Koreksi Fiskal PPH Terhadap Transfer Pricing Dalam Hubungan Istimewa

(1)

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

SKRIPSI

KOREKSI FISKAL PPH TERHADAP TRANSFER PRICING DALAM HUBUNGAN ISTIMEWA (STUDI KASUS: PT. PSPI)

Oleh :

NAMA : RAMSESS BANGUN

NIM : 050503053

DEPARTEMEN : AKUNTANSI

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Ekonomi


(2)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Koreksi Fiskal PPH Terhadap Transfer Pricing Dalam Hubungan Istimewa” adalah benar hasil karya saya sendiri dan judul ini belum pernah dimuat, dipublikasikan, atau diteliti oleh mahasiswa lain dalam konteks penulisan skripsi untuk program S1 Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

Semua sumber data dan informasi yang diperoleh telah dinyatakan dengan jelas, benar, apa adanya dan apabila dikemudian hari pernyataan ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi yang ditetapkan oleh Universitas Sumatera Utara.

Medan, Maret 2010 Yang Membuat Pernyataan,

Ramsess Bangun NIM 050503053


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa di Surga atas segala limpahan anugerah dan berkat-Nya yang telah dilimpahkan sejak penulis mencari ide, mengajukan, menyusun, hingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya dukungan berupa pengarahan, bimbingan, bantuan, dan kerjasama semua pihak yang telah turut membantu dalam proses menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec, selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Hasan Sakti Siregar, M.Si., Ak. dan Ibu Mutia Ismail, MM, Ak.selaku Ketua Departemen dan Sekretaris Departemen Akuntansi Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. Arifin Hamzah, MM, Ak selaku Dosen Pembimbing atas bimbingan dan arahan Bapak dalam proses penyelesaian skripsi ini. 4. Bapak Drs. Abikusno Dharsuky, MM, Ak selaku Dosen Penguji I dan

Bapak Fahmi Natigor Nst, SE, M.Acc, Ak selaku Dosen Penguji II atas segala masukan dan saran yang telah diberikan.

5. Kepada ayah tercinta Drs. Sarikat Bangun, STh dan ibunda tercinta Alemmina Bukit. Terima kasih banyak untuk kasih sayang, didikan,


(4)

saya.

6. Kepada PT. Perintis Sarana Pancing Indonesia atas bantuan dan kerjasama yang diberikan selama penulis melakukan penelitian.

Akhir kata, saya menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Saya berharap skripsi ini bisa bermanfaat bagi semua pihak. Semoga Tuhan senantiasa melimpahkan berkat dan karunia-Nya. Amin.

Medan, Maret 2010 Penulis

Ramsess Bangun NIM 050503053


(5)

ABSTRAK

Persaingan yang ketat di era globalisasi menuntut perusahaan memenuhi permintaan pasar yang selalu meningkat dari tahun ke tahun. Dalam menunjang kegiatan bisnis, PT. PSPI melakukan transaksi, baik dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa, maupun dengan pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa. Perlakuan istimewa yang diberikan oleh PT. PSPI kepada pihak yang memiliki hubungan istimewa menimbulkan nilai transaksi transfer pricing menjadi tidak wajar. Berdasarkan tersebut, maka perlu adanya koreksi fiskal pajak penghasilan atas transaksi transfer pricing tersebut.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui koreksi fiskal pajak penghasilan terhadap transaksi transfer pricing yang dilakukan oleh perusahaan.

Metode yang dilakukan dalam menilai kewajaran transaksi

transfer pricing yang dilakukan perusahaan adalah metode Comparable Uncontrolled Price. Data perbandingan yang digunakan dalam metode

ini adalah data perbandingan harga kepada kepada pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa. Perlakuan istimewa yang diberikan oleh PT. PSPI membawa pengaruh terhadap meningkatnya pajak penghasilan kurang bayar.


(6)

The strict competition requires company to fulfill the market demand that always increase from year to year. In supporting its business activity, PT.PSPI is doing the transaction wish the special and common partners. Special treatment that is given by PT. PSPI to their special partner causes value of transfer pricing transaction is not proper. Based on that, PT. PSPI needs correction in income tax fiscal towards the transfer pricing transaction.

The purpose of this research is to know about the correction of income tax fiscal towards the transfer pricing transaction in the company.

The method used a comparable uncontrolled price to evaluated company’s transfer pricing transaction properly. Comparable data that is used is price comparable data to common partners. Special treatment that is given by PT. PSPI will influence the increasing of underpaid of the income tax.


(7)

DAFTAR ISI SKRIPSI

Halaman

PERNYATAAN………. i

KATA PENGANTAR………... ii

ABSTRAK……….. iv

ABSTRACT………... v

DAFTAR ISI……….. vi

DAFTAR GAMBAR... x

DAFTAR TABEL………..………... xi

DAFTAR LAMPIRAN………. xii

BAB I PENDAHULUAN……….. 1

A. Latar Belakang Masalah……… 1

B. Perumusan Masalah……….. 3

C. Tujuan Penelitian ... 3

D. Manfaat Penelitian…..………... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA………... 5 A. Pajak Penghasilan (PPH) Secara Umum…………...

B. Subjek dan Objek Pajak Penghasilan (PPH)... 1. Subjek Pajak Penghasilan (PPH)... 2. Objek Pajak Penghasilan (PPH)...

5 5 5 6


(8)

C. Pengertian Hubungan Istimewa..………. D. Pengertian dan Tujuan Transfer Pricing... E. Transaksi Transfer Pricing antar Perusahaan Domestik... F. Transaksi Transfer Pricing antar Perusahaan antar Negara... G. Penetapan Transfer Pricing... H. Koreksi Fiskal untuk Transaksi Transfer Pricing... I. Kerangka Konseptual...

BAB III METODE PENELITIAN...

A. Desain Penelitian... B. Jenis dan Sumber Data... C. Teknik Pengumpulan Data... D. Metode Analisis Data... E. Lokasi Penelitian...

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN...

A. Gambaran Umum Perusahaan... 1. Sejarah Singkat Perusahaan... 2. Struktur Organisasi Perusahaan... B. Analisis Hasil Penelitian... 1. Pengaruh Hubungan Istimewa Terhadap Transfer Pricing...

7 12 14 16 19 22 31 33 33 33 34 34 35 36 36 36 37 38 38


(9)

2. Pengaruh Transfer Pricing Terhadap Koreksi Fiskal Pajak

Penghasilan... 3. Koreksi Fiskal Terhadap Transaksi Transfer Pricing

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...

A. Kesimpulan... B. Saran...

DAFTAR PUSTAKA... LAMPIRAN...

41 44

51 51 52

53 55


(10)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual... 32 Gambar 4.1 Struktur Organisasi Perusahaan... 57


(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Tabel 4.1

Halaman Analisis Hubungan Istimewa Terhadap Transfer Pricing 41 Tabel 4.2 Daftar Keterlambatan Pembayaran Terhadap Piutang

Penjualan dari Pihak yang Memiliki Hubungan Istimewa

43

Tabel 4.3 Daftar Keterlambatan Pembayaran Terhadap Piutang Penjualan dari Pihak yang Tidak Memiliki Hubungan Istimewa

43

Tabel 4.4 Daftar Keterlambatan Pembayaran Terhadap Piutang Penjualan dari Pihak yang Memiliki Hubungan Istimewa

47

Tabel 4.5 Daftar Keterlambatan Pembayaran Terhadap Piutang Penjualan dari Pihak yang Tidak Memiliki Hubungan Istimewa

47

Tabel 4.6 Analisis Transaksi Transfer Pricing Terhadap Koreksi Fiskal Bunga Pinjaman

49

Tabel 4.7 Koreksi Fiskal Pajak Penghasilan Terhadap Transaksi

Transfer Pricing


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Lampiran 1

Halaman Surat Keterangan Survey... 56 Lampiran 2 Laporan Laba Rugi PT. PSPI... 58


(13)

ABSTRAK

Persaingan yang ketat di era globalisasi menuntut perusahaan memenuhi permintaan pasar yang selalu meningkat dari tahun ke tahun. Dalam menunjang kegiatan bisnis, PT. PSPI melakukan transaksi, baik dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa, maupun dengan pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa. Perlakuan istimewa yang diberikan oleh PT. PSPI kepada pihak yang memiliki hubungan istimewa menimbulkan nilai transaksi transfer pricing menjadi tidak wajar. Berdasarkan tersebut, maka perlu adanya koreksi fiskal pajak penghasilan atas transaksi transfer pricing tersebut.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui koreksi fiskal pajak penghasilan terhadap transaksi transfer pricing yang dilakukan oleh perusahaan.

Metode yang dilakukan dalam menilai kewajaran transaksi

transfer pricing yang dilakukan perusahaan adalah metode Comparable Uncontrolled Price. Data perbandingan yang digunakan dalam metode

ini adalah data perbandingan harga kepada kepada pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa. Perlakuan istimewa yang diberikan oleh PT. PSPI membawa pengaruh terhadap meningkatnya pajak penghasilan kurang bayar.


(14)

The strict competition requires company to fulfill the market demand that always increase from year to year. In supporting its business activity, PT.PSPI is doing the transaction wish the special and common partners. Special treatment that is given by PT. PSPI to their special partner causes value of transfer pricing transaction is not proper. Based on that, PT. PSPI needs correction in income tax fiscal towards the transfer pricing transaction.

The purpose of this research is to know about the correction of income tax fiscal towards the transfer pricing transaction in the company.

The method used a comparable uncontrolled price to evaluated company’s transfer pricing transaction properly. Comparable data that is used is price comparable data to common partners. Special treatment that is given by PT. PSPI will influence the increasing of underpaid of the income tax.


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di era globalisasi persaingan di berbagai bidang sangat ketat, khususnya dalam bidang ekonomi. Para pemilik perusahaan saling bersaing dengan perusahaan lain untuk menghasilkan produk yang bermanfaat dengan harga yang murah. Semakin produk tersebut bermanfaat dan murah, semakin banyak masyarakat yang akan mengkonsumsi produk tersebut. Produk yang semakin disenangi masyarakat untuk dikonsumsi akan menghasilkan laba yang tinggi bagi perusahaan.

Dalam menghasilkan laba yang tinggi, perusahaan harus berusaha memenuhi permintaan pasar yang selalu meningkat dari tahun ke tahun. Usaha tersebut diwujudkan dengan membuka pabrik baru dilokasi yang secara ekonomis menguntungkan sehingga hasil produksi dapat memenuhi permintaan pasar. Selain perusahaan mendirikan pabrik yang baru, perusahaan juga mendirikan anak perusahaan di bidang yang lain untuk menunjang kegiatan produksi perusahaan induk, misalnya: anak perusahaan dalam bidang transportasi, anak perusahaan dalam bidang pengemasan, atau anak perusahaan yang mengolah bahan baku.

Transaksi antar induk perusahaan yang memiliki hubungan istimewa dengan pihak lain atau anak perusahaan dinamakan transaksi transfer pricing. Ditinjau dari aspek pajak, transfer pricing memiliki 2 pengertian. Pertama berasumsi bahwa transfer pricing adalah murni merupakan strategi dan taktik bisnis tanpa motif pengurangan beban pajak. Kedua berasumsi bahwa transfer

pricing dianggap sebagai usaha untuk menghemat beban pajak secara

keseluruhan dengan taktik, antara lain: menggeser laba ke negara yang beban pajaknya kecil. (Gunadi, 1994:56).


