Tinjauan Kritis Terhadap Pelaksanaan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam Menyelesaikan Sengketa Penetapan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah

(1)

TINJAUAN KRITIS TERHADAP PELAKSANAAN KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DALAM

MENYELESAIKAN SENGKETA PENETAPAN HASIL PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH

TESIS

OLEH : ASMANUDDIN

097005041/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

TINJAUAN KRITIS TERHADAP PELAKSANAAN KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DALAM

MENYELESAIKAN SENGKETA PENETAPAN HASIL PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

dalam Program Studi Magister Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

ASMANUDDIN 097005041/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Judul Tesis : TINJAUAN KRITIS TERHADAP PELAKSANAAN KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PENETAPAN HASIL PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH

Nama Mahasiswa : ASMANUDDIN Nomor Pokok : 097005041 Program Studi : Ilmu Hukum Menyetujui

Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. M. Solly Lubis, SH) K e t u a

(Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum) (Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)

A n g g o t a A n g g o t a

Ketua Program Magister Ilmu Hukum D e k a n

(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)


(4)

Telah diuji pada Tanggal 22 Juni 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. M. Solly Lubis, SH Anggota : 1. Dr. Faisal Akbar, SH, M.Hum

2. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 3. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS


(5)

ABSTRAK

Pilkada secara langsung merupakan hal yang baru bagi negara kita dalam rangka mewujudkan proses demokratisasi dan sekaligus sebagai upaya untuk memperkuat otonomi daerah. Di samping itu, Pilkada juga merupakan momentum bagi rakyat untuk memilih pemimpin daerah secara langsung dan demokratis serta mampu meningkatkan kesejahteraan dan memperhatikan kepentingan masyarakat. Berbagai konflik bermunculan menyertai pesta demokrasi ditingkat daerah ini, mulai dari kasus politik uang sampai sengketa penetapan hasil Pilkada. Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa penetapan hasil Pilkada dengan putusan yang bersifat final dan mengikat. Begitu banyaknya sengketa penetapan hasil Pilkada yang harus diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi menyebabkan lahirnya putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang kontroversial, sehingga perlu diteliti bagaimana kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaian sengketa pilkada.

Metode penelitian dilakukan dengan metode penelitian hukum normatif. Data pokok dalam penelitian adalah data sekunder. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Analisis data terhadap data sekunder dilakukan dengan analisis kualitatif.

Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk menjamin agar konstitusi sebagai hukum tertinggi dapat ditegakkan sebagaimana mestinya. Kelahiran Mahkamah Konstitusi tidak saja membuktikan bahwa Indonesia menganut kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka akan tetapi sekaligus merupakan penegasan terhadap prinsip negara hukum yang demokratis. Merujuk pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, Mahkamah Konstitusi memungkinkan untuk memutus sengketa hasil pemilihan umum kepala daerah. Pada Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007 secara tersirat di dalam pasal tersebut memang memberikan kewenangan pada Mahkamah Konstitusi untuk memutus sengketa hasil pemilihan umum. Dalam produk undang-undang tersebut, pemilihan kepala daerah sudah dianggap sebagai general election, sehingga menjadi ranah kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus jika terjadi persengketaan. Penanganan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah merupakan kewenangan baru Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi dalam hal ini mengeluarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah.

Disarankan agar penyelenggaraan Pilkada kedepannya dilakukan pengkajian yang mendalam dan menyeluruh terhadap undang-undang yang digunakan sebagai pedomannya, agar proses seleksi anggota KPU sampai dengan pelaksanaan tugas KPU tetap memegang teguh nilai-nilai demokrasi, agar kekuasaan kehakiman kembali ditata dengan menambahkan Peradilan Pemilihan Umum sebagai peradilan baru, dan agar dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Mahkamah Konstitusi karena dirasakan kelemahan ketika Undang-Undang Mahkamah Konstitusi diterapkan.


(6)

ABSTRACT

Pilkada (Regional head elections) is the new system in our country; the aim of this system is to realize the process of democratization and in attempt to strengthen the regional economy. Besides that, Pilkada is considered as the momentum for the people to select their leaders directly and democratically which will hopefully be able to improve the people’s welfare and to pay attention to the people’s benefit. However, this new system also arouses many conflicts, from money politics until the conflict of determining who wins the contest. The Constitutional Court of Justice is given the authority to handle the conflict of determining the winner of the contest by its final and binding decision. Since there are numerous conflicts of determining the winners of the contest which can be resolved only by the Constitutional Court of Justice, there are many controversial decisions made by this institution so that it is necessarily to study the authority of the Constitutional Court of Justice in handling the conflicts in Pilkada.

The method of the research was done by using legal normative approach. The main data in this research were the secondary data. They were collected by using library research and field research and analyzed qualitatively.

The Constitutional Court of Justice was established in order to guarantee that the constitution as the supreme law can be enforced as it should be. The establishment of the Constitutional Court of Justice is not only the evidence that Indonesia follows the free judiciary but also the assertion that Indonesia is a constitutional and democratic state. Referring to Act Number 22, 2007 about the implementation of general election, the Constitutional Court of Justice has the authority to make a decision on the conflicts in Pilkada. In Article 24C, Paragraph (1) of the 1945 Constitution and Act Number 22, 2007 implicitly state that the Constitutional Court of Justice has the authority to handle the conflicts of the result of the general election. According to the product of these laws, the Regional head elections are included in the general election so that it becomes the domain of the Constitutional Court of Justice to use its authority if there is a conflict. The handling of the conflicts of the result of the regional head elections is the new authority of the Constitutional Court of Justice Number 15, 2008 about the guidelines of litigating the Conflicts of the Result of the Regional head elections.

It was recommended that the implementation of Regional head elections in the future should be studied deeply and thoroughly, especially the laws as the guidelines in order that the process of the selection of the KPU (General Election Committee) members and the implementation of its duty could hold on the democratic values. It was recommended that the judiciary should be reorganized properly by adding General Election Jurisdiction as the new jurisdiction because the existing law of the Constitutional Court of Justice nowadays is considered frail.

Keywords: Authority of Constitutional Court of Justice, Conflicts and Regional Head Elections


(7)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan limpahan rahmat dan karuniaNya, penulis dapat merampungkan penulisan tesis ini, yang berjudul “Tinjauan Kritis Terhadap Pelaksanaan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam Menyelesaikan Sengketa Penetapan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah”. Demikian pula tidak lupa menyampaikan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia dari alam jahiliyah ke alam kebenaran berdasarkan ilmu pengetahuan.

Dalam penulisan tesis ini, penulis menyadari tidak terlepas dari adanya bantuan, dorongan dan do’a dari berbagai pihak. Untuk itu dengan segala kerendahan hati, menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM)., Sp.A(K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis selama mengikuti Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, yang telah memberikan kesempatan dan

bantuan kepada penulis untuk mengikuti dan menimba ilmu pengetahuan pada Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 3. Ketua dan Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH dan Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum, yang telah memberikan kesempatan dan bantuan kepada penulis untuk mengikuti dan menimba ilmu pengetahuan pada Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(8)

4. Guru besar dan dosen Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang dengan tulus telah membagikan ilmu pengetahuannya kepada penulis.

5. Bupati dan Wakil Bupati, serta Sekretaris Daerah Kabupaten Simeulue, Bapak Drs. Darmili dan Bapak Drs. M. Yunan T., serta Bapak Drs. Mohd. Riswan R., yang telah memberikan kesempatan tugas belajar dan bantuan biaya pendidikan kepada penulis dalam mengikuti Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Secara khusus, penulis menyampaikan terima kasih yang tulus kepada Bapak Prof. Dr. M. Solly Lubis, SH, selaku Ketua Komisi Pembimbing, yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam memperluas wawasan penulis dengan sangat arif dan bijaksan. Beliau juga memperkokoh fondasi hukum ketatanegaran kepada penulis, sehingga belajar kepada beliau merupakan pengalaman tersendiri yang sulit untuk dilupakan. Demikian pula kepada Bapak Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum, dan Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku anggota Komisi Pembimbing yang disela-sela kesibukannnya bersedia meluangkan waktu kepada penulis untuk membimbing, mendorong dan memberikan masukan dan arahan yang berharga guna rampungnya tesis ini.

