KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Pelaksanaan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Memutus Hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (studi kasus Pilkada Kabupaten Dairi)

BAB III KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI

DALAM MEMUTUS PERSELISIHAN HASIL PILKADA A. Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia Menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 24 Tahun 2003 tentang ketentuan umum mengatur bahwa yang dimaksud dengan Mahkamah Konstitusi adalah ”salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Sedangkan, kedudukan Mahkamah Konstitusi diatur dalam Pasal 2 UU No. 24 Tahun 2003 yang berbunyi ”Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Mengenai bagaimana sejarah pembentukan Mahkamah Konstitusi serta tugas dan kewenangannya sebagai bagian dari dari kekuasaan kehakiman akan dihahas sebagai berikut: 1. Sejarah Pembentukan Mahkamah Konstitusi UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar, ditegaskan pula bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan prinsip ketatanegaraan tersebut maka salah satu substansi penting perubahan UUD NRI Tahun 1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga Universitas Sumatera Utara konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi. 85 Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi yang tersendiri diluar Mahkamah Agung dan sederajat Mahkamah Agung merupakan hal yang relatif baru di Indonesia. Meskipun demikian, ide pengujian undang-undang sebagai mekanisme peradilan konsitusional constitutional adjucation untuk membanding, menilai, atau menguji hasil kerja mekanisme demokrasi politik sudah sejak sebelum kemerdekaan diperdebatkan oleh ”the founding leaders” dalam sidang-sidang BPUPKI, ketika naskah UUD 1945 pertama kali disusun. 86 Muhammad Yamin adalah yang pertama kali mengusulkan agar kepada Mahkamah Agung, yang awalnya disebut Balai Agung, diberi kewenangan untuk membandingkan undang-undang, demikian istilah yang dipakai oleh beliau ketika itu. Kegiatan membandingkan undang-undang itu menurut Muhammad Yamin dapat dilakukan dengan cara membandingkan setiap produk undang-undang dengan tiga sistem norma yaitu: undang-undang dasar, hukum syariat islam, hukum adat. 87 Usul Muhammad Yamin itu tidak diterima oleh rapat BPUPKI dan Soepomo menyampaikan keberatannya dengan dua alasan. Pertama, UUD 1945 dibangun menurut prinsip-prinsip yang tidak didasarkan atas teori trias politica 85 Penjelasan Atas UU No.24 Tahun 2003 bagian umum 86 Jimly Asshiddiqie, op.cit h.581 87 Ibid h.582 Universitas Sumatera Utara montesquieu; kedua, jumlah sarjana hukum masa awal kemerdekaan belum cukup untuk menjalankan tugas membandingkan undang-undang seperti yang dimaksud Muhammad Yamin. Lagipula menurut soepomo untuk memberikan kewenangan membanding undang-undang kepada Balai Agung, masih diperlukan studi yang mendalam mengenai berbagai Verfassungsgerichtshof atau Mahkamah Konstitusi seperti di Austria, Cekoslovakia, dan Jerman tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat. Dengan demikian ide pengujian konstitusionalitas undang-undang atau yang disebut Muhammad Yamin dengan istilah membandingkan undang-undang sudah didiskusikan sejak penyusunan UUD 1945 dalam sidang-sidang BPUPKI pada Tahun 1945, hanya saja pada waktu itu masih dikaitkan dengan kewenangan Mahkamah Agung, bukan dengan lembaga yang berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung. Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H: 88 Setelah Indonesia merdeka dan undang-undang dasar negara terus mengalami pergantian dan perubahan, ide pengujian undang-undang itu juga terus bergulir dari waktu ke waktu. Namun, karena UUD 1945 yang kembali diberlakukan sejak 5 Juli 1959, memang tidak mengadopsi ide semacam itu, maka ide pengujian undang-undang tidak perhan berhasil diwujudkan. Barulah setelah Pengujian terhadap undang-undang dianggap tabu untuk diterapkan, karena hakim tidak boleh menilai dan menguji undang-undang produk legislatif, hakim tugasnya adalah menerapkan undang-undang bukan menilai undang- undang. Menarik untuk membedah pandangan ini karena dalam sistem Hukum Belanda ada doktrin bahwa undang-undang memang tidak dapat digangu gugat. Atas dasar itulah, maka Soepomo tidak menerima ide untuk menguji undang-undang oleh Mahkamah Agung. 88 Jimly Asshiddiqie, Setahun Mahkamah Konstitusi: Refleksi Gagasan dan Penyelenggaraan, Serta Setangkup Harapan dalam Menjaga Denyut Konstitusi Refleksi Satu Tahun Mahkamh Konstitusi , Konstitusi Press, Jakarta, 2004, h.5 Universitas Sumatera Utara UUD 1945 diubah mulai tahun 1999, tahun 2000, dan terutama sejak tahun 2001 dan 2002, ide pengujian konstitusionalitas undang-undang itu diadopsi dalam norma undang-undang dasar dan bahkan kelembagaannya dibentuk secara tersendiri dengan nama Mahkamah Konstitusi yang berada di luar dan sederajat dengan Mahkamah Agung, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi ini diadopsi pada tahun 2001 yaitu pada perubahan ketiga UUD 1945 dan ditegaskan lagi dalam perubahan keempat pada tahun 2002. 89 Gagasan pembentukan Mahkamah Konsitusi merupakan dorongan dalam penyeleggaraan kekuasaan ketatanegaraan yang lebih baik. Paling tidak ada empat hal yang melatar belakangi pembentukan Mahkamah Konstitusi yaitu: 90 Sedangkan, latar belakang perintisan dan pembentukan Mahkamah Konstitusi tadalah : Sebagai implikasi dari paham konstitusionalisme. Mekanisme check and balances. Penyelenggaraan negara yang bersih Prinsip demokrasi dan perlindungan terhadap hak asasi manusia 91 a. Bertambahnya jumlah lembaga negara dan bertambahnya ketentuan sebagai akibat Perubahan UUD 1945, menyebabkanpotensi sengketa antarlembaga negara menjadi semakinbanyak. Sementara itu telah terjadi perubahan paradigma darisupremasi MPR kepada supremasi konstitusi, sehingga tidak ada lagi lembaga tertinggi negara pemegang supremasi kekuasaan yang berwenang menyelesaikan sengketa antarlembaga negara. Oleh karena itu, diperlukan lembaga yang netral untuk menyelesaikan sengketa tersebut. b. Sebagai konsekuensi dari perwujudan negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasarkan hukum. Kenyataan menunjukkan bahwa suatu keputusan yang demokratis tidak selalu sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Oleh karena itu, diperlukan suatu lembaga yang berwenang menguji konstitusionalitas UU terhadap UUD. 89 Jimly Asshiddiqie, op.cit h. 583 90 Fathurohman, dkk op.cit h. 77 91 Mahkamah Konstitusi, Menegakkan Negara Hukum yang Demokratis Catatan Tiga Tahun Perjananan Mahkamah Konstitusi 2003-2006, Jakarta,2006,h.30 Universitas Sumatera Utara c. Ada kasus aktual yang terjadi di Indonesia pada saat itu, yaitu pemakzulan impeachment Presiden K.H. Abdurrahman Wahid dari kursi kepresidenannya oleh MPR pada Sidang Istimewa MPR Tahun 2001. Kasus ini mengilhami tercetusnya pemikiran untuk mencari cara agar ada mekanisme hukum yang membingkai proses pemberhentian Presiden danatau Wakil Presiden yang tidak didasarkan atas alasan politis semata.Untuk itu, disepakati keperluan akan adanya suatu lembaga yang berkewajiban menilai pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden danatau Wakil Presiden yang dapat menyebabkan Presiden danatau Wakil Presiden dapat diberhentikan sebelum habis masa jabatannya. Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi kemudian dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat 2 dan Pasal 24C perubahan ketiga UUD 1945 yang disahkan dalam Sidang Tahunan MPR tanggal 9 November 2001. Perubahan keempat pada tahun 2002 mengadopsi ketentuan Pasal III Aturan Peralihan UUD NRI Tahun 1945 menentukan: ”Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat- lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenanganya dilakukan oleh Mahkamah Agung”. Terkait dengan ini, sejak disahkannya perubahan keempat UUD NRI Tahun 1945 yang mengesahkan Pasal III Aturan Peralihan UUD NRI Tahun 1945 tanggal 11 Agustus 2002 sampai terbentuknya Mahkamah Konstitusi pada tanggal 13 Agustus 2003, Mahkamah Agung telah menerima 14 perkara yang menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi Namun sampai berlangsungnya pengalihan perkara dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 15 Oktober 2003, tidak ada satupun perkara yang masuk tersebut telah diputus oleh Mahkamah Agung. 92 Soal kedudukan dan wewenang Mahkamah Konstitusi serta beberapa hal mengenai hakim konstitusi, selanjutnya menyangkut masalah pengangkatan dan 92 Jimly Asshiddiqie, Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2008, h.20 Universitas Sumatera Utara perberhentian hakim konstitusi, hukum acara, dan ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi, UUD NRI Tahun 1945 menginginkan hal tersebut diatur lebih lanjut dalam undang-undang.. 93 Pengaturan lebih lanjut mengenai Mahkamah Konstitusi dibahas bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat DPR dan pemerintah membahas pembentukan Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Undang-Undang ini selesai disusun dan disahkan pada tanggal 13 Agustus menjadi UU No.24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Tanggal 13 Agustus inilah yang disepakati oleh hakim konstitusi menjadi waktu dibentuknya Mahkamah Konstitusi dan setiap tanggal 13 Agustus ditetapkan menjadi Hari Ulang Tahun HUT Mahkamah Konstitusi. 94 Sembilan hakim konstitusi yang pertama kali dalam sejarah Indonesia ditetapkan pada tanggal 15 Agustus 2003 dengan Keputusan Presiden Nomor 147M Tahun 2003. Pengucapan sumpah jabatan kesembilan hakim konstitusi dilakukan di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003 disaksikan oleh Mantan Presiden Megawati Soekarno Putri. Sesuai dengan ketentuan UUD NRI Tahun 1945, tiga hakim konstitusi berasal dari usul DPR, tiga hakim konstitusi berasal dari usul Mahkamah Agung, dan tiga hakim berasal dari usul Presiden. Konfigurasi sumber rekrutmen hakim konstitusi dari tiga cabang kekuasaan negara tersebut mencerminkan keseimbangan dan keterwakilan tiga cabang kekuasaan negara di dalam tubuh Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman yang memperkuat sistem check and balances 93 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cetak Biru Membangun Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2004, h.4 94 Jimly Asshiddiqie, loc.cit Universitas Sumatera Utara antar cabang kekuasaan negara eksekutif,legislatif,dan yudikatif. 95 Dengan demikian secara utuh dan lengkap Indonesia telah membentuk dan memiliki Mahkamah Konstitusi dan Indonesia adalah Negara ke-78 yang membentuk Mahkamah Konstitusi . 96 2. Tugas dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Sebagai Bagian Dari Kekuasaan Kehakiman Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat 1 UUD NRI Tahun 1945 ”Kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Sedangkan Pasal 24 ayat 2 UUD NRI Tahun 1945 mengatur ” Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Pasal 24C ayat 1 dan 2 UUD NRI Tahun 1945 mengatur sebagai berikut: - Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. - Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden danatau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Ketentuan-ketentuan di atas ditegaskan kembali pengaturannya dalam UU Mahkamah Konstitusi Pasal 10 Ayat 1 dan 2. 95 Ibid 96 Mahkamah Konstitusi, op.cit h.5 Universitas Sumatera Utara Dari ketentuan tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan badan peradilan tingkat pertama dan terakhir, atau dapat dikatakan merupakan badan peradilan satu-satunya yang putusannya bersifat final dan mengikat untuk mengadili perkara pengujian undang-undang, sengketa lembaga negara yang kewenagannya diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945, pembubaran partai politik, dan perselisihan hasil pemilu. Dengan demikian, dalam hal pelaksanaan kewenangan ini tidak ada mekanisme banding dan kasasi terhadap putusan yang dibuat Mahkamah Konstitusi untuk perkara-perkara yang berkenaan dengan kewenangan tersebut. 97 a. Pengujian Undang-Undang Berikut ini akan dijelaskan dan dijabarkan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diberikan UUD NRI Tahun 1945: UUD NRI Tahun 1945 telah meletakkan bahwa sistem hukum di Indonesia terdapat dua institusi yang berwenang melakukan pengujian judicial review. Kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 diberikan kepada Mahkamah Konstitusi Pasal 24C Ayat 1 UUD NRI Tahun 1945, sedangkan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang- undang menjadi kewenangan Mahkamah Agung Pasal 24A Ayat 1 UUD NRI Tahun 1945. Wewenang untuk menguji undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 merupakan suatu hal yang sudah lama diinginkan dalam konteks pelaksaan kekuasaan kehakiman sebagai bagian dari cita-cita terwujudnya negara hukum dan demokrasi. Dengan adanya kewenangan dan mekanisme pengujian 97 Ibid h.22 Universitas Sumatera Utara konstitusionalitas undang-undang, cita-cita negara hukum dan demokrasi telah mendapat penegasannya. 98 Selanjutnya, UU No. 24 Tahun 2003 mengatur bahwa pengujian konstitusionalitas suatu undang-undang dimungkinkan bisa dilakukan secara formal dan materiil Pasal 51 Ayat 3. Pengujian secara formal menelaah apakah pembentukan undang-undang telah memenuhi prosedur pembentukan berdasarkan ketentuan UUD NRI Tahun 1945. Sedangkan, pengujian undang-undang secara materiil memeriksa apakah materi muatan dalam pasal, ayat, danatau bagian undang-undang yang bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. 