Hubungan Kadar Ubiqutin C-Terminal Hydrolase – L1 Dengan Tingkat Keparahan Cedera Kepala

(1)

HUBUNGAN KADAR UBIQUTIN C-TERMINAL

HYDROLASE – L1 DENGAN TINGKAT KEPARAHAN

CEDERA KEPALA

TESIS

ANDRE MAROLOP PANGIHUTAN SIAHAAN

NIM. 097116006

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK

DEPARTEMEN ILMU BEDAH SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

HUBUNGAN KADAR UBIQUITIN TERMINAL HYDROLASE – L1 DENGAN TINGKAT KEPARAHAN CEDERA KEPALA

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister Kedokteran Klinik dalam Program Studi Ilmu Bedah Saraf pada Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

ANDRE MAROLOP PANGIHUTAN SIAHAAN NIM. 097116006

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU BEDAH SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tesis : HUBUNGAN KADAR UBIQUITIN C TERMINAL

HYDROLASE L1 DENGAN TINGKAT KEPARAHAN CEDERA KEPALA

Nama : ANDRE MAROLOP PANGIHUTAN SIAHAAN

NIM : 097116006

Program Studi : ILMU BEDAH SARAF

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. dr. Iskandar J, SpBS (K)

NIP. 194903311977111001 NIP. 194607181977031000

Prof. dr. Adril A. Hakim, SpS, SpBS(K)

Mengetahui / Mengesahkan

Ketua Departemen Ketua Program Studi

Prof. Dr. dr. Iskandar J, SpBS (K)

NIP. 194903311977111001 NIP. 194405071977031001


(4)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya penulis sendiri dan semua sumber yang dikutip maupun dirujuk

telah penulis nyatakan benar

Nama : Andre Marolop Pangihutan Siahaan NIM : 097116006


(5)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJ UAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH

UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini

Nama : Andre Marolop Pangihutan Siahaan NIM : 097116006

Program Studi : Magister Kedokteran Klinik Konsentrasi : Ilmu Bedah Saraf

Jenis Karya : Tesis

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-eksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas tesis saya yang berjudul:

HUBUNGAN KADAR UBIQUITIN C-TERMINAL HYDROLASE – L1 DENGAN TINGKAT KEPARAHAN CEDERA KEPALA

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media, mengelola dalam bentuk database, merawat, dan mempublikasikan tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya

Dibuat di : Medan Pada tanggal : 27 Juli 2013 Yang menyatakan


(6)

ABSTRAK

LATAR BELAKANG

Salah satu permasalahan utama dalam cedera kepala adalah bagaimana menilai tingkat keparahan cedera kepala.Modalitas yang banyak digunakan adalah pemeriksaan fisik dan radiologi.Saat cedera kepala, penanda cedera saraf yang dilepaskan dari otak menuju serum mungkin memberikan tambahan diagnosis yang bermakna.

TUJUAN

Untuk mengetahui kadar Ubiquitin C-terminal Hydrolase – L1 (UCH-L1), suatu penanda kerusakan neuron, pada serum penderita cedera kepala dan untuk mengetahui hubungannya dengan karakteristik serta hasil akhir klinis.

METODE

Ini merupakan studi potong lintang yang melibatkan delapan puluh orang penderita cedera kepala, baik ringan, sedang, maupun berat. Dengan menggunakan metode ELISA, dilakukan pengukuran kadar UCH-L1 serum.

HASIL

Kadar UCH-L1 serum penderita cedera kepala sedang dan berat lebih tinggi dibandingkan penderita cedera kepala ringan (p < 0,001), tetapi tidak ditemukan perbedaan bermakna antara penderita cedera kepala sedang dan cedera kepala berat. Tidak ditemukan korelasi yang signifikan antara kadar UCH-L1 serum dengan lama rawatan dan hasil akhir klinis pasien.

KESIMPULAN

Kadar UCH-L1 serum memiliki potensi yang besar sebagai tambahan modalitas diagnosis cedera kepala, tetapi tidak terbukti berhubungan dengan hasil akhir klinis pasien


(7)

ABSTRACT BACKGROUND

One of the main problems in head injury is assessing the severity. The main modalities commonly used are physical examination and imaging; both have limitation in assessing the severity. Neuronal damage markers released in blood may provide valuable information about diagnosis the traumatic brain injury (TBI).

OBJECTIVE

To analyze the concentrations of ubiquitin C-terminal hydrolase-L1 (UCH-L1), a neuronal injury biomarker, in serum of TBI patients and their association with clinical characteristics and outcome.

METHODS

There are 80 TBI subjects, i.e. mild, moderate, and severe involved in this case-control study. Using ELISA, we studied the profile of serum UCH-L1 levels for TBI patients RESULT

Serum UCH-L1 level in moderate and severe head injury is higher than in mild head injury (p< .001), but we don’t find significant difference between moderate and severe head injury patients. There is no significant correlation found between serum UCH-L1 level and outcome.

CONCLUSION

Serum levels of UCH-L1 appear to have potential clinical utility in diagnosing TBI, but do not have correlation with outcome.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.Penulis sangat menyadari bahwa tanpa bantuan dari semua pihak, tesis ini tidak mungkin dapat penulis selesaikan.Oleh karena itu perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Rasa hormat, penghargaan dan ucapan terima kasih sebesar - besarnya penulis sampaikan kepada:

1. Prof. Dr. dr. Iskandar Japardi, SpBS (K) selaku Ketua Departemen Ilmu Bedah Saraf FK USU yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk mengikuti pendidikan serta senantiasa membimbing, memberi dorongan dan kemudahan selama penulis menjalani pendidikan.

2. Prof. dr. Abdul Gofar Sastrodiningrat, SpBS (K) selaku Ketua Program Studi Ilmu Bedah Saraf FK USU yang telah dengan sungguh - sungguh membantu, membimbing, dan memberi dorongan kepada penulis,

3. Pembimbing penulisan tesis ini, Prof. Dr. dr. Iskandar Japardi, SpBS (K) dan Prof. dr. Adril A Hakim, SpS, SpBS (K) yang telah memberikan bimbingan, bantuan serta saran - saran yang sangat berharga dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaian tesis ini

4. Staf Departemen Ilmu Bedah Saraf FK USU/ RSUPHAM, Dr. dr. Rr. Suzy Indharty, M.Kes, SpBS dan Dr. dr. Ridha Dharmajaya, SpBS yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis selama penulisan tesis ini.

5. Dr. dr. Arlinda Sari Wahyuni, M. Kes sebagai pembimbing statistik dalam penulisan tesis ini

6. Seluruh staf Laboratorium Patologi Klinik RSUP HAM yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini


(9)

7. Teman-teman PPDS Departemen Ilmu Bedah Saraf FK USU

8. Perawat di ruang rawat inap RA-4 Bedah Saraf dan Unit Perawatan Intensif RSUP HAM

9. Serta seluruh pihak yang tidak mungkin saya sebutkan satu per satu.

Rasa terima kasih yang sebesar-besarnya saya haturkan kepada orang tua saya, Ir. Sahat M. Siahaan dan Dr. dr. Sarma L. Raja, SpOG (K) atas doa, pengorbanan, nasihat, dan dukungan kepada saya selama ini. Kepada kakak saya, dr. Hatsari M. Siahaan, SpOG, terima kasih atas dukungannya selama ini, serta kepada sahabat saya, Aries Akira Pulungan, saya ucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuan yang telah diberikan selama pendidikan ini.

Semoga tulisan ini berguna untuk kita semua.


(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI i

DAFTAR TABEL v

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR SINGKATAN vii

ABSTRAK viii

ABSTRACT ix

BAB 1 PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang Penelitian 1

a. Epidemiologi Cedera Kepala 1

b. Mengapa Biomarker Cedera Saraf Diperlukan 3

B. Rumusan Masalah 6

C. Pertanyaan Penelitian 7

D. Tujuan Penelitian 7

a. Tujuan Umum 7

b. Tujuan Khusus 7

E. Manfaat Penelitian 8

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 9

A. Cedera Kepala 9

a. Neuropatologi 9

b. Degenerasi Akson post trauma 11


(11)

i. Konsep mekanis 12

ii. Degenerasi Akson akut 12

iii. Degenerasi Wallerian 14

iv. Mekanisme molekuler degenerasi akson 17

v. Kalsium 18

vi. Kejadian lanjutan setelah influks kalsium 20

vii. Cedera mitokondria 22

viii. Agregasi 22

ix. Transport Akson 24

x. Aktivasi kinase 26

xi. Autofagi dan sistem ubiquitin protease 27

B. Sistem Ubiquitin Proteasome 27

a. Enzim Deubiquitinating 30

b. Fungsi sistem ubiquitin proteasome pada manusia 31 c. Penyakit neurodegeneratif dan SUP 33 d. Ubiquitin Carboxyl-Terminal Hydrolase (UCH-L1) 35 dan hubungannya dengan degenerasi saraf

C. Biomarker pada cedera kepala 38

BAB 3 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, 43

HIPOTESIS PENELITIAN

A. Kerangka teori 43

B. Kerangka konsep 43


(12)

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 45

A. Rancangan penelitian 45

B. Waktu dan tempat penelitian 45

C. Populasi dan sampel penelitian 45

D. Kriteria sampel penelitian 46

a. Kriteria inklusi 46

b. Kriteria eksklusi 46

E. Besar sampel penelitian 47

F. Alur penelitian 48

G. Organisasi Penelitian 49

H. Cara kerja 49

I. Batasan operasional variabel 58

J. Kontrol Kualitas 59

K. Analisis Data 59

BAB 5 HASIL PENELITIAN 60

A. Kadar UCH-L1 Serum 61

a. Analisis berdasarkan jenis kelamin 61

b. Analisis berdasarkan suku 62

c. Analisis berdasarkan kelompok cedera 63 d. Analisis kadar UCH-L1 pada penderita cedera kepala 64 yang meninggal dalam tiga hari pertama

B. Korelasi kadar UCH-L1 dengan GCS saat masuk dan 66 lama rawatan


(13)

BAB 6 PEMBAHASAN 67

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN 72

A. Kesimpulan 72

B. Saran 73


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Penanda cedera kepala 34

Tabel 2 Indikasi operasi pada Perdarahan Intrakranial 44

Tabel 3 Glasgow Outcome Scale 45

Tabel 4 Data demografi subjek penelitian 52

Tabel 5 Kadar UCHL-1 pria dan wanita 54

Tabel 6 Kadar UCHL-1 kelima suku terbesar yang ikut 55 dalam penelitian

Tabel 7 Kadar UCHL-1 ketiga kelompok 56

Tabel 8 Kadar UCHL-1 kelompok mortalitas tiga hari 57 pertama

Tabel 9 Korelasi kadar UCHL-1 dengan GCS saat masuk 58 dan lama rawatan


(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Beberapa mekanisme molekul yang terlibat 14 dalam degenerasi akson

Gambar 2 Terbentuknya biomarker setelah trauma 31 dan penyebarannya pada darah

Gambar 3 Proses cedera kepala dengan protein yang 32 potensial menjadi biomarker

Gambar 4 Dilusi bertahap dalam pembuatan standar 55 Gambar 5 Kurva standar acuan penghitungan konsentrasi 57

UCHL-1 pada penelitian ini

Gambar 5.2 Kadar UCHL-1 serum penderita CKR, CKS, dan 63 CKB

Gambar 5.3 Kadar UCHL-1 serum subjek penelitian yang 65 meninggal dalam tiga hari pertama dan yang


(16)

DAFTAR SINGKATAN

CKB Cedera Kepala Berat CKR Cedera Kepala Ringan CKS Cedera Kepala Sedang CSF Cerebrospinal Fluid

CT Computed Tomography

CDC Centers for Disease Control and Prevention DUB Deubiquitinating enzyme

GFAP Glial Fibrillary Acidic Protein GCS Glasgow Coma Scale

ICP Intracranial Pressure

IL Interleukin

ISS Injury Severity Score MAP Mean Arterial Pressure SUP Sistem Ubiquitin Protease


(17)

ABSTRAK

LATAR BELAKANG

Salah satu permasalahan utama dalam cedera kepala adalah bagaimana menilai tingkat keparahan cedera kepala.Modalitas yang banyak digunakan adalah pemeriksaan fisik dan radiologi.Saat cedera kepala, penanda cedera saraf yang dilepaskan dari otak menuju serum mungkin memberikan tambahan diagnosis yang bermakna.

