Hal-hal yang Mendahului Perceived Behavior Control Persepsi Kontrol Perilaku

3 4 = n i m i Di sini SN merupakan simbol dari 5 678 e 9 tive n o rm ; ni merupakan simbol dari n o rm :; ive 7 elief tentang acuan i; mi merupakan simbol dari m o tiv :; io n to 9 o m p ly yaitu motivasi seseorang untuk patuh pada acuan i; dan jumlahnya merupakan jumlah kepercayaan normatif yang dapat diikur. Dengan kata lain, orang yang percaya bahwa individu atau kelompok yang cukup berpengaruh terhadapnya akan mendukung ia untuk melakukan tingkah laku tertentu, maka hal ini menyebabkan ia menjadi terdorong untuk melakukannya. Sebaliknya, jika ia percaya individu atau kelompok yang cukup berpengaruh terhadap dirinya tidak mendukung ia untuk melakukan tingkah laku tertentu, maka hal ini membuat dirinya untuk tidak melakukan tingkah laku tersebut. 678 e 9 tive n o rm norma subyektif dapat dinilai secara langsung dengan meminta responden untuk menilai seberapa besar kemungkinan bahwa kebanyakan orang-orang yang penting bagi mereka akan menyetujui mereka melakukan perilaku tertentu

c. Hal-hal yang Mendahului Perceived Behavior Control Persepsi Kontrol Perilaku

Prediktor utama yang terakhir di dalam teori pl : == d 7 e ?: vio r , p e 9 eived 7 ?:A io r 9 o n tro l atau persepsi kontrol perilaku, yang juga dianggap fungsi dari 7 lief . B elief dalam PBC ini yaitu tentang ada atau tidak adanya faktor yang memfasilitasi atau menghalangi terwujudnya sebuah perilaku. B elief ini dapat berdasarkan pada bagian pengalaman masa lalu yang berhubungan dengan perilaku. Namun mereka biasanya juga dipengaruhi oleh informasi dari orang kedua tentang perilaku dengan mengobservasi pengalaman dari rekan-rekan dan teman dan oleh faktor lainnya yang meningkatkan atau menurunkan persepsi tentang kesulitan dalam mewujudan perilaku tertentu. Semakin banyak sumber yang dibutuhkan dan kesempatan yang dianggap telah ia miliki dan lebih sedikit penghalang atau penghambat yang mereka antisipasi, semakin besar kontrol yang mereka persepsi atas perilaku. CD h EF i GH EI J D lief dianggap menentukan sikap, n o rm E K ive J D lief dipandang sebagai menentukan norma subyektif dan L o n tro l J D lief dapat dianggap sebagai penentu dari PBC. Jika seseorang memiliki L o n tro l J D lief yang kuat mengenai faktor- faktor yang ada akan memfasilitasi suatu perilaku, maka seseorang tersebut memiliki persepsi yang tinggi untuk mampu mengendalikan suatu perilaku. Namun sebaliknya, seseorang akan memiliki persepsi yang rendah dalam mengendalikan suatu perilaku jika ia memiliki L o n tro l J D lief yang kuat mengenai faktor-faktor yang menghambat perilaku. Untuk memperoleh pengukuran langsung persepsi kontrol perilaku dapat dilakukan dengan bertanya pada seseorang apakah mereka percaya bahwa melakukannya di bawah kontrol dirinya dan seterusnya. Persepsi kontrol perilaku dapat diukur dengan rumus berikut ini: M N C = c i p i Dalam rumus ini, ci merupakan simbol dari L o n tro l J D lief yang diberikan oleh faktor i; pi merupalan kuatnya faktor i untuk menfasilitasi atau menghambat terjadinya perilaku; dan hasilnya dapat dilihat dari jumlah O o n tro l P elief yang dapat diukur. Dengan kata lain, orang yang memiliki O o n tro l P Q lief yang kuat mengenai faktor-faktor yang ada yang akan memfasilitasi perilaku tertentu, maka orang tersebut memiliki persepsi yang tinggi untuk mampu mengendalikan suatu perilaku. Sebaliknya, orang tersebut akan memiliki persepsi yang rendah dalam mengendalikan suatu perilaku jika ia memiliki O o n tro l P Q lief yang kuat mengenai faktor-faktor yang menghambat perilaku. Pengukuran langsung persepsi kontrol perilaku dapat dilakukan dengan menanyakan pada seseorang apakah mereka percaya bahwa mereka mampu mewujudkan perilaku tertentu, apakah mereka percaya bahwa melakukannya benar-benar di bawah kontrol mereka dan seterusnya. Proses seseorang tiba pada niat mereka merupakan pendekatan beralasan untuk penjelasan dan prediksi perilaku sosial dalam arti bahwa niat berperilaku seseorang diasumsikan mengikuti keyakinan mereka tentang mewujudkan sebuah perilaku. Perilaku seseorang diasumsikan berasal dari kepercayaan mereka tentang mewujudkan suatu perilaku tertentu. Kepercayaan ini bisa jadi tidak akurat, bias atau bahkan tidak masuk akal. Bagaimanapun, sekali saja satu set kepercayaan terbentuk ia akan menyediakan pondasi kognitif dimana sikap, norma subyektif dan persepsi kontrol perilaku, terutama intensi dan perilaku dianggap mengikuti alasan dan model tetap. Bagaimanapun, hal ini tidak dapat dikatakan bahwa seseorang dengan sadar melihat kembali setiap langkah dan setiap kali mereka terlibat dalam sebuah perilaku . Sekali terbentuk sikap, norma, persepsi kontrol perilaku dan intensi akan menjadi sangat mudah diakses dan siap sedia untuk memandu terwujudnya sebuah perilaku. Itulah, mengapa seseorang tidak harus melihat kembali perilaku mereka, norma dan R o n tro l ST lief agar konstruk ini menjadi aktif. UVWVWVX Background Y Z[ t \] _ t `_ a b Menurut teori pl cdd T d S e e c f io r , selain faktor-faktor utama yaitu sikap, norma subyektif dan PBC, banyak variabel yang mungkin berhubungan atau mempengaruhi kepercayaan yang seseorang seperti; umur, jenis kelamin, etnis, status sosial ekonomi, pendidikan, kebangsaan, agama, keanggotaan, kepribadian, suasana hati, emosi, sikap dan nilai secara umum, inteligensi, anggota kelompok tertentu, pengalaman masa lalu, paparan informasi, dukungan sosial, kemampuan R o p in g dan lainnya. Jelas bahwa seseorang yang tumbuh dalam lingkungan sosial yang berbeda dapat memiliki informasi yang berbeda tentang isu-isu yang berbeda. Informasi menyediakan dasar bagi kepercayaan mereka tentang konsekuensi sebuah perilaku, pengharapan normatif, pentingnya seseorang dan penghalang yang dapat mencegah mereka dalam mewujudkan perilaku. Laki-laki dapat memiliki pengalaman yang berbeda daripada pengalaman wanita, orang yang lebih tua mendapatkan informasi yang berbeda dari informasi orang yang lebih muda dan suasana hati yang bersifat sementara dapat mempengaruhi cara seseorang mempersepsikan sesuatu. Semua faktor ini dapat mempengaruhi perilaku, normatif dan kontrol kepercayaan. Sebagai hasilnya, akan mempengaruhi intensi dan tindakan. Pada gambar 2.2 faktor-faktor yang melatarbelakangi ini dibagi ke dalam kategori personal, sosial dan informasional. Teori pl ghhi d j e k g l io r mengenali potensi yang penting ini sebagai faktor yang melatarbelakanginya. Mengingat banyaknya jumlah potensi yang sesuai dengan faktor yang melatarbelakangi, sulit untuk mengetahui mana yang harus dipertimbangkan tanpa seleksi teori yang dapat menuntun dalam area perilaku yang diamati. Teori seperti ini bukan merupakan bagian dari model teori pl ghhi d jik g l io r , namun hanya sebagai pelengkap untuk menjelaskan lebih dalam tentang determinan tingkah laku manusia. Dengan demikian memperdalam pemahaman tentang penentu perilaku. Di bawah ini mengenai kerangka teori p la n n ed b eh a vio r : mnop n q rsr BACKGROUND tn u vw q xn y n THEORY OF PLANNED BEHAVIOR membeli BACKGROUND FACTORS PERSONAL General Attitudes Personality traits Values Emotions Intelligence SOCIAL Age, Gender, Race, Ethnicity, education, income, religion INFORMATION Experience Knowledge xposure Behavioral belief Attitude toward the behavior Normative Belief Subjective norm Normative Belief ujective norm Control belief Perceived Behavioral Control Intention Behavior z{|{z } ~ r € ‚ u ƒ~„ … u „ † z{|{z{| }~ „ †~ r t „ ‡ „ } ~„ ˆ ~€  ‰ „ ƒ~ „ … u „ † Keynes dalam Felix, 1995 mendefinisikan menabung sebagai berikut: Š ‹ Œ ess o f i Œ o m e o ver Œ o n su m p tio n exp en d itu re in Ž p erio d o r Ž th e d iffere Œ e in n et w o rth Ž  th e en d o f p erio d Ž ‘ th e n et w o rth Ž  th e ’“ g in n in g o f th e p eri ” ‘ •– Dapat diambil pengertian bahwa menabung adalah kelebihan dari penghasilan yang melebihi pengeluaran konsumsi dalam suatu periode tertentu, atau sebagai selisih antara kekayaan bersih pada akhir periode dan kekayaan bersih pada awal periode. Warneryd 1999 juga memberikan pengertian tentang menabung: — Ž ˜ in g m e Ž  Ž Ž ru le t ™ Ž  so m e Œ o n su m p tio n w Ž p o stp o n ed Ž  Žš e ›œŽ ‘ š u tu re livin g •– Tabungan dimaksudkan sebagai suatu pengaturan dimana suatu konsumsi ditunda demi keamanan di kehidupan mendatang. Sesuai dengan Surat Edaran Direksi Bank Indonesia no. 22133UPG1989 dalam Sudaryana, 2007 yaitu tabungan adalah simpanan pihak ketiga pada bank yang penarikannya hanya dapat dilakukan dengan syarat: a Mendatangi bank atau alat yang disediakan untuk keperluan tersebut. b Penarikan tidak dapat menggunakan cek, bilyet giro serta surat perintah pembayaran lain yang sejenis. c Tabungan yang diselenggarakan bank dalam bentuk rupiah. Pengertian di atas memberikan penjelasan bahwa orang yang menabung memiliki hak untuk