99 b. Memutus Sengketa Kewengan Antar Lembaga Negara Pengaturan kewenangan ini ditujukan kepada lembaga yang kewenangannya diberikan langsung oleh UUD NRI Tahun 1945. Lembaga yang dimaksud antara lain MPR, Presiden, DPR, DPD, BPK, Komisi Yudisial. Selain itu ada Komisi Pemilihan Umum, Bank Sentral, TNI-Polri serta pemerintah daerah. Kecuali bank sentral, seluruh lembaga lainnya diatur kewenangannya dalam UUD. 100 Dalam Pasal 61 Ayat 1 UU No. 24 Tahun 2003 mengatur “pemohon adalah lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mempuyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan”. Sedangkan, Pasal 65 UU No. 24 Tahun 2003 menyatakan ”Mahkamah Agung tidak dapat menjadi pihak 98 Ibid h.24 99 Ibid 100 Ibid h.25 Universitas Sumatera Utara dalam sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. 101 Dalam persidangan Mahkamah Konstitusi danatau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai putusan Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai sengketa kewenangan disampaikan kepada DPR, DPD, dan Presiden. 102 c. Memutus Pembubaran Partai Politik Alasan pembubaran partai politik dapat ditemukan secara implisit dari Pasal 68 Ayat 2 UU No.24 Tahun 2003 yakni berkaitan dengan ideologis, asas, tujuan, program, dan kegiatan partai politik yang dianggap bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Sedangkan, pihak yang menjadi pemohon adalah adalah pemerintah. Adapun pelaksanaan pembubaran partai politik di Indonesia dilakukan dengan membatalakan pendaftaran pada pemerintah dan proses pemeriksaan permohonan pembubaran partai politik diputus paling lambat 60 hari kerja Pasal 71 dan 73 Ayat 1 UU No.24 Tahun 2003. 103 d. Memutus Perselisihan Hasil Pemilu Perselisihan hasil pemilihan umum adalah perselisihan antara peserta pemilihan umum dengan penyelenggara pemilihan umum. 104 101 Ibid h.26 102 Taufiqurrohman Syahuri, Lima Kewenangan Mahkamah Konstitusi dan Satu Tahun Pelaksanaannya dalam Menjaga Denyut Konstitusi Refleksi Satu Tahun Mahkamh Konstitusi , Konstitusi Press, Jakarta, 2004, h.365 103 Mahkamah Konstitusi, Op.cit h.27 104 Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok…, Op.cit h.597 Menurut Pasal 74 Ayat 1 UU No.24 Tahun 2003: Universitas Sumatera Utara Pemohon adalah: Perorangan warga negara Indonesia calon anggota Dewan Perwakilan Daerah peserta pemilihan umum; Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden; dan Partai politik peserta pemilihan umum. Di samping itu, setelah lahirnya UU No.22 Tahun 2007 dan UU No.12 Tahun 2008, terjadi perubahan pada ketentuan Pilkada yaitu penyelengarannya dilaksanakan dengan pemilihan secara langsung oleh rakyat kemudian Pilkada yang sebelumnya masuk rejim Pemerintahan Daerah bergeser menjadi rejim pemilu. Akibatnya pergeseran tersebut, maka penyelesaian sengketa hasil Pilkada yang sebelumnya dilakukan oleh Mahkamah Agung, kemudian berpindah ke Mahkamah Konstitusi. 105 Menurut Pasal 1 Angka 4 UU No.22 Tahun 2007 menentukan bahwa Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilihan Umum untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. 106 Sedangkan, menurut Pasal 236C menetapkan ”Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 delapan belas bulan sejak undang- undang ini diundangkan”. 105 Maruarar Sirait, Op.cit h.20 106 Ibid Universitas Sumatera Utara e. Memutus Dugaan Pelanggaran Presiden danatau Wakil Presiden Kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi merupakan refleksi proses penghentian Impeachment terhadap presiden danatau wakil presiden yang sebelumnya hanya berdasarkan mekanisme dan pertimbangan politik. Penempatan peran Mahkamah Konstitusi dimaksudkan agar proses pemberhentian presidenatau wakil presiden terdapat pertimbangn-pertimbagan hukum. 107 Sesuai ketentuan Pasal 7B Ayat 1-5, Mahkamah Konstitusi berkewajiban untuk memeriksa dugaan DPR atas pelanggaran hukum berupa: pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, perbuatan tercela, tidak lagi memenuhi syarat presiden danatau wakil presiden. Usul pemberhentian berdasarkan alasan- alasan tersebut dilakukan oleh DPR. DPR dalam hal ini harus terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus dugaan atau pendapat DPR tersebut. 108 Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa presiden danatau wakil presiden bersalah, DPR meneruskan usul pemberhentian kepada MPR. Dengan demikian, kewenangan Mahkamah Konstitusi tidak sampai memutuskan apakah presiden danatau wakil presiden diberhentikan atau tidak. Mahkamah Konstitusi hanya memberikan pertimbangan hukum dan membuktikan benar atau tidaknya dugaaan atau pendapat DPR. Wewenang pemberhentian presiden danatau wakil presiden ada pada institusi MPR. Proses persidangan selanjutnya MPR akan 107 Mahkamah Konstitusi, Op.cit h.29 108 Ibid h.30 Universitas Sumatera Utara menentukan kemudian apakah presiden danatau wakil presiden yang sudah diputus bersalah oleh Mahkamah Konstitusi bisa diberhentikan atau tidak. 109 Pada hakikatnya, fungsi utama Mahkamah Konstitusi adalah supaya konstitusi dijalankan dengan konsisten the guardian of constitution dan menafsirkan konstitusi atau UUD the interpreter of constitusion. Dengan fungsi dan wewenang tersebut keberadaan Mahkamah Konstitusi memiliki arti penting dan peranan strategis dalam perkembangan ketatanegaraan dewasa ini karena segala ketentuan atau kebijakan yang dibuat penyelenggara negara dapat diukur dalam hal konstitusional atau tidak oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, setiap penyelenggaran pemerintahan selalu terbangun oleh dan berlandaskan pada prinsip-prinsip dan ketentuan konstitusi. 110 Di samping itu, Mahkamah Konstitusi berperan dalam mengawal, mengontrol, dan mengimbangi prinsip-prinsip demokrasi. Demokrasi yang sering kali hanya mengandalkan kekuataan politik dapat dikendalikan dan diimbangi sesuai prinsip demokrasi itu sendiri dan prinsip konstitusionalisme atau negara hukum. Adanya Mahkamah Konstitusi juga memberikan harapan baru bagi para pencari keadilan di tengah masyarakat yang sedang mengalami krisis kepercayaan kepada institusi peradilan. 111 B. Perkembangan Hukum Acara di Mahkamah Konstitusi Pembentukan UU No. 24 Tahun 2003 yang dilakukan dalam waktu yang tidak terlalu lapang yakni berlangsung kurang lebih satu tahun setelah perubahan 109 Ibid h.31 110 Ibid h.5-6 111 Ibid h.6 Universitas Sumatera Utara keempat UUD NRI Tahun 1945 yaitu pada tahun 2002 memilki banyak kekurangan, terutama dalam hal menyangkut hukum acara. Akan tetapi sejak awal hal tersebut telah disadari oleh pembuat undang-undang, sehingga pembuat undang-undang memberikan mandat pada Mahkamah Konstitusi untuk melengkapi hukum acaranya sendiri rule of procedure, dengan menetapakan Pasal 86 UU No.24 Tahun 2003 yang berbunyi: ”Mahkamah Konstitusi dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya menurut Undang-Undang ini”. 