BAB II WEWENANG DAN TANGGUNG JAWAB DIREKSI DALAM PRINSIP CORPORATE OPPORTUNITY YANG DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS

(1)

BAB II

WEWENANG DAN TANGGUNG JAWAB DIREKSI DALAM PRINSIP

CORPORATE OPPORTUNITY YANG DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG

NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS

A. ORGAN PERSEROAN TERBATAS

Ketentuan-ketentuan yang memuat persyaratan konstitutif badan hukum dapat ditemukan dalam anggaran dasar dan/ atau peraturan perundang-undangan yang menunjuk orang-orang yang mana yang dapat bertindak untuk dan atas nama tanggung jawab badan hukum.41 Orang-orang tersebut disebut sebagai organ badan yang merupakan suatu esensial organisasi itu.42

Menurut ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyebutkan:

“Organ Perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham; Direksi; dan Dewan Komisaris.”

Jadi, Organ Perseroan Terbatas terbagi atas 3 (tiga) bagian antara lain sebagai berikut:

a. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)

Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang dimaksud dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakankan:

        41

Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang, (Yogyakarta : FH UII Press, 2006), hal. 49. 42

Ali Ridho, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan Koperasi, Yayasan, Wakaf, (Bandung : Alumni, 1986), hal. 17.


(2)

“Rapat Pemegang Umum Saham yang selanjutnya disebut RUPS, adalah organ perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan undang-undang ini dan/ atau anggaran dasar.”

1. Kedudukan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)

Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) mempunyai segala wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau komisaris dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang perseroan dan anggaran dasar. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) berhak memperoleh segala keterangan yang berkaitan dengan kepentingan perseroan dari Direksi dan atau komisaris. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) diadakan ditempat kedudukan perseroan atau tepat perseroan melakukan kegiatan usahanya, kecuali ditentukan lain dalam anggaran dasar, tempat tersebut harus terletak di wilayah Negara Republik Indonesia.43

Setiap pemegang saham mempunyai hak untuk menghadiri Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Undang-Undang Perseroan pada masa modern mengatur ketentuan yang mengatur ketentuan yang menegaskan hak tersebut. Begitu juga dengan Anggaran Dasar (AD) Perseroan, mengatur ketentuan Perseroan harus mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) paling tidak satu kali satu tahun. Pada dasarnya, dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) pemegang saham melakukan kontrol atas jalannya kepengurusan Perseroan yang dilakukan

        43


(3)

Direksi.44 Di dalam perseroan, jabatan pemegang saham bukanlah pemegang kedaulatan tertinggi namun acapkali digunakan untuk mempengaruhi kebijakan perseroan. Sehingga di dalam perseroan seharusnya peegang saham tidak mempunyai kekuasaan sama sekali (di luar forum), namun para pemegang saham baru mempunyai kekuasaan atas Peseroan Terbatas (PT), apabila mereka dalam suatu ruangan pertemuan atau forum yang dinamakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).45

Batas-batas dan ruang lingkup kewenangan yang dapat dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam suatu Perseroan Terbatas (PT), antara lain sebagai berikut:

1. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tidak dapat mengambil keputusan yang bertentangan dengan hukum yag berlaku dan ketentuan dalam anggaran dasarnya (meskipun anggaran dasar dapat diubah oleh Pemegang Umum Saham (RUPS) asal memenuhi syarat untuk itu).

2. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tidak boleh mengambil keputusan yang bertentangan dengan kepentingan yang dilindungi oleh hukum, yaitu kepentingan stakeholders, seperti pemegang saham minoritas, karyawan, kreditor, masyarakat sekitar dan lain sebagainya.

        44

M. Yahya Harahap, Op. Cit, hal. 305, yang dikutip dari James D. Cox, Thomas Lee Hazen, Hedge O’ Neal, Corporations, Alpen Law & Business, 1977, hal. 306.

45


(4)

3. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tidak boleh mengambil keputusan yang merupakan kewenangan Direksi dan Dewan Komisaris, sejauh kedua organ perusahaan tersebut tidak menyalahgunakan kewenangannya.46

2. Kewenangan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)

Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) memiliki beberapa kewenangan, antara lain sebagai berikut:

a. Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tentang perubahan anggaran dasar yang ditetapkan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

b. Pasal 38 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tentang pembelian kembali saham atau pengalihannya hanya boleh dilakukan berdasarkan persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. c. Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas tentang penambahan modal perseroan dilakukan dengan persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

d. Pasal 44 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tentang pengurangan modal perseroan.

        46

Munir Fuady, Perlindungan Pemegang Saham Minoritas, (Bandung : CV Utomo, 2005), hal. 126-127.


(5)

e. Pasal 64 Undang–Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tentang memberikan persetujuan laporan tahunan dan pengesahan laporan keuangan atau perhitungan keuangan

f. Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tentang persetujuan laporan tahunan termasuk pengesahan laporan keuangan serta laporan tugas pengawasan dewan komisaris dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

g. Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tentang penggunaan laba bersih termasuk penentuan jumlah penyisihan untuk cadangan diputuskan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

h. Pasal 105 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tentang penetapan mengenai penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan. i. Pasal 123 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

tentang penetapan pembubaran perseroan.

3. Bentuk Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)

Menurut Pasal 78 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyebutkan:

1. RUPS terdiri atas RUPS tahunan dan RUPS lainnya.

2. RUPS tahunan wajib diadakan dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku berakhir.

3. Dalam RUPS tahunan, harus diajukan semua dokumen dari laporan tahunan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2).

4. RUPS lainnya dapat diadakan setiap waktu berdasarkan kebutuhan untuk kepentingan Perseroan.


(6)

a. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan (annual general meeting) Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tahunan bertujuan memberikan penilaian dan pengambilan keputusan atas laporan Direksi mengenai kegiatan Perseroan Terbatas dan hasil-hasilnya pada tahun yang lalu dan rencana kegiatan tahun berikutnya. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tahunan wajib diadakan dalam jangka waktu paling lambat enam bulan setelah tahun buku berakhir. Dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tahunan harus diajukan semua dokumen dari laporan tahunan perseroan.

b. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) lainnya (RUPS luar biasa/extraordinary general meeting)

Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) luar biasa bertujuan untuk membahas dan mengambil keputusan atas masalah-masalah yang timbul mendadak dan memerlukan penanganan segera maka akan menghambat operasionalisasi Perseroan Terbatas. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) lainnya ini dapat diadakan setiap waktu berdasarkan kebutuhan untuk kepentingan perseroan.

b. Direksi

Direksi merupakan salah satu organ penting dalam kepengurusan dan kepentingan perseroan. Persyaratan sebagai Direksi merupakan suatu hal atau ketentuan yang harus dipenuhi dan bersifat penting dalam suatu perseroan terbatas, sehingga Direksi yang dipilih dan diangkat dapat diharapkan menjalankan dan


(7)

memenuhi tujuan dan maksud perseroan nantinya. Bila di lihat dari pengaturan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), tidak terdapat pengaturan mengenai persyaratan untuk menjadi Direksi dalam suatu Perseroan. Sedangkan, didalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengatur secara tegas mengenai suatu persyaratan yang harus dipenuhi menjadi Direksi dalam suatu Perseroan Terbatas.

Untuk pertama kalinya, diangkat oleh para pendiri, hal mana disebutkan dalam akta pendirian. Selanjutnya, diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).48

Direksi merupakan pengurus perseroan yang bertindak untuk dan atas nama perseroan. Dengan kata lain, Direksi adalah dewan direktur yang dapat terdiri dari satu atau beberapa orang direktur. Oleh karena itu, bila Direksinya terdiri dari beberapa orang maka salah satunya menjadi direkstur utama atau presiden direktur sedangkan yang lain menjadi direktur atau wakil direktur. Perseroan yang kegiatan usahanya berkaitan dengan menghimpun dana dan/ atau mengelola dana masyarakat, perseroan yang menerbitkan surat pengakuan utang kepada masyarakat, atau perseroan terbuka wajib mempunyai paling sedikit dua orang anggota Direksi. Dalam hal Direksi terdiri atas dua anggota Direksi atau lebih, pembagian tugas dan wewenang pengurusan di antara anggota Direksi ditetapkan berdasarkan Rapat Umum Pemegang saham (RUPS).

        48

C. S. T. Kansil dan Christine S. T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia, Aspek Hukum dalam Ekonomi, (Jakarta : Pradnya Paramita, 2005), hal. 101.


(8)

1. Pengertian Direksi

Pengertian Direksi yang dimaksud dapat di lihat dalam Pasal 1 ayat 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyatakan bahwa Direksi adalah:

“ organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.”