Demikian juga terima kasih yang tulus disampaikan kepada Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH, M.Hum dan Bapak Dr. Dedi Harianto, SH, M.Hum,

yang berkenan melakukan pengujian tesis ini dengan memberikan masukan dan arahan yang kosntruktif dan memperkaya materi tesis ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Angkatan 2009, yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu.

Secara khusus, ucapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada Ayahanda H. Nyak Rihat (Alm) dan Ibunda tercinta Hj. Rohani (Almh), yang telah melahirkan, membesarkan dan mendidik anak-anaknya dengan penuh kasih sayang, dan berkat do’a restu merekalah penulis dapat mengikuti pendidikan dari sekolah dasar hingga ke perguruan tinggi. Dalam kesempatan ini juga penulis menyampaikan


(9)

terima kasih kepada saudara kandung penulis, Kakanda H. Ariaudin, Adinda; Dr. Aliasuddin, M.Si, dr. Armidin, Asmaimun, ST, dr. Asrinudin, Noni Ariani, A.Md, dan Restria Mulyani, S.Pd.

Selanjutnya terima kasih penulis sampaikan kepada Kakanda Drs. Astamudin, Kakak Eta Srisartika, MPH, Mamanda ; Ulyadin Nur, dan Zulhendra Nur, serta rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, yang telah memberikan doa dan semangat agar penulis dapat segera merampungkan tesis ini.

Terima kasih yang dalam penulis sampaikan kepada isteri tercinta Rina Mariana, yang penuh kasih sayang, dan kesabarannya memberikan doa dan semangat kepada penulis agar segera merampungkan tesis ini. Khusus kepada anak-anakku yang tercinta Muhammad Farid Naufal, Muhammad Haikal Rifqi, Muhammad Faiq Hawari, dan Arifa Dayyana Putri, yang telah memberikan motivasi tersendiri kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini, dan oleh karena itu keberhasilan ini secara khusus Ayah persembahkan kepada ananda sekalian agar kelak menjadi motivasi dimasa akan datang.

Akhirnya penulis berharap tesis ini bermanfaat bagi kita semua, Amin Yaa Rabbal Alamiin.

Medan, Juni 2011 Penulis


(10)

RIWAYAT HIDUP

N a m a : ASMANUDDIN

Tempat/ Tanggal Lahir : Aceh Barat, 17 April 1965

A g a m a : Islam

Pekerjaan : PNS

Instansi : Pemerintah Daerah Kabupaten Simeulue Alamat : Jl. Tgk. Di Ujung No. 36 Desa Amiria Bahagia

Kecamatan Simeulue Timur

Riwayat Pendidikan : 1. SD Negeri No. 3 Sinabang Tamat tahun 1980 2. SMP Negeri No. 1 Sinabang Tamat tahun 1983 3. SMA Negeri No. 1 Sinabang Tamat tahun 1986

4. S-1 Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala tamat tahun 1994

5. S-2 Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan 2009 - 2011


(11)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR SKEMA ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Keaslian Penelitian ... 11

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 12

1. Kerangka Teori ... 12

2. Konsepsi ... 26

G. Metode Penelitian ... 36

1. Jenis Penelitian ... 36

2. Sumber Data ... 36

3. Teknik Pengumpulan Data ... 37

4. Analisis Data ... 38

BAB II KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MELAKSANAKAN KEKUASAAN KEHAKIMAN DAN PELAKSANAAN DEMOKRASI DI INDONESIA ... 39

A. Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia ... 39

1. Dasar Hukum Kewenangan Mahkamah Konstitusi ... 47

2. Dasar Teoritis Kewenangan Mahkamah Konstitusi ... 53

3. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ... 64

B. Pemilihan Umum Kepala Daerah Dalam UUD 1945 ... 68

C. Mekanisme Pemilihan Umum Kepala Daerah Secara Langsung ... 77


(12)

BAB III KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PENETAPAN HASIL

PEMIHAN UMUM KEPALA DAERAH ... 86

A. Dasar Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Memutus Sengketa Penetapan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah ... 86

B. Perluasan Kewenangan Konstitusional Mahkamah Konstitusi Dalam Memutus Perselisihan Tentang Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah ... 93

C. Pengaturan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 ... 103

D. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah Menurut Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 Tentang Pedoman Beracara Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah ... 118

BAB IV AKIBAT HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT PENETAPAN HASIL PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH ... 124

A. Putusan Mahkamah Konstitusi ... 124

1. Permohonan Tidak Diterima ... 127

2. Permohonan Ditolak ... 130

3. Permohonan Diterima ... 132

B. Analisa Putusan Nomor 66/PHPU.D-VI/2008 Tentang Sengketa Hasil Pemilukada Kabupaten Langkat Sumatera Utara ... 137

C. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Penyelesaian Sengketa Tentang Hasil Pemilukada ... 148

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 162

A. Kesimpulan ... 162

B. Saran ... 164

DAFTAR PUSTAKA ... 166


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Tugas dan Wewenang Mahkamah Konstitusi ... 67 Tabel 2 Perbedaan Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah ... 115 Tabel 3 Rekapitulasi Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Daerah

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Tahun 2008 sampai dengan Bulan Mei Tahun 2011 ... 137


(14)

DAFTAR SKEMA

Skema 1 Pembinaan Mahkamah Konstitusi dan Pemilukada ... 35 Skema 2 Proses Pemilihan Kepala Daerah Langsung ... 106


(15)

ABSTRAK

Pilkada secara langsung merupakan hal yang baru bagi negara kita dalam rangka mewujudkan proses demokratisasi dan sekaligus sebagai upaya untuk memperkuat otonomi daerah. Di samping itu, Pilkada juga merupakan momentum bagi rakyat untuk memilih pemimpin daerah secara langsung dan demokratis serta mampu meningkatkan kesejahteraan dan memperhatikan kepentingan masyarakat. Berbagai konflik bermunculan menyertai pesta demokrasi ditingkat daerah ini, mulai dari kasus politik uang sampai sengketa penetapan hasil Pilkada. Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa penetapan hasil Pilkada dengan putusan yang bersifat final dan mengikat. Begitu banyaknya sengketa penetapan hasil Pilkada yang harus diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi menyebabkan lahirnya putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang kontroversial, sehingga perlu diteliti bagaimana kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaian sengketa pilkada.

Metode penelitian dilakukan dengan metode penelitian hukum normatif. Data pokok dalam penelitian adalah data sekunder. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Analisis data terhadap data sekunder dilakukan dengan analisis kualitatif.

Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk menjamin agar konstitusi sebagai hukum tertinggi dapat ditegakkan sebagaimana mestinya. Kelahiran Mahkamah Konstitusi tidak saja membuktikan bahwa Indonesia menganut kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka akan tetapi sekaligus merupakan penegasan terhadap prinsip negara hukum yang demokratis. Merujuk pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, Mahkamah Konstitusi memungkinkan untuk memutus sengketa hasil pemilihan umum kepala daerah. Pada Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007 secara tersirat di dalam pasal tersebut memang memberikan kewenangan pada Mahkamah Konstitusi untuk memutus sengketa hasil pemilihan umum. Dalam produk undang-undang tersebut, pemilihan kepala daerah sudah dianggap sebagai general election, sehingga menjadi ranah kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus jika terjadi persengketaan. Penanganan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah merupakan kewenangan baru Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi dalam hal ini mengeluarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah.