112 Hukum acara yang temuat dalam UU No.24 Tahun 2003 tampaknya sederhana, baik dalam asas dan sifat hukum acara Mahkamah Konstitusi maupun dalam luasnya cakupan masalah yang dirumuskan dalam kaidah-kaidah yang dikandungnya. Berdasarkan mandat atau pelimpahan wewenang dari pembuat undang-undang tersebut, maka Mahkamah Konstitusi juga berusaha mengatur masalah-masalah yang dihadapi dalam praktek yang belum diatur dan dicakup oleh undang-undang hukum acara dalam UU No. 24 Tahun 2003 tersebut dalam bentuk Peraturan Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut PMK. 113 Perkembangan yang terjadi dalam praktek dan masalah yang dihadapi Mahkamah Konstitusi bertumbuh demikian cepat, sehingga praktek dan kaidah hukum acara PMK berkembang dengan pesat. Akibatnya, kebutuhan untuk melakukan perubahan dan penyesuaian dengan keadaan, yang kemudian menyebabkan hukum acara tersebut terus bertumbuh dan berubah continually evolving. Pertumbuhan dan perkembangan yang demikian, oleh banyak kalangan 112 Maruarar Siahaan, op.cit h.1 113 Ibid Universitas Sumatera Utara menganggap menyebabkan tidak adanya kepastian hukum dalam bidang hukum acara, alasannya adalah bahwa Mahkamah Konstitusi melanggar banyak ketentuan dalam UU No.24 Tahun 2004 dalam menjalankan kewenanganya. Bahkan dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi merebut sendiri kewenangan bagi dirinya, yang sama sekali tidak disebut dan diatur dalam undang-undang. 114 Kaidah-kaidah hukum acara yang dianut dalam Mahkamah Konstitusi negara lain juga dijadikan sebagai sumber inspirasi dalam memecahkan kekosongan hukum acara Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Dinamika proses beracara di , Mahkamah Konstitusi dalam situasi hukum acara yang mengalami kekosongan atau kekurangjelasan, Mahkamah Konstitusi akan menafsirkan kaidah hukum acara tersebut dengan juga melakukan comperative study interpretation, menjadi sangat perlu karena mekanisme demokrasi mendapat kawalan dari konstitusi, dan hakim Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal harus juga melihat sekitar afkijken ke negara yang lebih dahulu mengadopsi Mahkamah Konstitusi dengan kewenangannya constitutional review yang dimiliki, dan bagaimana hukum acaranya telah diatur. 115 Berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus hasil pemilihan umum, kewenangan Mahkamah Konstitusi mengalami perkembangan yaitu memutus sengketa Pilkada yang sebelumnya merupakan kewenangan dari Mahkamah Agung. Walaupun kewenangan ini tergolong baru bagi Mahkamah Konstitusi, namun segala hal yang terkait dengan kewenangan barunya khususnya 114 Ibid h.2 115 Ibid h.4 Universitas Sumatera Utara aturan-aturan hukum tata cara persidangan telah dipersiapkan oleh Mahkamah Konstitusi . 116 Salah satu perangkat hukum yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi untuk mendukung kinerjanya dalam persidangan penyelesaian sengketa Pilkada adalah dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Konstitusi PMK Nomor 15 Tahun 2008 tentang pedoman beracara dalam perselisihan hasil pemilu umum kepala daerah. 117 Sedangkan pedoman beracara perselisihan hasil pemilu umum anggota DPR, DPD, dan DPR diatur melalui PMK No.14 Tahun 2008. 118 1. Kedudukan Hukum legal standing pemohon Perkembangan hukum acara Mahkamah Konstitusi mengenai Pilkada ini akan dijelaskan sebagai berikut: Dalam menilai dan mengukur apakah pihak berpekara yang mengajukan sengketa Pilkada memiliki kedudukan hukum yang tepat untuk mengajukan sengketa di hadapan , Mahkamah Konstitusi akan dilihat dari sudut objek sengketanya objectum litis maupun pihak yang mengajukan subjectum litis yaitu sebagi berikut: 119 a. Objectum Litis Dari ketentuan Pasal 106 ayat 2 UU No. 32 Tahun 2004 Joncto Pasal 236C UU No.12 Tahun 2008 bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi hanyalah berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon. Di luar sengketa tersebut, maka sengketa tentang Pilkada lainnya 116 Bambang Sutiyoso, Tata Cara Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkamah Konstitusi, UII Press, Yogyakarta, 2009 h.55 117 Selanjutnya disingkat PMK 152008 118 Ibid 119 Maruar Siahaan, op.cit h.22-29 Universitas Sumatera Utara ditetapkan menjadi wewenang institusi atau lembaga lainnya. PMK 152008 juga menentukan hal yang sama, dalam praktek baik dalam kenyataan sehari-hari maupun karena peralihan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi yang bernuansa peradilan konstitusi, maka ternyata perkembangan hukum yang terjadi berlangsung sangat dinamis. Dalam meletakkan objectum litis yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus, maka batasan bagi Mahkamah Konstitusi untuk menangani kasus pelanggaran dan tindak pidana sebagai bagian dari dar sengketa dalam Pilkada harus diartikan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak boleh melakukan fungsi peradilan pidana atau peradilan administrasi namun tetap boleh mempermasalahkan dan mengadili setiap pelanggran yang berakibat pada penghitungan suara. Hal ini timbul karena pada hakikatnya fungsi dan peran Mahkamah Konstitusi antara lain untuk mengawal tegaknya konstitusi dengan segala asas yang melekat padanya. Demokrasi adalah salah satu asas yang paling fundamental di dalam UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana termuat dalam Pasal 1 Ayat 2 dikatakan bahwa ”kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” dan juga Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengawal tegaknya demokrasi seperti yang diatur di dalam konstitusi. Dalam rangka mengawal tegaknya demokrasi itu, maka Mahkamah Konstitusi harus juga menilai dan memberi keadilan bagi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi didalam pelaksanaan demokrasi, termasuk pelanggaran Pilkada Penjelasan UU No. 24 Tahun 2003. Universitas Sumatera Utara Asas kedaulatan rakyat demokrasi selalu dikaitkan dengan negara hukum nomokrasi sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 Ayat 3 UUD NRI Tahun 1945. Sebagai konsekuensi logisnya, demokrasi tidak dapat dilakukan berdasarkan pergulatan kekuatan-kekuatan politik saja, tetapi juga harus dilaksanakan sesuai aturan hukum. Oleh sebab itu, setiap keputusan-keputusan yang diperoleh secara demokratis kehendak rakyat banyak semata-mata, dapat dibatalkan oleh pengadilan jika di dalamnya terdapat pelanggaran terhadap nomokrasi prinsip- prinsip hukum yang dapat dibuktikan secara sah di pengadilan. UUD NRI Tahun 1945 mengamanatkan bahwa penerapan dan perlakuan harus seimbang antara asas keadilan, asas kepastian hukum, dan asas mamfaat sehingga Mahkamah Konstitusi tidak boleh dibatasi semata-mata oleh bunyi undang-undang melainkan juga harus menggali rasa keadilan dengan tetap berpedoman pada makna substantif undang-undang itu sendiri. b. subjectum Litis legal standing menurut PMK 152008 mengatur pihak-pihak dalam perselisihan hasil penghitungan suara di Mahkamah