Pengaruh Undang-Undang Otonomi Daerah Terhdap Kekuasaan Kepala Daerah (Studi Kasus: Deskripsi Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Kekuasaan Kepala Daerah di Kabupaten Tapanuli Tengah)

(1)

PENGARUH UNDANG – UNDANG OTONOMI DAERAH TERHADAP

KEKUASAAN KEPALA DAERAH

(

Studi Kasus: Deskripsi Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Kekuasaan Kepala Daerah di Kabupaten Tapanuli Tengah)

D I S U S U N OLEH:

NOVAN A. L TOBING ( 080906011 )

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2012


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

NOVAN A. L TOBING (080906011)

PENGARUH UNDANG – UNDANG OTONOMI DAERAH TERHADAP KEKUASAAN KEPALA DAERAH (Studi Kasus: Deskripsi Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Kekuasaan Kepala Daerah di Kabupaten Tapanuli Tengah).

Rincian Isi Skripsi: 72 halaman, 17 tabel, 3 wawancara, 17 buku, 4 Data dari instansi Pemerintah, 2 dari Undang – Undang Pemerintah (kisaran buku dari tahun 1984 – 2012)

ABSTRAK

Penelitian ini mencoba menganalisis bagaimana Undang – Undang otonomi daerah No. 32 tahun 2004 mempengaruhi kekuasaan kepala daerah didalam melaksanakan penyelenggaraan daerah. Disamping itu apakah pengaruh itu memiliki dampak yang buruk atau tidak. Undang – Undang otonomi daerah No. 32 dinilai cenderung mengarah kepada resentralisasi. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya pasal – pasal yang mengindikasikan terjadinya pengikisan kekuasaan kepala daerah. Misalnya, Kepala daerah yang dipilih oleh rakyat secara langsung beradasarkan UU No. 32 tahun 2004 masih tetap berada dibawah kewenangan dari pusat baik dalam soal pengelolaan, pertanggung jawaban, maupun pembinaan dan pengawasan, sehingga tidak sembarangan membuat sebuah keputusan yang strategis kepada daerahnya. Hal ini tentu saja dapat menimbulkan sebuah dilema bagi kepala daerah. Ketika mereka ingin menerapkan sebuah kebijakan didaerahnya, namun karena tidak mendapat persetujuan dari pusat maka kebijakan itu harus kandas.Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder, dimana data primer yang akan dikumpulkan berasal dari wawancara (interview) dengan narasumber yang memang memiliki kapasitas untuk menjawab masalah penelitian ini. Disamping itu juga akan menyebarkan kuesioner sebanyak 67 buah untuk menunjang hasil penelitian. Dan yang menjadi narasumber maupun objek kuesioner adalah para

stakeholder atau pengambil kebijakan di lingkungan pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah dan juga anggota Legislatif di DPRD Tapanuli Tengah.Selain itu, untuk menunjang data – data primer tersebut, maka penulis juga menggunakan data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari berbagai sumber (library research) seperti buku, majalah, laporan, jurnal, surat kabar dan lain – lain yang terkait dengan judul penelitian ini. Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah penyelenggaraan pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah di beberapa bagian berjalan tetap dengan baik, namun posisi kepala daerah akibat dari penerapan Undang – Undang otonomi daerah menjadi dilematis karena terjadinya pengurangan wewenang kepala daerah.


(3)

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA

SCIENCE FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTMENT OF POLITICAL SCIENCE

NOVAN A. L TOBING (080906011)

LOCAL AUTONOMY LAWS EFFECT ON HEAD OF REGIONAL POWER (Case Study: Description of Local Autonomy and Head of Regional Power inTapanuli Tengah Regency). Details of Thesis Contents: 72 pages, 17 tables, 3 interviews, 17 books, 4 Data from government agencies, 2 of the laws of Government (range of books from the year 1984 to 2012)

ABSTRACT

This study attempted to analyze how the Laws of local autonomy No. 32 of 2004 affect the power head in carrying out the implementation of local area. Besides, it does influence it had a bad effect or not. Laws of local autonomy No. 32 assessed tends to lead to recentralisation. This is evidenced by the many chapters indicating an erosion of the power of the head area. For example, the head of the area chosen by the people directly by Local autonomy Law No. 32 of 2004 still remain under the authority of the center both in terms of management, accountability, and guidance and supervision, so do not carelessly made a strategic decision to region. This of course can lead to a dilemma for the head region. When they want to implement a policy of its region, but because they do not get approval from the center of the policy that have run aground. This research is a descriptive study, in this study the data used are primary data and secondary data, which will be the primary data collected from interviews (interview) with sources that do have the capacity to answer the research problem. Besides, it will also be distributing questionnaires to support as many as 67 pieces of research results. And the informant questionnaires and object are the stakeholders or decision-makers in the government's Tapanuli Tengah and also a member of the Legislature in Tapanuli Tengah. Also, to support the data - the primary data, the authors also use secondary data. Secondary data is data obtained from various sources (library research) such as books, magazines, reports, journals, newspapers, and others - others related to the title of this study. The conclusion of this research is the implementation of the government's Central Tapanuli some parts still running well, but the position of head of the regional consequences of the application of local autonomy laws is a dilemma due to the reduction in local authority heads.


(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan, Yesus Kristus Juru Selamat yang hidup, karena atas karunia dan berkat-NYA penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul PENGARUH UNDANG – UNDANG OTONOMI DAERAH TERHADAP KEKUASAAN KEPALA DAERAH, Studi Kasus: Deskripsi Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Kekuasaan Kepala Daerah di Kabupaten Tapanuli Tengah)yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Penulis menyadari sepenuhnya tanpa adanya dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, mustahil skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Yang terutama penulis sampaikan ucapkan terima kasih yang tak terhingga buat keluarga tercinta, orangtuaku Jhonny Lumbantobing S.E dan Marat Br Pakpahan yang selalu mengingatkan, mendoakan dan memberi semangat buat penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Dan juga kepada saudaraku, Kakakku Debora Apriani dan Adik – adikku Ruth Damayanti dan Felix Rodo Anugrah yang juga turut memberikan semangat dan doa kepada penulis.

Penulis juga memberikan rasa terima kasih yang sebesar – besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

2. Ibu Dra. T. Irmayani, M.Si selaku Ketua Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU

3. Bapak Drs. Zakaria Taher, M.SP selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis

4. Bapak FaisalAndri, S.IP, M.Si selaku Dosen Pembaca yang telah memberikan masukan dan bimbingan kepada penulis

5. Seluruh Dosen yang telah mengajar penulis selama masa perkuliahan dan seluruh staf Departemen Ilmu Politik FISIP USU

6. Bang Rusdi dan Kak Ema yang telah banyak memberikan bantuan yang berarti buat penulis selama mengikuti proses perkuliahan di FISIP USU

7. Semua teman – teman mahasiswa FISIP USU umumnya dan mahasiswa Departemen Ilmu politik khususnya, terima kasih buat dukungannya.


(5)

8. Hasudungan, Siska, Anwar, Julius, Nehemia, Valentinus, Tamado, Yosua trims ya kawan – kawan buat bantuannya selama ini, semoga kita semua sukses ke depan

9. Teman – Teman politik 08, Hizkia, Farid, Micael, Elizabeth, Yova, Intan, Desi, Elfrida, Yunda, Winner, Dhani “oppung”, Pahrur Roji, Martin Sinuraya, To’ang, To’ing, Dede, Ridho, Imam, Lae Moses, Lae Limmi dan teman – teman lainnya yang tidak bias saya sebutkan satu per satu, yang sudah wisuda sukses ya ke depannya, yang belum segeralah menyusul ya teman – teman

10.Teman – Teman politik 09, Nico, Putra dll. Semoga cepat menyusul ya

11.Sahabat – sahabatku SC XII ( Alex, Christian, Darwin, Harisen, Luhut, Sandro, Andi “rio”, Andi, Sandro, Martin “merlep” dan Putra “Poger”) sampai kapanpun dimanapun kita berada, kita tetap sahabat

12.Teman – Teman NHKBP jalan Pelajar Ressort Jalan Pelajar, terima kasih buat doa dan dukungan yang diberikan

13.Kantor Sekretariat Daerah Kabupaten Tapanuli Tengah, Kantor DPRD Tapanuli Tengah dan para Pimpinan SKPD Tapanuli Tengah terima kasih atas segala masukan dan kemudahan data yang diberikan

Serta semua pihak yang secara langsung atau tidak langsung telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu, penghargaan tinggi buat kalian semua.

Penulis telah mencurahkan segala kemampuan, tenaga, pikiran dan waktu dalam menyelesaikan skripsi ini. Namun demikian penulis menyadari skripsi ini masih banyak memiliki kekurangan, untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan masukan yang membangun dari para pembaca. Semoga skripsi ini bermanfaat.

Medan, 12 Desember 2012

Penulis Novan A. L Tobing


(6)

DAFTAR ISI

Abstrak………... i

Abstract……….. ii

Kata Pengantar……… iii

Daftar Isi………... v

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah ... 1

I.2 Perumusan Masalah ... 7

I.3Tujuan Penelitian ... 7

I.4Manfaat Penelitian ... 7

I.5Kerangka Teori ... 8

I.5.1 Otonomi Daerah.………..………..8

I.5.2 Kekuasaan ………...……….10

I.5.1.1 Definisi Kekuasaan ……….10

I.5.1.2 Dimensi – Dimensi Kekuasaan… ..…….……….11

I.5.1.3 Sumber – Sumber Kekuasaan… ….………..………...13

I.5.3 Pemerintahan ………15

I.5.2.1 Defenisi Pemerintahan ………….………..……….15

I.5.2.2 Bentuk Pemerintahan....………...16

I.5.4 Legitimasi dan Kewenangan ………17

I.5.3.1 Objek Legitimasi ………..………...17

I.5.3.2 Kadar Legitimasi …..………..………...19

I.5.3.3 Cara Mendapatkan Legitimasi ………..………...20

I.5.3.4 Tipe – Tipe Legitimasi………..………...20

I.5.3.5 Kewenangan ………..……….21

I.5.3.6 Sumber Kewenangan………..……….………....22

I.6 Metode Penelitian ………...…..24

I.6.1 Jenis Penelitian ………...………..24

I.6.2 Data dan Teknik Pengumpulan Data ………25


(7)

I.7. Sistematika Penulisan ………26

BAB II DESKRIPSI LOKASI, PROFIL PEMERINTAHAN DAN PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN DI KABUPATEN TAPANULI TENGAH II.1 Sejarah Kabupaten Tapanuli Tengah ...………..27

II.2 Kondisi Geografis Daerah Tapanuli Tengah ………30

II.3 Kondisi Demografi, Ekonomi dan Sosial Budaya ………30

II.3.1 Kondisi Demografi………..30

II.3.2 Kondisi Ekonomi……….32

II.3.3 Kondisi Sosial Budaya……….32

II.4 Struktur Pemerintahan Kabupaten Tapanuli Tengah ………....33

II.5 Potensi Daerah Kabupaten Tapanuli Tengah ……….36

II.5.1 Potensi Bidang Kelautan dan Perikanan………..36

II.5.2 Potensi Bidang Kehutanan dan Perkebunan………37

II.5.3 Potensi Bidang Pertanian dan Peternakan………38

II.5.4 Potensi Bidang Pertambangan dan Energi………...39

II.5.5 Potensi bidang Industri……….40

II.6 Perkembangan Pembangunan di Kabupaten Tapanuli Tengah………...40

BAB III ANALISIS DATA TENTANG PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DAN KEKUASAAN KEPALA DAERAH DI KABUPATEN TAPANULI TENGAH III.1 Kondisi penyelenggaran Pemerintahan Daerah di Kabupaten Tapanuli Tengah ………..47

III.1.1 Hak dan Kewajiban Daerah………48

III.1.2 Tugas dan Wewenang serta Kewajiban Kepala Daerah……….51

III.1.3 Kepegawaian Daerah………..54

III.1.4 Pembinaan dan Pengawasan………...57

III.2 Positif dan Negatif Pengaruh UU No.32 Tahun 2004 Terhadap Kekuasaan Kepala Daerah Dalam Menjalankan Pemerintahannya ………....60

BAB IV PENUTUP IV.1 Kesimpulan………...68

IV.2 Saran……….69


(8)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

NOVAN A. L TOBING (080906011)

PENGARUH UNDANG – UNDANG OTONOMI DAERAH TERHADAP KEKUASAAN KEPALA DAERAH (Studi Kasus: Deskripsi Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Kekuasaan Kepala Daerah di Kabupaten Tapanuli Tengah).

