Rumusan Masalah Pertanyaan Penelitian Ruang Lingkup Penelitian Cascade of CareTreatment Cascade

dijalankan pemerintah sejak tahun 2013. Pelayanan HIV lainnya berupa penyediaan terapi ARV juga sudah dilaksanakan di Lapas Kerobokan namun penelitian terkait HIVAIDS dan penelitian mengenai HIV Treatment Cascade di Lapas tersebut masih belum maksimal dikembangkan. Oleh karena itu, penting untuk dilakukan penelitian di Lapas Kerobokan untuk mengetahui proporsi Warga Binaan Pemasyarakatan WBP yang HIV Positif dan mengetahui HIV Treatment Cascade di Lapas Kerobokan dari tahun 2013 sampai 2015.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis perlu untuk mengetahui proporsi Warga Binaan Pemasyarakatan WBP yang HIV Positif dan HIV Treatment Cascade di Lapas Kerobokan tahun 2013-2015.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan permasalahan diatas, pertanyaan penelitian yang dapat dirumuskan yaitu sebagai berikut : 1. Berapa proporsi Warga Binaan Pemasyarakatan WBP yang HIV Positif di Lapas Kerobokan dari tahun 2013 sampai 2015? 2. Berapa proporsi WBP yang HIV positif yang melaksanakan terapi ARV Antiretroviral secara dini di Lapas Kerobokan dari tahun 2013 sampai 2015 ? 3. Berapa proporsi WBP yang HIV positif yang patuh melaksanakan terapi ARV Antiretroviral di Lapas Kerobokan dari tahun 2013 sampai 2015 ? 4. Apa saja faktor pendukung dan faktor penghambat dalam memulai ARV secara dini pada Warga Binaan Pemasyarakatan WBP yang HIV positif di Lapas Kerobokan? 5. Apa saja faktor pendukung dan faktor penghambat terkait kepatuhan berobat pada Warga Binaan Pemasyarakatan WBP yang HIV positif di Lapas Kerobokan?

1.4 Tujuan

1.4.1 Tujuan umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proporsi Warga Binaan Pemasyarakatan WBP yang HIV Positif dan HIV Treatment Cascade di Lapas Kerobokan tahun 2013-2015.

1.4.2 Tujuan khusus

1. Untuk mengetahui proporsi Warga Binaan Pemasyarakatan WBP yang HIV Positif di Lapas Kerobokan dari tahun 2013 sampai 2015. 2. Untuk mengetahui proporsi WBP yang HIV positif yang melaksanakan terapi ARV Antiretroviral secara dini di Lapas Kerobokan dari tahun 2013 sampai 2015. 3. Untuk mengetahui proporsi WBP yang HIV positif yang patuh melaksanakan terapi ARV Antiretroviral di Lapas Kerobokan dari tahun 2013 sampai 2015. 4. Untuk mengetahui faktor pendukung dan faktor penghambat dalam memulai ARV secara dini pada Warga Binaan Pemasyarakatan WBP yang HIV positif di Lapas Kerobokan. 5. Untuk mengetahui faktor pendukung dan faktor penghambat terkait kepatuhan berobat pada Warga Binaan Pemasyarakatan WBP yang HIV positif di Lapas Kerobokan.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi dan kepustakaan dibidang kesehatan mengenai HIV Treatment Cascade di Lembaga Pemasyarakatan Lapas. Selain itu, diharapkan agar penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar dan kepustakaan untuk penelitian lebih lanjut mengenai HIVAIDS.

