Perilaku Memilih Birokrat Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2010

(1)

PERILAKU MEMILIH BIROKRAT

DALAM PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH

KABUPATEN SERDANG BEDAGAI TAHUN 2010

TESIS

Oleh

IHSAN AZHARI

097024004/SP

 

 

 

 

 

 

 

PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011

49 


(2)

PERILAKU MEMILIH BIROKRAT

DALAM PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH

KABUPATEN SERDANG BEDAGAI TAHUN 2010

TESIS

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan (MSP) dalam Program Studi Pembangunan pada

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara 

Oleh

IHSAN AZHARI

097024004/SP

 

PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : PERILAKU MEMILIH BIROKRAT DALAM PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI TAHUN 2010 Nama Mahasiswa : Ihsan Azhari

Nomor Pokok : 097024004

Program Studi : Studi Pembangunan

Menyetujui

Komisi Pembimbing

(Prof. Subhilhar, Ph.D) (Muryanto Amin, S.Sos, M.Si)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. M. Arif Nasution, M.A) (Prof. Dr. Badaruddin, M.Si)


(4)

Telah diuji pada Tanggal 30 Mei 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Subhilhar, Ph.D

Anggota : 1. Muryanto Amin, S.Sos M.Si 2. Drs. Heri Kusmanto, MA 3. Drs. Tonny P Situmorang, M.Si 4. Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA


(5)

PERNYATAAN

PERILAKU MEMILIH BIROKRAT

DALAM PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI TAHUN 2010

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Mei 2011

Penulis,


(6)

ABSTRAK

Dalam perspektif demokrasi, kemampuan memilih memungkinkan setiap warga untuk terlibat dalam proses politik. Sehingga perilaku memilih merupakan perilaku yang unik dan sangat penting untuk diamati. Penelitian ini menggunakan tiga pendekatan yaitu pendekatan sosiologis, pendekatan psikologis dan pendekatan rasional. Pemilihan Umum Kepala Daerah Langsung merupakan salah satu bentuk partisipasi politik sebagai wujud dari kedaulatan rakyat. Aparatur birokrasi adalah bagian dari masyarakat yang mempunyai hak yang sama untuk memilih dalam pemilihan umum kepala daerah langsung Perilaku memilih birokrat inilah yang cukup menarik untuk dikaji dalam kaitannya dengan Pemilukada Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2010 yang dimenangkan oleh incumbent.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan 99 orang responden yang dipilih secara acak. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner, observasi, wawancara mendalam dengan key informan, dokumentasi dan penelitian kepustakaan.

Dengan fokus penelitian berusaha menganalisa bagaimana aparatur birokrasi di Kabupaten Serdang Bedagai menentukan pilihan pada Pemilihan umum kepala daerah Serdang Bedagai Tahun 2010 serta mengetahui alasan-alasan yang mendasari aparatur birokrasi di Kabupaten Serdang Bedagai dalam menentukan pilihannya pada saat pemilihan umum kepala daerah secara langsung di Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2010. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aparatur birokrasi dalam hal cara menentukan pilihan pada pemilukada di Serdang Bedagai dipengaruhi oleh model pendekatan rasional. Adapun alasan-alasan yang mendasari aparatur birokrasi/PNS di Kabupaten Serdang Bedagai dalam memilih pada saat pemilihan umum kepala daerah secara langsung di Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2010 adalah dengan mempertimbangkan visi misi dan janji kampanye para calon yang bertarung dalam pemilukada, tingkat kepercayaan terhadap janji-janji kampanye, komitmen dan prestasi calon, track record para calon, perilaku para calon dalam kehidupan bermasyarakat, penilaian terhadap calon yang berpeluang menang lebih besar, program yang ditawarkan oleh para calon, dan kesadaran politik responden yakni semata-mata karena merupakan hak dan tanggungjawab sebagai warga Negara.

Kata Kunci : Prilaku Memilih, Pendekatan Psikologis, Pendekatan Sosiologis, dan Pendekatan Rasional


(7)

ABSTRACT

In the perspective of democracy, voting in elections allows the citizens to involved in the political process. So that voting behavior is unique and important to be observed. This research used three approaches, that are sociological approach, psychological approach, and rational approach. Direct regional chief elections is one form of political participation as a form of popular sovereignty. The bureaucrats is one part of the community who had the same right to vote in direct regional chief elections, it means, there is no prohibition for the bureaucrats to participate in political competition in the direct regional chief elections. The Bureaucrat voting behavior is quite interesting to be studied in relation to direct regional chief elections in Serdang Bedagai regency 2010 which was won by incumbent.

This research use descriptive method with 99 respondents who were randomly selected. Data was collected using questionnaires, observations, depth interview with key informants, documentation and library research. The focus in this research is trying to analyze how the bureaucrats in determining his choice on direct regional chief elections and find out the reasons underlying the bureaucrats in determining his choice during the direct regional chief elections in Serdang Bedagai regency in 2010. The result of research indicates that the bureaucrats voting behaviour is influenced by rational approach. The reasons underlying the bureaucrats voting in Direct regional chief elections in Serdang Bedagai is to consider the vision and mission and the campaign promises of candidates, the trust of campaign promises, commitments and achievements of candidates, track records of candidates, the conduct of candidates in public life,an asessment of the candidates who have a greater chance to win, the programs offered by the candidates and political awareness of the respondents about their rights and responsibilities as a citizens.

Keywords : Voting Behaviour, Psychological approach, Sociological approach, and Rational approach


(8)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat ALLAH SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya tesis yang berjudul Prilaku Memilih Birokrat Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2010 dapat diselesaikan.

Tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi mahasiswa untuk menyelesaikan proses belajar di Program Magister Studi Pembangunan, pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Penulis telah mencurahkan segala kemampuan, tenaga, pikiran dan waktu dalam menyelesaikan tesis ini. Namun demikian penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih terdapat banyak kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak untuk penyempurnaannya agar bermanfaat bagi pihak-pihak lain yang membutuhkan.

Atas selesainya tesis ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahrul Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), Sp.A(K)

selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA, selaku Ketua Program Studi


(9)

4. Bapak Dr. R. Hamdani Harahap, M.Si selaku Sekretaris Program Studi Magister Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Prof. Subhilhar, Ph.D selaku Dosen Pembimbing I yang telah

banyak memberikan bimbingan dan saran selama penulisan tesis ini.

6. Bapak Muryanto Amin, S.Sos, M.Si selaku Dosen Pembimbing II yang

telah banyak memberikan bimbingan dan saran selama penulisan tesis ini.

7. Bapak Drs. Heri Kusmanto, MA dan Bapak Drs. Tonny P. Situmorang,

MA selaku Dosen Penguji I dan II yang telah banyak memberikan kritik dan saran yang membangun selama penulisan tesis ini.

8. Bapak/Ibu Dosen, Staf Administrasi dan rekan-rekan mahasiswa Program

Magister Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara terutama rekan-rekan Angkatan ke-15 yang telah banyak membantu proses perkuliahan.

9. Bapak Bupati Kabupaten Serdang Bedagai beserta seluruh Staf Pemkab.

Serdang Bedagai yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian di Kabupaten Serdang Bedagai.

Secara khusus penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sangat mendalam kepada kedua orang tua tercinta Ayahanda Drs. H. Haris Fadillah, M.Si dan Ibunda Dra. Hj. Imas Masriyah serta Adinda Irfan Ramdhani beserta seluruh keluarga atas doa, nasehat, dan dorongan semangat serta bantuan yang diberikan selama ini.

Akhir kata penulis, mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang turut andil dan memberi bantuan baik secara


(10)

langsung maupun tidak langsung, sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Semoga hasil penulisan ini nantinya dapat bermanfaat dan dapat menjadi acuan bagi penelitian-penelitian selanjutnya.

Medan, Mei 2010

Penulis,


(11)

RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Pribadi

Nama : Ihsan Azhari

Tempat, Tanggal Lahir : Bandung, 23 Juli 1987

Alamat : Jl. Jermal XI No. 55/61 Medan

Agama : Islam

Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil (PNS)

Golongan Darah : A

Instansi Tempat Bekerja : Bagian Pemerintahan dan Kerjasama

Setdakab. Serdang Bedagai

Jabatan : Staf Subbag. Otonomi Daerah

Bagian Pemerintahan dan Kerjasama

Setdakab. Serdang Bedagai

Pangkat : Penata Muda (III-a)

NIP. 1987070232010011008

II. Pendidikan

1. SD Harapan II Medan Tamat Tahun 1999

2. SMP Harapan II Medan Tamat Tahun 2002

3. SMA Negeri I Medan Tamat Tahun 2005

4. S1 Ilmu Politik FISIP USU Tamat Tahun 2008

Medan, Mei 2010


(12)

DAFTAR ISI

Hal

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 7

1.3. Tujuan Penelitian ... 10

1.4. Manfaat Penelitian ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kajian Terdahulu ... 11

2.2. Perilaku Memilih... 13

2.3. Birokrasi ... 20

2.4. Birokrasi sebagai Mesin Politik ... 21

2.5. Netralitas Birokrasi Pemerintah ... 23

2.6. Pemilihan Umum Kepala Daerah Langsung dan Demokrasi ... 27

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian... 34


(13)

3.3. Populasi ... 34

3.4. Rencana Sampling... 34

3.5. Teknik Pengumpulan Data ... 37

3.6. Defenisi Konsep ... 40

3.7. Defenisi Operasional ... 41

3.8. Teknik Analisa Data ... 43

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1.Visi Misi dan Program Kerja Calon Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah………. 45

4.1.1. Gambaran Umum Kabupaten Serdang Bedagai ... 45

4.2. Visi Misi dan Program Kerja Calon Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah Pada Pemilukada Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2010 ... 46

4.2.1. Visi Misi dan Program Kerja Calon Nomor Urut 1 ... 47

4.2.2. Visi Misi dan Program Kerja Calon Nomor Urut 2 ... 57

4.2.3. Visi Misi dan Program Kerja Calon Nomor Urut 3 ... 70

4.2.4. Visi Misi dan Program Kerja Calon Nomor Urut 4 ... 88

4.3. Pembahasan……… . 91

4.4. Pendekatan Sosiologis ... 92

4.1.1. Identitas Pemilih ... 92

4.5. Pendekatan Psikologis ... 102

4.5.1. Politik Uang ... 109

4.5.2. Kelompok Penekan ... 116

4.6. Pendekatan Rasional... 121


(14)