Rincian Isi Skripsi: 72 halaman, 17 tabel, 3 wawancara, 17 buku, 4 Data dari instansi Pemerintah, 2 dari Undang – Undang Pemerintah (kisaran buku dari tahun 1984 – 2012)

ABSTRAK

Penelitian ini mencoba menganalisis bagaimana Undang – Undang otonomi daerah No. 32 tahun 2004 mempengaruhi kekuasaan kepala daerah didalam melaksanakan penyelenggaraan daerah. Disamping itu apakah pengaruh itu memiliki dampak yang buruk atau tidak. Undang – Undang otonomi daerah No. 32 dinilai cenderung mengarah kepada resentralisasi. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya pasal – pasal yang mengindikasikan terjadinya pengikisan kekuasaan kepala daerah. Misalnya, Kepala daerah yang dipilih oleh rakyat secara langsung beradasarkan UU No. 32 tahun 2004 masih tetap berada dibawah kewenangan dari pusat baik dalam soal pengelolaan, pertanggung jawaban, maupun pembinaan dan pengawasan, sehingga tidak sembarangan membuat sebuah keputusan yang strategis kepada daerahnya. Hal ini tentu saja dapat menimbulkan sebuah dilema bagi kepala daerah. Ketika mereka ingin menerapkan sebuah kebijakan didaerahnya, namun karena tidak mendapat persetujuan dari pusat maka kebijakan itu harus kandas.Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder, dimana data primer yang akan dikumpulkan berasal dari wawancara (interview) dengan narasumber yang memang memiliki kapasitas untuk menjawab masalah penelitian ini. Disamping itu juga akan menyebarkan kuesioner sebanyak 67 buah untuk menunjang hasil penelitian. Dan yang menjadi narasumber maupun objek kuesioner adalah para

stakeholder atau pengambil kebijakan di lingkungan pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah dan juga anggota Legislatif di DPRD Tapanuli Tengah.Selain itu, untuk menunjang data – data primer tersebut, maka penulis juga menggunakan data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari berbagai sumber (library research) seperti buku, majalah, laporan, jurnal, surat kabar dan lain – lain yang terkait dengan judul penelitian ini. Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah penyelenggaraan pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah di beberapa bagian berjalan tetap dengan baik, namun posisi kepala daerah akibat dari penerapan Undang – Undang otonomi daerah menjadi dilematis karena terjadinya pengurangan wewenang kepala daerah.


(9)

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA

SCIENCE FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTMENT OF POLITICAL SCIENCE

NOVAN A. L TOBING (080906011)

LOCAL AUTONOMY LAWS EFFECT ON HEAD OF REGIONAL POWER (Case Study: Description of Local Autonomy and Head of Regional Power inTapanuli Tengah Regency). Details of Thesis Contents: 72 pages, 17 tables, 3 interviews, 17 books, 4 Data from government agencies, 2 of the laws of Government (range of books from the year 1984 to 2012)

ABSTRACT

This study attempted to analyze how the Laws of local autonomy No. 32 of 2004 affect the power head in carrying out the implementation of local area. Besides, it does influence it had a bad effect or not. Laws of local autonomy No. 32 assessed tends to lead to recentralisation. This is evidenced by the many chapters indicating an erosion of the power of the head area. For example, the head of the area chosen by the people directly by Local autonomy Law No. 32 of 2004 still remain under the authority of the center both in terms of management, accountability, and guidance and supervision, so do not carelessly made a strategic decision to region. This of course can lead to a dilemma for the head region. When they want to implement a policy of its region, but because they do not get approval from the center of the policy that have run aground. This research is a descriptive study, in this study the data used are primary data and secondary data, which will be the primary data collected from interviews (interview) with sources that do have the capacity to answer the research problem. Besides, it will also be distributing questionnaires to support as many as 67 pieces of research results. And the informant questionnaires and object are the stakeholders or decision-makers in the government's Tapanuli Tengah and also a member of the Legislature in Tapanuli Tengah. Also, to support the data - the primary data, the authors also use secondary data. Secondary data is data obtained from various sources (library research) such as books, magazines, reports, journals, newspapers, and others - others related to the title of this study. The conclusion of this research is the implementation of the government's Central Tapanuli some parts still running well, but the position of head of the regional consequences of the application of local autonomy laws is a dilemma due to the reduction in local authority heads.


(10)

BAB I

Pendahuluan

I.1. Latar Belakang Masalah

Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.

Otonomi daerah menurut para pendukungnya merupakan sarana demokratisasi. Pemerintahan yang menerapkan otonomi daerah cenderung menciptakan efek penguatan dalam proses demokratisasi karena aspek edukatif otonomi daerah. Otonomi daerah memberikan peluang kalangan masyarakat dalam debat politik dan dalam pemilihan para wakilnya. Didalam Undang – Undang otonomi daerah sendiri juga diakui bahwa demokratisasi merupakan tujuan eksplisit yang hendak dicapai.Otonomi daerah merupakan sebuah terobosan dalam sistem pemerintahan dimana pemerintah daerah diberikan kewenangan oleh pemerintahan pusat dalam mengelola daerahnya sesuai dengan potensi daerah masing – masing. Artinya adalah bahwa disini pemerintah pusat memberikan kepada daerah sebuah kewenangan strategis dalam mengelola dan memutuskan strategi kebijakan di daerah.

DR. M. Mas’ud Said, menjelaskan definisi otonomi daerah itu adalah:

Sebagai sebuah proses devolusi dalam sektor publik dimana terjadi pengalihan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintahan provinsi dan kabupaten / kota. Dengan kata lain, dalam konteks Indonesia otonomi daerah diartikansebagai proses pelimpahan kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi dan kabupaten / kota sebagaimana yang diamanatkan oleh UU.1

Dalam mengamalkan dan melaksanakan otonomi daerah, haruslah dikonsep aturan mainnya dalam bentuk Undang – Undang. Hal ini guna menghindari pelaksanaan otonomi

1


(11)

daerah tidak mengalami kekacauan selain itu Undang – Undang yang ada nantinya dapat menjadi rujukan dan pedoman bagi daerah – daerah untuk melaksanakan otonomi daerah dengan baik.

Adapun Undang – Undang yang terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah antara lain: Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang-Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

Pada masa orde baru telah dikonsep sebuah Undang – Undang terkait dengan otonomi daerah yakni UU No. 5 tahun 1974 tentang pokok – pokok pemerintahan daerah. Namun meski dikatakan UU mengenai pembagian kewajiban dan hak daerah, namun pada kenyataannya UU ini hanya menunjukkan betapa kontrol pusat terhadap daerah begitu kuat (sentralisasi). Kenyataan ini akhirnya menimbulkan ketergantungan daerah begitu kuat terhadap pusat.

UU otonomi daerah sendiri secara benar mulai dikonsep dan disahkan pada masa kepemimpinan presiden B.J Habibie dengan keluarnya UU No. 22 tahun 1999 tentang landasan hukum pemerintahan daerah. Dengan terciptanya UU No. 22 tahun 1999 ini maka diharapkan dapat mengakomodasi perubahan paradigma pemerintahan dan dapat mengedepankan prinsip – prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, memperhatikan perbedaan potensi dan keanekaragaman, serta dapat mencegah disintegrasi bangsa. 2

Pada tahap berikutnya dibawah kepemimpinan Presiden Megawati dilakukanlah evaluasi yang mendasar terhadap UU otonomi daerah yang lama, maka lahirlah UU No. 32 tahun 2004 sebagai landasan hukum pemerintahan daerah yang baru menggantikan UU No. 22 tahun 1999 yang dianggap tidak lagi sesuai dengan UUD 1945 yang telah diamandemen.3

Dalam proses pembuatan konsepnya, otonomi daerah memiliki tujuan – tujuan yang diharapkan dapat dicapai nantinya ketika otonomi daerah ini dijalankan di lingkungan pemerintahan daerah dan perangkat – perangkatnya. Dalam UU No 22. Tahun 1999 yang lama dijelaskan bahwa tujuan dari lahirnya Undang – Undang pemerintahan daerah adalah

2

Agussalim Andi Gadjong, SH, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum. Bogor : Ghalia Indonesia, 2007, Hal. 161

3


(12)

sebagai antisipasi pembaharuan dan sebagai penyempurnaan dari beberapa aturan yang melandasi pelaksanaan pemerintahan daerah yang sudah tidak efektif dalam perkembangan yang ada saat ini. Di satu sisi, Undang – Undang ini juga sebagai implementasi dari beberapa aturan mendasar, dengan tegas dan jelas memberikan batasan – batasan, beberapa pengertian sebagai acuan atau dasar dari pelaksanaan pemerintahan daerah dan DPRD, yang disatu sisi menempatkan kepala daerah beserta perangkat daerah otonom sebagai badan eksekutif dan DPRD sebagai badan legislatif daerah.

Ketika membicarakan mengenai otonomi daerah maka tidak terlepas dari adanya penyerahan wewenang yang lebih luas kepada daerah dalam hal penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Hal ini merupakan perwujudan dari semangat desentralisasi yang dibawa oleh konsep otonomi daerah ini. UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dinilai tidak layak lagi sebab jiwa UU ini kurang begitu mendukung terciptanya demokrasi yang menjunjung tinggi nilai – nilai demokrasi itu sendiri. UU ini cenderung menghasilkan demokrasi yang ‘kebablasan’, dan memunculkan ‘raja – raja’ kecil di daerah.4

Dengan latar belakang seperti itu akhirnya dibuatlah revisi UU yang lama yaitu UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Selain alasan diatas, perubahan ini juga didasarkan oleh amanat UUD 1945 hasil amandemen bahwa pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.5

Otonomi daerah yang kita anut seperti yang dijelaskan diatas, berpedoman atas azasdesentralisasi. Desentralisasi sendiri adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.6

4

J. Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah: Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan

Global, Jakarta: Rineka Cipta, 2007, Hal. 69

5

Ibid, Hal. 72

6

UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 ayat 7

Dari sini dapat diartikan bahwa otonomi daerah saat ini merupakan sebuah pembagian kewenangan yang lebih luas kepada daerah oleh pusat untuk menjalankan pemerintahan di daerah dengan tanpa melepas wewenang pusat atas daerah. Berbeda dengan federasi, sistem federasi merupakan sebuah sistem dimana pemerintah pusat member kewenangan sepenuhnya kepada daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri pemerintahannya tanpa ada intervensi dari pemerintah pusat.


(13)

Desentralisasi pada hakikatnya memiliki arti yang baik, karena pembagian antara kewenangan pusat dan daerah dapat dibagi tanpa merusak kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Disamping itu, tujuan dari penerapan azas desentralisasi juga untuk menghindari timbulnya raja – raja kecil di daerah karena dengan masih adanya wewenang pusat atas daerah, maka masalah raja – raja kecil dapat diatasi.

Namun, meskipun ada dalam UU otonomi daerah yang baru telah dijelaskan bahwa daerah diberikan otonomi yang seluas – luasnya dan bertanggung jawab berdasarkan hak dan kewajibannya, kenyataannya tidak demikian begitu banyak keterikatan antara daerah kepada pemerintah pusat serta kewenangan pusat terhadap daerah melalui asas pembinaan dan pengawasannya. Poin yang paling ditekankan adalah soal hubungan antara susunan pemerintahan bahwa antara pemerintah pusat, provinsi, daerah kabupaten/kota hingga desa/kelurahan memiliki sebuah garis yang tidak mungkin terputus. Suatu pemerintahan di level manapun akan bertanggung jawab kepada pemerintah diatasnya, sementara pemerintah diatasnya wajib melakukan pengawasan dan pembinaan bahkan berhak memberikan sanksi kepada pemerintah dibawahnya.

