8
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep koping
1.1. Pengertian mekanisme koping Koping adalah upaya yang dilakukan oleh individu untuk mengatasi situasi
yang dinilai sebagai suatu tantangan, ancaman, luka, dan kehilangan Lazarus and Folkman 1984 dalam Siswanto, 2007. Pendapat lain mengatakan bahwa koping
merupakan kognitif dan perilaku seseorang dalam menghadapi ancaman fisik dan psikososial Stuart Laraia, 2005. Menurut Keliat 2001 dalam Sunaryo, 2004
mekanisme koping adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan serta respon terhadap situasi yang
mengancam. Dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa mekanisme
koping adalah cara atau upaya yang dilakukan seseorang dalam menghadapi stressor berupa ancaman, tantangan, dan perubahan.
1.2. Klasifikasi mekanisme koping Stuart dan Sundeen 2005 menggolongkan mekanisme koping menjadi 2
dua yaitu: a.
Mekanisme koping adaptif
Universitas Sumatera Utara
9
Adalah mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar, dan mencapai tujuan. Kategorinya adalah berbicara dengan orang lain,
memecahkan masalah secara efektif, teknik relaksasi, latihan seimbang, dan aktivitas konstruktif.
b. Mekanisme koping maladaptif
Adalah mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah pertumbuhan, menurunkan otonomi, dan cenderung menguasai lingkungan.
Kategorinya adalah makan berlebihan atau tidak makan, bekerja berlebihan menghindar.
1.3. Strategi koping Dalam kehidupan sehari-hari individu telah menggunakan strategi koping
dalam menghadapi stres. Strategi koping adalah cara yang dilakukan untuk merubah lingkungan atau situasi atau menyelesaikan masalah yang sedang dihadapidirasakan
Lazarus dan Folkman 1984. Lazarus dan Folkman 1984 menggolongkan strategi koping menjadi 2
dua yaitu: a.
Koping yang berfokus pada masalah problem focused coping Yaitu usaha mengatasi stres dengan cara mengatur atau mengubah masalah
yang dihadapi dan lingkungan sekitarnya yang menyebabkan terjadi tekanan. Problem focused coping ditujukan dengan mengurangi demans dari situasi yang
penuh dengan stres. Seseorang cenderung menggunakan problem focus coping
Universitas Sumatera Utara
10
apabila mereka percaya bahwa sumber masalah atau stresornya dapat diatasi. Strategi yang dipakai dalam problem focused coping adalah confrontatif coping koping
konfrontasi, seeking sosial support penggunaan dukungan sosial, dan planful problem solving perencanaan penyelesaian masalah.
Koping konfrontasi berarti bertahan atau melawan terhadap suatu permasalahan yang sedang dihadapi. Penggunaan dukungan sosial berarti mencari
atau berpaling pada orang lain untuk mendapatkan kenyamanan dan nasihat bagaimana menangani stres. Bisa juga dengan mengandalkan teman, keluarga atau
para profesional untuk mendapatkan nasihat dan anjuran. Perencanaan penyelesaian masalah yaitu pemikiran rencana untuk tindakan dalam menghadapi situasi atau
melihat beberapa pilihan yang dapat dilakukan, bersikap objektif dan mempertimbangkan beberapa kemungkinan sebelum mengambil tindakan.
b. Koping yang berfokus pada emosi emotion focused coping
Yaitu usaha mengatasi stres dengan cara mengatur respon emosional dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi
atau situasi yang dianggap penuh tekanan. Emotion focused coping ditujukan untuk mengontrol respon emosional terhadap situasi stres. Seseorang dapat mengatur respon
emosionalnya melalui pendekatan perilaku dan kognitif. Strategi yang digunakan dalam emotion focused coping adalah self-control kontrol diri, distancing
pelepasan diri, positive reappraisal penilaian positif, accepting responsibility penerimaan tanggungjawab, dan escapeavoidance pelarianpenghindaran.
Universitas Sumatera Utara
11
Kontrol diri merupakan pendekatan diri tanpa menunjukkan emosi atau
beraksi dengan tenang tanpa menunjukkan emosi atau perasaan. Pelepasan diri berarti
menarik diri, sikap yang tidak terpengaruh, berusaha untuk mengurangi situasi stres atau tidak memikirkan masalah dengan mencoba melakukan aktivitas lain. Penilaian
positif adalah berusaha untuk menghadapi situasi dari sudut pandang yang berbeda dan berusaha untuk menciptakan arti yang positif atau mempunyai fungsi dimensi
religi. Penerimaan tanggungjawab yaitu pengakuan peran seseorang dalam suatu
peristiwa atau mencoba belajar dari kesalahan. Pelarian atau penghindaran adalah menolak situasi yang terjadi dan kadang menarik diri atau menghindari dengan cara
menggunakan obat-obat terlarang. Lazarus dan Folkman 1984 menjelaskan bahwa biasanya individu yang
menghadapi stres menggunakan mekanisme koping yang berfokus pada masalah dan mekanisme koping yang berfokus pada emosi. Dimana mekanisme koping berfokus
pada masalah merupakan mekanisme koping yang secara langsung berfokus pada sumber penyebab stres, sedangkan mekanisme koping berfokus pada emosi lebih
menekankan pada manajemen emosi dalam setiap individu.