1.5.2 Manfaat praktis

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan rujukan untuk instansi yang berwenang yaitu Kementerian Hukum dan HAM dan Dinas Kesehatan Kabupaten Badung dalam upaya pengembangan program pencegahan dan penanggulangan HIVAIDS dan Layanan VCT di Lapas Kerobokan. 2. Dapat digunakan sebagai sumber informasi bagi masyarakat mengenai prevalensi HIVAIDS dan HIV Treatment Cascade di Lapas Kerobokan Tahun 2016.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah penelitian bidang Epidemiologi untuk mengetahui proporsi Warga Binaan Pemasyarakatan WBP yang HIV Positif dan HIV Treatment Cascade di Lapas Kerobokan tahun 2013-2015. 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 HIVAIDS

2.1.1 Pengertian dan penularan

Human Immnunodeficiency Virus HIV adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh sehingga sistem kekebalan tubuh manusia melemah yang berakibat pada tubuh mudah terinfeksi penyakit dan pada stadium akhir menyebabkan kondisi klinis yang dikenal sebagai Acquired Immunodeficiency Sindrom AIDS. Acquired Immunodeficiency Sindrom AIDS adalah kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh menurunnya sistem kekebalan tubuh karena HIV tersebut PKBI, 2007; Depkes RI, 2006. Di dalam tubuh manusia, HIV utamanya berada di cairan tubuh manusia. Cairan yang berpotensial mengandung HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina dan air susu ibu KPA, 2007. Penularan HIV dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu : kontak seksual, kontak dengan darah atau luka yang infeksius, ibu ke anak selama masa kehamilan, persalinan dan pemberian ASI atau Air Susu Ibu Zein, 2006. Cara penularannya yaitu sebagai berikut : 1. Melalui hubungan seksual utamanya hubungan heteroseksual. Penularan melalui hubungan heteroseksual adalah yang paling dominan dari semua cara penularan. Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi selama kontak seksual laki- laki dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki. Kontak seksual yang dimaksud yaitu kontak seksual dengan penetrasi vaginal, anal anus, oral mulut antara dua individu. Resiko tertinggi adalah penetrasi vaginal atau anal yang tak terlindung dari individu yang terinfeksi HIV. 2. Melalui transfusi darah atau produk darah yang sudah tercemar dengan virus HIV. 3. Melalui jarum suntik atau alat kesehatan lain yang ditusukkan atau tertusuk ke dalam tubuh yang terkontaminasi dengan virus HIV, seperti jarum tato atau pada pengguna narkoba suntik secara bergantian, dan ketika melakukan prosedur tindakan medis ataupun terjadi sebagai kecelakaan kerja yang tidak disengaja bagi petugas kesehatan. 4. Melalui transplantasi organ pengidap HIV. 5. Melalui penularan dari ibu ke anak dimana kebanyakan infeksi HIV pada anak didapat dari ibunya saat ia dikandung, dilahirkan dan sesudah lahir melalui ASI.