TUJUAN

Untuk mengetahui kadar Ubiquitin C-terminal Hydrolase – L1 (UCH-L1), suatu penanda kerusakan neuron, pada serum penderita cedera kepala dan untuk mengetahui hubungannya dengan karakteristik serta hasil akhir klinis.

METODE

Ini merupakan studi potong lintang yang melibatkan delapan puluh orang penderita cedera kepala, baik ringan, sedang, maupun berat. Dengan menggunakan metode ELISA, dilakukan pengukuran kadar UCH-L1 serum.

HASIL

Kadar UCH-L1 serum penderita cedera kepala sedang dan berat lebih tinggi dibandingkan penderita cedera kepala ringan (p < 0,001), tetapi tidak ditemukan perbedaan bermakna antara penderita cedera kepala sedang dan cedera kepala berat. Tidak ditemukan korelasi yang signifikan antara kadar UCH-L1 serum dengan lama rawatan dan hasil akhir klinis pasien.

KESIMPULAN

Kadar UCH-L1 serum memiliki potensi yang besar sebagai tambahan modalitas diagnosis cedera kepala, tetapi tidak terbukti berhubungan dengan hasil akhir klinis pasien


(18)

ABSTRACT BACKGROUND

One of the main problems in head injury is assessing the severity. The main modalities commonly used are physical examination and imaging; both have limitation in assessing the severity. Neuronal damage markers released in blood may provide valuable information about diagnosis the traumatic brain injury (TBI).

OBJECTIVE

To analyze the concentrations of ubiquitin C-terminal hydrolase-L1 (UCH-L1), a neuronal injury biomarker, in serum of TBI patients and their association with clinical characteristics and outcome.

METHODS

There are 80 TBI subjects, i.e. mild, moderate, and severe involved in this case-control study. Using ELISA, we studied the profile of serum UCH-L1 levels for TBI patients RESULT

Serum UCH-L1 level in moderate and severe head injury is higher than in mild head injury (p< .001), but we don’t find significant difference between moderate and severe head injury patients. There is no significant correlation found between serum UCH-L1 level and outcome.

CONCLUSION

Serum levels of UCH-L1 appear to have potential clinical utility in diagnosing TBI, but do not have correlation with outcome.


(19)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Penelitian 1. Epidemiologi Cedera Kepala

Cedera kepala merupakan salah satu permasalahan kesehatan utama di dunia (Hyder et al., 2007; Reilly, 2007). Di Amerika Serikat, diperkirakan 1,7 juta orang menderita cedera kepala setiap tahunnya. 275.000 orang akan dirawat di rumah sakit dan 52.000 orang di antaranya meninggal (CDC, 2010). Hal yang sama juga ditemui di Inggris. Setiap tahunnya ada sekitar 700.000 kunjungan ke unit gawat darurat akibat cedera kepala (Goodacre, 2008).Dampak cedera kepala terhadap ekonomi cukup besar.Pada tahun 2000, diperkirakan biaya yang diperlukan dalam penatalaksanaan cedera kepala, mencakup biaya rehabilitasi dan kerugian akibat disabilitas, cukup besar yaitu sekitar 60 miliar dollar (Finkelstein, 2006). Selain biaya ekonomi, CDC memerkirakan setidaknya lima juta penduduk Amerika memerlukan bantuan jangka waktu panjang untuk dapat melakukan aktivitas sehari-hari terkait efek cedera kepala yang berkepanjangan (Thurman et al., 1999). Hal yang lebih mengkhawatirkan adalah kenyataan bahwa insiden cedera kepala global meningkat dalam dua dekade terakhir, kemungkinan terjadi akibat peningkatan penggunaan kendaraan bermotor di negara berkembang (Lin et al., 2008; Bener et al., 2010).CDC melaporkan bahwa kecelakaan bermotor merupakan penyebab cedera kepala terbesar kedua, setelah mekanisme jatuh (CDC, 2010).


(20)

Sampai saat ini, pilihan terapi penderita cedera kepala pada seluruh kelompok umur, baik pada fase akut maupun kronis, sangat terbatas (Reinert dan Bullock, 1999; Menon, 2009).Hal ini memacu penelitian mengenai biomekanika cedera otak, dalam hal pencegahan terjadinya cedera, seperti helm dan sabuk pengaman (Levy et al., 2004; Nirula et al., 2004) dan pengembangan standar keamanan yang sesuai (Zhang et al., 2004).

2. Mengapa Biomarker Cedera Kepala Diperlukan

Permasalahan utama yang ada saat ini adalah kesulitan dalam mendiagnosis dan memprediksihasil akhir setelah cedera kepala akut berdasarkan keadaan klinis dan radiologi (Zink, 2001).Pemeriksaan klinis dapat dipengaruhi oleh terapi yang diberikan, intoksikasi alkohol, atau cedera multipel.Terapi penderita cedera kepala yang disertai kebingungan, agitasi, atau kejang dapat memengaruhi informasi yang didapat dari pemeriksaan klinis (Mirski et al., 1995). Banyak penderita cedera kepala ringan (GCS 14-15) juga disertai intoksikasi alkohol yang nantinya akan memengaruhi pemeriksaan neuropsikologi (Kelly, 1995). Cedera kepala juga sering luput dari diagnosis pada penderita trauma multipel (Buduhan dan McRitchie, 2000).

Radiologi dapat menyediakan tambahan informasi, tetapi kemampuan teknik ini terbatas pada sensitivitasnya dan biaya.Walaupun cedera kepala ringan dapat menyebabkan disabilitas dalam jangka waktu panjang, gambaran patologi otak kemungkinan besar hanya dapat dideteksi oleh magnetic resonance imaging (MRI).Computed tomography (CT) Scanning merupakan modalitas tercepat yang


(21)

ada, namun kemampuannya mendeteksi cedera otak difus terbatas.Single photon emission CT dapat mendeteksi perubahan aliran darah regional, tetapi tidak dapat mendeteksi kerusakan struktural. Pada pasien dengan keadaan kritis, ketersediaan dan waktu yang diperlukan untuk menghasilkan imejing menjadi keterbatasan utama MRI dan single photon emission CT Scan. Selain itu, baik MRI dan CT tidak dapat menjadi dasar untuk memprediksi hasil akhir (Hanlon et al., 1999).

Karena itu, diperlukan modalitas diagnosis untuk mendiagnosis tingkat keparahan cedera kepala dan memprediksi hasil akhir.Salah satu modalitas yang dapat digunakan adalah biomarker.Dalam dekade terakhir, biomarker cedera saraf telah menarik perhatian banyak peneliti.Dengan menganalogikan biomarker pada infark miokard akut, beberapa tinjauan pustaka telah menekankan pentingnya informasi mengenai luasnya kerusakan jaringan otak (Konchanek et al., 2008; Dash et al., 2010).

Biomarker yang telah diteliti dalam skala besar sebelumnya adalah neuron-specific enolase (Ross et al., 1996),glial protein, S100β (Pelinka et al., 2004) dan myelin basic protein (Yamazaki et al., 1995).S100β merupakan protein pengikat kalsium yang diekspresikan oleh astrosit dan dilepaskan oleh sel yang sekarat.Awalnya, S100β dianggap menjadi suatu biomarker cedera kepala yang menjanjikan.Namun, S100β juga ditemui pada oligodendrosit, microglia, neuron, dan jaringan ekstraserebral.Protein ini disekresikan secara aktif, tidak hanya oleh sel yang sekarat (Donato, 1999).Neuron-specific enolase terdapat pada sitoplasma neuron dan dilaporkan muncul di serum segera setelah kecelakaan (Wang et al., 2005).Myelin basic protein merupakan suatu proteolipid yang spesifik terdapat


(22)

pada selubung myelin sel-sel susunan saraf pusat dan dilaporkan akan dilepaskan ke serum setelah cedera otak atau penyakit demyelinating (Berger et al., 2007). Walaupun sejumlah penelitian telah menggambarkan keuntungan penggunaan biomarker untuk menggambarkan tingkat keparahan cedera, hasil penelitian yang ada masih bertentangan, sehingga penggunaan rutin biomarker ini sulit dilakukan.

Akibat kemajuan di penelitian di bidang proteomik, para ahli berhasil menemukan ubiquitin C-terminal hydrolase-L1 (UCHL-1), suatu enzim yang spesifik dan terkonsentrasi dalam sel saraf, sebagai penanda cedera otak yang potensial (Jackson dan Thompson, 1981). UCHL-1 terlibat dalam penambahan atau pengurangan ubiquitin dari protein yang akan dimetabolisme melalui jalur ATP-dependent proteasome (Tongaonkar et al., 2000). Varian UCHL-1 telah dihubungkan dengan penyakit Parkinson familial (Lincoln et al., 1999).Pada iskemia serebri dan cedera spinal cord, telah ditemukan adanya peningkatan agregrat protein dan penurunan aktivitas proteasome (Hu et al., 2000; Keller et al., 2000). Data ini menggambarkan bahwa UCHL-1 memegang peranan penting dalam membuang protein yang berlebihan, teroksidasi, atau misfolded (Gong dan Lenik, 2007).

B.Rumusan Masalah

Dengan modalitas diagnosis yang rutin digunakan saat ini, sulit untuk menentukan derajat kerusakan otak dan hasil akhir penderita cedera kepala.Diperlukan suatu biomarker derajat kerusakan otak yang dapat memerkirakan hasil akhir.


(23)

Ubiquitin C-terminal hydrolase-L1 (UCHL-1) merupakan protein yang spesifik terdapat pada neuron dan banyak terdapat pada neuron.Dahulu, protein ini digunakan sebagai penanda neuron pada histopatologi karena spesifisitasnya. Papa et al., (2010) melaporkan bahwa kadarUCHL-1 meningkat pada Cerebrospinal Fluid penderita cedera kepala dengan hubungan yang signifikan antara kadar UCHL-1 dengan keparahan cedera, antara lain ada tidaknya kelainan pada CT Scan kepala, tingkat kesadaran berdasarkan GCS, dan mortalitas dalam enam minggu pertama. Meskipun demikian, pengukuran biomarker pada CSF memerlukan pemasangan kateter ventrikel terlebih dahulu.Tindakan ini sendiri bersifat invasif, tidak praktis, dan tidak selalu dapat dilakukan (Berger et al., 2002).

C.Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, diajukan pertanyaan penelitian “Apakah kadar Ubiquitine C- Terminal Hydrolase L-1 (UCHL-1) serumberhubungan dengantingkat keparahan cedera kepala?”

D.Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan kadarUCHL-1 serum dengan tingkat keparahan cedera kepala


(24)

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui hubungan kadar UCHL-1 serum dengan GCS awal setelah resusitasi

b. Mengetahui hubungan kadar UCHL-1 serum dengan mortalitas pada tiga hari pertama

c. Mengetahui hubungan kadar UCHL-1 dengan lama rawatan pasien

E. Manfaat Penelitian

1. Dari hasil penelitian sebelumnya, ditemukan bahwa kadarUCHL-1 akan meningkat pada CSF penderita cedera kepala berat. Pada penelitian ini, akan didapatkan kadar UCHL-1 serum, yang jauh lebih mudah untuk dilakukan bila dibandingkan dengan mendapatkan CSF.

2. Dengan didapatkan kadar tertentu, klinisidapat melakukan tindakan yang tepat dan sesuai serta dapat menghindarkan klinisi dari terapi yang berlebihan (over treated) maupun terapi yang tidak optimal (under treated).

3. Dengan penanganan yang tepat, dari segi ekomonis akan menurunkan biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat khususnya dan menurunkan beban negara pada umumnya.


(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Cedera Kepala 1. Neuropatologi

Cedera kepala dapat ditandai dengan coup dan contra coup serta dengan shearing dan tearing akson di otak akibat akselerasi rotasional dari kepala.Diagnosis umum sehubungan cedera kepala meliputi fraktur tengkorak, contusion, confusion, laserasi, dan lesi fokal (Silver et al., 2005). Cedera sekunder yang meliputi perdarahan lebih lanjut, deformitas mekanis, dan peningkatan tekananan intrakranial dapat terjadi sebagai komplikasi sebagai cedera awal (Bigler & Maxwel., 2011). Saat ini telah terbukti bahwa penderita cedera kepala mengalami kehilangan sebagian volume otak sampai setidaknya satu tahun setelah kecelakaan (Bendlin et al., 2008; Sidaros et al., 2009; Trivedi et al., 2007).