Konstitusi. pihak tersebut harus mempuyai kepentingan langsung dalam perselisihan hasil Pilkada.. Kehadiran pihak terkait, baik pasangan calon yang ditetapkan sebagai pemenang oleh KPU, maupun pasangan calon lain yang berkepentingan untuk berada di pihak tertentu dalam perselisihan tersebut, adalah untuk memberikan kesempatan untuk mempertahankan kepentinganya. Pasangan calon yang ditetapkan sebagai pemenang, sudah tentu menjadi pihak yang yang paling berkepentingan, karena apabila Mahkamah Konstitusi menerima dan Universitas Sumatera Utara mengabulkan permohonan dan membatalkan keputusan KPU, dan Mahkamah Konstitusi menentukan perhitungan suara yang benar menyatakan pemohon sebagai pemenang, dengan sendirinya menggeser posisi pemenang, yang ditentukan KPU. Pihak terkait lain, dapat juga Panwaslu yang kemungkinan oleh Mahkamah Konstitusi ditarik sebagai pihak terkait, karena perlu didengar keteranganya. Mekanisme lain untuk menyertakan Panwaslu dalam proses adalah memanggil Panwaslu untuk didengar sebagai saksi yang harus memberikan keterangan di bawah sumpah. Salah satu ciri pihak terkait yang berkepentingan langsung, yaitu pihak terkait yang ditentukan sebagai pemenang, mempuyai hak dalam mempertahankan keputusan KPU yang menguntungkannya. Dengan hak tersebut, pihak terkait akan memiliki hak untuk menyanggah permohonan keberatan pemohon dan juga berhak untuk memberikan bukti-bukti lawan terhadap bukti- bukti yang diajukan pemohon. 2. Tenggang Waktu Pengajuan Permohonan Pasal 106 UU No.32 Tahun 2004 dan PMK 152008 merupakan dasar hukum pemgajuan permohonan dalam tenggang waktu 3 hari kerja. Tiga hari kerja diartikan bahwa hari Sabtu dan hari Minggu yang bukan hari kerja tidak diperhitungkan dalam tenggang waktu yang ditentukan tersebut, sehingga memberi kelonggaran bagi pemohon atau pasangan calon yang keberatan akan hasil Pilkada, jika KPU mengumumkan atau menetapkan hasil penghitungan suara pada hari Jumat. 120 120 Ibid h.31 Universitas Sumatera Utara 3. Alat-Alat Bukti Pasal 36 UU No.24 Tahun 2003 tentang jenis-jenis yang secara umum dapat diajukan dalam proses pembuktian di Mahkamah Konstitusi , menurut Pasal 9 PMK152008: Alat bukti dalam perselisihan hasil Pemilukada dapat berupa: a. keterangan para pihak; b. surat atau tulisan; c. keterangan saksi; d. keterangan ahli; e. petunjuk; dan f. alat bukti lain berupa informasi danatau komunikasi elektronik. Pasal 10 PMK 152008 mengatur: 1 Alat bukti surat atau tulisan terdiri atas: a. berita acara dan salinan pengumuman hasil pemungutan suara dari Tempat Pemungutan Suara TPS; b. berita acara dan salinan sertifikat hasil penghitungan suara dari Panitia Pemungutan Suara PPS; c. berita acara dan salinan rekapitulasi jumlah suara dari Panitia Pemilihan Kecamatan PPK; d. berita acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPUKIP provinsi atau kabupatenkota; e. berita acara dan salinan penetapan hasil penghitungan suara pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah provinsi atau kabupatenkota; f. berita acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPUKIP provinsi; g. penetapan calon terpilih dari KPUKIP provinsi atau kabupatenkota; danatau h. dokumen tertulis lainnya. 2 Alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat 1 adalah alat bukti yang terkait langsung dengan objek perselisihan hasil Pemilukada yang dimohonkan ke Mahkamah. 3 Alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dibubuhi materai secukupnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Pasal 11 PMK 152008: 1 Saksi dalam perselisihan hasil Pemilukada terdiri atas: a. saksi resmi peserta Pemilukada; dan b. saksi pemantau Pemilukada. Universitas Sumatera Utara 2 Mahkamah dapat memanggil saksi lain yang diperlukan, antara lain, panitia pengawas pemilihan umum atau Kepolisian; 3 Saksi sebagaimana tersebut pada ayat 1 dan ayat 2 adalah saksi yang melihat, mendengar, atau mengalami sendiri proses penghitungan suara yang diperselisihkan. Asas-asas hukum acara Mahkamah Konstitusi: 1. Persidangan Terbuka Untuk Umum Undang-undang Tentang Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 19 menentukan bahwa sidang pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali undang-undang menentukan lain. Hal ini berlaku secara universal dan berlaku di semua lingkungan peradilan. Pasal 40 Ayat 1 UU No.24 Tahun 2003 menentukan secara khusus bahwa sidang Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum, kecuali Rapat Permusyawaratan Hakim. 121 Keterbukaan sidang ini merupakan salah satu social control dan juga bentuk akuntabilitas hakim. Transparansi dan akses publik secara luas yang dilakukan Mahkamah Konstitusi dengan membuka, bukan hanya sidang tetapi juga proses persidangan yang dapat dilihat atau dibaca melalui transkripsi, berita acara dan putusan yang dipublikasikan lewat situs internet merupakan langkah yang jauh diambil untuk mengefektifkan kontrol terhadap Mahkamah Konstitusi . Tersedianya salinan putusan dalam bentuk hard copy yang dapat diperoleh pihak pemohon dan termohon setelah sidang pembacaaan putusan yang dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum merupakan interpretasi Mahkamah Konstitusi terhadap kerterbukaan dan asas sidang terbuka untuk umum tersebut sebagai 121 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta,2005 h.55 Universitas Sumatera Utara pelaksaan Pasal 14 UU No.24 Tahun 2003 yang berbunyi bahwa ”masyarakat mempuyai akses untuk mendapatkan putusan Mahkamah Konstitusi”. 122 2. Independen dan Imparsial Pasal 2 UU No.24 Tahun 2003 menyarakan bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, Pasal 33 UU No.4 Tahun 2004 menyatakan bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya hakim wajib menjaga kemandirian peradilan. Independen atau kemandirian tersebut sangat berkaitan dengan sikap imparsial atau tidak memihak hakim baik dalam pemeriksaan maupun dalam pengambilan keputusan. Hakim yang tidak independen atau mandiri tidak dapat diharapkan bersikap netral atau imparsial dalam menjalankan tugasnya. Demikian juga satu mahkamah yang tergantung kepada badan lain dalam bidang-bidang tertentu dan tidak mampu mengatur dirinya secara mandiri juga akan menyebabkan sikap yang tidak netral dalam menjalankan tugasnya. Independensi dan imparsialitas merupakan konsep yang mengalir dalam doktrin separatioan of power pemisahan kekuasaan yang harus dilakukan secara tegas agar cabang-cabang kekuasaan negara tidak saling mempengaruhi. 123 Sebagai kekuasaan kehakiman yang merdeka, maka kekuasaan extra judicial dilarang melakukan campur tangan atau intervensi. Intervensi terhadap kekuasaan kehakiman berdasarkan UU No. 4 Tahun 2004 dapat dipidana. 