(16)

Menurut pasal 18 ayat (2) Undang-Undang No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan mengisyaratkan adanya kemungkinan pendistribusian laba oleh para wajib pajak yang memiliki hubungan istimewa. “Transfer pricing merupakan instrumen yang dapat dipakai untuk melaksanakan maksud tersebut, sehingga transaksi tersebut dapat berpengaruh terhadap besar kecilnya pajak yang akan dibayar.” Pajak penghasilan yang akan dipungut dihitung berdasarkan laba kena pajak, yaitu laba kotor dikurangi biaya-biaya yang terdapat dalam pasal (6) Undang-Undang No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Untuk menghindari maksud tersebut, maka transaksi yang memiliki hubungan istimewa perlu diteliti secara seksama.

Dengan demikian diperlukan koreksi fiskal pajak penghasilan terhadap perusahaan yang memiliki hubungan istimewa dengan pihak lain atau anak perusahaan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana transaksi transfer

pricing yang dilakukan sesuai dengan peraturan pajak yang berlaku, sehingga

tidak ada penghindaran pajak penghasilan yang dilakukan oleh wajib pajak.

PT. Perintis Sarana Pancing Indonesia (PT. PSPI) merupakan perusahaan industri yang menghasilkan salah satu alat pancing, yaitu mata pancing. PT. PSPI menjual mata pancing kepada perusahaan yang memiliki hubungan istimewa, misalnya kepada perusahaan yang dengan faktor kepemilikan di atas 25% dan hubungan keluarga sedarah atau semenda, selain menjual kepada distributor. Transaksi yang dilakukan oleh PT. PSPI kepada perusahaan lain yang memiliki hubungan istimewa merupakan transaksi transfer pricing.


(17)

Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk membahas mengenai fenomena dari transaksi transfer pricing dan pengaruhnya terhadap koreksi fiskal pajak penghasilan yang terjadi PT. PSPI dalam skripsi dengan judul “Koreksi

Fiskal PPh Terhadap Transfer Pricing Dalam Hubungan Istimewa (Studi Kasus: PT PSPI).”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis membuat perumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh hubungan istimewa terhadap transaksi Transfer

Pricing pada PT. PSPI?

2. Bagaimana pengaruh transaksi transfer pricing terhadap koreksi fiskal pajak penghasilan badan PT. PSPI tahun 2006?

3. Bagaimana pengaruh transaksi transfer pricing terhadap koreksi fiskal pajak penghasilan pasal 23 pada PT. PSPI tahun 2006?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

.Adapun tujuan penulis dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaruh hubungan istimewa terhadap transaksi transfer pricing, dan bagaimana pengaruh transaksi transfer pricing terhadap koreksi fiskal pajak penghasilan pada PT. PSPI


(18)

D. Manfaat Penelitian

Pada penelitian ini, penulis berharap dapat memberikan manfaat antara lain :

1. Bagi Penulis, untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi transaksi transfer pricing serta menambah pemahaman di bidang perpajakan khususnya mengenai koreksi fiskal pajak penghasilan pada PT. PSPI.

2. Bagi PT. PSPI, memberikan masukan dan sumbangan pemikiran mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi transaksi transfer pricing serta kaitannya dengan koreksi fiskal pajak penghasilan.

3. Bagi pihak lain, diharapkan dapat menjadi referensi untuk penelitian selanjutnya


(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pajak Penghasilan (PPH) Secara Umum

Pengertian pajak secara umum adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang atau yang dapat dipaksakan dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

Menurut Djoko Muljono(2006: 27):

Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan terhadap setiap tambahan kemampuan ekonomi yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

Undang-undang pajak penghasilan mengatur mengenai subjek pajak, objek pajak, serta cara menghitung dan cara melunasi pajak yang terutang. Undang-undang pajak penghasilan menganut asas materiil artinya penentuan mengenai pajak yang terutang tidak tergantung kepada surat ketetapan pajak..

B. Subjek dan Objek Pajak Penghasilan (PPH) 1. Subjek Pajak Penghasilan (PPH) :

Subjek pajak penghasilan adalah wajib pajak yang menurut ketentuan harus membayar, memotong, atau memungut pajak yang terutang atas objek pajak. Subjek pajak penghasilan dapat dibedakan menjadi 2, yaitu: subjek pajak dalam negeri dan luar negeri. Subjek pajak dalam negeri


(20)

dapat berupa orang pribadi, badan yang berkedudukan di Indonesia, dan warisan yang belum terbagi.

2. Objek Pajak Penghasilan (PPH) :

Objek pajak penghasilan adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan bentuk apapun. Dalam akuntansi pajak, objek pajak penghasilan dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu:

a. Penghasilan yang bukan merupakan objek pajak penghasilan.

Dalam akuntansi pajak tidak semua penghasilan merupakan objek pajak penghasilan. Beberapa bentuk penghasilan menurut akuntansi komersial sudah dibukukan sebagai penghasilan, tetapi dalam akuntansi pajak bukan merupakan penghasilanyang menjadi objek pajak penghasilan. Artinya, atas penghasilan tersebut tidak perlu lagi diperhitungkan PPh terutangnya. Adapun bentuk penghasilan yang bukan merupakan objek pajak tersebut, yaitu: bantuan atau sumbangan, zakat, harta hibah, warisan, harta, pemberian natura dan kenikmatan, klaim asuransi, dividen tertentu, iuran dana pensiun, penghasilan dana pensiun, pembagian laba perseroan komanditer yang tidak terbagi atas saham, bunga obligasi perusahaan reksadana, penghasilan modal ventura, dan pembebasan hutang tertentu.


(21)

b. Penghasilan yang sudah terkena PPh Final.

Penghasilan yang sudah dikenakan PPh yang sifatnya final tidak perlu lagi diperhitungkan sebagai objek pajak penghasilan, dan atas PPh Final yang telah dipotong pihak lain atau telah dibayar sendiri tidak dapat diperlakukan sebagai kredit pajak. Objek PPh Final dapat dibedakan sesuai jenis pengenaannya, antara lain: uang pesangon, industri tembakau dari pabrikan, migas pada agen Pertamina, bunga bank, bunga obligasi, Premium SWAP/Forward, bunga anggota koperasi, sewa tanah atau dan bangunan, jasa pelayaran, jasa penerbangan, selisih lebih pada revaluasi, pengalihan hak tanah dan bangunan, transaksi saham, dan diskonto obligasi.

c. Penghasilan yang merupakan objek pajak.

Penghasilan kena pajak atau penghasilan yang merupakan objek pajak dapat dibedakan menjadi 5, yaitu: penghasilan dari kegiatan usaha, penghasilan sebagai karyawan, penghasilan dari pemberi jasa, penghasilan dari modal atas harta yang bergerak, dan penghasilan dari modal atas harga yang tak bergerak.

C. Pengertian Hubungan Istimewa

Menurut Standar Akuntansi Keuangan No. 7, definisi pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa adalah sebagai berikut:

1. Perusahaan yang melalui satu atau lebih perantara, mengendalikan, atau dikendalikan oleh atau berada di bawah pengendalian bersama


(22)

dengan perusahaan pelapor (termasuk holding companies, subsidiaries,

dan fellow subsidiaries).

2. Perusahaan asosiasi (associated company).

3. Perorangan yang memiliki, baik secara langsung maupun tidak langsung suatu kepentingan hak suara di perusahaan pelapor yang berpengaruh secara signifikan dan anggota keluarga dekat dari perorangan tersebut. Yang dimaksudkan dengan anggota keluarga dekat adalah mereka yang dapat diharapkan mempengaruhi atau dipengaruhi perorangan tersebut dalam transaksinya dengan perusahan pelapor.

4. Karyawan kunci, yaitu orang-orang yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab untuk merencanakan, memimpin, dan mengendalikan kegiatan perusahaan pelapor yang meliputi anggota dewan komisaris, direksi, dan manajer dari perusahaan, serta anggota keluarga dekat orang-orang tersebut.

5. Perusahaan dengan kepentingan substansial dalam hak yang dimiliki, baik secara langsung maupun tidak langsung oleh setiap orang yang diuraikan dalam (3) atau (4), atau setiap orang tersebut mempunyai pengaruh signifikan atas perusahaan tersebut. Ini mencakup perusahaan yang dimiliki anggota dewan komisaris, direksi, atau pemegang saham utama dari perusahaan pelapor dan perusahaan-perusahaan yang mempunyai anggota manajemen kunci yang sama dengan perusahaan pelapor.


(23)

Sedangkan kriteria hubungan istimewa menurut pajak yang diatur dalam SE-18/PJ.53/1995 adalah sebagai berikut:

1. Faktor kepemilikan, dan penyertaan.

Hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat hubungan kepemilikan berupa penyertaan modal sebesar 25% baik secara langsung atau tidak langsung.

a. Penyertaan secara langsung

PT. X memiliki 50% saham PT. B, kepemilikan saham PT. Y oleh PT. X tersebut merupakan penyertaan modal secara langsung sebesar lebih dari 25%. Dalam hal ini dianggap ada hubungan istimewa PT. X dan PT. Y.

b. Penyertaan tidak langsung

Jika PT. Y tersebut diatas memiliki 50% saham PT. Z, PT. X sebagai pemegang saham PT. Y, secara tidak langsung mempunyai penyertaan pada PT. Z sebesar 25%. Dalam hal tersebut antara PT. X, PT. Y, dan PT. Z terdapat hubungan istimewa. Hubungan kepemilikan tersebut di atas juga dapat terjadi antar orang pribadi dan badan.

2. Faktor penguasaan melalui manajemen dan penggunaan teknologi. Hubungan istimewa antar pengusaha dapat juga terjadi karena adanya penguasaan melalui manajemen ataupun penggunaan teknologi, meskipun tidak terdapat hubungan kepemilikan. Hubungan istimewa ada apabila satu atau lebih perusahaan berada di bawah penguasaan


(24)

pengusaha yang sama. Demikian juga hubungan antara beberapa perusahaan yang berada dalam penguasaan penggunaan teknologi yang sama.

3. Faktor hubungan keluarga sedarah atau semenda.

Hubungan keluarga sedarah atau semenda ini dapat menimbulkan hubungan istimewa diantara orang pribadi. Hubungan keluarga sedarah yang menimbulkan hubungan istimewa adalah hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, yaitu hubungan antara seorang dengan ayahnya atau dengan ibunya, atau dengan anaknya, dan hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan ke samping satu derajat, yaitu hubungan antara seseorang dengan kakaknya atau adiknya.

Hubungan keluarga semenda yang dapat menimbulkan hubungan istimewa adalah hubungan semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat, yaitu dengan anak tirinya atau dengan mertuanya, dan hubungan keluarga semenda dalam garis keturunan ke samping satu derajat, yaitu hubungan antara seorang dengan iparnya. Apabila antara suami istri tersebut terdapat juga hubungan istimewa.

Hubungan istimewa yang dimaksud di atas sesuai dengan pasal 18 ayat (4) Undang-Undang No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Hubungan istimewa dapat mengakibatkan ketidakwajaran harga, biaya, atau imbalan lain yang direalisasikan dalam suatu transaksi usaha. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya pengalihan penghasilan atau atas dasar pengenaan pajak, dan biaya dari


(25)

satu wajib pajak ke wajib pajak lainnya yang dapat direkayasa untuk menekan keseluruhan jumlah pajak terhutang atas wajib pajak-wajib pajak yang memiliki hubungan istimewa tersebut.