Hal lainnya yang dapat mengakibatkan dilema dalam pemerintahan daerah adalah peran DPRD di daerah. Pada UU No.22 tahun 1999 dikatakan, seorang kepala daerah akan bertanggung jawab kepada DPRD di daerah yang bersangkutan. Namun hal ini berubah dalam UU No.32 tahun 2004, dimana kepala daerah oleh karena diplih secara langsung tidak bertanggung jawab lagi kepada DPRD daerah melainkan kepada pemerintah di atasnya. Sedangkan status DPRD adalah tidak lebih dari salah satu unsur pelenggara pemerintah daerah, dilain pihak kepala daerah adalah pimpinan penyelenggara daerah, dengan kata lain DPRD posisinya sedikit dibawah kepala daerah.

Disamping itu permasalahan yang paling utama adalah terkait dengan kedudukan kepala daerah. Kepala daerah yang dipilih oleh rakyat secara langsung beradasarkan UU No. 32 tahun 2004 masih tetap berada dibawah kewenangan dari pusat baik dalam soal pengelolaan, pertanggung jawaban, maupun pembinaan dan pengawasan, sehingga tidak sembarangan membuat sebuah keputusan yang strategis kepada daerahnya. Hal ini tentu saja dapat menimbulkan sebuah dilema bagi kepala daerah. Ketika mereka ingin menerapkan sebuah kebijakan didaerahnya, namun karena tidak mendapat persetujuan dari pusat maka kebijakan itu harus kandas. Situasi sebaliknya terjadi ketika pemerintah pusat menerapkan sebuah kebijakan yang kontroversial, mau tidak mau pemerintah di daerah harus mematuhinya. Kasus isu kenaikan bahan bakar minyak misalnya, banyak pemerintahan di daerah yang kepala daerahnya menolak kebijakan kenaikan ini justru terkena sanksi oleh


(14)

pemerintah pusat. Secara politis yang berhak memberikan sanksi kepada kepala daerah adalah rakyat yang memilihnya. Namun yang terjadi, setelah kepala daerah terpilih, mereka justru otomatis berada dibawah pemerintah pusat, sehingga dapat dikatakan posisi masyarakat daerah hanya sebagai pemilih dalam pemilukada saja.

Permasalahan yang dialami oleh pemerintahan daerah ini dapat berdampak tidak berjalannya fungsi perangkat penyelenggara pemerintahan di daerah. DPRD yang seharusnya mempunyai fungsi sebagai pengawas pemerintahan daerah akhirnya tidak lebih dari lembaga yang hanya sebagai simbol demokrasi. Kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat akhirnya menjadi lebih mementingkan apa keinginan pemerintah pusat dan mengabaikan aspirasi rakyatnya. Hal ini semua dikarenakan kerancuan yang terjadi dalam UU Otonomi daerah No. 32 tahun 2004.

Saya merasa tertarik untuk meneliti karena saya ingin melihat bagaimana dampak wewenang desentralisasi yang dimiliki oleh pemerintah pusat berdasarkan UU No.32 tahun 2004 mempengaruhi kekuasaan kepala daerah yang seharusnya memiliki legitimasi yang kuat karena dipilih langsung oleh rakyat sehingga otomatis juga bertanggung jawab kepada rakyat di daerahnya, namun disisi lain harus tunduk kepada pusat.

Pada penelitian ini yang menjadi objek penelitian saya adalah Pemerintahan Kabupaten Tapanuli Tengah, karena selain saya mengenal daerah ini, daerah ini juga baru saja melewati pesta demokrasi di tingkat lokal dan sudah memiliki kepala daerah yang baru yakni Bonaran Situmeang. Hal menarik lainnya bahwa kepala daerah yang terpilih benar – benar terpilih atas kehendak masyarakat. Hal ini terbukti dengan tingkat persentasi kemenangan yang mencapai 62% dengan partisipasi masyarakatnya mencapai 70% sehingga memiliki legitimasi yang kuat tetapi harus dihadapkan dengan masih adanya wewenang pusat atas daerah. Sehingga saya tertarik melakukan penelitian tentang bagaimana dampak desentralisasi berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 dalam mempengaruhi kekuasaan kepala daerah di kabupaten Tapanuli Tengah terkait dengan legitimasinya sebagai pemimpin yang dipilih langsung oleh masyarakat di daerah.


(15)

I.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka perumusan masalah yang dapat penulis ambil adalah:

1. Apakah kondisi penyelenggaraan pemerintahan daerah di kabupaten Tapanuli Tengah berjalan dengan baik dengan adanya UU No. 32 tahun 2004 ?

2. Apakah UU No. 32 tahun 2004 tersebut memberikan pengaruh negatif atau positif terhadap kekuasaan kepala daerah dalam menjalankan pemerintahannya?

I.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Ingin mengetahui bagaimana kondisi penyelenggaraan pemerintahan di daerah kabupaten Tapanuli Tengah, apakah berjalan semestinya atau tidak, dikarenakan oleh penerapan UU No. 32 tahun 2004

2. Ingin mengetahui pengaruh positif maupun negatif yang ditimbulkan oleh UU No. 32 tahun 2004 terhadap kekuasaan kepala daerah

I.4. Manfaat Penelitian

1. Bagi penulis, penelitian ini bermanfaat sebagai sebagai sebuah proses untuk mengasah kemampuan dalam menulis ilmiah. Dan memberikan pengetahuan yang baru bagi peneliti sendiri.

2. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam bidang politik khususnya yang terkait dengan Otonomi Daerah.

3. Penelitian ini dapat memberikan kontribusi dan bermanfaat bagi lembaga politik dan lembaga pemerintahan khususnya yang berada di daerah. Dan juga memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah khazanah ilmu pengetahuan dan ilmu politik dan menjadi referensi/kepustakaan bagi Departemen Ilmu Politik FISIP USU.

I.5. Kerangka Teori

Salah satu unsur penting dalam sebuah penelitian adalah penyusunan kerangka teori, karena teori berfungsi sebagai landasan berfikir untuk menggambarkan darimana peneliti melihat objek yang diteliti sehingga penelitian dapat lebih sistematis. Teori adalah rangkaian


(16)

asumsi, konsep, konstruksi, defenisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.7

“Pertama, adanya persepsi bahwa otonomi daerah memberdayakan pemerintahan daerah dan masyarakat daerah. Landasan bagi penerapan otonomi daerah ialah bahwa UUD 1945 menegaskan kebutuhan untuk mewujudkan pengelolaaan pemerintahan yang mandiri dan otonom. Para perancang UU otonomi daerah yakin bahwa salah Adapun teori – teori yang penulis gunakan dalam menjawab masalah dalam penelitian adalah: teori tentang kekuasaan, Pemerintahan dan definisi otonomi daerah. Berikut merupakan penjelasan mengenai teori – terori yang akan digunakan.

I.5.1 Otonomi Daerah

Dalam Undang – Undang No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah memberikan makna otonomi daerah pada pasal 1 ayat 5: “ otonomi adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai peraturan perundang – undangan”.

Dengan otonomi daerah berarti telah memindahkan sebagian besar kewenangan yang tadinya berada di pemerintah pusat diserahkan kepada daerah otonom, sehingga pemerintah daerah otonom dapat lebih cepat dalam merespon tuntutan masyarakat daerah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Karena kewenangan membuat kebijakan sepenuhnyamenjadi wewenang daerah otonom, maka dengan otonomi daerah pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan akan dapat berjalan lebih cepat dan lebih berkualitas.

Dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sebagaimana tertuang didalam UU No. 32 tahun 2004 tersebut, penyelenggaraan pemerintahan diharapkan dapat melaksanakan percepatan pembangunan daerah dan meningkatkan pelayanan publik dengan lebih sederhana dan cepat. Desentralisasi sendiri menurut Undang – Undang No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 7 yaitu: penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengertian lainnya adalah desentralisasi merupakan sebuah mekanisme penyelenggaraan pemerintahan yang menyangkut pola hubungan antara pemerintahan nasional dan daerah.

Dari sini dapat diambil satu kesimpulan bahwa desentralisasi merupakan semacam alat yang digunakan dalam rangka melaksanakan otonomi daerah di Indonesia. Menurut Ryass Rasyid tujuan otonomi daerah ada 5 (lima) yaitu :

7


(17)

satu cara terbaik untuk memberikan ruang kesempatan bagi masyarakat daerah untuk mewujudkan kesejahteraan daerah ialah dengan melaksanakan otonomi daerah.

Kedua, adanya keyakinan bahwa otonomi daerah akan membantu menciptakan tercapainya prinsip pemerintahan yang demokratis dengan menjamin partisipasi, kesetaraan dan keadilan yang lebih besar. Dalam masa reformasi pasca-Soeharto, para elit di Indonesia melihat otonomi daerah sebagai sebuah keharusan politik bagi demokrasi Indonesia. Barangkali, MPR telah mengamati berbagai harapan dan tuntutan masyarakat sebagaimana yang dipresentasikan oleh demonstrasi mahasiswa agar demokrasi dilaksanakan.

Ketiga, otonomi daerah bisa meningkatkan peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai lembaga legislatif dalam pemerintahan daerah dan memberdayakan mereka sebagai lembaga pengawas demi terciptanya pengelolaan pemerintahan daerah yang lebih demokratis. Otonomi daerah diklaim akan bisa memberdayakan mekanisme

check and balance yang kritis antara DPRD dan eksekutif daerah dengan memberikan kewenangan kepada DPRD untuk memilih gubernur pada tingkat provinsi dan walikota dan bupati pada tingkat kota/kabupaten.

Keempat, otonomi daerah ditetapkan untuk mengantisipasi meningkatnya tantangan dan tuntutan baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Dalam hal ini, peran lembaga donor dan para penasihat internasional tampak jelas paling tidak dalam dua hal. Yang pertama, dalam proses penyusunan draft UU dimana GTZ, sebuah lembaga donor pemerintah Jerman dan lembaga – lembaga donor yang lain turut membantu tim perancang dalam merumuskan konsep otonomi daerah. Yang kedua, IMF yang pada saat itu mewajibkan pemerintah Indonesia untuk menjamin ditetapkannya proses otonomi sebagaimana diisyaratkan dalam letter of intent IMF tahun 2001/2002.

Kelima, otonomi daerah diterapkan sebagai sebuah upaya untuk melestarikan bentuk pemerintahan daerah yang bersifat tradisional, termasuk pemerintahaan di tingkat desa. Undang – Undang Otonomi daerah memberikan ruang bagi pemerintah desa tradisional untuk bekerja di ruang demokrasi daerah, dan ini berarti memulihkan kembali “posisi asli” dari desa – desa. Pertimbangan ini didasarkan pada ketentuan UUD 1945 untuk menjamin nilai – nilai tradisional”.8

I.5.2Kekuasaan

I.5.2.1Definisi Kekuasaan

“Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi perilaku seseorang atau kelompok lain, sesuai dengan keinginan para pelaku”.9Defenisi lainnya menyatakan bahwa “kekuasaan merupakan kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi”.10

8

Ryass Rasyid, the policy of decentralization in Indonesia, dalam Mas’ud Said.Op.Cit. Hal. 74

9

Prof. Miriam Budiardjo,Dasar – Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama: 2008, Hal.18

10

Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Grasindo: 2010, Hal.7

Kekuasaan itu tidak dapat dimiliki semua orang, sebab yang memilikinya adalah individu atau kelompok yang mampu mempengaruhi orang lain agar mau mengikuti apa yang mereka inginkan.


