BAB II TINJAUAN PUSTAKA SIROSIS HEPATIS DEKOMPENSATA

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

SIROSIS HEPATIS DEKOMPENSATA

A. Pendahuluan

Sirosis merupakan kondisi yang menggambarkan suatu keadaan histopatologi dan memiliki banyak manifestasi klinik yang beragam, beberapa di antaranya dapat mengancam-jiwa. Pasien dengan sirosis dapat dibagi menjadi beberapa kelompok besar yaitu sirosis alkoholik, sirosis karena virus hepatitis kronis, sirosis billiaris, dan penyebab lainnya yang lebih jarang seperti sirosis kardiak, sirosis kriptogenik, dan penyebab lainnya.1

Tabel 1. Penyabab sirosis. [Sumber kepustakaan:1]

Terlepas dari penyebab sirosis, bentuk patologis sirosis ialah terbentuknya fibrosis yang mengarah pada kerusakan arsitektural dengan pembentukan nodul regeneratif. Kemudian menyebabkan berkurangnya massa hepatoseluler, dan berkurangnya fungsi, dan berbaliknya aliran darah. Induksi/ permulaan fibrosis terjadi dengan adanya aktivasi dari sel stelata hepatis, menghasilkan bentukan


(2)

Pasien yang mengalami sirosis memiliki derajat yang beragam dari fungsi hepar terkompensasi dan peril dibedakan antara sirosis kompensata yang stabil dan sirosis dekmpensata. Transplantasi hepar diperlukan bagi yang mengalami penyakit hepar dan menjadi keadaan dekompensata.1

Komplikasi signifikan yang terjadi pada keadaan sirosis dekompensata adalah hipertensi portal, yang bertanggung jawab atas terjadinya ascites dan perdarahan dari varises oesophagosastrik. Selain itu, hilangnya fungsi hepatoseluler menyebabkan jaundice, gangguan koagulasi, dan hipoalbuminemia dan berkontribusi pada penyebab dari portosistemik ensefalopati. Sebab komplikasi sirosis pada dasarnya sama dengan etiologinya, maka penting untuk mengklasifikasikan pasien sesuai penyebab penyakit hatinya.1

B. Definisi

Istilah Sirosis hepatis diberikan oleh Laence pada tahun 1826, yang berasal dari bahasa Yunani “khirros” atau “scirrhus” yang berarti kuning oranye (orange yellow), karena perubahan warna pada nodul-nodul yang terbentuk.2

Sirosis hepatis adalah penyakit hati kronis yang dicirikan dengan distorsi arsitetur hepar yang normal oleh lembaran-lembaran jaringan ikat dan nodul-nodul regenerasi sel hepar, yang tidak berkaitan dengan vaskulatur normal.1,3

Kepustakaan lain menyebutkan sirosis adalah keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatic yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif.9

C. Klasifikasi

Berdasarkan morfologi sirosis hepatis terbagi atas tiga jenis, yaitu:2

1. Mikronodular 2. Makronodular

3. Campuran (yang memperlihatkan gambaran mikro-dan makronodular). Menurut Shrelock secara klinis sirosis hati dibagi atas dua tipe, yaitu:4


(3)

1. Sirosis kompensata atau sirosis laten

Gejala klinis yang dapat nampak adalah pireksia ringan, “spider” vaskular, eritema palmaris atau epistaksis yang tidak dapat dijelaskan, edema pergelangan kaki. Pembesaran hepar dan limpa merupakan tanda diagnosis yang bermanfaat pada sirosis kompensata. Dispepsia flatulen dan salah cerna pagi hari yang samar-samar bisa merupakan gambaran dini dari pasien sirosis alkoholik. Sebagai konfirmasi dapat dilakukan tes biokimia dan jika perlu dapat dilakukan biopsi hati aspirasi.

2. Sirosis dekompensata atau sirosis aktif

Gejala-gejala sirosis dekompensata lebih menonjol terutama bila timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta. Biasanya pasien sirosis dekompensata datang dengan asites atau ikterus. Gejala-gejala yang nampak adalah kelemahan, atrofi otot dan penurunan berat badan, hilangnya rambut badan, gangguan tidur, demam ringan kontinu (37,5º- 38ºC), gangguan pembekuan darah, perdarahan gusi, epistaksis, gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih berwarna seperti teh pekat, muntah darah dan/atau melena, serta perubahan mental, meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi, sampai dengan koma.

D. Epidemiologi

Dari sekian banyak pasien yang terpapar hepatitis B, sekitar 5% yang mengalami hepatitis B kronik, dan sekitar 20% dari pasien-pasien tersebut yang terus berkembang dan membentuk sirosis.1

Di United States, terdapat sekitar 1,25 juta karier/ pembawa hepatitis B, dimana di bagian duni lainnya virus hepatitis B (HBV) merupakan endemik (seperti Asia Tenggara, Sub-Sahara Afrika), mencapai 15% dari populasi mungkin terinfeksi secara vertikal saat dilahirkan. Dengan begitu, lebih dari 300 – 400 juta individu seluruh dunia memiliki hepatitis B. Hampir 25% dari individu-individu ini dapat berkembang menjadi sirosis.1


(4)

prevalensi sirosis hepatis adalah 3,5% seluruh pasien yang dirawat di bangsal Penyakit Dalam, atau rata-rata 47,4% dari seluruh pasien penyakit hati yang dirawat.5 Perbandingan prevalensi sirosis pada pria:wanita adalah 2,1:1 dan usia

rata-rata 44 tahun.5

E. Etiologi

Infeksi hepatitis B virus (HBV) merupakan penyebab utama hepatitis akut, hepatitis kronis, sirosis, dan kanker hepar di seluruh dunia.3 Di negara

berkembang, penyebab utama sisrosis hati adalah virus hepatitis B dan C.6

Sebagian besar sirosis hati di Indonesia disebabkan karena infeksi virus hepatitis B.7