Pemahaman patologi seluler pada cedera kepala merupakan hal penting dalam pengembangan terapi baru cedera kepala.Perubahan neurokimiawi otak

sesudah cedera dapat berupa agen “neuroprotektif” dan

“autodestruksi”.Peningkatan acetylcholine terjadi segera setelah cedera (Donat et al., 2008; Lyeth & Hayes, 1992).Peningkatan epinefrin dan norepinefrin pada serum terjadi seiringan dengan tingkat keparahan cedera.Pada daerah sekitar tempat cedera, ditemui peningkatan serotonin dan dopamin (Kobori et al., 2011).Namun sampai sekarang bagaimana peranan agen neurokimiawi ini terhadap hasil akhirmasih menjadi pertanyaan. Beberapa hari sampai beberapa


(26)

minggu setelah cedera terjadi peningkatan faktor neurotropic, seperti nerve growth factor (NGF) dan fibroblast growth factor (FGF). Faktor-faktor neurotropik ini diduga akan membantu pemulihan (Ziebell & Morganti – Kossmann, 2010).

Autofagi merupakan proses dimana otak membuang jaringan yang mati atau rusak agar sel sehat dapat berfungsi dengan lebih efektif. Proses ini juga diduga akan membantu pemulihan (Clark et al., 2008). Meskipun demikian, proses ini dapat menyebabkan nekrosis dan apoptosis yang akan memicu degenerasi Wallerian dalam jumlah yang tidak diketahui (Zhou et al., 2012). Degenerasi Wallerian merupakan perluasan dari cedera kepala. Cedera yang awalnya terjadi hanya pada akson akan meluas sampai ke badan sel (Kelley et al., 2006). Proses ini sepertinya memegang peranan, baik dalam perubahan white matter yang banyak dijumpai pada cedera kepala, maupun dalam degenerasi dan reorganisasi. Proses perbaikan dan degenerasi yang berlangsung sekaligus ini menyebabkan microenvironment otak yang sangat beragam.

2. Degenerasi Axon Post Trauma

Cedera kepala akan menghasilkan cedera akson, terutama akibat regangan (Meythaler et al., 2001). Berbeda dengan cedera fokal, cedera akson pada cedera kepala bersifat lebih difus.Transeksi komplit jarang terjadi, tetapi regangan menyebabkan kerusakan struktur akson, yang dapat menyebabkan disfungsi sel sampai kematian sel (McIntosh et al., 1996).


(27)

Permeabilitas membran akson akan segera terganggu, bahkan setelah cedera kepala sedang dan ini akan disertai dengan pemadatan lokal dari neurofilamen (Pettus et al., 1994). Pada model kucing percobaan, gangguan permeabilitas lokai ini akan muncul dalam lima menit setelah trauma dan pemadatan ini bertahan setidaknya selama enam jam setelah kejadian (Pettus & Povlishock, 1996). Model trauma lain yang sering digunakan adalah regangan pada neuron in vitro. Setelah regangan, terjadi distorsi berbentuk undulasi di sepanjang akson yang terjadi akibat kerusakan mikrotubulus. Gangguan mikrotubulus ini akan menyebabkan gangguan transport akson dan akumulasi protein (Tang-Schomer et al., 2010).

3. Mekanisme Degenerasi Akson a. Konsep Mekanis

Seperti apoptosis, kebanyakan bentuk degenerasi akson merupakan proses self-destructing seluler yang aktif dan melibatkan kaskade tertentu dengan keterlibatan banyak faktor (Raff et al., 2002). Meskipun demikian, pada dasarnya, apoptosis dan degenerasi akson melibatkan proses biokimia yang berbeda dan dapat terjadi secara terpisah (Whitmore et al., 2003). Beberapa bentuk degenerasi akson telah dijelaskan berdasarkan lokasinya pada akson dan waktu terjadinya.Penelitian yang paling banyak dilakukan adalah mengenai degenerasi sesudah trauma, baik degenerasi akut pada tempat trauma maupun degenerasi Wallerian pada bagian distal akson.


(28)

b. Degenerasi Akson Akut

Istilah degenerasi akson akut mengacu pada disintegrasi akut akson dalam beberapa jam setelah trauma susunan saraf pusat. Dalam 10-30 menit setelah trauma, akson akan relatif stabil dengan gambaran makroskopis yang normal. Meskipun demikian, pada tingkat molekuler, suatu sinyal sudah diaktivasi dengan hasil akhir berupa fragmentasi akson. Proses ini diawali dengan influks kalsium ke dalam akson dalam waktu cepat yang menyebabkan peningkatan konsentrasi kalsium yang transien dalam 40 detik setelah cedera. Pemberian calcium channel inhibitor pada saat ini akan menghambat peningkatan kalsium aksonal dan degenerasi akut (Knoferle et al., 2010). Influks kalsium menyebabkan aktivasi calpain yang mencapai nilai maksimal dalam 30 menit setelah cedera.

Perubahan pertama struktur mikroskopis dapat dinilai dalam 30 menit pertama setelah cedera.Perubahan ini meliputi kondensasi dan perubahan alignment neurofilamen yang diikuti fragmentasi mikrotubulus (Knoferle et al., 2010). Pada kelainan SSP lain, pemadatan neurofilamen fokal dan proteolisis mikrotubulus terbukti berhubungan dengan aktivasi calpain (Veerana et al., 2004). Karena itu, aktivasi calpain pada saat awal kemungkinan besar juga berperan dalam degenerasi akson akut. Kerusakan sitoskeleton akan menyebabkan gangguan transport akson.

Gambaran degenerasi akson akut lain adalah aktivasi autofagi lokal. Jumlah autophagosome pada akson akan meningkat secara signifikan dalam enam


(29)

jam pertama setelah cedera. Inhibisi autofagi dengan obat-obatan seharusnya mengurangi degenerasi akut, namun tidak seperti setelah pemberian calcium channel blocker, pengurangan degenerasi tidak ditemui. Ini kemungkinan menggambarkan bahwa autofagi merupakan proses lanjutan influks kalsium (Knoferle et al., 2010).

Meskipun pemberian obat-obatan seharusnya akan mengurangi degenerasi akson akut, efek jangka panjang dari terapi ini masih belum jelas. Karena degenerasi akut hanya terjadi pada sekitar 400 μm akson di sekitar tempat cedera, keuntungan menyelamatkan bagian ini tidak bermakna.

c. Degenerasi Wallerian

Degenerasi Wallerian secara sederhana didefenisikan sebagai degenerasi akson yang terjadi distal dari tempat cedera. Setelah trauma, bentuk bagian akson yang tidak terkena degenerasi akut akan tetap normal dalam 24 sampai 72 jam pertama. Kemudian, bagian distal akson akan menjalani fragmentasi progresif yang menyerupai fragmentasi pada degenerasi akson akut (Kerschensteiner et al., 2005) yang pada akhirnya menyebabkan removal seluruh bagian distal akson. Degenerasi Wallerian berlangsung dengan kecepatan mulai 0,4 mm/jam pada penelitian in vitro (Sievers et al., 2003) sampai 24 mm/jam pada saraf sciatic tikus (Beirowski et al., 2005).Pada susunan saraf tepi, arah degenerasi Wallerian pada akson tampaknya bergantung jenis lesi. Transeksi komplit saraf menyebabkan fragmentasi anterograd mulai proksimal ke distal, sementara crush injuryakan menyebabkan fragmentasi retrograd mulai dari ujung distal akson (Beirowski et


(30)

al., 2005). Meskipun makrofag dan glia sepertinya memegang peranan penting, mekanisme degenerasi Wallerian tampaknya bersifat intrinsik (MacDonald et al., 2006).

Mekanisme molekuler yang mendasari degenerasi Wallerian belum dipahami sepenuhnya.Kemajuan pesat terjadi dengan ditemukannya tikus mutan WldS (Lunn et al., 1989). Pada tikus ini, potongan akson distal dari lesi bertahan sepuluh kali lebih lama dibandingkan akson pada binatang wild-type, dan survival badan sel tidak terganggu (Adalbert et al., 2006).

Protein mutan WldS merupakan produk gen yang terdiri dari potongan faktor poliubiquiti UFD2a/UBE4b dan nicotinamide monocleotide adenytransferase -1 (NMNAT1; Mack et al., 2001).NMNAT1 adalah protein kunci jaras nicotinamide-adenine dinucleotide +(NAD+) pada mamalia.UBE4b adalah ubiquitin ligase tipe E4 yang dapat menambahkan rantai multiubiquitin pada jaras ubiquitin/proteasome (Hatakeyama et al., 2001).Tempat molekuler WldS yang penting adalah tempat pengingkatan ATP dan tempat pengikatan NMN+

Protein WldS berada terutama pada nukleus, meskipun juga dideteksi pada aksoplasma dan organel aksoplasma (Yahata et al., 2009).Ekspresi NMNAT1

pada NMNAT1 dan tempat pengikatan valocin-containing protein (VCP) pada UBE4b. NMNAT1 dan UBE4b yang fungsional diperlukan untuk aktivitas neuroproteksi dari WldS. Ini didukung oleh fakta bahwa ekspresi NMNAT1 saja tidak cukup untuk mencegah degenerasi akson pada neuron mammalia meskipun penurunan aktivitas NMNAT1 pada tikus WldS transgrenik menyebaban penurunan aktivitas neuroprotektif (Conforti et al., 2009).


(31)

lokal pada kompartemen akson menyebabkan efek protektif yang menyerupai tikus transgenik WldS (Babetto et al., 2010).Data ini menunjukkan bahwa aktivitas protektif SldS dimediasi oleh transport protein terus-menerus pada akson. Sesuai dengan penjelasan di atas, isoform NMNAT lain meningkatkan survival akson lokal. NMNAT2 terus menerus ditranspor dari badan sel menuju akson dengan waktu turnover yang singkat, sekitar 4 jam. Down regulation dari NMNAT2 atau inhibisi transportnya menuju akson menyebabkan degenerasi akson. Sebaliknya, overekspresi akan menghambat degenerasi (Gilley & Coleman, 2010). Efek yang sama juga terlihat pada overekspresi isoform mitokondria NMNAT3 (Yahata et al., 2009). Target isoform NMAT untuk meningkatkan survival akson masih belum jelas. Seluruh NMNAT mempunyai domain katalis sintesis NAD+ (Berger et al., 2005), meskipun data yang mendukung peranan NAD+ dalam mempertahankan survival akson tidak konsisten.Pemberian NAD+ konsentrasi tinggi pada ekstraseluler menyebabkan perlindungan akson yang cedera.Sebaliknya, berbagai usaha untuk meningkatkan konsentrasi NAD+ intrasel tidak memberikan efek pada degenerasi akson (Sasaki et al., 2009).

d. Mekanisme Molekuler Degenerasi Akson

Degenerasi akson akut, degenerasi fokal akson, dan degenerasi Wallerian merupakan kumulatif dari sejumlah mekanime molekul (gambar 1).


(32)

Gambar 1 Beberapa mekanisme molekul yang terlibat dalam degenerasi akson. (Lingor et al, 2012)

e. Kalsium

Beberapa proses yang menyebabkan peningkatan konsentrasi kalsium akson pada berbagai lesi antara lain : (1) influks kalsium dari ruang ekstrasel melalui membrane yang rusak, (2) influks kalsium yang dimediasi oleh calcium


(33)

channel dari rongga ekstrasel, dan (3) lepasan kalsium dari depot kalsium intrasel (Stirling & Stys, 2010).

Cedera mekanis akson menyebabkan kerusakan kontinuitas membrane dan influks kalsum ekstrasel ke dalam sitoplasma.Sesuai percobaan Ziv dan Spira (1995) pada akson in vitro, gelombang kalsium diinduksi oleh transeksi satu cabang dendrit yang menyebar dengan cepat (dalam satuan detik) sampai percabangan dendrit. Kalsium intra akson akan menurun dengan cepat beberapa menit kemudian menuju tingkat tertentu setelah ujung akson yang cedera ditutup. Meskipun demikian, kadar kalsium intrasel bervariasi, mulai >1 mM di dekat lesi sampai beberapa ratus mikromolar distal dari lesi (Ziv & Spira, 1995). Pada penelitian in vitro, diketahui bahwa diperlukan kadar kalsium ekstra akson > 200 μM untuk menyebabkan peningkatan kalsium intra akson setelah axotomy. Kalsium juga terbukti memasuki akson melalui L-type calcium channel, bukan N type (George et al., 1995).

