Tinjauan Yuridis Pembatalan Penerbangan Secara Sepihak Oleh Penyedia Jasa Kepada Konsumen Jasa Penerbangan Menurut UU Perlindungan Konsumen

(1)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU

Wiradipradja Saefullah, Tanggung Jawab Perusahaan penerbangan Terhadap Penumpang Menurut hukum udara Indonesia, Jurnal hukum Bisnis, Volume 25, No.1, 2006

Suherman. E, Tanggung Jawab Pengangkutan Dalam Hukum Udara Indonesia, Bandung : N.V.Eresco I, 1962

Purwosucipto. HMN, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 3, hukum pengangkutan, Jakarta : Djambatan,1991

Uli Sinta,Pengangkutan Suatu Tinjauan Hukum Multimoda Transport,Angkutan

laut,Angkatan Udara, Medan : USU Pers, 2006

Soekanto Soejono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Press,1986

Muhammad Kadir Abdul,Hukum Pengangkut Darat, laut dan Udara, (Jakarta : Cipta Aditya Bahkti,1991

Adji Usman Sution, dkk, Hukum Pengangkutan di Indonesia, Bandung : Rineka Citra, 1990

Soekardono, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jakarta : Soereong 1981

Muhammad Kadir Abdul, Hukum Penangkutan Niaga, Bandung : Cipta Aditya Bahkti,2008

Nasution Az, Hukum Perlindungan konsumen Suatu pengantar, Jakarta : Diadit media, 2000

Leon G Schiffman, (et.al), Consumer Behavior Sixth Edition, London : Prentice Hall International, 1997

Shidarta ,Hukum perlindungan konsumen Indonesia Grasindo,Jakarta,2000

Syawali Sri Dan Sri Imaniyati Nani, Hukum perlindungan Konsumen, Bandung : Mandar Maju,2000

Marsulina Teti, Berbagai Persoalan yuridis Seputar Asuransi dan Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Asuransi dan Konsumen Asuransi Berdasarkan UU No 8 Tahun 1999, Yustika Vol III,2000


(2)

Sutedi Adrian,Tanggung Jawab Produk Dalam Perlindungan konsuman, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2008

MAJALAH

Lembaga Pertahanan Nasional, Kewiraan Untuk Mahasiswa, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama Kerjasama Dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdikbud,1992

Saefullah Wiradipradja, Tanggung Jawab Perusahaan penerbangan Terhadap Penumpang Menurut hukum udara Indonesia, Jurnal hukum Bisnis, Volume 25, No.1, 2006

KAMUS

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia

edisi ketiga, Jakarta : Balai Pustaka, 2005

SKRIPSI DAN TESIS

Zazili Ahmad, Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang pada Transportasi Udara Niaga Berjadwal Nasional, Undip,Semarang,2008

Bagus Dimas, Tanggung Jawab Pelaku Usaha Dalam Jual Beli Tiket Maskapai

Penerbangan Melalui Internet Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, (Unikomp Guna

Darma,2006 INTERNET

diakses tanggal 12 Januari 2011.

Jurnal online 13 Januari 2011.

alhamsyah.com/blog/topics/macam-macam-maskapai-penerbangan-indonesia.html, diakses tanggal 13 Januari 2011.

Data direktorat perhubungan udara pada tanggal 15 Januari 2011.


(3)


(4)

BAB III

TANGGUNG JAWAB PENYEDIA JASA KEPADA KONSUMEN JASA PENERBANGAN JIKA TERJADI PEMBATALAN PENERBANGAN

SECARA SEPIHAK

A. Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen dalam Penerbangan

Perlindungan terhadap hak-hak konsumen atas pembatalan penerbangan secara sepihak oleh penyedia jasa penerbangan dapat dilihat dari beberapa aspek-aspek hukum yang berkaitan dengan perlindungan konsumen antara lain :39

a. KUH perdata, terutama dalam buku kedua, ketiga dan keempat 1. Aspek-aspek keperdataan

Didalam aspek keperdataan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan masalah hukum antara pelaku usaha/penyedia jasa dengan konsumennya masing-masing termuat dalam :

b. KUHD, buku kesatu dan buku kedua

c. Berbagai peraturan perundang-undangan lain yang memuat kaidah-kaidah hukum yang bersifat perdata tentang subjek-subjek hukum, hubungan hukum dan masalah antara penyedia jasa tertentu dan konsumen.

Beberapa hal yang dinilai penting dalam hubungan konsumen dan penyedia jasa antara lain hal-hal yang berkaitan dengan informasi dan hal-hal yang berkaitan dengan perikatan :

39


(5)

a. Hal-hal yang berkaitan dengan informasi40

40

Az Nasution I, Ibid, Hal.57

Bagi konsumen informasi, tentang barang dan jasa merupakan kebutuhan pokok. informasi-informasi tersebut meliputi ketersediaan barang atau jasa yang dibutuhkan konsumen,tentang kualitas produk/jasa dan kualitasnya, harga, tentang persyaratan atau cara memperolehnya, tentang jaminan atau garansi produk dan lainnya. Informasi dari konsumen tampak dari pembicaraan dari mulut ke mulut tentang suatu produk konsumen, surat-surat pembaca pada media massa, berbagai siaran kelompok tertentu, tanggapan suatu organisasi konsumen terhadap suatu produk tertentu, siaran pers organisasi konsumen seperti Yayasan Perlindungan Konsumen Indonesia (YLKI) tentang hasil penelitian dan risat produk konsumen tertentu yang dapat ditemukan pada harian-harian umum, majalah, atau harian resmi YLKI yaitu Warta Konsumen.

Dari kalangan usaha (penyedia jasa, produsen, importer, atau lainnya) diketahui sumber-sumber informasi itu umumnya terdiri berbagai bentuk iklan baik melalui media elektronik maupun nonelektronik, serta dalam bentuk label termasuk berbagai bentuk selebaran, seperti brosur, pamplet, catalog dan lain-lain sejenis dengan itu.

1) Tentang Iklan

Menurut ketentuan dari UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 9 ayat (1) berbunyi :


(6)

“Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan sutau barang dan/atau jasa secara tidak benar atau seolah olah terdapat keistimewaan pada barang/atau jasa tersebut”.

Sayangnya dalam undang-undang ini tidak dicantumkan apa yang dimaksud dengan iklan, yang terdapat dalam undang-undang ini hanyalah berbagai larangan berkaitan dengan periklanan saja. Dari hal-hal yang terurai diatas setidaknya terdapat dua batasan iklan, yang pertama ditetapkan oleh departemen kesehatan dan yang lainnya ditetapkan oleh sistem penyiaran nasional.

Departemen Kesehatan (Peraturan Menteri Kesehatan No.329 Tahun 1976, Pasal 1 Butir ke 13) menetapkan “ iklan adalah usaha dengan cara apapun untuk meningkatkan penjualan,baik secara langsung maupun tidak langsung ” sedangkan menurut penyiaran nasional ( Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran ) Pasal 1 Butir (5) merumuskan iklan adalah siaran informasi yang bersifat komersial tentang ktersediaan jasa, barang dan gagasan yang dapat dimanfaatkan oleh khalayak dengan atau tanpa imbalan kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan.sedangkan dalam Pasal 1 butir (6) menyatakan siaran iklan niaga adalah siaran iklan secara komersial yang disiarkan melalui penyiaran radio atau televisi dengan tujuan memperkenalkan atau memasyarakatkan atau mempromosikan barang atau jasa kepada khalayak dengan sasaran untuk mempengaruhi konsumen agar menggunakan produk yang ditawarkan.


(7)

Mengenai perilaku periklanan yang lengkap diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

a) Pelaku periklanan dilarang memproduksi iklan yang :

(1) Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan, harga barang atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang atau jasa

(2) Mengelabui jaminan, garansi terhadap barang atau jasa

(3) Memuat informasi yang keliru, salah / tidak tepat mengenai barang dan jasa

(4) Tidak memuat resiko pemakaian barang atau jasa

(5) Mengeksploitasi kejadian seseorang tanpa izin yang berwenang dan izin dari yang bersangkutan.

b) Pelaku usaha yang telah melanggar ketentuan pada ayat 1dilarang melanjutkan peredaran iklan.

Selanjutnya berkaitan dengan tanggung jawab pelaku usaha periklanan ini diatur dalam Pasal 20 yaitu pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.

Menurut AZ Nasution terdapat tiga jenis pelaku usaha antara lain : a) Pengiklan, yaitu perusahaan yang memesan iklan untuk memasarkan

atau menawarkan produk dan jasa yang ditawarkan.

b) Perusahaan iklan, adalah perusahaan yang menawarkan jasa dalam mendesain atau membuat iklan untuk para pemesannya.


(8)

c) Media, media elektronik atau non elektronik atau bentuk media lain yang menyiarkan atau menayangkan iklan-iklan tersebut.

Ketiga pelaku usaha tersebut menurut undang-undang ini merupakan pelaku usaha tetapi yang manakah yang harus bertanggung jawab sesuai ketentuan pasal 20 UUPK. Menurut AZ Nasution41

Satu hal yang menarik dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen berkaitan dengan periklanan ini dapat dilihat dalam Pasal 17 ayat 1 huruf f yaitu “… melanggar etika dan ketentuan perundang undangan mengenai peiklanan”. Apakah yang dimaksud dengan etika periklanan, apabila yang dimaksud etika periklanan adalah kode etik tergantung bagaimana hakim pengadilan negeri mengambil putusannya. Jika pada konsep iklan tersebut terdapat tanda tangan maka yang bertanggung jawab adalah yang menandatangani konsep iklan tersebut. Kemudian terdapat tindakan administratif yang dapat dijatuhkan pada pelaku usaha periklanan yang menyiarkan iklan yang menyesatkan, menipu atau mengakibatkan cedera pada konsumen untuk memasang iklan perbaikan di surat kabar atau televisi. Iklan koreksi seperti ini telah tumbuh di Negara-negara lain namun Undang-Undang Perlindungan Konsumen sendiri belum memuat sanksi administratif ini padahal kegunaanya sangat baik dalam upaya pencegahan terhadap tindakan yang merugikan dari pelaku usaha.


(9)

periklanan, berarti UUPK telah memberikan status hukum yang jelas terhadap pengaturan kode etik periklanan di Indonesia.

b. Hal-hal yang berkaitan dengan perikatan42

Perikatan yang terjadi karena undang-undang dapat timbul karena undang-undang,baik karena undang-undang maupun akibat perbuatan seseorang perbuatan itu dapat berupa perbuatan yang diperbolehkan maupun perbuatan yang dilarang.Dalam perikatan yang timbul karena perjanjian, tidak dipenuhi atau dilanggarnya janji-janji tersebut dapat mengakibatkan cedera janji (wanprestatie). Perbuatan cedera janji ini memberikan hak pada pihak yang dicederai untuk menggugat ganti rugi berupa biaya, kerugian dan bunga ( Pasal 1236 KUHPerdata dalam hal perjanjian memberikan sesuatu, Pasal 1239 Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa penyediaan jasa penerbangan merupakan perjanjian timbal balik antara penyedia jasa dengan konsumen jasa penerbangan maka dalam perlindungan terhadap hak konsumen harus melihat kepada aspek-aspek keperdataan khususnya yang berkaitan dengan perikatan. Dalam KUH Perdata Buku ke-III, tentang perikatan termuat ketentuan- ketentuan tentang subjek hukum perikatan, syarat-syarat perikatan, tentang resiko jenis-jenis perikatan tertentu, syarat-syarat pembatalannya dan berbagai bentuk perikatan yang dapat diadakan ( Pasal 1233 KUHPerdata) selanjutnya,Pasal 1234 KUHPerdata menyebutkan jenis-jenis perjanjian yang dapat diadakan terdiri atas memberikan sesuatu,berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.