4.6. Pembahasan Hasil Penelitian ... 139

4.6.1. Pendekatan Sosiologi ... 140

4.6.2. Pendekatan Psikologis ... 143

4.6.3. Pendekatan Rasional ... 146

4.6.4. Netralitas Birokrasi pada Pemilukada Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2010... 150

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan ... 154

5.2. Implikasi Teori ... 154

5.3. Saran ... 157


(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1 Jumlah Populasi……… 37

2. Partisipasi Responden yang Ikut Memilih pada Pemilukada ... 91

3. Karakteristik Responden menurut Status ... 93

4. Karakteristik Responden menurut Golongan ... 94

5. Karakteristik Responden menurut Jenis Kelamin... 95

6. Karakteristik Responden menurut Usia ... 95

7. Karakteristik Responden menurut Tingkat Pendidikan ... 97

8. Pendapat Responden tentang Pendapatan PNS ... 97

9. Jawaban Responden Apakah Memilih Calon Berdasarkan Agama... 101

10. Jawaban Responden Apakah memilih Calon Berdasarkan Suku... 101

11. Tingkat Pengenalan Responden terhadap Calon Bupati/Wakil Bupati yang ikut Pemilukada di Kabupaten Serdang Bedagai ... 103

12. Sumber Informasi bagi Responden tentang Pemilukada di Kabupaten Serdang Bedagai ... 104

13. Pendapat Responden terhadap Calon Bupati/ Wakil Bupati yang paling Berkesan (disukai) pada Pemilukada di Kabupaten Serdang Bedagai ... 105

14. Orientasi Responden Memilih Calon Bupati/Wakil Bupati yang Berasal dari Incumbent Ikut Pemilukada di Kabupaten Serdang Bedagai ... 107

15. Jawaban Responden Apakah Menerima Pemberian Berkaitan dengan Pemilukada dari Calon Bupati/Wakil Bupati yang Ikut Pemilukada di Kabupaten Serdang Bedagai ... 110

16. Jawaban Responden terhadap Pertanyaan Apakah tetap Memilih kalau tidak Ada yang Memberi dalam Pemilukada di Kabupaten Serdang Bedagai ... 111

17. Alasan responden tetap nyoblos dalam Pemilukada di Kabupaten Serdang Bedagai ... 111


(16)

18. Jawaban responden terhadap pertanyaan apakah tekanan dari oknum tertentu untuk memilih calon tertentu dalam Pemilukada di Kabupaten

Serdang Bedagai ... 117

19. Pengetahuan responden terhadap partai pengusung calon Bupati/

Wakil Bupati yang ikut Pemilukada di Kabupaten Serdang Bedagai ... 122

20. Jawaban responden atas pertanyaan apakah memilih calon Bupati/

Wakil Bupati yang ikut Pemilukada di Kabupaten Serdang Bedagai

berdasarkan partai asalnya ... 123

21. Alasan responden memilih Sosok Figur calon Bupati/Wakil Bupati

yang ikut Pemilukada di Kabupaten Serdang Bedagai ... 124

22. Pendapat responden tentang calon Bupati/ Wakil Bupati yang memiliki

peluang menag lebih besar pada Pemilukada di Kabupaten

Serdang Bedagai ... 125

23. Calon Bupati/ Wakil Bupati pilihan responden pada Pemilukada

di Kabupaten Serdang Bedagai ... 127

24. Penilaian responden terhadap Track Record calon Bupati/ Wakil Bupati

yang dinilai paling baik pada pemilukada ... 127

25. Penilaian responden terhadap perilaku calon Bupati/ Wakil Bupati

yang dinilai paling baik di lingkungan masyarakat ... 128

26. Pengetahuan responden terhadap Janji Kampanye masing-masing

calon Bupati/Wakil Bupati yang ikut Pemilukada di Kabupaten Serdang

Bedagai ... 131

27. Sumber Pengetahuan responden tentang Janji kampanye/isu kampanye

calon Bupati/Wakil Bupati yang ikut Pemilukada di Kabupaten Serdang

Bedagai ... 132

28. Pendapat responden tentang visi misi yang paling bermanfaat dari calon

Bupati/Wakil Bupati yang ikut Pemilukada di Kabupaten Serdang

Bedagai ... 133

29. Pendapat responden tentang visi misi yang paling dapat dipahami dari

calon Bupati/Wakil Bupati yang ikut Pemilukada di Kabupaten Serdang

Bedagai ... 133

30. Kepercayaan responden terhadap janji kampanye calon Bupati/


(17)

31. Pendapat responden tentang program yang dinginkan dari calon Bupati/

Wakil Bupati yang ikut Pemilukada di Kabupaten Serdang Bedagai ... 135

32. Jawaban responden tentang keikutsertaan dalam sebuah kampanye

Pemilukada di Kabupaten Serdang Bedagai ... 136

                         


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Kuesioner Penelitian ... 165

2. Wawancara ... 171

3. Ringkasan Hasil Transkrip Wawancara ... 173


(19)

ABSTRAK

Dalam perspektif demokrasi, kemampuan memilih memungkinkan setiap warga untuk terlibat dalam proses politik. Sehingga perilaku memilih merupakan perilaku yang unik dan sangat penting untuk diamati. Penelitian ini menggunakan tiga pendekatan yaitu pendekatan sosiologis, pendekatan psikologis dan pendekatan rasional. Pemilihan Umum Kepala Daerah Langsung merupakan salah satu bentuk partisipasi politik sebagai wujud dari kedaulatan rakyat. Aparatur birokrasi adalah bagian dari masyarakat yang mempunyai hak yang sama untuk memilih dalam pemilihan umum kepala daerah langsung Perilaku memilih birokrat inilah yang cukup menarik untuk dikaji dalam kaitannya dengan Pemilukada Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2010 yang dimenangkan oleh incumbent.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan 99 orang responden yang dipilih secara acak. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner, observasi, wawancara mendalam dengan key informan, dokumentasi dan penelitian kepustakaan.

Dengan fokus penelitian berusaha menganalisa bagaimana aparatur birokrasi di Kabupaten Serdang Bedagai menentukan pilihan pada Pemilihan umum kepala daerah Serdang Bedagai Tahun 2010 serta mengetahui alasan-alasan yang mendasari aparatur birokrasi di Kabupaten Serdang Bedagai dalam menentukan pilihannya pada saat pemilihan umum kepala daerah secara langsung di Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2010. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aparatur birokrasi dalam hal cara menentukan pilihan pada pemilukada di Serdang Bedagai dipengaruhi oleh model pendekatan rasional. Adapun alasan-alasan yang mendasari aparatur birokrasi/PNS di Kabupaten Serdang Bedagai dalam memilih pada saat pemilihan umum kepala daerah secara langsung di Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2010 adalah dengan mempertimbangkan visi misi dan janji kampanye para calon yang bertarung dalam pemilukada, tingkat kepercayaan terhadap janji-janji kampanye, komitmen dan prestasi calon, track record para calon, perilaku para calon dalam kehidupan bermasyarakat, penilaian terhadap calon yang berpeluang menang lebih besar, program yang ditawarkan oleh para calon, dan kesadaran politik responden yakni semata-mata karena merupakan hak dan tanggungjawab sebagai warga Negara.

Kata Kunci : Prilaku Memilih, Pendekatan Psikologis, Pendekatan Sosiologis, dan Pendekatan Rasional


(20)

ABSTRACT

In the perspective of democracy, voting in elections allows the citizens to involved in the political process. So that voting behavior is unique and important to be observed. This research used three approaches, that are sociological approach, psychological approach, and rational approach. Direct regional chief elections is one form of political participation as a form of popular sovereignty. The bureaucrats is one part of the community who had the same right to vote in direct regional chief elections, it means, there is no prohibition for the bureaucrats to participate in political competition in the direct regional chief elections. The Bureaucrat voting behavior is quite interesting to be studied in relation to direct regional chief elections in Serdang Bedagai regency 2010 which was won by incumbent.

This research use descriptive method with 99 respondents who were randomly selected. Data was collected using questionnaires, observations, depth interview with key informants, documentation and library research. The focus in this research is trying to analyze how the bureaucrats in determining his choice on direct regional chief elections and find out the reasons underlying the bureaucrats in determining his choice during the direct regional chief elections in Serdang Bedagai regency in 2010. The result of research indicates that the bureaucrats voting behaviour is influenced by rational approach. The reasons underlying the bureaucrats voting in Direct regional chief elections in Serdang Bedagai is to consider the vision and mission and the campaign promises of candidates, the trust of campaign promises, commitments and achievements of candidates, track records of candidates, the conduct of candidates in public life,an asessment of the candidates who have a greater chance to win, the programs offered by the candidates and political awareness of the respondents about their rights and responsibilities as a citizens.

Keywords : Voting Behaviour, Psychological approach, Sociological approach, and Rational approach


(21)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, telah banyak terjadi perubahan dalam tatanan pemerintahan di Indonesia. Sistem pemerintahan yang sebelumnya begitu sentralistik, secara perlahan mulai menuju ke arah yang lebih desentralistik. Satu persatu kewenangan pemerintah pusat ditanggalkan dan harus direlakan menjadi kewenangan pemerintah daerah.

Satu hal yang paling berubah secara signifikan dengan berlakunya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 ini adalah mengenai pemilihan kepala daerah. Agenda reformasi digulirkan dengan tujuan mewujudkan iklim yang lebih demokratis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini dapat diwujudkan dengan mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat. Selama ini yang terjadi adalah kedaulatan seakan-akan berada di tangan partai politik. Satu-satunya hak politik yang dimiliki oleh rakyat adalah pada saat memilih orang yang akan mewakili mereka di Dewan Perwakilan Rakyat, baik pusat maupun daerah, melalui Pemilihan Umum. Bahkan yang dipilih rakyat itu hanya gambar, bukan langsung orang yang mereka percayai.

Pemilihan secara langsung bukanlah hal yang baru bagi rakyat Indonesia, karena sebelumnya telah dilaksanakan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara


(22)

langsung juga. Namun pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan hal yang berbeda, mengingat besarnya kewenangan daerah sejak bergulirnya otonomi daerah. Kepala daerahlah yang paling berperan dalam menentukan keberhasilan pembangunan suatu daerah. Dengan kata lain masyarakat lebih banyak berharap kepada kepala daerah dalam memperbaiki kondisi yang telah ada.

Pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) langsung diharapkan akan menghasilkan figure kepemimpinan yang aspiratif, berkualitas dan legitimate. Pemilukada langsung akan mendekatkan pemerintah dengan yang diperintah dan akuntabilitas kepala daerah benar-benar tertuju kepada rakyat. Disamping itu pemilukada langsung merupakan tuntutan dan desakan rakyat yang menghendaki bahwa kepala daerah tidak lagi dipilih oleh DPRD tetapi rakyat dapat menggunakan hak politiknya secara langsung seperti pada pemilihan presiden. Dengan demikian suara rakyat tidak lagi digadaikan kepada politisi di DPRD dan anggota Dewan tidak dapat sepenuhnya memainkan dan memonopoli suara rakyat di daerah. Sehubungan dengan hal ini maka wacana mengenai pemilukada langsung terus bergulir.

Agar pemilihan kepala daerah dapat berjalan dengan baik dan menghasilkan kepala daerah yang berkualitas sesuai dengan harapan masyarakat, dibutuhkan sistem, prosedur dan perangkat yang tepat. Keberhasilan pelaksanaan pemilihan kepala daerah tidak terlepas dari peranan aparat pelaksananya, yaitu KPUD beserta jajarannya, mulai dari Sekretariat, Panwas, PPK sampai pada PPS. Aparat yang profesional, kompeten dan netral akan dapat mewujudkan pemilihan kepala daerah secara jujur dan adil.