Virus hepatitis B (HBV) merupakan virus DNA berselubung ganda berukuran 42 nm yang memiliki lapisan permukaan dan bagian inti. Cara utama penularan HBV adalah melalui parenteral dan menembus membran mukosa, terutama melalui hubungan seksual. Masa inkubasi rata-rata adalah sekitar 60 hingga 90 hari. HBsAg telah ditemukan pada hampir semua cairan tubuh orang yang terinfeksi – darah, semen, saliva, air mata, ascites, air susu ibu, urine, dan ahkan feses. Setidaknya sebagian cairan tubuh ini (terutama darah, semen, saliva) telah terbukti bersifat infeksius.3

Infeksi HBV dapat terjadi pada semua usia. Terutama pada kelompok orang yang memiliki cara hidup tertentu berisiko tinggi, seperti:3

- Imigran dari daerah endemis HBV

- Pengguna obat IV yang sering bertukar jarum dan alat suntik

- Pelaku hubungan seksual sengan banyak orang atau orang yang terinfeksi - Pria homoseksual yang secara seksual aktif

- Pasien rumah sakit jiwa - Narapidana

- Pasien hemodialisis

- Kontak serumah dengan karier HBV

- Pekerja sosial di bidang kesehatan, terutama yang banyak kontak dengan darah


(5)

- Bayi baru lahir dari ibu yang terinfeksi, dapat terinfeksi pada saat atau setelah lahir.

F. Patofisiologi

Infeksi HBV menimbulkan perubahan morfologi yang terjadi pada hepar seringkali mirip untuk berbagai virus yang berlainan. Pada kasus yang klasik, hepar tampaknya berukuran dan berwarna normal, namun kadang-kadang agak edema, membesar pada palpasi “teraba nyeri di tepian”. S3ecara histologi, terjadi kekacauan susunan hepatoselular, cedera dan nekrosis sel hepar dalam berbagai derajat, dan peradangn periportal. Perubahan ini bersifat reversibel sempurna bila fase akut penyakit mereda. Pada beberapa kasus, nekrosis submasif atau massif dapat mengakibatkan gagal hati fulminan dan kematian.3


(6)

Gambar 1. Sirosis hepatis kompensata dan dekompensata.

Sumber kepustakaan:10

G. Manifestasi klinis

Infeksi HBV bersifat ringan dengan penyembuhan sempurna.3 Gejala

prodormal timbul dan berlangsung selama satu atau dua minggu sebelum awitan ikterus (meskipun tidak semua pasien mengalami ikterik). Gambaran utama pada saat itu adalah malaise, rasa malas, anoreksia, sakit kepala, demam derajat rendah.3 Disamping itu, terasa abdomen kuadaran kanan atas dapat terasa tidak

nyaman yang biasanya dikaitkan dengan peregangan kapsula hepar. Fase prodormal diikuti dengan fase ikterik dan awitan ikterus. Fase ini biasanya


(7)

berlangsung selam 4 hingga 6 minggu namun dapat mulai mereda dalam beberapa hari. Beberapa hari sembelum ikterus, biasanya pasien merasa lebih sehat. Nafsu makan penderita kembali setelah beberapa minggu, bersamaan dengan demam yang mereda, urine menjadi lebih gelap dan feses memucat. Hepar membesar dan terasa nyeri, dan lien teraba membesar pada ¼ pasien.3

Masa ketika sirosis bermanifestasi sebagai masalah klinis hanyalah sepenggal waktu dari perjalanan klinis selengkapnya. Sirosis bersifat laten bertahun-tahun, dan perubahan patologis yang berkembang lambat hingga akhirnya gejala yang timbul menyadarkan akan adanya kondisi ini. Selama masa laten yang panjang, terjadi kemunduran fungsi hati secara bertahap.

Gejala dini bersifat samar dan tidak spesifik yang meliputi kelelahan (fatigue), anoreksia, dyspepsia, flatulen, perubahan kebiasaan defekasi (konstipasi atau diare), dan berat badan sedikit berkurang, mual dan muntah (terutama pagi hari). Nyeri tumpul atau perasaan berat pada epigastrium atau kuadran kanan atas terdapat pada sekitar separuh penderita. Pada sebagian besar kasus, hati keras dan mudah teraba tanpa memandang apakah hati membesar atau mengecil (atrofi).

Dalam salah satu kepustakaan, dijelaskan dalam sebuah gambar mengenai manifestasi klini sirosis, yang dalam kepustakaan lain sebagian dari manifestasi-manifestasi ini disebut juga sebagai komplikasi dari sirosis.


(8)

Gambar 2. Manifestasi klinis sirosis. Keterangan:

Efek kerusakan hati: 1) Insufisiensi hati (koma, ikterus, kerusakan hati, ascites, anemia, mudah berdarah, edema pergelangan kaki). 2) Hiperestrinime (Spider nevi, alopesia pektoralis, ginekomastia, perubahan distribusi rambut, eritema Palmaris, atrofi testis). Efek hipertensi portal: 1) Hipertensi portal (Varises esophagus, splenomegali, kaput medusa, ascites, edema pergelangan kaki). 2) Hipersplenisme (perubahan sumsum tulang, anemia, leucopenia, trombositopenia)


(9)

H. Diagnosis

Diagnosa penderita sirosis hepatis yang sudah parah tidak sulit, misalnya dengan adanya asites, udem kaki, ikterus, dan hepar yang teraba dengan konsistensi keras. Hal yang menjadi masalah adalah pasien-pasien pada awal sirosis dan pasien-pasien bukan sirosis yang didiagnosa sebagai sirosis. Seorang pasien dengan awal sirosis kadang-kadang tidak menujukkan gejala apapun dan baru dengan pemeriksaan yang teliti baru akan ditemukan bahwa penderita mengalami sirosis.6

1. Pemeriksaan penunjang a) Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan untuk diagnosis sirosis hepatis, yaitu:

- SGOT (serum glutamil oksalo asetat) /SGPT (serum glutamil piruvat asetat)

Dapat ditemukan kenaikan kadar SGOT dan SGPT biasanya 2 kali di atas nilai normal. Kadar SGOT/ SGPT dapat digunakan untuk mengetahui apakah suatu sirosis hepatis masih aktif atau inaktif. Jika nilai masih terlalu tinggi maka bisa dikatakan bahwa proses sirosis hepatis masih berlangsung dan belum tenang. Bila kadar SGOT dan SGPT masih diatas normal, apalagi kalau masih diatas dua kali nilainormal tertinggi maka proses sirosis hati belum tenang.6,8 Bila

didapatkan tanda-tanda proses sirosis belum tenang, maka harus dicari sebabnya. Biasanya penyebabnya adalah masalah virologik. - Alkali fosfatase

