Latar Belakang Penerapan Awig-Awig Kawasan Tanpa Rokok di Desa Pakraman Selat Kabupaten Gianyar Tahun 2016.

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Merokok kini telah menjadi gaya hidup dalam berbagai kalangan dimasyarakat. Penjualan rokok yang bebas di pasaran memudahkan masyarakat untuk mengkomsumsinya. Saat ini permasalahan rokok masih menjadi permasalahan global dan upaya penanggulangannya masih diprioritaskan karena menyangkut berbagai aspek permasalahan dalam kehidupan. Aspek yang terkait permasalahan rokok yaitu, aspek ekonomi, sosial politik, dan terutama aspek kesehatan. World Health Organization WHO memperkirakan pada tahun 2030 jumlah kematian di dunia akibat konsumsi rokok akan mencapai angka 10 juta orang setiap tahunnya dan sekitar 70 diantaranya terjadi di negara berkembang, dan negara Indonesia termasuk didalamnya Kemenkes RI, 2011. Tahun 2013 berdasarkan hasil Riskesdas disebutkan bahwa prevalensi perokok di Indonesia mencapai 36,5 yang terdiri dari 68 perokok laki-laki dan 6,9 perokok perempuan. Berdasarkan data tersebut telah menempatkan Indonesia pada peringkat ketiga dalam hal epidemik konsumsi rokok tertinggi di dunia. Masalah kesehatan ini menjadi semakin kompleks karena dampaknya tidak hanya merugikan kesehatan bagi perokok aktif, namun berdampak pula pada kesehatan perokok pasif. Menurut data Riskesdas 2013, lebih dari 40,3 juta anak Indonesia berusia 0 –14 tahun tinggal dengan perokok dan terpapar asap rokok dilingkungannya. Anak yang terpapar asap rokok di lingkungannya mengalami pertumbuhan paru yang lambat, dan lebih mudah terkena infeksi saluran pernapasan, infeksi telinga dan Asma. Upaya pemerintah Indonesia dalam mengendalikan permasalahan rokok ini adalah dengan melakukan regulasi tentang peraturan pemerintah. Peraturan ini tercantum pada Undang-Undang kesehatan No. 36 tahun 2009 tentang pengamanan produk tembakau sebagai zat adiktif bagi kesehatan. Dimana pasal 113 menyatakan bahwa tembakau mengandung zat adiktif, dan pasal 115 mengatur tentang Kawasan Tanpa Rokok KTR. Undang-undang ini diberlakukan dengan pertimbangan yaitu, 1 setiap orang berhak atas perlindungan terhadap bahaya rokok, 2 asap tembakau membahayakan dan tidak memiliki batas aman, 3 ruang khusus untuk merokok dan sistem sirkulasi udara tidak mampu memberikan perlindungan efektif. Sehingga perlindungan efektif apabila 100 suatu tempat bebas dari asap rokok. Dalam undang-undang ini tertuang pula pasal yang menyebutkan bahwa pemerintah daerah wajib untuk menetapkan KTR di wilayahnya. Regulasi KTR ini di peraturan daerah telah dilaksanakan oleh beberapa kabupatenkota di Indonesia. Berdasarkan data Balitbangkes RI 2015, telah tercatat sebanyak 166 kabupatenkota di 34 provinsi diseluruh Indonesia yang telah memiliki peraturan KTR Ramandhani,D.I.2016. Salah satu provinsi yang menerapkan regulasi mengenai KTR ini adalah provinsi Sumatera Barat yang diatur dalam peraturan daerah Perda No. 8 tahun 2012. Dalam pelaksanaannya, Perda di wilayah Sumatera Barat ini menunjukan persentase keefektifan sebesar 51 . Dan sebanyak 60 masyarakatnya kurang mendukung penetapan Perda KTR ini di wilayahnya. Provinsi Bali merupakan wilayah yang turut menerapkan regulasi KTR ini. Peraturan KTR ini ditetapkan dalam perda no.10 tahun 2011. Pada survey tingkat kepatuhan KTR yang dilakukan oleh Universitas Udayana tahun 2013, menunjukan hasil tingkat kepatuhan masyarakat Bali terhadap aturan KTR masih rendah yaitu 17 dan hanya meningkat menjadi 25 pada tahun 2014. Kawasan yang termasuk dalam KTR ini kawasan tempat umum dan angkutan umum adalah yang paling rendah dalam penerapan KTR-nya. Sedangkan pada tingkat kabupaten hasil survey menunjukan terdapat tingkat kepatuhan yang berbeda antar kabupatenkota yang sudah memiliki dengan yang tidak memilki aturan perdaperbup sendiri tentang KTR. Dimana kabupatenkota yang sudah memiliki aturan, tingkat kepatuhan akan KTR lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah yang tidak memiliki aturan KTR. Pemerintahan Gianyar, 2015. Kabupaten Gianyar merupakan salah satu kabupaten di Bali yang telah mengadopsi perda KTR provinsi menjadi perda kabupaten yang mana ditetapkan dalam Perda No. 07 tahun 2014. Pada tahun 2013 yaitu saat aturan KTR ini belum di tetapkan di Kabupaten Gianyar tingkat kepatuhan masyarakatnya hanya pada angka 14,5 . Pada tahun 2014 seiiring dengan ditetapkanya Perda kabupaten maka angka kepatuhannya meningkat menjadi 21,6 . Peningkatan tersebut memang berdampak baik, namun pencapainnya masih lebih rendah dibandingkan tingkat kepatuhan Provinsi Bali. Pada beberapa sasaran kawasan KTR didapatkan hasil capaian sebagai berikut, di