42


(10)

dan Pasal 1242 KUHPerdata dalam hal perjanjian berbuat atau tidak berbuat sesuatu, Pasal 1243,Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUHPerdata).

Kerugian itu selain dari biaya yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan,kerugian yang juga dialami termasuk juga keuntungan yang diharapkan yang tidak dapat diterima karena perbuatan ingkar janji tersebut. Perikatan juga dapat terjadi tanpa adanya perjanjian. Antara lain perikatan yang terjadi karena salah satu pihak merugikan pihak lain karena suatu perbuatan yang dilakukan karena kealfaan atau dengan sengaja. Sebab, apabila seseorang dirugikan karena perbuatan orang lain, meskipun diantara mereka tidak terdapat suatu perjanjian , maka berdasarkan undang-undang dapat juga timbul atau terjadi hubungan hukum antara orang tersebut dengan orang yang menimbulkan kerugian itu. Dalam Pasal 1365 KUHPerdata disebutkan bahwa setiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.

Unsur-unsur perbuatan melawan hukum antara lain :

1) Unsur atas pelanggaran hak-hak orang lain. 2) Unsur yang bertentangan dengan kewajiban hukum para pihak.

3) Unsur yang bertentangan dengan kehati-hatian yang hidup atau harus

diindahkan dalam kehidupan. 2. Aspek – Aspek Hukum Administrasi Negara43


(11)

Berbeda dengan aspek hukum perdata yang memberikan sanksi dalam bentuk ganti kerugian didalam aspek hukum administrasi negara sanksi yang diberikan berupa sanksi administratif. Sanksi administratif tidak ditujukan pada konsumen pada umumnya, tetapi justru kepada pengusaha. Sanksi administratif berkaitan dengan perizinan yang diberikan pemerintah kepada pengusaha tersebut. Jika terjadi pelanggaran izin-izin tersebut dapat dicabut oleh pemerintah. Pencabutan izin hanya bertujuan untuk menghentikan proses produksi atau kegiatan jasa. Dengan demikian dampaknya secara tidak langsung dapat melindungi kepentingan konsumen. Dengan adanya sanksi administratif membuat pihak pelaku usaha baik barang atau jasa lebih hati-hati dalam menjalankan usahanya sebab apabila terbukti dengan sengaja melakukan kelalaian yang merugikan konsumen, pemerintah dapat memberikan sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha tersebut.sedangkan untuk hak-hak konsumen yang dirugikan dapat dituntut dengan bantuan hukum perdata.

Campur tangan administratur negara idealnya harus dilatarbelakangi oleh iktikad untuk melindungi konsumen. Sebab seringkali hubungan antara konsumen dengan para pelaku usaha baik barang maupun jasa tidaklah setara sedangkan dalam undang-undang perlindungan konsumen sendiri disebutkan harus ada kesetaraan kedudukan konsumen dengan para pelaku usaha. Disinilah letak peran pemerintah melalui administratur negara untuk mewujudkan hal tersebut. Sebab sanksi administratif seringkali lebih efektif bagi para pelaku usaha yang melanggar hak-hak konsumennya dibandingkan dengan sanksi perdata maupun sanksi pidana.


(12)

Ada beberapa alasan untuk mendukung pernyataan ini.44

Sejak masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda sudah ada peraturan perundang-undangan yang mempunyai kaitan dengan perlindungan konsumen. Peraturan-peraturan itu di antaranya

Pertama,sanksi

administratif dapat diterapkan secara langsung dan sepihak. Dikatakan demikian karena pemerintah sebagai pihak pemberi izin tidak perlu meminta persetujuan terlebih dahulu kepada pihak manapun. Persetujuan kalaupun ada dan dibutuhkan mungkin dari instansi-instansi pemerintah terkait.sanksi administratif juga tidak perlu melalui proses pengadilan. Memang bagi pelaku usaha yang terkena sanksi pencabutan izin diberikan kesempatan untuk membela diri melalui pengadilan tata usaha negara tetapi sanksi itu sendiri dijatuhkan terlebih dahulu, sehingga berlaku efektif. Kedua, sanksi perdata tidak menawarkan efek jera bagi pelaku usaha.Nilai ganti rugi yang dijatuh dalam sanksi perdata mungkintidak sebanding dengan besarnya keuntungan yang didapatkan dari perbuatan negatif yang dilakukan pelaku usaha. Belum lagi mekanisme penjatuhan putusan yang biasanya berbelit-belit dan membutuhkan proses yang lama,sehingga seringkali konsumen menjadi tidak sabar.Untuk gugatan secara perdata konsumen juga dihadapkan pada posisi tawar-menawar yang terkadang lebih menguntungkan pihak produsen

B. Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab Hukum dalam Perlindungan Konsumen

45

44

Ahmad Zazili, Tesis, Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang Pada Transportasi Udara Niaga Berjadwal Nasional,(Undip,Semarang,2008 ),Hal 138


(13)

1. Reglement Industriele Eigendom, S. 1912:545;

2. Hinder Ordonnantie (Ordonansi Gangguan), S. 1926.226;

3. Loodwit Ordonnantie (Ordonansi Timbal Karbonat), S. 1931:28;

4. Tin Ordonnantie (Ordonansi Timah Putih), S. 1931:509;

5. Vuurwerk Ordonnantie (Ordonansi Petasan), S. 1932:143;

6. Verpakkings Ordonnantie (Ordonansi Kemasan), S. 1935:161;

7. Ordonnantie Op de Slacth Belasting (Ordonansi Pajak Sembelih), S.

1936:671;

8. Sterkwerkannde Geneesmiddelen Ordonnantie (Ordonansi Obat Keras),

S. 1937:641;

9. Ijkordonnantie (Ordonansi Tera), S. 1049:175;

10.Gevaarlijke Stoffen Ordonnantie (Ordonansi Bahan-bahan Berbahaya),

S. 1949:377, dan lain-lain.

Sepanjang belum diatur oleh pemerintah Republik Indonesia, peraturan-peraturan tersebut masih berlaku di Indonesia. Hal itu berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan pada Undang-Undang Dasar 1945.46

46

Ibid. Hal. 7

Selanjutnya gema dari perlindungan konsumen baru mulai didengungkan dalam tahun 1970-an, terutama setelah berdirinya Yayasan Lembaga Konsumen (YLK) tanggal 11 Mei 1973. Organisasi ini bertindak atas dasar pengabdian kepada kehidupan manusiawi. Yayasan Lembaga Konsumen didirikan di tengah gencarnya promosi untuk memperlancar perdagangan barang-barang dalam negeri. Gencarnya promosi itu


(14)

perlu diimbangi dengan langkah-langkah pengawasan agar kualitas dari barang yang bersangkutan tetap terjamin dan tidak merugikan konsumen.

Konsumen sangat sulit untuk meminta pertanggungjawaban produsen dari barang yang telah menimbulkan kerugian pada konsumen. Dalam perkembangan perlindungan terhadap konsumen dikenal dua adagium, yaitu Caveat emptor dan

Caveat venditor. Caveat emptor adalah istilah Latin untuk “let the buyer aware”47

Menurut doktrin caveat emptor, produsen atau penjual dibebaskan dari kewajiban untuk memberitahu kepada konsumen tentang segala hal yang menyangkut barangatau jasa yang hendak diperjualbelikan.

(konsumen harus berhati-hati). Hal ini berarti bahwa sebelum konsumen membeli sesuatu, maka ia harus waspada terhadap kemungkinan adanya cacat pada barang.

48

Selanjutnya, doktrin Caveat Venditor

Apabila konsumen memutuskan untuk membeli suatu produk, maka harus menerima produk itu apa adanya. Awal abad XIX mulai disadari bahwa caveat emptor tidak dapat dipertahankan lagi, apalagi untuk melindungi konsumen.

49

47

Ibid. Hal. 14.

48

Ibid. Hal. 21.

49

Schiffman, Leon G. (et.al), Consumer Behavior Sixth Edition,( London : Prentice Hall bahwa produsen tidak hanya bertanggung jawab kepada konsumen atas dasar tanggung jawab kontraktual. Karena produknya ditawarkan kepada semua orang, maka timbul kepentingan bagi masyarakat untuk mendapatkan jaminan keamanan jika menggunakan produk yang bersangkutan. Kepentingan masyarakat itu adalah bahwa produsen yang menawarkan produknya pada masyarakat, harus memperhatikan keselamatan, ketrampilan, dan kejujuran dalam kegiatan transaksional yang


(15)

dilakukannya. Oleh karena itulah kemudian berkembang doktrin caveat venditor (let the producer aware) yang berarti bahwa produsen harus berhati-hati. Doktrin ini menghendaki agar produsen, dalam memproduksi dan memasarkan produknya, berhati-hati dan mengindahkan kepentingan masyarakat luas.

Dari uraian diatas maka prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus pelanggaran hak konsumen diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait.Beberapa sumber hukum formal, seperti peraturan perundang-undangan dan perjanjian standar dilapangan hukum keperdataan kerap memberikan pembatasan-pembatasan terhadap tanggung jawab yang dipikul oleh si pelanggar hak konsumen. Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum perlindungan konsumen dapat dibedakan sebagai berikut :50

50

Shidarta ,Hukum perlindungan konsumen Indonesia ( Grasindo,Jakarta,2000 ),Hal.58 1. Kesalahan (Liability based on fault)

2. Praduga selalu bertanggung jawab (Presumption of liability)

3. Praduga selalu tidak bertanggung jawab (Presumption on non liability) 4. Tanggung jawab mutlak ( Strict Liability)

5. Pembatasa tanggung jawab (limititation of Liability)


(16)

1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan51

Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability based on

fault) merupakan prinsip yang sangat umum berlaku dalam hukum pidana dan

perdata prinsip ini menyatakan seseorang baru dapat dimintakan pertanggung jawaban secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya yang mempunyai 4 unsur pokok yang harus dipenuhi :

a. adanya perbuatan b. adanya unsur kesalahan c. adanya kerugian yang diderita

d. adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian

yang dimaksud kesalahan adalah unsur yang bertentangan degan hukum. pengertian hukum, tidak hanya bertentangan dengan undang-undang,tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat.