Meningkat kurang dari 2-3 kali batas normal.9

- Bilirubin

Konsentrasinya bisa normal pada sirosis hepatis dekompensata, tapi bisa meningkat pada sirosis lanjut.9


(10)

- Albumin

Sintesisnya terjadi di jaringan hati, konsentrasinya menurun sesuai dengan perburukan sirosis.9

- Globulin

Konsentrasinya meningkat pada sirosis.9

- Protrombin time

Mencerminkan derajat disfungsi sintesis hati, sehingga pada sirosis memanjang.9

- Natrium

Natrium serum menurun terutama pada sirosis dengan ascites, dikaitkan dengan ketidakmampuan ekresi air bebas.9

- Kelainan hematologi anemia

Penyebabnya bisa bermacam-macam, anemia normokrom, normositer, hipokrom mikrositer, hipokrom makrositer. Anemia dengan trombositopenia, lekopenia, dan netropenia akibat splenomegali kongestif berkaitan dengan hipertensi porta sehingga terjadi hipersplenisme.9

- HBsAg

HBsAg ditemukan pada awitan infeksi akut HBV, dan karier HBV. HBeAg berhububgan dengan daya infeksi yang tinggi. HBcAg ditemukan dalam hepatosit, tidak mudah dideteksi dalam serum. IgM HBc timbul pada infeksi baru terjadi hingga 6 bulan. IgG anti-HBc timbul pada skrining infeksi setelah 6 bulan. Anti-HBe timbul setelah resolusi infeksi akut.3

Bila didapatkan HBsAg yang positif, sebaiknya diteruskan dengan HBeAg dan anti HBeAg. Bila didapatkan HBeAg positif, ini merupakan indikasi pengobatan antiviral.

b) Pencitraan

USG sudah secara rutin digunakan untuk pemeriksaannya non-invasif dan mudah digunakan, namun sensitifitasnya kurang.9 Pemeriksaan hepar bisa


(11)

dinilai dengan USG meliputi sudut hepar, permukaan hepar, ukuran, homogenitas, dan adanya massa.9 Pada pasien yang sama sekali secara

fisik normal, diagnosa sirosis dapat dilihat melalui USG, antara lain dengan terlihatnya hepar dengan permukaan yang kasar, bertepi tumpul.6

Pada sirosis lanjut, hati mengecil dan nodular, permukaan ireguler dan ada peningkatan ekogenitas parenkim hari. Selain itu, USG juga bisa melihat ascites, splenomegali, thrombosis vena porta dan pelebaran vena porta, serta skrining adanya karsinoma pada pasien sirosis.9

c) Biopsi hepar

Biopsi tetap menjadi gold standart pada pasien dengan segala macam penyakit hepar, terutama pada pasien dnegan penyakit hepar kronis. Lebih bermanfaat untuk menentukan derajat keparahan & tingkat kerusakan hepar, dan memprediksi prognosis.

I. Komplikasi

Manifestasi utama dan lanjut dari sirosis hepatis terjadi akibat dua tipe gangguan fisiologis, yaitu liver failure (gagal sel hati) dan hipertensi portal. Manifestasi hipertensi portal adalah splenomegali, varises oesophagogastrik, serta manifestasi sirkulasi kolateral lain. Manifestasi gagal hepatoseluler adalah ikterus, edema perifer, kecenderungan perdarahan, eritema palamaris (telapak tangan merah), angioma laba-laba, fetor hepatikum, dan ensefalopati hepatik. Sedangkan, ascites (cairan dalam rongga peritoneum) dapat dianggap sebagai manifestasi kegagalan hepatoseluler dan hipertensi portal.


(12)

Tabel 2 . Komplikasi sirosis. [Sumber kepustakaan:1]

1. Hipertensi portal

Sistem vena porta normalnya mengalirkan darah dari lambung, usus, lien, pancreas, dan kandung empedu, dan vena porta terbentuk dari persatuan dari vena mesenterika superior dan vena lienalis. Darah deoksigenasi dari usus kecil mengalir ke dalam vena mesenterika superior dengan darah dari kaput pancreas, colon ascendens, dan bagian dari colon transverase. Sebaliknya, vena lienalis mengalirkan darah dari lien dan pancreas dan bersatu pada vena mesenterika inferior, yang membawa darah dari colon transverase dan descendens sebagaimana dari 2/3 superior rectum. Dengan begitu, vena portal menerima darah dari hampir seluruh traktus gastrointestinal.1

Hipertensi portal didefinisikan sebagai peningkatan gradient tekanan vena porta hepatik (hepatic venous pressure gradient – HVPG) hingga > 5mmHg. Kepustakaan lain mendefinisikannya sebagai peningkatan tekanan vena porta yang menetap di atas nilai normal yaitu 6 sampai 12 H2O.1

Hipertensi portal disebabkan oleh kombinasi dua proses hemodinamik yang terjadi secara simultan, yaitu peningkatan resistensi intrahepatik pada jalur aliran darah yang melalui hepar karena sirosis dan nodul-nodul regeneratif, dan peningkatan aliran darah dalam lien yang terjadi sekunder akibat


(13)

vasodilatasi di dalam pembuluh darah lien (menurunnya aliran keluar melalui vena hepatika dan meningkatnya aliran masuk bersama-sama menghasilkan beban berlebihan pada system portal).3

Hipertensi portal secara langsung bertanggung jawab atas dua komplikasi mayor sirosis, yaitu perdarahan varises dan ascites.1,3

Tabel 3. Klasifikasi hipertensi portal. [Sumber kepustakaan:1]

2. Varises

Pembebanan berlebihan sistem portal merangasang timbulnya aliran kolateral guna menghindari obstruksi hepatik (varises). Saluran kolateral penting yang timbul akibat sirosis dan hipertensi portal terdapat pada esophagus bagian


(14)