Sehingga, Direksi dapat dikatakan sebgai perwakilan daripada perseroan. Perwakilan adalah tindakan atau perbuatan yang dilakukan seseorang untuk kepentingan orang atau pihak lain, serta untuk dan atas nama pihak tersebut.49

2. Syarat-Syarat Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Direksi

Pertama kali, pengangkatan anggota Direksi telah dicantumkan didalam Akta Pendirian Perseroan Terbatas, hal ini dapat di lihat dalam Pasal 8 ayat 2 huruf b Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan:

“ nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal, kewarganegaraan anggota Direksi dan Dewan Komisaris yang pertama kali diangkat.”

        49

Gunawan Widjaja, 150 Tanya Jawab tentang Perseroan Terbatas, (Jakarta : Forum Sahabat, 2008), hal. 63.


(9)

Hal ini merupakan suatu kebiasaan yang menjadi ketentuan umum dalam suatu akta pendirian Perseroan Terbatas yang memuat susunan dan nama anggota Direksi yang pertama kali memimpin Perseroan Terbatas sejak didirikan, dan Anggaran Dasar (AD), memuat ketentuan mengenai cara pemilihan, pengangkatan, penggantian dan pemberhentian anggota Direksi dan Komisaris.

Direksi merupakan organ perseroan yang bertanggung jawab dan yang bertugas untuk melaksanakan dan menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan, serta Direksi merupakan perwakilan perseroan baik di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan.

Setiap anggota Direksi wajib dengan itikad baik (in good faith) dan penuh tanggung jawab (full sense of responbility) menjalankan tugas untuk kepentingan perseroan. apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya, maka ia bertanggung jawab penuh secara pribadi.50

Berdasarkan ketentuan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyebutkan:

1. Yang dapat diangkat menjadi anggota Direksi adalah orang perseorangan yang cakap melakukan perbuatan hukum, kecuali dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatannya pernah:

a. dinyatakan pailit;

b. menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris yang dinyatakan bersalah

c. menyebabkan suatu Perseroan dinyatakan pailit; atau dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dan/atau yang berkaitan dengan sektor keuangan.

        50


(10)

2. Ketentuan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi kemungkinan instansi teknis yang berwenang menetapkan persyaratan tambahan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

3. Pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dibuktikan dengan surat yang disimpan oleh Perseroan.

Adapun kegunaan dari ketentuan persyaratan pengangkatan Direksi ini untuk membantu dalam usaha pengelolaan perseroan terbatas ecara sehat untuk mencapai tujuan pendirian perseroan terbatas. Dan yang mengangkat anggota Direksi adalah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).51

Ketentuan mengenai pengangkatan Direksi oleh RUPS ini tidak ditemukan secara tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), tetapi terdapat suatu ketentuan Pasal 44 KUHD yang menyebutkan:

’ Tiap-tiap Perseroan Terbatas harus diurus oleh beberapa pengurus, kawan-kawan peserta atau lain-lainnya semua itu harus diangkat oleh para pesero, dengan atau tidak mendapat upah, dan dengan atau tidak dengan diawasi oleh beberapa Komisaris.”

Mengenai pemberhentian Direksi dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 105 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang berbunyi:

1. Anggota Direksi dapat diberhentikan sewaktu-waktu berdasarkan keputusan RUPS dengan menyebutkan alasannya.

2. Keputusan untuk memberhentikan anggota Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diambil setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri dalam RUPS.

3. Dalam hal keputusan untuk memberhentikan anggota Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan keputusan di luar RUPS sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91, anggota Direksi

        51

Pasal 94 ayat 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Lembaran Negara Nomor 106 Tahun 2007, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4756.


(11)

yang bersangkutan diberi tahu terlebih dahulu tentang rencana pemberhentian dan diberikan kesempatan untuk membela diri sebelum diambil keputusan pemberhentian.

4. Pemberian kesempatan untuk membela diri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diperlukan dalam hal yang bersangkutan tidak berkeberatan atas pemberhentian tersebut.

5. Pemberhentian anggota Direksi berlaku sejak:

a. ditutupnya RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1); b. tanggal keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3);

c. tanggal lain yang ditetapkan dalam keputusan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1); atau

d. tanggal lain yang ditetapkan dalam keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

Anggota Direksi yang diberhentikan terlebih dahulu diberikan kesempatan untuk membela diri didepan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Pemberhentian terhadap Direksi ada dua macam pemberhentian anggota Direksi, yaitu:

1. Pemberhentian (seterusnya)

Pemberhentian itu dengan didasarkan alasan yang sudah jelas. Sudah tentu pemberhentian tersebut ada kaitannya dengan kesalahan yang dilakukan oleh anggota Direksi yang bersangkutan. Kesalahan anggota Direksi tidak terlepas dari ketentuan menjalankan tugasnya dengan itikad baik dan tidak/kurang bertanggung jawab terhadap kepentingan dan usaha perseroan.52 Dalam pemberhentian ini, RUPS dapat memberhentikan Direksi tanpa menunggu pembelaan dari Direksi, apabila Direksi tidak menghadiri Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

2. Pemberhentian Sementara

Pemberhentian yang didasarkan untuk sementara waktu. Karena sifatnya sementara, maka pemberhentian itu nantinya dengan keputusan Rapat Umum

        52


(12)

Pemegang Saham (RUPS) dapat berakibat anggota Direksi bersangkutan dapat bekerja kembali menjalankan tugasnya atau diberhentikan seterusnya.53

Dalam pemberhentian sementara waktu ini tidak selalu dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), namun dapat dilakukan oleh Dewan Komisaris dengan menyebutkan alasannya.54 Pemberhentian sementara tersebut dapat ditolak atau diterima menjadi pemberhentian tetap oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).55

Selain karena pemberhentian oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), seorang Direksi dapat berhenti dari jabatannya karena sebab-sebab sebagai berikut: a. Masa jabatannya telah berakhir dan tidak lagi diangkat untuk masa jabatan

berikutnya.

b. Berhenti atas permintaaan direktur yang bersangkutan, dengan atau sebab apapun. c. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Direksi sebagimana diatur dalam anggaran

dasar atau dalam perundang-undangan yang berlaku. d. Direktur secara pribadi dinyatakan pailit oleh pengadilan.

e. Sakit terus-menerus yang dapat menghambat pelaksanaan tugas direktur.

f. Menderita tekanan mental atau gangguan jiwa yang dapat menghambat pelaksanaan tugas direktur.

        53

Ibid, hal. 93. 54

Pasal 106 ayat 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Lembaran Negara Nomor 106 Tahun 2007, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4756.

55


(13)

g. Dihukum penjara karena bersalah dalam waktu yang relatif lama sehingga dapat menghambat pelaksanaan tugas direktur.

h. Meninggalkan tugas atau menghilang tanpa berita secara terus menerus.56

3. Kewajiban Direksi Perseroan

Secara umum kewajiban Direksi adalah mengurus dan mengelola perseroan, dan mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Anasitus Amanat, membagi kewajiban Direksi dalam dua kategori, yaitu:57

1. Kewajiban yang berkaitan dengan perseroan.

2. Kewajiban yang berkaitan dengan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Ada beberapa kewajiban Direksi apabila ditinjau dari Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, antara lain sebagai berikut:

a. Dalam Pasal 100 ayat (1) Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan:

“Direksi wajib:

a. membuat daftar pemegang saham, daftar khusus, risalah RUPS, dan risalah rapat Direksi;

b. membuat laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 dan dokumen keuangan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang Dokumen Perusahaan; dan

c. memelihara seluruh daftar, risalah, dan dokumen keuangan Perseroan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b dan dokumen Perseroan lainnya.”

        56

Ibid, hal 62. 57

Anasitus Amanat, Pembahasan Undang-Undang Perseroan Terbatas 1995 dan Penerapannya Dalam Akta Notaris (Jakarta : Rajawali pers, 1996), hal. 130-132.


(14)

b. Dalam Pasal 101 ayat (1) Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan:

“Anggota Direksi wajib melaporkan kepada Perseroan mengenai saham yang dimiliki anggota Direksi yang bersangkutan dan/atau keluarganya dalam Perseroan dan Perseroan lain untuk selanjutnya dicatat dalam daftar khusus.” c. Dalam Pasal 102 ayat (1) Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang

Perseroan Terbatas yang menyatakan:

“Direksi wajib meminta persetujuan RUPS untuk: a. mengalihkan kekayaan Perseroan; atau

b. menjadikan jaminan utang kekayaan Perseroan;

yang merupakan lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kekayaan bersih Perseroan dalam 1 (satu) transaksi atau lebih, baik yang berkaitan satu sama lain maupun tidak.”

c. Dewan Komisaris

Pengertian Dewan Komisaris yang dimaksud dapat di lihat dalam Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyatakan bahwa Dewan Komisaris adalah:

“Dewan Komisaris adalah Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi.”

Komisaris sebagai organ disebut sebgai Dewan Komisaris, dan komisaris sebagai orang perorangan disebut sebagai anggota komisaris.