(23)

Keberadaan aparatur birokrasi pemerintah (PNS) adalah satu bagian dari masyarakat yang mempunyai hak yang sama untuk memilih dalam pemilukada dan dipilih sebagai calon kepala daerah. Artinya tidak ada larangan bagi aparat birokrasi untuk ikut dalam kompetisi politik digelanggang pemilukada. Namun keikutsertaan aparatur birokrasi dalam upaya memenangkan salah satu calon yang ikut berlaga dalam Pemilukada tentu saja dilarang. Keterkaitan antara Pemilu dan Birokrasi (usable bureaucracy) diantaranya secara jelas tampak dari adanya larangan bagi aparatur birokrasi untuk menjadi anggota dan pengurus Partai Politik serta keharusan mengundurkan diri dari PNS. Larangan ini mengimplikasikan netralitas birokrasi dalam Pemilu, sehingga birokrasi tidak terpolitisasi dan terpolarisasi oleh kepentingan politik tertentu. Dengan demikian birokrasi dapat berkembang menjadi lembaga profesional dan secara efektif dapat digunakan oleh pemerintah demokratis yang baru untuk mengatur dan melayani masyarakat.

Namun menjelang pelaksanaan Pemilukada netralitas aparat birokrasi (PNS) justru banyak dipertanyakan. Hal itu bisa dimaklumi mengingat sejarah birokrasi Indonesia yang selama lebih dari 32 tahun dijadikan tunggangan politik oleh golongan penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Pada satu sisi, Pegawai Negeri Sipil adalah aparat pemerintah yang dituntut untuk bersikap netral dalam pelaksanaan tugasnya, sedangkan di sisi lain mereka juga anggota masyarakat yang memiliki kepentingan-kepentingan politis maupun ekonomis tersendiri menyangkut siapa yang akan terpilih. Seringkali terjadi kepentingan-kepentingan tersebut lebih


(24)

dominan sehingga apa yang diharapkan sebagai pemilihan yang jujur dan adil bisa terancam.

Cerita tentang keterlibatan birokrasi dalam kegiatan Pemilukada sesungguhnya terjadi hampir di semua daerah yang melaksanakan Pemilukada. Setelah rangkaian pilkada 2005, sejumlah studi mengidentifikasi fakta-fakta keterlibatan politik birokrasi dalam pilkada dan pemilu legislatif. Salah satunya studi Indonesia Corruption Watch (ICW). Bersama jaringan kerja di empat daerah (Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Jogjakarta), ICW menemukan 54 indikasi pelanggaran ketentuan tentang fasilitas jabatan selama Pemilu 2009. Pelibatan politik birokrasi

terjadi dalam bentuk mobilisasi Pengawai Negeri Sipil (PNS) (Lihat

http://kangnawar.com/politik-pemilu/netralitas-birokrasi diakses pada 16 Agustus 2010). Modus tersebut paling sering ditemukan. Modus lain berupa penggunaan kendaraan dinas, pelibatan pejabat daerah, penggunaan rumah ibadah, penggunaan rumah dinas, dan penggunaan program populer pemerintah (raskin). Lebih dramatis lagi merujuk pada temuan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Hingga awal Mei, lembaga pengawas tersebut menemukan 1.599 pelanggaran pilkada 2010. Semua dihimpun berdasar temuan pada 16 pilkada yang telah dilangsungkan. Di antara sekian banyak kasus tersebut, ditemukan keterlibatan birokrasi. Yakni, berupa penyalahgunaan fasilitas negara dan mobilisasi PNS.


(25)

Cerita tentang keterlibatan birokrasi di atas juga terjadi di Kabupaten Serdang Bedagai berdasarkan laporan Rekapitulasi dari Panwaslu setidaknya terdapat dua temuan pelanggaran yang melibatkan aparat birokrasi (PNS) dalam pemilukada di Kabupaten Serdang Bedagai 2010. (Laporan Rekapitulasi Penanganan Pelanggaran dan Registrasi Temuan Pelanggaran Panwaslukada Kab. Serdang Bedagai 2010). Hal ini menunjukkan bahwa ada keterlibatan aparatur birokrasi dalam proses pemilukada di Kabupaten Serdang Bedagai. Pelanggaran pertama ditemukan pelanggaran yang melibatkan aparatur birokrasi dalam hal kampanye dengan Tanggal laporan hari Senin tanggal 26 April 2010 dengan nomor Registrasi Laporan No. 06/TP/Panwaslukada SB/IV/2010 yakni pada saat Kampanye Pendeklarasian FKMM, di alun-alun Perbaungan, ada oknum PNS dari Pemkab Serdang Bedagai yang turut serta dalam acara itu dan mendukung salah satu pasangan calon nomor urut 3 yakni pasangan T. Erry Nuradi- Soekirman. Sedangkan pelanggaran kedua dugaan mengenai money politics dengan tanggal laporan 17 Mei 2010 Nomor 11/Lap/Panwaslukada-SB/V/2010 pada tanggal 12 Mei 2010 dilaporkan telah tertangkap basahnya dua Oknum Kepala Dinas Kabupaten Serdang Bedagai, yakni Kepala Dinas Kesehatan dan Kepala dinas Kehutanan serta Oknum Camat Pantai Cermin keliling desa pada pukul 02.30. sebelum pencoblosan di rumah Kepala Desa, Desa Kampung Besar.

Kabupaten Serdang Bedagai merupakan Kabupaten asli hasil pemekaran dari Kabupaten Deli Serdang berdasarkan UU No.36 Tahun 2003 pada tanggal 18 Desember 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Samosir dan Kabupaten Serdang


(26)

Bedagai di Provinsi Sumatera Utara diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 7 Januari 2004.

Sebagai Kabupaten yang baru dimekarkan, Kabupaten Serdang Bedagai dinilai merupakan salah satu daerah pemekaran baru yang cukup berhasil di Indonesia. Sebagai daerah pemekaran yang baru diresmikan pada tahun 2004 silam, Kabupaten Serdang Bedagai tercatat memiliki kinerja sangat tinggi untuk memajukan daerahnya sehingga berhasil masuk dalam deretan 10 besar kabupaten pemekaran

terbaik di Indonesia (Lihat Harian Seputar Indonesia, 9 Austus 2010).

Berkenaan dengan pelaksanaan pemilukada, sejak dimekarkan pada tahun 2004 silam Kabupaten Serdang Bedagai telah melaksanakan Pemilu legislatif dan Pemilukada sebanyak dua kali. Pada masing-masing pemilukada yang dilaksanakan pada tahun 2005 dan 2010 H.T. Erry Nuradi, M.Si dan Ir. H. Soekirman dapat memenangkan dan mempertahankan kekuasaannya sebagai Bupati dan Wakil Bupati di Kabupaten Serdang Bedagai.

Pada pemilukada yang diselenggarakan di 24 daerah di Sumatera Utara pada tahun 2010, hanya ada dua daerah yang dimenangkan kembali oleh calon incumbent, yang salah satunya adalah Kabupaten Serdang Bedagai. Pada pemilukada di Kabupaten Serdang Bedagai tersebut partisipasi pemilih masyarakat dalam Pemilukada 2010 di Kabupaten Serdang Bedagai juga meningkat signifikan daripada pemilu legislatif 2010. Apabila kita perhatikan hasil pemilu legislatif 2010 di


(27)

Kabupaten Serdang Bedagai maka partisipasi politik masyarakatnya adalah 56 persen, sedangkan pada pemilukada 2010 Serdang Bedagai adalah 68 persen maka terjadi kenaikan sekitar 12 persen antara pemilu legislatif dengan pemilukada di Kabupaten Serdang Bedagai. Hal itu menunjukkan bahwa masyarakat lebih antusias terhadap pelaksanaan pemilukada Serdang Bedagai daripada pemilu legislatif. (Lihat Harian Sumut Pos 18 Mei 2010).

Dalam perspektif demokrasi dan politik kekinian, kemampuan memilih memungkinkan setiap warga untuk terlibat dalam proses politik. Sehingga perilaku memilih merupakan perilaku yang unik dan sangat penting untuk diamati (Evans, 2004:1).

1.2. Perumusan Masalah

Serdang Bedagai adalah salah satu kabupaten yang pada tanggal 12 Mei 2010 untuk kedua kali menyelenggarakan pemilukada untuk memilih Bupati dan Wakil Bupati secara langsung. Berdasarkan nomor urut pencalonan, urutan pertama adalah Pasangan calon perseorangan Dr. H. Idham, SH, MKn dan Benhard Sihotang, urutan kedua Drs. H. Chairullah, S.IP, M.AP dan H. Helfizar Purba, S.Sos, urutan ketiga Ir. H.T.Erry Nuradi, M.Si dan Ir. H. Soekirman, dan urutan keempat adalah pasangan calon perseorangan Ir. H. Aliman Saragih, M.Si dan Syamsul Bahri, S.Ag.

Pasangan-pasangan calon kepala daerah yang dicalonkan itu diharapkan mampu membawa dan mewujudkan visi dan misi kabupaten Serdang Bedagai dan mampu mensinergikan potensi yang dimiliki sehingga dapat dibentuk suatu pasangan


(28)

yang solid yang bisa seiring sejalan dan merupakan figur yang marketable di Serdang Bedagai. Artinya karena masyarakat memilih langsung maka figur yang dipilih adalah sosok yang bisa menjual dirinya sendiri kepada masyarakat Serdang Bedagai sehingga calon dengan segala karakteristiknya akan menjadi unsur yang sangat penting. Diantara keempat pasangan calon kepala daerah, pasangan calon Ir. H.T.Erry Nuradi, M.Si dan Ir. H. Soekirman merupakan incumbent atau mantan Bupati dan Wakil Bupati periode sebelumnya.

Sebagai kabupaten baru, Serdang Bedagai sering dijadikan acuan bagi daerah pemekaran yang dianggap berhasil, sehingga pengamatan publik terhadap proses politik di daerah ini juga besar, apalagi pada Pemilukada yang dilaksanakan pada tahun 2010 tersebut berhasil dimenangkan oleh pasangan incumbent.

Pada berbagai daerah dimana salah satu pasangan calon yang ikut dalam pemilukada adalah pasangan incumbent, biasanya dapat dengan mudah memenangkan persaingan. Meski sulit untuk dibuktikan, namun dengan mesin politik yang masih dikuasai yaitu birokrasi pemerintahan dari tingkat kabupaten /kota sampai dengan tingkat lingkungan akan dengan mudah melakukan mobilisasi dukungan guna memenangkan calon incumbent tersebut.