Ruang ekstra akson bukanlah satu-satunya sumber kalsium.Depot kalsium intrasel juga memberikan kontribusi yang cukup besar pada peningkatan kalsium sitoplasimik.Misalnya, pada kerusakan iskemia di akson pada kolum dorsalis, kalsium dilepaskan melalui reseptor ryanodine oleh reticulum endoplasma (Ouardouz et al., 2003) atau mitokondria (Nikolaeva et al., 2005).

Pada akson dengan myelin, reseptor ryanodine dapat diaktivasi melalui L-type calcium channel. Baik reseptor ryanodine dan L-type calcium channel berada pada axolemma.Namun, penghambatan pelepasan kalsium intra akson, misalnya dengan nimodipine, hanya melindungi sebagian akson dari proses degenerasi. Ini


(34)

menggambarkan kemungkinan sumber kalsium lain atau adanya suatu mekanisme lain yang tidak tergantung kalsium (Ouardouz et al., 2003). Pada proses iskemia, kebanyakan lepasan kalsium intraaksonal dimediasi oleh pompa Na+/Ca2+ yang dibuktikan pada percobaan dengan CGP37157, suatu penghambat pompa Na+/Ca2+

Selain itu, kalsium intrasel yang berlebihan pada neuron dapat berasal dari pompa pada membrane sel, seperti plasma-membrane calcium ATPase isoform 2. Penurunan kadar ponpa ini akan memperbaiki patologi akson pada hewan percobaan.

pada mitokondria (Nikolaeva et al., 2005).

f. Kejadian Lanjutan Setelah Influks Kalsium

Influks kalsium diikuti aktivasi calcium-dependent protease, seperti calpains, yang akan membelah dan mendegradasi protein sitoplasma. Peningkatan aktivitas calpains sudah terbukti pada diffuse axonal injury setelah trauma kepala, stroke, cedera spinal cord, dan kelainan neurodegenerative (Vosler et al., 2008). Calpains akan mendegradasi sejumlah target, seperti protein sitoskeleton, enzim, reseptor, channel, dan faktor transkripsi melalui proses proteolisis (Saatman et al., 2010). Calpains juga akan mendegradasi substrat yang penting untuk stabilitas akson. Ini akan diikuti oleh pemecahan collapsing response mediator protein-2 (CRMP-2) secara proteolotik (Touma et al., 2007). Karena CRMP-2 berikatan dengan kinesin-1 dan berpartisipasi dalam transport akson, transport akson pada akhirnya akan terganggu.


(35)

Selain calpain, ada beberapa enzim yang tergantung kalsium yang berpartisipasi dalam degenerasi akson. Cedera akson transien akibat regangan akan menyebabkan lepasan kalsium yang pertama kali terjadi dari depot intrasel. Ini akan diikuti dengan peningkatan kadar kalsium intrasel dalam 48 jam. Dalam proses ini, penghambatan calcineurin, suatu calcium-dependent phosphataseakan menghalangi degenerasi akson sekunder (Staal et al., 2010). Calpain dan calcineurin hanyalah dua contoh dari protein tergantung kalsium yang terlibat dalam proses degenerasi lebih lanjut.

g. Cedera Mitokondria

Cedera mitokondria memegang kunci penting dalam lokalisasi gangguan kontinuitas akson. Pada model cedera kepala dengan diffuse axonal injury, influks kalsium diduga dimediasi melalui pori-pori axolemma. Namun, kerusakan akson dan aktivasi calpain tidak terjadi secara simultan sekaligus pada seluruh akson.Kerusakan terjadi pada titik-titik fokal disertai akumulasi mitokondria (Kilinc et al., 2009). Akumulasi fokal mitokondria mungkin akan menyebabkan gangguan sitoskeleton fokal dan penumpukan substrat. Pada FAD, mitokondria dirusak oleh oksigen dan nitrogen reaktif yang kemungkinan besar berasal dari makrofag. Proses ini sendiri akan memacu degenerasi akson lebih lanjut (Nikic et al., 2011).


(36)

Protein amiloidogenik, seperti alpha-synuclein, tau, dan diduga berperan menyebabkan degerasi akson pada beberapa kelainan neurodegeneratif, yaitu melalui hambatan pada mekanisme transport akson.Agregasi protein tidak terjadi pada seluruh jenis degerasi akson, tetapi dapat menyebabkan gangguan akson.Overekspresi human wild-type alpha-synuclein oleh lentivirus menyebabkan agregasi dan degenerasi akson SSP (Decressac et al., 2011). Agregasi protein amiloidogenik tidak dapat dianggap suatu proses yang berdiri sndiri, karena penelitian telah membuktikan peningkatan konsentrasi kalsium akan menyebabkan agregasi alpha-synuclein pada kultur sel (Nath et al., 2011). Karena itu, kita dapat mengeluarkan hipotesis bahwa lesi akson dengan influks kalsium dapat menyebabkan agregasi protein amyloid. Sebaliknya, adanya alpha-synuclein sendiri akan memengaruhi degenerasi akson akibat trauma. Tikus transgrenik dengan over ekspresi human alpha-synuclein (Thy1-αSynWT)akan memiliki agregat alpha-synuclein pada akson saraf sciatic. Hewan ini akan

mengalami peningkatan degenerasi Wallerian setelah axotomy saraf sciatic.

Sementara itu, degenerasi yang terjadi setelah axotomy pada tikus tanpa

ekspresi alpha synuclein (C57BL/6-Ola-hsd strain by Harlan B6),

degenerasi akson akan terjadi dalam kecepatan yang lebih lambat (Siebert et al., 2010). Hasil penelitian ini cukup membingungkan karena

alpha-synuclein selama ini dianggap sebagai kunci pada kelainan

neurodegeneratif sel saraf pusat.Meskipun demikian, penelitian ini mengajukan suatu kemungkinan bahwa alpha-synuclein terlibat pada


(37)

mekanisme kerusakan akson yang lebih luas, termasuk lesi akibat trauma. Proses yang terjadi pada kelainan neurodegeneratif kemungkinan besar merupakan suatu proses yang terpisah. Mekanisme kerja yang tepat belum dipecahkan sepenuhnya, tetapi data yang ada mengarahkan kita pada kemungkinan adanya suatu interaksi langsung dengan sitoskeleton, seperti neurofilamen, tau, dan tubulin (Kanazawa et al., 2008) serta interaksi dengan protein transport, seperti dynein dan kinesin-1 (Utton et al., 2005).

i. Transport Akson

Jika kita berasumsi bahwa degenrasi akson pada trauma merupakan suatu proses mekanis, gangguan transport akson sesudah trauma merupakan suatu hal yang sangat mungkin terjadi. Karena akson memiliki hubungan yang kompleks dengan inti sel, dibutuhkan suatu transport yang efektif pada tujuan, seperti sinaps terminal atau nodes of Ranvier. Gangguan transport akson sudah terbukti terjadi pada beberapa kelainan degeneratif, seperti Parkinson, Alzheimer’s, dan Huntington (Morfini et al., 2009).

Transport akson dimediasi oleh dua kelompok proten utama. Kelompok pertama adalah kinein.Kinein berperan dalam memediasi transport anterograde.Sementara itu, kelompok kedua adalah dynein, yang berperan dalam transport retrograd. Tikus percobaan dengan mutasi gen KIF1Bβ, gen pengkode kinesin menunjukkan gangguan vesikel sinaps dan kelemahan otot progresif akibat neuropati perifer. Pada manusia, mutasi KIF1Bβ ditemukan pada penderita polineuropati herediter (Charcot-Marie-Tooth tipe 2A; Zhao et al., 2001).


(38)

Gangguan transport akibat mutasi kinesin light chain-1 juga akan mengaktivasi stress kinase, seperti c-Jun-N terminal kinase. Ini akan menyebabkan fosforilasi yang abnormal dan agregasi tau (Falzone et al., 2009). Gangguan transport retrograd sendiri tidak memberikan efek klinis yang relevan.Missense point mutation pada dynein heavy-chain menyebabkan degenerasi motoneuron pada tikus heterozygous dan pembentukan inclusion body pada binatang homozygous (Hafezparast, 2003).Mutasi dynein juga mungkin dapat dihubungkan dengan degenerasi akson pada penyakit motoneuron (Ravikumar et al., 2005).

Gangguan transport akson pada akhirnya akan menyebabkan gangguan, mulai dari distrofi akson sampai degenerasi akson. Gangguan ini potensial menjadi target terapi pada trauma dan kelainan neurodegenerative.Namun, proses yang terjadi sangat kompleks dan tidak dapat ditangani hanya dengan satu intervensi spesifik.

j. Aktivasi Kinase

Kinase berperan dalam eksekusi destruksi akson. JNK dikenal sebagai protein kinase yang dipicu stress karena aktivitasya meningkat pada stress seluler akibat lingkungan, seperti osmotic stress, redox stress, atau irradiation (Weston dan Davis, 2007). Begitu diaktivasi, kinase akan mempropagasi sinyal yang memacu apoptosis sel. Cedera juga dapat mengaktivasi JNK pada akson dan menyebabkan gangguan transport akson. Activated pospho-JNK terdapat dalam jumlah banyak pada traktur kortikospinal tikus dengan cedera spinal cord. Retraksi akson dapat dihambat dengan pemberian pan-JNK inhibitor, yang


(39)

nantinya akan memperbaiki fungsional tikus (Yoshimura et al., 2011). Sebaliknya, mutasi kinesin-light-chain 1 terjadi akibat aktivasi JNK, bersamaan dengan tau protein yang mengalami proses hiperfosforilasi pada akson yang mengalami proses distrofi (Falzone et al., 2009).

k. Autofagi dan sistem ubiquitin-proteasome

Degradasi protein atau organela terjadi dengan berbagai jalur degradasi.Salah satu di antaranya adalah autofagi.Setelah kerusakan akson mekanis, dijumpai peningkatan autofagosom pada lesi yang bergantung influks kalsium (Koch et al., 2010). Autofagi juga diinduksi oleh neurit simpatis yang mengalami degenerasi, seperti setelah aksotomi.

Sistem ubiquitin-proteason juga terbukti berhubungan dengan degenerasi akson. Pada binatang percobaan dengan cedera nervus optikus, inhibisi sistem ubiquitin-proteasome akan menghambat degenerasi Wallerian. Fragmenasi mikrotubuli yang terjadi segera setelah trauma dapat dikurangi dengan pemberian proteasome inhibitor MG132 (Zhai et al., 2003).

B. Sistem Ubiquitin Proteasome (SUP)

Sistem Ubiquitin Proteasome (SUP) merupakan jalur seluler utama pada eukariotik yang mengontrol pergantian protein melalui proteasome 26 S. Banyak proses dasar sel, seperti siklus sel, transduksi sinyal, apoptosis, dan pengontrolan kualitas protein diatur oleh SUP (Cardozo dan Pagano, 2004). Induksi proses ini akan menyebabkan degradasi proteasom yang dicapai melalui suatu proses


(40)

penandaan protein yang menjadi target dengan molekul kecil, yang dikenal dengan nama ubiquitin. Ubiquitinakan berikatan secara kovalen dengan residu lisin pada protein yang menjadi target. Proses ini dikenal dengan nama ubiquinisasi.

Ubiquinisasi merupakan proses bertahap yang memerlukan aktivitas tiga kelas enzim, yaitu ubiquitin-activating enzyme (E1), ubiquitin-conjugating enzyme (E2), dan ubiquitin-protein ligase (E3) (Pickart, 2004). Ubiquitin-activating enzyme bekerja dengan bergantung ATP dengan mengikat active site enzim ini (residu cysteine) pada residu C-terminal glycine pada ubiquitin, yang pada akhirnya akan mengaktifkan ubiquitin. Ubiquitin yang sudah aktif kemudian akan ditransfer pada E2, yang relatif sedikit terdapat pada eukariot, melalui suatu reaksi esterifikasi. Akhirnya, ubiquitin ditempelkan pada residu lysine pada protein target dengan ikatan isopeptida. Langkah ini memerlukan aktifitas salah satu dari ratusan sistem E3.E3 bertindak sebagai pengenal substrat dan mampu berinteraksi baik dengan E2 maupun dengan substrat protein. (Ardley dan Robinson, 2005)

Ada dua jenis domain pada Ubiquitine – protein ligase (E3). Suatu E3 hanya akan memiliki salah satu di antara keduanya. Kategori pertama memiliki domain zinc-binding RING (Really Interesting New Gene) yang memacu ubiquitinisasi dengan berikatan pada E2 dan substrat (6).Kategori kedua memiliki domain HECT (Homologous to E6-AP Carboxyl-terminus) yang berikatan langsung dengan ubiquitin, kemudian mentransfer ubiquitin tersebut pada substrat. Pada beberapa kasus, proses ubiquitinisasi berhenti sebelum proses


(41)

selesai dengan sempurna, meninggalkan protein yang menjadi target hanya berikatan dengan satu ubiquitin. Namun, ini akan sering berlanjut melalui pengikatan molekul ubiquitin bebas lainnya pada residu lysine spesifik pada ubiquitin terakhir, membentuk suatu rantai ubiquitin. Pada cara ini, protein target akan berikatan dengan banyak ubiquitin dan beberapa protein memerlukan kerja ubiquitin-chain elongation-factor (E4) supaya proses ubiquitinisasi dapat berjalan dengan efisien (Koegi et al., 1999).