Hubungan istimewa akan menimbulkan ketidakwajaran dalam setiap transaksi yang terjadi, antara lain:

1. Harga penjualan 2. Harga pembelian

3. Alokasi biaya administrasi dan umum (overhead cost)

4. Pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham (shareholder loan)

5. Pembayaran komisi, lisensi, francise, sewa royalty, imbalan atas jasa manajemen, imbalan atas jasa teknik, dan imbalan atas jasa lainnya 6. Pembelian harta perusahaan oleh pemegang saham (pemilik), atau

pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang lebih rendah dari harga pasar

7. Penjualan kepada pihak luar negeri melalui pihak ketiga yang kurang atau tidak mempunyai substansi usaha (misalnya: reinvoicing center) Pengaturan lebih lanjut ketentuan tentang transaksi antar wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa diharapkan dapat diminimalkan atau mengurangi praktek penghindaran pajak dengan rekayasa transaksi transfer pricing tersebut. Untuk menangkal distorsi laba fiskal antar badan yang mempunyai hubungan istimewa, transaksi antar badan perlu diteliti oleh otorisasi pajak.


(26)

D. Pengertian dan Tujuan Transfer Pricing

Transaksi transfer pricing memiliki 2 dimensi pengertian, yaitu: 1. Dimensi netral.

Dalam dimensi ini, pengertian transaksi transfer pricing adalah strategi, taktik, dan motif pengurangan beban pajak. Menurut Gunadi (Suandy 2001: 74) “Transfer Pricing adalah penentuan harga atau imbalan sehubungan dengan penyerahan barang, jasa, atau pengalihan teknologi antar perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa.”

Sedangkan menurut Sopar Lumbantoruan (Suandy 2001: 74) “

Transfer Pricing adalah penentuan harga balas jasa suatu transaksi

antar divisi dalam suatu perusahaan dalam satu grup.” 2. Dimensi pejoratif.

Dalam dimensi ini, pengertian transaksi transfer pricing adalah suatu upaya untuk menghemat beban pajak dengan cara menggeser laba ke perusahaan yang memiliki jumlah laba lebih kecil sehingga jumlah pajak yang dikenakan lebih kecil atau ke negara yang tarif pajaknya lebih rendah.

Menurut Gunadi (Suandy, 2001: 74) “Transfer Pricing adalah suatu rekayasa manipulasi harga secara sistematis dengan maksud mengurangi laba secara artifisial, membuat seolah-olah perusahaan rugi sehingga perusahaan dapat menghindari pajak.


(27)

Sedangkan menurut Charles T. Hongren dan Gary L. Sundem (Suandy 2001: 74) “Transfer Pricing adalah usaha perusahaan multinasional untuk mengurangi pajak penghasilan dengan cara pengalokasian laba perusahaan ke anak perusahaan yang memiliki beban pajak yang lebih rendah.”.

Transaksi transfer pricing juga dapat terjadi antar perusahaan, baik di dalam grup atau dengan pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa, baik yang di dalam negeri maupun di luar negeri.

Tujuan yang ingin dicapai dalam transaksi transfer pricing antar perusahaan adalah sebagai berikut:

1. Memaksimalkan penghasilan global setelah dikurangi pajak. 2. Mengamankan posisi kompetitif.

3. Evaluasi kinerja anak/cabang perusahaan mancanegara. 4. Mengurangi risiko moneter.

5. Mengatur cash flow anak/cabang perusahaan yang memadai. 6. Mengurangi beban pengenaan pajak, dan bea masuk.

7. Mengurangi risiko pengambilalihan pemerintah.

Transaksi transfer pricing yang dilakukan antar perusahaan ditandai dengan adanya hubungan istimewa. Hal yang terpenting dalam menghitung laba kena pajak adalah adanya indikasi hubungan istimewa dalam memperoleh penghasilan.


(28)

E. Transaksi Transfer Pricing antar Perusahaan Domestik

Transaksi transfer pricing secara domestik merupakan transaksi yang terjadi pada perusahaan dengan anak perusahaan, atau pihak yang memiliki hubungan istimewa dan kedua pihak tersebut berada di dalam satu negara yang sama. Secara prinsip transaksi transfer pricing secara domestik sama dengan transaksi transfer pricing antar perusahaan pada umumnya, tapi yang menjadi perbedaan adalah pihak-pihak yang bersangkutan dalam transaksi transfer pricing secara domestik ada pada negara yang sama. Sebagai contoh PT. X yang berkedudukan di Medan mempunyai anak perusahaan PT. Y yang berkedudukan di Surabaya. Induk perusahaan melakukan transfer barang ’A’ kepada anak perusahaan yang selanjutnya akan menjual kepada konsumen. Harga pembelian barang ’A’ oleh PT. X adalah Rp. 40.000.000 dengan suatu proses yang memakan biaya Rp. 15.000.000. PT. X menjual barang ’A’ senilai Rp. 100.000.000 kepada PT. Y. Jika tidak ada biaya lainnya maka keuntungan PT. X terhadap PT. Y dari transaksi tersebut adalah Rp. 45.000.000 (Rp. 100.000.000-Rp. 55.000.000). Seandainya transfer pricing dari PT. X ke PT. Y adalah Rp. 90.000.000 dan barang tersebut dijual kembali oleh PT. Y ke PT. Z, maka PT. X akan mendapat laba Rp. 35.000.000 dan PT. Y mendapat Rp. 10.000.000

Ada atau tidaknya pengaruh transaksi transfer pricing terhadap pajak penghasilan yang akan dibayar ditentukan oleh dua kondisi, yaitu:

1. Perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam transaksi transfer pricing memiliki jumlah laba yang hampir sama atau tidak terlalu berbeda.


(29)

Dalam kondisi seperti ini, berapapun jumlah transfer pricing tidak akan berdampak terhadap jumlah pajak yang akan dibayar oleh wajib pajak secara keseluruhan. Hal ini dikarenakan alokasi penghasilan dari PT. X ke PT. Y akan mengurangi pajak yang akan dibayar oleh PT. X tetapi akan menambah pajak yang dibayar PT. Y karena mendapat alokasi penghasilan dari PT. X.

2. Perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam transaksi transfer pricing memiliki perbedaan jumlah laba yang cukup besar.

Dalam kondisi seperti ini, transaksi transfer pricing akan berdampak terhadap besar kecilnya pajak penghasilan yang akan dibayar oleh PT. X dan pajak penghasilan yang akan dibayar oleh PT. Y. Hal ini disebabkan karena pajak penghasilan dihitung berdasarkan tarif progresif dikalikan dengan penghasilan kena pajak. Tarif progresif ditentukan berdasarkan jumlah penghasilan kena pajak, semakin besar jumlah penghasilan kena pajak maka semakin tinggi tarif pajak yang dikenakan.

Tarif pajak penghasilan badan di Indonesia berdasarkan pasal 17 ayat 1 (b) Undang-Undang No. 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan adalah sebagai berikut:

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak a. sampai dengan Rp. 50.000.000 10% b. antara Rp. 50.000.000 – Rp. 100.000.000 15%


(30)

Seiring dengan berjalannya waktu tarif pajak penghasilan badan di Indonesia telah berubah berdasarkan Undang-Undang No. 36 tahun 2008 dimana tarif pajak penghasilan badan menggunakan tarif tunggal sebesar 28% dan akan berubah menjadi 25% pada tahun 2010.

Melalui transaksi transfer pricing, PT. X dapat menghindari penghasilan kena pajak dengan tarif 30% dengan cara mengalokasikan penghasilannya ke PT. Y karena penghasilan kena pajak PT. Y belum mencapai tarif pajak 30% sehingga secara keseluruhan jumlah pajak penghasilan PT. X dan PT. Y lebih kecil dibandingkan jika PT. X tidak mengalokasikan penghasilannya.

F. Transaksi Transfer Pricing antar Perusahaan antar Negara

Dengan perkembangan dunia usaha yang demikian cepat, yang sering kali bersifat transnasional dan diperkenalkannya produk dan metode usaha baru yang belum dikenal dalam bidang usaha (misalnya dalam bidang keuangan dan perbankan), maka bentuk dan variasi transaksi transfer pricing dapat tidak terbatas. Oleh karena itu, transfer pricing juga dapat terjadi pada wajib pajak dalam negeri dengan pihak luar negeri, terutama yang berkedudukan di tax heaven

countries (negara yang tidak memungut pajak lebih rendah dari Indonesia). Dalam

perusahaan multinasional, banyak barang atau jasa secara rutin dijual ke perusahaan yang ada di negara lain dengan ketentuan pajak yang berbeda.


(31)

Bentuk transaksi transfer pricing antar negara ada 5, yaitu: 1. Reinvoicing Center.

Aktivitas reinvoicing center merupakan pengambilalihan invoicing semua barang yang dijual dari suatu perusahaan kepada asosiasi atau pihak ketiga. Dalam mekanisme perdagangan, barang langsung dikirim dari pabrik atau gudang penjual (perusahaan) ke tempat pembeli tanpa melalui (transit) di negara tertentu (center). Invoicing dilakukan dari penjual ke center (seolah-olah center yang membeli) dan kemudian negara center tersebut mengirimkan invoice ke negara pembeli (seolah-olah center sebagai penjual). Perbedaan beban pajak antar negara penjual (30%), negara center (15%), dan negara pembeli (10%) akan memberikan kecenderungan invoicing dari negara penjual ke negara center dengan harga yang rendah dengan maksud menggeser laba negara penjual ke negara center. Sedangkan negara center memberikan invoicing dengan harga yang tinggi dengan maksud untuk menggeser laba negara pembeli ke negara center. 2. Imbalan dan Royalti.

Jasa teknik dan manajemen, alokasi biaya overhead serta paten, merk dagang, dan benda-benda yang tak berwujud merupakan hal-hal unik dengan sangat langka dasar harga pasarnya. Transfer pricing atas jasa dan intangible mempunyai konsekuensi finansial dan pajak yang sama seperti dalam kasus transfer pricing atas barang. Royalti pembayaran lisensi dan imbalan jasa manajemen merupakan


(32)

instrumen alokasi sumber dana yang banyak dilakukan oleh perusahaan multinasional. Pendekatan yang kebanyakan dianut dalam peunyusunan transfer pricing atas intangible tersebut dilegitimasikan dalam bentuk lisensi dan sebagainya.

3. Pinjaman antar perusahaan.

Salah satu instrumen utama pendanaan operasi serta alokasi sumber daya internasional perusahaan multinasional adalah dengan aktivitas peminjaman antar perusahaan. Pemberian dan pembayaran pinjaman kadangkala dapat merupakan satu-satunya instrumen yang dapat diterima sebagai mekanisme transfer dana antar entitas dalam suatu perusahaan multinasional.

Berbagai variasi pinjaman antar perusahaan dapat berupa: a. Pinjaman langsung.

b. Back to Back Loan.

c. Paralel Loans.

d. Currency Swap.

4. Alokasi biaya bersama.

Salah satu karakteristik dari perusahaan multinasional adalah grup perusahaan sering menimbulkan biaya sehubungan dengan fungsi manajemen. Beberapa pendekatan alokasi biaya bersama yang sering ditempuh oleh perusahaan multinasional adalah cost sharing (urun biaya), dan cost financing (pendanaan biaya).