Dengan kondisi tersebut maka aktifitas politik termasuk Pemilihan Umum Kepala Daerah menjadi perhatian banyak pihak, apalagi yang ikut dalam Pemilukada tersebut adalah pasangan Bupati dan Wakil Bupati yang telah berkuasa lima tahun sebelumnya. Keberadaan aparatur birokrasi yang selama ini merupakan bawahan dari pasangan incumbent berada dalam situasi dilematis, karena dianggap


(29)

mendapat intervensi baik dari pimpinan maupun dari oknum lain dari pasangan calon. Hal ini mengundang asumsi apakah kemenangan tersebut salah satunya disebabkan intervensi politik terhadap aparatur birokrasi di lingkungan Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai, seperti yang dituduhkan pada gugatan para calon yang kalah dalam pemilukada Kabupaten Serdang Bedagai, seperti adanya sejumlah pelanggaran yang bersifat masif, terstrukur dan sistematis, money politics, mobilisasi masyarakat dan pengadaan atribut kampanye yang menggunakan dana dari sumber APBD (Gugatan Pemilukada Serdang Bedagai, Jakarta, 19 Mei 2010 oleh HSN & ASSOCIATES, dapat dilihat juga di EKSPOSNews, Kamis, 30 September 2010) ataukah karena alasan lain yang membuat pasangan ini lebih dipilih rakyat Serdang Bedagai dibandingkan calon yang lain.

Proses prilaku dalam menentukan pilihan bagi aparatur birokrasi inilah yang cukup menarik untuk dikaji dalam kaitannya dengan Pemilukada Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2010. Adapun alasan mengapa penulis mengambil studi kasus di Kabupaten Serdang Bedagai adalah karena dalam pemilihan kepala daerah tersebut dimenangkan oleh incumbent.

Berpijak pada uraian tersebut di atas, maka pertayaan penelitian yang hendak dijawab dan dianalisis adalah bagaimana aparatur birokrasi di Kabupaten Serdang Bedagai menentukan pilihan pada Pemilukada Serdang Bedagai Tahun 2010?


(30)

1.3. Tujuan Penelitian

Setiap kajian ilmiah senantiasa diupayakan ke arah terwujudnya tujuan yang diinginkan. Yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui alasan-alasan apa yang mendasari aparatur birokrasi/PNS di Kabupaten Serdang Bedagai dalam menentukan pilihannya pada saat pemilihan umum kepala daerah secara langsung di Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2010.

1.4. Manfaat Penelitian

Kajian ini diharapkan mampu memberikan masukan yang bermanfaat kepada semua pihak secara umum yaitu :

1. Bagi pengembangan ilmu, kajian ini diharapkan mampu memperkaya ilmu

pengetahuan dalam bidang studi pembangunan terutama pembangunan politik.

2. Bagi instansi terutama Pemerintah Daerah, Komisi Pemilihan Umum, dan

Badan Pengawas Pemilihan Umum kajian ini dapat menjadi bahan acuan untuk mengetahui bagaimana prilaku memilih birokrat dalam bidang politik terutama dalam pemilihan umum kepala daerah.


(31)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Kajian Terdahulu

Penelitian mengenai perilaku memilih telah dilakukan oleh beberapa peneliti misalnya adalah Bambang Kuncoro yang melakukan penelitian di Desa Sunyalangu Kabupaten Banyumas. Ia menemukan bahwa karakteristik sosiologis, subkultur aliran dan identifikasi partai cukup relevan untuk menjelaskan perubahan perilaku memilih warga Desa Sunyalangu dalam menentukan Organisasi Peserta Pemilu (OPP). Masyarakat Desa Sunyalangu mempunyai kecenderungan memilih Organisasi Peserta Pemilu lebih besar karena ajakan tetangga daripada program yang ditawarkan Organisasi Peserta Pemilu. Dari hasil penelitian diatas ditemukan fakta bahwa faktor alasan sosiologis berpengaruh besar dalam prilaku memilih masyarakat.

Kemudian penelitian serupa juga dilakukan oleh Udin Hamin yang melakukan penelitian perilaku memilih etnis di Kota Tidore Kepulauan. Ia menjelaskan bahwa rasionalitas, pertimbangan program partai, identifikasi partai, budaya dan lingkungan sosial berpengaruh kuat terhadap perilaku memilih kepala daerah pada masyarakat. Sedangkan kesimpulan lain diperoleh Darussalam menemukan bahwa faktor psikologis sangat besar peranannya untuk menjelaskan perilaku memilih di Indonesia. Sedangkan faktor sosiologis dan faktor rasional tidak terlihat dampaknya terhadap perilaku memilih di Indonesia. Kemudian kesimpulan lain mengenai prilaku memilih


(32)

oleh J. Kristiadi menjelaskan bahwa tingkat pendidikan, profesi, struktur usia, dan tempat tinggal (desa-kota) tidak mempengaruhi perilaku memilih di Indonesia. Kemudian Mohammad Sholihin menjelaskan bahwa pendekatan rasional dan psikologis sangat berpengaruh terhadap prilaku memilih buruh rokok dalam pemilihan kepala daerah langsung di Kudus. Faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut adalah faktor juru kampanye, hibah politik, identifikasi calon, isu kampanye dan visi-misi, dan partai politik. Sedangkan yang terakhir, Budi Jatnika menemukan bahwa afiliasi politik orang tua memiliki pengaruh yang kuat bagi pemilih pemula perkotaan DKI Jakarta, begitu halnya juga dengan figur tokoh dan identifikasi politik mempunyai pengaruh yang kuat, sedangkan loyalitas agama dan isu-isu politik maupun program partai ternyata tidak begitu besar pengaruhnya terhadap pemilih pemula dalam menentukan pilihan politiknya.

Berdasarkan penelitian-penelitian yang pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti politik di atas, penelitian perilaku memilih tidak hanya memfokuskan pada salah satu pendekatan saja malainkan mengkaji berbagai pendekatan yang ada baik pendekatan sosiologis, psikologis, dan rasional. Nampaknya, berbagai pendekatan dalam perilaku memilih ini dapat saling melengkapi baik dalam hal penjelasan maupun kesimpulan.


(33)

2.2. Perilaku Pemilih

Pemilih diartikan sebagai semua pihak yang menjadi tujuan utama para kontestan untuk mereka pengaruhi dan yakinkan agar mendukung dan kemudian memberikan suaranya kepada kontestan yang bersangkutan (Firmanzah,2007:102).

Dinyatakan sebagai pemilih dalam Pemilukada yaitu mereka yang telah terdaftar sebagai peserta pemilih oleh petugas pendata peserta pemilih. Pemilih dalam hal ini dapat berupa konstituen maupun masyarakat pada umumnya. Konstituen adalah kelompok masyarakat yang merasa diwakili oleh suatu ideologi tertentu yang kemudian termanifestasikan dalam institusi politik seperti partai politik dan seorang pemimpin (Firmanzah, 2007:102).

Perilaku memilih dapat ditujukan dalam memberikan suara dan menentukan siapa yang akan dipilih menjadi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam Pemilukada secara langsung. Pemberian suara atau voting secara umum dapat diartikan sebagai sebuah proses dimana seorang anggota dalam suatu kelompok menyatakan pendapatnya dan ikut menentukan konsensus diantara anggota kelompok seorang pejabat maupun keputusan yang diambil (Gosnel F Horald: 32). Pemberian suara dalam pemilukada secara langsung diwujudkan dengan memberikan suara pada pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Ada pun perilaku pemilih menurut Ramlan Surbakti adalah akivitas pemberian suara oleh individu yang berkaitan erat dengan kegiatan pengambilan keputusan untuk memilih atau tidak memilih di dalam suatu pemilihan umum


(34)

(Pemilukada secara langsung). Bila pemilih memutuskan untuk memilih maka pemilih akan memilih dan mendukung kandidat tertentu (Ramlan Surbakti,1997:170).

Keputusan untuk memberikan dukungan dan suara tidak akan terjadi apabila tidak terdapat loyalitas pemilih yang cukup tinggi kepada calon pemimpin jagoannya. Begitu juga sebaliknya, pemilih tidak akan memberikan suaranya kalau mereka menganggap sebuah partai atau calon pemimpin tidak loyal serta tidak konsisten dengan janji dan harapan yang telah mereka berikan.

Perilaku memilih juga sarat dengan ideologi antara pemilih dengan partai politik atau kontestan pemilu. Masing-masing kontestan membawa ideologi yang saling berinteraksi. Selama periode kampanye, muncul kristalisasi dan pengelompokan antara ideologi yang dibawa kontestan. Masyarakat akan mengelompokkan dirinya kepada kontestan yang memiliki ideologi yang sama dan menjauhkan diri dari ideologi yang berseberangan dengan mereka.

Menurut Afan Gaffar yang dikutip oleh Asfar (2005: 47) menyatakan bahwa selama ini penjelasan-penjelasan teoritis tentang voting behavior didasarkan pada tiga model pendekatan yaitu model pendekatan sosiologis, model pendekatan psikologis dan model pendekatan politik rasional. Pendekatan-pendekatan tersebut berasumsi memilih merupakan kegiatan yang otonom, tanpa ada desakan dan paksaan dari pihak lain. Akan tetapi, dalam negara-negara berkembang, masih terdapat paksaan dari pihak luar dan kelompok kepentingan.


(35)

1. Pendekatan Sosiologis (Mahzab Columbia)

Pendekatan yang pertama adalah pendekatan sosiologis. Pendekatan ini merupakan pendekatan perilaku memilih yang berasal dari Eropa, kemudian dikembangkan oleh ilmuwan sosial yang berlatar belakang pendidikan Eropa. Pendekatan ini disebut dengan Mahzab Columbia. Sedangkan Flanagan (dalam Muhammad Asfar, 2006:137) menyebutnya sebagai model sosiologi politik Eropa. Ketika David Denver menggunakan pendekatan ini untuk menjelaskan perilaku memilih masyarakat Inggris, ia menyebutnya dengan sosial determinism approach.

Pendekatan ini lebih menekankan faktor-faktor sosiologis dalam membentuk perilaku politik seseorang. Pendekatan ini pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokkan-pengelompokkan sosial mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan perilaku memilih seseorang. Karakteristik sosial seperti pekerjaan, pendidikan, organisasi dan sebagainya serta karakteristik sosiologis seperti agama, umur, jenis kelamin, dan sebagainya merupakan faktor penting untuk menjelaskan pilihan politik. Pendeknya, perilaku memilih dapat dijelaskan akibat pengaruh identifikasi seseorang terhadap suatu kelompok sosial dan norma-norma yang dianut oleh kelompok atau organisasinya.

Lazarsfeld (dalam Riswanda & Affan Gafar:1993:15) menjelaskan perilaku politik sosiologis merupakan :


(36)

“A person thinks, politically as he is sosially. Sosial characteristics determine political  reference.” 

Teori yang menggunakan pendekatan ini adalah contagion theory atau teori penularan. Menurut teori ini, pilihan politik seseorang dan partisipanship (semangat berpartisipasi seseorang dalam kehidupan politik) dapat menular kepada orang lain melalui kontak sosial seperti penyakit infeksi. Dengan kata lain, perilaku politik seseorang disebabkan apa yang dibicarakan bersama yang akhirnya menjadi pilihan bersama (Martin Harrop:1987:209).