memperoleh kembali tabungannya dengan syarat tertentu. Keyness dalam Felix, 1995 memberikan rumusan total i žŸ o m e atau penghasilan adalah jumlah dari konsumsi dan tabungan, atau diformulasikan sebagai Y = C + S. Dalam hal ini Y merupakan simbol dari penghasilan, C merupakan simbol dari konsumsi, sedangkan S merupakan simbol dari ¡¢ in g atau tabungan. Jika rumusan itu diubah untuk mendapatkan pengertian ¡¢ in g atau tabungan, maka formulasinya akan menjadi S = Y C. Jika dibahasakan dalam bentuk kalimat maka tabungan dapat didefinisikan sebagai hasil dari penghasilan yang telah dikurangi konsumsi. Contohnya, seseorang dengan penghasilan Rp5.000.000 per bulan dan pengeluaran yang digunakan untuk konsumsi tiap bulan yaitu Rp3.000.000, maka asumsinya sisa uang yang ada yaitu Rp2.000.000 akan menjadi tabungannya. Secara logika, tabungan seseorang akan sangat dipengaruhi oleh tingkat penghasilannya. Semakin tinggi penghasilan maka semakin tinggi pula tabungan yang dimiliki. Semakin tinggi penghasilan maka porsi uang yang akan ditabung menjadi semakin besar dan berarti kebutuhan akan menabung menjadi semakin tinggi pula. Kegiatan menabung menyangkut dua permasalahan pokok yaitu: a. Masalah kemampuan untuk menabung, yang ditentukan oleh selisih lebih antara penghasilan yang diterima dengan pengeluaran yang dilakukan. b. Masalah kesediaan untuk menabung, karena setiap orang pada umumnya mempunyai kecenderungan menggunakan seluruh penghasilan untuk memenuhi kebutuhan pada saat ini yang biasanya bersifat konsumtif Hakim, 2008. Pengertian menabung pada penelitian ini lebih menitikberatkan pada menabungkan uang, menyisihkan uang yang diterima untuk disimpan dan digunakan untuk kepentingan yang akan datang. £¤¥¤¦¤ § ¨ t ©¨ ª « ¬©¨ ­® u ¨ ¯ £¤¥¤¦¤¥ ° ©±« ¨ « ª « § ¨ t ©¨ ª « ¬©¨ ­® u ¨ ¯ Setelah membahas mengenai teori intensi dan menabung, Peneliti menarik sebuah kesimpulan bahwa intensi menabung dapat didefinisikan sebagai suatu niat yang kuat dari individu untuk menyimpan uang dan menanam modalnya di bank yang sifatnya produktif guna memenuhi kebutuhan di masa mendatang. Teori-teori yang membahas mengenai intensi secara umum telah dijabarkan pada BAB sebelumnya, yaitu teori intensi yang dikemukakan oleh Fishbein dan Ajzen. Intensi merupakan sebuah perilaku dalam konteks umum bisa menggunakan pembahasan intensi yang telah dipaparkan di bab sebelumnya. Akan tetapi setelah Peneliti melakukan studi literatur, terdapat beberapa jurnal psikologi ekonomi yang membahas mengenai intensi menabung secara khusus. Perilaku menabung dan intensi menabung merupakan salah satu kajian dari perilaku konsumen. £¤¥¤¦¤£ ¬ ²³ © ´ µ © ² ¶ « § ¨ t © ¨ ª « ¬© ¨ ­® u ¨ ¯ ¬©¨ u r u t · ­® « ¨ ² ¸ « ch Paul Robinovich Paul 2006 dalam jurnal psikologi ekonomi menjelaskan konsep tentang intensi menabung dan faktor psikologis yang mempengaruhi intensi menabung. Secara umum dengan memahami intensi seseorang untuk menabung, maka dapat dilakukan prediksi bahwa seseorang tersebut akan melakukan suatu perilaku berupa menabung di masa yang akan datang. Rabinovich Paul 2006 memberikan konsep mengenai intensi menabung dengan beberapa faktor psikologis yaitu tim e h o rizo n , exp en d itu re ¹ o n tro l te ¹ h n iq u es º»¼ p e ½ ¹ eived e » ¾ ¿ n ess o f exp en d itu re ¹ o n tro l À Penjelasan mengenai faktor-faktor tersebut sebagai berikut: Á Time Horizon à im e h o rizo n mengacu kepada panjang periode waktu yang diperhitungkan dalam proses perencanaan pengeluaran tabungan. Variabel ini telah terbukti menjadi salah satu variabel yang paling kuat mempengaruhi perilaku menabung. à im e h o rizo n mengacu pada satu titik waktu tertentu di masa yang akan datang dimana suatu proses akan dievaluasi. Dalam manajemen akunting, finansial dan resiko, diperlukan sebuah penetapan horizon waktu tertentu sedemikian hingga diperoleh alternatif yang dapat dilaksanakan pada periode waktu yang dimaksud. à im e h o rizo n yang paling umum digunakan yaitu triwulan, kuartal, satu sampai lima tahun, bahkan lebih dari 10 tahun. Dalam hal ini, isu yang mendasar yaitu seberapa besar pengaruh data masa yang akan datang terhadap keputusan saat ini. Chand dkk dalam Lucy, 2008. Ä Expenditure Control Techniques Elster dalam Robonovich Paul, 2006 memberi gagasan bahwa penggunaan teknik tertentu dapat meningkatkan sumber daya dari kontrol diri dan meningkatkan kemungkinan menabung. Salah satu teknik utama yang dijelaskan yaitu pra-komitmen, dimana pra-komitmen merupakan pengaturan yang memberikan pertahanan terhadap impuls masa depan. Konsep exp en d itu re Å o n tro l te Å h n iq u es dan pengendalian diri dihubungkan melalui dua perspektif teoritis yaitu akuntansi mental Shefrin Thaler, 1992; Robonovich Paul, 2006 dan niat pelaksanaan Gollwitzer Brandstatter, 1993; Robonovich Paul, 2006. Menurut kerangka akuntansi mental, teknik tertentu seperti mentransfer uang kepada rekening terpisah atau mentransfer ke mata uang yang berbeda memfasilitasi pelabelan uang sebagai sumber terpisah yang berbeda dari penghasilan lainnya. Mental perhitungan yang berbeda memiliki kecenderungan yang berbeda untuk menghabiskan, sehingga uang yang dicap sebagai tabungan melalui transfer ke bentuk yang berbeda cenderung akan dikeluarkan. Akibatnya, ketika tabungan ditransfer ke rekening mental yang spesifik, kurangnya sumberdaya pengendalian diri yang diperlukan untuk menahan diri dari pengeluarannya memunculkan kecenderungan untuk menghabiskan uang yang lebih rendah Robonovich Paul, 2006. ÆÇ Perceived Easiness of Expenditure Control Persepsi kemudahan kontrol pengeluaran ini berkaitan dengan konsep kontrol perilaku yang dipersepsi PBC dalam th eo ry o f p l ÈÉÉÊ d ËÊÌÈÍ io r . Rabinovich memiliki pemikiran bahwa PBC tidak selalu adekuat dalam hal tabungan dan dengan demikian faktor lain yang mengendalikan perilaku yang sebenarnya dapat mengganggu misalnya teknik penggunaan. Pentingnya persepsi kemudahan dalam pengeluaran terhadap perilaku ini pertama kali ditunjukkan oleh Wa¨rneryd 1998, dalam Robonovich Paul, 2006 dan kemudian direplikasi oleh Webley Viner 2000, dalam Robonovich Paul, 2006. Dalam kedua studi, variabel ini dimasukkan dalam model yang optimal untuk memprediksi perilaku menabung. Variabel ini kini diterima secara luas sebagai prediktor dalam perilaku menabung Nyhus, 2002; Robonovich Paul, 2006. ÎÏÐÏÑÏÑ ÒÓÔ ÕÖ ×ÕÓ Ø Ù Ú Û t Õ Û Ü Ù ÒÕ Û ÝÞ u Û ß ÒÕÛ u r u t Croy dkk Croy dkk 2010 dalam jurnal psikologi ekonomi memberikan konsep tentang intensi menabung. Faktor sikap, norma subyektif dan PBC, pengetahuan, persepsi tentang pentingnnya perencanaan dan toleransi terhadap resiko dianggap memberikan pengaruh yang signifikan terhadap intensi menabung. Konsep tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: GAMBAR 2.3 KERANGKA MODEL TEORI INTENSI MENABUNG MENURUT CROY DKK Sumber: Croy dkk 2010 PI PP PBC Int SN Att RT Dapat dilihat hubungan antara p l àááâ n g im p o rt àá ã e PI mempengaruhi p l àááâ n g p re ä à å æ d n ess PP, PI dan PP melatar belakangi PBC terbentuk. Dalam hal ini, ketika seseorang memiliki persepsi bahwa sebuah perencanaan keuangan merupakan hal yang penting, maka individu tersebut akan membuat suatu rincian perencanaan yang akhirnya individu akan memiliki ã o n tro l ç æ lief yang kuat mengenai faktor-faktor yang akan memfasilitasi perilakunya. Selain itu, PI dan PP ini akan mempengaruhi èâ sk é o le å àá ã e RT, yaitu tingkat ketidakpastian yang investor dapat tangani dalam hal perubahan negatif dalam nilai asetnya dan RT ini pada akhirnya memberi pengaruh langsung terhadap Intensi menabung. Kesimpulannya sikap, norma subyektif, PBC dan èâ sk to le å àá ã e memberi pengaruh secara langsung terhadap intensi. Hasil penelitian ini menunujukkan bahwa TPB menjadi model teori yang kuat yang dapat digunakan untuk memprediksi niat untuk berperilaku dalam konteks menabung. Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa, jenis kelamin, usia dan penghasilan, persepsi mengenai pentingnya perencanaan memprediksi kesiapan perencanaan yang pada gilirannya memprediksi PBC dan niat. êëìëíëî ïðñ òó ôòð õ ö ÷ ø t ò ø ù ö ïò ø úû u ø ü ïòø u r u t ýúõ ø ò r þñ Habit kebiasaan dan sikap terkadang diperlakukan sebagai dua hal yang setara, tetapi biasanya perbedaan juga dijelaskan. Kebiasaan dianggap sebagai rutinitas yang dipelajari melalui penghargaan, pengalaman sebelumnya dan dianggap memiliki kekuatan prediktif. Konsep yang berlaku kurang lebih sama, yaitu bahwa orang cenderung berperilaku pada situasi yang baru menurut cara mereka berperilaku pada waktu sebelumnya dalam situasi yang sama. Sebuah pernyataan populer perilaku di masa lalu merupakan prediktor terbaik dari perilaku di masa depan Ajzen, 1991; Warneryd, 1999. Tampaknya ini berlaku baik untuk kebiasaan dan kepribadian dengan pengecualian bahwa situasi dapat berubah dan seluruh situasi menjadi radikal baru. Ajzen 1991, dalam Warneryd, 1999 menolak argumen bahwa kebiasaan hanya diwakili perilaku di masa lalu dan harus dipertimbangkan dalam model. Ia berpendapat bahwa residu dari perilaku masa lalu sudah dalam model dan kebiasaan habits juga tergantung pada hal-hal lain dari sekedar perilaku di masa lalu. Namun Ia juga tidak menolak sepenuhnya bahwa perilaku masa lalu dapat bermanfaat dalam model. Banyak studi telah menunjukkan bahwa kebanyakan orang memiliki sikap yang positif terhadap perilaku menabung Lea dkk, 1987; Warneryd, 1999. Norma subyektif untuk menabung atau tidak menabung menjadi kuat dan mereka dapat berubah dari waktu ke waktu. Dalam penelitian di beberapa negara, sebuah kelompok terkadang menjadi pendorong seseorang untuk melakukan perilaku seperti menabung. Dorongan dari kelompok ini lebih menitikberatkan pada alasan keuangan dan usaha pencegahan. Dengan kata lain, kelompok yang dianggap penting bisa mendorong individu untuk menabung, yang bertujuan mencegah hal-hal yang tidak diinginkan di masa mendatang. PBC dalam konteks menabung sama saja dengan situasi keuangan individu. Setidaknya untuk beberapa rumah tangga ada cukup banyak variasi dalam model komponen. Persepsi terhadap perubahan situasi keuangan merupakan faktor penentu penting dari perilaku menabung. Berikut gambar mengenai konsep intensi menabung yang dicetuskan oleh Warneryd 1999: ÿ MODEL TEORI INTENSI MENABUNG WARNERYD YANG TERINSPIRASI OLEH THEORY OF PLANNED BEHAVIOR MILIK AJZEN Sumber: Warneryd 1999 t t p u t u Berdasarkan teori yang telah dipaparkan sebelumnya, Peneliti menyimpulkan beberapa faktor yang mempengaruhi intensi menabung yaitu sikap, norma subyektif dan p er eived io r o n tro l . Selain itu intensi menabung merupakan vin g Attitudes Past Saving Subjective norms Perceived Behavior Control Intention to save Saving Behavior kajian dari perilaku menabung dan dalam proses menabung juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain seperti penghasilan, pendidikan dan usia. Hal lain yang perlu dicermati bahwa bank syariah merupakan bank yang melaksanakan kaidah keislaman dalam sistemnya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pelanggan memilih bank Islam terutama berdasarkan alasan agama. Unsur keislaman dan keagamaan memegang peranan penting dalam menentukan bagaimana orang berperilaku dalam situasi tertentu, yang dalam hal ini menabung di bank syariah sebagai bank Islam. Unsur keagamaan atau religiusitas akan mempengaruhi keputusan yang dibuat oleh individu. Atas pertimbangan tersebut Peneliti mengambil faktor religiusitas sebagai faktor yang dianggap juga mempengaruhi intensi menabung di bank syariah. r t Fishbein Ajzen 1975 mengatakan bahwa intensi seringkali nampak seperti komponen konatif dari sikap dan biasanya juga diasumsikan bahwa komponen konatif ini berhubungan dengan komponen afektif dari sikap. Konsep ini memberi keterangan kuat bahwa sikap dan intensi merupakan dua konstruk yang saling berkaitan erat. Allport dalam Oskamp Schultz, 2004 menyatakan konsep sikap membantu untuk menjelaskan konsistensi perilaku seseorang. Thurstone dalam Oskamp Schultz, 2004 mendefiniskan sikap sebagai afeksi atau perasaan terhadap sebuah rangsangan . Sikap didefiniskan sebagai suatu penilaian kognitif seseorang terhadap suka atau tidak suka, perasaan emosional yang tindakannya cenderung ke arah berbagai objek atau ide. Sikap dapat pula diartikan sebagai kesiapan seseorang untuk melakukan suatu tindakan atau aktivitas. Sikap sangat mempengaruhi keyakinan, begitu pula sebaliknya, keyakinan menentukan sikap. Dalam hubungannya dengan perilaku konsumen, sikap dan keyakinan sangat berpengaruh dalam menentukan suatu produk, merek dan pelayanan. Terdapat beberapa sudut pandang teoritis utama mengenai sifat penting dari sikap. Konsep yang paling lumrah yaitu konsep mengenai + ri -co m p o n en tia l view p o in t . Konsep ini memberi penjelasan bahwa sikap merupakan satu kesatuan namun memiliki tiga aspek atau komponen yaitu komponen afektif, kognitif dan perilaku. Sebagai contoh, sikap seseorang tentang mengendarai sepeda motor. Komponen afektif emosi. Hal ini ini mengacu pada perasaan dan emosi yang dimiliki seseorang terhadap objek. Misalnya saja, mengendarai sepeda motor itu menyenangkan , mengendarai sepeda motor sangat menggairahkan . Komponen kognitif, yang terdiri dari ide-ide dan keyakinan seseorang miliki terhadap objek sikap. Sebagai contoh, sepeda motor merupakan kendaraan yang cepat , mengendarai sepeda motor lebih hemat bensin daripada mengendarai mobil . Komponen perilaku, yang terdiri dari kecenderungan tindakan seseorang terhadap objek. Misalnya, saya naik sepeda motor setiap kesempatan yang saya dapatkan. , jika saya punya uang, saya akan membeli sepeda motor. Oskamp Schultz, 2004. Perilaku juga amat terpengaruh oleh sikap terhadap merek atau terhadap produk yang ada. Dalam Engel dkk 1995 sikap didefinisikan secara singkat sebagai evaluasi secara menyeluruh dari alternatif-alternatif, yang memiliki rentangan dari positif ke negatif. Sekali saja terbentuk, sikap memainkan peranan langsung pada pilihan selanjutnya dan sulit untuk dirubah. Loudon Bitta 1993 menyebutkan tiga definisi diantara lebih dari 100 definisi sikap yang ada. Definisi yang pertama, sikap adalah bagaimana positif atau negatif, f ,-. , 01 e atau u n f ,-. , 01 e , atau pro atau kontranya perasaan seseorang terhadap sebuah objek. Definisi ini menunjukkan sikap sebagai perasaan atau reaksi evaluatif pada sebuah objek. Definisi kedua mewakili pemikiran Allport dalam Loudon Bitta,1993, yang memandang sikap sebagai predeposisi yang dipelajari untuk merespon sebuah objek atau kelas objek dalam cara f ,-. , 01 e atau u n f ,-. , 01 e secara konsisten. Definisi sikap yang ketiga dipopulerkan oleh psikolog sosial yang berorientasi secara kognitif yaitu: sebuah ketahanan dari gabungan motivasi, emosi, perseptual dan proses kognitif yang berkaitan pada beberapa aspek dalam dunia seorang individu. Pandangan sikap seperti ini terbuat dari tiga komponen: 1 komponen kognitif, atau pengetahuan, 2 komponen afektif, atau emosi dan 3 komponen konatif atau kecenderungan perilaku. Dari tiga pengertian di atas disimpulkan bahwa sikap adalah keseluruhan evaluasi baik negatif maupun positif terhadap suatu objek, orang, kejadian dan aktifitas yang dilakukan serta mencakup aspek kognitif, afektif dan konatif seseorang. 2323432 56 7 p 68 98 : ; = p Engel dkk 1995 menjelaskan sikap secara tradisional dan terdiri dari tiga komponen yaitu kognitif, afektif dan konatif. Pengetahuan seseorang dan kepercayaan tentang suatu sikap terletak dalam komponen kognitif. Komponen afektif mewakili perasaan seseorang tentang objek sikap. Komponen konatif merujuk pada tindakan seseorang atau kecenderungan perilaku terhadap objek sikap. Di bawah ini merupakan skema pandangan tradisional mengenai komponen sikap: ?A ? B 23C D ? E F?E ? E G B ? FH : H IE ? J G H ? 5 I D IE KE : H 5 ? D Sumber: Engel dkk 1995 Sikap yang lebih kontemporer direfleksikan oleh gambar 2.8 di bawah ini. Dalam hal ini sikap dipandang sebagai berbeda dari komponen-komponennya, dengan tiap komponen yang berhubungan pada sikap. Kedua komponen kognitif kepercayaan dan komponen afektif perasaan dikonsepkan sebagai penentu- penentu sikap. Dalam kata lain evaluasi keseluruhan seseorang pada sebuah objek sikap dilihat sebagai penentu kepercayaan seorang dan atau perasaan tentang Attitude Cognitive component belief Affective component feelings Conative component behavioral intentinon sikap objek. Bagi beberapa produk, sikap akan tergantung pada kepercayaan. Sikap konsumen terhadap sebuah v LM u m M le L N er , contohnya, terutama dapat muncul oleh karena persepsi mereka tentang keuntungan fungsional produk- produk, seperti seberapa baik ia membersihkan dan seberapa mudah untuk digunakan. OPQR P S TUV W P XY P X O P X Z [ X\ ] Q W [ S ] S _ R _X O P X P X \ P SP Z] W ] S CAYAAN, PERASAAN, SIKAP, INTENSI BERPERILAKU dan PERILAKU Sumber: Engel dkk 1995 Menurut perspektif diagram di atas, ada dua cara fundamental yang membentuk sikap: melalui kepercayaan dan melalui perasaan tentang objek sikap. Mengidentifikasi tata cara dimana sikap terbentuk merupakan hal penting karena Belief Attitude Behavioral intention Behavior Feelings ia memberikan petunjuk bagi mereka yang tertarik dalam mempengaruhi perilaku konsumen. Komponen konatif dalam pandangan kontemporer ini tidak dipandang sebagai penentu komponen sikap. Sikap justru dipandang sebagai determinan dari komponen konatif. Oleh karena itu, intensi berperilaku seseorang akan bergantung pada sikapnya. Sebagai akibatnya, intensi konsumen untuk mewujudkan suatu perilaku seperti membeli sebuah produk seharusnya sebanding dengan sikap mereka yang semakin f `a bc ` de e . Dalam gambar pandangan kontemporer, intensi