35
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa artefak di bidang kebudayaan dan berbau kolonial dari empat cerpen di atas didominasi oleh celurit. Dua
cerpen dengan judul “Eppak” karya Mahwi Air Tawar dan “Arek Lancor” karya Muna Masyari ditemukan artefak di bidang kebudayaan dan berbau
kolonial yaitu lincak. Berdasarkan tabel tersebut, celurit menjadi pokok gagasan yang lebih
banyak disinggung dalam keempat cerpen di atas. Keberadaan celurit melihat banyaknya respons seorang pengarang ke dalam sebuah cerita fiksi tentu
memiliki banyak tafsir atas sejarah dan wujud-wujud keberadaannya di masyarakat. Respons tersebut tidak berangkat dari kekosongan gagasan
seorang pengarang Damono, 2015:1—sebagaimana yang dibincangkan dalam Pengantar Sosiologi Sastra karya Sapardi Djoko Damono. Tidak
menutup kemungkinan, para pengarang memiliki banyak asumsi kreatif mengenai celurit, Madura dan masyarakat di dalamnya.
2. Identitas Budaya Madura dalam Cerpen Indonesia
Upaya penemuan artefak budaya yang berbau kolonial sudah ditemukan. Berangkat dari temuan-temuan yang ada, keempat cerpen pada
objek penelitian ini akan ditinjau sebagai teks orientalis. Keempat cerpen tersebut dimaksudkan sebagai sebuah bentuk tulisan, sebuah perspektif,
pendidikan, sejarah atau budaya yang telah diorientasikan dan memiliki andil atas, pertama kepentinganpolitik; kedua ideologi; ketiga perspektif.
36
Untuk menemukan identitas budaya Madura tersebut, terdapat tiga pokok pisau analisis yang akan dilihat dari teks-teks pada keempat cerpen
sebagai bagian pascakolonialitas. Pertama yaitu kepentinganpolitik; formasi di dalam keempat cerpen tersebut berujung pada titik di mana sebuah teks
berbicara harga diri laki-laki yang dibela, dan teks yang berbicara emansipasi terhadap perempuan. Kedua yaitu ideologi; melalui seorang tokoh dalam
keempat cerpen tersebut teks-teks memiliki wacana yang membawa paham seperti pembelaan atas penindasan. Ketiga yaitu perspektif; di dalam keempat
cerpen tersebut yang menggoda adalah spirit religiusitas sebagai sebuah perspektif masyarakat Madura pascakolonial.
Bentuk-bentuk pembelaan atas penindasan yang ditemukan meliputi kesadaran diri atas kondisi-kondisi sosial yang menjatuhkan martabat
keluarga, penindasan terhadap diri sendiri, penindasan terhadap keluarga dan keyakinan atas martabat tentang anggapan bahwa keluarga merupakan harga
yang harus dibayar dengan nyawa. Menjunjung harga diri laki-laki adalah keyakinan bahwa harga diri laki-laki harus disetarakan dengan cara
melakukan carok, kesadaran atas perbuatan harus diberi imbalan dengan proses penghukuman baik secara sosial maupun moral. Spirit religiusitas
yaitu keyakinan bahwa dalam carok peran Tuhan merupakan salah satu usaha yang wajib dipenuhi, dan tuhan memiliki peran yang signifikan bagi orang
yang hendak melakukan carok. Emansipasi untuk perempuan dikarenakan perempuan merupakan satu-satunya harga dirimartabat yang dimiliki oleh
laki-laki suami dan keberadaannya wajib dilindungi dan diperjuangkan
37
walau nyawa taruhannya. Secara lebih terperinci uraian tersebut akan disajikan dalam bentuk tabel seperti di bawah ini.
Tabel 2. Identitas Budaya Madura dalam Cerpen Indonesia
Identitas Budaya
Dimensi Orientalisme
Konteks Cerita
Judul Cerpen
Harga Diri Laki-laki
yang Dibela
Emansipasi terhadap
Perempuan Politik
Politik Istri Lubanjir menyerahkan pisau
kepada anaknya. Pisau tersebut dimaksudkan untuk balas dendam
karena suaminya, Lubanjir ingin menikah kembali dengan adiknya.
Seusai carok, Muksin berencana akan memasrahkan diri kepada
polisi. Dengan begitu, ia mendapat perlindungan atas perbuatannya
ketika berhasil menumpaskan musuh.
Anak Lubanjir menemui Lubanjir untuk balas dendam atas kematian
adik ibu kandungnya.
Madeli, suami Raona, menantang carok kepada Tabri, lelaki yang
telah menggona istrinya di pasar. “Eppak”
“Carok”
“Eppak”
“Air Mata Raona”
Pembelaan atas
Penindasan Ideologi
Sakduh menggantungkan celurit di dekat jam dinding temboknya.
Banyak pelanggan warung nasi ibunya yang kerap menggoda.
Ketika lelaki nakal mencolek pantat ibunya, Sakduh akan datang sesuai
kode yang disepakati antara ibunya dan Sakduh.
Muksin mengurai tuntas kronologi musibah yang menimpa
keluarganya. Dimulai dengan kasus Talhah yang membunuh Surahwi
delapan tahun yang lalu. Sebagai bagian dari keluarga, Muksin
merasa memiliki “kewajiban” melakukan carok balasan.
“Arek Lancor”
Carok”
38 Spirit
Religiusitas Perspektif
Celurit, oleh orang Madura, adalah barang mistik yang harus dirawat
melalui berbagai ritual. Ayah Sakduh setiap malam Jumat
mengasah celuritnya dan disempu di atas kepulan dupa.
Ibu sering melakukan sholat dan merapalkan mantra, untuk
kemudian, sambil bibirnya komat- kamit, ia mengambil sebilah pisau
dari kolong lincak.
Muksin dilumuri mantra oleh Ke Malhum, dengan bacaan-bacaan
yang tak dimengerti, di antaranya nyalateng dan nyepet, suatu mantra
yang disematkan ke dalam tubuh. “Arek
Lancor”
“Eppak”
“Carok”
B. Pembahasan