1.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi koping Muktadin 2002 menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
koping meliputi kesehatan fisik, keyakinan atau pandangan yang positif, keterampilan memecahkan masalah, keterampilan sosial, dukungan sosial, dan materi.
Universitas Sumatera Utara
12
Kesehatan fisik merupakan hal yang penting, karena dalam mengatasi masalah individu dituntut untuk mengarahkan tenaga yang cukup besar. Keyakinan
atau pandangan yang positif merupakan sumber daya psikologi yang sangat penting,
karena dapat mengarahkan individu untuk menilai masalah sebagai suatu hal yang positif dan dapat diatasi.
Keterampilan memecahkan masalah adalah mencari informasi dan menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah dan menghasilkan alternatif tindakan,
kemudian mempertimbangkan alternatif tersebut untuk merencanakan tindakan yang tepat. Keterampilan sosial yaitu kemampuan komunikasi dan bertingkah laku sesuai
dengan cara-cara atau nilai yang berlaku di masyarakat. Dukungan sosial merupakan kebutuhan informasi dan emosional pada diri
individu, yang didapatkan dari keluarga, teman, kelompok sosial, dan lingkungan. Materi dapat berupa uang, barang-barang, atau layanan yang biasanya dapat dibeli
individu untuk menyelesaikan masalah.
2. Kesiapan
2.1. Pengertian kesiapan Kesiapan adalah keseluruhan kondisi seseorang baik secara fisik, psikologis,
maupun emosional yang membuatnya siap untuk memberikan respon atau jawaban dengan cara tertentu terhadap suatu situasi Slameto, 2003. Chaplin 2006
menjelaskan bahwa kesiapan adalah tingkat perkembangan dari kematangan atau kedewasaan seseorang utuk mempraktikkan sesuatu.
Universitas Sumatera Utara
13
Kesiapan yang dimaksud adalah keseluruhan kondisi baik secara fisik, psikologis, maupun emosional mahasiswa profesi ners dan mahasiswa profesi dokter
untuk melaksanakan kolaborasi. Ada tiga aspek mengenai kesiapan seperti yang dijelaskan oleh Yusuf, 2002, yaitu:
a. Aspek pemahaman, yaitu kondisi dimana seseorang mengetahui dan mengerti
kejadian yang dialaminya bisa dijadikan sebagai salah satu jaminan bahwa dia akan merasa siap menghadapi hal-hal yang terjadi.
b. Aspek penghayatan, yaitu kondisi dimana seseorang siap secara alami bahwa
segala hal yang terjadi secara alami hampir menimpa semua orang adalah segala sesuatu yang wajar, normal, dan tidak perlu dikhawatirkan.
c. Aspek kesediaan, yaitu kondisi dimana seseorang sanggup atau rela untuk
berbuat sesuatu sehingga dapat mengalami secara langsung segala hal yang seharusnya dialami sebagai salah satu proses kehidupan.
2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesiapan Slameto 2003 menjelaskan bahwa kesiapan dalam melaksanakan
kolaborasi mempunyai beberapa faktor, yang pertama kondisi fisik, mental, dan emosional, yang kedua kebutuhan-kebutuhan motif, dan tujuan, yang ketiga
keterampilan, pengetahuan, dan pengertian lain yang telah dipelajari, serta yang terakhir adalah pengalaman.
Universitas Sumatera Utara
14
2.3. Prinsip-prinsip kesiapan Ada beberapa prinsip kesiapan yang harus dipahami oleh mahasiswa profesi
ners dan mahasiswa profesi dokter, yaitu: a.
Semua aspek perkembangan berinteraksi saling pengaruh mempengaruhi. b.
Kematangan jasmani dan rohani adalah perlu untuk memperoleh manfaat dari pengalaman.
c. Pengalaman-pengalaman memiliki pengaruh yang positif terhadap kesiapan.
d. kesiapan dasar untuk kegiatan tertentu terbentuk dalam periode tertentu
selama masa pembentukan dalam periode perkembangan Slameto, 2003.