berperilaku terletak paling dekat dengan perilaku, mengindikasikan bahwa perilaku diharapkan lebih berhubungan erat terhadap intensi berperilaku daripada sikap, kepercayaan maupun perasaan. Karena alasan ini, ketika seseorang tertarik dalam memprediksi perilaku, intensi berperilaku harus diikur karena ia seharusnya merupakan prediksi perilaku di masa depan yang paling akurat. fgfgf h ij k l m u n opq t r s fgfgfgt u p v w p r t r l v h ij k l x y n op q t r s Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dalam Fishbein dan Ajzen 1975 mengartikan norma subyektif: z h e { | d } e ~ tiv e n o rm is th e p erso ns perception that most people who are important to him think he should or should not perform the behavior in question. Dapat disimpulkan dari penjelasan di atas bahwa norma subyektif merupakan persepsi individu tentang harapan orang-orang yang dianggap penting oleh mereka berpikir bahwa ia sebaiknya melakukan atau tidak melakukan perilaku tertentu. Norma subyektif ditentukan oleh keyakinan normatif n o rm € ive ‚ lief mengenai harapan-harapan kelompok acuan atau orang tertentu yang dianggap penting terhadap individu dan motivasi individu untuk memenuhi atau menuruti harapan tersebut m o tiva tio n to co m p ly . Keyakinan normatif diperoleh dari informasi orang yang berpengaruh sig n ifica n t o th ers tentang apakah individu perlu, harus, atau dilarang melakukan perilaku tertentu dan dari pengalaman individu yang berhubungan dengan perilaku tersebut. Semakin banyak orang yang dapat mempengaruhi individu untuk melakukan suatu perilaku sehingga individu semakin yakin akan perilaku tersebut untuk dilakukan dan menjadi keyakinan normatif bagi dirinya, serta semakin besar motivasi individu untuk memenuhi harapan-harapan dari orang yang berarti sig n ifica n t o th ers bagi dirinya maka akan semakin diterima perilaku tersebut sebagai suatu norma subyektif bagi dirinya. ƒ„ƒ„ƒ„ƒ … † t † r ‡ ˆ ‰ Š‰ ‹Œ ‡ Š Ž u  †‘ t ˆ ’ Ajzen 2005 menjelaskan bahwa norma subyektif ditentukan oleh dua determinan: 1. “ o rm € ive ‚ lief , yaitu kepercayaan bahwa individu atau kelompok tertentu menyetujui atau menolak melakukan sebuah perilaku; atau bahwa kelompok sosial yang menjadi rujukan terlibat atau tidak terlibat didalam dalam perilaku tertentu tersebut. 2. ” o tiv •– io n to — o m p ly , yaitu motivasi individu untuk memenuhi harapan kelompok acuan tersebut. Seseorang yang percaya bahwa kebanyakan dari orang yang mereka harus patuhi berpikir ia seharusnya melakukan sebuah perilaku akan memandang tekanan sosial sebagai keharusan bagi dirinya untuk melakukan perilaku tersebut. Sebaliknya, orang yang percaya bahwa kebanyakan orang yang menjadi acuannya dan ia patuhi akan tidak setuju dengan perwujudan perilaku dirinya, akan memiliki norma subyektif yang menekan mereka untuk menghindari perwujudan dari perilaku tersebut. Hubungan antara kepercayaan normatif dan norma subyektif dideskripsikan secara simbolis dalam rumus dibawah. ˜ ™ = n i m i SN = š›œ e — tive n o rm n i = ž o rm •– ive œ Ÿ lie f kepercayaan individu tentang seseorang atau kelompok yang dijadikan acuan berpikir bahwa ia seharusnya menampilkan perilaku atau tidak menampilkan perilaku tertentu m i = Motivasi individu untuk patuh pada seseorang atau kelompok yang menjadi acuan. š›œ e — tive n o rm norma subyektif dapat dinilai secara langsung dengan meminta responden untuk menilai seberapa besar kemungkinan bahwa kebanyakan orang-orang yang penting bagi mereka akan menyetujui mereka melakukan perilaku tertentu. Pada penelitian sebelumnya oleh Khan ... yang berjudul ¡¢£ in g ¤¥¦¡§ io r o f ¨ sl ¡© i ª ¡¢£ ª u sto m er in ¡¢«¬¡ ­ ¥ sh menunjukkan bahwa sekitar 30 dari orang-orang dalam kategori penghasilan BDT10, 000-20,000 setuju bahwa mereka mengikuti saran dari keluarga dan teman-teman dalam memilih bank syariah. Untuk kategori penghasilan bahkan lebih rendah, yaitu BDT 50, 000-10,000 dan kurang dari BDT 5, 000, sekitar 50 pelanggan mengindikasikan bahwa mereka mengikuti saran dari keluarga dan teman dalam memilih bank syariah. ®¯®¯° Perceived Behavior Control ®¯®¯°¯± ² ³´ µ³ r t ¶ · ´ Perceived Behavior Control Selain kedua faktor di atas, Ajzen memperluas teori re ¡¸ ¹ ¢¥ d ¡ª tio n dengan menambahkan faktor yang ketiga, yaitu persepsi terhadap kontrol tingkah laku, dalam teori tingkah laku terencana th eo ry o f p l ¡¢¢¥ d ¤¥¦¡ vio r . Persepsi terhadap kontrol tingkah laku p erceived b eh a vio r co n tro l merupakan persepsi terhadap kemampuan atau ketidakmampuan untuk menampilkan sebuah perilaku, atau persepsi seseorang mengenai seberapa mudah atau seberapa sulit untuk menampilkan perilaku. Individu tidak membentuk intensi untuk melakukan suatu perilaku kecuali merasa yakin bahwa dirinya memiliki kemampuan atau sumber daya untuk menampilkan perilaku tersebut. Semakin tinggi persepsi terhadap kontrol perilaku, semakin tinggi intensi perilaku. Untuk memperoleh pengukuran langsung persepsi kontrol perilaku dapat dilakukan dengan bertanya pada seseorang apakah mereka percaya bahwa melakukannya di bawah kontrol dirinya dan seterusnya. Persepsi kontrol perilaku dapat diukur dengan rumus berikut ini: º » C = c i p i PBC = ¼½ ¾ ¿ eived À e ÁÂà io r ¿ o n tro l persepsi kontrol perilaku C i = Ä o n tro l À ½ lief yang diberikan oleh faktor faktor yang dipersepsi. P i = Kuatnya faktor faktor yang dipersepsi untuk menfasilitasi atau menghambat terjadinya perilaku Menurut teori TPB, Persepsi kontrol perilaku PBC dan niat untuk berperilaku intensi, dapat digunakan langsung untuk memprediksi perilaku. Sebagai contoh dalam perilaku bermain ski, individu mungkin memiliki niat yang sama kuat untuk belajar ski dan keduanya mencoba untuk melakukannya, orang yang percaya dengan kemampuannya bahwa ia dapat menguasai kegiatan ini lebih mungkin untuk bertahan daripada orang yang meragukan kemampuannya. Alasan kedua, hubungan langsung antara PBC dan perilaku sering kali dapat digunakan sebagai pengganti ukuran kontrol sebenarnya. Apakah ukuran kontrol perilaku dianggap dapat menggantikan ukuran kontrol sebenarnya tergantung pada keakuratan persepsi. Persepsi kontrol perilaku tidak mungkin realistis apabila seseorang memiliki informasi yang relatif sedikit tentang perilaku, ketika persyaratan atau sumber daya yang tersedia telah berubah, atau ketika unsur-unsur baru maupun asing telah memasuki situasi. Dalam kondisi tersebut, pengkuran PBC dapat menambahkan sedikit akurasi prediksi perilaku. Namun, selama kontrol yang dirasakan realistis, konsep ini dapat digunakan untuk memprediksi kemungkinan suksesnya upaya untuk berperilaku Ajzen, 2005 ÅÆÅÆÇÆÅ È ÉÊ t Ë r Ì Í Î Ï u Ê u Î Ð Ï ÉÎ Ì Í Î ÐÑ ÉÒ Ó É Ô Ì Í r ÕÖÉÊ u ×Í Î ÉÓ u Î Ð Ï Õ ØÉÎ Ê Ù Ú É ÛÕÉ Ñ Karim Affif 2006 menjelaskan mengenai faktor-faktor yang dipersepsikan oleh masyarkat sebagai pendukung dan penghalang mereka untuk menggunakan jasa perbankan syariah. Hal ini terkait dengan PBC, karena dalam setiap pengukuran PBC dibutuhkan adanya faktor-faktor yang dipersepsi sebagai penghalang dan pendukung terhadap perwujudan dari perilaku. Berikut merupakan faktor yang dipersepsi menjadi pendukung dan penghambat masyarakat untuk menggunakan jasa perbankan syariah: 1. Faktor yang dipersepsi sebagai pendukung: a. Mendapatkan beberapa ketenangan b. Menyimpan uang dengan cara yang diarahkan oleh Islam c. Berpartisipasi dalam rencana baik untuk persaudaraan d. Keselamatan di dunia dan akhirat e. Keinginan untuk mendapatkan pahala 2. Faktor yang dipersepsi sebagai penghambat: a. Kurangnya informasi tentang produk bank syariah b. Tidak melihat manfaat praktis dari produk c. Ada hambatan mental untuk menjadi nasabah yang dipersepsi harus menyesuaikan dengan aturan syariah yg ketat d. Bank syariah belum terbukti dalam kinerja mereka e. Laba-rugi dan sistem bagi hasil dirasakan lebih rendah dari bunga di bank konvensional. f. Tidak mendukung kegiatan individu dan bisnis dalam mengelola keuangan. ÜÝÜÝÞ ß à á âã â u ä â t åä Selain faktor-faktor di atas, religiusitas juga berkaitan dengan tingkah laku individu dalam memilih jasa perbankan syariah. Penelitian yang dilakukan oleh Khan 2010 mengenai æ h e ç n flu en è e o f é ê lig io u s ëê lief o n ì ep o sito r ë eh íî io r in í ï ðñ erg in g òíó ô et, memberikan bukti bahwa keyakinan agama dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap pilihan individu dalam memilih jasa perbankan. Penelitian ini menemukan bahwa bank-bank Islam di Pakistan menikmati tingkat pertumbuhan deposito jauh lebih besar dari bank konvensional. Selain itu terdapat pula penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Devi 2006 dalam jurnalnya é el ig io sity And The Malay Muslim Investors In Malaysia: An Analysis On Some Aspects Of Ethical Investment Decision, juga memberikan kesimpulan bahwa tingkat religiusitas berpengaruh signifikan terhadap perilaku investasi investor