Disarankan agar penyelenggaraan Pilkada kedepannya dilakukan pengkajian yang mendalam dan menyeluruh terhadap undang-undang yang digunakan sebagai pedomannya, agar proses seleksi anggota KPU sampai dengan pelaksanaan tugas KPU tetap memegang teguh nilai-nilai demokrasi, agar kekuasaan kehakiman kembali ditata dengan menambahkan Peradilan Pemilihan Umum sebagai peradilan baru, dan agar dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Mahkamah Konstitusi karena dirasakan kelemahan ketika Undang-Undang Mahkamah Konstitusi diterapkan.


(16)

ABSTRACT

Pilkada (Regional head elections) is the new system in our country; the aim of this system is to realize the process of democratization and in attempt to strengthen the regional economy. Besides that, Pilkada is considered as the momentum for the people to select their leaders directly and democratically which will hopefully be able to improve the people’s welfare and to pay attention to the people’s benefit. However, this new system also arouses many conflicts, from money politics until the conflict of determining who wins the contest. The Constitutional Court of Justice is given the authority to handle the conflict of determining the winner of the contest by its final and binding decision. Since there are numerous conflicts of determining the winners of the contest which can be resolved only by the Constitutional Court of Justice, there are many controversial decisions made by this institution so that it is necessarily to study the authority of the Constitutional Court of Justice in handling the conflicts in Pilkada.

The method of the research was done by using legal normative approach. The main data in this research were the secondary data. They were collected by using library research and field research and analyzed qualitatively.

The Constitutional Court of Justice was established in order to guarantee that the constitution as the supreme law can be enforced as it should be. The establishment of the Constitutional Court of Justice is not only the evidence that Indonesia follows the free judiciary but also the assertion that Indonesia is a constitutional and democratic state. Referring to Act Number 22, 2007 about the implementation of general election, the Constitutional Court of Justice has the authority to make a decision on the conflicts in Pilkada. In Article 24C, Paragraph (1) of the 1945 Constitution and Act Number 22, 2007 implicitly state that the Constitutional Court of Justice has the authority to handle the conflicts of the result of the general election. According to the product of these laws, the Regional head elections are included in the general election so that it becomes the domain of the Constitutional Court of Justice to use its authority if there is a conflict. The handling of the conflicts of the result of the regional head elections is the new authority of the Constitutional Court of Justice Number 15, 2008 about the guidelines of litigating the Conflicts of the Result of the Regional head elections.

It was recommended that the implementation of Regional head elections in the future should be studied deeply and thoroughly, especially the laws as the guidelines in order that the process of the selection of the KPU (General Election Committee) members and the implementation of its duty could hold on the democratic values. It was recommended that the judiciary should be reorganized properly by adding General Election Jurisdiction as the new jurisdiction because the existing law of the Constitutional Court of Justice nowadays is considered frail.

Keywords: Authority of Constitutional Court of Justice, Conflicts and Regional Head Elections


(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di Indonesia, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi yang tersendiri di luar dan sederajat dengan Mahkamah Agung merupakan hal yang relatif baru. Meskipun demikian ide pengujian undang-undang sebagai mekanisme peradilan konstitusional (constitutional adjudication) untuk membanding, menilai atau menguji hasil kerja mekanisme demokrasi politik sudah sejak sebelum kemerdekaan diperdebatkan oleh the founding leaders dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), ketika naskah Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pertama kali disusun.1 Muhammad Yamin adalah yang pertama kali mengusulkan agar kepada Mahkamah Agung, yang awalnya disebut Balai Agung, diberi kewenangan untuk “membanding undang-undang” (judicial review), demikianlah istilah yang dipakai Muhammad Yamin ketika itu.2

Usul Muhammad Yamin ini tidak dapat diterima oleh rapat BPUPKI dan Soepomo menyampaikan keberatannya dengan dua alasan yang secara eksplisit diutarakannya. Pertama, UUD 1945 dibangun menurut prinsip-prinsip yang tidak didasarkan atas teori trias politica Montesquieu; Kedua, jumlah sarjana hukum masa

1

Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid I, (Djakarta Prapantja 1959), lihat juga Risalah BPUPKI dan PPKI, (Jakarta : Sekretariat Negara RI, 1995), hlm. 299.

2 Ibid


(18)

awal kemerdekaan belum cukup untuk menjalankan tugas membanding undang-undang seperti yang dimaksud oleh Muhammad Yamin. Hanya saja pada waktu, fungsi pengujian masih dikaitkan dengan kewenangan Mahkamah Agung, bukan dengan lembaga yang berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung.3

Setelah Indonesia merdeka dan undang-undang dasar negara terus mengalami pergantian dan perubahan ide pengujian undang-undang itu juga terus bergulir dari waktu ke waktu. Namun karena UUD 1945 yang kembali diberlakukan sejak 5 Juli 1959, memang tidak mengadopsi ide semacam itu, maka ide pengujian undang-undang tidak pernah berhasil diwujudkan. Barulah setelah UUD 1945 dirubah mulai tahun 1999, tahun 2000, dan terutama sejak tahun 2001 dan 2002, ide pengujian konstitusionalitas undang-undang itu diadopsi dalam norma undang-undang dasar dan bahkan kelembagaannya dibentuk secara tersendiri dengan nama Mahkamah Konstitusi yang berada diluar dan sederajat dengan Mahkamah Agung. Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi ini diadopsi pada tahun 2001 yaitu pada Perubahan Ketiga UUD 1945 dan ditegaskan lagi dalam Perubahan Keempat pada tahun 2002.4

Adapun tugas dan kewenangan Mahkamah Konstitusi sesuai dengan ketentuan Pasal 24 C Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat

 

3

Jimly Assiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Cetakan Kedua, (Jakarta : Bhuana Ilmu Populer, 2008), hlm. 582.

4

Pasal 24 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan IV, Pada tanggal 10 Agustus 2002.


(19)

final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutuskan pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu, Pasal 24C Ayat (2) menambahkan pula bahwa Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan/atau wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Kemudian perubahan UUD 1945 telah membawa perubahan prinsipil terhadap praktek ketatanegaraan kita. Salah satu perubahan tersebut adalah dilaksanakannya pemilihan umum secara langsung untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pemilihan Umum (selanjutnya disebut Pemilu) ini dilakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap 5 tahun sekali yang diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.

Praktek Pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan

Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

Kabupaten/Kota telah berhasil kita laksanakan secara langsung pada tanggal 5 April

2004. Pemilu dilanjutkan dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada


(20)

 

tanggal 5 Juli 2004.5 Tahap II pemilihan Presiden dan Wakil Presiden akhirnya digelar pada tanggal 20 September 2004.

Pemilu yang kita laksanakan merupakan salah satu upaya mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang demokratis.6 Semangat demokratis ini tidak hanya menjadi konsumsi pusat saja melainkan juga di daerah-daerah. Hal mana tercantum dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, yang berbunyi : “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis.”

Disimpulkan bahwa Pemilihan Kepala Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut dengan Pilkada) dipilih secara demokratis. Definisi demokratis berupa pemilihan langsung oleh rakyat ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut dengan UU tentang Pemda).7 Dimana pada Pasal 24 Ayat (5), berbunyi : “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

5

Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahap I melahirkan 5 pasang calon Presiden dan Wakil Presiden yaitu Megawati-Hasyim Muzadi, Wiranto-Salahuddin Wahid, Susilo Bambang Yudhoyono-Yusuf Kalla, Amien Rais-Siswono Yudohusodo, Hamzah Haz-Agum Gumelar. Dikarenakan belum didapatkamya satu pasang calon Presiden dan Wakil Presiden yang memenuhi syarat jumlah suara maka diadakan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahap II dengan peserta Megawati-Hasyim Muzadi dan Susilo Bambang Yudhoyono-Yusuf Kala. Akhirnya pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Yusuf Kalla berhasil mengungguli pasangan Megawati-Hasyim Muzadi yang untuk kemudian ditetapkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden.