(33)

5. Kerugian struktural.

Seperti halnya perusahaan independen, perusahaan multinasional dapat menderita kerugian. Namun kalau kerugian tersebut selalu muncul tiap tahun selama masa yang cukup lama, maka nampak adanya kerugian struktural. Kerugian tersebut lebih bersifat informal dan terencana. Anggota perusahaan multinasional (anak perusahaan) direncanakan untuk menderita rugi, sedangkan laba dari jaringan operasi tersebut dialirkan ke negara lain yang beban pajaknya lebih rendah. Meskipun anak perusahaan rugi terus-menerus, tetapi induk segan menutup bisnis anak perusahaan tersebut karena masih adanya harapan untuk menghasilkan laba.

G. Penetapan Transfer Pricing

Penetapan transfer pricing yang terbaik adalah harga transfer yang paling sesuai untuk tujuan tertentu. Dalam bukunya, Gunadi menyebutkan ada 5 metode dasar untuk menetapkan transfer pricing, yaitu:

1. Penetapan transfer pricing berdasarkan biaya (cost basis transfer

pricing).

Dalam perusahaan yang disentralisasi secara penuh, manajemen eksekutif pada dasarnya mengambil semua keputusan yang berhubungan dengan operasi setiap divisi. Tanggung jawab ini menjadikan pengendalian biaya merupakan dasar untuk mengukur prestasi setiap manajer. Biaya yang digunakan sebagai dasar bias


(34)

merupakan total biaya aktual, biaya standar, atau biaya yang dikalkulasi langsung. Sistem biaya yang diterapkan oleh perusahaan yang bersangkutan harus memungkinkan perhitungan biaya produk per unit, bahkan pada berbagai tahap produksi.

2. Penetapan transfer pricing berdasarkan harga pasar (market basis

transfer pricing).

Transfer pricing berdasarkan harga pasar identik dengan penetapan

harga untuk pelanggan di luar perusahaan walaupun beberapa perusahaan menerapkan potongan harga (diskon) atas harga yang dimaksud untuk mencerminkan kehematan jual beli di dalam perusahaan. Metode ini memberikan ukuran profitabilitas dan prestasi manajemen divisi dimana setiap divisi beroperasi secara bersaing akan tetapi agar dapat menerapkan metode ini perlu ada pasar yang bersaing yang telah mapan di luar perusahaan.

3. Penetapan transfer pricing berdasarkan negosiasi (the negotiated

price).

Penetapan transfer pricing melalui negosiasi (perundingan) antar divisi yang membeli dan menjual memungkinkan manajer divisi menjalankan tingkat wewenang dan pengendalian yang paling besar atas laba dari divisi yang bersangkutan. Para manajer tersebut harus mempertimbangkan kondisi biaya dan pasar, serta tidak boleh ada pihak yang mendapat posisi tawar-menawar yang tidak adil. Ukuran laba divisi mungkin akan lebih condong sebagai cerminan


(35)

kemampuan manajer untuk bernegosiasi dibanding efisiensi produktif dari divisi yang bersangkutan. Akibatnya evaluasi terhadap prestasi dari divisi-divisi mungkin akan menjadi kacau apabila

transfer pricing berdasarkan negosiasi digunakan.

4. Penetapan transfer pricing berdasarkan arbitrasi (arbitration transfer

pricing).

Metode ini menekankan pada transfer pricing berdasarkan interaksi antar divisi pembeli dan divisi penjual yang ditentukan pada tingkat terbaik bagi kepentingan perusahaan tanpa adanya pemaksaan oleh salah satu divisi mengenai keputusan akhir. Akan tetapi kelemahan metode ini dapat jauh lebih besar daripada manfaatnya. Metode ini mengesampingkan tujuan terpenting dari desentralisasi tanggung jawab laba, yakni membina kesadaran akan laba bagi personel divisi. Metode ini juga dapat menghambat insentif laba dari para manajer divisi.

5. Penetapan transfer pricing ganda (dual transfer pricing).

Divisi yang mengkonsumsi (membeli), dan yang memproduksi (menjual) mungkin mempunyai tujuan yang berbeda-beda sehubungan dengan transfer pricing. Sebagai contoh, divisi konsumsi dapat mengandalkan transfer pricing untuk keputusan membeli, menjual, atau menentukan harga jual produk akhir karena sadar akan total biaya diferensial. Dilain pihak, divisi produksi dapat menggunakan transfer pricing untuk mengukur prestasi, dan sesuai


(36)

dengan hal itu, mereka akan menentang setiap harga yang tidak akan memberikan laba bagi divisinya. Dalam sistem ini, divisi produksi akan dimotivasi oleh laba untuk meningkatkan penjualan dan produksi, baik secara eksternal maupun internal. Manfaat dari penetapan transfer pricing

H. Koreksi Fiskal untuk Transaksi Transfer Pricing antar Perusahaan Domestik

1. Perhitungan Kembali Laba Fiskal

Menurut pasal 18 ayat (2) Undang-Undang No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, Dirjen Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan, dan menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak yang memiliki hubungan istimewa dengan wajib pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa. Jika terdapat hubungan istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan yang dilaporkan kurang dari semestinya ataupun pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya.

Dalam menentukan kewajaran dari penghasilan dan beban dapat dipakai beberapa pendekatan, misalnya data pembanding, alokasi laba berdasarkan fungsi, peran serta dari wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa, indikasi lain, serta data lainnya.


(37)

Laba harus dihitung dengan asumsi bahwa transfer pricing adalah sama dengan harga wajar (arm’s length price). Arm’s length price adalah harga yang seharusnya dibayar diantara pihak yang independen (pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa) untuk barang yang sama atau serupa. Untuk mendeteksi apakah transfer pricing tidak disusun untuk motif fiskal, perlu dilakukan evaluasi secara ketat dan seksama atas transaksi antar badan asosiasi.

Demikian pula kemungkinan terdapat penyertaan modal secara terselubung dengan menyatakan penyertaan modal tersebut sebagai utang maka Dirjen Pajak berwenang untuk menentukan utang tersebut sebagai modal perusahaan. Penentuan tersebut dilakukan melalui indikasi mengenai perbandingan antara modal dengan utang yang lazim terjadi antara pihak yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa atau berdasarkan data atau indikasi lainnya. Dengan demikian bunga yang dibayarkan sehubungan dengan utang yang dianggap sebagai penyertaan modal itu tidak diperbolehkan untuk dikurangkan, sedangkan bagi pemegang saham yang menerima atau memperolehnya dianggap sebagai deviden yang dikenakan pajak.

Di Indonesia, ketentuan rinci pengujian kewajaran transfer pricing telah diatur berdasarkan SE-04/PJ.7/1993. Pengujian kewajaran transaksi

transfer pricing tersebut dapat didukung oleh aktivitas pemeriksaan. Oleh


(38)

pemeriksaan wajib pajak yang memiliki hubungan istimewa berdasarkan KEP-01/PJ.7/1993.

Ketentuan atas transaksi transfer pricing Indonesia secara umum memiliki substansi yang sama dengan ketentuan yang diterima oleh otoritas pajak secara internasional. Beberapa metode untuk menguji kewajaran transfer

pricing yang umumnya dianut sebagai berikut, yaitu:

a. Comparable Uncontrolled Pricing Method.

Metode ini mengevaluasi kewajaran transfer pricing dengan mengacu kepada tingkat harga yang terjadi antar unit yang independen (pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa). Sebagai contoh, PT. X menjual barang kepada PT. Y (ada hubungan istimewa) dan PT. Z (tidak ada hubungan istimewa), kedua perusahaan tersebut ada di Indonesia. Harga yang dibebankan untuk barang dengan kualitas, dan kuantitas yang sama adalah Rp. 250 per kg kepada PT. Y dan Rp. 300 per kg kepada PT. Z. Dalam kasus ini harga jual yang wajar atas penjualan produk tersebut adalah Rp. 300 per kg. Secara teoritis, metode ini termasuk yang paling baik, namun dalam pelaksanaannya mengalami kerugian. Sebagai contoh, perbedaan kualitas, kuantitas, kondisi, waktu penjualan, merek dagang, pangsa pasar, dan geografis pasar dapat merupakan penyebab ketidaksebandingan. Dalam kasus seperti ini diperlukan penyesuaian.


(39)

Kesebandingan ekonomi menghendaki bahwa harga barang pembanding harus sama pula terjadi dalam pasar dengan kondisi ekonomi sebanding. Variasi struktur sosial ekonomi, situasi geografis, dan selera konsumen sering mempersulit kesebandingan harga suatu barang yang sama antar beberapa negara. Kondisi pasar barang monopoli, oligopoli sering mempengaruhi harga yang dibebankan kepada konsumen yang berbeda. Kesebandingan tingkat pasar menghendaki kesebandingan harga pada tatanan pasar (grosir, pengecer, atau pabrikan) yang sama. Variasi laba kotor tiaptatanan tersebut menyebabkan perbedaan harga pada transaksi transfer

pricing.

Kesebandingan barang menghendaki bahwa harga pembanding harus berasal dari barang yang identik secara fisik. Untuk barang produksi masa yang sudah distandarisasi, kesebandingan barang tersebut mungkin dapat diperoleh. Namun untuk barang madya, terlebih tidak dipasarkan secara umum, kesebandingan agak mengalami kesulitan, termasuk untuk barang yang dijual dengan lisensi.

Dengan adanya beberapa kesulitan tersebut maka kebanyakan administrasi pajak berpaling pada metode lain selain comparable

uncontrolled price metode.

b. Resale Pricing Method.

Metode ini diterapkan untuk produk yang ditransfer ke perusahaan grup lainnya untuk dijual kembali. Kewajaran transfer pricing


(40)

didekati dengan pengurangan harga penjualan kepada pihak independen dengan suatu mark-up yang wajar (sebanyak keuntungan dan biaya si penjualan). Sebagai contoh, barang yang dibeli dengan harga Rp. 250 per kg dari PT. X tersebut oleh PT. Y dijual kembali kepada pembeli dengan harga Rp. 350 per kg. Dari harga jual tersebut PT. Y akan memeperoleh laba sebesar Rp. 100 per kg (Rp. 350-Rp. 250), atau 28,6% dari harga jual.

Kalau laba kotor dari perusahaan sejenis untuk barang tersebut 14% dari harga jual Rp. 350 per kg, maka laba kotornya Rp. 49. Dengan demikian harga barang tersebut dari PT. X ke PT. Y yang wajar adalah Rp. 301 (Rp. 350-Rp. 49).

Kesulitan terjadi dalam metode ini adalah menetukan mark-up yang sebanding. Fungsi (aktivitas) reseller sangat mempengaruhi besarnya

mark-up. Reseller yang mengolah lagi barang ’A’ tersebut akan

memperoleh mark-up yang berbeda dengan reseller yang sekedar sebagai agen langsung yang menjual barang. Demikian juga reseller yang harus menanggung biaya promosi, garansi dan transportasi. Dalam kasus demikian penelitian perlu dilakukan secara seksama dalam rangka penyesuaian mark-up.

c. Cost Plus Pricing Method.

Metode ini mendekati kewajaran transfer pricing dengan menambahkan mark-up yang wajar pada harga pokok (cost) pihak yang mentransfer. Pendekatan ini pada umumnya dipakai dalam hal


(41)

penyerahan barang setengah jadi atau salah satu anggota grup sebagai sub kontraktor dari yang lainnya. Sebagai contoh, PT. X menjual barang kepada PT. Y adalah Rp. 250 per kg. Harga pokok penjualan PT. X adalah Rp. 225 per kg. Laba kotor perusahaan sejenis untuk barang tersebut adalah 35% dari harga pokok. Dengan demikian harga jual yang wajar atas barang tersebut dari PT. X ke PT. Y adalah Rp. 303, 75 per kg (135% x Rp. 225).