Malaysia Muslim Melayu dalam berinvestasi secara syariah. Studi ini mengkaji pengaruh religiusitas terhadap perilaku investasi investor Muslim Melayu di Malaysia. Secara khusus, penelitian ini mengeksplorasi jenis investasi pilihan untuk investasi, tujuan dari investasi dan memanfaatkan sumber-sumber informasi dalam membuat investasi tersebut. Mengenai penjelasan kerangka berpikirnya dapat di lihat pada gambar 2.9: õö÷ø ö ù úûü ý þ ù ö ÿ õ ý ö ý þ ù ö þ ÷ ø ö ö ÿ ýþ ö ÿ ÿ ý ø þ ù Sumber: Muhammad Devi 2006 Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya oleh Zulhari 2005 diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara religiusitas dengan intensi menabung di bank syariah. Dengan kata lain, religiusitas juga dapat mempengaruhi individu untuk memunculkan suatu perilaku yang erat kaitannya dengan hal-hal yang menyangkut hukum Islam Syariah. úûúûû r t ù u t Religiusitas berasal dari kata religion agama. Harun Nasution dalam Rakhmat, 1997 merunut pengertian agama berdasarkan asal kata, yaitu - in , relig i rele , relig ere dan agama. Al-din semit berarti undang-undang atau hukum. Kemudian dalam bahasa Arab, kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan, kebiasaan. Sedangkan dari kata religi latin atau relegare berarti mengumpulkan dan membaca. Kemudian religare berarti mengikat. Adapun kata agama tediri dari a = tidak; gam = pergi mengandung arti tidak pergi, tetap di tempat atau diwarisi turun temurun. Culture Religion Islam Islamic Religiosity Highly Religious Least Religious Shariah Compliance Investment Shariah Non- Compliance Investment Menurut Harun Nasution, intisari agama yaitu ikatan. Agama mengandung makna ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan yang dimaksud berasal dari suatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia. Kekuatan gaib yang tak dapat ditangkap dengan pancaindera, namun mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari-hari Rakhmat, 1997. Agama merupakan sebuah sistem yang memiliki banyak dimensi. Glock Stark dalam Ancok, 2001 mendefinisikan agama adalah sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai dan sistem perilaku yang terlembagakan dan semuanya berpusat pada persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi u ltim e m e n g . Menurut Hunt dan Vitel yang dikutip oleh Sood dan Nasution 1995 dalam Muhammad Devi, 2006 agama telah diidentifikasi sebagai salah satu elemen penting dalam lingkungan budaya, serta dianggap mempengaruhi cara orang berperilaku Sadler, dalam Muhammad Devi, 2006. Lebih khusus lagi, salah satu elemen dasar yang lain dalam sebuah agama yaitu Tauhid atau Ke- Esaan Allah dan syariah atau hukum Islam. Agama Islam adalah Akhlaq atau moral dan nilai-nilai yang menyediakan kerangka kerja pembentuk perilaku moral dan etika umat Islam saat melakukan semua aspek kehidupan mereka Abd Halim; Saeed dkk, dalam Muhammad Devi, 2006. Selain itu, teramati bahwa Al-Quran sebagai sumber utama syariah Islam dengan jelas memberikan satu set stabil dan sempurna nilai-nilai yang tetap tidak berubah dalam semua keadaan, tidak seperti faktor budaya lain yang mungkin dipengaruhi oleh perubahan dalam lingkungan ekonomi dan politik Abdullah dan Siddique, dalam Muhammad Devi, 2006. Caird dalam Muhammad Devi 2006 mengusulkan tiga ukuran dari religiusitas, yaitu kognitif fokus pada sikap agama atau kepercayaan, perilaku mengevaluasi kehadiran diri untuk pergi ke gereja atau melakukan doa secara pribadi dan pengalaman pengalaman mistik. Mookherje, 1993 dalam Muhammad Devi, 2006 mendefinisikan religiusitas dalam hal umum atau partisipatif berdasarkan keanggotaan gereja dan frekuensi kehadiran di gereja dan perilaku agama yang dilakukan scara pribadi atau kebaktian berdasarkan frekuensi doa, membaca Alkitab dan skor kumulatif dalam intensitas beribadah. Fetzer 1999 juga mendefinisikan religiusitas adalah sesuatu yang menitikberatkan pada masalah perilaku, sosial dan merupakan sebuah doktrin dari setiap agama atau golongan. Karenanya doktrin yang dimiliki oleh setiap agama wajib diikuti oleh setiap pengikutnya. Menurut Fetzer 1999 terdapat 12 dimensi religiusitas, yaitu dimensi d ly sp irit exp erie es , yang memandang dampak agama dan spiritual dalam kehidupan sehari-hari, me n g yaitu sejauhmana seorang individu dapat mencari makna hidupnya melalui agama, v u e yaitu pengaruh kualitas iman terhadap nilai-nilai hidup, lief yang disebut keimanan, yakni kebenaran yang diyakini dengan hati dan diamalkan dengan perbuatan, fo rg iven ess yaitu suatu tindakan memaafkan dan bertujuan untuk memaafkan orang yang melakukan kesalahan, priv e relig io u s ti e yang merupakan perilaku beragama dalam mempelajari agama yang dianut meliputi, o p in g atau cara mengatasi stres seorang individu dengan menggunakan pola dan metode seperti dengan berdoa, relig io u s su p p o rt yaitu aspek hubungan sosial antara individu dengan pemeluk agama sesamanya, relig i +, - sp irit + . l histo ry yaitu seberapa jauh agama mempengaruhi perjalanan hidupnya, co m m itm en t yaitu seberapa jauh individu mementingkan agamanya, o 0.123 . 4 i 1.5 relig io u sn ess merupakan konsep yang mengukur seberapa jauh individu ikut serta dalam lembaga keagamaan yang ada di masyarakat dan beraktivitas di dalamnya dan relig io u s p refere 1 6 es yaitu melihat sejauh mana individu membuat pilihan dan memastikan pilihan agamanya. Dari definisi yang telah dijabarkan oleh para ahli di atas mengenai religiusitas, Peneliti menyimpulkan bahwa religiusitas adalah perwujudan seberapa jauh individu yang menganut agama tertentu merasakan pengalaman beragama sehari-hari d .2 ly sp irit + .5 exp erie 1 6 e , ekspresi keagamaan sebagai sebuah nilai v .5 u e , keyakinan 78 lief , memaafkan fo rg iven ess , melatih diri dalam beragama p riv . 4 e relig io u s 9 . 6 ti 6 e , penggunaan agama sebagai 6 o p in g relig i +, - sp irit + .5 6 o p in g , hubungan sosial yang baik antara individu dengan pemeluk agama relig io u s su p p o rt , ikut serta dalam lembaga keagamaan o rg a n i 3 . 4 i 1.5 reli g io u sn ees dan komitmen beragama co m m itm en t . :;:;;: = ?A B C D E u B t F B Fetzer 1999 dalam laporan penelitiannya yang berjudul G u ltid im en si 1.5 G e . , + 8 m en t o f H 8 lig io u sn ess, I 92 rit + .5 ity fo r Use in Health Research menjelaskan 12 dimensi religiusitas, antara lain: daily spiritual experiences, meaning, values, belief, forgiveness, private religious practices, religiousspiritual J o p in g , relig io u s su p p o rt , relig io KL M sp irit K NO h isto ry, co m m itm en t , o rg a n i P NQ i RSNO relig io u sn ess TNS relig io u s p refere S J e U a. V N W ly sp irit K NO exp erien J e s, merupakan dimensi yang memandang dampak agama dan spiritual dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, TN ily exp erien J es merupakan persepsi individu terhadap sesuatu yang berkaitan dengan transenden Tuhan, yang ilahi dalam kehidupan sehari-hari dan persepsi terhadap interaksinya pada kehidupan tersebut, sehingga d N W ly sp irit K NO exp erie S J e s lebih kepada pengalaman dibandingkan kognitif Underwood, dalam Fetzer 1999 b. X e NS W n g , merupakan konsep dalam religiusitas berkaitan dengan konsep m e NS W n g milik Viktor Frankl yang biasa disebut dengan istilah kebermaknaan hidup. X e NS W n g yang dimaksud disini berkaitan dengan religiusitas atau yang disebut relig io n -m ea n in g yaitu sejauhmana seorang individu dapat mencari makna hidupnya melalui agama yang dianut serta menjadi agama sebagai landasan tujuan hidupnya Pragament, dalam Fetzer 1999 c. Y NO u e , menurut Idler dalam Fetzer, 1999 merupakan pengaruh kualitas iman terhadap nilai-nilai hidup, seperti mengajarkan tentang nilai cinta, saling menolong, saling melindungi dan sebagainya. d. Konsep Z[ lief menurut Idler dalam Fetzer, 1999 merupakan konsep inti dari religiusitas. Dalam bahasa Indonesia Z[ lief disebut keimanan, yakni kebenaran yang diyakini dengan hati dan diamalkan dengan perbuatan. e. \ R ] W ve n ess , merupakan dimensi yang berwujud suatu tindakan memaafkan, bertujuan untuk memaafkan orang yang melakukan kesalahan dan berusaha keras untuk melihat orang itu dengan belas kasihan, kebajikan dan cinta. Dimensi fo rg iven ess mencakup empat dimensi turunan, yaitu pengakuan dosa, merasa diampuni oleh Tuhan, merasa dimaafkan oleh orang lain dan memaafkan diri sendiri. Idler dalam Fetzer, 1999 f. _` a v bc e relig io u s d` be ti e e , merupakan perilaku beragama dalam mempelajari agama yang dianut meliputi: ibadah, mempelajari kitab dan kegiatan-kegiatan lain untuk meningkatkan kualitas religiusitasnya Levin dalam Fetzer, 1999 g. fg lig i hij k l d a rit i b m n o p in g , merupakan co p in g stress atau cara mengatasi stres seorang individu dengan menggunakan pola dan metode seperti dengan berdoa, beribadah. Pragament dalam Fetzer, 1999 menjelaskan bahwa terdapat tiga jenis co p in g secara religius, yaitu: 1 o eferrin g style , yaitu menyerahkan e o p in g kepada Tuhan dengan cara berdoa dan meyakini bahwa Tuhan akan menolong hamba-Nya dan menyerahkan semuanya kepada Tuhan. 