Jadi, menurut pandangan-pandangan dalam pendekatan sosiologis ini, faktor eksternal sangat dominan dalam membentuk kondisi sosiologis yang membentuk perilaku politik dari luar melalui nilai-nilai yang ditanamkan dalam proses sosialisasi yang dialami individu seumur hidupnya. Ada beberapa kritik dalam pendekatan sosiologis ini yaitu kenyataan bahwa perilaku memilih tidak hanya suatu tindakan kolektif tetapi merupakan tindakan individual. Dapat saja seseorang dijejali dengan berbagai norma sosial yang berlaku, tetapi tidak ada jaminan bahwa ketika akan memberikan suara, individu tersebut tidak akan menyimpang dari norma dan nilai yang dimilikinya. Selalu ada kemungkinan individu tersebut menyimpang dari keyakinan kelompoknya ketika dia akan melakukan tindakan politik.


(37)

2. Pendekatan Psikologis (Mahzab Michigan)

Pendekatan yang kedua adalah pendekatan psikologis. Pendekatan ini dikembangkan sebagai respons atas pendekatan sosiologis. Pendekatan psikologis dikembangkan di University of Michigan di Amerika Serikat, sehingga kemudian pndekatan perilaku memilih ini dikenal dengan sebutan Mahzab Michigan (Michigan School). Pelopor pendekatan ini adalah August Campbell.(dalam Muhammad Asfar:141).

Kemunculan pendekatan ini merupakan reaksi atas ketidakpuasan mereka terhadap  pendekatan sosiologis. Pendekatan sosiologis dianggap secara metodologis sulit diukur,  seperti  bagaimana  mengukur  secara  tepat  sejumlah  indikator  kelas  sosial,  tingkat  pendidikan, agama, dan sebagainya. Apalagi pendekatan ini hanya sebatas menggambarkan  dukungan suatu kelompok terhadap kandidat atau partai politik tertentu. Tidak sampai pada  penjelasan mengapa suatu kelompok tertentu memilih/mendukung suatu partai tertentu  sementara yang lain tidak. 

Menurut pendekatan ini, salah satu kekuatan politik adalah produk dari sikap dan  disposisi seorang pemilih. Pendekatan ini lebih mendasarkan faktor psikologis dalam diri  seseorang. Faktor psikologis ini, menurut Riswanda Imawan(1993:12‐13) dideteksi dengan  dua konsep: 

   


(38)

1. Political involvement, yakni perasaan penting atau tidak ingin terlibat dalam isu-isu politik yang bersifat umum.

2. Party identification, yakni preferensi (perasaan suka atau tidak suka

seseorang terhadap satu partai politik atau kelompok elit tertentu).

Seperti namanya, pendekatan ini menggunakan dan mengembangkan konsep psikologi terutama konsep sosialisasi dan sikap untuk menjelaskan perilaku memilih. Menurut pendekatan ini, sosialisasilah yang sebenarnya menentukan perilaku memilih maupun perilaku politik seseorang, bukan karakter sosiologis. Selain itu, pendekatan ini juga menjelaskan bahwa sikap seseorang sebagai refleksi kepribadian seseorang merupakan variabel yang cukup menentukan dalam mempengaruhi perilaku politik seseorang. Menurut Greenstein (Khoirul Anwar, 2006 : 26) terdapat tiga alasan mengapa sikap sebagai variabel sentral untuk menjelaskan prilaku memilih. Pertama, sikap merupakan fungsi kepentingan. Artinya penilaian terhadap suatu objek diberikan bedasarkan motivasi, minat, dan kepentingan orang tersebut. Kedua, sikap merupakan fungsi penyesuaian diri. Seseorang bersikap tertentu sesuai dengan kepentingan orang itu untuk sama atau tidak sama dengan tokoh yang diseganinya atau kelompok panutannya. Ketiga sikap merupakan eksternalisasi dan pertahanan diri. Artinya, sikap seseorang itu merupakan upaya untuk mengatasi konflik batin aau tekanan psikis yang mungkin berwujud mekanisme pertahanan dan eksternalisasi diri seperti proyeksi, rasionalisasi, dan identifikasi. Oleh karena itu, pendekatan psikologis menekankan pada tiga aspek utama yaitu, ikatan emosional


(39)

pada partai politik atau kandidat, orientasi terhadap isu-isu, dan orientasi pada kandidat.

3. Pendekatan Rasional

Selain dua pendekatan tersebut, perilaku dapat didekati dengan pendekatan rasional. Pendekatan ini berkembang atas kritik kepada kedua pendekatan dalam perilaku memilih baik pendekatan sosiologis dan pendekatan psikologis yang menempatkan pemilih pada waktu dan ruang yang kosong. Pemilih seakan-akan menjadi pion yang mudah ditebak langkahnya. Dengan demikian, penjelasan-penjelasan perilaku memilih tidaklah harus permanen, seperti karakteristik sosiologis dan identifikasi partai tetapi berubah-ubah sesuai dengan waktu dan peristiwa-peristiwa dramatik yang juga menyangkut peristiwa-peristiwa-peristiwa-peristiwa yang mendasar.

Penggunaan pendekatan rasional dalam perilaku memilih oleh ilmuwan politik sebenarnya diadaptasi dari ilmu ekonomi. Masyarakat dapat bertindak rasional, yaitu menekan ongkos sekecil-kecilnya untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Maka dalam perilaku memilih rasional (rational choice), pemilih bertindak rasional yaitu memilih kandidat atau partai politik yang dianggap mendatangkan keuntungan yang sebesar-besarnya dan menekan kerugian sekecil-kecilnya. Dengan begitu, para pemilih diasumsikan mempunyai kemampuan untuk menilai isu-isu politik yang diajukan dan mampu menilai isu-isu tersebut. Penilaian rasional terhadap isu politik dan kandidat ini dapat berupa jabatan, informasi, pribadi


(40)

yang popular karena prestasi di bidangnya masing-masing seperti seni, olahraga, film, organisasi politik, dan semacamnya.

Dalam khasanah perilaku memilih, pilihan pemilih berdasarkan pertimbangan isu dan kandidat di atas juga dikenal dengan teori spasial (Muhammad Asfar:148). Teori ini mengasumsikan bahwa para pemilih memilih kandidat yang paling mewakili posisi kebijakan dan kandidat yang dapat memaksimalkan aspirasi mereka. Hucfedlt Carmines menjelaskan bahwa perilaku memilih yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan rasional dan kepentingan diri sendiri disebut sebagai tradisi ekonomi politik (political economy tradition).

2.3. Birokrasi

Secara etimologis istilah birokrasi berasal dari kata bureau (bahasa Prancis) yang berarti ‘meja tulis’ dan kratos (bahasa Yunani) yang berarti pemerintahan (Sastroatmojo, 1995: 189). Secara sederhana dapatlah dikatakan bahwa birokrasi adalah orang-orang yang bekerja di belakang meja tulis di kantor-kantor. Pengertian itu kemudian semakin berkembang. Dalam konteks politik birokrasi diartikan sebagai wujud dari aparat pemerintahan negara dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan melalui serangkaian tahapan atau biro-biro yang masing-masing diberi mandat atau dalam menentukan suatu tahap kebijakan yang disesuaikan dengan kondisi dan situasi tentang kasus yang dihadapi.


(41)

2.4. Birokrasi Sebagai Mesin Politik

Max Weber seorang sosiolog kenamaan Jerman pada awal abad ke 19 menulis karya yang sangat berpengaruh bagi negara-negara di daratan Eropa. Karya itu sampai sekarang dikenal konsep tipe ideal birokrasi. Konsep tipe ideal ini kurang dikenal tentang kritiknya terhadap seberapa jauh peran birokrasi terhadap kehidupan politik, atau bagaimana peran politik terhadap birokrasi. Birokrasi Weberian hanya menekankan bagaimana seharusnya mesin birokrasi itu secara profesional dan rasional dijalankan (Miftah Thoha, 2008:16).

Birokrasi Weberian selama ini banyak diartikan sebagai fungsi sebuah biro. Suatu biro merupakan jawaban yang rasional terhadap serangkaian tujuan yang telah ditetapkan. Ia merupakan sarana untuk merealisasikan tujuan-tujuan tersebut. Seorang pejabat birokrat tidak seyogyanya menetapkan tujuan-tujuan yang ingin dicapai tersebut. Penetapan tujuan merupakan fungsi politik dan menjadi wewenang dari pejabat politik yang menjadi masternya. Oleh karena itu, birokrasi merupakan suatu mesin politik yang melaksanakan kebijakan pejabat politik yang telah diambil atau dibuat oleh pejabat-pejabat politik.

Model Birokrasi Weberian yang selama ini dipahami merupakan sebuah mesin yang dipersiapkan untuk menjalankan dan mewujudkan tujuan-tujuan tersebut. Dengan demikian, setiap pekerja atau pejabat dalam birokrasi pemerintah merupakan pemicu dan penggerak dari sebuah mesin yang tidak mempunyai kepentingan pribadi. Dalam kaitan ini maka setiap pejabat pemerintah tidak mempunyai tanggung jawab publik, kecuali pada bidang tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya.


(42)

Sepanjang tugas dan tanggung jawab sebagai mesin itu dijalankan sesuai dengan proses dan prosedur yang telah ditetapkan, maka akuntabilitas pejabat birokrasi pemerintah telah diwujudkan (Miftah Thoha, 2008:21).

Pemikiran seperti ini menjadikan birokrasi pemerintah bertindak sebagai kekuatan yang netral dari pengaruh kepentingan kelas atau kelompok tertentu. Negara bisa mewujudkan tujuan-tujuannya melalui mesin birokrasi yang dijalankan oleh pejabat-pejabat pemerintah. Weber hanya ingin lebih meletakkan birokrasi ini sebagai suau organisme yang mempunyai kontribusi terhadap kebulatan organik sebuah negara.

Menurut Weber tipe ideal birokrasi yang rasional itu memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1) Individu pejabat secara personal bebas, hanya menjalankan tugas-tugas

impersonal jabatan (mampu memisahkan kepentingan pribadi dan kepentingan dinas).

2) Hirarki jabatan (perjenjangan dan tingkatan) jelas.

3) Fungsi-fungsi jabatan ditentkan dengan tegas dan adanya pembagian kerja

yang jelas.

4) Setiap pejabat dipilih berdasarkan atas dasar kualifikasi

profesionalitasnya, idealnya hal tersebut dilakukan melalui ujian yang kompetitif.

5) Setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak untuk menerima pensiun


(43)

6) Terdapat struktur pengembangan karier yang jelas dengan promosi berdasarkan senioritas dan sistem merit sesuai dengan pertimbangan yang objektif.

7) Setiap pejabat tidak dibenarkan menjalankan jabatannya dan resource

instansinya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya.

8) Setiap pejabat berada di bawah pengendalian dan pengawasan suatu

sistem yang dijalankan secara disiplin.