Varises sebaiknya diidentifikasi dengan endoskopi. Pencitraan abdomen, termasuk CT maupun MRI, dapat membantu menunjukkan nodul hepar dan menemukan perubahan-perubahan dari hipertensi portal dengan sirkulasi kolateral intraabdominal.1

Sekitar 5 – 15% sirosis per tahun membentuk varises, dan diperkirakan bahwa sebagian besar pasien dengan sirosis akan mengalami varises selama hidup mereka. Lebih lanjut, hal ini di antisipasi secara kasar sepertiga pasien dengan varises akan berkembang menjadi perdarahan. Perdarahan dari varises ini sering menyebabkan kematian.1

3. Ascites

Ascites merupakan penimbunan cairan serosa di dalam cavum peritoneal yang mengandung sedikit protein. Penyebab yang paling sering dari ascites adalah hipertensi portal, meskipun ada penyebab lain seperti keganasan dan infeksi.1,2,3

Faktor utama patogenesis ascites adalah peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler usus (hipertensi porta) dan penurunan tekanan osmotic koloid akibat hipoalbuminemia.3

Faktor-faktor yang turut terlibat dalam pathogenesis ascites pada sirosis hepatis, sebagai berikut:

- Hipertensi porta - Hipoalbuminemia

- Meningkatnya pembentukan dan aliran limfe hepar - Retensi natrium/ sodium

- Gangguan ekskresi air.

Mekanisme primer penginduksi hipertensi porta adalah resistensi terhadap aliran darah melalui hepar, karena peningkatan resistensi intrahepatik yang disebabkan adanya sirosis. Hal ini menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik dalam jaringan pembuluh darah intestinal. Namun, terdapat juga vasodilatasi dari sistem arteri lienalis, yang juga akan berbalik menimbulkan peningkatan aliran masuk vena portal. Kedua abnormalitas ini menyebabkan


(15)

peningkatan produksi limfe lien. Faktor vasodilatasi, seperti nitric oxide, bertanggung jawab atas efek vasdilatasi. Perubahan hemodinamik ini menyebabkan retensi natrium/ sodium yang disebabkan oleh aktivasi sistem renin-angiotensin-aldsteron dengan berkembangnya hiperaldosteronisme sekunder (penurunan volume efektif dalam sirkulasi mengaktifkan mekanisme sistem RAA, hal sekunder dari vasodilatasi pembuluh darah lienalis).1,3,9

Efek renal meningkatkan aldosteron mengarah pada retensi natrium/ sodium juga berkntribusi pada terbentuknya ascites. Penurunan inaktivasi aldosteron sirkulasi oleh hati juga dapat diakibatkan oleh kegagalan hepatoseluler. Retensi sodium menyebabkan akumulasi dan pelebaran volume cairan ekstraseluler, dengan hasil pembentukan edema perifer dan ascites. Karena cairan terus-menerus bocor keluar dari kompartemen intravaskuler ke cavum peritoneal, sensasi dari pengisian pembuluh darah tidak kunjung tercapai, sehingga proses ini terus terjadi.1


(16)

Hal ini diperburuk dengan adanya hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia menyebabkan menurunnya fungsi sintesis yang dihasilkan oleh sel-sel hati karena sirosis hepatis. Hipoalbuminemia menyebabkan menurunnya tekanan osmotic koloid. Kombinasi antara tekanan hidrostatik yang meningkat dengan tekanan osmotic yang menurun dalam jaringan pembuluh darah intestinal menyebabkan terjadinya transudasi cairan dari ruang intravaskuler ke ruang interstisial sesuai dengan hukum gaya Starling (ruang peritoneum dalam kasus ascites). Hipertensi porta kemudian meningkatkan pembentukan limfe hepatic, yang “menyeka” dari hepar ke rongga peritoneum. Mekanisme ini turut menyebabkan tingginya kandungan protein dalam cairan ascites, sehingga rongga peritoneum dan memicu terjadinya transudasi cairan intravaskuler ke cavum peritoneum.3

Suatu tanda ascites adalah meningkatnya lingkar abdomen. Penimbunan cairan yang sangat nyata dapat menyebabkan napas pendek kerana diafragma terdesak. Dengan semakin banyaknya cairan peritoneum, dapat dijumpai cairan lebih dari 500 ml pada saat pemeriksaan fisik dengan pekak alih –

shifting dullness, gelombang cairan – undulasi, dan perut yang membengkak.

Jumlah yang lebih sedikit dapat dijumpai dari pemeriksaan USG atau parasintesis.3

Pengobatan ascites, antara lain:2,3

- Pembatasan garam, metode utama

- Diuretik, digabungkan dengan diet rendah garam, pemberian bertahap menghindari dieresis berlebihan

- Parasintesis, tindakan memasukan suatu kanula ke dalam rongga peritoneum untuk mengeluarkan cairan ascites. Tidak lagi digunakan karena efek merugikan. Terdapat bahaya terjadinya hipovolemia, hipokalemia, hiponatremia, ensefalopati hepatikum, dan gagal ginjal. Cairan ascites dapat mengandung 10 – 30 g protein/ L, sehingga albumin serum kemudian mengalami deplesi, mencetuskan hipotensi, dan tertimbunnya kembali cairan ascites. Penggantian albumin secara


(17)

intravena dapat diberikan. Parasintesis biasanya hanya dilakukan untuk kepentingan diagnostic dan bila ascites menyebabkan kesulitan bernapas berat akibat volume cairan yang besar.

4. Peritonitis bakterial spontan1

PBS merupakan komplikasi yang umum dan parah dari tebentuknya ascites yang ditandai dengan infeksi spontan dari cairan ascites tanpa sumber intraabdominal. Pasien dengan sirosis dan ascites yang dirawat, PBS dapat timbul hingga 30% dari individu dan dapat menyebabkan kematian hingga 25%. Translokasi bakteri merupakan mekanisme yang diperkirakan terjadi pada PBS, dengan flora usus melintas ke dalam nodus limfe mesenterika, kemudian menjadi bakteremia dan berkembang pada cairan ascites. Organisme yang paling sering menginvasi adalah Escherichia coli dan bakteri usus lainnya; namun bakteri gram-positif, termasuk Streptococcus viridans,

Staphococcus aureus, and Enterococcus sp., juga dapat ditemukan.