2 n o ll b p h ` bc ive style , yaitu individu meminta solusi kepada Tuhan dan antara Tuhan dengan hamba-Nya saling bertanggung jawab dalam menjalankan e o p in g . 3 l g lf -d irectin g style , yaitu individu bertanggung jawab sendiri dalam menjalankan co p in g . qr fg lig io u s li dd h ` c , yaitu aspek hubungan sosial antara individu dengan pemeluk agama sesamanya Krause dalam Fetzer, 1999 i. st lig i uvw x yz{ rit v|} History , yaitu seberapa jauh individu berpartisipasi untuk agamanya sepanjang rentang kehidupannya dan seberapa jauh agama mempengaruhi perjalanan hidupnya. j. Commitment, yaitu seberapa jauh individu mementingkan agamanya, komitmen, serta berkontribusi kepada agamanya Williams dalam Fetzer, 1999 k. Organizational religiousness, merupakan konsep yang mengukur seberapa jauh individu ikut serta dalam lembaga keagamaan yang ada di masyarakat dan beraktivitas di dalamnya Idler, dalam Fetzer 1999 l. Religious preferences, yaitu melihat sejauh mana individu membuat pilihan dan memastikan pilihan agamanya Ellison dalam Fetzer, 1999. Perlu diketahui, Peneliti tidak memasukkan dimensi preferences dan history dalam penelitian ini. Hal ini disebabkan karena cara pengukuran dimensi preferences dan history sulit untuk diinterpretasikan. Dimana dimensi preference berisi mengenai pertanyaan: Saat ini, agama apa yang menjadi pilihan anda? , dikarenakan dalam peneltian religiusitas Fetzer 1999 mencakup keseluruhan agama yang ada di dunia, sedangkan dalam peneltian ini, Peneliti hanya menggunakan sampel yang beragama Islam saja, karena itu tidak diperlukan lagi pertanyaan mengenai agama apa yang dianut oleh sampel. Kemudian item dari history, pertanyaan yang tersedia: Apakah anda pernah merasakan penurunanpeningkatan kualitas iman yang signifikan? , jika iya, pada usia berapa anda merasakannya? . Hal ini yang membuat Peneliti tidak mengadaptasi item h isto ry dikarenakan tingkat analisa datanya pun akan sulit dan kurang cocok untuk penelitian S1. ~~€  ‚ƒ „… †‡ ˆ‰†ƒ Fakta fundamental mengenai perilaku menabung bahwa menabung sangat bergantung pada penghasilan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Keyness 2005 memberikan rumusan total i Š‹ o m e atau penghasilan adalah jumlah dari konsumsi dan tabungan, atau diformulasikan: Y = C + S. Dimana Y merupakan simbol dari total penghasilan, C merupakan simbol dari konsumsi dan S merupakan simbol dari tabungan. Jika rumusan itu diubah untuk mendapatkan pengertian Œ  vin g atau tabungan, maka formulasinya akan menjadi S = Y C. Seseorang dengan penghasilan Rp5.000.000 per bulan dan pengeluaran yang digunakan untuk konsumsi tiap bulan yaitu Rp4.000.000 maka asumsinya sisa uang yang ada yaitu Rp1.000.000 akan menjadi tabungannya. Collins 1991 dalam penelitiannya berjudul Ž   in g ‘’   io r in 10 development countries, menunjukkan bahwa meningkatnya standar hidup merupakan alasan mengapa jumlah tabungan meningkat. Penghasilan rill di beberapa negara telah meningkat secara dramatis, salah satunya yaitu Korea. Seseorang dengan usia yang lebih tua cenderung mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi, sehingga mempengaruhi perilaku mereka dalam menabung. Cronqvist and Siegel 2010 dalam penelitiannya berjudul The origins of saving behavior, juga menemukan fakta bahwa perilaku menabung berkorelasi dengan beberapa variabel salah satunya yaitu i “” o m e g ro w th pertumbuhan penghasilan. Lee dkk 2000 dalam jurnalnya • h e –— fe ” t o f ˜™š ily Life Cycle and Financial Management Practices on Household Saving Patterns, juga memberikan sebuah kesimpulan bahwa penghasilan rendah, level pendidikan yang lebih rendah menurunkan kemungkinan untuk menabung. ›œ›œ ž Ÿ ¡ ¢¡ ¢ £ ¤ Solmon 1975 dalam risetnya yang berjudul The Relation between Schooling and Savings Behavior: An Example of the Indirect Effects of Education juga mencoba menemukan hubungan antara pendidikan dan perilaku menabung. Dapat disimpulkan bahwa pendidikan memberi dampak yang signifikan terhadap penghematan bagi individu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata dan kecenderungan untuk menabung akan naik pada individu yang memiliki pencapaian sekolah yang lebih tinggi. Hal ini diduga disebabkan karena pencapaian pendidikan yang lebih tinggi, membuat seseorang lebih memiliki pengetahuan mengenai keuangan, selain itu juga memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan penghasilan dan kekayaan seseorang. ›œ›œ¥ ¦ § ¢¤ Lopez 1995 dalam penelitiannya yang berjudul The influence of age on household savings behaviours and motives: Evidence from Spain, menemukan adanya pengaruh dari usia terhadap perilaku menabung. Lopez 1995 menemukan hasil bahwa usia merupakan variabel sosio-demografis yang paling berpengaruh terhadap perilaku menabung. Usia merupakan variabel sosio- demografis yang memungkinkan untuk membedakan secara jelas sikap dan perilaku seseorang, karena usia membentuk aktivitas komersial seseorang. Beberapa pertimbangan penting tersembunyi dibalik usia, terutama variabel sosio- demografis yang memiliki kaitan erat dengan usia seperti kelas sosial, tingkat pendidikan, peran keluarga dan status sipil. Kedua, usia menunjukkan serangkaian kewajiban dan kapasitas ekonomi pada keluarga. Usia mengungkapkan evolusi perilaku baru dan sikap. Kapasitas yang menjelaskan dan membedakan antara sikap, usia dan perilaku tertentu pada dasarnya tercermin dalam motif menabung. Usia tengah baya dan pemuda antara 14 dan 45 tahun menabung secara fundamental untuk motif jangka pendek seperti motif untuk mandiri. Di sisi lain, motif jangka panjang, motif untuk warisan dan motif menabung untuk jangka panjang, lebih lazim terdapat pada orang usia di atas 46 tahun. Individu yang memiliki usia lebih dari 46 tahun digambarkan sebagai memiliki sikap yang lebih konservatif awet sedangkan pemuda dan setengah baya sekarang sikap kurang konservatif. Collins 1991 juga memberikan fakta bahwa pada tahun 1975, tabungan cukup terkonsentrasi di antara masyarakat dengan usia 25-40 tahun. Masyarakat yang berusia 50-54 cenderung lebih sedikit dalam menabung. Temuan lain dari Yorulmaz 2010 dalam peneliatiannya, ¨ h e rel ©ª io n «¬ tw een © ­ e st ® ¯° tu re ©± d ² © ³ in g ® ©ª e o f tu rkey: 1968 -2006 memberi fakta bahwa perilaku menabung dengan struktur usia tertentu juga berpengaruh pada tingkat tabungan. Seseorang di usia 0-14 tahun memiliki kecenderungan menabung pada taraf sedang, lalu meningkat pada usia 15-64 tahun dan cenderung turun di usia 65 tahun ke atas. ´µ¶ · ¸¹ º » ¼¸½¾ ¸ ¿ ´µ¶µÀ Á  ¹ à  r t ¾¸¹ · ¸¹ º » ¼¸½¾¸¿ Pengertian umum bank syariah adalah bank yang beroperasi dengan prinsip syariah Islam. Atau jika diperinci lagi, bank syariah adalah lembaga intermediasi keuangan yang memobilisasi dana simpanan masyarakat dengan basis akad yang sesuai syariah dan menyalurkan dana kepada para wiraswastawan dan pengusaha dengan basis akad sesuai dengan syariah pula. Bank berdasarkan prinsip syariah meninggalkan praktek-praktek riba seperti sistem bunga dan hanya menjalankan usaha yang halal saja. Berdirinya bank syariah selain dilatarbelakangi oleh keinginan untuk mengikuti perintah agama, juga didasari kesadaran akan dampak destruktif bunga. Bunga dianggap sebagai penyebab kacaunya perekonomian di banyak negara berkembang saat ini. Sistem perbankan konvensional sebagai organisasi finansial modern, diakui secara luas telah gagal membuat dunia lebih baik Irsyad, 2007 ´µ¶µ´ Ä u ¹ à Š¾ · ¸¹ º » ¼¸½¾ ¸¿ Bank Syariah memiliki fungsi sebagai: 1. Manajer investasi Bank syariah dapat mengelola investasi atas dana nasabah dengan menggunakan akad Mudharabah atau sebagai agen investasi. 2. Investor Bank syariah dapat menginvestasikan dana yang dimilikinya maupun dana nasabah yang dipercayakan kepadanya dengan menggunakan alat investasi yang sesuai dengan syariah. Keuntungan yang diperoleh dibagi secara proporsional sesuai nisbah yang disepakati antara bank dan pemilik dana. 3. Penyedia jasa keuangan dan lalu lintas pembayaran Bank syariah dapat melakukan kegiatan jasa-jasa layanan perbankan seperti non-syariah sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. 