.3.1.1. Isosianat 10

2.3.1.2. Poliol 11

2.3.1.3. Bahan Pengembang (blowing agent) 11

2.3.2. Kegunaan Poliuretan 12

2.4.Busa Poliuretan (foam polyurethane) 12

2.5.Bahan Aditif 13

2.5.1. Pasir 13

2.5.2. Tawas 13

2.5.3. Arang 14

2.5.4. Batu Kapur 15

2.6.Air Gambut 15

2.7.Air Bersih 16

2.8.Karakterisasi Polimer 18

2.8.1. Fourier Transform Infra-Red (FT-IR) 18

2.8.2. Scanning Electron Microscope (SEM) 20

2.8.3. Analisa Permeabilitas Busa Poliuretan 20


(2)

2.9.4. Kekeruhan 22

BAB 3. Metode Penelitian 3.1.Alat 23

3.2.Bahan 24

3.3.Prosedur Kerja 24

3.3.1. Pembuatan Pereaksi 24

3.3.1.1. Pembuatan Larutan H2SO460% 24

3.3.2. Preparasi Serbuk Kayu Jati 24

3.3.3. Isolasi Lignin dari Serbuk Kayu Jati (Metoda Klason) 24

3.3.4. Kadar Kemurnian Lignin (Metoda Klason) 25

3.3.5. Analisa Gugus Fungsi Lignin dengan FT-IR 26

3.3.6. Pembuatan Poliuretan 26

3.3.7. Preparasi Sampel Air Gambut 26

3.3.8. Penyaringan Air Gambut 27

3.3.9. Analisa Parameter Air 27

3.3.9.1. Analisa Derajat Keasaman (pH) 27

3.3.9.2. Analisa Total Zat Padat Tersuspensi 27

3.3.9.3. Analisa Total Zat Padat Terlarut 28

3.3.9.4. Analisa Kekeruhan 28

3.3.10. Analisa Gugus Fungsi Poliuretan dengan FT-IR 28

3.3.11. Analisa Sifat Morfologi Poliuretan dengan SEM 29

3.4.Bagan Penelitian 30

3.4.1. Bagan Preparasi Serbuk Kayu Jati 30

3.4.2. Bagan Isolasi Lignin dari Serbuk Kayu Jati 31

3.4.3. Bagan Penentuan Kadar Kemurnian Lignin 32

3.4.4. Bagan Preparasi Bahan Aditif 32

3.4.5. Bagan Pembuatan Busa Poliuretan 33

3.4.6. Bagan Penyaringan Air Gambut 34

BAB 4. Hasil dan Pembahasan 4.1. Hasil Isolasi Lignin dari Kayu Jati 35

4.2. Hasil Analisa Gugus Fungsi Lignin dengan FTIR 36

4.3. Hasil Pembuatan Poliuretan/Zat Aditif 38

4.4. Hasil Analisa Waktu Alir Poliuretan 40

4.5. Hasil Analisa Gugus Fungsi Poliuretan dengan FTIR 41

4.6. Hasil Analisa Morfologi Poliuretan dengan SEM 43

4.7. Hasil Analisa Parameter Air Gambut 46

BAB 5. Kesimpulan dan Saran 5.1. Kesimpulan 47

5.2. Saran 47

Daftar Pustaka 48

Lampiran 52


(3)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 2.2 3.1

Klasifikasi Busa Poliuretan Penggolongan Radiasi Inframerah Perbandingan Berat PU/Zat Aditif

12 19

33 4.1 Pita Serapan FT-IR Lignin Isolat Kayu Jati 36 4.2 Data Perolehan fluks setiap busa poliuretan 40 4.3 Pita Serapan FT-IR Busa Poliuretan tanpa Zat Aditif 42 4.4 Pita Serapan FT-IR Busa Poliuretan+Zat Aditif 42 4.5 Analisa Air Gambut PU:Bahan Aditif (6:4) 46


(4)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Struktur lignin 7

2.2 Struktur lignin pada kayu 8

2.3 Struktur (i) 2,4-TDI, (ii) 2,6-TDI 10

2.4 Struktur PPG 11

3.1 Skema penyaringan air untuk analisa fluks 27

4.1 Lignin isolat serbuk kayu jati 37

4.2 Poliuretan-Zat Aditif 38

4.3 Spektrum FT-IR PU tanpa zat aditif dan PU+zat aditif 41 4.4 Hasil Analisa SEM Poliuretan dengan Perbesaran 100 kali 44 4.5 Hasil Analisa SEM Poliuretan dengan Perbesaran 1000 kali 44


(5)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Sampel Serbuk Kayu Jati (Tectona grandis) yang

Digunakan dalam Penelitian 53

2 Proses Isolasi Lignin 53

3 Spektrum FTIR Lignin Isolat Kayu Jati 54

4 Spektrum FTIR PU tanpa zat aditif dan PU+Zat Aditif 54 5 Perhitungan Pengenceran H2SO4 60% Menjadi H2SO4

3%

55 6 Penentuan Rendemen Lignin Isolat Kayu Jati 55 7 Penentuan Kadar Kemurnian Lignin Isolat Kayu Jati 55 8 Jumlah Padatan Terlarut (TDS) Dalam Air Gambut 56 9 Jumlah Padatan Tersuspensi (TSS) Dalam Air Gambut 56 10 Jumlah Padatan Terlarut (TDS) Dalam Air Payau

Setelah Penyaringan dengan PU/Zat Aditif6:4

56 11 Jumlah Padatan Tersuspensi (TSS) Dalam Air Payau

Setelah Penyaringan dengan PU/Zat Aditif6:4 57 12 Persentase Penyerapan Poliuretan Berdasarkan Nilai

TDS dan TSS

57 13 Peraturan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 492/Menkes/Per/IV/2010


(6)

DAFTAR SINGKATAN

ATR-IR = Attenuated Total Reflectance-Infra Red DAS = Daerah Aliran Sungai

FTIR = Fourier Transform Infrared

NR/PS = Natural Rubber/Precipitated Silica NR/SMK = Natural Rubber/Silane Modified Kaolin PCC = Precipitated Calcium Carbonate

pH = Power of Hydrogen PPG = Polipropilena glikol PPHP = Part Per Hundred Polyol PU = Polyurethane

SEM = Scanning Electron Microscope SMK = Silane Modified Kaolin

SNI = Standar Nasional Indonesia TDI = Toluene diisocyanate TDS = Total Dissolved Solid TSS = Total Suspended Solid

NTU = Nephelometric Turbidity Units