3. Kolaborasi
3.1. Pengertian kolaborasi Kolaborasi adalah hubungan kerja diantara tenaga kesehatan dalam
memberikan pelayanan kepada pasienklien, meliputi melakukan diskusi tentang diagnosa, melakukan kerjasama dalam asuhan kesehatan, saling berkomunikasi serta
bertanggungjawab dalam tugas dan perannya masing-masing. Apapun bentuk dan tempatnya, kolaborasi merupakan pertukaran pandangan atau ide yang memberikan
perspektif kepada seluruh kolaborator. Kolaborasi merupakan suatu proses kompleks yang membutuhkan sharing berbagi pengetahuan yang direncanakan atau disengaja,
dan menjadi tanggungjawab bersama untuk merawat pasien Curtis, 2011. Kolaborasi merupakan suatu proses dimana praktisi keperawatan atau
perawat klinik melakukan kerjasama dengan dokter untuk memberikan pelayanan
Universitas Sumatera Utara
15
kesehatan dalam lingkup praktek keperawatan profesional dengan pengawasan dan supervisi sebagai pemberi petunjuk pengembangan kerjasama. Bagi perawat,
hubungan kerjasama dengan dokter sangat penting apabila ingin menunjukkan fungsinya secara independen. Kolaborasi dapat berjalan dengan baik apabila semua
anggota profesi mempunyai keinginan yang sama yaitu untuk melaksanakan kolaborasi. Perawat dan dokter merencanakan dan mempraktekkan sebagai kolega,
bekerja saling ketergantungan dalam batasan-batasan lingkup praktek dengan berbagai nilai-nilai dan pengetahuan serta respon terhadap orang lain yang
berkontribusi dalam perawatan individu, kelompok, dan masyarakat Lindeke, 2005.
3.2.Dasar-dasar kompetensi kolaborasi Berikut ini beberapa dasar kompetensi dalam melaksanakan kolaborasi
Siegler Whitney, 2000: a.
Komunikasi Komunikasi sangat dibutuhkan dalam kolaborasi, karena kolaborasi
membutuhkan pemecahan masalah yang lebih kompleks. Masalah-masalah yang muncul dalam kolaborasi tersebut dapat dipecahkan dengan kolaborasi efektif yang
dapat dimengerti oleh semua anggota tim profesional. b.
Respek dan kepercayaan Kualitas respek dapat dilihat lebih kearah harga diri, sedangkan kepercayaan
dapat dilihat dari mutu proses dan hasil. Respek dan kepercayaan dapat disampaikan
Universitas Sumatera Utara
16
secara verbal dan non verbal, serta dapat dilihat dan dirasakan dalam penerapan kehidupan sehari-hari.
c. Memberikan dan menerima umpan balik feed back
Umpan balik feed back dipengaruhi oleh persepsi seseorang, pola hubungan, harga diri, kepercayaan diri, emosi, lingkungan, serta waktu. Feed back
juga dapat bersifat positif dan negatif. d.
Pengambilan keputusan Dalam pengambilan keputusan dibutuhkan komunikasi untuk mewujudkan
kolaborasi yang efektif. Hal ini untuk menyatukan data kesehatan pasien secara komprehensif sehingga menjadi sumber informasi bagi semua anggota tim
profesional. e.
Manajemen konflik Masing-masing anggota profesi harus memahami peran serta fungsinya
untuk menurunkan konflik. Selain itu, setiap anggota profesi juga harus melakukan klarifikasi persepsi dan harapan, mengidentifikasi kompetensi, mengidenifikasi
tumpang tindih peran, serta melakukan negosiasi peran dan tanggungjawab. Terwujudnya suatu kolaborasi tergantung pada beberapa kriteria, yaitu
adanya saling percaya dan menghormati, saling memahami dan menerima keilmuan masing-masing, memiliki citra diri positf, memiliki kematangan profesional yang
setara baik dalam hal pendidikan maupun pengalaman, mengakui sebagai mitra kerja, serta memiliki keinginan untuk bernegoisasi.
Universitas Sumatera Utara
17
Inti dari suatu hubungan kolaborasi adalah adanya perasaan saling ketergantungan atau interdefensasi untuk kerjasama. Bekerjasama dalam suatu
kegiatan dapat memfasilitasi kolaborasi yang baik. Kerjasama mencerminkan proses koordinasi pekerjaan agar tujuan atau target yang telah ditetapkan dapat terpenuhi.
Selain itu, menggunakan catatan klien terintegrasi dapat merupakan suatu alat untuk berkomunikasi antar berbagai profesional kesehatan secara formal dalam memberikan
asuhan kesehatan pada klien. 3.3.Faktor penghambat kolaborasi perawat dengan dokter
Hubungan perawat-dokter adalah bentuk hubungan interaksi yang sudah lama dikenal ketika memberikan asuhan klien. Perspektif yang berbeda dalam
memandang pasien menyebabkan munculnya hambatan-hambatan teknis dalam melakukan praktik kolaborasi. Selain itu, ada juga kendala psikologis keilmuan dan
individual, faktor sosial serta budaya menempatkan kedua profesi ini memunculkan kebutuhan akan upaya kolaborasi yang dapat menjadikan keduanya lebih solid
dengan semangat kepentingan pasien. Hambatan kolaborasi perawat dengan dokter sering dijumpai pada tingkat
profesional dan institusional. Perbedaan status dan kekuasaan tetap menjadi sumber utama ketidaksesuaian yang membatasi pendirian profesional dalam aplikasi
kolaborasi. Inti sesungguhnya dari konflik perawat dengan dokter terletak pada perbedaan sikap profesional mereka terhadap pasien dan cara berkomunikasi diantara
keduanya Siegler
Whitney, 2000.
Universitas Sumatera Utara
18
BAB 3 KERANGKA PENELITIAN