Kerumitan metode cost plus pricing meliputi keandalan harga pokok dan tersedianya laba kotor pembanding. Metode ini menekankan pada biaya historis sehingga mengesampingkan permintaan pasar, kondisi persaingan, kesulitan alokasi biaya produksi. Asumsi adanya laba kotor pembanding juga mengesampingkan fakta kehidupan bahwa dalam bisnis tidak selalu memperoleh laba, atau labanya dapat diperbandingkan secara baik. Untuk keperluan itu, kadangkala perlu dilakukan penelitian secara seksama dalam rangka penyesuaian laba kotor tersebut.

d. Sale Heaven.

Pendekatan ini dilakukan dengan menyusup suatu batas toleransi interval harga. Transfer pricing yang berada dalam batas tersebut tanpa evaluasi lebih lanjut langsung dianggap sebagai harga wajar, misalnya ditentukan bahwa interval harga barang ’A’ adalah Rp. 290-Rp. 310. jika PT. X menjual kepada PT. Y Rp. 300, maka harga tersebut dapat diterima karena masih berada dalam batas kewajaran.


(42)

2. Kesepakatan Transfer Pricing

Menurut pasal 18 ayat (3a) Undang-Undang No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan menyebutkan bahwa Dirjen Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan wajib pajak dan bekerjasama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan transfer pricing antar pihak-pihak yang memiliki hubungan isimewa yang berlaku selama satu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya, serta melakukan negosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir.

Kesepakatan transfer pricing (Advance Pricing Agreement/APA) adalah kesepakatan antara wajib pajak dengan Dirjen Pajak mengenai harga jual wajar suatu produk yang dihasilkannya kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengannya. Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktek penyalahgunaan transfer

pricing oleh perusahaan multinasional. Persetujuan tersebut mencakup

beberapa hal, antara lain: harga jual produk yang dihasilkan, jumlah royalti, tergantung pada kesepakatan. Keuntungan dari APA selain memberikan kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak, fiskus tidak perlu melakukan koreksi atas harga jual dan keuntungan produk yang dijual wajib pajak perusahaan dalam grup yang sama.

3. Pengenaan Bunga Terhadap Pajak Penghasilan Kurang Bayar

Koreksi fiskal terhadap perusahaan yang melakukan transaksi transfer

pricing yang tidak wajar selalu menimbulkan pajak penghasilan kurang


(43)

tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Dirjen Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak terhadap pajak penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang bayar. Berdasarkan pasal 14 ayat (3) Undang-Undang No. 28 tahun 2008 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga.

Sebagai contoh, dalam SPT tahunan pajak penghasilan tahun 2004 yang disampaikan tanggal 31 Maret 2005 PT. X dikoreksi fiskal akibat ketidakwajaran dalam harga jual sebesar Rp. 10.000.000 (selisih antara harga jual wajar dengan harga jual tidak wajar). Jika laba PT. X lebih dari 100.000.000 maka tarif pajak yang dikenakan terhadap koreksi fiskal positif sebesar 30%. Atas kekurangan pajak penghasilan tersebut diterbitkan Surat Tagihan Pajak tanggal 10 Juni 2005. jadi pajak penghasilan yang harus dibayar adalah

Pajak penghasilan kurang bayar: 30%xRp. 10.000.000 = Rp. 3.000.000 Bunga : 2%x3xRp. 3.000.000 =

4. Pengaruh Transaksi Transfer Pricing Terhadap Pajak Penghasilan Pasal 23

Rp. 180.000 Pajak yang harus dibayar tahun 2005 Rp. 3.180.000

Berdasarkan pasal 23 ayat (1) Undang-Undang No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, perusahaan pemberi penghasilan berhak memotong pajak penghasilan pasal 23 sebesar 15% dari jumlah bruto atas:


(44)

a. Deviden. b. Bunga. c. Royalti

d. Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong pajak penghasilan.

Perlakuan istimewa dari transaksi transfer pricing yang dilakukan perusahaan kepada pihak istimewa dapat berpengaruh terhadap pajak penghasilan pasal 23 yang dibayar. Perlakuan istimewa tersebut diantaranya adalah diberikan suku bunga pinjaman yang lebih rendah dari suku bunga pinjaman pasar sehingga beban bunga pinjaman yang dibayar kecil. Pada saat pemeriksaan pajak, beban bunga pinjaman tersebut dikoreksi karena beban bunga pinjaman yang dibayar berdasarkan suku bunga yang lebih rendah dari suku bunga pasar atau suku bunga pinjaman kepada pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa.

Kecilnya beban bunga pinjaman akan berpengaruh terhadap potongan pajak penghasilan pasal 23 atas bunga pinjaman menjadi berkurang. Dalam hal ini, perusahaan yang berhutang harus menanggung kekurangan pajak penghasilan pasal 23 yang disebabkan beban bunga pinjaman yang rendah dibandingkan nilai pasar atau nilai pinjaman terhadap pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa. Kekurangan pajak penghasilan pasal 23 dihitung berdasarkan tarif pajak (15%) dikali selisih antara beban bunga pinjaman yang sebenarnya yang dihitung berdasarkan suku bunga pasar dengan beban bunga yang diakui yang dihitung berdasarkan suku


(45)

bunga yang lebih rendah dari suku bunga pasar. Pajak penghasilan pasal 23 yang kurang bayar ditanggung oleh pihak yang berhutang tidak boleh menjadi kredit pajak bagi pihak yang memberi hutang dan selisih beban pinjaman tersebut tidak boleh diakui wajib pajak yang berhutang sebagai beban dalam menghitung laba kena pajak.

I. Kerangka Konseptual

Hubungan istimewa yang melatarbelakangi transaksi transfer pricing dapat mengakibatkan kekurangwajaran harga, biaya, atau imbalan lain yang direalisasikan dalam suatu transaksi usaha. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya pengalihan penghasilan atau dasar pengenaan pajak, dan biaya dari satu wajib pajak ke wajib pajak lain yang direkayasa dengan tujuan menekan jumlah pajak secara keseluruhan.

Timbulnya ketidakwajaran dalam penetapan harga transfer mengharuskan adanya koreksi fiskal pajak penghasilan. Ketidakwajaran yang berasal dari pemberian suku bunga kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa, lebih rendah dari suku bunga pasar, mengakibatkan adanya kurangnya pembayaran pajak pasal 23.

Berdasarkan keterangan diatas, latar belakang masalah, dan tinjauan teoritis, dapat digambarkan sebuah kerangka konseptual sebagai berikut :


(46)

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

Hubungan Istimewa

Transfer Pricing

Koreksi Fiskal Pajak Penghasilan

Pasal 23 Koreksi Fiskal Pajak Penghasilan


(47)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian yang dilakukan menggunakan metode studi kasus dengan melakukan penelitian secara mendalam mengenai pengaruh hubungan istimewa, transfer pricing terhadap koreksi fiskal pajak penghasilan pada PT. Perintis Sarana Pancing Indonesia (PT. PSPI) yang memiliki ruang lingkup kegiatan, yaitu memproduksi dan menjual mata pancing.

B. Jenis dan Sumber Data

Data yang diperlukan oleh penulis terdiri dari data primer dan data sekunder.

1. Data Primer, berupa data yang diperoleh langsung dari hasil

wawancara dengan personil bagian akuntansi untuk mengetahui lebih jelas mengenai transaksi transfer pricing dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa, dan koreksi fiskal pajak penghasilan di PT. PSPI.

2. Data Sekunder, berupa data yang diperoleh dari dokumen-dokumen

penunjang, seperti: struktur organisasi, jenis produk, harga jual produk, dan laporan keuangan komersial PT. PSPI.


(48)

C. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dipergunakan peneliti dalam penelitian ini, yaitu:

1. Teknik Dokumentasi

Teknik dokumentasi yaitu pengumpulan data yang diperoleh dari dokumen-dokumen internal perusahaan yang terkai dengan lingkup penelitian ini.

2. Teknik Observasi

Teknik observasi yaitu analisis secara langsung mengenai hal-hal dan semua kejadian yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

3. Teknik Wawancara

Teknik wawancara yaitu mengadakan tanya jawab dengan pihak yang terkait mengenai masalah yang diteliti.

D. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: 1. Metode Analisis Kualitatif.

a. Mencari hubungan PT. PSPI dengan pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa dengan melihat struktur organisasi, faktor kepemilikan, faktor penguasaan melalui manajemen, dan penguasaan teknologi, serta faktor hubungan


(49)

b. Menganalisis laporan keuangan komersial untuk melihat kewajaran nilai transaksi yang dilakukan PT. PSPI kepada pihak istimewa terutama dalam hal penjualan, ongkos angkut, utang, dan batas pelunasan piutang dengan menggunakan data pembanding antara harga transaksi pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa.

2. Metode Analisis Kuantitatif.

Menghitung besarnya koreksi fiskal terhadap pajak penghasilan akibat pengaruh transaksi transfer pricing di PT. PSPI.

E. Lokasi Penelitian


(50)

BAB IV

ANALISIS HASIL PENELITIAN

A. Data Penelitian

1. Sejarah Singkat Perusahaan

PT Perintis Sarana Pancing Indonesia mulanya masih berbentuk CV Perintis Sarana Pancing Indonesia, didirikan dengan akte pendirian awal tertanggal 27 Oktober 1989 No. 55 dihadapan notaris Syahril Sofyan, SH. Selanjutnya terjadi perubahan hingga kini menjadi PT Perintis Sarana Pancing Indonesia, sebagaimana tercantum dalam akte No. 122 tanggal 25 Juni 2003 dihadapan notaries Yanty Sulaiman Sihotang, SH berkedudukan di Medan. Kantor pusat perusahaan berlokasi di Jl. Merbabu 6B-C Medan 20212, sedangkan pabrik perusahaan berlokasi di Jl. Industri 69A Tanjung Morawa B 20362 .

Berdirinya suatu perusahaan mempunyai latar belakang yang berbeda karena adanya perbedaan suatu perusahaan bergerak di dalam bidang yang berbeda-beda pula. PT Perintis Sarana Pancing Indonesia merupakan suatu perusahaan yang bergerak dalam bidang produksi alat-alat pancing. PT Perintis Sarana Pancing Indonesia sebagai produsen utama untuk kawasan Sumatera Utara.


(51)

2. Struktur Organisasi Perusahaan

Untuk mengatur berjalannya perusahaan diperlukan suatu struktur organisasi. Bentuk struktur organisasi tergantung dari besar kecilnya perusahaan. Bagaimanapun juga bentuk struktur organisasi itu perlu ditetapkan atau dipilih terlebih dahulu, agar tujuan perusahaan lebih efektif dan efisien. Dengan adanya struktur organisasi akan lebih jelas pembagian kerja dan tanggung jawabnya. Hal ini akan memudahkan dalam menentukan dan mengarahkan serta mengontrol pelaksanaan kegiatan-kegiatan suatu perusahaan dan apakah tujuan yang telah ditentukan semua tercapai atau tidak.