(15)

Mengenai pengangkatan dan persyaratan yang harus dipenuhi orang perorangan untuk diangkat menjadi dewan komisaris dapat di lihat dalam Pasal 110 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyebutkan:

1. Yang dapat diangkat menjadi anggota Dewan Komisaris adalah orang perseorangan yang cakap melakukan perbuatan hukum, kecuali dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatannya pernah:

a. dinyatakan pailit;

b. menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu Perseroan dinyatakan pailit; atau

c. dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dan/atau yang berkaitan dengan sektor keuangan.

2. Ketentuan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi kemungkinan instansi teknis yang berwenang menetapkan persyaratan tambahan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

3. Pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dibuktikan dengan surat yang disimpan oleh Perseroan.

Anggota Dewan Komisaris diangkat oleh RUPS. Untuk pertama kali pengangkatan anggota Dewan Komisaris dilakukan oleh pendiri dalam akta pendirian dan diangkat untuk jangka waktu tertentu dan dapat diangkat kembali. Dalam Anggaran Dasar perseroan mengatur tata cara pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Dewan Komisaris serta dapat juga mengatur tentang pencalonan anggota Dewan Komisaris. Keputusan RUPS mengenai pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Dewan Komisaris juga menetapkan saat mulai berlakunya pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian tersebut. Dalam hal RUPS tidak menentukan saat mulai berlakunya pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Dewan Komisaris, pengangkatan, penggantian, dan


(16)

pemberhentian mulai berlaku sejak ditutupnya RUPS. Dalam hal terjadi pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Dewan Komisaris, Direksi wajib memberitahukan perubahan tersebut kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar Perseroan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal keputusan RUPS tersebut. Dalam hal pemberitahuan sebagaimana dimaksud diatas, Menteri dapat menolak setiap pemberitahuan tentang perubahan susunan Dewan Komisaris selanjutnya yang disampaikan kepada Menteri oleh Direksi.58

Pengangkatan anggota Dewan Komisaris yang tidak memenuhi persyaratan memiliki konsekuensi batal karena hukum sejak saat anggota Dewan Komisaris lainnya atau Direksi mengetahui tidak terpenuhinya persyaratan tersebut. Anggota Dewan Komisaris lainnya yang dimaksud adalah anggota Dewan Komisaris di luar anggota Dewan Komisaris yang pengangkatannya batal. Dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak diketahui, Direksi harus mengumumkan batalnya pengangkatan anggota Dewan Komisaris yang bersangkutan dalam surat kabar dan memberitahukannya kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar Perseroan. Perbuatan hukum yang telah dilakukan oleh anggota Dewan Komisaris untuk dan atas nama Dewan Komisaris sebelum pengangkatannya batal, tetap mengikat dan menjadi tanggung jawab Perseroan.59

        58

Pasal 111 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Lembaran Negara Nomor 106 Tahun 2007, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4756.

59

Pasal 112 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Lembaran Negara Nomor 106 Tahun 2007, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4756.


(17)

2. Fungsi dan Kewajiban Dewan Komisaris

Dewan Komisaris melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai Perseroan maupun usaha Perseroan, dan memberi nasihat kepada Direksi. Pengawasan dan pemberian nasihat sebagaimana dimaksud diatas dilakukan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan, yakni pengawasan dan pemberian nasihat yang dilakukan oleh Dewan Komisaris tidak untuk kepentingan pihak atau golongan tertentu, tetapi untuk kepentingan Perseroan secara menyeluruh dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.

Dewan Komisaris terdiri atas 1 (satu) orang anggota atau lebih. Dewan Komisaris yang terdiri atas lebih dari 1 (satu) orang anggota merupakan majelis dan setiap anggota Dewan Komisaris tidak dapat bertindak sendiri-sendiri, melainkan berdasarkan keputusan Dewan Komisaris. Terdapat perbedaan yang sangat jelas diantara anggota Direksi dan Dewan Komisaris, dimana anggota Direksi bertindak sendiri-sendiri dalam menjalankan tugas sebagai Direksi, sedangkan Dewan Komisari tidak dapat bertindak secara sendiri-sendiri dalam menjalankan tugas Dewan Komisaris, kecuali berdasarkan keputusan Dewan Komisaris.

Perseroan yang kegiatan usahanya berkaitan dengan menghimpun dan/atau mengelola dana masyarakat, Perseroan yang menerbitkan surat pengakuan utang kepada masyarakat atau Perseroan Terbuka wajib mempunyai paling sedikit 2 (dua)


(18)

orang anggota Dewan Komisaris.54 Artinya Perseroan Terbuka memerlukan pengawasan dengan jumlah anggota dewan Komisaris yang lebih besar karena menyangkut kepentingan masyarakat.

Kewajiban Dewan Komisaris di atur dalam Pasal 116 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyebutkan:

Dewan Komisaris wajib:

a. membuat risalah rapat Dewan Komisaris dan menyimpan salinannya; b. melaporkan kepada Perseroan mengenai kepemilikan sahamnya dan/atau

keluarganya pada Perseroan tersebut dan Perseroan lain; dan

c. memberikan laporan tentang tugas pengawasan yang telah dilakukan selama tahun buku yang baru lampau kepada RUPS.

3. Kewenangan Dewan Komisaris

Kewenangan Dewan Komisaris berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas terbagi atas beberapa bagian antara lain: 1. Dalam Pasal 106 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang

Perseroan Terbatas yang menyebutkan:

“Anggota Direksi dapat diberhentikan untuk sementara oleh Dewan Komisaris dengan menyebutkan alasannya. Artinya Dewan Komisaris memiliki kewenangan untuk memberhentikan Direksi untuk sementara.”

2. Dalam Pasal 106 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyebutkan:

        54

Pasal 108 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Lembaran Negara Nomor 106 Tahun 2007, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4756.


(19)

1. Berdasarkan anggaran dasar atau keputusan RUPS, Dewan Komisaris dapat melakukan tindakan pengurusan Perseroan dalam keadaan tertentu untuk jangka waktu tertentu.

2. Dewan Komisaris yang dalam keadaan tertentu untuk jangka waktu tertentu melakukan tindakan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku semua ketentuan mengenai hak, wewenang, dan kewajiban Direksi terhadap Perseroan dan pihak ketiga.

Apabila Direksi tidak ada atau berhalangan karena suatu sebab, misalnya mempunyai benturan kepentingan dengan perseroan atau berhalangan, atau diberhentikan sementara, komisaris dapat bertindak sebagai pengurus yang dalam hal ini semua ketentuan mengenai hak, wewenang, dan kewajiban Direksi terhadap perseroan dan pihak ketiga berlaku untuk komisaris tersebut. 2. Dalam Pasal 121 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas yang menyebutkan:

a. Dalam menjalankan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108, Dewan Komisaris dapat membentuk komite, yang anggotanya seorang atau lebih adalah anggota Dewan Komisaris.

b. Komite sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada Dewan Komisaris.

Artinya Dewan Komisaris berwenang untuk membentuk komite, yang anggotanya seorang atau lebih adalah anggota Dewan Komisaris dan komite ini bertanggung jawab kepada Dewan Komisaris.

B. WEWENANG DAN TANGGUNG JAWAB DIREKSI PERSEROAN a. Wewenang Direksi Perseroan


(20)

Agar Direksi sebagai organ Perseroan yang mengurus Perseroan sehari-hari dapat mencapai prestasi terbesar untuk kepentingan Perseroan, maka ia harus diberi kewenangan-kewenangan tertentu untuk mencapai hasil yang optimal dalam mengurus Perseroan. Dari kewenangan yang diberikan, ia perlu diberi tanggung jawab untuk mengurus Perseroan. Hal ini berarti dalam membicarakan kewenangan Direksi, diperlukan pemahaman tentang tanggung jawabnya.61

Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Direksi harus bertolak dari landasan bahwa tugas dan kedudukan yang diperoleh oleh Direksi berdasarkan 2 (dua) prinsip dasar yaitu kepercayaan yang diberikan perseroan kepadanya (fiduciary duty) dan prinsip yang merujuk pada kemampuan serta kehati-hatian tindakan Direksi (duty of skill and care).62 Kedua prinsip ini menuntut Direksi untuk bertindak secara hati-hati dan disertai itikad baik, semata-mata untuk kepentingan dan tujuan perseroan. Pelanggaran terhadap kedua prinsip ini membawa konsekuensi yang berat bagi Direksi, karena Direksi dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara pribadi.

Suatu perbuatan hukum sangat bergantung pada dipenuhi atau tidaknya kewenangan yang dimilki oleh pihak yang melakukan perbuatan hukum tersebut. Kewenangan yang dimiliki oleh pihak yang melakukan perbuatan hukum tersebut. Kewenangan ini digolongkan ke dalam kewenangan yang berdasarkan pada:

        61

Nindyo Pramono, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 5 Nomor 3 Tahun 1997, hal. 15.