124 122 Ibid h.56 123 Ibid h.57 124 Bambang Sutiyoso, op.cit, 2009, h.18 Universitas Sumatera Utara 3. Peradilan Dilaksanakan Secara Cepat, Sederhana dan Murah Pasal 4 ayat 2 UU No. 4 Tahun 2004 menentukan bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Penjelasan atas Pasal ayat 2 tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud dengan sederhana adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan acara yang efisien dan efektif sedangkan biaya murah adalah biaya perkara yang dapat dipikul oleh rakyat. Keduanya tanpa mengorbankan ketelitian dalam mencari kebenaran dan keadilan. Biaya perkara yang dibebankan kepada pemohon atau termohon tidak dikenal dalam acara Mahkamah Konstitusi. Semua biaya yang menyangkut persidangan di Mahkamah Konstitusi dibebankan kepada negara. 125 4. Hak Untuk Didengar Secara Seimbang Audi et Alteram Partem Dalam perkara yang diperiksa dan diadili di peradilan biasa, baik penggugat maupun tergugat, atau penuntut umum maupun terdakwa mempuyai hak yang sama untuk didengar keterangannya secara berimbang dan masing-masing pihak mempunyai kesempatan yang mengajukan pembuktian untuk mendukung dalil masing-masing. Hal ini juga berlaku pada persidangan di Mahkamah Konstitusi dimana pihak pemohon, ternohon maupun pihak yang berkaitan langsung dengan perkara di beri hak yang sama untuk didengar. 126 5. Hakim Aktif dan Juga Pasif Dalam Proses Persidangan Hakim bersikap pasif dan tidak boleh aktif melakukan inisiatif untuk menggerakkan mekanisme Mahkamah Konstitusi memeriksa perkara tanpa diajukan dengan satu permohonan. Maka sekali permohonan tersebut didaftar dan 125 Maruarar Siahaan, Hukum Acara...,op.cit h.62 126 Ibid h.63 Universitas Sumatera Utara mulai diperiksa disebabkan adanya kepentingan umum yang termuat di dalamnya secara langsung maupun tidak langsung akan memaksa hakim untuk bersikap aktif dalam proses dan tidak menggantungkan proses hanya pada inisiatif pihak, baik dalam rangka menggali keterangan maupun bukti-bukti yang dianggap perlu untuk membuat jelas dan terang hal diajukan dalam permohonan tersebut. 127 6. Ius Curia Novit Pasal 16 UU No.4 Tahun 2004 menyebutkan bahwa ”pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Dengan kata lain bahwa pengadilan dianggap mengetahui hukum yang diperlukan untuk menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya sehingga pengadilan tidak boleh menolak perkara karena berpendapat hukumnya tidak jelas. 128 7. Asas praduga Rechtmatige Sebelum ada putusan Mahkamah Konstitusi objek yang menjadi perkara misalnya permohonan untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, maka undang-undang tersebut harus dianggap selalu dianggap sah atau telah sesuai dengan hukum sebelum putusan hakim konstitusi menyatakan sebaliknya. Konsekuensinya, akibat putusan hakim konstitusi tersebut adalah ”ex nucn”, yaitu dianggap ada sampai saat pembatalannya. Artinya, akibat 127 Ibid h.64 128 Ibid h.66 Universitas Sumatera Utara ketidaksahan undang-undang karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar tidaklah berlaku surut namun berlaku ke depan. 129 8. Asas Hakim Majelis Asas ini ditegaskan dalam Pasal 28 ayat 1 UU No.24 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili dan memutus dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi dengan 9 sembilan orang hakim konstitusi, kecuali dalam keadaam luar biasa dengan 7 tujuh orang hakim konstitusi yang dipimpim oleh ketua Mahkamah Konstitusi. Dalam hal ketua Mahkamah Konstitusi berhalangan memimpin sidang pleno sebagaimana dimaksud pada ayat 1, sidang dipimpim oleh wakil ketua Mahkamah Konstitusi. Dalam hal ketua dan wakil ketua Mahkamah Konstitusi berhalangan pada waktu yang bersamaan, sidang pleno dipimpim oleh ketua sementara yang dipilih dari anggota Mahkamah Konstitusi Pasal 28 ayat 2 dan 3 UU No.24 Tahun 2003. 130 9. Asas Objektivitas Untuk tercapainya putusan yang adil, maka hakim atau panitera wajib mengundurkan diri apabila terkait hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami istri meskipun telah bercerai dengan pemohon, termohon, atau penasihat hukum atau antara hakim dan panitera terdapat hubungan sebagaimana disebut di atas atau hakim dan panitera mempuyai kepentingan langsung maupun tidak langsung. 131 129 Bambang Sutiyoso, loc.cit 130 Ibid h.20 131 Ibid Universitas Sumatera Utara 10. Asas Keaktifan Hakim Konstitusi Dominus Litis Hakim konstitusi cukup berperan dalam melakukan penelusuran dan eksplorasi untuk mendapatkan kebenaran melalui alat bukti yang ada. Asas ini tercermin salah satunya dari asas pembuktian yang menunjukkan bahwa hakim konstitusi dapat mencari kebenaraan materiel yang tidak terikat dalam menentukan atau memberi penilaian terhadap kekuatan alat buktinya. Selain itu asas keaktifan hakim konstitusi juga tercermin dari kewenangan hakim konstitusi memerintahkan para pihak untuk hadir sendiri dalam persidangan sekalipun telah diwakili oleh kuasa hukum. Ketentuan ini dimaksudkan agar hakim konstitusi dalam menemukan kebenaran materiel yang dapat diperoleh dari kesaksian dan penjelasan para pihak yang berperkara. Hal ini mencerminkan karakteristik hukum publik di dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi . 132 11. Asas Pembuktian Bebas Dalam melakukan pemeriksaan persidanagan hakim konstitusi menganut asas pembuktian bebas vrij bewij. Hakim konstitusi bebas dalam menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian atau sah tidaknya alat bukti beradsarkan kenyakinannya. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 45 ayat 1 2 UU No.24 Tahun 2003 yang menyebutkan: 133 1 Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai alat bukti dan keyakinan hakim. 2 Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan harus didasarkan pada sekurang-kurangnya 2 dua alat bukti. 132 Ibid h.21 133 Ibid Universitas Sumatera Utara Asas ini diadopsi sepenuhnya oleh Mahkamah Konstitusi untuk memberi peluang kepada hakim konstitusi untuk mencari kebenaran materiel melalui pembuktian bebas. Dengan demikian hakim konstitusi dapat leluasa untuk menentukan alat bukti, termasuk alat bukti yang tergolong baru yang tidak dikenal dalam lazimnya hukum acara misalnya alat bukti berupa rekaman video kaset, teleconference dan sebagainya. 134 12. Asas Putusan Berkekuatan Hukum Tetap dan Bersifat Final Pada Pasal 47 disebutkan ”Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum”. Oleh karena itu putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan tidak dimungkinkan untuk diajukan upaya hukum lebih lanjut seperti banding, kasasi dan seterusnya. Dengan asas ini Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final Pasal 10 UU No.24 Tahun 2003. 135 13. Asas Putusan Mengikat Secara ”erga omnes” Kewibawaan suatu putusan yang dikeluarkan institusi peradilan terletak pada kekuatan mengikatnya. Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang tidak hanya mengikat para pihak inter parties tetapi juga ditaati oleh siapapun erga omnes. Asas ini tercermin dari ketentuan yang menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung dapat dilaksanakan dengan tidak lagi memerlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang kecuali peraturan perundang- undangan mengatur lain. Ketentuan ini mencerminkan kekuatan hukum mengikat, 134 Ibid 135 Ibid h.22 Universitas Sumatera Utara karena sifat hukumnya publik maka berlaku bagi siapa saja, tidak hanya berlaku bagi pihak yang berperkara Pasal 10 UU No.24 Tahun 2003. 136 14. Asas Sosialisasi Hasil keputusan wajib diumumkan dam dilaporkan secara berkala kepada masyarakat secara terbuka, menurut Pasal 13 ayat 1 dan 2 UU No. 24 Tahun 2003: 1 Mahkamah Konstitusi wajib mengumumkan laporan kepada masyarakat secara terbuka mengenai: a. permohonan yang terdaftar, diperiksa, dan diputus; b. pengelolaan keuangan dan tugas administrasi lainnya. 2 Laporan sebagaimana dimakud pada ayat 1 dimuat dalam berkala yang diterbitkan oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi melaksanakan sosialisasi kepada masyarakat dalam bentuk berbagai media cetak seperti buku, jurnal, berita Mahkamah Konstitusi dan lain-lain maupun dengan memberikan fasilitas download secara bebas kepada masyarakat terhadap putusan-putusan yang dapat diakses dari situs resmi Mahkamah Konstitusi. 137 Sumber hukum Mahkamah Konstitusi diantaranya adalah: 138 1. UUD NRI Tahun 1945. 2. UU No.24 Tahun 2003. 3. Hukum kebiasaan hukum tidak tertulis. 4. Peraturan-peraturan Mahkamah Konstitusi. 5. Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi 6. Perjanjian internasional 7. Doktrin para ahli hukum, dan lain-lain. Sedangkan, sumber-sumber hukum acara Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut: 139 136 Ibid 137 Ibid 138 Ibid h.23 Universitas Sumatera Utara 1. Undang-Undang Mahkamah Konstitusi 2. Peraturan Mahkamah Konstitusi 3. Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia 4. Undang-Undang Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Pidana Indonesia. 5. Pendapat sarjana doktrin 6. Hukum acara dan yurisprudensi Mahkamah Konstitusi negara lain. C. Landasan Yuridis Pelaksanaan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Memutus Perselisihan Hasil Pilkada Landasan yuridis dasar hukum kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus perselisihan hasil Pilkada adalah sebagai berikut: 1. Berdasarkan Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang- Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilu. 2. Pasal 10 Ayat 1 huruf d UU N0. 24 Tahun 2003 yang mengatur Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c. memutus pembubaran partai politik; dan d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. 3. Pasal 12 Ayat 1 huruf d UU No. 4 Tahun 2004 4. Pasal 106 Ayat 1 dan 2 UU No. 32 Tahun 2004 5. Pasal 236C UU No.12 Tahun 2008 yang mengatur ”Penanganan sengketa hasil perhitungan suara pemilihan kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 delapan belas bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan”. 139 Maruarar Siahaan, Hukum Acara...,op.cit h.71 Universitas Sumatera Utara 6. Berita acara pengalihan wewenang mengadili dari Mahkamah Konstitusi kepada Mahkamah Konstitusi tanggal 29 Oktober 2008 yang pada prinsipnya penanganan sengketa penghitungan suara Pilkada oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi. 7. PMK 152008. Pasal 236C UU No.12 Tahun 2008, tidak dipandang hanya sebagai pengalihan kewenangan institusional atau kelembagaan belaka, akan tetapi pengalihan demikiam memiliki implikasi yang luas berkenaan fungsi dan tugas Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan konstitusi yang diberi mandat sebagai pengawal konstitusi, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi sekaligus menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil berdasarkan konstitusi. 140 Dengan pemindahan kewenangan tersebut, maka implikasinya adalah memberi sifat dan karakter yang berbeda dalam penyelesaian sengketa yang dilakukan Mahkamah Konstitusi dalam arti bahwa ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku akan dilihat dan diartikan dalam kerangka prinsip-prinsip dan spirit yang terkandung dalam UUD NRI Tahun 1945 sedemikian rupa sehinnga memberi keleluasaan untuk menilai bobot pelanggaran dan penyimpangan yang terjadi dalam keseluruhan tahapan Pilkada dan kaitnya dengan perolehan suara bagi pasangan calon. 141 140 Ibid h.26 141 Ibid Universitas Sumatera Utara Dari fakta-fakta hukum yang dipandang terbukti secara sah sebagaimana disebut mnejadi wewenang lembaga lain, yang berupa pelanggaran dan penyimpangan yang sangat berpengaruh terhadap perolehan suara dan rekapitulasi penghitungan suara bagi masing-masing pasanagn calon, Mahkamah Konstitusi menggunakan ukuran yang konstitusi dan keadilan, jika hukum tertulis bertentangan denag keadilan sedemikian rupa tidak dapat ditelorir maka pilihan kepada keadilan harus dilakukan. 142 Prinsip konstitusi harus dijaga dan dikawal oleh Mahkamah Konstitusi, apabila konstitusi terlanggar, maka implikasi yang timbul dari pelanggaran konstitusi dalam penyelenggaran Pillkada mengakibatkan terjadinya pergesaran- pergeseran dalam tolok ukur yang dipergunakan dalam menilai sengketa hasil Pilkada. Ukuran yang digunakan Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi dan demokrasi adalah UUD NRI Tahun 1945, sehingga apabila pelaksaaan undang-undang dalam demokrasi atau Pilkada ternyata melanggar UUD NRI Tahun 1945, Mahkamah Konstitusi harus menerapkan UUD NRI Tahun 1945 dan mengesampingkan peraturan perundangan-undangan yang menjadi dasar pelaksanaan dan penyelenggaraan Pilkada. 143 Dalam memutus perselisihan hasil Pilkada Mahkamah Konstitusi tidak hanya akan menghitung kembali hasil perhitungan suara yang sebenarnya dari pemungutan suara tetapi juga harus menggali keadilan dengan menilai dan mengadili hasil penghitungan suara yang diperselisihkan. Menurut Mahkamah Konstitusi kalau hanya menghitung secara sistematis sebenarnya bisa dilakukan 142 Ibid 143 Ibid h.18 Universitas Sumatera Utara oleh siapa saja. Mahkamah Konstitusi meletakkan posisinya dengan mengatakan bahwa meskipun menurut undang-undang yang dapat diadili Mahkamah Konstitusi adalah hasil panghitungan suara, namun pelanggaran-pelanggaran yang menyebabkan terjadinya hasil panghitungan suara yang kemudian dipersengketakan itu harus pula dinilai untuk menegakkan keadilan karena ketentuan Pasal 24 Ayat 1 UUD NRI Tahun 1945 berbunyi”Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan” dan Pasal 28D Ayat 1 UUD NRI Tahun 1945 berbunyi ”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Kemudian ketentuan UUD NRI Tahun 1945 tersebut dituangkan ke dalam Pasal 45 Ayat 1 UU No.24 Tahun 2003 yang berbunyi ”Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim”. 144 144 Ibid h.27-28. Universitas Sumatera Utara