(18)

Kekuasaan menjadi salah satu pandangan yang dipakai ketika memandang politik. Salah satu defenisi ilmu politik adalah “ilmu yang mempelajari hakikat, kedudukan, dan penggunaan kekuasaan di manapun kekuasaan itu ditemukan”.11

I.5.2.2 Dimensi – Dimensi Kekuasaan

Kekuasaan dilihat sebagai interaksi antara yang mempengaruhi dengan yang dipengaruhi maupun interaksi antara yang memberikan perintah dan yang diberi perintah.

Untuk lebih memahami kekuasaan secara konseptual, maka dibuat sebuah perumpamaan yang membedakan antara seseorang yang menodongkan senjata tajam kepada seseorang agar memberikan barang berharganya dengan seorang komandan militer yang memerintahkan anak buahnya untuk melakukan suatu tugas atau misi tertentu. Keduanya memiliki persamaan dan juga perbedaan. Persamaannya adalah keduanya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi atau menguasai orang lain untuk mematuhi perintah mereka. Perbedaannya adalah, kekuasaan yang dimiliki oleh penodong tadi adalah kekuasaan yang tidak sah dan dianggap tidak benar, atau dengan kata lain kekuasaan yang disebabkan oleh adanya unsur paksaan (koersif). Sedangkan kekuasaan komandan militer diatas adalah kekuasaan karena wewenang (otoritas) yang diberikan karena adanya legitimasi untuk mempengaruhi orang lain. Sehingga dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa kekuasaan itu memiliki hubungan yang cukup kuat dengan legitimasi atau wewenang.

Namun kekuasaan sebagai sebuah konsep politik juga memiliki kelemahan, pertama,

konseptualisasi tidak membedakan kekuasaan yang beraspek politik dari kekuasaan yang tidak beraspek politik. Misalnya, kemampuan para kiai atau pendeta untuk mempengaruhi jemaat agar melaksanakan ajaran agama tidaklah beraspek politik. Hal itu karena tidak berkaitan dengan pemerintah selaku pemegang kewenangan yang mendistribusikan nilai – nilai, melainkan menyangkut lingkungan masyarakat yang lebih terbatas. Namun, apabila konseptualisasi itu diikuti, kemampuan para pemimpin agama untuk mempengaruhi cara berpikir dan perilaku anggota jemaah, termasuk dalam kategori kegiatan politik. Kedua,

kekuasaan hanya salah satu konsep dalam ilmu politik. Selain kekuasaan, ilmu politik masih memiliki konsep – konsep yang lain, seperti kewenangan, legitimasi, konflik, konsensus, kebijakan umum, integrasi politik dan ideologi. Jadi, politik sebagai kegiatan dan mencari dan mempertahankan kekuasaan merupakan konseptualisasi yang terlalu luas dan kurang tajam. Walaupun demikian, harus dicatat, konsep kekuasaan politik merupakan salah satu konsep yang tak terpisahkan dari ilmu politik.

11


(19)

Untuk memahami fenomena kekuasaan politik secara tuntas maka konsep kekuasaan dapat dilihat dari 6 dimensi yaitu:

1. “Dimensi potensial dan aktual, yakni seseorang yang dipandang mempunyai kekuasaan potensial apabila dia mempunyai atau memiliki sumber – sumber kekuasaan seperti kekayaan, tanah, senjata, pengetahuan dan informasi, popularitas, status sosial yang tinggi, massa yang terorganisir dan jabatan. Sebaliknya seseorang yang memiliki kekuasaan aktual apabila dia telah menggunakan sumber – sumber yang dimilikinya kedalam kegiatan – kegiatan politik secara efektif. Misalnya seorang jutawan memiliki kekuasaan potensial tetapi dia hanya dapat disebut sebagai memiliki kekuasaan aktual apabila dia telah menggunakan kekayaannya untuk mempengaruhi para pembuat dan pelaksana keputusan politik secara efektif.

2. Dimensi konsensus dan paksaan, dalam menganalisis keduanya harus dibedakan antara kekuasaan yang berdasarkan paksaan dan kekuasaan yang berdasarkan konsensus. Perbedaan dimensi kekuasaan seperti ini menyangkut dua hal, yakni alasan penataan dan saran kekuasaan yang digunakan. Pada umumnya, alasan untuk menaati kekuasaan paksaan berupa rasa takut. Dalam hubungan ini rasa takut, takut akan paksaan fisik seperti dipukul, ditangkap dan dipenjarakan atau dibunuh. Selain itu, rasa takut akan paksaan nonfisik, seperti kehilangan pekerjaan, dikucilkan dan diintimidasi. Sementara itu, alasan untuk menaati kekuasaan konsensus pada umumnya berupa persetujuan secara sadar dari pihak yang dipengaruhi. Kekuasaan dengan berdasarkan paksaan, memang secara nyata merupakan cara yang paling efektif untuk mendapatkan ketaatan dari pihak lain. Selain yang menyangkut pelanggaran etik, penggunaan paksaan menimbulkan kesukaran dikemudian hari, yaitu ketaatan ditentukan dengan kehadiran sarana paksaan fisik. Ketika sarana paksaan fisik tidak ada, saat itu pula kediktatoran muncul. Sebaliknya pada kekuasaan paksaan berdasarkan konsensus, ketaatan lebih cenderung langgeng karena ketaatan timbul dari kesadaran dan persetujuan dari yang dipengaruhi.

3. Dimensi positif dan negative, tujuan umum pemegang kekuasaan adalah untuk mendapatkan ketaatan atau penyesuaian diri dari pihak yang dipengaruhi. Tujuan umum ini dapat dikelompokkan menjadi dua aspek yang berbeda yakni, tujuan positif dan tujuan negatif. Dimaksudkan dengan kekuasaan positif adalah penggunaan sumber – sumber kekuasaan untuk mencapai tujuan yang dianggap penting dan diharuskan, dan kekuasaan negative, adalah penggunaan sumber – sumber kekuasaan untuk mencegah orang lain untuk mencapai tujuannya yang tidak hanya dipandang tidak perlu akan tetapi merugikan pihaknya. Sebagai contoh umpamanya, kemampuan untuk seorang presiden untuk mempengaruhi Dewan Perwakilan Rakyat agar menerima dan menyetujui Rancangan Undang – Undang yang diajukan, dapat dipandang sebagai kekuasaan positif. Sedangkan kemampuan fraksi – fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat untuk menolak seluruh Rancangan Undang – Undang yang diajukan presiden dapat dipandang sebagai kekuasaan negative (dari sudut pandang presiden).

4. Dimensi jabatan dan pribadi, dalam masyarakat yang maju dan mapan kekuasaan terkandung erat dalam jabatan – jabatan seperti dalam Presiden, Perdana Menteri (PM), Menteri – Menteri dan Senator. Seperti misalnya tanpa memandang kualitas pribadinya, seorang presiden di Amerika Serikat akan memiliki kekuasaan formal yang besar, namun penggunaan kekuasaan yang terkandung dalam jabatan tersebut secara efektif tergantung sekali pada kualitas pribadi yang dimiliki dan


(20)

ditampilkan oleh setiap pribadi pemegang jabatan. Dan sebaliknya, pada masyarakat yang masih sederhana struktur kekuasaan dalam masyarakat seperti itu didasarkan pada realitas pribadi tampaknya yang lebih menonjol daripada kekuasaan yang terkandung didalam jabatan itu. Dalam hal ini, pemimpin yang melaksanakan kekuasaan, khususnya terhadap orang daripada lembaga – lembaga. Efektifitas kekuasaannya terutama berasal dari kualitas pribadi, seperti misalnya charisma, penampilan diri, asal usul keluarga dan wahyu.

5. Dimensi implisit dan eksplisit, kekuasaan implisit adalah kekuasaan yang tidak dilihat dengan kasat mata akan tetapi dapat dirasakan. Sedangkan kekuasaan eksplisit adalah pengaruh yang jelas terlihat dan dapat dirasakan. Adanya kekuasaan dimensi eksplisit, menimbulkan perhatian orang pada segi rumit hubungan kekuasaan yang disebut dengan “azas memperkirakan reaksi dari pihak lain”.

6. Dimensi langsung dan tidak langsung, kekuasaan langsung adalah penggunaan sumber – sumber kekuasaan untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksana kebutuhan politik dengan melakukan hubungan secara langsung tanpa melalui perantara. Yang termasuk dalam kategori sumber – sumber kekuasaan adalah sarana paksaan fisik, kekayaan dan harta benda, normatif jabatan, keahlian, status sosial, popularitas abadi, massa yang terorganisasi, senjata, penjara, kerja paksa, teknologi, aparat yang mengunakan senjata. Sedangkan kekuasaan yang tidak langsung adalah penggunaan sumber – sumber kekuasaan untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksana keputusan politik dengan melalui perantara pihak lain yang diperkirakan mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap pembuat dan pelaksana keputusan politik”.12

I.5.2.3 Sumber – Sumber Kekuasaan

Menurut Miriam Budiardjo, sumber – sumber kekuasaan dapat berupa kedudukan, kekayaan, atau kepercayaan. Sumber kekuasaan kedudukan misalnya adalah seorang komandan terhadap anak buahnya atau seorang majikan terhadap pegawainya. Dalam kasus ini bawahan dapat ditindak jika melanggar disiplin kerja. Sumber kekuasaan kekayaan misalnya seorang pengusaha kaya mempunyai kekuasaan atas seorang politikus atau seorang bawahan yang mempunyai utang yang belum dibayar kembali. Sumber kekuasaan kepercayaan atau agama misalnya seorang ulama mempunyai kekuasaan atas para umatnya, disini para ulama menjadi pemimpin informal sehingga dianggap perlu diperhitungkan dalam proses penentuan keputusan di tempat tersebut.13

1. “Kekuasaan balas jasa, yakni kekuasaan yang legitimasinya bersumber dari sejumlah balas jasa yang sifatnya positif (uang, perlindungan, perkembangan karier, janji positif dan sebagainya) yang diberikan kepada pihak penerima guna melaksanakan sejumlah perintah atau persyaratan lain. Faktor ketundukan Secara formal administratif, sumber kekuasan dapat juga dibagi menjadi enam bagian, yaitu sebagai berikut:

12

Ibid, Hal.75

13


(21)

seseorang atas kekuasaan dimotivasi oleh hal itu dengan harapan jika telah melakukan sesuatu akan memperoleh seperti yang dijanjikan.

2. Kekuasaan paksaan, berasal dari perkiraan yang dirasakan orang bahwa hukuman (dipecat, ditegur, didenda, dijatuhi hukuman fisik dan sebagainya) akan diterima jika mereka tidak melaksanakan perintah pimpinan. Kekuasaan akan menjadi suatu motivasi yang bersifat represif terhadap kejiwaan seseorang untuk tunduk pada kekuasaan pimpinan itu dan melaksanakan seperti apa yang dikehendaki. Jika tidak paksaan yang diperkirakan akan dijatuhkan.

3. Kekuasaan legitimasi, kekuasaan yang berkembang atas dasar dan berangkat dari nilai – nilai intern yang mengemuka dari dan sering bersifat konvensional bahwa seorang pimpinan mempunyai hak yang sah untuk mempengaruhi bawahannya. Sementara itu dalam sisi yang lain, seseorang mempunyai kewajiban untuk menerima pengaruh tersebut karena seorang lainnya ditentukan sebagai pimpinannya atau petinggi sementara dirinya seorang bawahan. Legitimasi demikian dapat diperoleh atas dasar aturan formal akan tetapai bisa juga bersumber pada kekuasaan muncul karena kekuatan alamiah dan kekuatan akses dalam pergaulan bersama yang mendudukkan seseorang beruntung memperoleh legitimasi suatu kekuasaan.