62

Chatamarrasjid Ais,Menyingkap Tabir Perseroan (Piercing The Corporate Veil) Kapita Selekta Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 71.


(21)

1. Kapasitas diri sendiri sebagai individu pribadi.

2. Kapasitas sebagai pemegang kuasa yang bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa.

3. Kapasitas untuk bertindak dalam jabatan yang dalam hal ini bertindak selaku yang berwenang berdasarkan jabatannya tersebut.63

Konsep kewenangan bertindak tersebut menjadi sangat penting, terutama pabila dihubungkan dengan konsekuensi hukum dari tidak terpenuhinya syarat subjektif sahnya suatu perjanjian. Hukum perjanjian pada lazimnya peraturan perundang-undangan yang berlaku mengancam setiap perbuatan hukum yang tidak memenuhi syarat subjektif ini, dengan ancaman kebatalan (dapat dibatalkan) setiap saat, selama masa daluarsa masih belum terlewati dan atau dalam perjanjian ini tidak diratifikasi lebih lanjut. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hak untuk membatalkan perjanjian yang demikian diberikan kepada mereka yag syarat subjektifnya tidak terpenuhi sebagaimana diatur dalam Pasal 1331 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).64

Menurut Sutjipto sebagaimana yang dikutip oleh Rachmadi Usman yang menyatakan bahwa:

“Pimpinan perseroan berikut usaha-usahanya berada di tangan Direksi. Kewenangan pengurusan meliputi semua perbuatan hukum yang tercakup dalam maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan sebagaiman dimuat dalam anggaran dasarnya. Dengan demikian, Direksi adalah organ melalui mana perseroan mengambil bagian dalam lalu lintas hukum sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan. Ini pula yang menjadi sumber kewenangan Direksi utnuk dan

        63

Ibid, hal. 118. 64


(22)

atas nama perseroan melakukan perbuatan-perbuatan hukum dengan pihak ketiga atau dengan kata lain, mewakili perseroan di dalam maupun di luar pengadilan. Kepengurusan oleh Direksi ini tidak terbatas pada memimpin dan menjalankan kegiatan rutin sehari-hari. Direksi berwenang dan wajib mengambil insiatif dan membuat rencana masa depan perseroan dalam rangka menwujudkan maksud dan tujuan perseroan. sebagaimana diketahui maksud dan tujuan perseroan merupakan batas ruang lingkup kecakapan bertindak perseroan. Dalam kaitan ini perlu diperhatikan bahwa kewnangna Direksi untuk melakukan perbuatan hukum atas nama perseroan tidak terbatas pada perbuatan hukum yang secara tegas disebut dalam maksud dan tujuan perseroan, melainkan jua perbuatan-perbuatan lainnya, yakni perbuatan-perbuatan yang menurut kebiasaan, kewajaran dan kepatutan dapat disimpulkan dari maksud dan tujuan perseroan serta berhubungan dengannya sekalipun perbuatan-perbuatan tersebut tidak secara tegas disebutkan di dalam rumusan maksud dan tujuan perseroan.”65

Dilihat tata cara dan prosedur bagaimana Direksi mendelegasikan kewenangan dalam mengurus perseroan, maka terdapat 3 (tiga) pendelegasian kewenangan, yaitu:

1. Pendelegasian kewenangan Direksi kepada anggota Direksi lainnya; 2. Pendelegasian kepada pegawai perseroan; dan

3. Pendelegasian kepada pihak di luar pegawai perseroan.

Dalam praktek, pembagian tugas dan wewenang anggota Direksi perseroan tidak ditetapkan dalam keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) secara tersendiri, tetapi yang lazim, Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) menetapkan anggaran dasar dan dalam anggaran dasar tersebut antara lain diatur mengenai pembagian tugas dan wewenang Direksi perseroan.

Dengan demikian, secara umum, pembagian tugas dan wewenang tersebut diusulkan oleh Direksi berdasarkan rapat Direksi dan tentunya memperhatikan

        65

Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, (Bandung : Alumni, 2004), hal. 166.


(23)

struktur organisasi perseroan. Oleh karena itu, pembagian, pembagian tugas dan wewenang anggota Direksi tersebut lazimnya disesuaikan dengan struktur organisasi perseroan.66

Wewenang Direksi yang lazim terdapat di dalam anggaran dasar perseroan, antara lain sebagai berikut:

1. Apabila pengeluaran saham-saham telah jatuh tempo dan masih diperlukan perpanjangan waktu, maka Direksi diberi wewenang untuk memohonkan perpanjangan waktu kepada pemerintah, dalam hal ini Menteri Kehakiman;

2. Apabila dalam waktu satu bulan setelah Direksi memberitahukan pengeluaran saham-saham tersebut tidak ada yang membelinya, maka Direksi dengan persetujuan komisaris mempunyai wewenang untuk menjual saham-saham itu kepada siapa saja;

3. Direksi bersama-sama dengan dewan komisaris berwenang untuk menandatangani surat-surat saham;

4. Bila ada surat saham atau talon yang rusak hingga tidak dapat dipakai lagi maka Direksi berwenang untuk mengeluarkan duplikatnya atas permintaan yang berkepentingan setelah aslinya dimusnahkan oleh Direksi di hadapan yang berkepentingan tersebut.

5. Demikian pula apabila surat saham atau talon yang asli tadi hilang, maka dengan bukti yang cukup serta jaminan-jaminan yang dianggap perlu, Direksi mempunyai wewenang untuk memberikan duplikatnya;

        66


(24)

6. Direksi mempunyai wewenang untuk menahan keuntungan-keuntungan atas saham dan melarang mengeluarkan suara atas saham tersebut, jika ternyata dalam suatu pemindahan hak, tidak terpenuhi kewajiban-kewajibannya;

7. Direksi atas tanggung jawabnya sendiri diberi kewenangan untuk mengangkat seorang kuasa atau lebih dengan syarat-syarat dan kekuasaan yang ditentukan secara tertulis;

8. Direksi mempunyai wewenang mewakili pereroan si muka dan di luar pengadilan serta berhak untuk melakukan perbuatan pengurusan dan pemilikan atau penguasaan (beheer en beschkking) dengan batasan-batasan tertentu;

9. Mempunyai wewenang memimpin dan mengetuai Rapat Umum pemegang Saham (RUPS);

10.Mempunyai wewenang untuk mengadakan rapat umum luar biasa pemegang saham setiap waktu bila dipandang perlu;

11.Mempunyai wewenang untuk menandatangani notulen rapat, jika notulen tidak dibuat dengan proses verbal notaris.67

Besarnya kewenangan yang diberikan kepada Direksi tidak berarti kewenangan Direksi tanpa batas. Kewenangan Direksi dibatasi oleh kewenangan bertindak secara intern, baik yang bersumber pada doktrin hukum maupun yang bersumber pada peraturan yang berlaku, termasuk anggaran dasar perseroan.

Batasan tersebut antara lain adalah adanya doktrin Ultra Vires, yang menyatakan bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan di luar kewenangan dari

        67


(25)

Direksi tersebut. Apabila Direksi telah melanggar ketentuan kewenangannya sebagaiman yang telah dinyatakan dalam anggaran dasar perseroan, maka Direksi telah melakukan pelanggaran terhadap prinsip ultra vires dan dengan demikian Direksi harus mempertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukannya sampai dengan mengikutsertakan harta pribadi Direksi tersebut.

Pihak ketiga yang berhubungan usaha dengan perseroan tersebut tetap sah dan dilindungi tanpa memperhatikan ultra vires. Misalnya, terdapat suatu ketentuan yang disebutkan dalam anggaran dasar bahwa dalam melakukan suatu perbuatan hukum, seperti perjanjian kerjasama tertentu dengan pihak lain harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan tertulis dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), namun dalam kenyataan yang terjadi (prakteknya), Direksi tersebut telah melakukan perjanjian kerjasama tersebut tanpa meminta persetujuan tertulis atau memperoleh izin dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), maka akibat hukum yang ditimbulkan dari perbuatan yang dilakukan oleh Direksi tersebut secara intern telah melakukan pelanggaran asas ultra vires tersebut, namun perjanjian kerjasama dengan pihak lain tersebut tetap sah dan berlaku.