6

G. Bingham Powell Jr menilai bahwa salah satu kriteria terwujudnya demokrasi adalah adanya claim dari pemerintah sebagai yang mewakili hasrat para warga negara dan claim itu berdasarkan pada adanya pemilihan kompetitif secara berkala calon alternatif. Robert A. Dahl, menganggap bahwa pejabat dipilih melalui pemilihan yang bebas dan fair, sebagai salah satu dari 7 hakiki demokrasi. Allan Gaffar, berpendapat bahwa 5 cm pokok demokrasi, antara lain adalah Pemilihan Umunm Miriam Budiarjo menegaskan bahwa, demokrasi “demokrasi konstitusional” pertama adalah “Rechtsstaat” ; yang salah satunya adalah pemilihan umum yang bebas. Bahwa pemilu yang bebas merupakan salah satu kriteria demokrasi, juga diungkapkan oleh Frans Magnis-Suseno, Mencari Sosok Demokrasi: Sebuah Telaah Filosofis, Cetakan ke-II (Jakarta : Gramedia pusaka Utama, 1995), hlm. 56-57.

7

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, LN No. 125 Tahun 2004, TLN. No. 4437.


(21)

sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) dan Ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan.”

Penegasan pemilihan secara langsung oleh rakyat juga diamanatkan oleh Pasal 56 Ayat (1) UU tentang Pemda, yaitu : “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa baik UUD 1945 maupun UU tentang Pemda telah mengakui bahwa Pilkada adalah Pemilu.8

Sebagian kalangan menolak menggolongkan Pilkada sebagai Pemilu. Hal ini disebabkan pengaturan Pilkada dan Pemilu diatur dalam Perubahan UUD 1945 pada Bab yang berbeda. Pengaturan Pilkada tertuang dalam Bab VI tentang Pemerintah Daerah Pasal 18 Perubahan II UUD 1945, sedangkan tentang Pemilu diatur dalam Bab VII B tentang Pemilihan Umum Pasal 22E Perubahan II UUD 1945. menurut kedua bab tersebut disimpulkan bahwa Pemilu dilakukan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD sedangkan terhadap Gubernur, Bupati, dan Walikota yang masing-masing sebagai Kepala Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis. Pemilihan secara demokratis ini diartikan bahwa Pilkada dapat dilakukan melalui Pemilu atau melalui penunjukan/pengangkatan asalkan proses tersebut dilakukan secara demokratis.

Sebagaimana diketahui sebelumnya, model Pilkada menurut Undang-Undang

 

8

Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 072-073/PUU-II/2004 tentang Pengujian Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemenntahan Daerah terhadap UUD Negara RI 1945, Kesimpulan.


(22)

Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dipilih melalui lembaga perwakilan yaitu DPRD. Pada Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Pilkada tidak dipilih secara langsung oleh rakyat melainkan melalui pengangkatan.9 Khusus untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Pilkada diselenggarakan sesuai ketentuan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,10 yaitu dipilih secara langsung melalui pemilihan yang, demokratis, bebas, rahasia, jujur, dan adil, pada setiap 5 tahun sekali. Kekhususan dan keistimewaan daerah-daerah tersebut diakui oleh UUD 1945 dan diakomodir oleh UU tentang Pemda.

Berbagai macam model Pilkada ini telah melahirkan dikotomi pendapat

dikalangan para wakil rakyat dalam membahas Perubahan II UUD 1945 yaitu pemilihan secara langsung terhadap pemilihan kepala daerah atau tanpa pemilihan langsung sebagaimana yang dijalankan oleh DI Yogyakarta. Silang pendapat ini ditengahi dengan sebuah kompromi politik yaitu untuk Pilkada dilaksanakan secara langsung kecuali terhadap DI Yogyakarta. Apapun mekanisme Pilkada itu apakah melalui Pemilu langsung atau tidak, yang penting dilakukan secara demokratis. Alhasil konsep tersebut tertuang dalam Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945.

Pilkada secara langsung merupakan hal yang baru bagi negara kita dalam

 

9

Pengangkatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY dilakukan dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Hamengkubuwono dan Paku Alam yang memenuhi syarat Untuk pemilihan Kepala Desa justru telah lama dipraktekkan dilakukan pemilihan langsung oleh rakyat Lihat Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Filosofi, Sistem, dan Problem Penerapan di Indonesia), Cetakan ke-II, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 5.

10

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, LN No. 114 Tahun 2001, TLN. No. 4134.


(23)

rangka mewujudkan proses demokratisasi dan sekaligus sebagai upaya untuk memperkuat otonomi daerah. Di samping itu, Pilkada juga merupakan momentum bagi rakyat untuk memilih pemimpin daerah secara langsung dan demokratis serta mampu meningkatkan kesejahteraan dan memperhatikan kepentingan masyarakat.

Kemudian dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa Calon Kepala Daerah tidak selamanya harus dari partai politik atau gabungan partai politik melainkan memberikan kesempatan kepada calon perseorangan yang memiliki pengaruh kepada masyarakat untuk dipilih menjadi kepala daerah dan menciptakan iklim demokrasi yang lebih baik, terkadang calon independen lebih baik dari partai politik karena kedekatannya kepada masyarakat sehingga pembangunan yang berbasis kemasyarakatan dapat terlaksana dengan baik.

Berbagai konflik bermunculan menyertai pesta demokrasi ditingkat daerah ini, mulai dari kasus politik uang (money politics)sampai sengketa penetapan hasil Pilkada. Mengenai yang terakhir ini, Pasal 106 ayat (5) UU tentang Pemda memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk menerima, memeriksa, dan memutuskan sengketa hasil penetapan perhitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh KPUD. Selanjutnya Mahkamah Agung mendelegasikan kewenangannya kepada pengadilan tinggi melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Uapaya Hukum Keberatan Terhadap Penetapan Hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Pemilihan Wakil Kepala Daerah dari KPUD Provinsi dan


(24)

KPUD Kabupaten/Kota. Perma tersebut menetapkan bahwa putusan pengadilan tinggi bersifat final dan mengikat.

Sengketa penetapan hasil Pilkada, yang untuk pertama kalinya diajukan ke pengadilan tinggi adalah sengketa hasil pemilihan Kepala Daerah Kota Depok. Setelah pengadilan tinggi (dalam kasus tersebut adalah Pengadilan Tinggi Jawa Barat) menjatuhkan putusan, justru telah lahir masalah baru lagi yang arahnya tertuju pada majelis hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Menyusul terbentuknya Komisi Yudisial, perkara majelis hakim ini pun menjadi tantangan pertama bagi penilaian kinerja komisi ini. Sayangnya, rekomendasi Komisi Yudisial tidak ditindaklanjuti oleh Mahkamah Agung melainkan justru membentuk tim panel untuk merespon sengketa Pilkada Depok menyusul diajukannya Peninjauan Kembali (PK) oleh KPUD Depok kepada Mahkamah Agung.11

Setelah menjalani proses yang cukup lama dan berbau politis, akhirnya putusan PK Mahkamah Agung mengabulkan permohonan pemohon.12 Pihak termohon ternyata tidak dapat menerima putusan hakim ini dan tetap merasa pihaknya yang benar. Untuk itu, dia membawa kasus tersebut ke Mahkamah Konstitusi untuk dimintakan putusannya menyangkut sengketa penetapan hasil Pilkada Kota Depok ini, melalui jalur Pengujian Undang-undang terhadap UUD

 

11

Memori Peninjauan Kembali diajukan KPUD Depok ke Pengadilan Negeri Cibinong pada tanggal 16 Agustus 2005 dan diteruskan ke Mahkamah Agung pada tanggal 23 Agustus 2005.

12

“Sengketa Pilkada : MA Kabulkan Penunjauan Kembali KPUD Depok”, http://hukumonline.com/detail.asp?id=140676c1=Berita.