2.5. Netralitas Birokrasi Pemerintah

Netralitas birokrasi pada hakekatnya adalah suatu sistem di mana birokrasi tidak akan berubah dalam memberikan pelayanan kepada masternya (dari parpol dan pejabat politik yang memerintah), biarpun masternya berganti dengan master (parpol atau pejabat politik) yang lain. Pemberian pelayanan tidak bergeser sedikitpun walaupun masternya berubah. Birokrasi dalam memberikan pelayanan berdasarkan profesionalisme bukan karena kepentingan politik (Mifthah Thoha, 2008 :168).

Masalah netralitas birokrasi pemerintah terhadap pengaruh dan intervensi partai politik nampaknya tidak bisa dianggap ringan sekarang ini. Sejak lama sekali persoalan ini tumbuh bersamaan dengan tumbuhnya demokrasi yang ditandai dengan adanya partai politik. Ketika Maklumat X Wakil Presiden Hatta tahun 1945 diterbitkan, maka di Indonesia mulai dikenal partai-partai politik sebagai sarana rakyat untuk menyalurkan kebebasan berpolitik, bersuara, berserikat, dan kebebasan


(44)

dari rasa takut untuk berbeda pendapat, hingga pada tahun 1955 tersenggaralah pemilu pertama yang dikenal sangat demokratis. Pemilu pertama ini menghasilkan empat partai besar, yakni, PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Partai-partai pemenang pemilu dalam pemilihan sistem pemerintahan yang parlementer pada saat itu, silih berganti memerintah pemerinthan. Mulai saat itu birokrasi pemerintah dikendalikan dan dipimpin oleh Menteri yang berasal dari partai politik. Kebiasaan waktu itu partai politk yang memimpin departemen pemerintah menjadikan departemen pemerintah sebagai basis pengaruh dan dukungan bagi partainya. Netralitas birokrasi pemerintah mulai terganggu, setidaknya kita mulai tidak melihat bahwa birokrasi pemerintah bebas dari pengaruh partai politik.

Ketika Presiden Soekarno kembali kepada UUD 1945, sistem pemerintahan kita menganut sistem presidensial. Dalam sistem presidensial ini pun nampaknya tidak bisa menjadikan birokrasi netral dari pengaruh partai politik. Keadaan seperti ini oleh pemerintah orde baru diteruskan dengan gaya monoloyalitas bagi pegawai negeri sipil kepada kekuaan politik yang memenangkan mayoritas tunggal dalam pemilu. Ketika pemerintahan orde baru, slogan kebijakannya menjadikan birokrasi pemerintah netral dari partai politik. Pegawai negeri dilarang memasuki partai politk. Akan tetapi kebijakan itu merupakan siasat politik pemerintah yang mendominasi pegawai negerimenjadi anggota Golkar yang bukan partai politik. Pada saat itu partai politik hanya ada dua yakni PDI dan PPP.

Pegawai negeri dilarang masuk kedua partai tersebut, tetapi diizinkan masuk Golkar. Itu lah netralitas birokrasi dari pemerintah orde baru. Selama pemerintahan


(45)

orde baru, seperti yang diuraikan di atas, birokrasi pemerintah tidak bisa dibedakan secara jelas mana yang karir dan mana pula yang partisan. Pemerintah orde baru mempergunakan sistem karir dalam peraturannya, akan tetapi hampir semua pejabat birokrasi pemerintah merupakan partisan dari kekuatan politik yang memerintah sebagai mayoritas tungal. Setiap pengangkatan seseorang pada jabatan birokrasi pemerintah dengan menggunakan pertimbangan keanggotan atau pendukung kekuatan politik tertentu merupakan wujud dari intervensi parpol yang bisa mengganggu kenetralan birokrasi.

Sekarang dengan adanya banyak partai politik yang ikut dalam pemilihan umum maka semua partai itu memiliki kesempatan yang sama untuk memenangkan pemilu. Dalam sistem demokrasi maka partai yang memenangkan suara dalam pemilu berhak untuk memimpin pemerintahan ini. Kehadiran partai politik melalui wakilnya yang ditunjuk sebagai menteri yang memimpin suatu departemen, maka kalau tidak diatur sistemnya, ada kemungkinan peristiwa sejarah masa lalu semenjak tahun 1955 kemudian diperluas lagi semasa pemerintahan orde baru, akan terulang lagi. Keadaan seperti ini akan memperlemah posisi birokrasi dari intervensi partai politik maupun pejabat politik, sehingga birokrasi tidak bisa netral. Walaupun sudah ada UU No. 43 Tahun 1999 tentang kepegawaian negri, dan pemerintah juga telah mengeluarkan kebijakan melalui PP No. 5 dan 12 Tahun 1999 agar PNS tidak menjadi anggota dan pengurus parpol, akan tetapi kalau ada upaya dari parpol ataupun pejabat politik yang memimpin suatu departemen untuk mengintervensinya maka peraturan tersebut tidak akan efektif.


(46)

Jika birokrasi memihak kepada salah satu kekuatan partai politik yang sedang memerintah, sementara itu diharapkan birokrasi pemerintah itu memberikan pelayanan kepada rakyat secara adil dan merata sebagaiman tugas dan fungsi negara pada pemerintahan pada umumnya, maka sikap pelayanan tersebut jelas tidak terpuji. Selain tidak terpuji sikap pelayanan tersebut tidak mencerminkan sikap demokratis dan cenderung memberikan peluang bagi suburnya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.

Apabila kita mengamati perkembangan pemerintah daerah setelah reformasi ini kedudukan sistem birokrasi pemerintahan daerah terhadap kepemimpinan pejabat politik yang memimpinnya sangat mengkhawatirkan. Apalagi kalau musim pemilihan umum kepala daerah langsung, salah satu calon adalah bupati yang sedang menjabat, maka pejabat birokrasi tidak ada diskresinya untuk tidak memihak calon bupatinya itu. Demikian pula ketika pemilihan presiden secara langsung, maka bupati yang satu partai dengan partainya calon Presiden bertindak menjadi juru kampanye calon presiden dan di belakang juru kampanye itu berjejer para pejabat birokrasi di daerahnya. Pemerintah maupun partai politik (DPR/DPRD) tidak peka terhadap situasi seperti ini, dan dianggap kejadian seperti itu sebagai dinamika demokrasi. Diskresi pejabat birokrasi, dalam melaksanakan kebijakan pemerintahan menjadi terkandali oleh aspirasi politik dari pejabat politik yang memimpinnya sebagai kepala daerah, belum lagi intervensi kekuatan politik dari parpol yang berada di luar DPRD. Diskresi pejabat adalah keluasan yang dimiliki dalam menjalankan kewenangannya sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Birokrasi


(47)

pemerintah mempunyai keluasan dalam batas-batas nominal yang melekat pada jabatan atau sitem yang ada.

2.6. Pemilihan Umum Kepala Daerah Langsung dan Demokrasi

Demokrasi adalah konsep yang sangat tua yakni abad ke-6 sebelum masehi sampai dengan pertengahan abad ke-4 sebelum masehi dan dipraktekkan di polis-polis (negara kota) di athena dan sekitarnya. Istilah Demokrasi yang menurut asal kata berarti “rakyat berkuasa” atau “government of rule by the people” Kata Yunani demos berarti rakyat, kratos/kratein berarti kekuasaan/berkuasa.

Menurut Henry B. Mayo dalam buku Introduction to Democratic Theory, memberi definisi sebagai berikut, sistem politik yang demokratis ialah di mana kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.

Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat merupakan perwujudan pengembalian “hak-hak dasar” rakyat dalam memilih pemimpin di daerah. Dengan itu rakyat memiliki kesempatan dan kedaulatan untuk menentukan pemimpin daerah secara langsung, bebas dan rahasia tanpa intervensi (otonom).


(48)

Sebagai suatu sistem, sistem pemilukada langsung mempunyai bagian-bagian yang merupakan sistem sekunder atau sub-sub sistem (Joko Prihatmoko, 2005 : 201). Bagian tersebut adalah electoral regulation, electoral process, electoral law inforcement. Electoral regulation adalah segala ketentuan atau aturan mengenai pemilukada langsung yang berlaku, bersifat mengikat dan menjadi pedoman penyelenggaraan, calon dan pemilih dalam menunaikan peran dan fungsi masing-masing. Electoral process dimaksudkan seluruh kegiatan yang terkait secara langsung dengan pemilukada yang merujuk pada ketentuan perundang-undangan baik yang bersifat legal maupun teknikal. Electoral law enforcement yaitu penegakan hukum terhadap aturan-aturan pemilukada baik politis, administratif atau pidana. Ketiga bagian pemilukada langsung tersebut sangat menentukan sejauhmana kapasitas sistem dapat menjembatani pencapaian tujuan dari proses awalnya. Masing-masing bagian tidak dapat dipisah-pisahkan karena merupakan suatu kesatuan utuh yang komplementer.

Kepala daerah adalah jabatan politik dan jabatan publik yang bertugas memimpin birokrasi menggerakkan jalannya roda pemerintahan. Fungsi-fungsi pemerintahan terbagi menjadi perlindungan, pelayanan publik, dan pembangunan. Kepala daerah menjalankan fungsi pengambilan kebijakan atas ketiga fungsi pemerintahan itu. Dalam konteks struktur kekuasaan, kepala daerah adalah kepala eksekutif daerah.

Istilah jabatan publik mengandung pengertian bahwa kepala daerah menjalankan fungsi pengambilan kebijakan yang terkait langsung dengan


(49)

kepentingan rakyat (publik), berdampak terhadap rakyat, dan dirasakan oleh rakyat. Oleh sebab itu, kepala daerah harus dipilih oleh rakyat dan wajib memertanggungjawabkan kepercayaan yang telah diberikan kepada rakyat. Adapun dalam pejabat politik terkandung maksud bahwa mekanisme rekrutmen kepala daerah dilakukan dengan mekanisme politik, yaitu melalui pemilihan umum yang melibatkan elemen-elemen politik, seperti rakyat dan partai-partai politik.

Pemilukada merupakan rekrutmen politik yaitu penyeleksian rakyat terhadap tokoh-tokoh yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah baik Gubernur/Wakil Gubernur maupun Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota. Dalam kehidupan politik di daerah, pemilukada merupakan salah satu kegiatan yang nilainya equivalen dengan pemilihan anggota DPRD. Equivalensi tersebut itunjukkan dengan kedudukan yang sejajar antara kepala daerah dan DPRD. Hubungan kemitraan dijalankan dengan cara melaksanakan fungsi masing-masing sehingga terbentuk mekanisme check and balances. Oleh sebab itu, pemilukada sesungguhnya bagian dari sistem politik di daerah. Sistem pemilukada juga bagian dari sistem politik di daerah.