Pembatasan-pembatasan kewenangan Direksi Perseroan yang di tinjau dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas antara lain terdapat pada:

1. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yaitu: “perseroan harus mempunyai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha yang


(26)

tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang- undangan, ketertiban umum, dan/ atau kesusilaan”;

2. Pasal 92 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yaitu: dalam menjalankan pengurusan perseroan, Direksi untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Ketentuan ini menugaskan Direksi untuk mengurus Perseroan yang antara lain meliputi pengurusan sehari-hari dan Perseroan;

3. Pasal 97 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yaitu: Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan, artinya harus ada itikad baik dan bertanggung jawab dalam pengurusan perseroan;

4. Pasal 102 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yaitu: adanya perbuatan-perbuatan hukum tertentu yang harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari Komisaris dan atau Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang diatur dalam anggaran dasar;

5. Direksi tidak berwenang mewakili perseroan dalam hal terjadinya konflik kepentingan (conflict interest).

Perbuatan hukum perseroan terbatas yang tidak sesuai dengan cakupan kewenangan yang telah diuraikan (perbuatan ultra vires), maka tanggung jawab pemegang saham, Direksi, dan komisaris menjadi tidak terbatas karena telah melampui batas kewenangannya. Bagi pemegang saham, menjadi tidak terbatas dalam hal yang dinyatakan pada Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.


(27)

Dalam pasal ini mengandung suatu pernyataan bahwa dalam hal tertentu tidak tertutup kemungkinan hapusnya tanggung jawab terbatas tersebut apabial terbukti terjadi hal-hal yang diuraikan dalam ketentuan pasal diatas. Tanggung jawab pemegang saham sebesar setoran atas seluruh saham yang dimilikinya kemungkinan hapus apabila terbukti, antara lain terjadi pencampuran harta kekayaan pribadi pemegang saham dan harta kekayaan Perseroan sehingga Perseroan didirikan semata-mata sebagai alat yang dipergunakan pemegang saham untuk memenuhi tujuan pribadinya.

Namun demikian, atas perbuatan-perbuatan Direksi tanpa persetujuan dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau komisaris tetap sah dan mengikat pihak ketiga, namun tanpa mengurangi tangung jawab Direksi atas potensi kerugian. Untuk melaksanakan pembuktian terhadap perbuatan ultra vires sangatlah tidak mudah. Dalam hal terjadi suatu perbuatan hukum Direksi yang demikian dan pemberi persetujuan (dalam hal ini Komisaris atau Rapat Umum Pemegang Saham) setuju atas tindakan Direksi tersebut, maka dapat dilakukan dengan cara ratifikasi atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh Direksi.

Dalam hal wewenang Direksi untuk mewakili perseroan di luar pengadilan, anggaran dasar memberikan pembatasan-pembatasan, antara lain sebagai berikut: 1. Direksi harus mendapat persetujuan tertulis dari dewan komisaris apabila ia akan

melakukan tindakan-tindakan:

a. Meminjam uang atas nama perseroan atau meminjamkan uang kepada pihak lain dalam jumlah tertentu;


(28)

b. Mengikat perseroan sebagai penjamin utang;

c. Membeli, menjual atau dengan cara lain memperoleh atau mengalihkan barang-barang tetap milik perseroan atau membebani barang-barang milik perseroan tersebut dengan utang;

d. Menggadaikan barang-barang bergerak milik perseroan yang bernilai tinggi. 2. Dalam hal mengangkat dan memberhentikan seseorang, kuasa untuk mewakili

perseroan harus dilakukann oleh dua orang anggota Direksi atau apabila Direksi itu terdiri hanya terdiri seorang direktur, maka harus dilakukan bersama-sama dengan komisaris;

3. Direksi harus bekerja sesuai dengan rencana kerja yang telah disetujui oleh Dewan Komisaris atau Rapat Umum pemegang Saham (RUPS);

4. Tiap anggota Direksi wajib meminta pertimbangan terlebih dahulu kepada anggota Direksi lainnya apabila akan melakukan tindakan yang menurut kebiasaan dalam dunia usaha dianggap sebagai hal yang penting bagi perseroan; 5. Pembagian pekerjaan Direksi dalam lingkungan perseroann antara para anggota

Direksi diatur dan ditentukan sendiri oleh para nggota Direksi itu.

b. Tanggung Jawab Hukum Direksi Perseroan

Di Indonesia, secara umum tanggung jawab Direksi terbagi atas dua tahap, yaitu sebelum Perseroan Terbatas mendapat statusnya sebagai Badan Hukum dan


(29)

setelah Perseroan Terbatas mendapatkan status sebagai badan hukum.68 Direksi sebelum Perseroan Terbatas memperoleh statusnya sebagai badan hukum, secara kolektif bersama dengan pendiri dan dewan Komisaris bertanggung jawab atas segala perbuatan hukum yang dilakukan, hal ini dimaksudkan agar Direksi tidak melakukan perbuatan hukum atas nama perseroan yang belum berstatus badan hukum tanpa persetujuan semua pendiri, Direksi dan Dewan Komisaris.69 Sedangkan tanggung jawab Direksi setelah Perseroan berstatus badan hukum adalah bersifat terbatas pada perbuatan yang dilakukan sebagai perwakilan yang mengurus dan mengelola untuk dan atas nama perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.70

Masalah tanggung jawab Direksi sangat erat hubungannya dengan tugas dan kewajiban Direksi. Tugas dan kewajiban Direksi untuk menjalankan kepengurusan perseroan akan mengakibatkan tuntutan tanggung jawab atas semua perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukannya dan dilaksanakannya. Tanggung jawab Direksi pada dasarnya beriringan dengan keberadaan, tugas, kewenangan hak, dan kewajiban yang melekat pada dirinya, termasuk yang terdapat pada teori dan doktrin hukum yang telah diuraikan dengan singkat sebelumnya.

Menurut Nindyo Pramono yang menyatakan:

        68

Erman Rajagukguk, New Indonesian Limited Liability Company Law:Liabilities of Stakeholders and Board of Company, Makalah yang dipresentasikan dalam 4™ Asian Law Institute (ASLI) Conference on “ Voice from Asia for a Just and Equitable World”, University of Indonesian Faculty of Law, Jakarta, 24-25 Mei 2007, hal. 4-14, sebagaimana yang dikutip oleh Harris Freddy dan Teddy Anggoro, Op. Cit, hal.43.

69

Pasal 14 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Lembaran Negara Nomor 106 Tahun 2007, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4756.

70

Pasal 92 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Lembaran Negara Nomor 106 Tahun 2007, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4756.


(30)

“tanggung jawab Direksi timbul apabila Direksi yang memiliki kewenangan atau Direksi yang menerima kewajiban untuk melaksanakan pengurusan perseroan tersebut mulai menggunakan kewenangannya tersebut.”71

Direksi sebagai orang yang menjalankan pengurusan dan pengelolaan perseroan dalam kedudukannya sebagai pemegang kuasa dari perseroan dan mempunyai tanggung jawab atas kedudukan yang dilakoninya tersersebut.

Pada prinsipnya, setiap konsekuensi yuridis atas tindakan perseroan, baik atau buruk, akan dipikul sendiri oleh perseroan tersebut. Namun demikian, undang-undang mengenal juga beberapa pengecualian, karena terdapat kemungkinan bukan perusahaan yang bertanggung jawab, tetapi pihak lainnya, misalnya bertanggung jawab secara pribadi ataupun secara renteng.

Tanggung jawab berarti kewajiban seorang individu untuk melaksanakan aktifitas-aktifitas yang ditugaskan kepadanya sebaik mungkin sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.72 Tanggung jawab Direksi dapat dibedakan dalam: 1. Tanggung jawab internal, yaitu meliputi tugas dan tanggung jawab Direksi

perseroan dan pemegang saham perseroan; dan

2. Tanggung jawab eksternal, yang berhubungan dengan tugas dan tanggung jawab Direksi kepada pihak ketiga yang berhubungan hukum langsung maupun tidak langsung dengan perseroan.73

        71

Harris Freddy dan Teddy Anggoro, Op. Cit, hal.44. sebagaimana dikutip dari Nindyo Pramono, Sertifikasi Saham PT Go Publik dan Hukum Pasar Modal di Indonesia, (Jakarta : Citra Aditya Bakti, 1997). 

72


(31)

Ditinjau dari pengaturan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, terdapat beberapa pasal yang menegenai tanggung jawab pribadi masing-masing anggota Direksi maupun tanggung jawab renteng semua anggota Direksi perseroan terbatas, antara lain sebagai berikut:

1. Pasal 37 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,74 bahwa Direksi menjamin transaksi pembelian kembali saham perseroan terbatas baik secara langsung maupun tidak langsung dengan proses dan tata cara yang telah ditentukan oleh perseroan terbatas;

2. Pasal 69 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,75 yang merefleksikan informasi dalam rangka pelaksanaan fiduciary duty Direksi terhadap perseroan;

3. Pasal 72 ayat (6) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,76 yakni tindakan kehati-hatian dalam pembagian deviden interim yang dilakukan oleh Direksi terhadap perseroan;

4. Pasal 95 ayat (5) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,77 yakni pembatalan pengangkatan Direksi karena tidak memenuhi

        73

Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Pemahaman Perseroan Terbatas Risiko Hukum Pemilik, Direksi & Komisaris, (Jakarta : PT Forum Sahabat, 2008), hal. 112.