4. Kekuasaan pengendalian atas informasi, kekuasaan ini ada dan berasal dari kelebihan atas suatu pengetahuan dimana orang lain tidak mempunyai. Cara ini dipergunakan dengan pemberian atau penahanan informasi yang dibutuhkan orang lain maka mau tidak mau harus tunduk (secara terbatas) pada kekuasaan pemilik infomasi. Pemilik informasi dapat mengatur sesuatu yang berkenaan dengan perderan informasi, atas legitimasi kekuasaan yang dimilikinya.

5. Kekuasaan panutan, kekuasaan ini muncul dengan didasarkan atas pemahaman secara kutural dari orang – orang dengan yang berstatus sebagai pemimpin. Masyarakat menjadikan pemimpin itu sebagai panutan simbol dari perilaku mereka. Aspek kultural yang biasanya muncul dari pemahaman religiositas direfleksikan pada kharisma pribadi, keberania, sifat simpatik dan sifat – sifat lain yang tidak ada pada kebanyakan orang. Hal itu menjadikan orang lain tunduk pada kekuasaannya.

6. Kekuasaan keahlian, kekuasaan ini ada dan merupakan hasil dari tempaan yang lama dan muncul karena suatu keahlian atau ilmu pengetahuan. Kelebihan ini menjadikan seseoarang pemimpin dan secara alamiah berkedudukan sebagai pemimpin dalam bidang keahliannya itu. Seorang pemimpin dapat merefleksikan kekuasaan dalam batas – batas keahliannya itu dan secara terbatas pula orang lain tunduk pada kekuasaan yang bersumber dari keahlian yang dimilikinya karena ada kepentingan terhadap keahlian sang pemimpin”.14

I.5.3Pemerintahan

I.5.3.1 Defenisi Pemerintahan

“Pemerintah secara etimologis berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu “kubernan” atau sebagai nakhoda kapal. Artinya menatap kedepan, lalu perkataan ‘memerintah” berarti melihat kedepan, menentukan berbagai kebijakan diselenggarakan untuk mencapai tujuan

14


(22)

masyarakat atau Negara, memperkirakan arah perkembangan masyarakat masa mendatang dan mempersiapkan langkah – langkah kebijakan untuk menyongsong perkembangan masyarakat serta mengelola dan mengarahkan masyarakat kepada tujuan yang telah ditetapkan”.15

Maka dapat disimpulkan bahwa pemerintahan dapat berarti segala kegiatan yang berkaitan erat dengan tugas dan wewenang Negara atau sebagai fungsi Negara, dan yang melaksanakan tugas dan kewenangan Negara itu adalah pemerintah.

Sementara itu istilah pemerintah dan pemerintahan berbeda artinya. Pemerintahan menyangkut tugas dan kewenangan sedangkan pemerintah merupakan aparat yang menyelenggarakan tugas dan kewenangan Negara. Yang dimaksud dengan tugas adalah segala kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan. Maksudnya, setiap masyarakat-negara memiliki tujuan yang hendak dicapai. Tujuan sifatnya statis, sedangkan tugas sifatnya dinamis. Tugas dan kewenangan Negara disebut fungsi negara.

16

1. “Negara dan pemerintahannya yang dipegang oleh hanya satu orang saja, jadi kekuasaan tersebut hanya terpusat pada satu tangan. Dan ini dapat dibedakan lagi dengan berdasarkan sifatnya yakni, (a). Negara yang pemerintahannya dipegang oleh satu orang saja dan pemerintahannya ditujukan untuk kepentingan umum. Jadi bentuk Negara dan pemerintahannya yang seperti ini adalah yang bersifat baik. Negara dan pemerintahannya disebut sebagai monarki. (b). Negara dan bentuk pemerintahannya dipegang oleh satu orang saja, tetapi pemerintahannya itu ditujukan untuk kepentingan penguasa saja atau tertentu saja. Jadi bentuk Negara dan pemerintahannya yang seperti ini yang bersifat buruk. Maka Negara dan pemerintahan seperti ini disebut sebagai tyranny.

I.5.3.2Bentuk Pemerintahan

Aristoteles (384-322) membagi beberapa bentuk Negara dan pemerintahan menjadi tiga yaitu:

2. Negara dan pemerintahannya yang dipegang oleh beberapa orang saja. Jadi, oleh sekelompok orang atau segolongan kecil orang saja. Kekuasaan Negara dan pemerintahan yang seperti ini juga dapat dikategorikan sebagai Negara yang dipusatkan tidak pada tangan satu orang saja, melainkan pada satu organ atau badan yang terdiri dari beberapa orang. Bentuk Negara dan pemerintahan yang seperti ini dibedakan lagi berdasarkan sifatny, yaitu (a). Negara yang dipegang sifat yang baik karena pemerintahannya ditujukan untuk kepentingan umum. Negara dan pemerintahan seperti ini disebut sebagai aristokrasi. (b). Negara dan pemerintahannya dipegang oleh beberapa orang akan tetapi sifatnya yang buruk karena pemerintahannya hanya ditujukan untuk kepentingan Negara yang seperti ini disebut sebagai Negara dan pemerintahannya disebut oligarki.

3. Negara yang pemerintahannya dipegang oleh rakyat. Maksudnya adalah bahwa yang memegang kekuasaan pemerintahan pada prinsipnya adalah rakyat itu

15

P. Antonius Sitepu, Teori – Teori Politik, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012, Hal. 147

16


(23)

sendiri. Atau setidak – setidaknya, oleh segolongan besar rakyat. Bentuk Negara dan pemerintahannya seperti ini selanjutnya dibedakan lagi dengan berdasarkan sifatnya: (a). Negara dan pemerintahannya yang dipegang oleh rakyat dan sifat pemerintahannya adalah baik karena pemerintahannya memperhatikan kepentingan umum. Negara dan bentuk pemerintahan semacam ini disebut sebagai Republik atau Republik Konstitusional. (b). Negara dan pemerintahannya yang dipegang oleh rakyat, akan tetapi sifat pemerintahannya adalah buruk karena pemerintahannya hanya ditujukan untuk pemegang kekuasaan saja. Atau dengan kata lain bahwa pada prakteknya pemerintahan itu hanya dipegang oleh orang – orang tertentu saja. Negara dan pemerintahan ini disebut sebagai pemerintahan demokrasi”.17

I.5.4Legitimasi dan kewenangan

Konsep legitimasi merupakan salah satu yang dianggap penting dalam suatu sistem politik. Keabsahan adalah keyakinan anggota – anggota masyarakat bahwa wewenang juga pada seseorang, kelompok, atau penguasa adalah wajar dan patut dihormati. Kewajaran ini berdasarkan persepsi bahwa pelaksanaan wewenang itu sesuai dengan asas – asas dan prosedur yang sudah diterima secara luas dalam masyarakat dan sesuai dengan ketentuan – ketentuan dan prosedur yang sah. Jadi, mereka yang diperintah menganggap bahwa sudah wajar peraturan – peraturan dan keputusan – keputusan yang dikeluarkan oleh penguasa dipatuhi. David Easton mengatakan bahwa keabsahan adalah: “keyakinan dari pihak anggota (masyarakat) bahwa sudah wajar baginya untuk menerima baik dan mentaati penguasa dan memenuhi tuntutan dari rezim itu”.18

Yang menjadi objek legitimasi bukan hanya pemerintahan, tetapi juga unsur – unsur sistem politik lainnya. Jadi legitimasi dalam artian luas berarti dukungan masyarakat terhadap sistem politik, sedangkan dalam arti sempit, merupakan dukungan masyarakat terhadap pemerintah yang berwenang. Menurut Easton, terdapat tiga objek dalam sistem politik yang memerlukan legitimasi agar suatu sistem politik tidak hanya berlangsung secara terus

Berdasarkan pengertian legitimasi dapat dibedakan pengertian kekuasaan, kewenangan, dan legitimasi. Apabila kekuasaan diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan sumber – sumber dan yang mempengaruhi proses politik, sedangkan kewenangan merupakan hak moral untuk menggunakan sumber – sumber yang membuat dan melaksanakan keputusan politik (hak memerintah). Adapun legitimasi merupakan penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap hak moral tersebut.

I.5.4.1 Objek legitimasi

17

Ibid Hal. 152

18


(24)

menerus, tetapi mampu pula mentransformasikan tuntutan menjadi kebijakan umum. Ketiga objek legitimasi ini meliputi komunitas politik, rezim dan pemerintahan.

Sementara itu, Andrian menjelaskan lima objek dalam sistem politik yang memerlukan legitimasi agar suatu sistem politik tetap berlangsung secara fungsional. Kelima objek legitimasi ini meliputi, masyarakat politik, hukum, lembaga politik, pemimpin politik dan kebijakan. Kedua pendapat itu sesungguhnya sama saja maknanya karena masyarakat politik sama dengan komunitas politik, hukum sama dengan rezim, lembaga politik dan pemimpin politik sama dengan pemerintah. Namun berdasarkan pendapat Easton, tidak terkandung unsur kebijakan secara eksplisit. Pendapatnya dianggap kurang lengkap. Berbeda dengan Andrian yang lebih lengkap.

Apabila pengertian legitimasi dilihat sebagai dukungan yang diberikan olwh masyarakat, kelima objek legitimasi mempunyai hubungan kumulatif. Artinya, kalau objek pertama tidak mendapat dukungan, objek kedua, dan seterusnya tidak akan mendapat dukungan dari masyarakat. Hal ini disebabkan sifatnya yang hierarkis, yakni objek kelima ditentukan objek keempat, objek keempat ditentukan objek ketiga demikian seterusnya.

Yang dimaksud legitimasi terhadap komunitas politik adalah adanya kesediaan para anggota masyarakat yang berasal dari berbagai kelompok yang berbeda latar belakang untuk hidup secara rukun sebagai komunitas. Apabila masih terdapat berbagai upaya didalam masyarakat legitimasi terhadap komunitas politik dapat dikatakn masih rendah. Hal ini berarti dukungan terhadap konstitusi, lembaga politik, pemimpn politik dan kebijakan yang dibuat juga masih rendah. Apabila dukungan terhadap komunitas politik belum cukup tinggi, dalam masyarkat terdapat masalah penciptaan identitas nasional. Kalau dalam masyarakat belum terdapat dukungan yang bulat terhadap hukum, dalam masyarakat terdapat krisis konstitusi.

“Manakala dukungan terhadap lembaga – lembaga politik masih lemah, dalam masyarakat terdapat krisis kelembagaan. Krisis kepemimpinan akan terjadi pada masyarakat yang kurang mempercayai para pemimpin – pemimpin politik. Jadi, krisis kebijakan akan terjadi apabila masyarakat menilai kebijakan pemerintah hanya menguntungkan sekelompok kecil. Dengan demikian, kelima objek legitimasi kurang mendapat pengakuan dan dukungan dari masyarakat. Lalu sistem politik akan menghadapi krisis legitimasi”.19

19

Ramlan Surbakti. Op.Cit . Hal 120


(25)

Sehubungan dengan legitimasi atau jumlah dukungan terhadap kewenangan, legitimasi dikelompokkan menjadi empat tipe, keempat kadar legitimasi ini meliputi pralegitimasi, berlegitimasi, tak berlegitimasi dan pascalegitimasi.

Kadar legitimasi terhadap kewenangan ditentukan dengan sikap yang memerintah dan diperintah. Apakah menerima secara moral mengikat kebenaran hak untuk memerintah? Mengapa kadar legitimasi juga ditentukan dengan sikap yang memerintah? Jawaban atas pertanyaan – pertanyaan ini adalah karena yang memerintah juga berupaya keras untuk mendapatkan legitimasi dari masyarakat hingga selalu pula meyakinkan masyarakat bahwa pemerintahannya mendapatkan dukungan masyarakat. Yang termasuk pengertian yang diperintah, pada umumnya, bukan hanya penduduk,tetapi juga berbagai kelompok sosial yang tidak melaksanakan kekuasaan secara aktual namun mempunyai kekuasaan potensial.