Diagnosis PBS ditegakan saat contoh cairan telah diperiksa dan menunjukkan neutrofil absolute terhitung > 250/mm3. Kultur bedside langsung dapat

dilakukan saat cairan ascites dikumpulkan. Pasien dengan ascites dapat mengalami demam, perubahan status mental, peningkatan jumlah sel darah putih, dan nyeri abdomen atau rasa tidak nyaman, atau dapat muncul tanpa gejala apapun. Untuk itu, perlu untuk tetap memiliki kecurigaan.

5. Sindrom hepatorenal1,10

Sindrom hepatorenal (SHR) merupakan bentuk kegagalan fungsi ginjal tanpa kerusakan patologis ginjal yang muncul sekitar 10% dari pasien dnegan sirosis lanjut atau gagal hati akut. Terdapat gangguan yang ditandai pada sirkulasi arteri renal pada pasien dengan SHR, yaitu peningkatan resistensi vaskuler bersamaan dengan penurunan resistensi vaskuler sistemik. Alasan dari vaskonstriksi renal ini multifaktorial dan sangat tidak dimengerti.


(18)

1) SHR tipe 1 ditandai dengan gangguan fungsi ginjal progresif dan reduksi bersihan kreatinin signifikan dalam 1-2 minggu.

2) SHR tipe 2 ditandai dengan reduksi laju filtrasi glomerulus dengan peningkatan kadar serum kreatinin.

SHR sering pada pasien dengan ascites refraktori dan perlu diekslusi penyebab lain dari gagal ginjal akut.

6. Ensefalopati hepatik

Ensefalopati hepatik (koma hepatikum) merupakan sindrom neuropsikiatri pada penderita penyakit hati berat. Sindrom ini ditandai dengan kekacauan mental, tremor otot, dan flapping tremor yang disebut asteriksis. Perubahan mental diawali dengan perubahan kepribadian, hilang ingatan, dan iritabilitas yang dapat berlanjut hingga kematian akibat koma dalam.3

J. Penatalaksanaan

Pengobatan sirosis biasanya tidak memuaskan sebab pada umumnya sirosis hati tidak dapat disembuhkan.1,5 Sebab komplikasi sirosis pada dasarnya

sama dan kembali pada etiologinya, maka penting untuk mengklasifikasikan pasien sesuai penyebab penyakit hatinya sehingga dapat menentukan terapi yang sesuai. Terapi terutama ditujukan pada penyebabnya lalu mengatasi berbagai komplikasi.1

Manajemen komplikasi sirosis berputar sekitar terapi spesifik untuk pengobatan dari apapun komplikasi yang muncul, apakah perdarahan varises esophagus, terbentuknya ascites dan edema, atau ensefalpati. Pada pasien dengan hepatitis B kronik, banyak penelitian telah menunjukkan manfaat dari terapi antivirus, yang efektif untuk supressi/ penekanan virus, yang terbukti dengan menurunkan kadar aminotransferase dan kadar DNA HBV, dan memperbaiki keadaan histology dengan mengurangi inflamasi dan fibrosis. Beberapa uji klinis dan kasus telah menunjukkan bahwa pasien dengan penyakit hepar dekompensata dapat menjadi kompensata dengan penggunaan terapi langsung melawan hepatitis B.


(19)

Penatalaksanaan sirosis hepatis dekompensata dengan etilogi hepatitis B. 1. Diet

Mengusahakan diet yang tinggi kalori (1500-2000 kkal). Diet protein (1gr/kgBB/hari atau dikurangi), dapat dibatasi untuk mengurangi risiko terjadinya ensefalpati hapatik. Serta perlu menghindari obat-obat hepatotoksik. Bila didapatkan odem atau ascites maka dianjurkan diet rendah garam (< 0,5 gr/ hari).9

2. Terapi antivirus

Sebelum memulai pengobatan antiviral pada sirosis perlu diketahui bahwa pengobatan praktis adalah diberikan seumur hidup kecuali bila dapat dibuktikan bahwa kadar HBV DNA tetap negatif dalam jangka yang lama karena kalau diberhentikan dapat terjadi reaktivasi hepatitis B yang fatal.12

Pengobatan antivirus harus segera diberikan pada pasien sirosis dengan HBeAg positif. Demikian pula obat itu harus diberikan bila didapatkan kadar HBV DNA diatas 105 kopi/cc tanpa melihat hasil HBeAg. Untuk penderita

dengan HBV DNA positif dengan kadar DNA dibawah 105 kopi/cc banyak

sarjana yang juga menganjurkan terapi antiviral.8,12

Akhir-akhir ini tersedia terapi termasuk lamivudine, adefovir, entecavir, dan tenofovir. Interferon juga dapat mengobati hepatitis B, namun tidak digunakan pada keadaan yang sudah sirosis.1

- Agen antivirus

Ada beberapa macam obat yang beredar di Indonesia yaitu: Lamivudine, Adefovir, Telbivudin dan Entecafir.7

a. Lamivudine (3TC™)

Penelitian menunjukan bahwa lamivudin dapat dipakai pada penderita sirosis decompensata dengan DNA VHB yang positif. Sebagian besar pasien mengalami perbaikan penyakit hati dan menurunkan skor Child-Turcotte-Pugh(CTP), yang disertai dengan penurunan kebutuhan


(20)

bahwa pemberian Lamivudin untuk pasien-pasien sirosis memperbaiki fungsi hati dengan hilangnya gejala-gejala sirosis misalnya: udem, asites, dan hipoalbuminemi. Bahkan salah satu penelitian menunjukan bahwa pemberian Lamivudin mengurangi angka kejadian hepatoma.12

Sayang resistensi terhadap Lamivudin cepat terjadi.13 b. Entecafir (Baraclud™)