74

Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian yang diderita pemegang saham yang beritikad baik, yang timbul akibat pembelian kembali yang batal karena hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

75

Dalam hal laporan keuangan yang disediakan ternyata tidak benar dan/atau menyesatkan, anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris secara tanggung renteng bertanggung jawab terhadap pihak yang dirugikan.

76

Direksi dan Dewan Komisaris bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian Perseroan, dalam hal pemegang saham tidak dapat mengembalikan dividen interim sebagaimana dimaksud pada ayat (5).


(32)

persyaratan pengangkatan, namun tetap bertanggung jawab atas perbuatan hukum yang telah dilakukan untuk dan atas nama perseroan yang mengakibatkan kerugian perseroan atas tindakan yang memiliki itikad buruk dan/ atau perbuatan melawan hukum;

5. Pasal 97 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,78 yaitu tanggung jawab renteng anggota Direksi bila keanggtaan Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota atau lebih;

6. Pasal 101 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,79 yaitu sanksi pertanggungjawaban Direksi mengenai keterbukaan

(disclodure) yang berhubungan dengan keungkina terjadinya benturan

kepentingan;

7. Pasal 104 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,80 yakni terjadinya kelalaian dan kesalahan Direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban perseroan, sehingga setiap anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit perseroan;

        77

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mengurangi tanggung jawab anggota Direksi yang bersangkutan terhadap kerugian Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 dan Pasal 104.

78

Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

79

Anggota Direksi wajib melaporkan kepada Perseroan mengenai saham yang dimiliki anggota Direksi yang bersangkutan dan/atau keluarganya dalam Perseroan dan Perseroan lain untuk selanjutnya dicatat dalam daftar khusus.

80

Dalam hal kepailitan sebagaimana dimaksud pada ayat terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit tersebut.


(33)

8. Pasal 102 ayat (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,81 yaitu mengabaikan kewajiban untuk meminta persetujuan atau bantuan kepada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), sehingga Direksi dimintai pertanggungjawaban secara pribadi;

9. Pasal 117 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,82 yaitu mengabaikan kewajiban untuk meminta persetujuan atau bantuan kepada dewan komisaris, sehingga bila terjadi kerugian Direksi dimintai pertanggungjawaban secara pribadi.

1. Tanggung Jawab Direksi dalam Perseroan Terbatas

Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Jadi selain bertanggung jawab penuh atas pengurusan, Direksi juga bertindak mewakili perseroan (persona standi in judicio). Dalam menjalankan tugas unutk kepentingan dan usaha perseroan, maka setiap anggota Direksi wajib dengan itikad baik (in good faith) dan penuh tanggung jawab (full responbility).83

Namun apabila tidak dengan demikian, maka setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi, apabila yang bersangkutan bersalah atau

        81

Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tanpa persetujuan RUPS, tetap mengikat Perseroan sepanjang pihak lain dalam perbuatan hukum tersebut beritikad baik.

82

Dalam hal anggaran dasar menetapkan persyaratan pemberian persetujuan atau bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tanpa persetujuan atau bantuan Dewan Komisaris, perbuatan hukum tetap mengikat Perseroan sepanjang pihak lainnya dalam perbuatan hukum tersebut beritikad baik.

83


(34)

lalai dalam menjalankan tugasnya sebgaimana yang dibebankan dan diwajibkan kepadanya.

2. Tanggung Jawab Direksi kepada Perseroan dan Pemegang Saham

Tugas dan pertanggungjawaban Direksi kepada persroan dan pemegang saham perseroan dimulai sejak perseroan memperoleh status badan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyebutkan:

“Perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya keputusan menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan.”

Setiap kesalahan atau kelalaian anggota Direksi dalam menjalankan kewajibannya terhadap perseroan dan pemegang saham perseroan, memberikan hak kepada pemegang saham untuk:

1. Secara sendiri-sendiri atau bersama-sama, yang mewakili jumlah sepersepuluh pemegang saham perseroan melakukan gugatan untuk dan atas nama perseroan terhadap Direksi perseroan, yang atas kesalahan dan kelalaiannya telah menyebabkan kerugian pada perseroan (derivative action); 2. Secara sendiri-sendiri melakukan gugatan langsung untuk dan atas nama

pribadi pemegang saham terhadap Direksi perseroan atas setiap keputusan atau tindakan Direksi perseroan yang merugikan pemegang saham.84

3. Tanggung Jawab Direksi kepada Pihak Ketiga

Tugas dan kewajiban Direksi perseroan terhadap pihak ketiga terwujud dalam kewajiban Direksi untuk melakukan keterbukaan (disclosure) terhadap pihak ketiga

        84

Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 70.


(35)

atas setiap kegiatan perseroan yang dianggap dapat mempengaruhi kekayaan perseroan. Pihak ketiga adalah orang lain yang tidak ikut serta dalam perjanjian.

Kewajiban-kewajiban itu adalah:

1. Dalam hal perseroan ingin mengadakan pengurangan atas modal dasar, modal dikeluarkan, ataupun modal disetor dari perseroan;

2. Dalam hal perseroan bermaksud untuk melakukan penggabungan, peleburan dan pengambilalihan;

3. Dan bagi :

a) Perseroan yang bidang usahanya berkaitan dengan pengerahan dana masyarakat;

b) Perseroan yang mengeluarkan surat pengakuan hutang; c) Perseroan Terbuka.

Direksi perseroan diwajibkan untuk menyerahkan hasil perhitungan tahunan perseroan untuk diperiksa oleh akuntan publik sebelum perhitungan tahunan tersebut disahkan oleh Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan. dan segera setelah disahkan oleh rapat, diumumkan untuk kepentingan pihak ketiga. Khusus untuk perseroan terbatas terbuka, Direksi perseroan juga diwajibkan untuk mengumumkan setiap maksud dan rencana penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham.

Ketentuan tersebut diatas tidak menutup adanya kemungkinan permintaan pemberian data dan atau keterangan mengenai perseroan oleh pihak ketiga yang berkepentingan, berdasarkan pada perjanjian antara para pihak. Dalam hal-hal yang


(36)

demikian tersebut diatas, Direksi berkewajiban untuk memberikan data dan atau keterangan tersebut secara jelas, tegas, benar dan akurat.

4. Tanggung Jawab Renteng Antara Sesama Anggota Direksi Perseroan

Menurut sistem hukum di Indonesia, demikian juga hukum di kebanyakan negara yang menganut sistem Civil Law, hubungan antara direktur dengan perusahaan adalah bersifat kontraktual. Artinya, sungguhpun antara perusahaan dengan direkturnya tidak terdapat suatu kontrak tertentu, tetapi oleh hukum “dianggap” (fiksi) ada kontrak pemberian kuasa.85 Karena itu, hubungan antara direktur dengan perusahaan tidak merupakan hubungan antara “trustee” dengan “beneficiary” seperti dalam Anglo Saxon.86

Sebagai konsekuensi yuridisnya, direktur sebagai pemegang kuasa tidak boleh bertindak melebihi dari kekuasaan yang diberikan kepadanya. Seberapa jauh kekuasaan diberikan kepadanya, dapat dilihat dalam anggaran dasar perusahaan yang bersangkutan. Apabila direktur bertindak melampaui wewenang yang diberikan kepadannya tersebut, direktur tersebut ikut bertanggung jawab secara pribadi. Jika perusahaan yang bersangkutan kemudian jatuh pailit, beban tanggung jawab tidak

        85

Munir Fuady (Munir Fuady V), Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Ketiga, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 93.

86

Munir Fuady (Munir Fuady VI), Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Kesatu,, (Bandung : Citra Aditya Bakti,, 1994), hal. 59.


(37)

cukup ditampung oleh harta perusahaan (harta pailit), maka Direksi pun ikut bertanggung jawab secara renteng.87

Dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa:

“Perbuatan hukum atas nama Perseroan yang belum memperoleh status badan hukum, hanya boleh dilakukan oleh semua anggota Direksi bersama-sama semua pendiri serta semua anggota Dewan Komisaris Perseroan dan mereka semua bertanggung jawab secara tanggung renteng atas perbuatan hukum tersebut.”

Terhitung sejak pengesahan, para pendiri perseroan terbatas tidak lagi bertanggung jawab secara terbatas atas tiap perikatan yang dibuat untuk dan atas nama perseroan, dan hanya akan menanggung kerugian yang terbatas pada nilai seluruh saham yang dimilikinya. Selama pengesahan tersebut belum diperoleh, maka pendiri (dan sekalian pengurusnya) bertanggungjawab sepenuhnya secara tanggung renteng atas nama perseroan. Ketiadaan pengesahan itu tidak meniadakan perseroan yang hendak dibentuk, hanya saja sifat pertanggungjawabannya yang belum tidak terbatas.