Pada masyarakat yang sistem politiknya belum stabil, menjadi keharusan bagi yang memerintah untuk mendapatkan dukungan dari kelompok itu, seperti militer, birokrasi, golongan agama, tuan tanah dan intelektual, sedangkan dukungan massa tidak memiliki kekuasaan. Dalam kenyataan, yang penting sering kali dukungan sebagai penduduk yang aktif secara politik.

Suatu hubungan kewenangan disebut sebagai pralegitimasi apabila pihak yang memerintah sangat yakin memiliki hak moral untuk memerintah masyarakat. Sebaliknya banyak pihak dari yang diperintah belum mengakui hak moral. Kewenangan yang tidak berlegitimasi adalah hubungan kewenangan tatkala pihak yang diperintah tidak mengakui hak moral penguasa untuk memerintah, sedangkan pihak yang memerintah secara terus menerus mempertahan kekuasaannya dengan berbagai cara yang bercorak kekerasan. Berbeda dengan kewenangan yang berlegitimasi, yakni kewenangan dimana yang diperintah mengakui dan mendukung hak moral penguasa untuk memerintah. Pemerintah yang terbentuk merupakan hasil pemilihan umum. Dalam hal ini pemilihan umum yang dijalankan secara umum, bebas, rahasia, serta jujur dan adil. Dan kewenangan pasca legitimasi adalah “dasar legitimasi yang lama dianggap tidak sesuai lagi dengan aspirasi masyarakat dan telah muncul legitimasi baru yang mengkehendaki suatu kewenangan atas dasar legitimasi baru tersebut”.20

Setiap sistem politik termasuk yang paling menindas sekalipun memerlukan legitimasi dari rakyat. Akibatnya, pemerintah yang berkuasa berupaya keras untuk mendapatkan dan mempertahankan legitimasi kewenangannya. Cara – cara yang digunakan untuk mendapatkan I.5.4.3 Cara Mendapatkan Legitimasi

20


(26)

dan mempertahankan legitimasi dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu simbolis, materiil dan prosedural.

“Pertama simbolis berarti memanipulasi kecederungan – kecenderungan moral, emosional, tradisi, dan kepercayaan, dan nilai – nilai budaya pada umumnya dalam bentuk – bentuk simbol. Penggunaan simbol – simbol untuk mendapatkan dan mempertahankan legitimasi cenderung bersifat ritualistic, sacral, retorik dan mercusuar. Kedua, materiil ditempuh dengan cara menjanjikan dan memberikan kesejahteraan materiil kepada masyaraka, seperti menjamin tersedianya kebutuhan dasar, fasilitas kesehatan, dan pendidikan, sarana produksi pertanian, sarana komunikasi dan transportasi, kesempatan kerja, dan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha dan modal yang memadai. Yang ketiga prosedural, ditempuh dengan cara menyelenggarakan pemilihan umum untuk menentukan wakil rakyat, presiden dan wakil presiden dan para anggota lembaga tinggi Negara atau referendum untuk mengesahkan suatu kebijakan umum”.21

Dalam kenyataannya, para pemimpin pemerintah tidak hanya menggunakan satu tipe, tetapi juga kombinasi dua atau lebih dari kelima tipe sesuai dengan struktur dan tingkat perkembangan masyarakatnya.

I.5.4.4 Tipe – Tipe Legitimasi

Berdasarkan prinsip pengakuan dan dukungan dari masyarakat terhadap pemerintah, legitimasi dikelompokkan menjadi lima tipe, yaitu legitimasi tradisional, legitimasi ideologi, legitimasi kualitas pribadi, legitimasi prosedural, dan legitimasi instrumental.

Pertama, masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada pemimpin pemerintahan karena pemimpin tersebut merupakan keturunan pemimpin berdarah “berdarah biru” yang dipercaya harus memimpin masyarakat. Tradisi ini selalu dipelihara dan dilembagakan oleh pemimpin itu bersama keturunannya. Raja Hussein dari Jordania, Ratu Elizabeth dari Inggris dan Raja Bhumibol dari Thailand merupakan contoh Negara yang diakui dan didukung oleh rakyat karena tradisi itu.

Kedua, masyarakat memberikan dukungan kepada pemimpin pemerintahan karena pemimpin tersebut dianggap sebagai penafsir dan pelaksana ideologi. Ideologi yang dimaksud tidak hanya yang doktriner sperti komunisme, tetapi juga pragmatis seperti liberalisme dan gabungan keduanya seperti ideologiPancasila di Indonesia.

Ketiga, masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada pemimpin pemerintahan karena pemimpin tersebut memiliki kualitas pribadi berupa karisma maupun penampilan pribadi dan prestasi yang cemerlang dalam seni budaya tertentu.

Keempat, masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada pemimpin pemerintahan karena pemimpin tersebut mendapatkan kewenangan menurut prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang – perundangan.

Kelima, masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada pemimpin pemerintahan karena pemimpin tersebut menjanjikan atau menjamin kesejahteraan materiil kepada masyarakat.

22

21

Ibid Hal. 124

22


(27)

I.5.4.5 Kewenangan

Ada beberapa pengertian yang erat kaitannya dengan kekuasaan, yaitu otoritas, wewenang dan legitimasi. Wewenang dapat dikatakan adalah kekuasaan yang dilembagakan. Atau dalam artian yang lain, menurut Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan bahwa wewenang adalah kekuasaan formal. Dianggap bahwa yang mempunyai wewenang berhak unttuk mengeluarkan perintah dan membuat peraturan – peraturan serta berhak untuk mengharap kepatuhan terhadap peraturan – peraturannya.

Dalam rangka pembahasan mengenai wewenang perlu disebut pembagian menurut Max Weber (1864 – 1922) dalam tiga macam wewenang, yaitu tradisional, kharismatik, dan rasional – legal. “Wewenang tradisional dan berdasarkan kepercayaan diantara anggota masyarakat bahwa tradisi lama serta kedudukan kekuasaan yang dilandasi oleh tradisi itu adalah wajar dan patut dihormati. Wewenang kharismatik berdasarkan kepercayaan anggota masyarakat pada kesaktian dan kekuatan mistik atau religius seorang pemimpin. Hitler dan Mao Zedong sering dianggap sebagai seorang pemimpin kharismatik, sekalipun tentu mereka juga memiliki unsur wewenang rasional – legal. Wewenang rasional – legal berdasarkan pada tatanan hukum rasional yang melandasi kedudukan seorang pemimpin. Yang ditekankan bukan orangnya akan tetapi aturan – aturan yang mendasari tingkah lakunya”.23

Ketiga, hak memerintah berasal dari kualitas pribadi sang pemimpin, baik penampilannya yang agung dan diri prinbadinya yang populer mapun karena memiliki karisma. Seorang pemimpin yang karismatik ialah seorang yang memiliki kualitas pribadi I.5.4.6 Sumber Kewenangan

Ada beberapa sumber dari sebuah untuk memerintah masyarakat antara lain sebagai berikut. Pertama, hak memerintah berasal dari tradisi. Artinya, kepercayaan yang telah berakar dipelihara secara terus menerus dalam masyarakat. Kepercayaan yang mengakar ini berwujud keyakinan bahwa yang ditakdirkan menjadi pemimpin masyarakat ialah keluarga tertentu dan dianggap memiliki “darah biru”. Siapa pun yang menentang akan mendapat malapetaka. Oleh karena itu, orang yang berkuasa menunjukkan bahwa sumber kewenangan memerintah berasal dari tradisi karena dia keturunan dari pemimpin terdahulu.

Kedua, hak memerintah berasal dari Tuhan , Dewa atau Wahyu. Atas dasar itu, hak memerintah dianggap bersifat sakral. Kaisar Hirohito dari jepang dan penggantinya menunjukkan sebagai kepala Negara yang berasal dari Dewa Matahari.

23


(28)

sebab mendapat “anugerah istimewa” dari kekuatan supernatural sehingga menimbulkan pesona dan daya tarik bagi anggota masyarakat. Namun kepemimpinan karismatik tidak dapat diwariskan sebab sifatnya yang melekat pada pribadi tertentu.

Keempat, hak memerintah masyarakat berasal dari peraturan perundang – undangan yang mengatur prosedur dan syarat – syarat menjadi pemimpin pemerintahan. Peraturan perundang – undangan yang dimaksud, antara lain kontitusi, undang – undang dan peraturan pemerintah. UUD 1945, misalnya, tidak hanya mengatur tugas dan kewenangan presiden dan wakil presiden tetapi juga mengatur prosedur dan syarat – syarat menjadi presiden dan wakil presiden. Apabila seseorang menjadi kepala pemerintahan melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang – undangan, sumber kewenangan berupa hukum. Akan tetapi, perlu dicatat sumber kewenangan yang berdasarkan hukum bukan monopoli Negara – Negara maju. Hal itu disebabkan masyarakat yang strukturnya masih sederhana sekalipun sudah menggunakan prosedur hukum (adat istiadat yang tidak tertulis) untuk menentukan siapa dan bagaimana menjadi pemimpin.

Kelima, hak memerintah berasal dari sumber yang bersifat instrumental sperti keahlian dan kekayaan. Keahlian yang dimaksud terletak pada keahlian dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Kekayaan yang dimaksud ialah pemilikan uang, tanah, barang – barang berharga, surat – surat berharga, sarana dan alat produksi. Hal itu didasarkan atas asumsi berikut. Keahlian diperlukan untuk melaksanakan pemerintahan yang mampu mencapai tujuan masyarakat. Orag yang tidak memiliki keahlian akan patuh kepada yang memiliki keahlian. Orang kaya dapat menjalankan pemerintahan bukan untuk kepentingan sendiri karena dia sudah menikmati kepuasan dari kekayaannya, tetapi utnuk masyarakat umum. Sejumlah orang memiliki kewenangan memerintah sebab memiliki keahlian dalam bidang tertentu atau memiliki kekayaan yang berlimpah.

Kelima sumber kewenangan itu disimpulkan menjadi dua tipe kewenangan utama yaitu kewenangan yang bersifat prosedural dan kewenangan yang bersifat substansial. Kewenangan yang bersifat prosedural ialah hak memerintah berdasarkan peraturan perundang – undangan yang bersifat tertulis maupun tak tertulis. Kewenangan yang bersifat substansial ialah hak memerintah berdasarkan faktor – faktor yang melekat pada diri pemimpin seperti tradisi, sakral, kualitas pribadi dan instrumental. “Semakin kompleks struktur masyarakat suatu Negara maka tipe kewenangan yang digunakan cenderung bersifat prosedural. Sebaliknya, masyarakat yang strukturnya sederhana cendrung menggunakan tipe


(29)

kewenanga substansial karena kehidupan lebih banyak berdasarkan tradisi, kepercayaan pada kekuatan supernatural, dan kesetiaan pada tokoh pemimpin”.24

Dalam menyelesaikan penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian deskriptif. “Penelitian deskriptif adalah suatu cara yang digunakan untuk memecahkan masalah yang ada pada masa sekarang berdasarkan fakta dan data – data yang ada. Penelitian ini untuk memberikan gambaran yang lebih detail mengenai suatu gejala atau fenomena”. I.6. Metode Penelitian

25

Handari Nawawi juga mendefinisikan metode penelitian deskriptif adalah “prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan subjek atau objek penelitian seseorang, lembaga, masyarakat dan lain – lain pada saat sekarang berdasarkan fakta – fakta yang tampak atau sebagaimana adanya di lokasi penelitian, dengan melakukan analisis dan menyajikan data – data dan fakta – fakta secara sistematis sehingga dapat dipahami dan disimpulkan”.26

Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif. “Bogdan dan Taylor mengungkapkan bahwa “metodologi kualitatif” sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata – kata tertulis atau lisan dari orang – orang dan perilaku yang dapat diamati”.

I.6.1 Jenis Penelitian

27

Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder, dimana data primer yang akan dikumpulkan berasal dari wawancara (interview) dengan narasumber yang memang memiliki kapasitas untuk menjawab masalah penelitian ini. Penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan atau proses penjaringan informasi dari kondisi sewajarnya dalam kehidupan suatu obyek, dihubungkan dengan pemecahan masalah, baik dari sudut pandang teoritis maupun praktis.