Secara common sense asas tanggung jawab ini dapst diterima karena adlah adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban. Dengan kata lain tidaklah adil jika orang tidak bersalah harus mengganti kerugian yang diderita oleh orang lain.mengenai pembagian brban pembuktiannya,asas ini mengikuti ketentuan Pasal 163 HIR (Herzienne Indonesische Reglement) Pasal 283 dan Pasal 1865 KUHPerdata. Disitu dikatakan barang siapa yang mengakui mempunyai suatu hak, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut (actorie incumbit probatio).


(17)

Ketentuan diatas juga sejalan dengan teori umum dalam hukum acara, yakni asas audi et alterm partem, asas kedudukan yang sama antara semua pihak yang berperkara. Disini hakim harus memberi para pihak beban yang sama juga seimbang dan patut sehingga masing-masing memiliki kersempatan yang sama untuk memenangkan perkara tersebut.perkara yang perlu diperjelas dalam prinsip ini,yang sebenarnya juga berlaku umum untuk prinsip-prinsip lainnya adalah defenisi subjek prilaku yang salah (lihatlah Pasal 1367 KUH Perdata ). Dalam doktrin hukum dikenal asas Vicarious liability dan corporate liability.

Vicarious liability ( disebut juga dengan respondeat superior, let the master answer ), mengandung pengertian majikan bertanggung jawab atas semua

kerugian pihak lain yang ditimbulkan oleh orang-orang atau karyawan yang berada dibawah pengawasannya ( captain of the ship doctrine ). Jika karyawan itu dipinjamkan kepihak lain ( borrowed servant ), maka tanggung jawab tersebut beralih kepada si pemakai karyawan tadi (fellow servant doctrine). Corporate

liability pada prinsipnya memiliki pengertian yang sama dengan vicarious liability. Menurut doktrin ini, lembaga yang menaungi suatu kelompok pekerja

mempunyai tanggung jawab terhadap tenaga kerja yang dipekerjakannya.Sebagai contoh dalam hubungan rumah sakit dengan pasiennya, semua bertanggung jawab atas pekerjaan tenaga medis dan paramedis dokter adalah menjadi beban tanggung jawab rumah sakit tempat mereka bekerja. Prinsip ini diterapkan tidak saja tidak saja untuk karyawan organiknya (yang digaji oleh rumah sakit), tetapi untuk karyawan nonorganik (misalnya dokter yang dikontrak kerja dengan pembagian hasil )


(18)

Latar belakang penerapan prinsip ini adalah konsumen hanya melihat semua dibalik dinding suatu korporasi itu sebagai satu kesatuan.Ia tidak dapat membedakan mana yang berhubungan secara organic dengan korporasi dan mana yang tidak. Doktrin yang terakhir ini disebut ostensible agensy.Maksudnya, jika suatu korporasi (misalnya rumah sakit) memberi kesan kepada masyarakat, orang yang bekerja disitu (dokter, perawat, dan lain-lain) adalah karyawan yang tunduk dibawah perintah/kordinasi korporasi tersebut,maka sudah cukup syarat bagi korporasi itu untuk wajib bertanggung jawab secara vicarious terhadap konsumenya.

2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab

Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab (presumption of liability principle), sampai ia dapat membuktilkan ia tidak bersalah.jadi, beban pembuktian ada pada si tergugat.

Dalam hukum pengangkutan, khusunya pengangkutan udara,prinsip tanggung jawab ini pernah diakui, sebagaimana dapat dilihat dalam Pasal 17, 18, ayat(1), Pasal 19 jo. Pasal 20 Konvensi Warsawa 1929 atau Pasal 24, 25, 28 ayat(1), Pasal 29 Ordonansi Pengangkutan Udara No.100 Tahun 1939,kemudian dalam perkembangannya dihapuskan dengan Protocol Guatemala 1971.

Berkaitan dengan prinsip yanggung jawab ini, dalam doktrin hukum pengangkutan khususnya pengangkutan udara, dikenal empat variasi :

a. Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab ini, jika kerugian yang timbullkan oleh hal-hal diluar kekuasaanya.


(19)

b. Pengangkut dapat dibebaskan dari tanggung jawab jika ia dapat membuktikan, ia mengambil suatu tindakan yang diperlukan untuk menghindari kerugian.

c. Pengangkut dapat dibebaskan dari tanggung jawab jika ia dapat membuktikan, kerugian yang timbul bukan karena kesalahanya.

d. Pengangkut dapat dibebaskan dari tanggung jawab jika ia dapat membuktikan, jika kerugian disebabkan kelalaian/kesalahan penumpang. Dari penjelasan diatas tampak bahwa pembuktian terbalik diterima dalam prinsip ini, UUPK juga mengadopsi sistem pembuktian terbalik ini, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19, 22 dan 23 (lihat ketentuan Pasal 28 UUPK )

Dasar pemikiran teroi ini adalah seorang dianggap bersalah, sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya, sehingga jika teori ini digunakan maka yang berkewajiban untuk mmbuktikan keslahan itu ada pada pelaku usaha atau penyedia jasa.namun dalam prinsip ini posisi konsumen selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha.52

Prinsip ini merupakan kebalikan dari prinsip kedua.Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab ( presumption non liability ) hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas dan pembatasan demikian secara

common sense dapat dibenarkan, contoh penerapan prinsip ini dalam

penyelenggaraan jasa penerbangan. Kehilangan atau kerusakan pada bagasi 3. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab

52


(20)

tangan yang biasanya diawasi oleh penumpang tidak menjadi tanggung jawab dari penyedia jasa pengangkutan udara.

Sekalipun demikian dalam Pasal 44 ayat (2) Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara prinsip ini tidak dianut dengan mutlak dan mengarah pada pertanggung jawaban dengan pembatasan ganti rugi maksimal satu juta rupiah, artinya bagasi tangan tetap dapt dimintakan pertanggung jawabannya selama bukti kesalahan pihak penyedia jasa penerbangan dapat ditunjukkan, dimana beban pembuktian ada pada penumpang.53

a. Konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam proses produksi atau distribusi yang komplek

4. Prinsip tanggung jawab mutlak

Prinsip tanggung jawab mutlak (srict liability) sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability).Kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan kedua terminology diatas.

Ada pendapat yang mengatakan, strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan.Namun ada pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya force majeur. Sedangkan pada absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya. Menurut RC Hoeber mengatakan bahwa prinsip tanggung jawab mutlak ini diterapkan karena :


(21)

b. Diasumsikan bahwa produsen telah dapat mengantisipasi jika sewaktu-waktu ada gugatan atas kesalahannya, misalnya dengan asuransi atau menambahkan komponen tertentu dalam produknya.

c. Prinsip tanggung jawab ini dapat memaksa produsen lebih hati-hati

Prinsip tanggung jawab mutlak ini dalam hukum perlindungan konsumen secara umum digunakan untuk menjerat pelaku usaha, khususnya produsen barang yang produknya merugikan konsumen.prinsip ini lebih dikenal dengan istilah

product liability . Variasi yang sedikit berbeda dalam penerapan prinsip tanggung

jawab ini terletak pada risk liability yang mempunyai arti kewajiban mengganti rugi dibebankan kepada pihak yang menimbulkan resiko adanya kerugian itu. Namun, si penggugat (konsumen) tetap diberikan beban pembutin walaupun tidak sebesar si tergugat (pelaku usaha)54

Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan ( limitation of liability ) sangat disenangi oleh pelaku usaha/penyedia jasa untuk dicantumkan dalam klausal eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Prinsip ini biasanya dikombinasikan dengan prinsip-prinsip tanggung jawab lainnya. Dalam pengangkutan udara, yakni Pasal 17 ayat (1) Protokol Guatemala 1971 “ batas tanggung jawab pihak pengangkut untuk satu penumpang USD 100.000 ” prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen jika diterapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam UU No 8 Tahun 1999disebutkan bahwa seharusnya pelaku usaha tidak boleh dengan sepihak menentukan klausul yang merugikan 5. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan

54


(22)

konsumen termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya, jika ada pembatasan harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang jelas.55

a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.

C. Tanggung Jawab Penyedia Jasa Kepada Konsumen Jasa Penerbangan jika Terjadi Pembatalan Penerbangan Secara Sepihak

Upaya perlindungan konsumen dalam penyelenggaraan jasa penerbangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yang dimaksud dengan perlindungan konsumen menurut undang-undang ini adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, perlindungan konsumen bertujuan untuk :

b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkan dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.

c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.

d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.


(23)

e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha.

f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keselamatan konsumen.

Tujuan diadakannya upaya perlindungan konsumen dimaksudkan untuk memberikan kedudukan yang sama antara pelaku usaha dan konsumen, serta memperhatikan hak-hak konsumen. Namun kedudukan konsumen dan pelaku usaha dalam pelaksanaan setiap kontrak di Indonesia tidak seimbang termasuk dalam perjanjian jasa penerbangan. Tata hukum di Indonesia harus memposisikan pada tempat yang adil di mana hubungan konsumen dengan palaku usaha berada pada kedudukan yang saling menghendaki dan mempunyai tingkat ketergantungan yang cukup tinggi satu dengan yang lain. Hubungan konsumen dan pelaku usaha menjadi seimbang apabila adanya keadilan dalam pelaksanaan kontrak jual beli, karena setiap orang mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945.

Tanggung jawab atau kewajiban yang paling mendasar dalam suatu kontrak yaitu adanya itikad baik dalam melaksanakan perjanjian. Kewajiban tersebut harus dimiliki oleh masing-masing pihak yang melakukan perjanjian.Tanggung jawab pelaku usaha selain beritikad baik juga menjamin kualitas suatu produk yang ditawarkan.


(24)

Jaminan terhadap kualitas produk dapat dibedakan atas 2 (dua) macam, yaitu expressed warranty dan implied warranty. Expressed warranty atau jaminan secara tegas adalah suatu jaminan atas kualitas produk, yang dinyatakan oleh pelaku usaha secara tegas dan tertuang dalam penawaran atau iklan. Pelaku usaha dalam hal ini bertanggung jawab untuk melaksanakan kewajibannya dengan menjamin tiket penerbangan yang diperdagangkan berdasarkan ketentuan yang berlaku. Sedangkan, implied warranty adalah jaminan yang berasal dari undang-undang atau peraturan yang berlaku, dalam hal ini pelaku usaha berkewajiban untuk menanggung adanya kesalahan atau kerugian pada penyelenggaraan jasa penerbangan yang ditawarkan, meskipun kesalahan tersebut tidak diketahuinya.56

Bentuk-bentuk tanggung jawab penyedia jasa penerbangan dalam Undang-Undang Nomor 8 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, antara lain :57

1. Contractual liablity, yaitu tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian

atau kontrak dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkan.

2. Product liability, yaitu tanggung jawab perdata terhadap produk secara

langsung dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen akibat menggunakan produk yang dihasilkan. Pertanggung jawaban produk tersebut didasarkan pada Perbuatan Melawan Hukum (tortius liability). Unsur-unsur dalam tortius liability antara lain adalah unsur perbuatan

56

Dimas Bagus,Skripsi, Tanggung Jawab Pelaku Usaha Dalam Jual Beli Tiket Maskapai

Penerbangan Melalui Internet Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, (Unikomp Guna Darma,2006), Hal.52


(25)

melawan hukum, keslahan, kerugian dan hubungan kasualitas antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian yang timbul.