Berdasarkan pada sifat pertanggungjawaban renteng tersebut, oleh kalangan ahli hukum, status hukum dari perseroan terbatas dalam pendirian diperlakukan sama dengan atau sebagaimana layaknya suatu persekutuan dengan firma, dimana para pengurus bertindak selaku kuasa dari para pendiri dalam menjalankan kegiatan atau usaha perseroan. Dengan ini berarti bhawa selama harta kekayaan perseroan tidak mencukupi untuk menutupi seluruh kewajiban perseroan (dalam pendirian) tersebut,

        87


(38)

maka para pendiri (dan pengurus) bertanggung jawab secara pribadi untuk memenuhi seluruh kewajiban yang belum terlunasi.88

Beberapa pengaturan mengenai pertanggungjawaban renteng sesama anggota Direksi dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, antara lain sebagai berikut:

1. Pasal 69 ayat (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yaitu Anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris dibebaskan dari tanggung jawab apabila terbukti bahwa keadaan tersebut bukan karena kesalahannya.

2. Pasal 97 ayat (5) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yaitu Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian perseroan apabila dapat membuktikan:

a. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;

b. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;

c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan

d. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

3. Pasal 104 ayat (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yaitu, Anggota Direksi tidak bertanggung jawab atas kepailitan Perseroan apabila dapat membuktikan:

a. kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;

        88


(39)

b. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, kehati-hatian, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;

c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang dilakukan; dan

d. telah mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan.

C. PENERAPAN PRINSIP CORPORATE OPPORTUNITY TERHADAP DIREKSI DALAM MENGELOLA PERSEROAN YANG DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS

Transaksi kesempatan perseroan (Corporate Opportunity) mengajarkan bahwa bahwa akibat dari adanya fiduciary duty dari Direksi, maka Direksi haruslah terlebih dahulu mengutamakan kepentingan perseroan daripada kepentingan pribadi.

Prinsip fiduciary duties merupakan konsep yang terus berkembang, dan bersifat sangat kontekstual, merupakan hukum yang terbentuk melalui peradilan (case law) dan kemudian diangkat menjadi doktrin hukum. sehingga dapat dipahami mengapa Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. ini tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan fiduciary duties, tetapi terkandung dalam suatu rumusan pasal-pasal yang bersifat umum.

Ada 3 (tiga) faktor penting yang terkandung dari tugas dan tanggung jawab dalam prinsip fiduciary duties, yaitu :

1. Prinsip yang merujuk kepada kemampuan, kecermatan serta ketelitian tindakan Direksi (duty of skill and care);


(40)

2. Prinsip yang merujuk kepada itikad baik dari Direksi untuk bertindak mendahulukan kepentingan perseroan diatas kepentingan pribadi(duty of loyalty);

3. Prinsip untuk menyajikan keterangan mengenai pelaksanaan tugas kepengurusan (duty of disclosure).89

Pentingnya penerapan prinsip Corporate Opportunity dalam menjalankan dan mengelola perseroan, berbagai tugas dan tanggung jawab dan/ atau wewenang Direksi didasari dengan prinsip fiduciary duties, sehingga setiap pelanggaran yang terjadi akan membawa konsekuensi yang berat bagi Direksi karena akan dimintai pertanggungjawaban secara pribadi terhadap kerugian yang dialami perseroan akibat tindakannya tersebut.

a. Duty Of Skill And Care

Hal-hal yang dapat digunakan untuk menguji apakah Direksi telah memenuhi unsur duty of skill and care atau tidak, yaitu:

1. Apakah tindakan Direksi itu telah dilakukan dengan itikad baik;

2. Dalam kondisi yang sama, apakah setiap orang dengan keahlian tertentu yang sama, juga akan melakukan tindakan tersebut dalam posisi sebagai Direksi, ataukah untuk kepentingan bisnis pribadinya

3. Apakah tindakan tersebut diambil dengan keyakinan bahwa hal itu semata-mata untuk kepentingan terbaik bagi perseroan.

        89


(41)

Dalam praktek, penerapan prinsip duty of skill and care kadangkala berbeda, sesuai dengan sifat dan jenis usaha ataupun metode pengurusan yang seharusnya ditempuh bagi perseroan tertentu. Hal ini membawa konsekuensi bagi Direksi, misalnya dalam Direksi suatu bank dituntut untuk melakukan prinsip duty of skill and care dengan kadar yang lebih tinggi, sebab dalam usaha perseroan tersebut menyangkut dana masyarakat.

Bentuk nyata dari penerapan prinsip duty of skill and care terlihat dalam hal Direksi akan kelalaian atau telah melakukan kesalahan dalam melaksanakan tugasnya. Unsur ketidaksengajaan tidak selalu berhasil digunakan dalam pembelaan akan kesalahan yang terjadi, karena Direksi tersebut akan diuji dengan mempertimbangkannya kemampuannya untuk sepatutnya megetahui bahwa Direksi tersebut telah lalai atau membuata kesalahan dalam mengambil atau tidak mengambil suatu tindakan bagi kebaikan perseroan. Ukuran kemampuan itu sendiri biasanya bersumber dari pendidikan dan pengalaman Direksi yang bersangkutan.

b. Duty Of Loyalty

Penerapan prinsip duty of loyalty yang merujuk pada sikap Direksi untuk bertindak berdasarkan itikad baik dan semata-mata untuk tujuan dan kepentingan perseroan ini pada dasarnya akan tampak jelas dalam kasus yang melibatkan adanya pertentangan kepentingan antara Direksi secara pribadi dengan perseroan (self dealing).


(42)

1. Transaksi antara beberapa perseroan yang memiliki Direksi yang sama (interlocking directorship);

2. Transaksi antara Direksi secara pribadi dengan perseroan;

3. Transaksi Direksi secara pribadi mengambil alih keuntungan (opportunity) yang seharusnya menjadi milik atau diperuntukkan bagi perseroan (business opportunity);

4. Terjadi persaingan usaha antara Direksi secar pribadi dengan perseroan (unfair competition & breach confidence).

Di beberapa negara, pada mulanya self dealing ini dianggap sebagai suatu larangan mutlak karenanya perbuatan ini dianggap batal dengan sendirinya

(automatically voidable). Tetapi perkembangan berikutnya menunjukkan bahwa

prasangka negatif terhadap Direksi banyak dipandang tidak perlu untuk ditarik lebih jauh. Pandangan ini dari pemikiran bahwa dalam keadaan tertentu, dimana usaha Direksi secara pribadi dapat menawarkan kondisi pinjaman yang lebih baik kepada perseroan dibandingkan tawaran piha (calon kreditor) lainnya, larangan ketat terhadap self dealing dapat menghilangkan opportunity terbaik bagi perseroan.

Self dealing pada saat tertentu juga dapat diterima, apabila :

a. Transaksi tersebut diberitahukan secara lengkap (full disclosure) dan diratifikasi oleh anggota Direksi lainnya dan komisaris atau bahkan para pemegang saham yang secara pribadi tidak berkepentingan langsung dengan transaksi itu dan memenuhi ketentuan undang-undang dan anggaran dasar; b. Transaksi tersebut disetujui oleh perseroan dengan laporan tertulis.


(43)

c. Duty Of Disclosure

Dalam rangka fiduciary duties, terdapat kewajiban bagi Direksi untuk melaporkan saham yang dimilikinya atau dimiliki keluarganya, baik dalam perseroan yang bersangkutan ataupun perseroan lainnya, sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 101 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyebutkan :

“Anggota Direksi wajib melaporkan kepada Perseroan mengenai saham yang dimiliki anggota Direksi yang bersangkutan dan/atau keluarganya dalam Perseroan dan Perseroan lain untuk selanjutnya dicatat dalam daftar khusus.” Hal ini bertujuan untuk mendeteksi kemungkinan adanya self dealing, yaitu dengan mengetahui saham Direksi atau keluarganya apada perseroan lain yang menjadi lawan transaksi perseroan dimana ia menduduki sebagai jabatan Direksi. Karena pada dasarnya, Direksi terikat pada prinsip untuk tidak mengambil keuntungan secara pribadi (no secret profile rule) atas suatu opportunity atau keuntungan yang sebenarnya menjadi milik perseroan yang dipimpinnya.

Untuk mengetahui hal tersebut, ada 2 (dua) pertanyaan mendasar, yaitu :

a. Apakah perseroan benar-benar mempunyai kepentingan terhadap

opportunity tersebut?


(1)

maka para pendiri (dan pengurus) bertanggung jawab secara pribadi untuk memenuhi seluruh kewajiban yang belum terlunasi.88

Beberapa pengaturan mengenai pertanggungjawaban renteng sesama anggota Direksi dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, antara lain sebagai berikut:

1. Pasal 69 ayat (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yaitu Anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris dibebaskan dari tanggung jawab apabila terbukti bahwa keadaan tersebut bukan karena kesalahannya.