I.6.2 Data dan Teknik Pengumpulan Data

24

Ramlan Surbakti. Op . Cit Hal. 109 – 112

25

Bambang Prasetyo dkk. Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2005. Hal. 42

26

Handari Nawawi. 2003. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Hal. 63

27

Sanafiah Faisal. Format Penelitian Sosial Dasar – Dasar Aplikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1995. Hal. 20


(30)

Disamping itu saya juga akan menyebarkan kuesioner sebanyak 67 buah untuk menunjang hasil penelitian. Dan yang menjadi narasumber maupun objek kuesioner adalah para

stakeholder atau pengambil kebijakan di lingkungan pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah dan juga anggota Legislatif di DPRD Tapanuli Tengah.Selain itu, untuk menunjang data – data primer tersebut, maka penulis juga menggunakan data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari berbagai sumber (library research) seperti buku, majalah, laporan, jurnal, surat kabar dan lain – lain yang terkait dengan judul penelitian ini.

I.6.3 Teknik Analisis Data

Teknik data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik analisis data deskirptif kualitatif, dimana teknik ini melakukan analisa atas masalah yang ada sehingga diperoleh gambaran jelas tentang objek yang akan diteliti dan kemudian diilakukan penarikan kesimpulan.


(31)

I.7. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan suatu gambaran yang jelas dan lebih terperinci srta untuk mempermudah isi, maka penelitian ini terdiri dari 4 (empat) bab, yaitu:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini berisikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, metodologi penelitian dan sistematika penelitian.

BAB II :DESKRIPSI LOKASI, PROFIL PEMERINTAHAN DAN

PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN DI KABUPATEN TAPANULI TENGAH

Dalam bab ini penulis akan menjelaskan mengenai profil yang terkait dengan Kabupaten Tapanuli Tengah seperti sejarah, profil dan juga potensi daerah dan perkembangan pembangunan.

BAB III :ANALISIS DATA TENTANG PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DAN KEKUASAAN KEPALA DAERAH DI KABUPATEN TAPANULI TENGAH

Bab ini berisi tentang hasil analisis terkait dengan masalah penelitian yang didapatkan dari hasil wawancara di lapangan maupun studi kepustakaan. BAB IV : PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil analisis data pada bab – bab sebelumnya serta berisi kemungkinan adanya saran – saran yang peneliti peroleh setelah melakukan penelitian.


(32)

BAB II

Deskripsi Lokasi, Profil Pemerintahan dan Perkembangan Pembangunan

di Kabupaten Tapanuli Tengah

II.1. Sejarah Kabupaten Tapanuli Tengah

Istilah kabupaten Tapanuli Tengah terdapat dalam sistem wilayah dan pemerintahan, demikian juga Luhak wilayah atau bagian suatu kerajaan yang lebih populer di daerah selatan Sumatera, demikian pula perkataan Tapanuli adalah nama wilayah yang dihuni suku atau bangsa Batak, pada awalnya diperkenalkan oleh Inggris dengan sebutan Tappanooly.

Kata ”Tapanuli” berasal dari perkataan “Tapian Nauli”, “Tapian” artinya air sungai yang mengalir jernih seperti air pancuran atau mata air, Tapian juga dipakai untuk orang yang akan mandi atau disebut “Martapian”. Sedangkan “Nauli” artinya cantik, indah, elok, anggun, menyejukkan dan menyenangkan. Sebutan lain Tapanuli adalah Batak sehingga lazim sebutan orang Tapanuli identik dan sama dengan orang Batak.

Wilayah Tapanuli Tengah pada awalnya dikuasai oleh Kolonial Ingris, namun dengan traktat London tanggal 17 Maret 1824, Inggris menyerahkan Sumatera kepada Belanda, dan sebagai imbalannya Belanda memberikan semenanjung Melayu. Pada saat itulah Inggris menyerahkan Barus dan Singkil Kepada Belanda. Selanjutnya Belanda memasukkan Teluk Tapian Nauli (wilayah Tapanuli Tengah) dalam wilayah residen Sumatera Barat ber ibukota di Padang.

Pada tahun 1859 daerah jajahan Belanda meluas ke daerah Silindung dan meluas lagi ke daerah Toba pada tahun 1883. Oleh karena adanya perluasan wilayah tersebut, pemerintah Belanda mengeluarkan Staatsblad Nomor 193 tahun 1884 yang menentukan territorial baru keresidenan Tapanuli. Adapun Keresidenan Tapanuli pada saat itu dibagi atas 4 Afdeling. Salah satu diantaranya adalah Afdeling Sibolga yang meliputi 4 onder Afdeling yaitu:

1. Sibolga dan daerah sekitarnya 2. Distrik Batang Toru

3. Barus dan Pakkat 4. Singkil.

Sejak keluarnya staatsblad Nomor 496 tahun 1906 status Keresidenan Tapanuli yang tadinya bagian dari Sumatera Barat beralih menjadi dibawah Gubernur Sumatera yang berkedudukan di Medan. Sedangkan wilayah Keresidenan Tapanuli dibagi dalam 5 Afdeling


(33)

1. Afdeling Natal dan Batang Natal 2. Afdeling Sibolga dan Batang Toru 3. Afdeling Padang Sidempuan 4. Afdeling Nias

5. Afdeling Tanah Batak

Afdeling Sibolga diperintah oleh seorang Contraleur dengan wilayah meliputi 13 kekuriaan yang masing – masing dipimpin oleh kepala kuria. Pada saat itu onder Afdeling

Barus masih termasuk Afdeling Tanah Batak. Dengan keluarnya Staatsblad Nomor 93 Tahun 1933 maka sebagian onder Afdeling Barus digabung ke Afdeling Sibolga dan sebagian lagi masuk Afdeling Dataran – Dataran Tinggi Toba. Selanjutnya dengan staatsblad Nomor 563 tahun 1937 onder Afdeling Barus secara keseluruhan dimasukkan ke Afdeling Sibolga dimana berdasarkan staatsblad tersebut Keresidenan Tapanuli dibagi atas 4 afdeling yaitu:

1. Afdeling Sibolga 2. Afdeling Nias 3. Afdeling Sidempuan 4. Afdeling Tanah Batak

Yang termasuk dalam Afdeling Sibolga adalah: 1. Onder distrik Sibolga

2. Onder distrik Lumut 3. Onder distrik Barus

Sedangkan Sorkam berada dalam lingkungan Onder distrik Barus. Pada kenyataannya, apa yang disebut dengan Daerah Tingkat II Tapanuli Tengah adalah pencerminan dari pembagian wilayah yang diatur dengan Staatsblad Nomor. 563 tahun 1937 tersebut diatas.

Pada zaman Jepang, pemerintahan Keresidenan Tapanuli lebih dititik beratkan pada strategi pertahanan misalnya Heiho, Gyugun, Kaigun dan badan – badan lainnya.

Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, untuk pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah antara lain di Tapanuli Tengah dan tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 24 agustus 1945 Residen Tapanuli menghunjuk Z.A Glr Sutan Komala Pontas yang pada saat itu pemimpin distrik Sibolga selanjutnya sebagai demang menjadi penanggung jawab pelaksana roda pemerintahan di Tapanuli Tengah dan pada saat itu Dr. Ferdinand Lumban Tobing eks Wakil residen Tapanuli menjadi residen Tapanuli berkedudukan di Tarutung.


(34)

Pada tanggal 15 oktober 1945 oleh Gubernur Sumatera Mr. T. Mohd. Hasan menyerahkan urusan pembentukan daerah otonom bawahan dan penyusunan pemerintahan daerah kepada masing – masing residen. Gubernur kemudian dengan keputusan Nomor 1 tahun 1946 mengangkat dan mengukuhkan Z.A Glr Sutan Komala Pontass sebagai Bupati Kabupaten Tapanuli Tengah.

Pada tahun 1946 di Tapanuli Tengah mulai dibentuk kecamatan untuk menggantikan sistem pemerintahan Onder Distrik Afdeling pada masa pemerintahan Belanda. Kecamatan pertama sekali dibentuk adalah Kecamatan Sibolga, kemudian Lumut dan Barus, sedang Kecamatan Sorkam ditetapkan kemudian berdasarkan perintah residen Tapanuli pada tahun 1947.

Kabupaten Tapanuli Tengah sebagai daerah otonom dipertegas oleh Pemerintah dengan Undang – Undang Nomor 7 Darurat Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kabupaten – Kabupaten dalam lingkungan daerah Provinsi Sumatera Utara, pasal 1 ayat 8 yang berbunyi: Tapanuli Tengah, dengan nama kabupaten Tapanuli Tengah dengan batas – batas yang meliputi wilayah Afdeling Sibolga dulu (Staatsblad 1937 Nomor 563) ditambah dengan wilayah negeri Aek Raisan dan Tukka Holbung, sebagai dimaksud dalam ketetpan Gubernur Provinsi Tapanuli/Sumatera Timur tanggal 18 januari 1950 No. 19/pn/dpdta/50, sejak telah ditambah menurut ketetapan Gubernur Provinsi Sumatera Utara tanggal 19 mei 1950 No. 20/I/PSU/Jo. Keputusan panitia penyelenggara pembentukan Provinsi Sumatera Utara tanggal19 agustus 1950 No. 4/D yang diperbaiki dengan ketetapan Gubernur Sumatera Utara tanggal 31 januari 1952 tidak bernomor, kecuali wilayah yang termasuk Kota besar Sibolga.

Sesuai uraian diatas dan tetap dalam kerangka Negara kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan adanya penduduk, adanya wilayah dan adanya pemimpin yang menjalankan roda pemerintahan di Kabupaten Tapanuli Tengah serta dengan memperhatikan masukan dari masyarakat melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Tapanuli Tengah telah ditetapkan hari jadi Kabupaten Tapanuli Tengah adalah tanggal 24 agustus 1945 sesuai peraturan daerah Kabupaten Tapanuli Tengah Nomor 19 Tahun 2007 tentang hari jadi Kabupaten Tapanuli Tengah.

II.2 Kondisi Geografis Daerah Tapanuli Tengah

Daerah Kabupaten Tapanuli Tengah adalah salah satu Kabupaten dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara yang berada di wilayah pantai barat Sumatera Utara yang memiliki daerah yang memanjang pada kaki pegunungan Bukit Barisan, berada pada posisi 1°11’00’’ -


(35)

2°22’0 LU dan 98°07’ - 98°12’ BT dengan luas wilayah 2.194,98 Km² atau 219.498 Ha yang berada diatas permukaan laut antara 0 – 1.266 m,dengan batas – batas sebagai berikut:

Sebelah Timur : Kab. Tapanuli Utara, Kab. Humbang Hasundutan dan Kab. Pakpak Bharat.

Sebelah Barat : Samudera Indonesia

Sebelah Utara : Kab. Aceh Singkil (Prov. Nanggroe Aceh Darussalam) Sebelah Selatan : Kab. Tapanuli Selatan

II.3 Kondisi Demografi, Ekonomi dan Sosial Budaya II.3.1 Kondisi Demografi

Jumlah penduduk di Kabupaten Tapanuli Tengah berdasarkan jumlah penduduk per Kecamatan adalah sebagai berikut:

Tabel 1.1 Jumlah Penduduk Per Kecamatan di Kabupaten Tapanuli Tengah

No Kecamatan Jumlah Penduduk Keterangan

1. Barus 17.821

2. Sorkam 17.786

3. Pandan 52.988

4. Pinangsori 24.600

5. Manduamas 21.771

6. Kolang 19.504

7. Tapian Nauli 20.517

8. Sibabangun 18.985

9. Sosorgadong 14.552

10. Sorkam Barat 16.727

11. Sirandorung 15.267

12. Andam Dewi 15.591

13. Sitahuis 5.890

14. Tukka 12.844

15. Badiri 25.059

16. Pasaribu Tobing 7.427


(1)

Sedangkan pemerintah pusat hanya berkedudukan sebagai fasilitator, secara terbatas mengawasi dan memberikan sekedar arahan dan petunjuk kepada daerah.