3. Professional liability, tanggung jawab pelaku usaha sebagai pemberi jasa

atas kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat memanfaatkan atau menggunakan jasa yang diberikan.

4. Criminal liability, yaitu pertanggungjawaban pidana dari pelaku usaha

sebagai hubungan antara pelaku usaha dengan negara.

Tanggung jawab dari pelaku usaha terhadap permasalahannya dengan konsumen dibagi menjadi 3 (tiga) bagian yaitu :

1. Tanggung jawab atas Informasi

Pelaku usaha wajib memberikan informasi atas semua hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan jasa penerbangan yang ditawarkan kepada konsumen, agar konsumen memahami benar dalam pemanfaatan jasa penerbangan tersebut. Ketentuan umum mengenai informasi yang harus di beritahukan kepada konsumen adalah mengenai harga, Jenis atau Kelas Penerbangan, Jadwal Penerbangan, dan keterangan-keterangan lain yang dapat membantu konsumen dalam memutuskan untuk membeli tiket penerbangan sesuai dengan kebutuhannya.

2. Product Liability;

Tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada pertanggung jawaban produk (product liability), yaitu tanggung jawab perdata secara langsung dari pelaku uasaha atas kerugian yang dialami konsumen akibat menggunakan produk secara langsung dalam tanggung jawab atas produk


(26)

juga terdapat pertanggungjawaban yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum (tortius liability). Unsur yang terdapat dalam tortius

liability adalah unsur perbuatan melawan hukum, kesalahan, kerugian, dan

hubungan kasualitas antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian yang timbul.

3. Tanggung jawab atas keamanan;

Penyelenggaraan jasa penerbangan harus memiliki kemampuan untuk menjamin keamanan dan keandalan dalam pelaksanaannya. Pelaku usaha harus menyediakan jaringan sistem untuk mengontrol keamanan. Sistem keamanan dalam penyelenggaraan jasa penerbangan adalah adanya mekanisme yang aman dan nyaman yang menjamin semua konsumen jasa penerbanagan mendapatkan pelayanan yang maksimal dalam penyelenggaraan jasa penerbangan

Selanjutnya berdasarkan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerugian konsumen akibat menggunakan barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Undang-Undang ini lebih menitikberatkan pada tanggung jawab dari pelaku usaha daripada konsumen, maksudnya agar tidak terjadi hal-hal yang dapat merugikan konsumen dan menyeimbangkan kedudukan antara pelaku usaha dan konsumen. Konsumen juga tetap memiliki tanggung jawab dalam pelaksanaan suatu kontrak. Itikad baik merupakan dasar tanggung jawab dari masing-masing pihak, selain itu juga


(27)

konsumen bertanggung jawab untuk menjaga dan mengikuti aturan suatu produk yang dicantumkan dalam label produk atau jasa tersebut.

Dalam kaitanya dengan pembatalan penerbangan secara sepihak seperti pada kasus Mandala Airlines. Prinsip tanggung jawab yang dianut dalam hukum perlindungan konsumen terhadap masalah tersebut adalah prinsip tanggung jawab mutlak. Penggunaan prinsip tanggung jawab mutlak dalam kasus pembatalan penerbangan sepihak terdapat penerapan yang disebut risk liability yang mempunyai arti kewajiban untuk mengganti kerugian serta beban pembuktian ada pada pelaku usaha dalam hal ini penyedia jasa penerbangan.58

1. Dengan terjadinya pembatalan penerbangan tersebut menyebabkan terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak konsumen.

Pembatalan penerbangan secara sepihak harus memenuhi beberapa kriteria agar dapat dikatakan sebagai suatu pelanggaran hukum yang dapat dimintai pertanggung jawabanya antara lain :

Dalam Bab sebelumnya telah dijelaskan dalam penyelenggaraan jasa penerbangan konsumen mempunyai hak-hak yang harus dipenuhi, namun dengan terjadinya pembatalan penerbangan secara sepihak telah mengakibatkan pelanggaran terhadap hak-hak konsumen tersebut. Adapun hak-hak konsumen yang dilanggar pada kasus pembatalan penerbangan antara lain :

a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan jasa, dapat dilihat bahwa konsumen mempunyai hak untuk merasa nyaman dalam mempergunakan jasa

58

Sri syawali Dan Nani Sri Imaniyati, Hukum perlindungan Konsumen,( Bandung : Mandar Maju,2000 ),Hal.95


(28)

penerbangan, tetapi dengan terjadinya pembatalan penerbanagan secara sepihak sudah pasti bahwa konsumen tidak akan merasa nyaman karena konsumen mau tidak mau harus merubah janji kedatangan atau bahkan membatalkan janji yang telah mereka buat. b. Hak untuk mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar, kondisi,

jamiann yang telah diperjanjikan. Setelah membayar kompensasi dalam bentuk pembelian tiket, yang merupakan bukti adanya hubungan kontraktual antara penyedia jasa dengan konsume jasa penerbangan. Konsumen berhak untuk mendapatkan semua hal yang tertulis dalam keterangan tiket yaitu waktu keberangkatan, pesawat yang akan digunakan, posisi kursi dan lainya dengan terjadinya pembatalan penerbangan sepihak dapat dipastikan tidak akan mendapatkan satu hal pun yang tertulis dalam tiket tersebut.

c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan jasa. Pada beberapa kasus pembatalan penerbangan khususnya pada kasus pembatalan penerbangan secara sepihak yang dilakukan oleh Mandala Airlines. Sesungguhnya terjadi karena ketiadaan tranfaransi dari pihak Mandala terhadap keadaan perusahannya. Bagaimana mungkin perusahaan yang sedang dalam kondisi hampir dinyatakan pailit dan telah dicabut izin usahanya masih menjual tiket kepada penumpang. Hal ini jelas telah melanggar hak konsumen dalam memperoleh informasi


(29)

2.Dengan terjadinya pembatalan penerbangan secara sepihak menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban dari penyedia jasa penerbangan.

Dapat dilihat di dalam UU Perlindungan Konsumen terdapat ketentuan mengenai kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha termasuk penyedia jasa penerbangan. Namun dengan terjadinya pembatalan penerbangan secara sepihak secara langsung menyebabkan penyedia jasa tidak melaksanakan kewajibannya tersebut. Adapun kewajiban penyedia jasa antara lain :

a. Kewajiban penyedia jasa untuk beriktikad baik dalam menjalankan usahanya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa penyedia jasa penerbangan mempunyai kewajiban untuk selalu beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya. Namun pada kasus pembatalan penerbangan pembatalan penerbangan secara sepihak oleh Mandala Airlines terjadi karena adanya iktikad buruk dari pihak Mandala untuk menyembunyikan informasi yang sebenarnya mengenai keadaan perusahaannya.

b. Memberikan informasi yang benar, jujur dan jelas mengenai kondisi dan jaminan jasa. Pada kasus pembatalan penerbangan oleh Mandala airlines terlihat jelas bahwa pihak Mandala tidak memberikan informasi yang jelas dan jujur mengenai kondisi jasa penerbangan yang mereka tawarkan.

c. Memberikan kompensasi dalam bentuk ganti kerugian jika barang/jasa yang diterima/dimanfaatkan tidak sesuai dengan yang diperjanjikan. Pada kewajiban ini lebih ditekankan kepada kewajiban penyedia jasa


(30)

setelah terjadinya pembatalan penerbangan secara sepihak, pada ketentuan ini jelas terlihat bahwa pembatalan penerbangan sepihak yang merupakan tindakan ingkar janji dari penyedia jasa, mewajibkan penyedia jasa untuk memberikan ganti kerugian kepada konsumen yang dirugikannya.

3. Pembatalan penerbangan secara sepihak mengakibatkan pelaku usaha/penyedia jasa penerbangan melakukan perbuatan yang dilarang dalam UU Perlindungan konsumen.

Didalam BAB X UU Perlindungan Konsumen diatur mengenai perbuatan yang dilarang untuk dilakukan oleh pelaku usaha. Dalam kaitannya dengan pembatalan penerbangan secara sepihak yang dilakukan oleh Mandala Airlines telah menyebabkan Mandala melakukan perbuatan yang dilarang tersebut antara lain :

a. Ketentuan yang diatur dalam Pasal 8 Ayat 1 huruf c dan f : Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut serta tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut.

b. Ketentuan yang diatur dalam Pasal 9 Ayat 1 huruf d : Pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah barang dan/atau


(31)

jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi.

Dengan kepailitan yang dialami oleh Mandala Airlines mengakibatkan pemerintah mencabut izin dan persetujuan kepada Mandala untuk tetap melakukan kegiatan jasa penerbangan. Hal tersebut jelas bertentangan dengan apa yang diatur dalam pasal diatas.

Dengan adanya hak yang dilanggar, kewajiban yang yang tidak terpenuhi, serta melakukan tindakan yang dilarang. Maka diperlukan adanya tanggung jawab atas tindakan pembatalan penerbangan sepihak tersebut yang diatur dalam :

a. Pasal 19 Ayat 1 : Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

b. Pasal 19 Ayat 2 : Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dari ketentuan diatas dapat dilihat bahwa pertanggung jawaban yang diwajibkan oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen kepada penyedia jasa (Mandala airlines) atas tindakan pembatalan penerbangan secara sepihak hanyalah sebatas refund (pengembalian uang), hal ini sama dengan yang diatur di dalam UU Penerbangan.


(32)

Tetapi pada kenyataannya pembatalan penerbangan secara sepihak yang dilakukan terkadang menimbulkan kerugian lain baik materil maupun non materil, jelas pertanggung jawaban dalam bentuk refund dirasa belum cukup/tidak sepadan untuk mengganti kerugian yang dialami oleh konsumen. Seperti pada kasus pembatalan penerbangan oleh Mandala Airlines salah seorang penumpang ada yang mengaku kehilangan tender besar akibat pembatalan penerbangan tersebut. Oleh sebab itulah mengapa didalam Pasal 19 Ayat 4 dijelaskan bahwa pemberian ganti rugi tidak menghapuskan gugatan perdata maupun tuntutan pidana. Sehingga jelas bagi konsumen yang masih merasa belum puas dapat mengajukan gugatan perdata maupun tuntutan pidana kepada Mandala Airlines.


(33)

BAB VI

PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA PENYEDIA JASA DENGAN KONSUMEN JASA PENERBANGAN JIKA TERJADI PEMBATALAN

PENERBANGAN SEPIHAK

A.Penyelesaian Sengketa Antara Penyedia Jasa dengan Konsumen Jasa Penerbangan di Luar Pengadilan

Asas hukum yang berbunyi point d’interet,point d actiont (tiada kepentingan maka tidak ada aksi). Menggambarkan bahwa gugatan diajukan untuk mempertahankan hak (kepentingan) orang atau badan hukum yang dilanggar. Pada umumnya, suatu gugatan diajukan oleh seseorang atau beberapa orang pribadi untuk kepentingan mereka,atau juga oleh salah satu atau beberapa badan hukum untuk kepentingan badan hukum itu sendiri,yang dapat diwakili oleh seseorang atau beberapa orang kuasa.59

59

Az Nasution I, Op cit,Hal 89.