2. Pasal 97 ayat (5) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yaitu Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian perseroan apabila dapat membuktikan:

a. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;

b. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;

c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan

d. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

3. Pasal 104 ayat (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yaitu, Anggota Direksi tidak bertanggung jawab atas kepailitan Perseroan apabila dapat membuktikan:

a. kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;

        88


(2)

b. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, kehati-hatian, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;

c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang dilakukan; dan

d. telah mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan.

C. PENERAPAN PRINSIP CORPORATE OPPORTUNITY TERHADAP

DIREKSI DALAM MENGELOLA PERSEROAN YANG DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS

Transaksi kesempatan perseroan (Corporate Opportunity) mengajarkan bahwa bahwa akibat dari adanya fiduciary duty dari Direksi, maka Direksi haruslah terlebih dahulu mengutamakan kepentingan perseroan daripada kepentingan pribadi.

Prinsip fiduciary duties merupakan konsep yang terus berkembang, dan bersifat sangat kontekstual, merupakan hukum yang terbentuk melalui peradilan (case law) dan kemudian diangkat menjadi doktrin hukum. sehingga dapat dipahami mengapa Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. ini tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan fiduciary duties, tetapi terkandung dalam suatu rumusan pasal-pasal yang bersifat umum.

Ada 3 (tiga) faktor penting yang terkandung dari tugas dan tanggung jawab dalam prinsip fiduciary duties, yaitu :

1. Prinsip yang merujuk kepada kemampuan, kecermatan serta ketelitian tindakan Direksi (duty of skill and care);


(3)

2. Prinsip yang merujuk kepada itikad baik dari Direksi untuk bertindak mendahulukan kepentingan perseroan diatas kepentingan pribadi(duty of loyalty);

3. Prinsip untuk menyajikan keterangan mengenai pelaksanaan tugas kepengurusan (duty of disclosure).89

Pentingnya penerapan prinsip Corporate Opportunity dalam menjalankan dan mengelola perseroan, berbagai tugas dan tanggung jawab dan/ atau wewenang Direksi didasari dengan prinsip fiduciary duties, sehingga setiap pelanggaran yang terjadi akan membawa konsekuensi yang berat bagi Direksi karena akan dimintai pertanggungjawaban secara pribadi terhadap kerugian yang dialami perseroan akibat tindakannya tersebut.

a. Duty Of Skill And Care

Hal-hal yang dapat digunakan untuk menguji apakah Direksi telah memenuhi unsur duty of skill and care atau tidak, yaitu:

1. Apakah tindakan Direksi itu telah dilakukan dengan itikad baik;

2. Dalam kondisi yang sama, apakah setiap orang dengan keahlian tertentu yang sama, juga akan melakukan tindakan tersebut dalam posisi sebagai Direksi, ataukah untuk kepentingan bisnis pribadinya

3. Apakah tindakan tersebut diambil dengan keyakinan bahwa hal itu semata-mata untuk kepentingan terbaik bagi perseroan.

        89


(4)

Dalam praktek, penerapan prinsip duty of skill and care kadangkala berbeda, sesuai dengan sifat dan jenis usaha ataupun metode pengurusan yang seharusnya ditempuh bagi perseroan tertentu. Hal ini membawa konsekuensi bagi Direksi, misalnya dalam Direksi suatu bank dituntut untuk melakukan prinsip duty of skill and care dengan kadar yang lebih tinggi, sebab dalam usaha perseroan tersebut menyangkut dana masyarakat.

Bentuk nyata dari penerapan prinsip duty of skill and care terlihat dalam hal Direksi akan kelalaian atau telah melakukan kesalahan dalam melaksanakan tugasnya. Unsur ketidaksengajaan tidak selalu berhasil digunakan dalam pembelaan akan kesalahan yang terjadi, karena Direksi tersebut akan diuji dengan mempertimbangkannya kemampuannya untuk sepatutnya megetahui bahwa Direksi tersebut telah lalai atau membuata kesalahan dalam mengambil atau tidak mengambil suatu tindakan bagi kebaikan perseroan. Ukuran kemampuan itu sendiri biasanya bersumber dari pendidikan dan pengalaman Direksi yang bersangkutan.

b. Duty Of Loyalty

Penerapan prinsip duty of loyalty yang merujuk pada sikap Direksi untuk bertindak berdasarkan itikad baik dan semata-mata untuk tujuan dan kepentingan perseroan ini pada dasarnya akan tampak jelas dalam kasus yang melibatkan adanya pertentangan kepentingan antara Direksi secara pribadi dengan perseroan (self dealing).


(5)

1. Transaksi antara beberapa perseroan yang memiliki Direksi yang sama (interlocking directorship);

2. Transaksi antara Direksi secara pribadi dengan perseroan;

3. Transaksi Direksi secara pribadi mengambil alih keuntungan (opportunity) yang seharusnya menjadi milik atau diperuntukkan bagi perseroan (business opportunity);

4. Terjadi persaingan usaha antara Direksi secar pribadi dengan perseroan (unfair competition & breach confidence).

Di beberapa negara, pada mulanya self dealing ini dianggap sebagai suatu larangan mutlak karenanya perbuatan ini dianggap batal dengan sendirinya (automatically voidable). Tetapi perkembangan berikutnya menunjukkan bahwa prasangka negatif terhadap Direksi banyak dipandang tidak perlu untuk ditarik lebih jauh. Pandangan ini dari pemikiran bahwa dalam keadaan tertentu, dimana usaha Direksi secara pribadi dapat menawarkan kondisi pinjaman yang lebih baik kepada perseroan dibandingkan tawaran piha (calon kreditor) lainnya, larangan ketat terhadap self dealing dapat menghilangkan opportunity terbaik bagi perseroan.

Self dealing pada saat tertentu juga dapat diterima, apabila :

a. Transaksi tersebut diberitahukan secara lengkap (full disclosure) dan diratifikasi oleh anggota Direksi lainnya dan komisaris atau bahkan para pemegang saham yang secara pribadi tidak berkepentingan langsung dengan transaksi itu dan memenuhi ketentuan undang-undang dan anggaran dasar; b. Transaksi tersebut disetujui oleh perseroan dengan laporan tertulis.


(6)

c. Duty Of Disclosure

Dalam rangka fiduciary duties, terdapat kewajiban bagi Direksi untuk melaporkan saham yang dimilikinya atau dimiliki keluarganya, baik dalam perseroan yang bersangkutan ataupun perseroan lainnya, sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 101 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyebutkan :

“Anggota Direksi wajib melaporkan kepada Perseroan mengenai saham yang dimiliki anggota Direksi yang bersangkutan dan/atau keluarganya dalam Perseroan dan Perseroan lain untuk selanjutnya dicatat dalam daftar khusus.” Hal ini bertujuan untuk mendeteksi kemungkinan adanya self dealing, yaitu dengan mengetahui saham Direksi atau keluarganya apada perseroan lain yang menjadi lawan transaksi perseroan dimana ia menduduki sebagai jabatan Direksi. Karena pada dasarnya, Direksi terikat pada prinsip untuk tidak mengambil keuntungan secara pribadi (no secret profile rule) atas suatu opportunity atau keuntungan yang sebenarnya menjadi milik perseroan yang dipimpinnya.

Untuk mengetahui hal tersebut, ada 2 (dua) pertanyaan mendasar, yaitu :

a. Apakah perseroan benar-benar mempunyai kepentingan terhadap opportunity tersebut?


Dokumen yang terkait

Wewenang Dan Tanggung Jawab Direksi Dalam Prinsip Corporate Opportunity Yang Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007

1 90 158

AKIBAT HUKUM PEMBUBARAN PERSEROAN TERBATAS DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS

0 25 16

KAJIAN YURIDIS KEDUDUKAN HUKUM DAN TANGGUNG JAWAB DIREKSI PERSEROAN TERBATAS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS

0 5 16

KAJIAN YURIDIS KEDUDUKAN HUKUM DAN TANGGUNG JAWAB DIREKSI PERSEROAN TERBATAS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS

0 2 16

TANGGUNG JAWAB DIREKSI DALAM PENGURUSAN PERSEROAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS

0 6 36

BAB II PENGATURAN PEMBERIAN KUASA DIREKSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS

0 3 33

PENGUNDURAN DIRI DIREKSI PERSEROAN TERBATAS DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENGUASAAN ASET DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS.

0 1 2

Tanggung Jawab Direksi Perseroan Terbatas Dalam Akuisisi Suatu Perusahaan Yang Merugikan Pemegang Saham Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.

0 0 1

EKSISTENSI DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL DI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS TERHADAP TANGGUNG JAWAB DIREKSI ATAS TERJADINYA KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS.

0 0 13

Analisis Penderivasian Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

0 0 14