Obat tersebut angka resistensinya lebih rendah dibandingkan dengan Lamivudin dan Telbivudine. Untuk pasien yang belum pernah mendapat obat antiviral sebelumnya dosis yang diberikan adalah 0,5 mg tiap hari. Sedang untuk penderita yang sebelumnya sudah dapat obat antivirus jenis lain dosis yang dianjurkan adalah 1 mg tiap hari. Penelitian menunjukan bahwa kasiat entecafir lebih baik dibandingkan dengan lamivudin disamping angka kekebalan lebih rendah.7

c. Adefovir (Hepsera™)

Adefovir hanya dipakai bila ada tanda-tanda ada kekebalan terhadap analog necleuside yang lain karena nefrotoksik.

d. Telbivudin (Sebivo™) - Interferon

Pada perinsipnya interferon tidak boleh diberikan untuk sirosis dekompensata karena bisa menyebabkan gagal hati. PEG Interferon dapat diberikan untuk pasien-pasien sirosis dini dengan kadar SGOT SGPT diatas dua kali nilai normal tetapi kurang dari lima kali lipat dari lima normal tertinggi untuk penderita sirosis hepatis ti dengan HBsAg positif. Penelitian menunjukan bahwa masih ada tempat untuk PEG Interferon pada pasien dengan sirosis hepatis dini yang harus dipilih dengan hati-hati (6). Kepustakaan lain menyebutkan bahwa interferon tidak diberikan

pada keadaan hepatitis B yang sudah mencapai sirosis.1

3. Terapi komplikasi a. Ascites - Diet


(21)

Pasien dengan ascites dengan jumlah kecil biasanya dapat diterapi dengan diet rendah garam saja.1 Dianjurkan diet rendah garam (< 0,5 gr/ hari).

Kepustakaan lain < 2 gr/ hari.1

- Diuretik

Jika jumlah ascites moderate, terapi diuretik biasanya diperlukan.1

Kepustakaan lainnya menyebutkan pemberian diuretik hanya diberikan bagi penderita yang telah menjalani diet rendah garam dan pembatasan cairan namun penurunan berat badannya kurang dari 1 kg setelah 4 hari.2

Mengingat salah satu komplikasi akibat pemberian diuretik adalah hipokalemia dan hal ini dapat mencetuskan encepalophaty hepatik, maka pilihan utama diuretik adalah spironolactone 100-200 mg/hari, dosis tunggal saat pertama kali, (kepustakaan lain memulai dengan dosis rendah, serta dapat dinaikkan dosisnya bertahap tiap 3-4 hari).1,2,9 Apabila dengan

dosis maksimal diuresisnya belum tercapai atau pasien memiliki edema perifer, maka dapat dikombinasikan dengan furosemid 40-80 mg/hari.1,2

Pasien yang tidak pernah mendapatkan terapi diuretik sebelumnya, kegagalan pemberian dosis terapi tersebut menunjukkan bahwa pasien tidak sesuai dengan diet rendah natrium/ garam. Jika keadaan ini sudah dipastikan dan cairan ascites tidak juga keluar maka spironolactone dapat ditingkatkan menjadi 400-600 mg/ hari dan furosemide ditingkatkan menjadi 120-160 mg/ hari.1,2

Respon pemberian diuretik bisa dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5 kg/hari, tanpa adanya edema kaki atau 1 kg/ hari dengan adanya edema kaki.9

- Parasintesis

Sebagian kecil penderita asites tidak berhasil dengan pengobatan konservatif.2 Jika ascites masih ada dengan terapi diuretik tersebut maka

pasien-pasien ini disebut mengalami ascites refraktori, dan terapi alternatifnya adalah melakukan parasintesis berulang dengan


(22)

volume-gr/l cairan asites yang dikeluarkan.2,9 Prosedur ini tidak dianjurkan pada

keadaan protrombin < 40%, serum bilirubin > 10 mg/dl, trombosit < 40.000/mm3, creatinin > 3 mg/dl dan natrium urin < 10 mmol/24 jam.2

Gambar 4. Penanganan ascites refrakter. Pada pasien yang mengalami azotemia karena pemberian diuretic, beberapa akan memerlukan paresintesis vlume-besar (LVP-large

volume paracentesis), dan beberapa lainnya dipertimbangkan untuk dilakukan transjugular intrahepatic pstosystemic shunt (TIPS), dan beberapa pasien merupakan

kandidat untuk dilakukan transplantasi. Keputusan mengenai tindakan yang perlu dilakukan tergantung individu.

Sumber kepustakaan:1

b. Varises esofagus

Sebelum berdarah dan sesudah berdarah bisa diberikan obat penyekat beta (propanolol). Waktu perdarahan akut, bisa diberikan preparat somatostatin atau oktreid, diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau ligasi endoskopi.9

c. Peritonitis bakterial spontan

Pengobatan dengan cephalosporin generasi kedua, dengan cefotaxime menjadi antibiotik yang paling sering digunakan.1,9 Pada pasien dengan

perdarahan varises, frekuensi PBS akan secara signifikan meningkat, dan profilaksis melawan PBS direkomendasikan saat pasien datang dengan


(23)

perdarahan traktus digestivus. Selanjutnya, pasien yang memiliki episode PBS dan telah membaik, sekali seminggu pemberian antibiotik dapat diberikan untuk profilaksis PBS rekuen.1

d. Sindrom hepatorenal

Prinsipnya mengatasi perubahan sirkulasi darah di hepar, mengatur keseimbangan garam dan air.9 Pengobatan SHR sayangnya sangat sulit,

dan dulunya, analog dopamine atau prostaglandin digunakan untuk pengobatan vasodilatasi renal. Belakangan ini, pasien diterapi dengan midodrine, α – agonis , bersama dnegan octreotide dan albumin intravena. Terapi terbaik untuk SHR adalah transplantasi hepar. SHR tipe 1 dan 2 memiliki prognosis buruk, kecuali transplantasi dilakukan dalam waktu singkat.1

e. Ensefalopati hepatik

Laktulosa membantu pasien untuk mengeluarkan ammonia. Neomisin bisa digunakan untuk mengurangi bakteri usus penghasil ammonia, diet protein dikurangi sampai 0,5 gr/ kgBB/ hari, terutama diberikan yang kaya asam amino rantai cabang.9

4. Transplantasi

Transpalantasi hepar merupakan terapi definitif pada pasien sirosis hepatis dekompensata. Namun sebelum dilakukan transplantasi ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi resipien terlebih dahulu.9