2.1.2 Pencegahan

Menurut Komisi Penanggulangan AIDS 2007, sampai saat ini obat untuk mengobati dan vaksin untuk mencegah AIDS masih belum ditemukan, sehingga diperlukan alternatif pemecahan masalah untuk menanggulangi masalah AIDS yang terus meningkat ini yaitu salah satunya dengan upaya pencegahan oleh semua pihak agar tidak terlibat dalam lingkaran transmisi yang memungkinkan untuk terserang HIV. Terdapat dua cara pencegahan AIDS yang dapat dilakukan yaitu pencegahan angka pendek dan pencegahan jangka panjang. Upaya pencegahan AIDS jangka pendek adalah dengan KIE, memberikan informasi kepada kelompok risiko tinggi bagaimana pola penyebaran HIV sehingga dapat diketahui langkah-langkah pencegahannya. Langkah-langkap pencegahan HIVAIDS jangka pendek yaitu sebagai berikut : a. Tidak melakukan hubungan seksual Walaupun cara ini sangat efektif, namun tidak mungkin dilaksanakan sebab seks merupakan kebutuhan biologis. b. Melakukan hubungan seksual hanya dengan seorang mitra seksual yang setia dan tidak terinfeksi HIV homogami. c. Mengurangi jumlah mitra seksual sesedikit mungkin d. Hindari hubungan seksual dengan kelompok risiko tinggi tertular AIDS e. Tidak melakukan hubungan anogenital f. Gunakan kondom mulai dari awal sampai akhir hubungan seksual dengan kelompok resiko tinggi tertular AIDS dan pengidap HIV g. Darah yang digunakan untuk transfusi diusahakan bebas HIV dengan jalan memeriksa darah donor. h. Jarum suntik dan alat tusuk yang lain harus disterilisasikan secara baku setiap kali habis dipakai. i. Semua alat yang tercemar dengan cairan tubuh penderita AIDS harus disterillisasikan secara baku. j. Kelompok penyalahgunaan narkotik harus menghentikan kebiasaan penyuntikan obat ke dalam badannya serta menghentikan kebiasaan mengunakan jarum suntik bersama. k. Gunakan jarum suntik sekali pakai disposable l. Membakar atau membuang semua alat bekas pakai pengidap HIV sesuai dengan peraturan. Penyebaran AIDS di Indonesia Asia Pasifik sebagian besar adalah karena hubungan seksual. Upaya jangka panjang yang harus kita lakukan untuk mencegah HIVAIDS adalah merubah sikap dan perilaku masyarakat dengan kegiatan yang meningkatkan norma-norma agama maupun sosial sehingga masyarakat dapat berperilaku seksual yang bertanggung jawab. Yang dimaksud dengan perilaku seksual yang bertanggung jawab adalah : a. Tidak melakukan hubungan seksual sama sekali. b. Hanya melakukan hubungan seksual dengan mitra seksual yang setia dan tidak terinfeksi HIV monogamy. c. Menghindari hubungan seksual dengan wanita-wanita tuna susila. d. Menghindari hubungan seksual dengan orang yang mempunyai lebih dari satu mitra seksual. e. Hindari hubungan seksual dengan kelompok resiko tinggi tertular AIDS. f. Gunakan kondom mulai dari awal sampai akhir hubungan seksual. Kegiatan tersebut dapat disosialisasikan melalui kegiatan-kegiatan berupa dialog antara tokoh-tokoh agama, penyebarluasan informasi tentang AIDS, melalui penataran P4 dan lain-lain yang bertujuan untuk meningkatkan perilaku seksual yang bertanggung jawab. Dengan perilaku seksual yang bertanggung jawab diharapkan mampu mencegah penyebaran infeksi HIVAIDS di Indonesia.

2.1.3 Epidemiologi HIVAIDS

Pada tahun 2015, UNAIDS menyatakan bahwa sampai akhir tahun 2014 terdapat 36,9 juta orang yang hidup dengan HIV di dunia dan ada 2 juta orang yang baru terinfeksi HIV. Pada tahun 2014, terdapat 1,2 juta orang meninggal akibat dari AIDS dan infeksi oportunistik secara global. Antara tahun 2000 sampai 2015, infeksi HIV baru telah menurun sebesar 35, dan kematian akibat AIDS telah menurun sebesar 24 dengan pelaksanaan upaya pencegahan di seluruh dunia United Nations Programme on HIVAIDS UNAIDS, 2015. Berdasarkan data yang dilaporkan oleh Kementerian Kesehatan RI 2014, jumlah kumulatif kasus HIV sampai tahun 2014 yaitu sebanyak 150.296 orang dan jumlah kumulatif kasus AIDS yaitu sebanyak 55.799 orang, serta kasus kematian akibat AIDS yaitu sebanyak 9.796 kasus CFR 6,5. Pada tahun 2014, prevalensi kasus AIDS di Indonesia yaitu 23,48 per 100.000 penduduk dengan prevalensi kasus yang paling tinggi terjadi di Papua dengan prevalensi sebesar 359,43 per 100.000 penduduk. Jumlah kumulatif penderita HIV di Propinsi Bali sampai tahun 2014 yaitu sebanyak 9.637 orang dan jumlah kumulatif penderita AIDS sebanyak 4.261 orang Kementerian Kesehatan RI, 2014. Prevalensi kasus AIDS di Propinsi Bali tahun 2014 yaitu sebesar 109,52 per 100.000 penduduk. Menurut Profil Kesehatan Provinsi Bali tahun 2014, Kasus HIVAIDS menunjukkan trend peningkatan setiap tahun. Sampai dengan Desember 2014 jumlah kasus baru mencapai 1.352 kasus dan AIDS mencapai 869 kasus. Jumlah terbanyak kasus HIV dan AIDS di Propinsi Bali terdapat pada golongan usia 20-29 tahun dan 30-39 tahun, dimana golongan usia ini adalah golongan usia produktif. Penyebaran kasus HIVAIDS di Propinsi Bali saat ini lebih banyak ditularkan melalui hubungan seksual. Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kematian akibat AIDS tahun 2014 sebanyak 54 orang yaitu laki-laki sebanyak 34 orang dan perempuan sebanyak 20 orang.