Dalam pencapaian tujuan perusahaan harus melakukan aktivitas pekerjaan dan kumpulan aktivitas ini dilaksanakan orang-orang yang menjadi anggota organisasi. Harus diadakan pengorganisasian agar anggota organisasi mengetahui tugasnya. Pengorganisasian dapat dilaksanakan dimana pekerjaan dapat dibagi-bagi dan merupakan sekumpulan tugas-tugas yang kemudian orang-orang ditugaskan untuk melaksanakannya.

Berdasarkan penelitian pada PT Perintis Sarana Pancing Indonesia maka struktur organisasi dan uraian tugas masing-masing bagian adalah sebagai berikut :


(52)

a. Direktur

b. General Manager

c. Production Manager: Manufacturer 1, Production Control, Manufacturer II

d. Engineering Manager: Design

e. Personalia Manager

f. Administration and Finance Manager

g. Marketing Manager

PT Perintis Sarana Pancing Indonesia menganut tipe organisasi

Output-Based Structure yang artinya struktur organisasi disusun

berdasarkan output atau produk yang dihasilkan oleh bagian organisasi yang bersangkutan. Kelebihan dari tipe organisasi ini adalah mendorong akuntabilitas yang lebih besar terhadap output yang dihasilkan, memungkinkan terjadinya diversifikasi keterampilan (cross functional

skills), dan koordinasi antar fungsi didalam tiap posisi menjadi lebih

mudah.

B. Analisis Hasil Penelitian

1. Pengaruh Hubungan Istimewa terhadap Transfer Pricing

Dalam perkembangannya, PT. PSPI mendirikan anak perusahaan dengan misi sebagai pendukung core bisnis, sehingga diharapkan dapat konstribusi sebesar-besarnya bagi perusahaan. Selain itu, secara sinergik untuk mencapai tujuan sesuai dengan bisnis inti yang telah ditetapkan.


(53)

Kriteria hubungan istimewa menurut pajak yang diatur dalam SE-18/PJ.53/1995 tanggal 26 April 1995 sebagai berikut:

a. Faktor kepemilikan diatas 25%. 1. DC. International (DC)

Hubungan istimewa antara PT. PSPI dengan DC. International tidak langsung karena DC. International memiliki 100% saham Sheng Chang Electric, Ltd. DC. International berlokasi di Korea dan mulai beroperasi tahun 1970, DC. International merupakan perusahaan yang menyediakan bahan material bagi PT. PSPI seperti drawing, baja, aluminium coil dan lain-lain. 2. Sheng Chang Electric, Ltd (SCE)

Sheng Chang Electric, Ltd memiliki 70% saham PT. PSPI yang beroperasi mulai tahun 1985. Sheng Chang Electric, Ltd bergerak dalam bidang penyediaan sparepart mesin yang mendukung proses produksi.

3. PT. Ekadharma Internasional, Tbk (PT. EI)

PT. PSPI memiliki 60% saham PT. Ekadharma Internasional, Tbk yang beroperasi mulai tahun 1993. PT. Ekadharma Internasional, Tbk bergerak dalam penyediaan bahan pendukung.


(54)

4. PT. Cahaya Wiranusa Abadi (PT. CWA)

PT. PSPI memiliki 65% saham PT. Cahaya Wiranusa Abadi yang beroperasi mulai tahun 1999. PT. Cahaya Wiranusa Abadi bergerak dalam bidang jasa servis mesin produksi.

5. PT. Industri Pembungkus Internasional (PT. IPI)

PT. PSPI memiliki 50% saham PT. Industri Pembungkus Internasional yang beroperasi mulai tahun 1998. PT. Industri Pembungkus Internasional bergerak dalam bidang pengepakan produk yang akan dijual.

6. PT. Cahaya Centra Sedaya (PT. CCS)

PT. PSPI memiliki 30% saham PT. Cahaya Centra Sedaya yang beroperasi mulai tahun 2000. PT. Cahaya Centra Sedaya bergerak dalam bidang ekspedisi atau pengiriman hasil produksi.

b. Faktor hubungan keluarga sedarah atau semenda.

1. PT. Fortech Legal, bergerak dalam bidang konsultan hukum, advokat, dan pengacara.

2. PT. Cahaya Valasindo (CV), bergerak dalam bidang transaksi valuta asing (money changer).


(55)

Tabel 4.1

Analisis Pengaruh Hubungan Istimewa Terhadap Transfer Pricing

Jenis Hubungan Istimewa Volume Transaksi Transfer Pricing Tingkat Penurunan Harga 1. Faktor Kepemilikan diatas

25% a. DC b. SCE c. EI d. CWA e. IPI f. CCS

95% dari Pembelian Bahan Baku 65% dari Pembelian Sparepart 56% dari Bahan Pendukung

25% dari Biaya Pemeliharaan Mesin 100% dari Biaya Packing

80% dari Biaya Ekspedisi

10% dari harga wajar 2%-4% dari harga wajar 10%-12% dari harga wajar 15% dari harga wajar 10%-15% dari harga wajar 15%-20% dari harga wajar 2. Faktor Hubungan Keluarga

Sedarah/Semenda

a. CV Seluruh Transaksi Valas Rp. 30-50 per mata uang

Sumber: Laporan Keuangan Tahunan PT. PSPI

2. Pengaruh Transfer Pricing terhadap Koreksi Fiskal Pajak

Penghasilan

Transaksi transfer pricing dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa. Perusahaan melakukan transaksi transfer pricing dengan anak perusahaan, afiliasi, dan lembaga penunjang dengan misi sebagai pendukung bisnis sehingga dapat memberikan kontribusi yang besar bagi perusahaan. Namun tanpa disadari transaksi tersebut memberikan dampak terhadap pengurangan pembayaran pajak penghasilan oleh wajib pajak karena adanya perlakuan istimewa terhadap pihak yang memiliki hubungan istimewa. Oleh karena itu, setiap transaksi transfer pricing akan diperiksa kewajarannya oleh petugas pajak jika ada pemeriksaan pajak. Jika nilai transaksi tersebut tidak wajar maka akan dikoreksi secara positif.

Ada 3 jenis transaksi transfer pricing yang tidak wajar terjadi di perusahaan ini, yaitu:


(56)

b. ketidakwajaran batas waktu pelunasan piutang. c. ketidakwajaran bunga pinjaman.

a. Ketidakwajaran Harga Penjualan

Dalam tahun 2006, PT. PSPI menjual alat-alat pancing sebesar 20960 set dengan nilai Rp. 7.054.882.260. Penjualan tersebut ditujukan kepada pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa maupun kepada pihak-pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa. Penjualan kepada pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa sebesar 8020 set dengan harga satuan sebesar Rp. 345.916 sehingga total penjualan sebesar Rp. 2.774.252.620. Penjualan kepada pihak yang memiliki hubungan istimewa sebesar 12940 set dengan harga satuan sebesar Rp. 330.806 sehingga total penjualan sebesar Rp. 4.280.629.640

b. Ketidakwajaran Batas Waktu Pelunasan Piutang

Batas waktu pelunasan piutang disepakati oleh pihak-pihak yang melakukan transaksi jual beli, tetapi pada kenyataannya pihak yang memiliki hubungan istimewa melunasi piutang setelah batas waktu yang telah ditetapkan tanpa ada penalti bunga. Perbedaan itulah yang mengakibatkan batas waktu pelunasan piutang menjadi tidak wajar. Pada tabel 4.2 dapat dilihat daftar pelunasan piutang dari pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa yang tidak dikenakan penalti bunga, sedangkan pada tabel 4.3 dapat dilihat daftar pelunasan piutang dari pihak-pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa yang dikenakan penalti bunga. Jatuh tempo pelunasan piutang yang diberikan PT. PSPI


(57)

kepada pembeli, baik pihak yang memiliki hubungan istimewa maupun pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa, adalah 1 bulan setelah tanggal transaksi dan penalti bunga akan dikenakan kepada pembeli setiap bulan jika tidak melunasinya setelah tanggal jatuh tempo dengan tarif 24% per tahun.

Tabel 4.2

Daftar keterlambatan pembayaran terhadap piutang penjualan dari pihak yang memiliki hubungan istimewa

Perusahaan Jumlah Piutang Tanggal Transaksi Tanggal Jatuh Tempo Tanggal Pelunasan Keterlambatan Pembayaran (Bulan)

DC 31.562.500 10 Jan ‘06 10 Feb ‘06 25 Apr ‘06 2

SCE 22.242.500 2 Mar ‘06 2 Apr ‘06 18 Juni ‘06 2

EI 24.092.000 8 Apr ‘06 8 Mei ‘06 10 Juli ‘06 2

CWA 18.599.875 17 Mei ‘06 17 Juni ‘06 19 Agst ‘06 2

IPI 12.737.500 10 Juli ‘06 10 Agst ‘06 4 Sept ‘06 1

CCS 20.017.500 7 Agst ‘06 7 Sept ‘06 3 Nov ‘06 2

SCE 33.478.400 9 Sept ‘06 9 Okt ‘06 15 Nov ‘06 1

TOTAL 162.730.275

Sumber: Daftar Pelunasan Piutang PT. PSPI Tabel 4.3

Daftar keterlambatan pembayaran terhadap piutang penjualan dari pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa

Perusahaan Jumlah Piutang Tanggal Transaksi Tanggal Jatuh Tempo Tanggal Pelunasan Keterlambatan Pembayaran (Bulan)

PT. A 75.786.000 14 Jan ‘06 14 Feb ‘06 20 Mar ‘06 1

PT. B 111.412.500 11 Feb ‘06 11 Mar ‘06 16 Apr ‘06 1

PT. C 52.141.250 24 Apr ‘06 24 Mei ‘06 23 Juni ‘06 1

PT. D 49.138.750 6 Juni ‘06 6 Juli ‘06 10 Sept ‘06 2

PT. E 134.010.000 12 Okt ‘06 12 Nov ‘06 12 Des ‘06 1

PT. F 66.988.125 20 Okt ‘06 20 Nov ‘06 22 Des ‘06 1

PT. G 53.608.500 26 Okt ‘06 26 Nov ‘06 25 Des ‘06 1

TOTAL 543.085.125

Sumber: Daftar Pelunasan Piutang PT. PSPI

c. Ketidakwajaran Bunga Pinjaman

Rendahnya suku bunga yang dikenakan dalam pinjaman antar pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa dibandingkan suku bunga pasar mengakibatkan nilai pinjaman menjadi tidak wajar. Dalam tahun 2006, PT. PSPI mempunyai hutang lancar terhadap pihak yang


(58)

memiliki hubungan istimewa dan kepada pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa. Hutang lancar PT. PSPI dalam tahun 2006 adalah Rp. 5.648.531.400 dengan bunga pinjaman Rp. 1.011.429.925. Hutang lancar kepada pihak yang memiliki hubungan istimewa sebesar Rp. 4.288.463.057 dengan bunga pinjaman sebesar Rp. 763.346.425. Hutang lancar tersebut sebagian besar merupakan hutang kepada DC. International dan Sheng Chang Electric, Ltd karena faktor kepemilikan perusahaan yg sangat tinggi. Sedangkan hutang lancar kepada pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa sebesar Rp. 1.355.647.536 dengan bunga pinjaman sebesar Rp. 248.083.500

3. Koreksi Fiskal Terhadap Transaksi Transfer Pricing a. Koreksi Fiskal Terhadap Harga Penjualan

Menurut pasal 18 ayat (3) Undang-Undang No. 36 tahun 2008, Dirjen Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan kena pajak bagi PT. PSPI sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa. Comparable

Uncontrolled Price Method sangat mudah digunakan untuk menguji

kewajaran harga jual suatu produk. Metode ini mengevaluasi kewajaran transaksi transfer pricing dengan menggunakan tingkat harga yang terjadi pada transaksi perusahaan dengan pihak-pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa.