(25)

 

erklaard).14

1945.13 Sayangnya, terhadap permohonan tersebut Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak dapat diterima (NO/Niet Onvankelijkv

Penyelesaian sengketa penetapan hasil pemilihan Walikota Depok dapat dijadikan cerminan bahwa penyelesaian sengketa penetapan hasil Pilkada yang ditangani oleh Mahkamah Agung ternyata dapat dilakukan upaya hukum lain terhadap putusan pengadilan tinggi yang sebelumnya mendapatkan delegasi wewenang dari Mahkamah Agung. Di sisi lain, terhadap sengketa perselisihan hasil Pemilu dapat terselesaikan dengan baik oleh Mahkamah Konstitusi sehingga putusan dari Mahkamah Konstitusi benar-benar bersifat final dan mengikat.15

Bertitik tolak dari uraian-uraian dan berdasarkan permasalahan-permasalahan di atas, penulis merasa tertarik untuk membahas dan menelitinya dengan mengambil judul Tinjauan Kritis Terhadap Pelaksanaan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Dalam Menyelesaikan Sengketa Penetapan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah.

B. Rumusan Masalah 13

Badrul Meminta Dukungan Golkar, http://liputan 6.com/view/1, 114924,1,0,1135983958. html. Lihat juga “Badrul Kamal belum menyerah”, http://liputan 6.com/view/ 7,114381,1,0,1135246655.

14

Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Perkara No. 001/PUU-IV/2006 Mengenai Pengujian Undang-Undang Terhadap UUD 1945.

15Sengketa

pemilihan umum kepala daerah yang terdaftar di Mahkamah Konstitusi juga terjadi pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara. Dimana diantaranya adalah sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah Kota Binjai (Nomor 91/PHPU.D-VIII/2010 tanggal 20 Juli 2010), sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah Kota Medan (Nomor 15/PHPU.DVIII/2010, tanggal 24 Mei 2010, sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah Kota Tebing Tinggi (Nomor 12/PHPU.D-VIII/2010 tanggal 20 Mei 2010), sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah Kota Sibolga (Nomor 17/PHPU.DVIII/2010, tanggal 24 Mei 2010), sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah Kabupaten Karo (Nomor 2/PHPU.D-IX/2011 tanggal 3 Januari 2011), dan yang terakhir sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah Kabupaten Tapanuli Tengah (Nomor 32/PHPU.D-IX/2011 tanggal 23 Maret 2011).


(26)

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah, sebagai berikut :

1. Mengapa Mahkamah Konstitusi diberikan kedudukan dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman dalam kaitannya dengan pelaksanaan demokrasi di Indonesia?

2. Mengapa Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan dalam penyelesaian sengketa penetapan hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah?

3. Apakah akibat hukum putusan Mahkamah Konstitusi terkait penetapan hasil pemilihan umum kepala daerah?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang menjadi fokus penelitian, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman dalam kaitannya dengan pelaksanaan demokrasi di Indonesia.

2. Untuk mengetahui kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaian sengketa penetapan hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah.

3. Untuk mengetahui apa akibat hukum putusan Mahkamah Konstitusi terkait penetapan hasil pemilihan umum kepala daerah.

D. Manfaat Penelitian


(27)

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis, yaitu :

1. Secara teoritis hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi peneliti selanjutnya dalam meneliti dan mengkaji Hukum Tata Negara khususnya yang berhubungan dengan pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam menyelesaikan sengketa penetapan hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah. 2. Secara praktis hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi praktisi

hukum untuk mengetahui pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam menyelesaikan sengketa penetapan hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah juga menjadi pembelajaran mengenai penyelenggaran demokrasi yang sesuai dengan konstitusi.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi, pemeriksaan dan penelusuran yang telah dilakukan terhadap hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya di perpustakaan pascasarjana Universitas Sumatera Utara, maka belum ada penelitian yang sama dengan apa yang menjadi bidang dan ruang lingkup penelitian ini, yaitu “Tinjauan Kritis Terhadap Pelaksanaan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Dalam Menyelesaikan Sengketa Penetapan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah”.

Oleh karena itu penulis berkeyakinan bahwa penelitian yang penulis lakukan  


(28)

ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, karena senantiasa memperhatikan ketentuan-ketentuan atau etika penelitian yang harus dijunjung tinggi bagi peneliti atau akademisi.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Secara konseptual teori yang dipergunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian tesis ini dan dapat dijadikan acuan dalam membahas Tinjauan Kritis Terhadap Pelaksanaan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam Menyelesaikan Sengketa Penetapan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah adalah dengan menggunakan pendekatan teori “negara berdasar atas hukum” (Rechtsstaat)

sebagai grand theory yang didukung oleh midle theory “Trias

Politica”(Organ/Institusi Pemerintahan) untuk memperkuat teori utama, serta konsep demokrasi sebagai applied theory-nya.

Merujuk teori ketatanegaraan klasik yang dikemukakan Aristoteles, konsep negara hukum (rule of law) merupakan pemikiran yang dihadapkan (contrast) dengan konsep rule of man.16 Dalam modern constitutional state, salah satu ciri negara hukum (the rule of law atau rechtsstaat)17 ditandai dengan pembatasan kekuasaan

 

16 Brian Z. Tamanaba, On The Rule of Law: History, Politics, Theory, (United

Kingdom: Cambridge Univesity Press,2004), hlm 9. 17

Disini tidak dibedakan antara konsep “rule of law” dan konsep “rechtsstaat”. Untuk menelusuri perbedaan kedua konsep itu dapat dibaca, misalnya dalam Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), Lihat juga, Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: UII Press, 2003), hlm. 1-16, Lihat juga, Marjanne


(29)

dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Pembatasan itu dilakukan dengan hukum yang kemudian menjadi ide dasar paham konstitusionalisme modern.18 Sebagaimana Julius Stahl, pembagian atau pemisahan kekuasaan adalah salah satu elemen penting teori negara hukum Eropa Kontinental.19 Hadirnya ide pembatasan kekuasaan itu tidak terlepas dari pengalaman penumpukan semua cabang kekuasaan negara dalam tangan satu orang sehingga menimbulkan kekuasaan yang absolut.20 Misalnya perkembangan dalam perkembangan sejarah ketatanegaraan Inggris, raja pernah berkuasa karena menggabungkan tiga cabang kekuasaan negara (law-giver, the executor of the law, and the judge) dalam satu tangan.21 Karena itu, sejarah pembagian kekuasaan negara bermula dari gagasan pemisahan kekuasaan kedalam berbagai organ agar tidak terpusat di tangan seorang monarki (raja absolut).22

Berhubung dengan pembatasan kekuasaan itu, Miriam Budiardjo dalam buku “Dasar-Dasar Ilmu Politik” membagi kekuasaan secara vertikal dan horizontal.23 Secara vertikal, kekuasaan dibagi berdasarkan tingkatan atau hubungan antar tingkatan pemerintahan. Sementara secara horizontal, kekuasaan menurut fungsinya yaitu dengan membedakan antara fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif,

 

Termorshutzen Artz, The Concept of Rule of Law, Jurnal Jentera Edisi 3, Tahun II, November, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Jakarta.

18 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara, Jilid II, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan RI, 2006), hlm. 11.

19Ni'matul Huda, Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi, (Yogyakarta: UII Press, 2007), hlm. 57.

20Saldi Isra

, Pergeseran Fungsi Legislasi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 73. 21Ibid, hlm. 74.

22 Mohd. Mahfud MD

., Dasar dan Stmktur Ketatanegaraan Indonesia, (Bandung: Rieneke Cipta, 2001), hlm. 72.

23 Miriam Budiardjo

, Dasar-dasar Ilmu Politik, Cetakan Ke-29, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka UWna, 1989), hlm. 138.