2.2 HIVAIDS di Lembaga Pemasyarakatan

Direktorat Jenderal Pemasyarakatan mewujudkan tercapainya pemenuhan Hak Asasi Manusia HAM yaitu hak kesehatan bagi narapidana dan tahanan terhadap HIVAIDS melalui pelaksanaan layanan perawatan, dukungan dan pengobatan HIVAIDS di LapasRutan. Kegiatan layanan perawatan, dukungan dan pengobatan HIVAIDS merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang bekerjasama dengan Family Health InternationalAksi Stop AIDS FHIASA. Kegiatan layanan perawatan, dukungan dan pengobatan HIVAIDS ini memberikan layanan klinis bagi narapidana dan tahanan terhadap HIVAIDS yang berkualitas sama dengan layanan klinis yang diberikan kepada masyarakat diluar LapasRutan Jenderal Pemasyarakatan, 2007.

2.2.1 Prevalensi HIVAIDS di lembaga pemasyarakatan

Berdasarkan penelitian prevalensi HIV dan Sifilis yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM RI pada Narapidana di LapasRutan di 13 Propinsi di Indonesia tahun 2010, menyebutkan bahwa dari 18 LapasRutan, prevalensi HIV pada Warga Binaan Laki-laki yaitu 1,1 dan pada Warga Binaan Perempuan yaitu 6. Pada tahun 2010, hasil survey yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan KabupatenKota Jakarta dan Jawa Barat menyebutkan bahwa, Prevalensi HIV pada WBP selama 2 tahun terakhir menunjukkan hasil yang sangat bervariasi, yakni 1 hingga 32 di Lapas Narkotika Cipinang dan 30 LapasRutan lainnya. Menurut laporan estimasi dari Kementerian Kesehatan RI tahun 2009, memperkirakan bahwa terdapat 140.000 WBP di Indonesia dimana sekitar 5000 WBP atau 3,6 WBP telah terinfeksi HIV. Estimasi prevalensi tersebut 24 kali lebih tinggi dari estimasi prevalensi HIV pada populasi umum di Indonesia. Prevalensi HIV yang relatif tinggi pada WBP di beberapa LapasRutan menyebabkan populasi tersebut sudah harus diperhitungkan dalam estimasi jumlah populasi dewasa rawan tertular HIV. Berdasarkan penelitian tersebut, juga diketahui bahwa faktor risiko yang memiliki hubungan yang bermakna dengan infeksi HIV pada narapidana laki ‐laki adalah riwayat pemakaian napza suntik dan pada narapidana perempuan adalah hasil tes antibodi sifilis positif dan riwayat penyalahgunaan napza. Prevalensi HIV pada narapidana perempuan yang pernah menggunakan napza suntik yaitu sebesar 12, yang berarti hampir 2 kali lebih tinggi dibandingkan narapidana laki ‐laki yaitu sebesar 6,7.