Disamping itu akibat lainnya adalah adanya ketakutan daerah ketika ingin mengeksekusi sebuah kebijakan strategis. Hal ini disebabkan pemerintah daerah takut terkena sanksi dari pemerintah pusat apabila kebijakan itu dinilai salah oleh pemerintah pusat. Sehingga sebelum melaksanakan sebuah kebijakan, kepala daerah tidak jarang harus terbang ke pusat pemerintahan hanya untuk melakukan semacam lobi kepada pemerintah pusat agar kebijakan daerah tidak dibatalkan oleh pemerintah pusat. Bukankah ini sebuah ironi dan mencederai semangat otnomi daerah itu sendiri.

Lebih tragisnya lagi adalah bukan hanya berlaku bagi kepala daerah saja, tetapi juga bagi lembaga DPRD di daerah. Akibat dari penerapan UU No. 32 tahun 2004 ini, kedudukan dan wewenang yang dimiliki oleh lembaga ini menjadi berkurang. Dengan alasan bahwa kepala daerah dipilih langsung dan tidak lewat mekanisme dipilih oleh lembaga DPRD, sehingga pemerintah daerah bertanggung jawab kepada pusat dan bukannya kepada DPRD. Bahkan lebih miris lagi adalah kedudukan DPRD sesungguhnya berada sedikit dibawah pemerintah daerah, hal ini dibuktikan dengan bahwa tugas kepala daerah menurut UU No. 32 tahun 2004 adalah memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah, sementara DPRD adalah salah satu unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah sehingga dapat dikatakan posisi DPRD dibawah pemerintahan daerah.

Fungsi pengawasan DPRD tidak ada lagi dikarenakan fungsi ini sudah diambil oleh pemerintah pusat. seperti yang saya jelaskan di halaman sebelumnya, DPRD hanya lembaga seremonial yang tidak memiliki pengaruh besar didalam pemerintah daerah. Sehingga tidaklah heran jika kinerja anggotanya tidak signifikan dalam posisi mereka sebagai perwakilan rakyat daerah.

Alasan bahwa kepala daerah tidak dipilih lewat mekanisme pemilihan di DPRD tidak bisa dijadikan acuan bahwa kepala daerah tidak bertanggung jawab kepada DPRD. Lembaga DPRD merupakan lembaga representasi dari masyarakat sehingga sebagai wakil dari masyarakat di parlemen daerah maka sewajarnyalah pemerintah daerah bertanggung jawab kepada lembaga DPRD dan bukan kepada pemerintah pusat. Hubungan kepada pusat haruslah sebatas hubungan pelaporan atas penyelenggaraan pemerintah daerah disamping juga pembinaan kepada daerah secara terbatas.

Mengatasi berbagai permasalahan yang diakibatkan oleh penerapan UU No. 32 tahun 2004 cukup sulit dan kompleks. Namun meskipun demikian masih bisa diperbaiki. Kepala


(2)

mengimprovisasi sendiri kebijakan nya sesuai dengan kebutuhan daerah tersebut, dan disini pemerintah pusat bertugas mengawasi dan ketika daerah melakukan kebijakan yang tidak sesuai maka pemerintah pusat boleh mengingatkan.

Disamping itu pemerintah pusat harus mengembalikan wewenang DPRD dalam hal pengawasan terhadap kinerja daerah. Karena berdasarkan semangat otonomi daerah pun sudah dijelaskan bahwa posisi DPRD selain fungsi anggaran dan fungsi legislasi, ada juga fungsi pengawasannya, karena DPRD merupakan lembaga yang menjadi perwakilan masyarakat di daerah. Memang benar jika DPRD diberikan kembali fungsi pengawasannya, maka pertentangan dengan kepala daerah berpotensi muncul kembali. Namun disini pemerintah seharusnya dapat menempatkan pertentangan tersebut sebagai dinamika pengembangan atau penguatan daerah di hadapan pemerintah, dan bukan malah memandangnya sebagai konflik antar pemerintahan di daerah.

Konsep otonomi sendiri diwujudkan bukan untutk mendirikan Negara dalam Negara melainkan semata mempercepat laju kesejahteraan daerah melalui pemberdayaan daerah. Konsep ini juga menekankan pengurangan peran sentral pemerintah dalam mengatur segala urusan penyelenggaraan pemerintahan di daerah yang selama pemerintahan orde baru justru menyebabkan terjadinya pola ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat. Pembagian kewenangan diatur antara daerah dengan pemerintah sepanjang tidak mengurangi prinsip – prinsip desentralisasi.

Prinsip desentralisasi yang dimaksud adalah membuka ruang kepada daerah untuk merumuskan, membuat, melaksanakan serta mempertanggung jawabkan kebijakannya sendiri didaerahnya sendiri. Termasuk salah satunya dalam hal menentukan kepala daerahnya melalui pemilihan yang diselenggarakansecara langsung oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat daerah, seperti telah diatur dalam UU No.32 tahun 2004. Hanya saja, UU itu kemudian dapat dikatakan cacat karena adanya kontradiksi antara penjelasan dengan isi, serta antar pengaturan pasal – pasal dalam isinya. Dijelaskan, demi peningkatan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintah daerah, maka daerah diberi otonomi seluas – luasnya namun tetap memiliki hubungan dengan pemerintah, baik dalam soal pengelolaa, pertanggungjawaban, maupun pembinaan dan pengawasan. Kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, namun pertanggung jawabannya ke pemerintah yang diatasnya. Hal ini kemudian yang dikhawatirkan akan menjadi “cacat” UU No. 32 tahun 2004, karena ada ketidaksesuaian antara semakin dalam penjelasan dengan pasal – pasal pengaturannya. Sehingga harus ada revisi UU tentang otonomi daerah dalam hal ini pemerintahan daerah.


(3)

BAB IV

Penutup

IV.1 Kesimpulan

1. Otonomi daerah merupakan sebuah konsep, dimana pemerintah pusat telah memindahkan sebagian besar kewenangan yang tadinya berada di pemerintah pusat diserahkan kepada daerah otonom, sehingga pemerintah daerah otonom dapat lebih cepat dalam merespon tuntutan masyarakat daerah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Pemerintah daerah diharapkan mampu untuk berkreasi sendiri dan mengelola sendiri daerahnya sesuai dengan ciri khas dan kebutuhan masing – masing daerah. 2. Kondisi penyelenggaraan pemerintahan daerah di kabupaten Tapanuli Tengah akibat

dari penerapan UU No.32 tahun 2004 berjalan dengan baik meskipun dibeberapa aspek penyelenggaraan pemerintahan penerapan Undang – Undang ini dianggap masih tidak efektif yaitu terutama berkaitan dengan fungsi pembinaan dan pengawasan pemerintah pusat kepada daerah.

3. Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah kepala daerah diharuskan berperan aktif sebagai penentu kebijakan – kebijakan strategis di daerah namun pada kenyataan terganjal oleh beberapa aturan dalam UU No. 32 Tahun 2004 sehingga tidak bisa leluasa mengeluarkan kebijakan strategis.

4. UU No. 32 tahun 2004 menimbulkan banyak masalah didalamnya. Mulai dari posisi hirarkis Bupati dan Walikota yang dibawah langsung pemerintah pusat dan tidak lagi berbentuk sebuah kemitraan. Masalah lainnya adalah wewenang pengawasan yang diambil alih pemerintah pusat dari DPRD membuat UU No. 32 Tahun 2004 makin menyimpang dari semangat otonomi daerah.

5. Kedudukan kepala daerah menjadi dilematis sebagai akibat dari demi peningkatan efisiensi dan penyelenggaraan pemerintahan daerah, maka daerah diberi otonomi seluas – luasnya namun tetap memiliki hubungan dengan pemerintah baik dalam soal pengelolaan, pertanggungjawaban maupun pembinaan dan pengawasan. Kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, namun pertanggung jawabannya kepada pemerintah diatasnya.


(4)

IV.2 Saran

Dalam hal ini saya memberikan saran terkait dengan pengaruh UU No. 32 Tahun 2004 terhadap kekuasaan kepala daerah khususnya di Pemerintahan Kabupaten Tapanuli Tengah yakni sebagai berikut:

1. Agar konsep otonomi daerah benar – benar diterapkan di daerah dan tidak dijalankan dengan setengah – setengah. Karena hal ini berkaitan dengan pemerataan dan percepatan pembangunan di daerah yang nantinya justru membantu perkembangan pembangunan secara nasional.

2. Saya mengharapkan agar pembuat kebijakan di pusat segera merevisi UU No. 32 Tahun 2004 dikarenakan UU ini cukup banyak terjadi penyimpangan didalamnya terutama dalam hal kedudukan daerah dengan pusat, hubungan daerah dengan pusat, kedudukan dan kewenangan DPRD dan fungsi pengawasan dan pembinaan pemerintah pusat.

3. Saya juga mengharapkan jika UU No.32 2004 direvisi, maka hal yang harus diperhatikan adalah perlu dipertegas kembali posisi kepala daerah dan hubungannya dengan pemerintah pusat haruslah bersifat kemitraan dan bukannya hubungan bawahan dengan atasan. Disamping itu kewenangan pengawasan yang dipegang oleh pemerintah pusat, harus dikembalikan lagi kepada DPRD. Karena didalam konsep otonomi daerah yang berwenang memegang wewenang pengawasan adalah DPRD


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Budiardjo, Miriam,Dasar – Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008 Faisal, Sanafiah. Format Penelitian Sosial Dasar – Dasar Aplikasi. Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada. 1995. Hal. 20

Gadjong, AgussalimAndi, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum. Bogor : Ghalia Indonesia, 2007.

Handayaningrat, Soewarno, Pengantar Ilmu Administrasi dan Manajemen. Jakarta: CV Haji Mas Agung, 1984.

Kaloh,DR. J, Mencari Bentuk Otonomi Daerah: Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global, Jakarta: Rineka Cipta, 2007. Kartono, Kartini. Pimpinan dan Kepemimpinan. Jakarta: Rajawali Press. 1998 Karyadi, M. Kepemimpinan (leadership). Jakarta.: PT Bina Aksara. 1984.

Nawawi, Handari. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 2003 Prasetyo, Bambang dkk. Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Raja

Grafindo Persada. 2005.

Said,M. Mas’ud, Arah Baru Otonomi Di Indonesia.Malang : UMM Press, 2008.

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei, Jakarta: LP3ES, 1989 Sitepu, P. Antonius , Teori – Teori Politik, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012.

Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Grasindo, 2010.

Syaukani Drs. H., Prof Dr. Afan Gaffar, MA dan Prof Dr. M. Ryaas Rasyid, MA. Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, Yogyakarta: Pustaka pelajar , 2002

Thoha, Miftah, Kepemimpinan dalam Manajemen, Jakarta: PT Grafindo Persada.2003. Wahidin, Samsul, Dimensi Kekuasaan Negara Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. Widarta, I, Pokok – Pokok Pemerintahan Daerah, Bantul: Pondok Edukasi, 2005.


(6)

Sumber Lain:

Data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Tapanuli Tengah Data Sekretariat Daerah Kabupaten Tapanuli Tengah

Data BPS Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapanuli Tengah dalam angka tahun 2011)

Data Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Tapanuli Tengah

Wawancara dengan Sekretaris Daerah Kabupaten Tapanuli Tengah, Baharuddin Manik, SE. tanggal 15 oktober 2012

Wawncara dengan Kepala BKD Kabupaten Tapanuli Tengah, Drs Rahman Situmeang. Tanggal 17 oktober 2012

Wawancara dengan Ketua Komisi B DPRD Kabupaten Tapanuli Tengah, Jhonny Lumbantobing SE

Peraturan dan Perundang – undangan

Undang – Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Republik Indonesia Undang – Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Republik Indonesia.