fasilitas kesehatan mencapai angka 68, sedangkan pada kawasan lainnya hasilnya sangat timpang. Indikasinya dapat dilihat dari fasilitas pendidikan angka kepatuhannya 44,4, angkutan umum 0, tempat ibadah 4,5, tempat kerja 26,3, dan fasilitas umum 7,9. Sentral Bali, 2015 Menindak lanjuti kondisi tersebut nampaknya Perda KTR di tingkat pusat dan kabupatenkota saja tidak akan memberikan hasil yang optimal kedepannya. Dibutuhkan suatu aturan yang lebih mengikat dan berdampak langsung terhadap kehidupan sosial masyarakat. Masyarakat Bali sendiri adalah masyarakat yang multikultural, dimana pada tiap daerah memiliki pranata sosialnya masing- masing. Kelembagaan sosial sering diartikan dengan pranata sosial. Kelembagaan lokal adalah pranata sosial di tingkat lokal. Bentuk nyata dari kelembagaan lokal adalah awig-awig. Sebagai hukum yang tumbuh dari bawah, secara sosiologis awig-awig memiliki legitimasi yang kuat dalam masyarakat. Awig-awig diterima dan ditaati di kalangan masyarakat yang berada di wilayah desa pakraman bersangkutan. awig-awig jika dilihat dari fungsinya merupakan alat control sosial hukum sebagai sarana kontrol sosial. Hal ini dilihat dari asumsi awig-awig mampu mengontrol perilaku krama desa dan menciptakan kesesuaian dalam perilaku mereka, baik secara preventif maupun represif Parwata,A.A. G. O., 2007. Desa Pakraman Selat merupakan salah satu desa pakraman yang terdapat di Kabupaten Gianyar, dimana dalam Awig-awig nya telah tertuang pasal yang terkait dengan KTR. Dalam Awig-awig tersebut dijelaskan mengenai larangan menyediakan rokok pada saat pelaksanaan upacara keagaman kematian dan petedunan banjar. Penerapan awig-awig KTR ini masih terbilang baru karena mulai ditetapkan pada bulan september 2015, sehingga evaluasi dan melihat dampak nyatanya belum dapat dilakukan. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan kepada panitia tim revisi awig-awig, pembaharuan ini dilakukan dengan pertimbangan sudah tidak relevannya hukum yang terdapat dalam awig- awig sebelumnya dengan kondisi saat ini. Kondisi yang dimaksudkan yaitu tentang undang-undang terbaru, dan masalah ekonomi serta kesehatan masyarakat. Selain tentang KTR, pasal lainnya yang dianggap oleh masyarakat perlu di perbaharui adalah pasal mengenai cuntaka dan maejotan. Usulan mengenai awig-awig KTR ini diprakarsai oleh masyarakat sekitar pada saat konsep revisi awig-awig ini disosialisasikan. Beliau memaparkan perlunya mengadopsi peraturan daerah tentang KTR kedalam awig-awig desa pakraman. Selain itu dengan adanya awig-awig ini akan berdampak positif pada berbagai aspek kehidupan masyarakat seperti kesehatan dan ekonomi. Dari segi kesehatan kedepannya diharapkan dapat meningkankan status kesehatan masyarakat serta menekan jumlah perokok pemula di desa pakraman selat. Pada studi pendahuluan yang dilakukan kepada pemegang program Upaya Kesehatan Masyarakat UKM UPT Kesmas Payangan, menunjukan bahwa penyakit- penyakit akibat merokok yang terjadi di desa pakraman selat yaitu diantaranya kanker nasofaring yang dialami oleh masyarakat yang merupakan perokok aktif. Selain itu berdasarkan studi pendahuluan ke tempat praktek dokter mandiri dinyatakan pula bahwa banyak orang tua dengan riwayat perokok aktif mengalami Penyakit Paru Obstruktif Kronik PPOK . Dari segi ekonomi, manfaat yang ditimbulkan dengan adanya awig-awig terkait KTR ini adalah masyarakat dapat menekan pengeluarannya pada saat memiliki upacara keagamaan untuk pembelian rokok. Rokok ini biasanya disajikan kepada masyarakat yang hadir untuk membantu persiapan upacara. Menyediakan rokok pada saat upacara agama, selain merugikan si pemilik upacara, tapi juga dapat merugikan masyarakat yang datang pada saat itu. Masyarakat yang tidak memiliki kebisaan merokok atau jarang merokok secara tidak langsung karena mendapat ajakan dari warga lain akan terpengaruh untuk ikut merokok. Berdasarkan penelitian Saptorini, K.K. 2013 mengenai tingkat partisipasi mahasiswa dalam implementasi KTR di Universitas Dian Nuswantoro Semarang menunjukkan bahwa partisipasi mahasiswa dipengaruhi oleh faktor predisposisi, enabling, dan reinforcing. Faktor-faktor ini nantinya akan dapat mempengaruhi mahasiswa dalam berprilaku untuk berpatisipasi dalam implementasi KTR. Melihat hal tersebut, penerapan dari awig-awig KTR ini dapat dilihat melalui prilaku dari masyrakatnya sendiri. Perilaku itu sendiri dapat dilihat berdasarkan faktor-faktor pembentuknya seperti pengetahuan, persepsi, sikap, faktor pemungkin, dan faktor penguat. Sehingga untuk mengambarkan penerapan awig- awig KTR ini peneliti akan melihatnya dari faktor-faktor pembentukan perilaku tersebut.

1.2 Rumusan Masalah