4. Pengemban fungsi sosial Bank syariah dapat memberikan pelayanan sosial dalam bentuk pengelolaan dana zakat, infaq, shadaqah serta pinjaman kebajikan ÆÇÈ d h u l ÉÇÊ Ç Ë sesuai ketentuan yang berlaku. Berdasarkan prinsip, maka secara operasional terdapat perbedaan perbedaan yang substantif antara perbankan syariah dengan perbankan konvensional. Di bawah ini merupakan tabel perbandingan antara bank syariah dan bank konvensional: ÌÍ ÎÏÐ ÑÒÓ Ô Ï Õ ÎÍ Ö ×Ø Ö Ù Í Ö Í Ö ÌÍ Õ Í Î Í Ö Ú Û Ü Í ÕØ Í Ý × Í Ö ÚÞÖ ß Ï Ö Û Ø Þ Ö Í Ð Perbandingan Bank Syariah Bank Konvensional Akad Aspek Legalitas Hukum Islam Hukum Positif Hukum Positif Lembaga Penyelesaian Sengketa BASYARNAS BANI Struktur Organisasi Ada Dewan Syariah Nasional DSN Dewan Pengawas Syariah DPS Tidak ada DNS DPS Investasi Halal Halal dan Haram Prinsip operasional Bagi hasil, Jual-beli, sewa Perangkat bunga Tujuan Profit Falah Oriented Profit Oriented Hubungan Nasabah Kemitraan Debitor Kreditor Sumber: Widiyaningsih, 2005 Tabel di atas menjelaskan yang pertama yaitu akad dari perbankan syariah berlandaskan hukum Islam, sedangkan bank konvensioanal bedasarkan hukum- hukum yang berlaku di Negara tersebut. Ke dua, lembaga penyelesaian sengketa dari bank syariah yaitu BASYARNAS Badan Arbitrase Syariah Nasional, sedangkan pada bank konvensional yaitu BANI Badan Arbitrase Nasional Indonesia. Ke tiga, bank syariah memiliki Dewan Syariah Nasional DNS dan Dewan Pengawas Syariah DPS, sedangkan bank konvensional tidak memiliki keduanya. Ke empat, investasi yang diperbolehkan dalam usaha syariah hanya yang bersifat halal saja, sedangkan dalam bank konvensional tidak memiliki kaidah tersebut dimana investasi yang bersifat haram tidak menjadi larangan. Ke lima, bank syariah memiliki prinsip operasional seperti bagi hasil, jual-beli dan sewa atau diberi istilah m o n ey fo r g o o d s àáâ servi ã es , dimana uang untuk membeli sesuatu, sedangkan di bank konvensional yang diperjual belikan yaitu uang itu sendiri atau diberi istilah m o n ey fo r m o n ey ä Ke tujuh, tujuan bank syariah, yaitu pro fit dan f åæ å ç orien ted , artinya bank syariah tidak semata-mata mencari keuntungan tetapi juga berusaha meraih kemenangan baik di dunia maupun di akhirat. Kemenangan di dunia artinya keberhasilan menunjukkan bahwa bank syariah merupakan sistem perbankan yang terbaik, sedangkan kemenangan di akhirat berupa pahala dan kebaikan di sisi Allah SWT, sedangkan bank konvensional hanya bertujuan untuk mendapatkan profit sebesar-besarnya. Ke delapan, dalam sistem perbankan konvensional, konsep yang diterapkan yaitu hubungan debitur dan kreditur. Seorang debitur harus dan wajib mengembalikan pokok pinjaman dan bunganya, tidak peduli apakah debitur mendapatkan untung atau rugi. Berbeda dengan konsep yang diterapkan bank syariah dimana hubungan yang terjadi yaitu antar investor yang harmonis, sehingga adanya saling kerjasama dan kepercayaan karena dalam perbankan syariah menerapkan nilai Ilahiyah sebagai pengendali yang bersifat transendental dan nilai keadilan, persaudaraan serta kepedulian Widiyaningsih, 2005. Perbedaan selanjutnya yang perlu diketahui menyangkut bahasan mengenai perbankan syariah yaitu tentang perbedaan antara bagi hasil dan bunga bank. Secara umum, bagi hasil dan bunga memiliki perbedaan yang jelas. Yang pertama, bunga memiliki asumsi harus selalu untung, sedangkan penetuan besarnya rasio bagi hasil dibuat pada waktu akad berpedoman pada kemungkinan untung rugi. Ke dua, besarnya prosentase pada bunga bank konvensioanal bergantung pada jumlah uang yang dipinjamkan, sedangkan pada sistem bagi hasil yaitu berdasarkan jumlah keuntungan yang diperoleh. Ke tiga, pembayaran bunga selalu tetap, tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi, sedangkan bagi hasil bergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan, apabila rugi akan ditanggung bersama oleh kedua pihak yaitu pihak nasabah dan bank. Ke empat, jumlah pembayaran pada bunga yaitu tetap, tidak meningkat walau jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang booming , sedangkan pada bagi hasil, jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan. Ke lima, bunga bank keberadaanya juga diragukan oleh semua agama termasuk agama-agama non- Islam, sedangkan keberadaan bagi hasil tidak ada yang meragukan keabsahannya. Ringkasan perbedaan bunga bank dan bagi hasil dapat dilihat pada tabel 2.2: èé êëì íîí ï ë ðêë ñ é é ò ê ó ò ô é ñ é ò ê é ô õ öé ÷ õ ì Perbandingan Bagi hasil Bunga Penentuan keuntungan Pada waktu akad dengan pedoman kemungkinan untung rugi Pada waktu perjanjian dengan asumsi harus selalu untung Besarnya prosentase Berdasarkan jumlah keuntungan yang diperoleh Berdasarkan jumlah uang modal yang dipinjamkan Pembayaran Bergantung pada keuntungan proyek bila rugi ditanggung bersama Seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan untung atau rugi Jumlah pembayaran Sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan Tetap, tidak meningkat walau keuntungan berlipat Eksistensi Tidak ada yang meragukan keabsahannya Diragukan oleh semua agama Sumber: Widiyaningsih, 2005 øùú ûü r ýþ ÿ ý ü r p r Banyak tokoh psikologi maupun psikologi ekonomi yang mengaitkan antara intensi dengan perilaku tertentu, salah satunya yaitu perilaku menabung. Ajzen telah mengembangkan th eo ry o f p l d io r menjadi lebih mendetail dengan menambahkan kg ro u n d f to r Intensi menabung pun bukanlah suatu variabel yang datang dengan sendirinya, banyak faktor psikologis maupun demografis yang belum disadari berpengaruh terhadap munculnya hal tersebut. Diantara faktor tersebut telah terdapat dalam kg ro u n d f to r yang dikemukakan oleh Ajzen. Dari beberapa faktor yang ada Peneliti hanya mengambil beberapa faktor saja karena disesuaikan dengan kemampuan dan waktu yang dimiliki untuk melakukan penelitian ini. Berikut ini merupakan skema background faktor pada teori p l d io r : BACKGROUND THEORY OF PLANNED BEHAVIOR Kemudian dari beberapa faktor yang ada, diambil beberapa faktor yang dianggap berpengaruh terhadap intensi menabung di bank syariah, yaitu sikap, norma subyektif, p er eived h io r o n tro l , religiusitas, penghasilan, pendidikan, usia. Dari keseluruhan variabel, Peneliti asumsikan memiliki pengaruh terhadap intensi menabung di bank syariah dan berikut ini merupakan gambar rangkumannya: Keseluruhan variabel yang terdiri dari variabel psikologis dan variabel demografis di atas Peneliti asumsikan berpengaruh terhadap intensi menabung di bank syariah. Sikap yang individu miliki tentang bank syariah, norma subyektif yang individu miliki tentang bank syariah, p e + , eived -.01 io r , o n tro l terhadap perilaku menabung di bank syariah, tingkat religiusitas yang dimiliki individu, Norma Subyektif Perceived Behavior Control Religiusitas Penghasilan Pendidikan Usia Intensi Menabung Sikap penghasilan, pendidikan dan usia seseorang. Variabel-varibel di atas kemudian mempengaruhi intensi seseorang untuk menabung di bank syariah dan di kemudian hari menghasilkan suatu perilaku, yaitu perilaku menabung di bank syariah. Intensi menabung di bank syariah sangat mungkin dpengaruhi oleh variabel psikologis maupun demografis lain, dengan kata lain tidak hanya variabel sikap, norma subyektif, PBC, religiusitas, penghasilan, pendidikan dan usia saja yang berkemungkinan mempengaruhi secara langsung. Jika variabel lain diteliti, besar kemungkinan hasil penelitian akan lebih baik. Namun konsekuensi jika variabel lain juga diikut sertakan dalam penelitian ini yaitu dari segi pengujian dan analisis data akan menjadi lebih rumit dan memakan waktu cukup lama, sehingga kurang cocok bagi penelitian skripsi mahasiswa S1. 234 5 6 p 789: 6 s ; 9 9 = 6 t 6 Karena penelitian ini diuji dengan analisis statistik, maka hipotesis yang akan diuji yaitu hipotesis nihil yang terdiri dari hipotesis mayor dan minor, yaitu: 5 6 p 789 : 6 s ? 7 AB Tidak ada pengaruh sikap, norma subyektif, p e C D eived EFGH vio r D o n tro l , religiusitas, penghasilan, pendidikan dan usia terhadap intensi menabung di bank syariah pada masyarakat. 5 6 p 789 : 6 s ? 