Rantai ubiquitin bekerja sebagai penanda proses yang secara fungsional berbeda, tidak hanya terbatas pada degradasi proteasom. Awalnya, protein dengan banyak ubiquitin dianggap hanya memiliki target berupa proteasom 26S. Namun, saat ini diketahui bahwa proses poliubiquitinisasi dapat terjadi dalam dua bentuk, yaitu homopolymeric dan heteropolymeric. Pada bentuk homopolymeric, molekul ubiquitin berikatan satu sama lain menggunakan donor residu lysine yang sama. Rantai homopolymeric ubiquitin akan memanjang melalui ikatan beberapa residu lysine yang terdapat pada molekul ubiquitin, yaitu Lys48, Lys63, Lys6, Lys11, Lys29, Lys27 and Lys33. Setiap jenis ikatan ini akan menyebabkan kaskade sinyal yang spesifik. Sebagai contoh, penambahan rantai yang berikatan dengan Lys48 pada protein akan menyebabkan munculnya sinyal degradasi, sementara Lys63 akan menyebabkan sinyal perbaikan DNA, endositosis, atau transduksi sinyal. Rantai polyubiquitin heteropolymeric ditandai dengan ikatan molekul ubiquitin dengan lebih dari satu jenis pengikat (Koegi et al., 1999).Fungsi jenis ini belum diteliti secara mendalam.


(42)

1. Enzim Deubiquitinating (DUB)

Ubiquitinisasi merupakan suatu proses yang reversibel. Terdapat sekelompok enzim yang dapat melepaskan ikatan ubiquitin dengan protein yang sudah mengalami ubiquitinisasi.Kelompok enzim ini dikenal dengan enzim deubiquitinating (DUB). DUB merupakan protease yang dapat menghidrolisis ikatan isopeptida antara ubiquitin dengan substratnya melalui suatu proses yang bergantung ATP (Yao dan Cohen, 2002). Hampir mirip dengan ubiquitinisasi, proses deubiquitinisasi merupakan suatu proses yang sangat dikontrol dengan ketat dan berperan dalam regulasi siklus sel (Song dan Rape, 2008), ekspresi gen (Daniel dan Grant, 2007), degradasi protein bergantung lysosome dan proteasome (Schmidt, 2005), DNA repair (Kennedy dan D’Andrea, 2005), aktivasi kinase (Komada, 2008), dan proses seluler lainnya. DUB memegang peranan pada jalur ubiquitin. Pertama, DUB akan berperan sebagai antagonis dalam proses ubiquitinisasi dengan melepaskan ubiquitin dari protein yang sudah mengalami ubiquitinisasi pada suatu sel (Nijman, 2005). Kedua, DUB berperan dalam aktivasi proprotein ubiquitin. Pada dasarnya, ubiquitin selalu diekspresikan sebagai proprotein yang berikatan pada protein ribosomal atau diekspresikan sebagai rantai poliubiquitin linear yang harus menjalani proses hidrolisis agar membentuk molekul ubiquitin sederhana (Baker, 1987). Ketiga, DUB akan mendaur ulang ubiquitin yang sudah yang sudah memiliki ikatan ester dengan nukleophil seluler (Pickart, 1985). Keempat, DUB menghasilkan ubiquitin


(43)

monomeric bebas dari rantai poliubiquitin yang tidak berikatan dalam sel (Piotrowski, 1997). Kelompok ini juga mencakup poliubiquitin bebas yang dihasilkan oleh enzim konjugasi yang sudah dilepaskan dari protein lain yang sudah menjalani deubiquitinisasi).

Pada sel eukariot, DUB dibagi lagi menjadi lima kelompok berdasarkan struktur dan fungsinya, yaitu ubiquitin-specific protease (USP), ubiquitin C-terminal hydrolase (UCH), Otubain protease (OTU), Machado-Joseph disease protease (MUD), dan suatu kelompok metalloprotease (Nijman et al., 2005).

2. Fungsi Sistem Ubiquitin Proteasome pada Neuron

SUP sudah dianggap menjadi protein kunci dalam proses modifikasi dan degradasi yang penting dalam perkembangan, pemeliharaan, dan remodeling koneksi sinaps pada otak (Kuo et al., 2006). Karena proses seluler dan fisiologi yang melibatkan ubiquitin sangat banyak, tidak mengejutkan ada banyak fungsi saraf yang sangat bergantung pada SUP yang baik. Pada sistem saraf Drosophila, SUP terlibat dalam pruning dendrit.Pruning merupakan suatu proses yang terjadi saat metamorphosis Drosophila. Saat metamorphosis, sekelompok neuron sensori larva tumbuh kembali membentuk suatu jaringan dendrit yang baru, Pada tahun 2006, sekelompok peneliti dari UCSF menunjukkan bahwa proses pruning berhubungan dengan aktivitas enzin E2/E3 yang spesifik (Kuo et al., 2006).

Banyak penelitian menunjukkan bahwa UPS akan terlibat dalam pengaturan jumlah sinaps pada neuron (Hegde, 2004). Hilangnya fungsi E3 sudah


(44)

terbukti meningkatkan jumlah percabangan sinaps pada neuromuscular junction.Ukuran sinaps juga diatur oleh SUP (van Roessel, 2004).

Modifikasi efikasi sinaps juga disertai dengan perubahan komposisi protein pada sinaps (Mallnow, 2003).Perubahan komposisi protein ini dapat terjadi dengan mengikutkan protein yang baru disintesis atau melalui degradasi sebagian komponen protein terebut. Proses sintesis dan degradasi ini sangat diatur oleh SUP.

Lebih lanjut lagi, aktivitas yang bergantung degradasi protein diperlukan untuk plastisitas saraf pada hippocampus mammalia. Inhibisi proteasome dapat memacu long term potentiation (LTP) dan long term depression (LTD). Keduanya membentuk plastisitas sinaps pada hippocampus yang terlibat dalam pada proses belajar dan memori. Inhibisi proteasome terbukti menghambat depresi sinaps yang bergantung NMDA dan mGluR (Deng dan Lei, 2007).

3. Penyakit Neurodegeneratif dan SUP

SUP berperan pada banyak kelainan sistem saraf, terutama kelainan neurodegenerative, seperti Alzheimer’s (Gong et al., 2006), Parkinson’s (Upadhya dan Hedge, 2005), Amylotrophic Lateral Sclerosis (ALS), dan Huntington’s (Rubinsztein, 2006). Seluruh penyakit ini sekarang dianggap sebagai “proteinopati” sistem saraf, yang ditandai dengan akumulasi misfolded protein yang menumpuk dan tidak dapat didegradasi. Tumpukan misfolded protein ini dapat berupa plaque dan tangle (Alzheimer’s), Lewy bodies (Parkinson’s), dan plyQ inclusion bodies (Huntington’s) (Ross dan Polrier, 2004). Protein yang


(45)

sudah menjalani proses ubiquitinisasi ditemukan pada tumpukan protein ini. Ini menggambarkan suatu kemungkinan bahwa protein ini sudah ditandai untuk proses degradasi, tetapi proses degradasi itu sendiri belum berjalan dengan efisien. Pada penderita Dementia dengan Lewy bodies dan penderita Parkinson, hanya ditemui satu sampai tiga rantai ubiquitin, sementara proses pengenalan dan degradasi yang sempurna terjadi bila ikatan ubiquitin berjumlah lebih dari empat (Anderson et al., 2006). Aktivitas proteasome menurun pada penderita Alzheimer’s dan Parkinson’s. Karena itu, disfungsi SUP kemungkinan terjadi karena peningkatan jumlah misfolded dan agregat protein serta ketidakmampuan untuk mengenali dan mendegradasinya (Dahlmann, 2007).

Bagian penting pemahaman disfungsi SUP pada proses degenerasi saraf adalah identifikasi gen yang terlibat, baik secara familial maupun sporadik. Ada sepuluh lokus gen yang sudah diidentifikasi pada penderita Parkinson’s. Dua di antaranya merupakan bagian dari SUP.Pertama, gen PARK2 mengkode parkin (E2-dependent E3 ligase) (Shimura, 2000). Mutasi PARK2 menyebabkan terjadinya Parkinson’s pada usia muda dengan hilangnya neuron dopaminergik pada substansia Nigra tanpa adanya Lewy Bodies (van Coelln, 2004). Gen kedua adalah PARK5 yang mengkode UCH-L1, sejenis DUB yang memiliki fungsi hydrolase dan ligase (Osaka et al., 2003). Mutasi PARK5 berhubungan dengan Parkinson’s, baik familial maupun sporadik pada manusia. Karena UCH-L1 dianggap membantu mempertahankan kadarubiquitin monomer pada neuron, penumpukan protein agregrat dapat terjadi sekunder (Case dan Stein, 2006).


(46)

4. Ubiquitin Carboxyl-Terminal Hydrolase (UCH-L1) dan Hubungannya dengan Degenerasi Saraf

UCH-L1, juga dikenal dengan PGP9.5 merupakan ikatan 223 asam amino yang memegang peranan penting pada SUP. Ini termasuk ke dalam kelompok DUB. Ada lima jenis kelompok ini, yaitu UCH-L1 – UCH-L5. UCH-L1 hanya selektif ditemui pada neuron dalam jumlah banyak, sekitar 1-2% di antara seluruh soluble protein otak (Wilkinson, 1989).Awalnya, UCH-L1 dianggap hanya berperan sebagai DUB.Namun, beberapa penelitian terakhir menunjukkan bahwa protein ini juga memegang peranan besar pada SUP. UCH-L1 diketahui akan menciptakan ubiquitin bebas monomeric, baik dari bentuk prekursor (ubiquitin polypeptide) maupun dari ubiquitin yang bergabung dengan protein ribosomal (Larsen et al., 1998). Pada penelitian in vitro, UCH-L1 juga terbukti memiliki aktifitas ubiquitin-ligase (Liu et al., 2002). Selain itu, UCH-L1 bersama dengan ubiquitin dapat menghambat degradasi lisosomal, sehingga dapat mempertahankan kadarubiquitin monomeric pada neuron (Osaka et al., 2003).

Banyak penelitian membuktikan hubungan antara UCH-L1 dengan kelainan neurodegeneratif, seperti Alzheimer’s dan Parkinson’s.Ini diawali dengan penemuan mutasi gen UCH-L1 pada dua saudara di keluarga Jerman yang menderita Parkinson terkait autosomal dominan (Leroy et al., 1998).Isoleusin pada posisi 93 diganti dengan methionine.Produk gen yang dihasilkan dinamai UCH-L1 193M. Hanya satu dari kedua alel UCH-L1 yang berubah pada mutasi 193M, menunjukkan bahwa ini memang suatu proses autosomal dominan.


(47)

Namun, orang tua kedua anak tersebut tidak menderita Parkinson. Ini menggambarkan kemungkinan mutasi 193M mungkin merupakan suatu polimorfisme yang sangat jarang terjadi yang tidak berkaitan dengan suatu kelainan atau mutasi pada orang tua kedua anak itu bersifar inkomplit (Liu et al., 2002). Pada penelitian in vitro, mutasi ini menyebabkan penurunan fungsi katalis sampai 50%. Hilangnya fungsi UCH-L1 akan mengurangi ketersediaan ubiquitin bebas dan menyebabkan gangguan degradasi protein melalui SUP. Lebih lagi, tikus transgrenik dengan mutasi 193M mengalami penurunan neuron dopaminergik pada substansia nigra yang signifikan (Setsuie et al., 2007).