(30)

eksekutif dan yudikatif.24

Berdasarkan sejarah perkembangan pemikiran kenegaraan, gagasan pemisahan kekuasaan secara horizontal pertama kali diungkapkan oleh John Locke dalam buku “Two Treaties of Civil Government “. Dalam buku tersebut, John Locke membagi kekuasaan dalam sebuah negara menjadi tiga cabang kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif (legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan federatif (federative power). Dari ketiga cabang kekuasaan itu: legislatif adalah kekuasaan melaksanakan undang-undang, dan federatif adalah kekuasaan untuk melakukan hubungan internasional dengan negara-negara lain.25

Selanjutnya, konsep pemisahan kekuasaan yang dikemukakan John Locke dikembangkan oleh Baron de Montesquieu dalam karyanya L’Esprit des Lois (The Spirit of the Laws). Dalam uraiannya, Montesquieu membagi kekuasaan pemerintahan dalam tiga cabang yaitu kekuasaan membuat undang-undang (legislatif), kekuasaan untuk menyelenggarakan undang-undang yang oleh Montesquieu diutamakan tindakan di bidang politik luar negeri (eksekutif) dan kekuasaan mengadili terhadap pelanggaran undang-undang (yudikatif). Ketiga kekuasaan itu harus terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas (fungsi) maupun mengenai alat perlengkapan (lembaga) yang menyelenggarakannya.26 Konsepsi yang diajarkan Montesquieu lebih dikenal dengan ajaran Trias Politica.

 

24 Ibid 25

John Locke, Two Treaties of Civil Government (London: J.M. Dent and Sons Ltd, 1960), hlm. 190-192.

26

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar ... Op.cit., hlm. 152. Bandingkan dengan R. Kranenburg, Ilmu Negara, (Jakarta: Viva Studi 1967), hlm. 53.


(31)

Jika dibandingkan konsep pembagian kekuasaan Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1785), perbedaan mendasar pemikiran keduanya: Locke memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan eksekutif sedangkan Montesquieu memandang kekuasaan yudikatif berdiri sendiri.27 Montesquieu sangat menekankan kebebasan badan yudikatif karena ingin memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi warga negara yang pada masa itu menjadi korban despotis raja-raja Bourbon.28 Sementara pemikiran Locke sangat dipengaruhi praktek ketatanegaraan Inggris yang meletakkan kekuasaan peradilan tertinggi di lembaga legislatif, yaitu House of Lord.

Sedikit berbeda dengan Locke dan Montesquieu, van Vollenhoven membagi kekuasaan negara menjadi empat fungsi, yaitu regeling; bestuur; rechtsspraak, dan politie. Pembagian keempat kekuasaan negara itu kemudian dikenal dengan teori “Catur Praja”.29 Dalam teori itu, yang dimaksud dengan regeling adalah kekuasaan negara untuk membentuk aturan. Bestuur adalah cabang kekuasaan yang menjalankan fungsi pemerintahan. Sementara itu, rechtsspraak merupakan cabang kekuasaan negara yang melaksanakan fungsi peradilan. Yang berbeda dengan teori Locke dan Montesquieu, Vollenhoven memunculkan politie sebagai cabang kekuasaan yang berfungsi menjaga ketertiban masyarakat dan bernegara.

Kajian lebih jauh atas pendapat Locke, Montesquieu, Vollenhoven bukan

 

27

Benny K. Harman, Konfigurasi Politik dan Kekuasaan Kehakiman, (Jakarta: Elsam, 1997), h1m. 49.

28

Frans Magnin Suseno, Etika Politik; Prinsip-Prinsip Model Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta-Gramedia, 1991), hlm. 223-231.

29

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid II, (Jakarta: Sekrtariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), hlm. 15.


(32)

pada perbedaan cabang kekuasaan negara tersebut. Apalagi, realitas menunjukkan bahwa masalah ketatanegaraan semakin kompleks. Karenanya, pembagian kekuasaan negara secara konvensional yang mengasumsikan hanya ada tiga cabang kekuasaan di suatu negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif) sudah tidak mampu lagi menjawab kompleksitas yang muncul dalam perkembangan negara modern.30 Perkembangan hukum tata negara modern (modern constitutional theory) membuktikan, cabang-cabang kekuasaan negara semakin berkembang dan pola hubungannya pun semakin complicated.31

Namun, kajian teoretis dalam cabang kekuasaan yang dikemukakan Locke,

Montesquieu, dan Vollenhoven lebih kepada hubungan antarcabang kekuasaan

tersebut, yaitu apakah masing-masing cabang kekuasaan negara tersebut terpisah

antara cabang kekuasaan yang satu dengan lainnya, atau diantaranya masih punya

hubungan untuk saling bekerja sama. Untuk melihat hubungan antara keduanya,

dapat didalami dari teori pemisahan kekuasaan (separation of power), pembagian

kekuasaan (distribution of power atau division of power), dan check and balances.

Secara umum “pemisahan kekuasaan” dalam bahasa Indonesia dimaknai

(separation of power)32 dimulai dari pemahaman atas teori Trias Politica

 

30

Denny Indrayana, Komisi Negara: Evaluasi Kekinian Tantangan Masa Depan, Jurnal Yustisia, Edisi XVI Nomor 2, Juli –Desember, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, hlm. 6.

31

Bruce Akerman, The New Separation of powers, The Harvard Law Review, Vol. 113. 32

Sir Ivor Jennings membedakan pemisahan kekuasaan (separation of power) dalam arti material dan formal. Pemisahan kekuasaan dalam arti material ialah pemisahan kekuasaan dalam arti


(33)

Montesquieu. Hal itu muncul dari pemahaman pendapat Montesquieu yang

menyatakan, “when the legislative and the executive powers are united in the same

person, or in the some body of magistrate, there can be liberty”.33 Tidak terbantahkan, pandangan Montesquieu memberikan pengaruh yang amat luas dalam

pemikiran kekuasaan negara. Pendapat Montesquieu yang dikutip dimaknai bahwa

cabang-cabang kekuasaan negara benar-benar terpisah atau tidak punya hubungan

sama sekali. Dengan pemahaman seperti itu, karena sulit untuk membuktikan ketiga

cabang kekuasaan itu betul-betul terpisah satu dengan lainnya, banyak pendapat yang

mengatakan bahwa pendapat Montesquieu tidak pernah dipraktekkan secara murni34 atau tidak pernah dilahirkan dalam fakta,35 tidak realistis dan jauh dari kenyataan.36 Karena itu Jimly Asshidiqie menyatakan37 :

“Konsepsi Trias Politica yang diidealkan oleh Montesquieu jelas tidak relevan lagi dewasa ini, mengingat tidak mungkin lagi mempertahankan bahwa ketiga

 

pembagian kekuasaan itu dipertahankan dengan tegas dalam fungsi tugas-tugas kenegaraan yang secara kardkteristik memperlihatkan adanya pemisahan kekuasaan itu pada tiga badan, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sedangkan yang dimaksud dengan pemisahan kekuasaan dalam arti formal ialah apabila pembagian kekuasaan itu tidak dipertahankan dengan tegas. Sir Ivor Jennings, The Law and the Constitution, 4 edition, (London: The English Language Book Society, 1976), hlm. 22. Robert M. McIver mengatakan bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti material disebut dengan pemisahan kekuasaan (separation of powers), sedangkan pemisahan kekuasaan dalam arti formal disebut dengan pembagian kekuasaan (division of powers). Robert M. McIver, The Modern State, (Oxford: Oxford University Press, 1950), hlm. 364.

33

Ibid, hlm. 16 34

Kotan Y. Stefanus, Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Pemerintahan Negara (Dimensi Pendekatan Politik Hukum terhadap Kekuasaan Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945), (Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atma.Jaya, 1998), hlm 30.

35

Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New York: Russel and Russel, 1971), hlm. 287.