6 7 A B H0 1 : Tidak ada pengaruh sikap terhadap intensi menabung di bank syariah pada masyarakat Tangerang Selatan. H0 2 : Tidak ada pengaruh norma subjektif terhadap intensi menabung di bank syariah pada masyarakat Tangerang Selatan. H0 3 : Tidak ada pengaruh p er D eived E e GHI io r D o n tro l terhadap intensi menabung di bank syariah pada masyarakat Tangerang Selatan. H0 4 : Tidak ada pengaruh religiusitas terhadap intensi menabung di bank syariah pada masyarakat Tangerang Selatan. H0 5 : Tidak ada pengaruh penghasilan terhadap intensi menabung di bank syariah pada masyarakat Tangerang Selatan. H0 6 : Tidak ada pengaruh pendidikan terhadap intensi menabung di bank syariah pada masyarakat Tangerang Selatan. H0 7 : Tidak ada pengaruh usia terhadap intensi menabung di bank syariah pada masyarakat Tangerang Selatan. JKJ L MNOP Q N RNS N T U OU K S Pada bab ini akan dibahas tentang populasi dan sampel, serta teknik pengambilan sampel. Kemudian akan dibahas variabel penelitian, definisi operasional dari variabel penelitian, instrumen pengumpulan data, pengujian validitas alat ukur, prosedur pengumpulan data dan metode analisis data yang digunakan untuk menemukan jawaban atas hipotesis penelitian. L VW R XY u Z[\ ] [ _ ` [ a p bZ Populasi pada penelitian ini yaitu penduduk Tangerang Selatan kecamatan Ciputat, Pamulang dan Serpong dimana sampel tersebut telah memiliki penghasilan, telah memiliki rekening di bank konvensional. Peneliti mengambil sampel yang berstatus telah menabung pada bank konvensional, karena dalam penelitian ini intensi yang dimaksud adalah niat seseorang untuk menabung di bank syariah dan belum berbentuk sebuah perilaku menabung di bank syariah. Sampel dalam penelitian ini berstatus pendidikan minimal SMA, dengan rentang usia antara 18-58 tahun. Pengambilan sampel dilakukan secara n o n -p ro b a b ility sa m p in g , karena Peneliti tidak memiliki daftar penduduk yang memenuhi kriteria tersebut. c o n -p ro b a b ilty sa m p lin g artinya adalah tidak diketahui berapa besarnya peluang yang akan menjadi sampel dalam penelitian ini. Jumlah sampel yang diambil yaitu sebanyak 200 orang. def ghij h k lm n l o lm j t j ho Sebagaimana yang telah disebutkan dalam bab sebelumnya variabel yang diteliti dalam penelitian ini yaitu: 1. Intensi menabung 2. Sikap 3. Norma subyektif 4. pq r s eived t q uv vio r s o n tro l 5. Religiusitas 6. Penghasilan 7. Pendidikan 8. Usia Adapun yang dijadikan sebagai d ep en d en t v vr w vtx e DV yaitu intensi menabung. Sikap, norma subyektif, p e r s eived t q uv y io r s o n tro l, religiusitas, penghasilan, pendidikan dan usia merupakan in d ep en d en t va rib le IV. z{|{} ~€ ‚  ƒ  „ p  r …ƒ  †‚ … ‡ Dari definisi konseptual yang telah dijelaskan dalam BAB 2, kemudian Peneliti menentukan definisi operasional yang akan digunakan dalam penelitian ini. }{ ˆ ‚ t ‚ ƒ  ‰ ‚ … Š u ‚ ‹ Intensi menabung adalah skor yang diperoleh dari besarnya peluang seseorang untuk menabung di bank syariah. |{ Œ   … Ž Sikap adalah skor yang diperoleh dari sampel tentang perasaan positif atau negatif terhadap bank syariah yang dilihat dari dimensi afektif, kognitif dan konatif yang dimiliki seseorang. z{ † ‘ … Œ u Š ’  t  € Norma subyektif adalah skor yang diperoleh dari hasil perkalian penjumlahan pada skala n o rm “” ive •– lief dengan skala m o tiv “” io n to comply tentang kebanyakan orang-orang yang penting bagi sampel berpikir apakah ia seharusnya atau tidak seharusnya menabung di bank syariah. — { Perceived Behavior Control ˜ – ™ š eived •– › “ vio r š o n tro l adalah skor yang diperoleh dari hasil perkalian penjumlahan pada skala š o n tro l •– lief dengan skala p o w er • elief tentang adanya faktor yang bisa memfasilitasi atau menghambat untuk menabung di bank syariah. œ žŸ ¡ ¢ ¡ u £ ¡ t ¤£ Religiusitas adalah skor yang diperoleh dari skala religiusitas yang mencakup 10 dimensi, yaitu merasakan pengalaman beragama sehari-hari ¥¦§ ly sp irit ¨ ¦ © exp erien ª e « mencari makna hidup melalui agama m e ¦ ¬ § n g « pengaruh kualitas iman terhadap nilai-nilai hidup va lu e « keyakinan ­® lief « memaafkan fo rg iven ess « melatih diri dalam agama p riv ¦ ¯ e relig io u s °± ¦ª ti ª e « penggunaan agama sebagai ª o p in g relig i ²¨³ ´ sp irit ¨ ¦ © ª o p in g « hubungan sosial antar individu dengan agama yang sama relig io u s su p p o rt « komitmen beragama co m m i tm en t dan organisasi keagamaan o rg a n i µ ¦ ¯ i ²¬ ¦ © relig io u sn ess ¶ ·  ¸ Ÿ ¹ ¢ º ¤£ ¡ ¤ ¹ Penghasilan adalah jumlah uang yang diterima oleh sampel perbulan dari aktivitasnya, berupa menjual produk danatau jasa kepada pelanggan atau perusahaan sampai pada saat pengumpulan data penelitian. » ¸ Ÿ ¹ ¼ ¡¼ ¡½ ¤ ¹ Pendidikan adalah jenjang pendidikan terakhir yang telah dimiliki oleh sampel sampai pada saat pengumpulan data penelitian. ¾¿ ÀÁ Âà Usia adalah banyaknya jumlah tahun dari usia sampel yang dihitung mulai dari tahun lahir sampel sampai pada saat pengumpulan data penelitian. Ä ¿ Å ¿ Å Æ Ç str u È ÉÇ ÊÉÇ ËÌ È p u Í Ã Ç Î Ã Ï Ã Instrumen pengumpulan data yang digunakan berupa kusioner yang berbentuk skala likert. Kuesioner adalah salah satu jenis alat pengumpul data berupa sejumlah daftar yang berisi suatu rangkaian pertanyaan atau pernyataan mengenai suatu bidang untuk memperoleh data berupa jawaban-jawaban dari para responden dalam suatu penelitian. Instrument pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri dari lima alat ukur. Adapun lima alat ukur tersebut yaitu: Ð ¿ ÑÍ Ã Ï À Ò u r Æ Ç t ÉÇ Á Â Ó É Ç Ã Ô u Ç Ë Alat ukur intensi menabung merupakan sebuah skala yang mengukur intensi menabung seseorang terhadap bank syariah. Intensi menabung diukur dengan memberikan 3 pernyataan yang diadaptasi berdasarkan penelitian Grodon dan Mykytyn 2002. Ketiga pernyataan tersebut berisi tentang seberapa besar kemungkinan responden untuk menabung di bank syariah, seberapa besar responden berencana untuk menabung di bank syariah dan seberapa kuat responden berkomitmen untuk menabung di bank syariah dalam jangka waktu 1 tahun. Skala intensi menabung ini memiliki rentangan dari sangat tidak setuju skala 1 sampai sangat setuju skala 4. ÕÖ× ØÙ ÚÛÜ BLUEPRINT Ý ÞÖÙÖ ß à ÕØà Ý ß No. Indikator Item nomor Jumlah 1. Kemungkinan untuk menabung 1 1 2. Berencana untuk menabung 2 1 3. Berkomitmen untuk menabung 3 1 TOTAL 3 á Û Öâãä åæ u r Ý çæ ãè Alat ukur sikap ini dikembangkan oleh Peneliti dari dimensi sikap yang disebutkan dalam Engel 1995 dimana sikap dilihat dari tiga aspek; afektif, kognitif dan konatif. Ketiga aspek tersebut menjadi konstruk yang kemudian diturunkan ke dalam 15 item pernyataan. Peneliti tidak menggunakan cara pengukuran sikap yang dianjurkan oleh Fishbein dan Ajzen 1975, dikarenakan saat proses elisitasi é elief sikap yang muncul sangat mirip dengan éê lief PBC, hal ini diduga dapat mengurangi nilai prediktif IV terhadap DV. Alat ukur sikap secara keseluruhan mengukur ketiga aspek yang telah disebutkan tadi. Subyek diminta untuk memilih salah satu dari 4 skala yang menunjukkan derajat kesesuain antara pernyataan dengan diri subyek dari sangat setuju skala 4 sampai sangat tidak setuju skala 1. ë ìíî ï ðñò BLUEPRINT ó ô ìï ì ó õ ô ì ö No. Dimensi Item nomor Jumlah 1. Afektif 1, 2,3,10,13,14 6 2. Kognitif 4,5,6,7,8, 9 6 3. Konatif 11,12,15 3 TOTAL 15 ô ÷ t ÷ r øù ú øù û ë øù ü ø ý menandakan item unfavorable 3. Alat Ukur Norma Subyektif Alat ukur dari norma subyektif adalah sebuah skala yang mengukur sig n ifi þÿ o th ers dari responden yang dianggap mempengaruhi terbentuknya sebuah perilaku menabung di bank syariah. Skala ini terdiri dari 9 item pernyataan, yang memiliki rentangan dari sangat tidak perlu skala 1 sampai sangat perlu skala 4. Alat ukur ini merupakan pengembangan item yang mencontoh dari item baku pengukuran in ten tio n to u se d im in ish in g ÿ rtn ersh ip h o m e fi ÿ þ in g yang diberikan oleh Taib dkk 2008. TABEL 3.3 BLUEPRINT SKALA NORMA SUBYEKTIF No. Dimensi Item nomor Jumlah 1. Normative belief 1, 2,3,4,5,6,7,8,9 9 2. Motivation to comply 1, 2,3,4,5,6,7,8,9 9 TOTAL 18 u r Perceived Behavior Control Alat ukur dari eived io r o n tro l adalah sebuah skala yang mengukur persepsi mengenai adanya faktor yang mendorong atau menghambat terbentuknya sebuah perilaku menabung di bank syariah. Skala ini terdiri dari 24 item pernyataan, yang memiliki rentangan dari sangat tidak mungkin skala 1 sampai sangat mungkin skala 4. Berdasarakan studi literatur dari Karim dan Affif 2005 tentang sl i in g o n su m er h io u r in n d o n esi , didapatkan beberapa faktor yang dipersepsi sebagai faktor penghambat dan faktor pendukung masyarakat untuk menabung di bank syariah. Faktor ini kemudian yang dikembangkan sebagai item-item dari PBC. BLUEPRINT PERCEIVED BEHAVIOR CONTROL No. Dimensi Item nomor Jumlah 1. Control belief Pendukung 1, 2,3,4,5,6 6 2. Power belief Pendukung 1,2,3,4,5,6 6 3. Control belief Penghambat 1,2,3,4,5,6 6 4. Power belief Penghambat 1,2,3,4,5,6 6 TOTAL 24 u t Dalam penelitian ini, skala religiusitas diadopsi dan diadaptasi dari ef u ltid im en si e u re o f + elig io u sn e , -. rit ity berdasarkan teori multidimensional religiusitas oleh Fetzer 1999. Dengan 10 dimensi yaitu 012 ly sp irit 3 1 4 exp erie 56 e , m ea n in g , va lu e , b elief , fo rg iven ess , relig iu s su p p o rt , p riva te relig io u s 78 1 6 ti 6 e , relig io u s 9 sp irit 3 1 4 6 o p in g , co m m itm en t d a n o rg a n i : 1; i 5 1 4 = ?A B CDE BLUEPRINT F G ?B ? H A B I J I KF I ? F No. Indikator Item nomor Jumlah 1. Daily spiritual experience 1, 2,3,4,5,6 6 2. Meaning 7,8,9,10 4 3. Value 37,38 2 4. Belief 11,12 2 5. Forgiveness 13,14,15 3 6. Private religious practice 16,17,18,19, 20, 21 6 7. Religiousspiritual coping 22, 23, 24 3 8. Religious Support 25,26,27,28 4 9. Commitment 32,33,34 3 10. Organizational 35,36 2 TOTAL 35 G L t L r MN O MN P MN Q M R menandakan item unfavorable 6. Penghasilan, Pendidikan dan Usia Untuk variabel penghasilan, pendidikan dan usia, data akan diperoleh dari pengisian data diri responden yang tercantum saat pengisian angket.

3.3. Pengujian Validitas Alat Ukur