Seperti yang disebutkan sebelumnya, UCH-L1 dipercaya memiliki aktiivtas ubiquitin ligase. Pada percobaan invitro, aktivitas ligase ini bergantung pada proses dimerisasi dan berperan dalam ubiquitinisasi a-synuclein, kemungkinan dengan ikatan rantai K63. A-synuclein merupakan protein yang banyak terdapat pada ujung pre-sinaps dan terlibat dalam pelepasan neurotransmiter (Kahle et al., 2000). Protein ini merupakan komponen utama dari Lewy bodies yang banyak ditemui pada penderita Parkinson. Pada tikus percobaan, UCH-L1 berada dalam vesikel pada sinaps dan terlibat dalam presipitasi a-synuclein. Ubiquitinisasi a-synuclein dengan UCH-L1 dipercaya akan menghambat degradasi proteasome, sehingga menyebabkan penumpukan dan agregasi dalam neuron dan Lewy bodies (Liu et al., 2002). Pada keadaan fisiologis, a-synuclein berbentuk monomeric, namun dalam konsentrasi tinggi, a-synuclein dapat berbentuk polimer, menjadi bentuk filamen yang dapat mengalami presipitasi membentuk koleksi protein yang banyak ditemui pada


(48)

Lewy bodies. Selain itu, ada polimorfisme UCH-L1 lain yang tampaknya mengurangi kemampuan ligase. Mutasi ini ditemui pada populasi tertentu di Asia Timur, berupa perubahan serine 18 menjadi serine.Mutasi ini dinamai UCH-L1 S18Y. Mutasi S18Y dari UCH-L1 menyebabkan penurunan kadara-synuclein yang mengalami ubiquitinisasi dan berhubungan dengan penurunan resiko terjadinya Parkinson’s.

UCH-L1 juga terlibat dalam plastisitas sinaps pada tikus percobaan. Tikus transgenic percobaan ini dinamai gracile axonal dystrophy (gad), berupa tikus yang sudah mengalami delesi ekson 7 dan 8 pada gen Uch-l1. Ekspresi UCH-L1 pada susunan saraf tikus-tikus ini tidak dapat dideteksi. Tikus gad mengalami paresis motorik akibat degenerasi aksonal dari neuron spinal cord dan traktus spinoserebelar. Tikus gad ini juga menunjukkan penurunan kadarubiquitin monomeric (Gong et al., 2006).

C. Biomarker pada Cedera Kepala

Aplikasi penggunaan biomarker pada cedera kepala akan sangat memberikan manfaat sebagai tambahan alat diagnosis berbagai macam cedera kepala. Sebagai contoh, pelatih pada sepak bola dapat menggunakan biomarker sebagai penentu keputusan yang objektif untuk penghentian permainan saat terjadi sport concussion. Biomarker yang tervalidasi akan merevolusi penatalaksanaan dan diagnosis cedera kepala, bahkan sekaligus dapat membantu menilai prognosis seorang penderita.


(49)

Gambar 2 menggambarkan jalur mulai terbentuknya biomarker cedera kepala pada jaringan otak sampai deteksinya pada CSF dan darah.Selama cedera otak, protein neural terlepas ke lingkungan ekstrasel, dan kemudian CSF.Biomarker ini muncul dalam konsentrasi tinggi pada CSF. Protein-protein ini kemudian akan mencapai aliran darah melalui sawar darah otak yang terganggu atau melalui filtrasi CSF. Karena volume CSF manusia adalah sekitar 30-40 kali lebih sedikit dibandingkan volume darah (CSF 125-150 mL, darah 4-5 L), konsentrasi biomarker akan jauh lebih tinggi pada CSF dibandingkan darah.

Gambar 2. Terbentuknya biomarker setelah trauma dan penyebarannya pada darah (Kobeissy et al., 2008)

Sampai saat ini, kebanyakan penelitian biomarker cedera kepala berfokus pada profil protein.Namun, genom manusia diperkirakan mengandung 23.000 gen. Separuh di antaranya ada dalam jumlah sangat sedikit.Akibatnya, mendata seluruh proteasome yang ada menjadi sangat


(50)

proses cedera kepala.

Sebuah review tahun 2008 oleh Kobeissy et al mencoba mendata

seluruh proteasome yang kemungkinan besar terlibat dalam cedera kepala

manusia (Gambar3 )

Gambar 3 Proses cedera kepala dengan protein yang potensial menjadi biomarker (Kobeissy et al, 2008)

Penanda yang ada dapat dikelompokkan ke dalam beberapa kelompok berdasarkan tempatnya diaktifkan, antara lain penanda protein,


(51)

penanda inflamasi, metabolit, neurotransmitter, metabolit lipid, dan biomarker secondary insult (tabel 1)

Tabel 1 Penanda cedera kepala (Dash et al., 2010)

Biomarker Kegunaan Diagnosis Sumber sampel Keterangan

α II-Spectrin BDPs Meningkat pada cedera kepala, berhubungan dengan ukuran lesi dan keparahan cedera

CSF, jaringan otak, serum Banyak ditemui pada otak, meningkat pada kematian sel

α –Synuclean C-tau Meningkat pada cedera kepala, peningkatan C-tau berhubungan dengan perburukan hasil akhir dan peningkatan TIK

Jaringan otak, CSF, serum Spesifik pada SSP, memerlukan validasi lagi pada manusia, alat diagnosis yang jelek pada CKR

3’,5’cAM/2’,3’cAMP Kadar pada CSF berkorelasi dengan derajat koma

CSF Second messenger

Ceruloplasmin/Cu Menurun pada peningkatan TIK Serum

CK-BB Gangguan blod brain barrier

mempermudah penetrasi serum, tidak berhubungan dengan volume kontusio

CSF, serum Waktu paruh pendek,

dieliminasi dengan cepat

CRP & SAA Marker cedera secara umum Serum Diinduksi dengan

cepat. Mengindikasikan politrauma

CRMP-2 Menurun pada penderita mesial

temporal lobe epilepsy. Berhubungan dengan Alzheimer’s

Jaringan otak Mungkin dapat

digunakan sebagai marker epilepsy post trauma

FABP Meningkat pada cedera kepala

ringan

Serum/plasma, jaringna otak Akurasi tinggi untuk cedera kepala ringan F2-Isoprostane Meningkat pada penyakit

multipel

CSF, serum Penanda kerusakan

oksidatif

4-HNE Meningkat pada jaringan otak

penderita cedera kepala

Jaringan otak Marker peroksidasi

lemak

5-HIAA Meningkat pada CSF, indikator

trauma

CSF Marker gangguan

neurotransmisi

GFAP Prediktif untuk peningkatan ICP,

penurunan MAP, penurunan CPP, dan GOS

CSF, serum Spesifik untuk SSP.

Mungkin kurang sensitif pada cedera kepala ringan

HVA Meningkat pada CSF CSF Marker gangguan

neurotransmisi

ICAM Meningkat pada gangguan sawar

darah otak

CSF, serum Penanda disfungsi

neurovaskuler

IL-1b Peningkatannya berhubungan

dengan hasil akhir yang buruk

CSF Muncul saat terjadi

jaringan parut astroglia

IL-6 Hasil yang meragukan.

Peningkatan IL-6 berhubungan dengan hasil akhir yang membaik

CSF, serum, dialisat intrakranial

Penanda cedera organ multipel

IL-8 Meningkat pada CSF penderita

cedera kepala berat

CSF, serum Penanda inflamasi


(52)

mortalitas

Biomarker Kegunaan Diagnosis Sumber Sampel Keterangan

IL-12p70 Meningkat pada CSF penderita

CKB

CSF Marker inflamasi

Laktat Berhubungan dengan keparahan

cedera

CSF Marker gangguan

metabolism otak

Magnesium Penurunan Mg dalam lima hari

pertama berhubungan dengan keparahan cedera

Serum

MBP Peningkatan MBP berhubungan

dengan hasil akhir yang lebih jelek pada anak-anak

CSF, serum Penanda cedera white

matter

MCP-1 Peningkatan pada otak tikus

dalam empat jam pertama setelah trauma

Jaringan otak Belum diuji pada

manusia

MIP-1a Meningkat pada CSF penderita

CKB

CSF Penanda invasi sel

inflamasi

Phospho-neurofilament

Meningkat pada penderita cedera kepala

Serum Perlu divalidasi

manusia

NSE Gangguan neuropsikologi pada

lesi intrakranial

CSF, Serum, jaringan otak Penanda small cell lung cancer, neuroendocrine bladder tumor, stroke, dan neuroblastoma

NE Meningkat pada penderita dalam

keadaan koma dan penderita politrauma

Serum Penanda gangguan

neurotransmisi

S100b Meingkat pada penderita cedera

kepala ringan

CSF, Serum Tidak spesifik untuk

cedera kepala. Dapat digunakan sebagai penanda gangguan Sawar darah otak

TGF-b Meningkat pada cedera kepala,

tetap meningkat selama 3 minggu

CSF Pertumbuhan dan

diferensiasi sel, angiogenesis, fungsi imun, apoptosis

TNF-a Meningkat pada penderita cedera

kepala berat.

CSF, serum Penanda inflamasi

UCH-L1 Meningkat pada CSF,

berhubungan dengan mortalitas, komplikasi, dan hasil akhir dalam 6 bulan pertama

CSF Marker yang banyak

ditemukan pada otak

BBB : blood brain barrier; BDPs : proteolytic breakdown products; B-FABP : brain type-fatty acid binding proteins; C-tau : cleaved tau; Cho/Cre : choline/creatine; CK-BB : creatine kinase-BB; CPP : cerebral perfusion pressure; CRMP-2 : collapsin response mediated protein-2; CRP : C-reactive protein; FABP : fatty acid binding proteins; GCS : Glasgow coma score; GDNF : glial derived neurotrophic factor; GFAP : glial fibrillary acidic protein; GOS : Glasgow hasil akhir scale; 5-HIAA : 5-hydroxy indol acetic acid; HNE : 4-Hydroxynonenal; HVA : homovanillic acid; ICAM : intercellular adhesion molecule 1; ICP : intracranial pressure; IL : interleukin; MAP : mean arterial pressure; MBP : myelin basic protein; MCP-1 : monocyte chemo-attractant protein-1; MIP : macrophage inflammatory protein; NAA : N-acetylaspartate; NE : norepinephrine; NSE : neuron-specific enolase; phospho-NFH : phosphorylated neurofilament H; TGF-b: transforming growth factor-beta; TNF-a: tumor necrosis factor-alpha; UCH-L1 : ubiquitin C-terminal hydrolas


(53)

BAB III

KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS PENELITIAN

A. Kerangka Teori

B. Kerangka Konsep

Variabel Bebas : • UCH – LI

Serum

Variabel Terikat: • GCS awal sesudah

resusitasi • Lama Rawatan • Mortalitas tiga hari


(54)

C. Hipotesis

1. Hipotesis mayor

Kadar UCH-L1serum berhubungan dengan tingkat keparahan cedera kepala.

2. Hipotesis minor

a. Kadar UCH-L1 serum berhubungan dengan GCS awal setelah resusitasi.

b. Kadar UCH-L1 serum berhubungan dengan mortalitas pada tiga hari pertama.

c. Kadar UCH-L1 serum berhubungan dengan lama rawatan pasien.


(55)

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan pendekatan potong lintang (cross sectional).

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Waktu penelitian mulai Juni 2012 sampai Maret 2013.Tempat peneltian adalah Departemen Ilmu Bedah Saraf RSUP H Adam Malik Medan.

C. Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi Target

Populasi yang dilakukan generalisasi/inferensialnya yaitu seluruh penderita cedera kepala ringan, sedang, dan berat.

2. Populasi Terjangkau

Kumpulan dari satuan/unit yang dilakukan pengambilan sampel penelitian, yaitu penderita cedera kepala ringan, sedang, dan berat yang dirawat di RSUP H. Adam Malik Medan.

3. Sampel Penelitian

Bagian dari populasi terjangkau yang diambil untuk dilakukan pengukuran, yaitu penderita cedera kepala ringan, sedang, dan


(56)

berat yang dirawat di RSUP H. Adam Malik Medan.Sampel penelitian diambil dengan cara consecutive sampling dengan penetapan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi.