Adapun skor Mayo End-Stage Liver Disease (MELD). Skor MELD ditemukan pada tahun 1999 di klinik Mayo sebagai prediktor ketahanan hidup 12 minggu yang lebih objektif pada pasien dengan penyakit hepar kronik. Skor ini digunakan untuk memprediksi pasien yang akan menjalani terapi

Transjugular Intrahepatic Portosystem (TIPS) dan sebagai alat untuk

menentukan prioritas pasien sirosis hepatis yang menunggu transplantasi hepar.4,9


(24)

3,8 x log(e)(total bilirubin, mg/dl) + 11,2 x log(e)(INR) + 9,6 x log(e) (kreatinin, mg/dl)

Ketahanan hidup pasien sirosis hepatis dengan skor MELD </= 11 lebih baik daripada pasien sirosis hepatis dengan skor MELD >11.4

K. Prognosis

Prognosis sirosis hepatis dipengaruhi beberapa faktor : 1. Etiologi.

2. Sirosis dekompensata yang mengikuti perdarahan, infeksi atau alkoholisme lebih baik prognosisnya dibanding sirosis yang muncul secara spontan, sebab faktor pencetusnya dapat dikoreksi.

3. Respon terhadap terapi. 4. Ikterus.

5. Komplikasi neurologi. 6. Ukuran hati.

7. Perdarahan dari varises esofagus. 8. Asites.

9. Tes biokimia.

10. Hipoprotrombinemia menetap dan hipotensi menetap mempunyai prognosis buruk.

11. Perubahan histologi hati.

Terdapat perangkat prognostik untuk sirosis hepatis, yaitu skor Child-Pugh. Diperkenalkan oleh C.G. Child dan J.G. Turcotte pada tahun 1964. Kriteria asites dan ensefalopati menggambarkan tingkat beratnya hipertensi portal, sedangkan kriteria lainya yaitu ikterus, albumin, dan status nutrisi menggambarkan fungsi metabolisme hepar. Kemudian pada tahun 1973 R.N.H. Pugh mengubah kriteria status nutrisi menjadi PPT atau INR, sehingga menghilangkan kriteria yang paling subjektif.4


(25)

Tabel 4. Skor Child- Pugh [Sumber kepustakaan:4].

Tabel 5. Interpretasi skor Child- Pugh [Sumber kepustakaan:4].

Skor ini semula dibuat untuk memperkirakan kematian pada tindakan bedah. Dan sekarang digunakan juga untuk menentukan prognosis yang diperlukan untuk transplantasi hepar dan menilai prognosis serta staging secara klinis pada sirosis hepatis.4,9


(1)

bahwa pemberian Lamivudin untuk pasien-pasien sirosis memperbaiki fungsi hati dengan hilangnya gejala-gejala sirosis misalnya: udem, asites, dan hipoalbuminemi. Bahkan salah satu penelitian menunjukan bahwa pemberian Lamivudin mengurangi angka kejadian hepatoma.12

Sayang resistensi terhadap Lamivudin cepat terjadi.13

b. Entecafir (Baraclud™)

Obat tersebut angka resistensinya lebih rendah dibandingkan dengan Lamivudin dan Telbivudine. Untuk pasien yang belum pernah mendapat obat antiviral sebelumnya dosis yang diberikan adalah 0,5 mg tiap hari. Sedang untuk penderita yang sebelumnya sudah dapat obat antivirus jenis lain dosis yang dianjurkan adalah 1 mg tiap hari. Penelitian menunjukan bahwa kasiat entecafir lebih baik dibandingkan dengan lamivudin disamping angka kekebalan lebih rendah.7

c. Adefovir (Hepsera™)

Adefovir hanya dipakai bila ada tanda-tanda ada kekebalan terhadap analog necleuside yang lain karena nefrotoksik.

d. Telbivudin (Sebivo™) - Interferon

Pada perinsipnya interferon tidak boleh diberikan untuk sirosis dekompensata karena bisa menyebabkan gagal hati. PEG Interferon dapat diberikan untuk pasien-pasien sirosis dini dengan kadar SGOT SGPT diatas dua kali nilai normal tetapi kurang dari lima kali lipat dari lima normal tertinggi untuk penderita sirosis hepatis ti dengan HBsAg positif. Penelitian menunjukan bahwa masih ada tempat untuk PEG Interferon pada pasien dengan sirosis hepatis dini yang harus dipilih dengan hati-hati (6). Kepustakaan lain menyebutkan bahwa interferon tidak diberikan

pada keadaan hepatitis B yang sudah mencapai sirosis.1

3. Terapi komplikasi a. Ascites - Diet


(2)

Pasien dengan ascites dengan jumlah kecil biasanya dapat diterapi dengan diet rendah garam saja.1 Dianjurkan diet rendah garam (< 0,5 gr/ hari).

Kepustakaan lain < 2 gr/ hari.1

- Diuretik

Jika jumlah ascites moderate, terapi diuretik biasanya diperlukan.1

Kepustakaan lainnya menyebutkan pemberian diuretik hanya diberikan bagi penderita yang telah menjalani diet rendah garam dan pembatasan cairan namun penurunan berat badannya kurang dari 1 kg setelah 4 hari.2

Mengingat salah satu komplikasi akibat pemberian diuretik adalah hipokalemia dan hal ini dapat mencetuskan encepalophaty hepatik, maka pilihan utama diuretik adalah spironolactone 100-200 mg/hari, dosis tunggal saat pertama kali, (kepustakaan lain memulai dengan dosis rendah, serta dapat dinaikkan dosisnya bertahap tiap 3-4 hari).1,2,9 Apabila dengan

dosis maksimal diuresisnya belum tercapai atau pasien memiliki edema perifer, maka dapat dikombinasikan dengan furosemid 40-80 mg/hari.1,2

Pasien yang tidak pernah mendapatkan terapi diuretik sebelumnya, kegagalan pemberian dosis terapi tersebut menunjukkan bahwa pasien tidak sesuai dengan diet rendah natrium/ garam. Jika keadaan ini sudah dipastikan dan cairan ascites tidak juga keluar maka spironolactone dapat ditingkatkan menjadi 400-600 mg/ hari dan furosemide ditingkatkan menjadi 120-160 mg/ hari.1,2