Dengan maraknya kegiatan penyediaan jasa penerbangan, terkadang sering terjadi sengketa antara para pihak yang terlibat, yaitu pihak penyedia jasa penerbangan dengan konsumen jasa penerbangan, dimana penyelesaiannya dilakukan melalui proses peradilan (litigasi). Namun seringkali penyelesaian sengketa melalui proses litigasi menyebabkan kekecewaan pada pihak yang kalah, oleh sebab itu maka saat ini peraturan perundang-undangan telah mengatur masalah penyelesaian sengketa diluar pengadilan (nonlitigasi) atau dikenal dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)


(34)

Melalui proses tersebut diharapkan tidak terjadi prinsip lose-win tetapi

win-win, dimana para pihak merasa menang sehingga menghindarkan terjadinya hard feeling dan loosing face. Di Indonesia, APS (alternatif penyelesaian

sengketa) mempunyai daya tarik khusus karena keserasiannya dengan sistem sosial budaya tradisisonal berdasarkan musyawarah mufaakat. Beberapa hal dibawah ini merupakan keuntungan yang sering muncul dalam APS ,yaitu :

1. sifat kesukarelaan dalam proses 2. prosedur yang cepat :

a. keputusan non yudisial

b. control tentang kebutuhan organisasi c. prosedur rahasia (confidential)

d. fleksibel dalam merancang syarat – syarat penyelesaian masalah e. hemat waktu

f. hemat biaya

g. pemeliharaan hubuingan

h. tingginya kemiungkinan untuk menyelesaikan kesepakatan i. control dan lebih mudah memperlihatkan hasil

j. keputusan bertahan sepanjang waktu

Adapun alternatif penyelesaian sengketa menurut Pasal 1 ayat 1 UU No.30 Tahun 1999 berbunyi :

“Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak,yakni


(35)

penyelesaian diluar pengadilan secara konsultasi, negoisasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.

Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 1 UU No.30 Tahun 1999 maka alternatif penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan cara berikut.

1.Konsultasi

Pada prinsipnya konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara tertentu yang disebut klien dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan yang memberikan pendapat kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya. Pendapat tersebut tidak mengikat sehingga klien bebas untuk memilih menerima saran tersebut atau tidak.

2. Negoisasi

Negoisasi adalah proses konsensus yang digunakan para pihak untuk memperoleh kesepakatan di antara mereka.negoisasi biasanya dipergunakan dalam sengketa yang tidak terlalu pelik, dimana para pihak masih beritikad baik untuk duduk bersamadan memecahkan masalah secara bersama..negoisasi dilakukan apabila komunikasi antar pihak yang bersengketa masih terjalin dengan baik, masih ada rasa saling percaya, dan ada keinginan untuk cepat mendapatkan kesepakatan dan meneruskan hubungan baik.

3.Mediasi

Mediasi merupakan proses negosiasi pemecah masalah dimana pihak luar yang tidak berkepentingan ikut dalam proses mediasi tersebut dan bekerjasama dengan pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan masalah. Pihak ketiga


(36)

tersebut sering juga disebut dengan mediator peran utama mediator adalah ia harus mampu merangsang para pihak untuk menciptakan solusi yang kreatif, dan hal ini hanya dapat dilakukan apabila ia benar – benar memahami kepentingan dari masing-masing pihak yang bersengketa, sehingga para pihak dapat menemukan solusi yang dapat memenuhi kepentingan para pihak yang bersifat fundamental. Hasil dari suatu mediasi dapat dirumuskan secara lisan maupun tertulis yang dapat dianggap sebagai suatu perjanjian baru atau dapat juga dijadikan sebagai suatu perdamaian di muka hakim yang akan menunda proses penyelesaian sengketa di pengadilan.60

4. Konsiliasi

Konsiliasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan adalah suatu tindakan atau proses untuk mencapai perdamaian diluar pengadilan. Untuk mencegah dilaksanakannya proses pengadilan,melainkan juga dalam setiap tingkatan peradilan yang sedang berlangsung baik didalam maupun diluar peradilan.hasil dari kesepakatan para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa konsiliasi harus dibuat secara tertulis dan ditandatangani secara bersama oleh para pihak yang bersengketa dan didaftarkan di pengadilan negeri. Kesepakatan tertulis dari konsiliasi ini bersifat final dan mengikat para pihak.

60

Teti Marsulina, “Berbagai Persoalan yuridis Seputar Asuransi dan Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Asuransi dan Konsumen Asuransi Berdasarkan UU No 8 Tahun


(37)

5. Penilaian Ahli

Yang dimaksud dengan penilaian ahli adalah pendapat hukum lembaga arbitrase. Dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang menyatakan lembaga arbitrase adalah badan hukum yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan putusan mengenai sengketa tertentu,lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hokum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.

Dalam suatu bentuk kelembagaan arbitrase tidak hanya bertugas untuk menyelesaikan perselisihan pendapat maupun sengketa antara para pihak dalam suatu perjanjian pokok, melainkan juga dapat memberikan konsultasi dalam bentuk opini atau pendapat hukum atas permintaan para pihak yang melakukanya. oleh karena itu pandapat tersebut harus diberikan atas permintaan dari para pihak bersama-sama dengan melalui mekanisme sebagaimana halnya suatu penunjukkan lembaga arbitrase untuk menyelesaikan suatu perselisihan atau sengketa, maka bisa dikatakan bahwa pendapat hukum tersebut dinyatakan final. Karena sebenarnya sifat dari pendapat hukum merupakan putusan dari lembaga arbitrase itu sendiri.

Dalam kaitannya dengan kasus pembatalan penerbangan secara sepihak yang dilakukan oleh Mandala Airlines. Didalam hukum perlindungan konsumen dikenal 2 lembaga yang dapat dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan melalui jalur non litigasi/ diluar pengadilan. Dan dalam lembaga-lembaga inilah mekanisme penyelesaian sengketa dengan metode konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi maupun penilaian ahli dipergunakan


(38)

Adapun lembaga-lembaga tersebut tersebut antara lain :

a. Penyelesaian sengketa pembatalan penerbangan sepihak melalui YLKI

YLKI merupakan lembaga swadaya masyarakat yang diakui oleh pemerintah yang dapat berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. YLKI menyediakan sarana dengan bentuk pengaduan terhadap transaksi yang bermasalah yaitu dengan membuka pengaduan dari empat saluran yang ada yaitu telepon, surat, dengan datang langsung ke kantor YLKI, dan email.

Adapun sistem yang digunakan adalah pertama, sistem full up atau secara tertulis. Bentuk pengaduan yang dilakukan oleh konsumen harus dalam bentuk tertulis dengan disertai bukti-bukti yang cukup dan identitas konsumen yang bersangkutan. Misalnya dalam kasus kegagalan pembayaran melalui ATM, maka konsumen dapat melampirkan “slip” tanda pembayaran dalam aduannya. Kemudian YLKI akan mempelajari berkas perkara tersebut, selanjutnya YLKI akan melayangkan surat kepada pelaku usaha untuk dimintai keterangannya. Pihak YLKI kemudian melakukan surat-menyurat apabila pihak konsumen tidak puas atas tanggapan dari pelaku usaha, dan YLKI juga dapat mengundang kedua belah pihak yang bermasalah untuk didengar pendapatnya. Dalam hal ini, YLKI bertindak sebagai mediator. Sistem kedua yakni sistem non-full up, dalam sistem ini YLKI akan memberikan konsultasi dan saran-saran yang dapat


(39)

dilakukan konsumen, jika konsumen merasa yakin dan perlu kasusnya untuk ditindaklanjuti, maka dapat dilakukan sistem full up. 61

b. Penyelesaian sengketa pembatalan penerbangan sepihak melalui Direktorat Perlindungan Konsumen Disperindag

Dalam kaitannya dengan kasus pembatalan penerbangan sepihak yang dilakukan oleh Mandala Airlines, konsumen jasa penerbangan yang merasa dirugikan dapat mengajukan pengaduan dalam bentuk tertulis kepada YLKI disertai bukti-bukti yang dalam hal ini berupa tiket penerbangan yang merupakan bukti adanya hubungan kontraktual antara penyedia jasa dengan konsumen jasa penerbangan, lalu YLKI akan meminta penjelasan kepada Mandala Airlines terkait masalah pembatalan penerbangan secara sepihak tersebut. Kemudian YLKI menyampaikan penjelasan tersebut kepada konsumen dalam bentuk surat.

Namun disini YLKI hanya bertindak sebagai mediator atau sebagai pihak ketiga yang hanya menjembatani hubungan antara pihak Mandala dengan pihak konsumen. YLKI tidak mempunyai kewenangan untuk memberikan sanksi dan kewenangan untuk memberikan keputusan. Keputusan terhadap permasalahan pembatalan penerbangan tersebut merupakan hasil kesepakatan kedua belah pihak apakah mereka setuju atau tidak dengan usul yang diberikan oleh YLKI.

Dari sisi pemerintah melalui Direktorat Perlindungan Konsumen Disperindag, upaya konsumen yang dapat dilakukan hampir sama dengan YLKI, yaitu melakukan pengaduan disertai dengan bukti kejadian. Perbedaannya adalah pada saat pemanggilan pelaku usaha untuk dimintai keterangan perihal

61

Adrian Sutedi,Tanggung Jawab Produk Dalam Perlindungan konsuman,(Jakarta : Ghalia Indonesia,2008 ),Hal.135


(40)

masalah yang ada. Apabila ditemukan adanya hak-hak konsumen yang dilanggar, pihak pelaku usaha dapat dengan cepat merespons dan mematuhi ketentuan yang telah digariskan oleh Direktorat tersebut. Hal ini terkait dengan ancaman pencabutan izin usaha yang dikeluarkan oleh Disperindag. Tetapi ini ampuh untuk menindaklanjuti permasalahan konsumen yang mengemuka. Mekanisme pengaduan melalui lembaga pemerintah ini masih jarang dilakukan konsumen karena ketidaktahuan terhadap bentuk penyaluran pengaduan yang tenyata disediakan oleh Disperindag.62

c. Penyelesaian sengketa pembatalan penerbangan sepihak melalui BPSK

Seperti yang telah dijelaskan diatas penyelesaian sengketa melalui Direktorat Perlindungan Konsumen Disperindag terhadap pembatalan penerbangan secara sepihak yang dilakukan oleh Mandala. Konsumen dapat mengajukan pengaduan sama dengan bentuk pengaduan yang diatur oleh YLKI yaitu dalam bentuk tertulis disertai dengan bukti berupa tiket penerbangan. Dalam penyelesaian sengketa masalah pembatalan penerbangan Direktorat Perlindungan Konsumen Disperindag bertindak sebagai administratur negara. Sehingga apabila Mandala Airlines terbukti bersalah Direktorat Perlindungan Konsumen Disperindag mempunyai kewenagan untuk memberikan sanksi administratif.