2.2.2 Program perawatan dan pengobatan HIVAIDS

Dalam upaya pencegahan dan penanggulangan penularan HIVAIDS di LapasRutan di Indonesia, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menetapkan Strategi Nasional Penanggulangan HIVAIDS dan Penyalahgunaan Narkoba di LapasRutan di Indonesia. Strategi nasional tersebut memiliki tiga pilar utama yaitu Jenderal Pemasyarakatan, 2007 : 1. Penegakan hukum dan bimbingan hukum Penegakan dan bimbingan hukum dilakukan agar jumlah pengguna narkoba baru di LapasRutan tidak bermunculan lagi. 2. Rehabilitasi dan pelayanan sosial Pelaksanaan tindakan rehabilitasi bagi narapidana dan tahanan untuk mencegah perluasan kasus narkoba baru dan penularan HIVAIDS. 3. Pencegahan dan perawatan Kegiatan pencegahan dan perawatan dilakukan dengan memperbaiki dan memberikan layanan kesehatan yang layak dan berkualitas bagi narapidana dan tahanan secara umum dan khususnya bagi warga binaan yang terinfeksi HIVAIDS. Pemenuhan kebutuhan layanan klinis yang berkualitas di LapasRutan diawali dengan pelaksanaan konseling dan tes HIV VCT yang bertujuan untuk meningkatkan penemuan dini HIV. Setelah dilakukan VCT kepada seluruh warga binaan selanjutnya dilaksanakan perawatan, dukungan dan pengobatan CST bagi warga binaan yang terbukti terinfeksi HIV. Adapun komponen perawatan berkesinambungan yang diselenggarakan di LapasRutan yaitu sebagai berikut : a. Konseling dan Test HIV VCT b. Manajemen Kasus HIVAIDS c. Perawatan dan Pengobatan d. PMTCT Prevention of Mother to Child Transmission e. Diagnosis dan Terapi IMS Infeksi Menular Seksual

2.3 Cascade of CareTreatment Cascade

Cascade of careTreatment Cascade adalah sistem pengolahan dan penyajian data untuk memonitor jumlah individu yang hidup dengan HIV yang menerima perawatan medis dan perawatan pendukung yang dibutuhkan. Pengembangan cascade of caretreatment cascade digunakan untuk mengetahui berbagai langkah yang diperlukan untuk semua orang yang membutuhkan perawatan HIV agar tetap mengikuti perawatan dan pengobatan HIV dari tahap awal yaitu sejak VCT hingga terapi ARV AmfAR, 2013. Sistem ini dapat memperlihatkan kecenderungan seseorang dalam mengikuti perawatan dan pengobatan HIVAIDS dimana dapat dilihat sejak dilakukan VCT hingga terapi ARV untuk menekan virus cenderung terjadi penurunan. Langkah-langkah perawatan dan pengobatan HIVAIDS yang terdapat di dalam cascade of care yaitu sebagai berikut AmfAR, 2013 : 1. Pelaksanaan VCT, pengujian dan diagnosis Pelaksanaan VCT, pengujian, dan diagnosis wajib dilakukan terlebih dahulu, untuk memastikan apakah seseorang terinfeksi HIVAIDS 2. Mendapatkan perawatan awal Setelah seseorang mengetahui telah terinfeksi HIV, penting untuk segera mengakses pelayanan kesehatan HIVAIDS untuk diberikan konseling dan informasi mengenai cara pencegahan penularan HIVAIDS kepada orang lain. 3. Mendapatkan perawatan medis lanjutan Karena belum ditemukan obat untuk menyembuhkan HIVAIDS, maka pengobatan HIV merupakan pengobatan seumur hidup. Untuk tetap sehat, seseorang perlu untuk menerima perawatan medis HIV secara rutin. 4. Terapi ARV Terapi ARV dilakukan untuk dapat menurunkan jumlah virus di dalam tubuh. Terapi ARV ini wajib dilakukan untuk memperpanjang umur harapan hidup dan meningkatkan kualitas hidup ODHA. 5. Pencapaian jumlah virus yang semakin sedikit di dalam tubuh Dengan melakukan terapi ARV secara teratur, konsisten dan patuh, penurunan jumlah virus tersebut dapat membantu menjaga ODHA tetap sehat, membantu ODHA hidup lebih lama, mencegah penularan HIV kepada orang lain.

2.4 Program VCT dan CST