36

Jimly Asshidiqie, Perekembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, hlm. 17.

37


(34)

organisasi tersebut hanya berurusan secara eksklusif dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut. Kenyataan dewasa ini menunjukkan bahwa hubungan antar cabang kedua kekuasaan itu tidak mungkin tidak saling bersentuhan, dan bahwa ketiganya bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama yang lainnya sesuai dengan prinsip checks and balances”.

Jika disimak secara cermat, Montesquieu tidak menyatakan bahwa antara cabang kekuasaan negara yang ada tidak punya hubungan satu sama lainnya. Montesquieu lebih menekankan pada masalah pokok, cabang-cabang kekuasaan negara tidak boleh berada dalam satu tangan atau dalam satu organ negara. Namun secara umum dipahami, Montesquieu menghendaki pemisahan yang amat ketat di antara cabang-cabang kekuasaan negara, yaitu satu cabang kekuasaan hanya mempunyai satu fungsi, atau sebaliknya satu fungsi hanya dilaksanakan oleh satu cabang kekuasaan negara saja. Padahal, Montesquieu menghendaki agar fungsi satu cabang kekuasaan negara tidak dilakukan oleh cabang kekuasaan lain atau dirangkap oleh cabang kekuasaan negara yang lain.

Dengan banyaknya kritikan terhadap separation of power, teori Trias Politica dijelaskan dengan teori “pembagian kekuasaan” (distribution of power atau division of power). Teori ini digunakan oleh para pemikir hukum tata negara dan ilmu politik karena perkembangan praktik ketatanegaraan tidak mungkin lagi suatu cabang kekuasaan negara benar-benar terpisah dari cabang kekuasaan yang lain. Bahkan dalam pandangna John A. Garvey dan T. Alexander Aleinikoff, menyebut pembagian kekuasaan dengan “separation of functions”.38 Pendapat Garvey dan Aleinikoff

 

38


(35)

melihat bahwa dalam teori Trias Politica tidak mungkin memisahkan secara ketat cabang-cabang kekuasaan negara. Oleh karena itu, yang paling mungkin adalah memisahkan secara tegas fungsi setiap cabang kekuasaan negara bukan memisahkannya secara ketat seperti tidak punya hubungan sama sekali.

Setelah mendalami banyak literatur tentang pembatasan kekuasaan negara, Jimly Asshiddiqie menilai bahwa istilah-istilah separation of power, distribution of power/division of power sebenarnya mempunyai arti yang tidak jauh berbeda. Untuk menguatkan penilaian tersebut Asshiddiqie mengutip O. Hood Phillips dan kawan-kawan yang menyatakan, the question whether the separation of power (i.e. the distribution of power of the various power of government among different organs).39 Karena pendapat itu, Asshiddiqie mengatakan, Hood Phillips mengidentikkan kata separation of power dengan distribution of power. Oleh karena itu, kedua kata tersebut dapat saja dipertukarkan tempatnya.40 Tidak hanya itu, Peter L. Strauss cenderung, mempersamakan distribution of power dengan check and balances.41 Dalam tulisan “The Place of Agencies in Government: Separation of Powers and Fourth Branch” Strauss menjelaskan :

“Unlike the separation of powers, the check and balances idea doesn’t suppose a radical division of government into three parts, with particular functions neatly parceled out among them. Rather, focus is on relationship and interconnections, on maintaining the conditions in which the intended struggle at the apex may continue”. 42

 

39 Ibid 40

Ibid 41

Ibid, hlm. 296 42


(36)

Berdasarkan pendapat Peter L. Strauss tersebut check and balances dalam upaya menciptakan relasi konstitusional untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan43 diantara cabang-cabang kekuasaan negara untuk membangun keseimbangan hubungan dalam praktik penyelenggaraan negara. Jika dalam teori pemisahan kekuasaan dan pembagian kekuasaan lebih menggambarkan kejelasan posisi tiap cabang kekuasaan negara dalam menjalankan fungsi-fungsi konstitusionalnya, check and balances lebih menekankan kepada upaya membangun mekanisme perimbangan untuk saling kontrol antar cabang kekuasaan negara. Bagaimanapun, mekanisme check and balances hanya dapat dilaksanakan sepanjang punya pijakan konstitusional guna mencegah kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh cabang-cabang kekuasaan negara.

Kemudian secara prinsipil, demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang mengizinkan rakyatnya untuk mengambil bagian penting dalam proses pemerintahan. Pemilihan bentuk “demokrasi” dalam pemerintahan Yunani Kuno merupakan upaya untuk menghindari tirani maupun anarki. Akan tetapi, bukan berarti pemilihan bentuk demokrasi ini merupakan satu-satunya jalan terbaik untuk menghindari upaya penyelewengan kekuasaan para penguasa. Bahkan demokrasi, menurut James Madison-Bapak Konstitusi Amerika, tidak mungkin lepas dari 2 ancaman, diktator mayoritas dan tirani minoritas.44 Ibarat 2 sisi mata uang, di samping kelemahan pasti

 

43

Bivitri Susanti, Hakim atau Legislator?, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 2006), hlm. 3.

44

Abd Rohim Ghavili, “Mengapa Harus Demokrasi”, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0310/30/0pini/651122.htm


(37)

ada kelebihannya.

Menurut Robert A. Dahl, dibanding alternatif manapun yang mungkin ada, setidaknya demokrasi memiliki keunggulan yang mungkin ada, setidaknya demokrasi memiliki keunggulan dalam 10 hal, yaitu45:

1. Menghindari tirani. 2. Menjamin hak asasi.

3. Menjamin kebebasan umum. 4. Menentukan nasib sendiri. 5. Otonomi moral.

6. Menjamin perkembangan manusia. 7. Menjaga kepentingan pribadi yang utama. 8. Persamaan politik.

9. Menjaga perdamaian. 10.Mendorong kemakmuran.

Kemudian menurut Mc Iver,46 “Demokrasi bukanlah cara memerintah, apakah itu oleh mayoritas atau yang lainnya. Akan tetapi, demokrasi merupakan sebuah cara penentuan siapa yang akan memerintah”.

Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa apapun bentuk pemerintahannya (apakah itu monarki ataupun aristokrasi), penentuan pemimpinnya (termasuk jika terjadi pergantian pemimpin karena dianggap tidak mampu) dilakukan sesuai dengan kehendak rakyat tanpa perlu terjadi kekerasan (damai).

Demokrasi pertama-tama merupakan gagasan yang mengandalkan bahwa kekuasaan itu adalah dari, oleh, dan untuk rakyat. Dalam pengertian yang lebih partisipatif demokrasi itu bahkan disebut sebagai konsep kekuasaan dari, oleh, untuk, dan

 

45 Ibid 46

Mc Iver. Jaring-Jaring Pemerintahan, Diterjemahkan oleh Dra. Lana Blasyim, Cet. II, (Jakarta : Aksara. Baru, 1983), hlm. 212.