BPSK merupakan badan bentukan pemerintah yang tugas utamanya adalah melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara melalui mediasi, arbitrase atau konsiliasi. Penyelesaian masalah sengketa


(41)

konsumen melalui badan ini sangat murah, cepat, sederhana dan tidak berbelit-belit.

Konsumen yang bersengketa dengan pelaku usaha bisa datang ke badan ini dan mengisi formulir pengaduan, nantinya BPSK akan mengundang para pihak yang bersengketa untuk melakukan pertemuan pra-sidang. BPSK berwenang untuk melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan dan keterangan yang diadukan oleh pihak-pihak yang bersengketa. Dalam penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi konsumen sebaiknya memilih menggunakan arbitrase, sebab hasil putusan arbitrase mengikat para pihak dan mempunyai kekuatan hukum layaknya putusan pengadilan. Jangka waktu penyelesaian sengketa oleh BPSK adalah 21 (duapuluh satu) hari sejak pengaduan diterima, sebagaimana diatur dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan pelaku usaha dalam waktu paling lambat 7(tujuh) hari sejak menerima putusan dari BPSK wajib melaksanakan putusan tersebut. Kemudian, dari sisi pelaku usaha, umumnya pengaduan yang ada dapat berasal dari saluran telepon, surat, dan e-mail yang diterima oleh customer service.63

Dalam Kaitannya dengan sengketa pembatalan penerbangan secara sepihak antara Mandala Airlines dengan konsumennya. Penyelesaian sengketa dengan bantuan lembaga BPSK dilakukan dengan cara pihak Mandala dan pihak konsumen bersama-sama untuk mengisi formulir pengaduan kemudian BPSK akan memanggil kedua pihak untuk dimintai keterangannya berkaitan dengan

63

Sri syawali Dan Nani Sri Imaniyati, Hukum perlindungan Konsumen,( Bandung : Mandar Maju, 2000 ),Hal.95


(42)

masalah pembatalan penerbangan sepihak, Bpsk akan menindak lanjuti masalah tersebut dengan mempelajari bukti-bukti yang ada, setelah itu BPSK dapat mengeluarkan keputusan dalam bentuk putusan arbitrase. Dalam penyelesaian permasalahan pembatalan penerbangan sepihak ini BPSK bertindak sebagai arbiter yang kewenangannya diatur dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, diantaranya meliputi :

a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;

b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;

c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;

d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini;

e. Menerima pengaduan, baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen; g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran

terhadap perlindungan konsumen;

h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini;

i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan palku usaha, saksi, saksi ahli atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memnuhi panggilan Badan Penyelesaian;


(43)

j. Mendapatkan, meneliti, dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;

k. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian dipihak konsumen;

l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usah yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

m. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.

Sehingga penyelesaian sengketa pembatalan penerbangan sepihak antara Mandala Airlines dengan konsumennya melalui lembaga BPSK akan menghasilkan putusan yang bersifat final, mengikat kedua pihak serta mempunyai kekuatan hukum yang jelas.

Namun, terkadang penyelesaian sengketa pembatalan penerbangan secara sepihak melalui lembaga-lembaga tersebut tidak dapat memuaskan konsumen oleh sebab itu didalam UU Perlindungan konsumen Pasal 45 Ayat 3 disebutkan bahwa penyelesaian sengketa diluar pengadilan tidak menghilangkan tanggung jawab pidana. Berdasarkan uraian diatas, terlihat bahwa konsumen jasa penerbangan yang merasa kurang puas dengan hasil penyelesaian sengketa diluar pengadilan terhadap masalah pembatalan penerbangan tersebut dapat mengajukan penyelesaian di lingkungan peradilan umum.


(44)

B.Penyelesaian Sengketa Antara Penyedia Jasa Dengan Konsumen Jasa Penerbangan di Peradilan Umum

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa konsumen jasa penerbangan yang tidak puas dengan hasil penyelesaian sengketa diluar pengadilan dapat mengajukan gugatan perdata maupun tuntutan pidana melalui jalur pengadilan, penyelesaian sengketa terhadap kasus pembatalan penerbangan dapat dilakukan secara perdata maupun secara pidana.

1. Penyelesaian sengketa pembatalan penerbangan secara sepihak di peradilan umum melalui jalur perdata

Sengketa pembatalan penerbangan sepihak yang dilakukan Mandala Airlines terhadap konsumennya di sini dibatasi pada sengketa perdata. Masuknya suatu sengketa/perkara ke depan pengadilan bukanlah karena kegiatan sang hakim, melainkan karena inisiatif dari pihak yang bersengketa dalam hal ini penggugat baik itu pihak Mandala Airlines ataupun konsumen. Pengadilan yang memberikan pemecahan atas hukum perdata yang tidak dapat bekerja diantara para pihak secara sukarela.

Dalam hubungan ini Sajipto Rahardjo mengatakan:64

64

Yusuf sofie,Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya,( Bandung : “Pembicaraan mengenai bekerjanya hukum dalam hubungan dengan proses peradilan secara konvensional melibatkan pembicaraan tentang kekuasaan kehakiman, prosedur berperkara dan sebagainya”.


(45)

Istilah “prosedur berperkara” didahului dengan pendaftaran gugatan dikepaniteraan perkara perdata di pengadilan negeri. Sebelumnya, itu berarti surat gugatatan harus sudah dipersiapkan terlebih dahulu secara teliti dan cermat.

Pasal 45 ayat (1) UUPK menyatakan:

a. Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menylesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.

b. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan maupun di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.

c. Penyelesaian sengketa diluar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang.

d. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh pihak yang bersengketa.

Dari pernyataan Pasal 45 ayat(3) jelas seharusnya bukan hanya tanggung jawab pidana yang tetap dibuka kesempatannya untuk diperkarakan, melainkan juga tanggung jawab lainnya. Konsumen jasa penerbangan yang merasa perlu mengajukan tuntutan pidana, diberikan kesempatan untuk mengajukan tuntutan


(46)

pidana terhadap Mandala Airlines tuntutan pidana ini dapat diajukan secara linear atau bersamaan dengan pengajuan gugatan perdata.

Dalam kasus perdata di Pengadilan Negeri, pihak konsumen yang diberikan hak gugatan menurut Pasal 46 UUPK adalah:

1. seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan; 2. sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan bersama;

3. lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hokum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi itu adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan melaksanakan kegiatan sesuai anggaran dasarnya;

4. pemerintah dan/atau instansi terkait jika barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugiaan materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.

Pada klasifikasi kedua, gugatan dapat dilakukan oleh sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama. Ketentuan ini harus dibedakan dengan gugatan yang mewakilkan kepada orang lain seperti diatur dalam Pasal 123 ayat (1) HIR. Penjelasan Pasal 46 menyebutkan gugatan kelompok ini dengan istilah class action. Pada kasus pembatalan penerbangan yang dilakukan oleh Mandala, konsumen yang merasa dirugikan lebih dari satu orang sehingga ketentuan mengenai pengajuan gugatan class action dalam UU


(47)

Perlindungan Konsumen. Dapat dipergunakan dalam kasus pembatalan penerbangan sepihak yang dilakukan oleh Mandala Airlines.65

65

Ibid

Dalam pengajuan gugatan dalam sengketa pembatan penerbangan harus diwakilkan oleh kuasa hukum, kuasa hukum inilah yang berwenag untuk menyiapkan gugatan yang akan diajukan ke panitera pengadilan negeri.

Sebelum menyusun gugatan, kuasa hukum terlebih dahulu menerima pemberian kuasa dari konsumen untuk memberikan bantuan hukum untuk mewakili kepentingan konsumen di pengadilan. Wujudnya dalam bentuk surat kuasa yang secara jelas dan terperinci menyebutkan untuk apa kuasa itu diberikan. Adanya kekeliruan atau cacat dalam pemberian kuasa dapat mengakibatkan gugatan dinyatakan tidak dapat diterima,sebelum penyusunan surat gugatan hendaknya dipertimbangkan beberapa hal :

Pertama, menggali fakta-fakta dari konsumen termasuk siapa saja dari

konsumen yang dirugikan atau terlibat dalam sengketa tersebut. Sebelum sengketanya ditangani kuasa hukum biasanya pada waktu mengadu ke organisasi konsumen atau instansi yang berkompeten, konsumen sudah membuat kronologis permasalahan atas inisiatif sendiri, baik secara lisan atau tertulis. Konsumen sangat dianjurkan untuk membuatnya secara tertulis. Kuasa hukum sebaiknya tidak menunjukkan sikap yang paling tahu atas permasalahan konsumen. Bukankah yang mengalami fakta-fakta itu, konsumen sendiri. Jadi kuasa hukum diharapkan tidak menambahkan fakta-fakta yang sebenarnya tidak dialami konsumen.


(48)

Kedua, mempelajari bukti-bukti yang dimiliki konsumen, termasuk disini

surat-surat dan saksi-saksi. Dalam kaitannya dengan masalah pembatalan penerbangan ini bukti yang paling kuat yang dimiliki konsumen adalah tiket yang merupakan alat bukti yang sah dan kuat serta keterangan dari semua penumpang yang mengalami pembatalan penerbangan tersebut.

Ketiga, kuasa hukum konsumen hendaknya menggali sejauh mungin

hal-hal apa saja yang sudah dilakukan konsumen, misalnya meyurati produsen, wawancara dengan media massa/elektonik atau menulis surat pembaca di media massa. Ini penting guna memperhitungkan kemungkinan adanya gugatan balik berupa pencemaran nama baik dari produsen.

Keempat, menyangkut kompetensi/kewenangan mengadili secara absolut

maupun kewenangan mengadili secara relatif. Kompetisi relatif ini menyangkut mengenai kewenangan pengadilan yang berlaku sebab, Dalam sengketa pembatalan penerbangan secara sepihak oleh Mandala Airlines tergugatnya berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas (PT). Karenanya gugatan diajukan di Pengadilan negeri di daerah hukum domisili PT tersebut.66

Gugatan yang diajukan konsumen kepada PT Mandala Airlines dapat menggunakan ketentuan yang ada dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa Siapapun yang menimbulkan kerugian mempunyai kewajiban untuk mengganti kerugian tersebut. Sehingga Konsumen dalam hal ini seluruh penumpang yang dirugikan oleh pembatalan penerbangan tersebut dapat

66


(49)

meminta ganti rugi materi dengan nominal yang tidak dibatasi kepada pihak Mandala.

2. Penyelesaian sengketa pembatalan penerbangan secara sepihak di peradilan umum melalui jalur pidana.

Pada kasus pembatalan penerbangan secara sepihak oleh Mandala Airlines konsumen diberikan kesempatan untuk meminta pertanggung jawaban pidana. Dalam hukum pidana dikenal 2 bentuk perbuatan melawan hukum yaitu kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan ialah perbuatan yang tidak hanya bertentangan dengan peraturan perundang - undangan tetapi juga bertentangan dengan nilai moral, nilai agama dan rasa keadilan masyarakat. Pelaku pelanggaran berupa kejahatan mendapatkan sanksi berupa pemidanaan sedangkan pelanggaran ialah perbuatan yang hanya dilarang oleh peraturan perundangan namun tidak bertentangan dengan nilai moral, nilai agama dan rasa keadilan masyarakat.67

67

Andi hamzah, Op cit.