Respon pemberian diuretik bisa dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5 kg/hari, tanpa adanya edema kaki atau 1 kg/ hari dengan adanya edema kaki.9

- Parasintesis

Sebagian kecil penderita asites tidak berhasil dengan pengobatan konservatif.2 Jika ascites masih ada dengan terapi diuretik tersebut maka

pasien-pasien ini disebut mengalami ascites refraktori, dan terapi alternatifnya adalah melakukan parasintesis berulang dengan volume-besar.1 Mengenai parasintesis cairan asites dapat dilakukan 5-10 liter / hari


(3)

gr/l cairan asites yang dikeluarkan.2,9 Prosedur ini tidak dianjurkan pada

keadaan protrombin < 40%, serum bilirubin > 10 mg/dl, trombosit < 40.000/mm3, creatinin > 3 mg/dl dan natrium urin < 10 mmol/24 jam.2

Gambar 4. Penanganan ascites refrakter. Pada pasien yang mengalami azotemia karena pemberian diuretic, beberapa akan memerlukan paresintesis vlume-besar (LVP-large

volume paracentesis), dan beberapa lainnya dipertimbangkan untuk dilakukan transjugular intrahepatic pstosystemic shunt (TIPS), dan beberapa pasien merupakan

kandidat untuk dilakukan transplantasi. Keputusan mengenai tindakan yang perlu dilakukan tergantung individu.

Sumber kepustakaan:1 b. Varises esofagus

Sebelum berdarah dan sesudah berdarah bisa diberikan obat penyekat beta (propanolol). Waktu perdarahan akut, bisa diberikan preparat somatostatin atau oktreid, diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau ligasi endoskopi.9

c. Peritonitis bakterial spontan

Pengobatan dengan cephalosporin generasi kedua, dengan cefotaxime menjadi antibiotik yang paling sering digunakan.1,9 Pada pasien dengan

perdarahan varises, frekuensi PBS akan secara signifikan meningkat, dan profilaksis melawan PBS direkomendasikan saat pasien datang dengan


(4)

perdarahan traktus digestivus. Selanjutnya, pasien yang memiliki episode PBS dan telah membaik, sekali seminggu pemberian antibiotik dapat diberikan untuk profilaksis PBS rekuen.1

d. Sindrom hepatorenal

Prinsipnya mengatasi perubahan sirkulasi darah di hepar, mengatur keseimbangan garam dan air.9 Pengobatan SHR sayangnya sangat sulit,

dan dulunya, analog dopamine atau prostaglandin digunakan untuk pengobatan vasodilatasi renal. Belakangan ini, pasien diterapi dengan midodrine, α – agonis , bersama dnegan octreotide dan albumin intravena. Terapi terbaik untuk SHR adalah transplantasi hepar. SHR tipe 1 dan 2 memiliki prognosis buruk, kecuali transplantasi dilakukan dalam waktu singkat.1

e. Ensefalopati hepatik

Laktulosa membantu pasien untuk mengeluarkan ammonia. Neomisin bisa digunakan untuk mengurangi bakteri usus penghasil ammonia, diet protein dikurangi sampai 0,5 gr/ kgBB/ hari, terutama diberikan yang kaya asam amino rantai cabang.9

4. Transplantasi

Transpalantasi hepar merupakan terapi definitif pada pasien sirosis hepatis dekompensata. Namun sebelum dilakukan transplantasi ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi resipien terlebih dahulu.9

Adapun skor Mayo End-Stage Liver Disease (MELD). Skor MELD ditemukan pada tahun 1999 di klinik Mayo sebagai prediktor ketahanan hidup 12 minggu yang lebih objektif pada pasien dengan penyakit hepar kronik. Skor ini digunakan untuk memprediksi pasien yang akan menjalani terapi Transjugular Intrahepatic Portosystem (TIPS) dan sebagai alat untuk menentukan prioritas pasien sirosis hepatis yang menunggu transplantasi hepar.4,9


(5)

3,8 x log(e)(total bilirubin, mg/dl) + 11,2 x log(e)(INR) + 9,6 x log(e) (kreatinin, mg/dl)

Ketahanan hidup pasien sirosis hepatis dengan skor MELD </= 11 lebih baik daripada pasien sirosis hepatis dengan skor MELD >11.4

K. Prognosis

Prognosis sirosis hepatis dipengaruhi beberapa faktor : 1. Etiologi.

2. Sirosis dekompensata yang mengikuti perdarahan, infeksi atau alkoholisme lebih baik prognosisnya dibanding sirosis yang muncul secara spontan, sebab faktor pencetusnya dapat dikoreksi.

3. Respon terhadap terapi. 4. Ikterus.

5. Komplikasi neurologi. 6. Ukuran hati.

7. Perdarahan dari varises esofagus. 8. Asites.

9. Tes biokimia.

10. Hipoprotrombinemia menetap dan hipotensi menetap mempunyai prognosis buruk.

11. Perubahan histologi hati.

Terdapat perangkat prognostik untuk sirosis hepatis, yaitu skor Child-Pugh. Diperkenalkan oleh C.G. Child dan J.G. Turcotte pada tahun 1964. Kriteria asites dan ensefalopati menggambarkan tingkat beratnya hipertensi portal, sedangkan kriteria lainya yaitu ikterus, albumin, dan status nutrisi menggambarkan fungsi metabolisme hepar. Kemudian pada tahun 1973 R.N.H. Pugh mengubah kriteria status nutrisi menjadi PPT atau INR, sehingga menghilangkan kriteria yang paling subjektif.4


(6)

Tabel 4. Skor Child- Pugh [Sumber kepustakaan:4].

Tabel 5. Interpretasi skor Child- Pugh [Sumber kepustakaan:4].

Skor ini semula dibuat untuk memperkirakan kematian pada tindakan bedah. Dan sekarang digunakan juga untuk menentukan prognosis yang diperlukan untuk transplantasi hepar dan menilai prognosis serta staging secara klinis pada sirosis hepatis.4,9