(59)

Adanya perlakuan istimewa yang diberikan PT.PSPI kepada pihak yang memiliki hubungan istimewa dengan memberikan harga jual yang lebih rendah dibandingkan dengan harga jual yang diberikan kepada pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa mengakibatkan harga jual menjadi tidak wajar. Berdasarkan transaksi transfer pricing terhadap penjualan tersebut maka harga pasar sebanding atas barang yang sama adalah harga jual kepada pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa. Dengan demikian harga jual yang wajar adalah Rp. 345.916. Harga jual wajar yang ditetapkan merupakan harga jual yang sudah termasuk PPn sebesar 10%.

Nilai penjualan bersih tahun 2006 yang seharusnya diakui oleh PT. PSPI adalah Rp. 7.250.399.360 (20960 set x Rp. 345.916). Maka dari terdapat selisih penjualan bersih tahun 2006 sebesar Rp. 195.517.100 (Rp. 7.250.399.360 – Rp. 7.054.882.260). Berdasarkan pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan, nilai penjualan bagi pihak-pihak yang bersangkutan adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau yang seharusnya diterima. Oleh karena itu, selisih antara nilai penjualan bersih yang seharusnya diakui dengan nilai penjualan bersih yang diakui merupakan objek pajak sehingga akan menambah laba kena pajak sebesar Rp. 195.517.100. Penambahan laba kena pajak akan menyebabkan pajak penghasilan terutang akan bertambah sebesar Rp. 58.655.130 (30% x Rp 195.517.100).


(60)

b. Koreksi Fiskal Terhadap Batas Waktu Pelunasan Piutang

Adanya perlakuan yang beda dari PT. PSPI terhadap waktu pelunasan piutang kepada pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa dan pihak-pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa. Beberapa pihak yang memiliki hubungan istimewa tidak dikenakan penalti bunga, meskipun tanggal pelunasan piutangnya telah lewat jatuh tempo. Sedangkan pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa tetap dikenakan penalti bunga jika pelunasan piutangnya telah lewat jatuh tempo.

Berdasarkan pasal 4 ayat (1)f Undang-Undang No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, penalti bunga yang seharusnya dikenakan kepada pihak yang memiliki hubungan istimewa karena terlambat melunasi piutangnya merupakan objek pajak. Penalti bunga akan mengakibatkan pendapatan bunga pinjaman yang seharusnya diterima oleh PT. PSPI semakin besar. Pendapatan bunga perusahaan yang belum diakui karena tidak mengenakan penalti bunga terhadap pihak yang memiliki hubungan istimewa karena terlambat melunasi piutangnya dalam tahun 2006 adalah Rp. 5.584.893 (lihat tabel 4.4). Pada saat pemeriksaan pajak, pendapatan bunga tersebut akan menambah laba kena pajak sebesar Rp. 5.584.893. Penambahan laba kena pajak akan menyebabkan pajak penghasilan terutang akan bertambah sebesar Rp. 1.675.467 (30% x Rp. 5.584.893).


(61)

Tabel 4.4

Daftar keterlambatan pembayaran terhadap piutang penjualan dari pihak yang memiliki hubungan istimewa

Perusahaan Jumlah

Piutang Tanggal Transaksi Tanggal Jatuh Tempo Tanggal Pelunasan Keterlambatan Pembayaran (Bulan) Bunga 24% per tahun

DC 31.562.500 10 Jan ‘06 10 Feb ‘06 25 Apr ‘06 2 1.262.500

SCE 22.242.500 2 Mar ‘06 2 Apr ‘06 18 Juni ‘06 2 889.700

EI 24.092.000 8 Apr ‘06 8 Mei ‘06 10 Juli ‘06 2 963.680

CWA 18.599.875 17 Mei ‘06 17 Juni ‘06 19 Agst ‘06 2 743.995

IPI 12.737.500 10 Juli ‘06 10 Agst ‘06 4 Sept ‘06 1 254.750

CCS 20.017.500 7 Agst ‘06 7 Sept ‘06 3 Nov ‘06 2 800.700

SCE 33.478.400 9 Sept ‘06 9 Okt ‘06 15 Nov ‘06 1 669.568

TOTAL 162.730.275 5.584.893

Sumber: Daftar Pelunasan Piutang PT. PSPI Tabel 4.5

Daftar keterlambatan pembayaran terhadap piutang penjualan dari pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa

Perusahaan Jumlah

Piutang Tanggal Transaksi Tanggal Jatuh Tempo Tanggal Pelunasan Keterlambatan Pembayaran (Bulan) Bunga 24% per tahun

PT. A 75.786.000 14 Jan ‘06 14 Feb ‘06 20 Mar ‘06 1 1.515.720

PT. B 111.412.500 11 Feb ‘06 11 Mar ‘06 16 Apr ‘06 1 2.228.250

PT. C 52.141.250 24 Apr ‘06 24 Mei ‘06 23 Juni ‘06 1 1.042.825

PT. D 49.138.750 6 Juni ‘06 6 Juli ‘06 10 Sept ‘06 2 1.965.550

PT. E 134.010.000 12 Okt ‘06 12 Nov ‘06 12 Des ‘06 1 2.680.200

PT. F 66.988.125 20 Okt ‘06 20 Nov ‘06 22 Des ‘06 1 1.339.762,5

PT. G 53.608.500 26 Okt ‘06 26 Nov ‘06 25 Des ‘06 1 1.072.170

TOTAL 543.085.125 11.844.477,5

Sumber: Daftar Pelunasan Piutang PT. PSPI

c. Koreksi Fiskal Terhadap Bunga Pinjaman

Kewajaran bunga pinjaman dapat dilihat dari suku bunga pinjaman setiap tahunnya. Suku bunga dapat dikatakan wajar apabila suku bunga pinjaman ada dalam batas suku bunga pasar atau suku bunga pinjaman kepada pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa. Suku bunga dapat dihitung berdasarkan perbandingan antara jumlah bunga pinjaman dengan jumlah pinjaman dari tahun yang bersangkutan.


(62)

Suku bunga pinjaman antar pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa tahun 2006:

Rp. 248.083.500

Suku bunga pinjaman antar pihak yang memiliki hubungan istimewa tahun 2006:

= 18,3% Rp 1.355.647.536

Rp. 763.346.425

Berdasarkan perbandingan kedua suku bunga di atas menunjukkan bahwa suku bunga pinjaman antar pihak yang memiliki hubungan istimewa lebih rendah dibandingkan dengan suku bunga pinjaman antar pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa. Koreksi fiskal terhadap rendahnya bunga pinjaman antar pihak yang memiliki hubungan istimewa merupakan koreksi negatif karena koreksi tersebut mengakibatkan bertambahnya jumlah beban bunga sehingga laba kena pajak semakin kecil. Berkurang laba kena pajak menyebabkan pajak penghasilan terutang akan semakin kecil.

Meskipun perbedaan suku bunga pinjaman tidak berpengaruh terhadap laba kena pajak dan pajak penghasilan yang terutang, perbedaan tersebut berpengaruh terhadap berkurangnya potongan pajak penghasilan pasal 23.

= 17,8% Rp. 4.288.463.057


(63)

Tabel 4.6

Analisis Transaksi Transfer Pricing Terhadap Koreksi Fiskal Bunga Pinjaman

Keterangan Menurut Perusahaan Menurut Fiskal Selisih

Bunga Pinjaman 1.011.429.925 1.033.681.246 22.251.321

PPh 23 atas Bunga 151.714.488 155.052.186 3.337.698 Sumber: Daftar Bukti Potong PPh 23

Total bunga pinjaman yang diakui PT. PSPI pada tahun 2006 adalah Rp. 1.011.429.925, tetapi menurut pajak total bunga pinjaman yang seharusnya diakui oleh PT. PSPI harus sesuai dengan suku bunga yang wajar adalah Rp. 1.033.681.246 (18,3% x Rp. 5.648.531.400). Selisih antara total bunga pinjaman yang diakui dengan total bunga pinjaman menurut pajak sebesar Rp. 22.251.321. Maka dari itu, potongan pajak penghasilan pasal 23 yang masih harus bayar oleh PT. PSPI adalah Rp. 3.337.698 (15% x Rp. 22.251.321).

Tabel 4.7

Koreksi Fiskal Pajak Penghasilan Terhadap Transaksi Transfer Pricing

Keterangan Laporan Keuangan

Komersial

Koreksi Fiskal Laporan Keuangan Fiskal Penjualan Bersih

Harga pokok Penjualan Laba Kotor

Beban Operasional Laba Bersih

Penghasilan Lain-Lain* Beban Lain-Lain Laba Sebelum Pajak

Pajak Penghasilan Terutang* Kredit Pajak:

PPh 23 PPh 25 PPh 29

PPh Kurang Bayar Laba Setelah Pajak

7.054.882.260 (3.727.663.190) 3.327.219.070 (2.693.152.680) 634.066.390 29.592.530 (422.470) 663.236.450 181.470.935 151.714.488 7.454.334 6.623.660 15.678.453 647.557.997 195.517.100 5.584.893 3.337.698 7.250.399.360 (3.727.663.190) 3.522.736.170 (2.693.152.680) 829.583.490 35.177.423 (422.470) 864.338.443 341.801.532 155.052.186 7.454.334 6.623.660 72.671.352 691.667.091 Sumber: Laporan Keuangan Tahunan PT. PSPI


(64)

Keterangan:

*PPh Terutang (Laporan Keuangan Komersial) 10% x Rp. 50.000.000 = Rp. 5.000.000 15% x Rp. 50.000.000 = Rp. 7.500.000 30% x Rp. 563.236.450 = Rp. 168.970.935 Rp. 181.470.935 *PPh Terutang (Laporan Keuangan Fiskal) 10% x Rp. 50.000.000 = Rp. 5.000.000 15% x Rp. 50.000.000 = Rp. 7.500.000 30% x Rp. 764.338.443 = Rp. 229.301.532 Rp. 341.801.532

*Penghasilan lain-lain yang dikoreksi adalah penghasilan terhadap penalti bunga yang seharusnya dikenakan terhadap pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa karena terlambat melunasi piutangnya. Penghasilan tersebut menjadi objek pajak dalam menghitung pajak penghasilan terutang.


(65)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan data yang telah diperoleh serta hasil penelitian yang telah dituliskan, maka penulis mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut.

1. PT. PSPI memberikan perlakuan yang berbeda antara perusahaan yang tidak memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan yang memiliki hubungan istimewa. Dari 3 jenis hubungan istimewa yang terjadi di PT. PSPI, faktor kepemilikan menjadi faktor yang cukup signifikan mempengaruhi tingkat penurunan harga.

2. Penjualan PT. PSPI kepada pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa merupakan transaksi transfer pricing yang menurut Undang-Undang Perpajakan harus dikoreksi secara positif (koreksi yang mengakibatkan bertambahnya laba kena pajak dan pajak penghasilan). Perlakuan istimewa tersebut tidak hanya terletak pada harga jual saja, tetapi perlakuan dalam memberikan batas waktu pelunasan piutang tanpa dikenakan bunga dan bunga pinjaman dengan suku bunga rendah.