Telah dijelaskan pada Bab sebelumnya bahwa pembatalan penerbangan secara sepihak merupakan sebuah pelanggaran, sehingga ketentuan serta sanksi pidana yang terdapat didalam KUH pidana tidak dapat dipergunakan, ketentuan yang dapat dipergunakan adalah ketentuan yang diatur dalam UU Perlindungan Konsumen yang berkaitan dengan pidana.

Konsumen jasa penerbangan dapat mengadukan pelanggaran pembatalan penerbangan yang dilakukan Mandala kepada Kepolisian Negara republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang kewenangannya diatur dalam Pasal 59 Ayat 1 dan 2.


(50)

Merekalah yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan, mengumpulkan bukti-bukti, memintai keterangan saksi-saksi yang terkait dengan kasus pembatalan penerbangan yang dilakukan oleh Mandala Airlines, dan menjalankan semua mekanisme yang diatur dalam hukum acara pidana.

Apabila terbukti bersalah atas perbuatan pembatalan penerbangan secara sepihak Mandala Dapat dikenai sanksi pidana. Jika dilihat Pada penjelasan Bab sebelumnya bahwa pembatalan penerbangan sepihak yang dilakukan pihak Mandala telah melanggar ketentuan Pasal 8 dan Pasal 9 tentang perbuatan yang dilarang, maka sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada mandala Airlines adalah sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 62 Ayat 1 yang berbunyi :

“ Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima ) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah)”

Dari ketentuan yang diatur pada pasal diatas jelas terlihat bahwa pertanggung jawaban Mandala Airlines Atas pembatalan penerbangan jika dilihat dari Ketentuan Sanksi Pidana Pasal 62 Ayat 1 UU Perlindungan Konsumen jelas lebih besar jika dibandingkan dengan ketentuan Refund atau pengembalian uang yang diatur dalam Bab VI UU tentang Tanggung Jawab Pelaku Usaha Pasal 19 Ayat 1 dan 2. Maka dalam kasus pembatalan penerbangan secara sepihak oleh PT Mandala Airlines perlu adanya kejelian dari konsumen dalam menuntut hak-haknya.


(51)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian serta penjelasan pada bab-bab sebelumnya, penulis dapat menarik beberapa kesimpulan yang berkaitan dengan pokok pembahasan serta sekaligus merupakan jawaban dari permasalahan yang penulis buat yaitu:

1. Pelanggaran hukum yang terjadi dalam penyelenggaraan jasa penerbangan dapat terjadi karena kedudukan antara penyedia jasa penerbangan dengan konsumen jasa penerbangan yang tidak setara, hal ini sangat bertolak belakang dengan pengertian perjanjian pengangkutan itu sendiri yang merupakan suatu perjanjian timbal balik antara penyedia jasa penerbangan dengan konsumen jasa penerbangan, dimana kedua belah pihak haruslah mempunyai kedudukan yang setara. Selain itu sebenarnya didalam peraturan perundang-undangan sudah diatur dengan cukup jelas mengenai pelanggaran hukum tersebut, seperti didalam Undang-Undang No 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan dan peraturan lainnya, adapun bentuk-bentuk pelanggaran hukum tersebut antara lain, penundaan jadwal penerbangan, pembatalan penerbangan secara sepihak, pihak maskapai yangmenjual tiket dengan tariff batas atas, letak posisi kursi yang tidak sesuai dengan tiket serta kehilangan barang dibagasi.


(52)

2. Tanggung jawab penyedia jasa kepada konsumen jasa penerbangan jika terjadi pembatalan penerbangan secara sepihak telah diatur regulasinya dengan sangat jelas didalam Undang-Undang No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, dimana diatur mengenai kompensasi serta ganti rugi dalam bentuk pengembalian dana pembayaran tiket secara penuh (refund) dan juga didalam Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, khususnya hal-hal yang berkaitan tanggung jawab, berupa pemberian ganti kerugian dalam bentuk pengembalian uang. Namun di dalam UU Perlindungan Konsumen diberikan keleluasaan bagi konsumen untuk mengajukan gugatan perdata maupun tuntutan pidana jika pengembalian uang dirasa belum cukup untuk mengganti kerugian konsumen akibat pembatalan penerbangan tersebut

3. Penyelesaian sengketa antara penyedia jasa dengan konsumen jasa penerbangan jika terjadi pembatalan penerbangan sepihak terbagi dalam dua cara, yaitu melalui jalur non litigasi / diluar pengadilan atau jalur litigasi melalui pengadilan. Penyelesaian sengketa diluar pengadilan dapat dilakukan dengan cara yaitu inisiatif para pihak dalam bentuk negosiasi, mediasi dan lainya, melalui bantuan lembaga swadaya masyarakat (YLKI) serta melalui pemerintah dengan mempergunakan bantuan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Sedangkan penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi dipilih oleh konsumen karena konsumen jasa penerbangan merasa kerugian yang mereka tanggung belum terpenuhi, maka satu-satunya cara untuk mendapatkan hak-hak mereka


(53)

yang dilanggar pada kasus pembatalan penerbangan secara sepihak oleh Mandala Airlines adalah melalui jalur pengadilan. Pengajuan gugatan perdata maupun tuntutan pidana dilakukan dengan inisiatif para pihak, yang pengajuannya mengikuti tata cara yang diatur didalam hukum acara perdata maupun hukum acara pidana.

B. Saran

1. Dalam penyelenggaraan jasa penerbangan hendaknya pemerintah dapat bersikap tegas dalam mengambil sikap terhadap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh penyedia jasa penerbangan.Dengan adannya ketegasan pemerintah diharapkan para penyedia jasa akan berfikir dua kali sebelum melakukan suatu pelanggaran yang akan merugikan konsumenya.

2. Perlu adanya edukasi yang cukup bagi konsumen jasa penerbangan terhadap perlindungan konsumen, karena umumnya konsumen seringkali bersikap apatis terhadap peraturan-peraturan yang berlaku.Namun setelah terjadi pelanggaran yang sangat merugikan kepentingannya barulah konsumen merasa bahwa haknya sebagai konsumen telah dilanggar oleh pelaku usaha,padahal sesungguhnya pelanggaran itu dapat dicegah jika dari awal konsumen telah mengetahui hak dan kewajibannya sebagai konsumen sesuai dengan apa yang diatur didalam koridor hukum.Serta jika terjadi pembatalan penerbangan secara sepihak oleh penyedia jasa penerbangan,konsumen telah mengetahui apa saja yang harus dipertanggung jawabkan oleh penyedia jasa atas pelanggaran tersebut.


(54)

3. Hendaknya lembaga terkait memberikan edukasi kepada konsumen terhadap sistem penyelesaian sengketa antara konsumen dengan penyedia jasa penerbangan apabila terjadi suatu permasalahan. Karena selama ini konsumen merasa bahwa apabila haknya dilanggar maka jalan satu-satunya untuk memperjuangkan haknya adalah melalui jalur litigasi/ pengadilan yang bagi sebagian konsumen merupakan momok yang menakutkan, disinilah peran lembaga swadaya masyarakat dalam hal ini YLKI dan lembaga yang telah dibentuk oleh pemerintah seperti BPSK dan lainnya dalam menanggulangi hal tersebut agar terpenuhinya rasa keadilan bagi para pihak.


(55)

BAB II

PELANGGARAN HUKUM YANG TERJADI DALAM PENYELENGGARAAN JASA PENERBANGAN

A. Perkembangan Industri Penerbangan di Indonesia

Persaingan dalam industri penerbangan reguler di Indonesia saat ini semakin ketat, yang terlihat dari maraknya maskapai penerbangan menetapkan harga tiket yang sangat rendah, termasuk untuk rute-rute padat yang selalu ramai oleh penumpang, seperti Jakarta- Medan dan Jakarta Surabaya. Persaingan terjadi karena banyaknya jumlah maskapai penerbangan reguler di Indonesia saat ini, yang mencapai 21 perusahaan. Selain itu terjadinya perang tarif oleh hampir semua maskapai penerbangan juga terjadi karena pemerintah hanya menetapkan batas atas untuk tarif penerbangannya sehingga setiap perusahaan leluasa mengatur berapa tarif terendahnya. Meskipun terkesan mendukung kepentingan konsumen, tetapi banyak pihak mengkhawatirkan dampak dari perang tarif ini, karena terdapat kekhawatiran akan terjadinya penurunan standar keselamatan serta pelayanan maskapai penerbangan, jika efisiensi yang dilakukan oleh pihak maskapai penerbangan ikut memangkas biaya perawatan dan penggantian komponen pesawat.10

Namun peningkatan jumlah penerbangan dan pesawat terbang yang beroperasi di Indonesia, tidak diikuti dengan peningkatan infrastruktur yang memadai seperti peningkatan jumlah lembaga pendidikan penerbangan dan teknisi

10


(56)

yang memadai, yang berakibat terjadinya kekurangan sumber daya manusia (SDM) untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Dengan akan bertambahnya ratusan pesawat terbang baru dalam beberapa tahun kedepan, kebutuhan terhadap tenaga pilot, co pilot dan teknisi pesawat terbang semakin besar, karena produk sumber daya manusia terkait industri ini belum dapat mencukupi kebutuhan ini. Lembaga pendidikan yang menjadi tumpuan penyediaan pilot di dalam negeri, yaitu Sekolah Tinggi Penerbang Indonesia (STPI) Curug, saat ini baru mencapai sekitar 180-200 penerbang per tahunnya sementara kebutuhan dalam negeri mencapai 400 penerbang per tahun, demikian pula untuk tenaga teknisnya jumlah lulusannya masih sangat terbatas. Kondisi ini harus menjadi perhatian banyak pihak terutama pemerintah dan perusahaan penerbangan, agar penggunaan SDM terutama Pilot, benar-benar sudah memenuhi kriteria dalam kemampuan dan jam terbang yang ditentukan untuk menekan potensi human error dari setiap kegiatan penerbangan.11

Pemain industri penerbangan reguler di Indonesia terdiri dari maskapai penerbangan domestik, perintis dan luar negeri. Diantara pemain industri penerbangan tersebut, sebagian besar merupakan pelaku penerbangan reguler domestik.Berdasarkan data Direktorat Perhubungan Darat, Departemen Perhubungan, Jumlah maskapai penerbangan domestik berjadwal atau reguler terhitung Maret 2011 adalah 14 perusahaan. Maskapai penerbangan yang beroperasi saat ini adalah maskapai penerbangan yang masih bertahan dan masih diizinkan beroperasi oleh pemerintah setelah pemerintah mencabut izin beroperasi