D. Kriteria Sampel Penelitian 1. Kriteria Inklusi

a. Seluruh penderita cedera kepala ringan, sedang, dan berat b. Usia penderita 18-50 tahun

c. Onset kejadian di bawah 48 jam 2. Kriteria eksklusi

a. Penderita cedera multipel

b. Penderita dengan indikasi operasi, baik saat masuk atau selama follow up

c. Dengan riwayat dementia, psikosis, atau kelainan susunan saraf pusat aktif

d. Penderita hamil e. Trauma tajam kepala

E. Besar Sampel Penelitian

Besar sampel dihitung berdasarkan rumus yang berdasarkan SampleSize Determination in Health Studies, a practical manual version (Lwanga dan Lemeshow, 1998), sebagai berikut:


(57)

Zα : 1,96 (α = 5%) Zβ : 0,841 (β = 20%)

S : simpangan baku = 0,25 (Papa et al., 2012) x1-x2

F. Alur Penelitian : 0,22

Berdasarkan rumus di atas, didapat bahwa besar sampel satu kelompok minimal 21 orang.

(

)

(

)

2 2 1 2

1

2

+

=

=

x

x

S

Z

Z

n

n

α β

Penderita masuk (seleksi kriteria)

Subjek penelitian:

1. Penanganan trauma kepala yang komprehensif 2. Pencatatan ulang identitas (GCS masuk, suku, usia) 3. Pengambilan serum untuk pemeriksaan UCHL-1 4. Pencatatan lama rawatan

Pemeriksaan UCHL-1 serum kumulatif


(58)

1. Dimulai dengan identifikasi karakteristik subjek penderita cedera kepala dengan onset >48 jam dengan melakukan anamnesis, baik secara autoanamnesis maupun secara aloanamnesis.

2. Kemudian dilakukan penanganan sesuai prinsip Advance Trauma Life Support (ATLS), yaitu dengan memastikan patensi airway, breathing, dan circulation.

3. Setelah patensi airway, breathing, dan circulation dinyatakan baik, dilakukan penilaian disability, yaitu tingkat kesadaran (dalam GCS).

4. Kemudian dilakukan secondary survey yang dilanjutkan dengan pemeriksaan penunjang yang diperlukan, yaitu laboratorium dan radiologi. 5. Pemeriksaan laboratorium standar yang dilakukan antara lain adalah darah lengkap, analisis gas darah, kadar gula darah sewaktu, elektrolit darah, fungsi hati, fungsi ginjal, dan skrining fungsi pembekuan darah. Pemeriksaan radiologi yang standar dilakukan adalah X-ray servikal proyeksi lateral, Thoraks AP, Pelvik AP, dan CT Scan Kepala. CT Scan yang digunakan adalah Hitachiseri W 450. Pemeriksaan penunjang, baik radiologi dan laboratorium dapat bertambah jika memang diindikasikan. 6. Dementia, psikosis, dan kelainan saraf pusat lainnya disingkirkan dengan

anamnesis, baik autoanamnesis maupun alloanamnesis. Cedera multipel ekstra kranial disingkirkan dengan pemeriksaan fisik saat secondary survey dan pemeriksaan penunjang.

7. Serum seluruh penderita yang memenuhi kriteria inklusi diambil dan dikumpulkan untuk pemeriksaan kumulatif


(59)

8. Darah diambil sebanyak 6 cc memakai jarum 20 G (Terumo) dari Vena mediana cubiti kanan oleh seorang petugas laboratorium Patologi Klinik RS H. Adam Malik yang sudah berpengalaman. Darah dibiarkan membeku selama 10-15 menit, kemudian disentrifugasi selama 15 menit dengan kecepatan 2000 putaran setiap menit (Eppendorf 5702). Serum yang dibentuk kemudian dimasukkan ke dalam aliquot. Tabung aliquot kemudian ditandai dengan nama dan kode penderita, kemudian dikumpulkan dalam lemari beku pada suhu -20 o

9. Kemudian dilakukan penanganan terhadap cedera kepala sesuai protokol di Departemen Ilmu Bedah Saraf FK USU.

C untuk diperiksa secara kumulatif (Sanyo Biomedical Freezer MDF-U730 Upright Laboratory). Persiapan dan penyimpanan sampel dilakukan di laboratorium Patologi Klinik RS H. Adam Malik.

a. Cedera Kepala Sedang

1) Pemberian antibiotika intravena golongan sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone) sebagai terapi empiris dan kemudian disesuaikan dengan kultur.

2) Pemberian analgetik Non Steroid Anti Inflammatory Drug (NSAID) intravena. Pada penelitian ini digunakan ketolorac intravena dengan dosis 30 mg setiap 8 jam.

3) Pemberian antipsikotik bila diperlukan sebagai penenang, seperti Haloperidol atau Chlorpromazine intravena


(60)

4) Pemberian Mannitol20% secara bolus dengan dosis 0,5-1 gram dalam 10 menit. Sebelumnya dilakukan pemeriksaan osmolaritas serum dengan batas maksimal 320 mmol/l untuk mencegah gagal ginjal. Osmolaritas dihitung berdasarkan kadar ureum, elektrolit, dan kadar gula sewaktu.

5) Pemberian Gastric Mucosal ProtectordanAcid Supressor Agent dengan H2 Blocker, PPI (proton Pump Inhibitor) dan gastric mucosal protector.

6) Pemberian Phenytoin intravena sebagai profilaksis kejang. Phenytoin diberikan dengan dosis 100 mg setiap 8 jam intravena.

7) Nutrisi diberikan sesegera mungkin dengan target 120% dari BMR dengan kebutuhan protein 1,5 gram/kgBB. Diet diberikan dalam bentuk makanan cair melalui selang nasogastrik, empat sampai lima kali sehari. 8) Head up kepala 300

b. Cedera Kepala Berat

1) Tekanan darah dipertahankan pada keadaan sistol > 90 mmHg serta oksigenasi dipertahankan pada keadaan PaO2 >60 mmHg dan saturasi oksigen > 98 %.

2) Pemberian Mannitol 20% dengan dosis 0,5-1 gr/kgBB secara bolus dalam 10 menit

3) Dilakukan intubasi; diberikan antibiotik profilaksis sesuai pola kuman di Unit Perawatan Intensif RSHAM. Antibiotik empiris yang diberikan


(61)

adalah Ceftriaxone dengan dosis 1 gram setiap 12 jam. Antibiotik akan diganti jika hasil kultur sensitivitas mengacu pada antibiotik lain.

4) Pemasangan kateter vena sentral dan pengukuran tekanan vena sentral dengan target 8-12 cm H2O pada penderita dengan ventilator dan 5-8 cmH20 pada penderita tanpa ventilator

5) Sedasi dilakukan dengan kombinasi fentanyl intravena (0,5-1,5 μg/kg/jam) dengan propofol (1,5-6 mg /kg/jam).

6) Analgetik yang diberikan adalah Fentanyl intravena dengan dosis awal 0,3-3,5 mg dilanjutkan dengan 1-2 μg/kg/jam.

7) Relaksan yang diberikan adalah atracurium dengan dosis 0,5-1 mg/kg/jam

8) Pemberian Phenytoin intravena sebagai profilaksis kejang. Phenytoin diberikan dengan dosis 100mg setiap 8 jam intravena.

9) PaCO2 dipertahankan pada 35-40 mmHg

10) Pemberian Low-molecular-weight heparin(LMWH) untuk mencegah trombosis vena dalam.

11) Pada penderita yang sudah terintubasi lebih dari tujuh hari, dilakukan trakeostomi.

12) Nutrisi diberikan sesegera mungkin dengan target 120% dari BMR dengan kebutuhan protein 1,5 gram/kgBB. Diet diberikan dalam bentuk makanan cair melalui selang nasogastrik, empat sampai lima kali sehari.


(1)

Kobeissy F.H., Sadasivan S., Oli M.W., Robinson G., Larner S.F., Zhang Z., Hayes R.L., Wang K.K. (2008) Neuroproteomics and systems biology-based discovery of protein biomarkers for traumatic brain injury and clinical validation. Proteomics Clin Appl2:1467–1483

Kobori N., Hu B., Dash P.K. (2011) Altered adrenergic receptor signaling following traumatic brain injury contributes to working memory dysfunction. Neuroscience 172: 293-302.

Koch J.C., Knöferle J., Tönges L., Ostendorf T., Bähr M., Lingor P. (2010) Acute axonal degeneration in vivo is attenuated by inhibition of autophagy in a calcium-dependent manner. Autophagy (in press)

Kochanek P.M., Berger R.P., Bayir H., Wagner A.K., Jenkins L.W., Clark R.S. (2008) Biomarker of primary and evolving damage in traumatic and ischemic brain injury: diagnosis, prognosis, probing mechanism, and therapeutic decision maker. Curr Opin Crit Care 43:267-270.

Koegl M. (1999) A novel ubiquitination factor, E4, is involved in multiubiquitin chain assembly. Cell96: 635-44.

Komada M. (2008) Controlling receptor downregulation by ubiquitination and deubiquitination. Curr Drug Discov Technol5 : 78-84.

Kuo C.T. (2006) Identification of E2/E3 ubiquitinating enzymes and caspase activity regulating Drosophila sensory neuron dendrite pruning.Neuron 51: 283-90.

Larsen C.N., Krantz B.A., Wilkinson K.D. (1998) Substrate specificity of deubiquitinating enzymes: ubiquitin C-terminal hydrolases. Biochemistry37: 3358-68.

Leroy E. (1998) The ubiquitin pathway in Parkinson's disease. Nature 395: 451-2. Levy M.L., Ozgur B.M., Berry C., Aryan H.E., Apuzzo M.L. (2004) Birth and

evolution of the football helmet. Neurosurgery 55:656-661.

Lin J.W., Lin C.M., Tsai J.T., Hung K.S., Hung C.C., Chiu W.T. (2008) Neurotrauma research in Taiwan. Acta Neurochir Suppl 101:113-117. Lincoln S., Vaughan J., Wood N., et. al. (1999) Low frequency of pathogenic

mutations in the ubiquitin carboxy-terminal hydrolase gene in familial Parkinson’s disease. Neuroreport 10:427-429.

Lingor P.,Koch J.C., Tönges L., Bähr M. (2012) Axonal degeneration as a therapeutic target in the CNS.

Cell Tissue Res

349:289–311

Liu Y. (2002) The UCH-L1 gene encodes two opposing enzymatic activities that affect alpha-synuclein degradation and Parkinson's disease susceptibility. Cell111: 209-18.

Lunn E.R., Perry V.H., Brown M.C., Rosen H., Gordon S. (1989) Absence of Wallerian degeneration does not hinder regeneration in peripheral nerve. Eur J Neurosci 1:27–33

Lwangsa S.K., Lemeshow. (1998) Sample size determination in health studies, a practical manual version 2.00. World Health Organization.

Lyeth B.G., Hayes R.L. (1992) Cholinergic and opioid mediation of traumatic brain injury.J Neurotrauma 9 (Suppl 2): S463-474..


(2)

MacDonald J.M., Beach M.G., Porpiglia E., Sheehan A.E., Watts R.J., Freeman M.R. (2006) The Drosophila cell corpse engulfment receptor Draper mediates glial clearance of severed axons. Neuron 50:869–881

Malinow R. (2003) AMPA receptor trafficking and long-term pot entiation.Philos Trans R Soc Lond B Biol Sci358: 707-14.

McIntosh T.K., Smith D.H., Meaney D.F., Kotapka M.J., Gennarelli T.A., Graham D.I. (1996) Neuropathological sequelae of traumatic brain injury: relationship to neurochemical and biomechanical mecha- nisms. Lab Invest 74:315–342

Menon D.K. (2009) Unique challenges in clinical trials in traumatic brain injury. Crit Care Med 37:S129-135.

Meythaler J.M., Peduzzi J.D., Eleftheriou E., Novack T.A. (2001) Current concepts: diffuse axonal injury-associated traumatic brain injury. Arch Phys Med Rehabil 82:1461–1471

Mondello S., Linnet A., Buki A., et. al. (2012) Clinical Utility of Serum Levels of Ubiquitin C-Terminal Hydrolase as a Biomarker for Severe Traumatic Brain Injury. Neurosurgery 70:666-675.

Morfini G.A., Burns M., Binder L.I., Kanaan N.M., LaPointe N., Bosco D.A., Brown R.H., Brown H., Tiwari A., Hayward L., Edgar J., Nave K-A., Garberrn J., Atagi Y., Song Y., Pigino G., Brady S.T. (2009) Axonal transport defects in neurodegenerative diseases. J Neuro- sci 29:12776– 12786

Nath S., Goodwin J., Engelborghs Y., Pountney D.L. (2011) Raised calcium promotes α-synuclein aggregate formation. Mol Cell Neurosci 46:516–526 Nijman S.M. (2005) A genomic and functional inventory of deubiquitinating

enzymes.Cell 123: 773-86.