Dari ketidakwajaran yang ada mengakibatkan kekurangan pajak penghasilan sebesar Rp. 60.330.597 (Rp. 1.675.467 + Rp. 58.655.130). 3. Perbedaan suku bunga pinjaman tidak mempengaruhi besarnya laba kena

pajak karena koreksi terhadapa biaya bunga pinjaman merupakan koreksi negatif, namun berpengaruh pada berkurangnya potongan pajak


(66)

penghasilan pasal 23 terhadap bunga pinjaman. Berdasarkan analisis pada tabel 4.6, PT. PSPI harus membayar kekurangan PPH 23 sebesar Rp. 3.337.698.

B. Saran

Berdasarkan atas analisis penelitian yang telah dilakukan pada PT. PSPI, maka penulis memberikan saran sebagai berikut.

1. Dilihat dari besarnya pembayaran pajak kurang bayar akibat transaksi

transfer pricing, perusahaan sebaiknya tidak memberikan perbedaan harga

jual produk yang terlalu jauh antara pihak yang memiliki hubungan istimewa dan kepada pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa. Begitu pula pada pemberian suku bunga pinjaman.

2. Perusahaan sebaiknya mengadakan kesepakatan dalam menentukan nilai transaksi transfer pricing dengan Dirjen Pajak.


(67)

DAFTAR PUSTAKA

Agoes, Sukrisno, dan Estralita Trisnawati, 2007. Akuntansi Perpajakan, Salemba Empat, Jakarta.

Boediono, 2004. Perpajakan Indonesia, Cetakan Kedua, Diadit Media, Jakarta. Erlina, Sri Mulyani, 2007. Metodologi Penelitian Bisnis: Untuk Akuntansi dan

Manajemen, Cetakan Pertama, USU Press, Medan.

Gunadi, 1994. Transfer Pricing Suatu Tinjauan Akuntansi Manajemen dan Pajak, PT. Bina Rena Pariwara, Jakarta.

Hernanto, 2003. Akuntansi Perpajakan, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, Badan Penerbit Fakultas Ekonomi (BPFE), Yogyakarta.

Hansen, Mowen, 2006. Akuntansi Manajemen, edisi 7, Jilid 2, Erlangga, Jakarta. Ikatan Akuntan Indonesia, 2007. Standar Akuntansi Keuangan, Salemba Empat.

Jakarta

Mardiasmo, 2006. Perpajakan, edisi Revisi, ANDI, Yogyakarta. Muljono, Djoko, 2006. Akuntansi Pajak. ANDI. Yogyakarta.

Prabowo, Yusdianto, 2002. Akuntansi Perpajakan Terapan, Cetakan Kedua, Grasindo, Jakarta.

Resmi, Siti, 2004. Perpajakan Teori dan Kasus, Buku Dua, Salemba Empat, Jakarta

Suandy, Erly, 2001. Perencanaan Pajak, Salemba Empat, Jakarta.

Sugiyono, 2004. Metode Penelitian Bisnis. Cetakan Ketujuh, Alfabeta, Bandung. Soemarso, S.R, 2007. Perpajakan Pendekatan Komprehensif, Salemba Empat,

Jakarta.

Umar, Husein, 2003. Riset Akuntansi: Metode Riset Sebagai Cara Penelitian

Ilmiah, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Waluyo. 2009. Akuntansi Pajak, Edisi 2, Cetakan Pertama, Salemba Empat, Jakarta.


(68)

Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara, Departemen Akuntansi, 2004. Buku Petunjuk Teknis Penulisan Proposal Penelitian dan

Penulisan Skripsi, Medan.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan

Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak

Penghasilan.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan

Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak


(69)

PT. PERINTIS SARANA PANCING INDONESIA LAPORAN LABA RUGI

Periode berakhir 31 Desember 2006 (Dalam Rupiah)

KETERANGAN KOMERSIL

2006

Penjualan Bersih 7.054.882.260

Harga Pokok Penjualan

Persediaan awal bahan baku 1.170.456.150 Pembelian bahan baku 76.106.480 Tersedia untuk diolah 1.246.562.630 Persediaan akhir bahan baku (325.392.380)

Pemakaian bahan baku 921.170.250

Gaji dan upah langsung 1.027.710.000

Biaya pabrikasi: - B. pengepakan - B. pengiriman - B. pelumas - B. listrik - B. bahan bakar - B. sparepart

- B. produksi lainnya - B. penyusutan bangunan - B. penyusutan alat dan

mesin 23.488.000 315.013.620 14.560.000 1.798.306.190 217.369.640 25.051.000 12.942.000 65.784.100 72.684.990

Total biaya Pabrikasi 2.545.199.540

Biaya produksi 4.494.079.790

Persediaan awal WIP 1.432.907.150

Persediaan akhir WIP (1.996.306.600)

Persediaan awal barang jadi 864.281.970

Persediaan akhir barang jadi (1.067.299.120)

(3.727.663.190)

Laba kotor 3.327.219.070

Beban Operasional (2.693.152.680)

Laba Bersih 634.066.390

Penghasilan Lain-Lain 29.592.530

Biaya Lain-Lain (422.470)


(70)

STRUKTUR ORGANISASI

PT. PERINTIS SARANA PANCING INDONESIA

Production Control

General Manager

Marketing Manager Administration

and Finance Manager Personalia

Manager Engineering

Manager Production

Manager

Design Direktur

Manufacture II Manufacture I


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan data yang telah diperoleh serta hasil penelitian yang telah dituliskan, maka penulis mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut.

1. PT. PSPI memberikan perlakuan yang berbeda antara perusahaan yang tidak memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan yang memiliki hubungan istimewa. Dari 3 jenis hubungan istimewa yang terjadi di PT. PSPI, faktor kepemilikan menjadi faktor yang cukup signifikan mempengaruhi tingkat penurunan harga.

2. Penjualan PT. PSPI kepada pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa merupakan transaksi transfer pricing yang menurut Undang-Undang Perpajakan harus dikoreksi secara positif (koreksi yang mengakibatkan bertambahnya laba kena pajak dan pajak penghasilan). Perlakuan istimewa tersebut tidak hanya terletak pada harga jual saja, tetapi perlakuan dalam memberikan batas waktu pelunasan piutang tanpa dikenakan bunga dan bunga pinjaman dengan suku bunga rendah.

Dari ketidakwajaran yang ada mengakibatkan kekurangan pajak penghasilan sebesar Rp. 60.330.597 (Rp. 1.675.467 + Rp. 58.655.130). 3. Perbedaan suku bunga pinjaman tidak mempengaruhi besarnya laba kena

pajak karena koreksi terhadapa biaya bunga pinjaman merupakan koreksi negatif, namun berpengaruh pada berkurangnya potongan pajak


(2)

penghasilan pasal 23 terhadap bunga pinjaman. Berdasarkan analisis pada tabel 4.6, PT. PSPI harus membayar kekurangan PPH 23 sebesar Rp. 3.337.698.

B. Saran

Berdasarkan atas analisis penelitian yang telah dilakukan pada PT. PSPI, maka penulis memberikan saran sebagai berikut.

1. Dilihat dari besarnya pembayaran pajak kurang bayar akibat transaksi

transfer pricing, perusahaan sebaiknya tidak memberikan perbedaan harga

jual produk yang terlalu jauh antara pihak yang memiliki hubungan istimewa dan kepada pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa. Begitu pula pada pemberian suku bunga pinjaman.

2. Perusahaan sebaiknya mengadakan kesepakatan dalam menentukan nilai transaksi transfer pricing dengan Dirjen Pajak.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Agoes, Sukrisno, dan Estralita Trisnawati, 2007. Akuntansi Perpajakan, Salemba Empat, Jakarta.

Boediono, 2004. Perpajakan Indonesia, Cetakan Kedua, Diadit Media, Jakarta. Erlina, Sri Mulyani, 2007. Metodologi Penelitian Bisnis: Untuk Akuntansi dan

Manajemen, Cetakan Pertama, USU Press, Medan.

Gunadi, 1994. Transfer Pricing Suatu Tinjauan Akuntansi Manajemen dan Pajak, PT. Bina Rena Pariwara, Jakarta.

Hernanto, 2003. Akuntansi Perpajakan, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, Badan Penerbit Fakultas Ekonomi (BPFE), Yogyakarta.

Hansen, Mowen, 2006. Akuntansi Manajemen, edisi 7, Jilid 2, Erlangga, Jakarta. Ikatan Akuntan Indonesia, 2007. Standar Akuntansi Keuangan, Salemba Empat.

Jakarta

Mardiasmo, 2006. Perpajakan, edisi Revisi, ANDI, Yogyakarta. Muljono, Djoko, 2006. Akuntansi Pajak. ANDI. Yogyakarta.

Prabowo, Yusdianto, 2002. Akuntansi Perpajakan Terapan, Cetakan Kedua, Grasindo, Jakarta.

Resmi, Siti, 2004. Perpajakan Teori dan Kasus, Buku Dua, Salemba Empat, Jakarta

Suandy, Erly, 2001. Perencanaan Pajak, Salemba Empat, Jakarta.

Sugiyono, 2004. Metode Penelitian Bisnis. Cetakan Ketujuh, Alfabeta, Bandung. Soemarso, S.R, 2007. Perpajakan Pendekatan Komprehensif, Salemba Empat,

Jakarta.

Umar, Husein, 2003. Riset Akuntansi: Metode Riset Sebagai Cara Penelitian

Ilmiah, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Waluyo. 2009. Akuntansi Pajak, Edisi 2, Cetakan Pertama, Salemba Empat, Jakarta.


(4)

Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara, Departemen Akuntansi, 2004. Buku Petunjuk Teknis Penulisan Proposal Penelitian dan

Penulisan Skripsi, Medan.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan

Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak

Penghasilan.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan

Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak


(5)

(Dalam Rupiah)

KETERANGAN KOMERSIL

2006

Penjualan Bersih 7.054.882.260

Harga Pokok Penjualan

Persediaan awal bahan baku 1.170.456.150 Pembelian bahan baku 76.106.480 Tersedia untuk diolah 1.246.562.630 Persediaan akhir bahan baku (325.392.380)

Pemakaian bahan baku 921.170.250

Gaji dan upah langsung 1.027.710.000

Biaya pabrikasi: - B. pengepakan - B. pengiriman - B. pelumas - B. listrik - B. bahan bakar - B. sparepart

- B. produksi lainnya - B. penyusutan bangunan - B. penyusutan alat dan

mesin 23.488.000 315.013.620 14.560.000 1.798.306.190 217.369.640 25.051.000 12.942.000 65.784.100 72.684.990

Total biaya Pabrikasi 2.545.199.540

Biaya produksi 4.494.079.790

Persediaan awal WIP 1.432.907.150

Persediaan akhir WIP (1.996.306.600)

Persediaan awal barang jadi 864.281.970

Persediaan akhir barang jadi (1.067.299.120)

(3.727.663.190)

Laba kotor 3.327.219.070

Beban Operasional (2.693.152.680)

Laba Bersih 634.066.390

Penghasilan Lain-Lain 29.592.530

Biaya Lain-Lain (422.470)


(6)

STRUKTUR ORGANISASI

PT. PERINTIS SARANA PANCING INDONESIA

Production Control

General Manager

Marketing Manager Administration

and Finance Manager Personalia

Manager Engineering

Manager Production

Manager

Design Direktur

Manufacture II Manufacture I