BAB IV PELAKSANAAN KEWENANGAN M AHKAMAH

Dokumen yang terkait

Kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) Dalam Proses Verifikasi Calon Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara Pada Pemilu Legislatif Tahun 2014(Studi Kasus : KPU Sumatera Utara)

2 84 93

Pengaruh Undang-Undang Otonomi Daerah Terhdap Kekuasaan Kepala Daerah (Studi Kasus: Deskripsi Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Kekuasaan Kepala Daerah di Kabupaten Tapanuli Tengah)

1 55 69

Etnisitas Dan Pilihan Kepala Daerah (Suatu Studi Penelitian Kemenangan Pasangan Kasmin Simanjuntak dan Liberty Pasaribu di Kecamatan Balige, Kabupaten Toba Samosir)

3 45 67

Tinjauan Kritis Terhadap Pelaksanaan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam Menyelesaikan Sengketa Penetapan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah

0 83 187

Perilaku Memilih Birokrat Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2010

1 48 200

Calon Independen dan Pilkada (Studi Kasus Pilkada Kabupaten Deli Serdang Tahun 2008)

2 35 94

Political Marketing Partai Politik Dalam Pemilihan Umum Presiden 2009 Di Sumut Studi Kasus: DPD Sumut Partai Demokrat

0 42 107

Pengaruh Isu Politik yang Berkembang Saat Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 Terhadap Preferensi Politik Pemilih (Studi Kasus: Mahasiswa Universitas Sumatera Utara dan Universitas HKBP Nomennsen)

0 40 170

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MEMUTUS SENGKETA PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH (STUDI KASUS : PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH KOTAWARINGIN BARAT).

1 2 18

SISTEM PEMBUKTIAN DALAM PENANGANAN PERKARA PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH (PEMILUKADA) DI MAHKAMAH KONSTITUSI

0 0 16