Aktor utama dari sistem pemilihan umum kepala daerah langsung (pemilukadasung) adalah rakyat, partai politik dan calon kepala daerah/ wakil kepala daerah. Ketiga faktor tersebut terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam rangkaian tahapan-tahapan kegiatan pemilukada langsung (Joko Prihatmoko, 2005:204). Kegiatan tersebut antara lain:


(50)

a. Penetapan daftar pemilih

b. Pendaftaran dan Penetapan calon kepala daerah/ wakil kepala daerah

c. Kampanye

d. Pemungutan suara

e. Penghitungan suara

f. Penetapan pasangan calon kepala daerah/ wakil kepala daerah terpilih,

pengesahan, dan pelantikan.

Karena pemilukada langsung merupakan implementasi demokrasi partisipatoris, maka nilai-nilai demokrasi menjadi parameter keberhasilan pelaksanaan proses kegiatan. Nilai-nilai tersebut diwujudkan melalui azas-azas pemilukada langsung, yang umumnya terdiri dari langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Sebagai implikasinya proses pelaksanaan tahapan-tahapan kegiatan dalam pemilukada harus menegakkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai objektivitas, keterbukaan, keadilan dan kejujuran.

Menurut ajaran John Locke, pemerintah berasal dari persetujuan yang diperintah. Ajaran ini membangkrutkan sistem pewarisan kepemimpinan politik patriarkis secara turun-temurun yang pada masanya diakui yang tersahih. Locke juga mewanti bahwa penguasa yang kemudian terbukti tidak mampu, tidak mau, atau malahan ingkar pada kewajiban asasinya melindungi hak dan kebebasan dasar rakyat, maka ketidakmauan, ketidakmampuan dan keingkaran semacam itu merupakan pembenaran bagi rakyat untuk melengserkannya.


(51)

Rousseau yang terilhami pemikiran Locke juga menyatakan bahwa kesepakatan masyarakat adalah dasar legitimasi kekuasaan di antara manusia (conventions formthe basis of all legitimate authority among men). Karena eksistensi penguasa sesungguhnyalah berasal dari kesepakatan rakyat maka penguasa memiliki tugas asasi melindungi hak dan kebebasan rakyat, pemilik kekuasaan tertinggi. Kedaulatan ada di tangan rakyat.

Munculnya perhatian terhadap transisi demokrasi di daerah berangkat dari suatu keyakinan bahwa adanya demokrasi di daerah merupakan prasyarat bagi munculnya demokrasi di tingkat nasional (Smith, 1998). Pemilukada secara langsung merupakan desain kelembagaan untuk mempercepat proses demokrasi di daerah. Desain ini dimunculkan setelah melihat bahwa penguatan parlemen (DPRD) tidak mampu meningkatkan kualitas demokrasi secara substansial. Sebagaimana di tingkat nasional, adanya pemilu yang demokratis dan sistem multi partai telah memungkinkan adanya sistem perwakilan yang melibatkan kekuatan (descriptive representation). Tetapi, corak sistem perwakilan seperti itu, ditambah kekuasaan dan otoritas yang dimiliki tidak lantas membuat adanya interaksi yang lebih baik antara rakyat dan para wakil. Yang terjadi adalah adanya pergeseran proses politik saja, dari sebelumnya berpusat di eksekutif ke eksekuti-legislatif. Sifat proses politiknya sendiri tetap sama, elitis. Pemilukada secara langsung dimaksudkan untuk meminimalisasi kecenderungan demikian.


(52)

Menurut PP No. 6 tahun 2005, Pemilukada adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota berdasaarkan pancasila dan UUD 1945 untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah. Kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah gubernur dan wakil gubernur untuk provinsi, bupati dan wakil bupati untuk kabupaten, serta walikota dan wakil walikota untuk kota.

Pemilukada merupakan perwujudan dari pasal UUD 1945 18 ayat (4) yang menegaskan bahwa Kepala Daerah yakni Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih secara demokratik, sekalipun tidak ditegaskan “dipilih langsung oleh rakyat”. Untuk melaksanakan pasal 18 ayat (4) UUD 1945, maka dalam pemilihan kepala daerah diatur dengan UU No. 32 tahun 2004 sebagai revisi dari UU no. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam UU No. 32 tahun 2004 pasal 56 ayat (1) menyatakan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Merujuk pada Peraturan KPU No. 72 tahun 2009, penyelenggaraan Pemilukada berpedoman kepada asas mandiri; jujur; adil; kepastian hukum; tertib penyelenggara pemilu; kepentingan umum; keterbukaan; proporsionalitas; profesionalitas; akuntabilitas; efisiensi; dan efektivitas.

Pemilukada diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Kepala Daerah (KPUD). KPUD adalah KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang No. 32 tahun 2004 untuk menyelenggarakan


(53)

pemilihan di provinsi dan/atau kabupaten/kota. Dalam melaksanakan tugasnya, KPUD bertanggung jawab kepada DPRD. Pelaksana pemungutan suara dalam pemilihan pada tingkat kecamatan, desa/kelurahan dan tempat pemungutan suara dilaksanakan oleh Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).

Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik, atau perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang yang memenuhi persyaratan sebagaimana ketentuan. Partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksud dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% (lima belas persen)dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum angota DPRD di daerah yang bersangkutan.


(54)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Metode deskriptif dapat

diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan/ melukiskan keadaan subjek atau objek penelitian seseorang, lembaga, maupun masyarakat pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang

tampak sebagaimana keadaan sebenarnya (Hadari Nawawi,1995:63). Penelitian

deskriptif dimaksudkan untuk melakukan pemahaman yang cermat terhadap fenomena sosial berdasarkan gejala-gejalanya. Penelitian ini dilakukan untuk

memberikan gambaran yang lebih detail mengenai suatu gejala fenomena (Bambang

Prasetyo, 2005:42).

Penelitian deskriptif melakukan analisis dan menyajikan data-data serta fakta-fakta secara sistematis sehingga dapat lebih mudah dipahami dan disimpulkan.


(55)

3.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Lingkungan Pemerintahan Kabupaten Serdang Bedagai.

3.3. Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh komponen yang terlibat dalam penelitian tentang perilaku memilih birokrat dalam pemilihan umum kepala daerah serdang bedagai tahun 2010, yaitu seluruh Pegawai Negeri Sipil yang tercatat pada pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai yakni 6.774 orang yang memiliki hak pilih pada pemilukada, serta pihak-pihak lain yang dianggap mengetahui dan memahami perilaku birokrat seperti Sekretaris Daerah Kabupaten Serdang Bedagai, tokoh masyarakat Serdang Bedagai, Sekretaris Panwaslu Kab. Serdang Bedagai 2010 dan pengamat politik di Serdang Bedagai.

3.4. Rencana Sampling

Setelah kita mengetahui populasi, masalah berikutnya yang harus ditentukan adalah jumlah sampel yang harus diambil, sehingga bias representative untuk mewakili populasi. Sementara untuk menentukan jumlah sampel yang representatif sebenarnya telah ada formula untuk menghitung jumlah sampel. Untuk menentukan sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini digunakan rumus Taro Yamane yaitu :


(56)

n = ___N___ N . d2 + 1 n = Jumlah Sampel

N = Jumlah Populasi

D = Level signifikansi atau Alpha yang diinginkan yaitu 0,1 Hitungan Taro Yamane

n = ___6674__ = 99 responden

6674 . (0,1)2 + 1

Untuk menentukan sebaran sampel dengan kelompok sampel digunakan teknik sampling multistage cluster dengan tahap-tahap sebagai berikut :

a. Semua unit birokrasi dikelompokkan dengan pengelompokan sejenis untuk

diambil 6 unit kelompok responden.

b. Jumlah populasi 6774 dibagi hasil responden yaitu 99 maka diperoleh

bilangan pembagi 68.

c. Dari setiap kelompok responden terpilih, secara acak dipilih beberapa orang

PNS berdasarkan jumlah proporsi jumlah PNS pada masing-masing kelompok responden.


(57)

Tabel 1. Jumlah Populasi

No Kelompok Responden Jumlah Frekuensi Persentase

1 Sekretariat daerah, DPRD, KPU

dan Kantor

258 4 4

2 Dinas, Badan, dan Inspektorat 707 10 10

3 Kecamatan dan Kelurahan 232 3 3

4 Tenaga Medis dan RSUD Sultan

Sulaiman

596 9 9

5 Guru SMA, SMP, SD, dan TK 4428 65 66

6 Staf SMA, SMP, Penilik Sekolah,

KCD Staf dan Penjaga sekolah

553 8 8

Jumlah 6774 99 100

Sementara untuk responden yang mendukung data penelitian kualitatif dilakukan dengan purposive sampling, yaitu pengambilan sampel yang dilakukan dengan sengaja dengan tujuan tertentu. Hal ini dilakukan mengingat objek yang akan diteliti (sumber data) sangat luas, yaitu terdiri dari berbagai instansi terkait dalam pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2010.

3.5. Teknik Pengumpulan Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data yang langsung diperoleh dari lapangan, yang diperoleh melalui:

a. Wawancara, yaitu mendapatkan data dengan cara tanya jawab dan berhadapan langsung dengan key informan (informan kunci) secara mendalam yang dianggap


(58)

1) Sekretaris Daerah Kabupaten Serdang Bedagai (Drs. H. Haris Fadillah, M.Si)

2) Beberapa PNS Pemkab Serdang Bedagai dari Instansi Terkait.

a) Ngadimin, S.Sos (Kasi Penanganan masalah aktual Kesbangpolinmas)

b) Dra. Sri Rahayu (Kasubbag Pemerintahan dan Kerjasama)

c) Eko Sujarwadi, S.T (Kasubid Gotong Royong Badan Pemberdayaan

Masyarakat Desa)

d) Jumarianto, S.AP (Sekretaris Panwaslu Kab. Serdang Bedagai 2010)

3) Tokoh Masyarakat (Safrul Hayadi tokoh masyarakat/ Anggota DPRD Serdang

Bedagai).

4) Pengamat Politik (Drs. Indra Syahrin, M.Si/ Ketua KNPI Serdang Bedagai)

b. Kuesioner, dimaksudkan untuk mendapatkan informasi dan data yang relevan dari responden melalui daftar pertanyaaan tertutup dan terbuka yang diajukan, dengan menyajikan beberapa alternatif jawaban yang sudah ditentukan.

c. Observasi, yaitu melakukan pengamatan langsung terhadap objek penelitian.

d. Sedangkan data sekunder, dilakukan dengan teknik dokumentasi, yaitu data yang

diperoleh telah diolah baik dalam bentuk angka maupun berupa uraian sesuatu hal yang berhubungan dengan penelitian ini dan dapat dijadikan bahan informasi yang diperoleh dari instansi yang terkait dalam perilaku memilih birokrat dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2010. e. Penelitian Kepustakaan


(59)

Penelitian kepustakaan adalah penelitian yang dilakukan dengan cara mempelajari peraturan perundang-undangan dan buku-buku literatur yang berhubungan erat dengan permasalahan yang hendak diteliti, bahan dalam kepustakaan ini terdiri dari:

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mengikat seperti peraturan perundang-undangan.

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer berupa penelitian-penelitian yang pernah dilakukan, jurnal, buku-buku ilmu hukum, majalah, koran dan sebagainya yang berkaitan dengan materi penelitian.

3. Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum tertier yaitu bahan yang mendukung penjelasan bahan hukum primer dan sekunder. Berupa kamus bahasa Indonesia, kamus bahasa Inggris dan kamus hukum.


(60)

3.6. Defenisi Konsep

Konsep adalah unsur penelitian yang terpenting yang merupakan defenisi yang dipakai para peneliti untuk menggambarkan secara abstrak suatu fenomena sosial atau fenomena alam (Singarimbun, 1989 :17). Kerangka konsep adalah hasil pemikiran rasional yang bersifat kriteria dalam memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang akan dicapai. Dengan adanya kerangka konsep ini merupakan bahan yang akan menuntun dan merumuskan hipotesis penelitian (Nawawi, 1995 :40).

Adapun defenisi konsep yang dikemukakan di sini adalah sebagai berikut :

a) Perilaku memilih adalah akivitas pemberian suara oleh individu yang

berkaian erat dengan kegiatan pengambilan kepuusan untuk memilih atau tidak memilih di dalam suatu pemilihan umum (Pemilukada secara langsung). Bila pemilih memutuskan untuk memilih maka pemilih akan memilih dan mendukung kandidat tertentu.

b) Pendekatan Sosiologis adalah pendekatan yang mempunyai pengaruh cukup

signifikan dalam menentukan perilaku pemilih yang didasarkan kepada karakteristik sosial dan pengelompokan-pengelompokan sosial.

c) Pendekatan psikologis adalah pendekatan yang menggunakan dan

mengembangkan konsep psikologi terutama konsep Kognitif, afektif, evaluatif dan konatif dalam sosialisasi, untuk menjelaskan perilaku pemilih.


(61)

d) Pendekatan Rasional adalah pendekatan yang mengutamakan fakta-fakta maupun isu-isu politik menjadi pertimbangan penting. Para pemilih akan menentukan pilihan berdasarkan penilainnya terhadap isu-isu politik dan kandidat yang diajukan.

3.7. Defenisi Operasional

Defenisi operasional adalah unsur peneliti yang memberitahukan bagaimana caranya mengukur suatu variabel. (Singarimbun, 1989:32) Tujuannya yaitu untuk memudahkan penulis dalam melakukan penelitian di lapangan, maka perlu operasionaliasi dari konsep-konsep yang digunakan yang bertujuan untuk menggambarkan perilaku atau gejala-gejala yang dapat diamati dengan kata-kata yang dapat diuji dan ditentukan kebenarannya oleh orang lain. Dalam penelitian ini maka defenisi operasionalnya adalah :

a. Pendekatan Sosiologis

Pendekatan sosiologis yaitu terdiri dari:

Latar belakang demografi dan sosial ekonomi, seperti jenis kelamin, pendidikan, agama, suku dan pendapatan.

b. Pendekatan Psikologis


(62)

1) Tingkat pengenalan responden terhadap calon Bupati/Wakil Bupati yang ikut Pemilukada di kabupaten Serdang Bedagai yang;

2) Persepsi responden terhadap calon Bupati/Wakil Bupati yang ikut Pemilukada

di kabupaten Serdang Bedagai yakni pendapat responden tentang calon mana yang paling berkesan yakni pilihan responden berkaitan dengan kandidat yang paling menarik secara emosional;

3) Orientasi responden terhadap calon yang berkesan (dilihat dari performa atau

penampilan, loyalitas, prilaku pencitran) dalam memilih calon incumbent Bupati/Wakil Bupati di kabupaten Serdang Bedagai;

4) Intervensi yang dilakukan oleh oknum tertentu yang melibatkan tekanan

psikis terhadap pemilih.

5) Money Politics atau lebih popular istilahnya adalah politik uang adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum.

c. Pendekatan Rasional

Pendekatan rasional terdiri dari:

1) Alasan seseorang memilih berdasarkan visi misi pembangunan yang dinilai

bermanfaat


(1)

- Mengenai Keterlibatan PNS dalam Pemilukada

 Tentu saja ada beberapa PNS yang terlibat langsung dalam pemilukada di Sergai ini, motifnya pun berbeda-beda, ada yang diiming-imingi hadiah seperti uang oleh tim sukses dari masing-masing calon, biasanya hal tersebut dilakukan secara pribadi atau perorangan saja, jadi ya kalo ketahuan tanggung akibatnya sendiri. Biasanya keterlibatan PNS ini secara kasat mata tidak tampak, mereka cenderung berhati-hati dan tidak mau menampakkannya ke publik, Ya malu-malu lah soalnya kalau ketahuan bisa berbahaya juga kan - Mengenai adanya intervensi

 Pimpinan tidak pernah mengintervensi bawahannya secara langsung, tidak ada paksaan kita harus memilih calon tertentu. Namun ada suatu kondisi dimana PNS tidak mau keluar dari zona aman, Jadi kita pilih saja yang sudah teruji, yang sudah terbukti dapat menciptakan suasana yang kondusif bagi PNS. Kalau memang yang calon yang lama sudah bagus, ngapain kita coba-coba pilih calon yang lain yang belum teruji.

6. Dra. Sri Rahayu Kasubbag Pemerintahan

- Mengenai hal yang mempengaruhi prilaku memilih dan Strategi dalam Pemilukada


(2)

(Tanggal 21 Januari 2011)

7. Zuma Arianto, S.AP

Sekrtearis Panwaslu Pemilukada Kabupaten Serdang Bedagai 2010 (Tanggal 13 Januari 2010)

- Mengenai Keterlibatan PNS dalam Pemilukada

 Keterlibatan PNS dalam Pemilukada merupakan hal yang lumrah terjadi dan sangat sulit untuk dicegah, Kita hanya bisa mengawasi saja dan melaporkan apabila ada terjadi pelanggaran, anda bisa ambil kesimpulan sendiri dari data rekapitulasi temuan pelanggaran yang saya berikan. Sebagai orang yang berpendidikan kita harus lebih selektif dalam memilih calon kepala daerah dan wakil kepala daerah

8. Andika Setiawan Staf BKD

(Tanggal 25 Januari 2011)

- Mengenai Adanya Politik Uang

 Ada pemberian juga berupa kaus, gantungan kunci, kalender dan sebagainya. Alasan saya memilih bukan karena ada yang bersedia memberikan imbalan, jadi siapa yang menurut saya bagus, itu yang kita pilih


(3)

9. Yedi Sipayung Oknum Guru di Dinas Pendidikan (Tanggal 3Mei 2011)

- Mengenai adanya intervensi

 Dalam hal ini ada beberapa oknum dari dinas pendidikan yang mengajak para guru-guru untuk memilih calon tertentu pada saat Pemilukada, namun dalam hal ini kami tidak terpengaruh. Mereka boleh saja menekan tetapi pilihan tetap ada ditangan kami. Terserah kami mau memilih siapa. 10.Ahyar

Hasibuan Staf Sekretaris Dewan (DPRD) (Tanggal 11 Mei 2011)

- Mengenai adanya intervensi

 Setiap apel pagi selalu diingatkan PNS harus merapatkan barisan, bahkan salah satu oknum SKPD menyebutkan bahwa yang tidak bisa bekerjasama dan merapatkan barisan tidak perlu dipertahankan, jangan menjadi duri dalam daging. PNS haus loyal kepada pimpinan.

11.Faisal Hasrimy, M.AP Kabag Umum Setdakab Serdang Bedagai

(Tanggal 2 Mei 2011)

- Mengenai adanya intervensi

 Disini tidak dipungkiri bahwa intervensi pasti terjadi, tetapi intervensi yang dilakukan adalah intervensi secara halus, dan tidak memaksa. Intervensi tersebut bisa berupa kebijakan-kebijakan yang menguntungkan bagi salah satu calon, yakni calon incumbent namun saya pikir hal tersebut tidak terlalu berpengaruh signifikan bagi PNS karena menurut saya tanpa intervensi pun yang akan menang adalah calon yang menurut PNS lebih baik


(4)

(5)

Lampiran IV. Rekapitulasi Suara Pemilukada RINCIAN PEROLEHAN SUARA SAH PASANGAN CALON

KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH DAN SUARA TIDAK SAH TINGKAT KPU KABUPATEN

KECAMATAN

A

SUARA SAH PASANGAN CALON KEPALA DAERAH

DAN WAKIL KEPALA DAERAH Jumlah Pindah an SEI BAMBA N

SIPISPIS SERBAJA DI TEBING SYAHBAND AR TANJUN G BERING IN TEBIN G TINGG I TELUK MENGKU DU JUML AH AKHIR %

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1

1 12 13

1

Dr. H. Idham, SH, M.Kn dan Benhard Sihotang 6,413 4,006 534

273 764

806 1,116 525 14,437 5.38%

2

Drs. H. Chairullah, S.IP, M.AP

dan

H. Helfizar Purba, S.Sos (H.OK.David Purba, S.Sos)

43,891 4,686 2,731

2,305 2,227

5,306 2,042 8,164 71,352 26.60 % 3

Ir. H.T.Erry Nuradi, M.Si dan

Ir. H. Soekirman

91,401 8,745 7,194

5,818 9,666

7,597 14,112 8,132 152,665 56.91 % 4

Ir. H. Aliman Saragih, M.Si dan

Syamsul Bahri, S.Ag

17,527 902 5,000

545 1,686

1,335 2,105 711 29,811 11.11 % JUMLAH SELURUH SUARA

SAH PASANGAN CALON KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH

159,23 2 18,339 15,459

8,941 14,343

15,044 19,375 17,532 - - 268,265 100

B SUARA TIDAK SAH

43,891 312 207

109 271

215 290 221 45,516


(6)

KECAMATAN A

SUARA SAH PASANGAN CALON KEPALA DAERAH

DAN WAKIL KEPALA DAERAH

Jumlah Pindaha

n

SEI

BAMBAN SIPISPIS

SERBAJA DI

TEBING SYAHBAND

AR

TANJUNG BERINGIN

TEBING TINGGI

TELUK MENGKUD

U

JUML AH AKHI

R

%

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

1

Dr. H. Idham, SH, M.Kn dan

Benhard Sihotang

6,413 4,006 534 273 764 806 1,116 525 14,437 5.38%

2

Drs. H. Chairullah, S.IP, M.AP

dan

H. Helfizar Purba, S.Sos (H.OK.David Purba,

S.Sos)

43,891 4,686 2,731 2,305 2,227 5,306 2,042 8,164 71,352 26.60

%

3

Ir. H.T.Erry Nuradi, M.Si dan

Ir. H. Soekirman

91,401 8,745 7,194 5,818 9,666 7,597 14,112 8,132 152,66

5

56.91 %

4

Ir. H. Aliman Saragih, M.Si

dan

Syamsul Bahri, S.Ag

17,527 902 5,000 545 1,686 1,335 2,105 711 29,811 11.11

% JUMLAH SELURUH SUARA

SAH PASANGAN CALON KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH

159,232 18,339 15,459 8,941 14,343 15,044 19,375 17,532 - - 268,265

100