(57)

beberapa maskapai penerbangan yang tidak beroperasi, akibat ketidakmampuannya melakukan kegiatan penerbangan karena ketidak siapan pesawat, sumber daya manusia maupun fasilitas lainnya. Beberapa maskapai penerbangan reguler yang dicabut izin operasinya tersebut diantaranya adalah Bouraq Airlines yang dicabut izinnya pada Februari 2007, kemudian Bali International Air Service yang dicabut pada Desember 2007, Star Air pada Mei 2007, dan yang baru-baru ini dicabut Mandala Air dan lain-lain yang juga telah dicabut izinnya sejak 2006. Dengan telah dicabutnya beberapa izin operasi dari beberapa maskapai penerbangan di Indonesia, kini terdapat 14 maskapai penerbangan yang masih beroperasi baik untuk penerbangan domestik maupun luar negeri. Beberapa maskapai penerbangan tersebut antara lain adalah Garuda Indonesia, Merpati Nusantara Airlines, Indonesia Air Asia, Lion Air, Wings Air, Batavia Air, dan lain-lain.12

Persaingan yang sangat ketat pada industri penerbangan di Indonesia beberapa tahun terakhir ini, menunjukan bahwa sektor transportasi udara masih memberikan prospek yang menarik bagi dunia usaha. Dari total 521 pesawat milik maskapai penerbangan Indonesia yang terdaftar pada Direktorat Perhubungan Udara, Departemen Perhubungan pada Februari 2011, hanya 318 pesawat yang beroperasi, karena sebagian pesawat yang tidak beroperasi sedang dalam perawatan dan perbaikan serta terdapat kendala teknis lainnya. Garuda Indonesia masih menjadi pemain utama industri penerbangan di Indonesia, karena selain jumlah armadanya paling besar, fasilitas perawatan dan latihannya paling lengkap,

12

alhamsyah.com/blog/topics/macam-macam-maskapai-penerbangan-indonesia.html,


(58)

juga kesiapan SDM nya lebih tinggi dibanding maskapai lain. Saat ini Garuda mulai menerapkan strategi yang lebih terencana, terutama dalam pengadaan pesawat terbangnya, antara lain mulai menggantikan beberapa pesawat tuanya, yang terdiri dari berbagai jenis dan tipe menjadi satu merek utama di jajaran armadanya, yaitu menggunakan pesawat produksi Boeing. Saat ini dari 50 pesawat terbangnya yang beroperasi, 47 pesawatnya adalah produksi Boeing, antara lain tipe B 747 400, yang akan segera digantikan oleh tipe B 787 Dreamliner untuk penerbangan ultra jauh, kemudian beberapa seri B 737 mendominasi jajaran pesawat terbang jarak menengahnya.13

Merpati Nusantara Airlines yang sempat mendominasi penerbangan domestik saat Garuda fokus dengan penerbangan luar negerinya, sempat hampir mengalami kebangkrutan akibat persaingan yang ketat pada awal 2000 an, karena banyaknya pesaing baru dalam penerbangan domestik serta mulai berkembangnya Low Cost Carrier di Indonesia, terutama dipicu oleh Lion Air dan kiprah dari Adam Air. Meskipun mempunyai 80 pesawat terbang, tetapi Merpati Airlines hanya mengoperasikan 34 pesawatnya, selain karena terlalu tua, sebagian pesawatnya memerlukan perawatan dan perbaikan. Saat ini Merpati masih menggunakan beberapa jenis dan merek pesawat terbang, terutama karena peran Merpati dalam penerbangan perintis di Indonesia masih besar, sehingga membutuhkan beberapa jenis pesawat yang sesuai dengan kondisi alam dan bandara di daerah-daerah terpencil B 737-200, Casa 212 dan DHC6 adalah beberapa jenis pesawat yang masih digunakan oleh Merpati untuk menunjang jasa

13


(59)

angkutan udaranya. Selain itu Merpati juga sedang memesan beberapa pesawat Boeing B737-300 dan B 737-400 untuk melayani rute-rute penerbangan yang sempat ditinggalkannya.

Pemain utama lain yang menjadi salah satu penggerak Low Cost Carrier di Indonesia adalah Lion Air, dengan perkembangan yang pesat dalam peningkatan jumlah armadanya, menjadikannya maskapai terbesar di Indonesia selain Garuda. Lion Air saat ini didukung oleh 30 pesawat terbang termasuk beberapa pesawat B 737-900ER baru yang merupakan bagian dari pembelian 178 pesawat Boeing pada tahun 2007, yang akan melayani beberapa wilayah Indonesia dan untuk pengembangan penerbangan reguler luar negeri.Namun perkembangan jasa pernerbangan yang dapat dilihat dari banyaknya maskapai penerbangan tidak diikuti dengan peningkatan kualitas pesawat yang digunakan.Pesawat-pesawat yang digunakan oleh maskapai Indonesia umumnya pesawat yang sudah dapat dikatakan sebagai pesawat tua.14

Berdasarkan data Direktorat Sertifikasi dan Kelaikan Udara, Departemen Perhubungan pada Desember 2010, rata-rata umur pesawat terbang di Indonesia yang paling muda adalah sekitar 12 tahun, yaitu pesawat dari maskapai Garuda Indonesia. Sementara itu umur pesawat terbang diluar Garuda rata-rata berumur diatas 15 tahun. Selain Garuda Indonesia, maskapai yang rata-rata umur pesawatnya masih di bawah 20 tahun adalah Sriwijaya Air dengan rata-rata 13,8 tahun dari 5 pesawatnya dan Lion Air yang umur rata-rata pesawatnya 17,5 tahun dari 30 pesawatn yang dipoerasikannya. Untuk saat ini Lion Air tercatat sebagai

14

tanggal 20 Januari 2011.


(1)

1. Kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta, yang telah memberikan kasih sayang, perhatian, motivasi, semangat dan mendoakan setiap langkah Penulis untuk mencapai cita-cita.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M. Hum sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum USU.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi, SH, CN, M.Hum selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktunya dalam memberikan bantuan dan arahan kepada Penulis pada saat penulisan skripsi ini.

5. Ibu Windha, SH, M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Sekaligus sebagai Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktunya dalam memberikan bantuan dan arahan kepada Penulis pada saat penulisan skripsi ini.

6. Bapak Ramli Siregar, SH, M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Sekaligus sebagai Dosen Penasehat Akademik Penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Seluruh Bapak dan Ibu staf pengajar dan pegawai administrasi di Fakultas Hukum USU.


(2)

9. Teman-teman angkatan 2007 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu.

Demikianlah yang dapat sampaikan, atas segala kesalahan dan kekurangannya penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Medan, Juni 2011 Penulis


(3)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan... 7

E. Tinjauan Kepustakaan ... 8

F. Metode Penulisan ... 11

G. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II PELANGGARAN HUKUM YANG TERJADI DALAM PENYELENGGARAN JASA PENERBANGAN ... 16

A. Perkembangan Industri Penerbangan di Indonesia ... 16

B. Hak dan Kewajiban Penyedia Jasa dan Konsumen Jasa Penerbangan ... 25

C. Pelanggaran Hukum yang Terjadi Dalam Penyelenggaran Jasa Penerbangan di Indonesia ... 37

BAB III TANGGUNG JAWAB PENYEDIA JASA KEPADA KONSUMEN JASA PENERBANGAN JIKA TERJADI PEMBATALAN PENERBANGAN SECARA SEPIHAK... 47

A. Aspek – Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Penerbangan ... 47

. B. Prinsip – Prinsip Tanggung Jawab Hukum Dalam Perlindungan Konsumen... 55 C. Tanggung Jawab Penyedia Jasa Kepada Konsumen Jasa Penerbangan


(4)

BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA PENYEDIA JASA DENGAN KONSUMEN JASA PENERBANGAN JIKA TERJADI PEMBATALAN PENERBANGAN SECARA SEPIHAK ... 76

A. Penyelesaian Sengketa Antara Penyedia Jasa dengan Konsumen Jasa Penerbangan di Luar Pengadilan ... 76 B. Penyelesaian Sengketa Antara Penyedia Jasa dengan Konsumen Jasa Penerbangan di Peradilan Umum ... 87

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 94 A. Kesimpulan ... 94

B. Saran ... 96


(5)

TINJAUAN YURIDIS PEMBATALAN PENERBANGAN SECARA SEPIHAK

OLEH PENYEDIA JASA KEPADA KONSUMEN JASA PENERBANGAN MENURUT UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

*) Dr.T.Keizerina Devi,SH.CN.M.Hum **) Windha,SH.M.Hum

***) Heru Adenin ABSTRAK

Penulisan skripsi ini dilatar belakangi ketertarikan penulis terhadap pembatalan penerbangan sepihak yang dilakukan oleh penyedia jasa penerbangan terhadap perlindungan konsumen jasa penerbangan yang diatur didalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dalam skripsi ini yang menjadi permasalahan adalah pelanggaran hukum yang terjadi dalam penyelenggaraan jasa penerbangan di Indonesia, pertanggung jawaban penyedia jasa penerbangan konsumen jasa penerbangan jika terjadi pembatalan penerbangan secara sepihak dan penyelesaian sengketa antara penyedia jasa dengan konsumen jasa penerbangan dalam perkara pembatalan penerbangan sepihak baik didalam maupun diluar pengadilan.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the book), Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder yaitu data-data yang berkaitan dengan penelitian, hal ini bertujuan untuk mengetahui pelanggaran-pelanggaran yang sering terjadi dalam penyelenggaraan jasa penerbangan di Indonesia, mengetahui tanggung jawab yang harus dipenuhi penyedia jasa penerbangan jika terjadi pembatalan penerbangan sepihak dan mengetahui bagaimana proses penyelesaian sengketa pembatalan penerbangan sepihak baik didalam dan diluar pengadilan.

Berdasarkan hasil penelitian penulis diketahui bahwa pengaturan mengenai pembatalan penerbangan secara sepihak dapat dilihat dalam UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen serta UU No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, dalam UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pengaturanya lebih bersifat umum yang didalamnya diatur mengenai hubungan antara maskapai penerbangan sebagai penyedia jasa dengan penumpang sebagai konsumen jasa, sedangkan dalam UU No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan pengaturanya lebih menekankan hal-hal yang berkaitan dengan teknis operasional dalam penyelenggaraan jasa penerbangan. Pelanggaran hukum yang terjadi dalam penyelenggaraan jasa penerbangan dapat terjadi karena kedudukan antara penyedia jasa penerbangan dengan konsumen jasa penerbangan yang tidak setara. Dalam kaitannya dengan pembatalan penerbangan secara sepihak pertanggung jawaban penyedia jasa berupa kompensasi serta ganti rugi dalam bentuk pengembalian dana pembayaran tiket secara penuh (refund). Namun tidak


(6)

gugatan secara perdata maupun tuntutan pidana ke pengadilan sesuai mekanisme yang diatur dalam pertauran perundang-undangan.

Kata Kunci: Pembatalan Penerbangan Sepihak, Penyedia Jasa, Konsumen Jasa *) Dosen Pembimbing I

**) Dosen Pembimbing I