Nikí I., Merkler D., Sorbara C., Brinkoetter M., Kreutzfeldt M., Bareyre F.M., Brück W., Bishop D., Misgeld T., Kerschensteiner M. (2011) A reversible form of axon damage in experimental autoimmune encephalomyelitis and multiple sclerosis. Nat Med 17:495–499

Nikolaeva M.A., Mukherjee B., Stys P.K. (2005) Na+-dependent sources of intra-axonal Ca2+ release in rat optic nerve during in vitro chemical ischemia. J Neurosci 25:9960–9967

Nirula R., Mock C.N., Nathens A.B., Grossman D.C. (2004) The new car assessment program: does it predict the reality safety of vehicles in actual crashes? J Trauma 57:779-786.

Osaka H. (2003) Ubiquitin carboxy-terminal hydrolase L1 binds to and stabilizes monoubiquitin in neuron. Hum Mol Genet 12: 1945-58.

Ouardouz M., Nikolaeva Ma., Coderre E., Zamponi G.W., McRory J.E., Trapp B.D., Yin X., Wang W., Woulfe J., Stys P.K. (2003) Depolarization-induced Ca2+ release in ischemic spinal cord white matter involves L-type Ca2+ channel activation of ryano- dine receptors. Neuron 40:53–63

Papa L., Akinyi L., Liu M.C., Pineda J.A., et. al. (2010) Ubiquitin C-terminal hydrolase is a novel biomarker in humans for severe head injury. Crit Care Med 38:138-144.


(3)

Pelinka L.E., Kroepfl A., Leixnering M., Buchinger W., Raabe A., Redl H. (2004) GFAP versus S100β in serum after traumatic brain injury: relationship to brain damage and outcome. J Neurotrauma 24: 1793-1801.

Pettus E.H., Christman C.W., Giebel M.L., Povlishock J.T. (1994) Trau- matically induced altered membrane permeability: its relationship to traumatically induced reactive axonal change. J Neurotrauma 11:507–522

Pettus E.H., Povlishock J.T. (1996) Characterization of a distinct set of intra- axonal ultrastructural changes associated with traumatically induced alteration in axolemmal permeability. Brain Res 722:1–11

Pickart C.M. (2004) Back to the future with ubiquitin. Cell116:181-90.

Pickart C.M., Rose I.A. (1985) Ubiquitin carboxyl-terminal hydrolase acts on ubiquitin carboxyl-terminal amides. J Biol Chem260 :7903-10.

Piotrowski J. (1997) Inhibition of the 26 S proteasome by polyubiquitin chains synthesized to have defined lengths. J Biol Chem272: 23712-21.

Raff M.C., Whitmore A.V., Finn J.T. (2002) Axonal self-destruction and neurodegeneration. Science 296:868–871

Ravikumar B., Acevedo-Arozena A., Imarisio S., Berger Z., Vacher C., O’Kane C.J., Brown S.D.M., Rubinsztein D.C. (2005) Dynein muta- tions impair autophagic clearance of aggregate-prone proteins. Nat Genet 37:771–776 Reilly P. (2007) The impact of neurotrauma on society: an international

perspective. Prog Brain Res 161:3-9.

Reinert M.M., Bullock R. (1999) Clinical trials in head injury. Neurol Res 21:330-338

Robicsek G.M., Gabrielli S.A., Robertson C.S., Wang K.K., and Hayes R.L. (2008) Use of biomarkers for diagnosis and management of traumatic brain injury. Expert Opin. Med Diagn 28: 1–9.

Ross C.A., Poirier M.A. (2004) Protein aggregation and neurodegenerative disease. Nat Med10 (Suppl): S10-7.

Ross S.A., Cunningham R.T., Johnston C.F., Rowlands B.J. (1996) Neuron specific enolase as an aid to outcome prediction in head injury. Br J Neurosurg 10:471-476

Rubinsztein D.C. (2006) The roles of intracellular protein-degradation pathways in neurodegeneration. Nature443: 780-6.

Sasaki Y., Vohra B.P.S., Lund F.E., Milbrandt J. (2009b) Nicotinamide mononucleotide adenylyl transferase-mediated axonal protection requires enzymatic activity but not increased levels of neuronal nicotinamide adenine dinucleotide. J Neurosci 29:5525–5535

Saatman K.E., Creed J., Raghupathi R. (2010) Calpain as a therapeutic target in traumatic brain injury. Neurotherapeutics 7:31–42

Schmidt M, et. al. (2005) Proteasome-associated proteins: regulation of a proteolytic machine. Biol Chem386: 725-37.

Setsuie R. (2007) Dopaminergic neuronal loss in transgenic mice expressing the Parkinson's disease-associated UCH-L1 I93M mutant. Neurochem Int 50: p. 119-29.

Shimura H. (2000) Familial Parkinson disease gene product, parkin, is 
a ubiquitin-protein ligase. Nat Genet25: 302-5.


(4)

Sidaros A., Skimminge A., Liptrot M.G., Sidaros K., Engberg A.W., Herning M., Paulson O.B., Jernigan T.L., Rostrup E. (2009) Long-term global and regional brain volume changes following severe traumatic brain injury: a longitudinal study with clinical correlates. Neuroimage 44: 1-8.

Siebert H., Kahle P.J., Kramer M.L., Isik T., Schlüter O.M., Schulz- Schaeffer W.J., Brück W. (2010) Over-expression of alpha- synuclein in the nervous system enhances axonal degeneration after peripheral nerve lesion in a transgenic mouse strain. J Neuro- chem 114:1007–1018

Sievers C., Platt N., Perry V.H., Coleman M.P., Conforti L. (2003) Neurites undergoing Wallerian degeneration show an apoptotic-like pro- cess with annexin V positive staining and loss of mitochondrial membrane potential. Neurosci Res 46:161–169

Song L., Rape M. (2008) Reverse the curse--the role of deubiquitination in cell cycle control. Curr Opin Cell Biol20 :156-63.

Staal J.A., Dickson T.C., Gasperini R., Liu Y., Foa L., Vickers J.C. (2010) Initial calcium release from intracellular stores followed by calcium dysregulation is linked to secondary axotomy following transient axonal stretch injury. J Neurochem 112:1147–1155

Stirling D.P., Stys P.K. (2010) Mechanisms of axonal injury: internodal nanocomplexes and calcium deregulation. Trends Mol Med 16:160–170 Tang-Schomer M.D., Patel A.R., Baas P.W., Smith D.H. (2010) Mechanical

breaking of microtubules in axons during dynamic stretch injury underlies delayed elasticity, microtubule disassembly, and axon degeneration. FASEB J 24:1401–1410

Teasdale G., Jennet B. (1974) Assessment of coma and impaired consciousness : A practical scale. Lancet 2: 81-84

Thurman D.J., Alverson C., Dunn K.A., Guerrero J., Sniezek J.E. (1999) Traumatic brain injury in the United States: A public health persective. J Head Trauma Rehabil 14:602-615.

Tongaonkar P., Chen L., Lambertson D., Ko B., Madura K. (2000) Evidence for an interaction between ubiquitin-conjugating enzymes and the 26S proteasome. Mol Cell Biol. 20:4691-4698.

Touma E., Kato S., Fukui K., Koike T. (2007) Calpain-mediated cleavage of collapsin response mediator protein (CRMP)-2 during neurite degeneration in mice. Eur J Neurosci 26:3368–3381

Trivedi M.A., Ward M.A., Hess T.M., Gale S.D., Dempsey R.J., Rowley H.A., Johnson S.C. (2007) Longitudinal changes in global brain volume between 79 and 409 days after traumatic brain injury: relationship with duration of coma. J Neurotrauma 24: 766- 771.

Upadhya S.C., Hegde. (2005), Ubiquitin-proteasome pathway components as therapeutic targets for CNS maladies.Curr Pharm Des11: 3807-28.

Utton M.A., Noble W.J., Hill J.E., Anderton B.H., Hanger D.P. (2005) Molecular motors implicated in the axonal transport of tau and alpha-synuclein. J Cell Sci 118:4645–4654

Van Roessel P. (2004) Independent regulation of synaptic size and activity by the anaphase-promoting complex. Cell119: 707-18.


(5)

Veeranna A., Kaji T., Boland B., Odrljin T., Mohan P., Basavarajappa B.S., Peterhoff C., Cataldo A., Rudnicki A., Amin N., Li B.S., Pant H.C., Hungund B.L., Arancio O., Nixon R.A. (2004) Calpain mediates calcium-induced activation of the erk1,2 MAPK pathway and cytoskeletal phosphorylation in neurons: relevance to Alzheimer’s disease. Am J Pathol 165:795–805

Von Coelln R. (2004) Loss of locus coeruleus neurons and reduced startle in parkin null mice.Proc Natl Acad Sci U S A101: 10744-9.

Vosler P.S., Brennan C.S., Chen J. (2008) Calpain-mediated signaling mechanisms in neuronal injury and neurodegeneration. Mol Neu- robiol 38:78–100 Wang K.K., Ottens A.K., Lie M.C., et. al. (2005) Proteomic identification of

biomarker of traumatic brain injury. Expert Rev Proteomics 2:603-604. Weston C.R., Davis R.J. (2007) The JNK signal transduction pathway. Curr Opin

Cell Biol 19:142–149

Whitmore A.V., Lindsten T., Raff M.C., Thompson C.B. (2003) The proa-poptotic proteins Bax and Bak are not involved in Wallerian degeneration. Cell Death Differ 10:260–261

Wilkinson K.D. (1989) The neuron-specific protein PGP 9.5 is a ubiquitin carboxyl-terminal hydrolase. Science246: 670-3.

Yahata N., Yuasa S., Araki T. (2009) Nicotinamide mononucleotide adenylyltransferase expression in mitochondrial matrix delays Wallerian degeneration. J Neurosci 29:6276–6284

Yamazaki Y., Yada K., Morii S., Kitahara T., Ohwada T. (1995) Diagnostic significance of serum neuron-specific enolase and myelin basic protein assay in patients with acute head injury. Surg Neurol 43:267-270.

Yao T., Cohen R.E. (2002) A cryptic protease couples deubiquitination and degradation by the proteasome. Nature 419:403-7.

Yoshimura K., Ueno M., Lee S., Nakamura Y., Sato A., Yoshimura K., Kishima H., Yoshimine T., Yamashimta T. (2011) C-Jun N-terminal kinase induces axonal degeneration and limits motor recovery after spinal cord injury in mice. Neurosci Res 71:266–277

Zetterberg M., Sjolander A., von Otter M., Palmer M.S., Landgren S., Minthon L., et. al. (2010). Ubiquitin carboxy-terminal hydrolase L1 (UCHL1) S18Y polymorphism in Alzheimer’s disease.Molecular Neurodegeneration5:11 Zhai Q., Wang J., Kim A., Liu Q., Watts R., Hoopfer E., Mitchison T., Luo L., He

Z. (2003) Involvement of the ubiquitin-proteasome system in the early stages of Wallerian degeneration. Neuron 39:217–225

Zhang L., Yang K.H., King A.I. (2004) A proposed injury threshold for mild traumatic brain injury. J Biomech Eng 126: 226-236.

Zhao C., Takita J., Tanaka Y., Setou M., Nakagawa T., Takeda S., Yang H.W., Terada S., Nakata T., Takei Y., Saito M., Tsuji S., Hayashi Y., Hirokawa N. (2001) Charcot-Marie-Tooth disease type 2A caused by mutation in a microtubule motor KIF1Bbeta. Cell 105:587–597

Zhou H., Chen L., Gao X., Luo B., Chen J. (2012) Moderate traumatic brain injury triggers rapid necrotic death of immature neurons in the hippocampus. J Neuropathol Exp Neurol 71: 348-359.


(6)

Ziebell J.M., MorgKossmann M.C. (2010) Involvement of pro- and anti-inflammatory cytokines and chemokines in the pathophysiology of traumatic brain injury. Neurotherapeutics 7: 22-30

Ziv N.E., Spira M.E. (1995) Axotomy induces a transient and localized elevation of the free intracellular calcium concentration to the millimolar range. J Neurophysiol 74:2625–2637