(38)

bersama rakyat. Artinya, kekuasaan itu pada pokoknya diakui berasal dari rakyat, dan karena itu rakyatlah yang sebenarnya menentukan dan memberi arahan yang sesungguhnya menyelenggarakan kehidupan kenegaraan. Keseluruhan sistem penyelenggaraan negara itu pada dasarnya juga diperuntukkan bagi seluruh rakyat itu sendiri, bahkan negara yang baik diidealkan pula agar diselenggarakan bersama-sama dengan rakyat dalam arti dengan melibatkan masyarakat dalam arti yang seluasluasnya. Keempat ciri itulah yang tercakup dalam pengertian kedaulatan rakyat ; diselenggarakan untuk rakyat, oleh rakyat sendiri, serta dengan terus membuka diri dengan melibatkan seluas mungkin peran serta rakyat dalam penyelenggaraan negara.47

Dalam teori maupun praktek di Indonesia, fungsi pelaksanaan asas kedaulatan rakyat lazim terkait dengan Pemilihan Umum. Hal ini tegaskan berulang-ulang dalam TAP MPR No. VII/MPR/1973, TAP MPR NO. VII/MPR/1978 dan dalam Pasal 1 TAP MPR No. VII/MPR/1973, dinyatakan bahwa Pemilihan Umum diselenggarakan berdasarkan Demokrasi Pancasila sebagai sarana pelaksanaan asas kedaulatan rakyat dalam Negara Indonesia. Dalam Pasal 1 Ayat (1) TAP MPR No. VII/MPR/1978 juga ditegaskan bahwa Pemilihan Umum adalah sarana pelaksanaan asas kedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila baik dalam Pasal 1 Ayat (2) TAP MPR No. II/MPPR/1988, hal yang sama juga ditegaskan lagi. Artinya, secara yuridis, Pemilihan Umum di Indonesia memang dimaksudkan sebagai sarana pelaksanaan

 

47

Jimly Asshiddiqie, “Demokrasi dan Nomokrasi : Prasyarat Menuju Indonesia Baru”, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi (Serpihan Pemikiran Hukum, Media dan HAM, Cetakan ke- 4 (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hlm. 293-294.


(39)

kedaulatan rakyat.48

Dengan menggunakan konstruksi pemikiran A. Hamid S. Attamimi49 secara konsisten, maka Pemilihan Umum yang diselenggarakan setiap 5 tahun sekali haruslah dipahami sebagai pemilihan oleh dan untuk rakyat yang diperintah, bukan rakyat yang berdaulat. Dengan demikian, Pemilihan Umum dapat disebut sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat. Menurut Jimly Asshiddiqie, Pemilihan Umum adalah sarana pelaksanaan asas kedaulatan rakyat yang bersifat langsung. Dalam sistem hukum Indonesia, kedaulatan rakyat yang bersifat langsung itu dilakukan dengan 2 cara yang masing-masing ditujukan dengan maksud untuk membentuk MPR (termasuk juga DPR) dan untuk menetapkan UUD. Untuk tujuan pertama, membentuk MPR, diadakan Pemilihan Umum, dan untuk tujuan terakhir, menetapkan UUD, diadakan Pemilihan Umum, dan untuk tujuan terakhir, menetapkan UUD, diadakan referendum (Pasal 37 UUD 1945 sebelum perubahan jo TAP MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum). Dengan demikian, kedua ketetapan itu dapat dikatakan telah memenuhi kehendak rakyat yang berdaulat.50

Baik pendapat A. Hamid S. Attamimi maupun Jimly Asshiddiqie, sama-sama didasarkan pada UUD 1945 sebelum diadakan perubahan, yang mana kedaulatan

 

48

Jimly Asshiddiqe, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia (Pergeseran keseimbangan antara Individualisme dan kolektivisme dalam kebijakan Demokrasi Politik dan Demokrasi Otonomi selama Tiga Masa Demokrasi, 1945-1980-an, Cetakan ke-1, (Jakatta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1994), hlm. 84.

49

Menurut A. Hamid S. Attamimi, rakyat yang duduk di MPR adalah rakyat yang berdaulat (citoyen), sedangkan wakil-wakil rakyat di DPR adalah rakyat yang diperintah (suyet). Lihat Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam…………Op, Cit., hlm. 82

50


(40)

berada di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Setelah diadakan Perubahan III UUD 1945 pada tanggal 10 November 2001, kedaulatan ada di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya menurut UUD (Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945). Dengan perubahan tersebut, MPR tidak lagi memiliki kedudukan yang eksklusif sebagai satu-satunya instansi pelaku atau pelaksana kedaulatan rakyat. Selain MPR, ada lembaga-lembaga negara lain yang juga merupakan pelaku pelaksana kedaulatan rakyat, misalnya, Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat adalah juga pelaku atau pelaksana kedaulatan rakyat termasuk juga pelaksanaan referendum untuk meminta terlebih dahulu persetujuan rakyat berkenaan dengan rencana perubahan UUD 1945.51

Pemilihan umum menurut Reinholf Zippelius, harus secara efektif menentukan siapa-siapa yang memimpin negara dan arah kebijakan apa yang mereka ambil, serta bahwa dalam demokrasi, pendapat umum (dioffendiche Meinung) memainkan peranan penting.52

Solly Lubis membagi penegak hukum dalam arti sempit dan dalam arti luas.53 Penegakan hukum dalam arti sempit adalah Polisi, Jaksa dan Hakim, sedangkan dalam arti yang luas bukan hanya Polisi, Jaksa dan Hakim, tetapi juga meliputi semua mereka yang terlibat dalam urusan legislasi, baik komponen wakil

 

51

Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD’45 Setelah Perubahan Keempat, Cetakan Ke-II (Jakarta : Yasrif Watampone, 2003), hlm. 3-4.

52 Ibid 53

Eka N.A.M. Sihombing, Antara Markus dan Etik Penegak Hukum, Harian Analisa, Senin 26 April 2010.


(41)

  an Hakim.55

rakyat maupun pihak eksekutif dan juga para Pengacara dan Notaris.54 Penegakan hukum yang dimaksud dalam tulisan ini adalah penegak hukum dalam arti yang sempit yakni Polisi, Jaksa d

Lebih lanjut Solly Lubis membagi penegakan hukum dalam arti sempit dan dalam arti luas juga.56 Penegakan hukum dalam arti sempit adalah penegakan yang dilakukan oleh Polisi, Jaksa dan Hakim, sedangkan dalam arti yang luas bukan hanya penegakan hukum yang dilakukan oleh Polisi, Jaksa dan Hakim akan tetapi Penegakan Hukum dimulai dari pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh lembaga legislatif dan eksekutif sampai eksekusi yang dilaksanakan oleh badan peradilan.57 Bahkan pengacara (advocaat dan procureur) juga termasuk sebagai perangkat penegak hukum dalam upaya penegakan hukum sesuai dengan batas kewenangan masing-masing secara proporsional. Apabila dikaitkan dengan penyelesaian sengketa Pemilukada maka Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pilar penegakan hukum dalam arti yang sempit.

2. Konsepsi

Dalam penelitian hukum kerangka konsepsional diperoleh dari peraturan perundang-undangan atau melalui usaha untuk membentuk pengertian-pengertian hukum. Apabila kerangka konsepsional tersebut diambil dari peraturan perundang-undangan tertentu maka biasanya kerangka konsepsional tersebut sekaligus

54 Ibid 55

Ibid 56

Disadur dari catatan kuliah Politik Hukum Solly Lubis 57


(42)

merumuskan definisi-definisi tertentu, yang dapat dijadikan pedoman operasional di dalam proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan konstruksi data.

Kerangka konsepsional dalam merumuskan atau membentuk pengertian-pengertian hukum, kegunaannya tidak hanya terbatas pada penyusunan kerangka konsepsional saja, akan tetapi bahkan pada usaha merumuskan definisi-definisi operasional di luar peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, konsep merupakan unsur pokok dari suatu penelitian.58

Agar terdapat persamaan persepsi dalam membaca rencana penelitian ini, maka dipandang perlu untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan konsep-konsep dibawah ini :

a. Kewenangan

Kata kewenangan berasal dari kata dasar wewenang yang berarti hak dan kekuasaan untuk bertindak atau bisa juga berarti kekuasaan untuk membuat keputusan yang memiliki akibat hukum setelah dikeluarkannya keputusan tersebut.”59 Dalam pelaksanaan tugas dan wewenang menurut tata tertib MPR, DPR, DPD dan DPRD disebutkan bahwa MPR mempunyai tugas dan wewenang untuk mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil Pemilihan Umum, memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden

 

58

Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarahat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), hlm. 24.

59

Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1998), h1m. 1011.


(43)

dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan oleh Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya, dan memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, dari 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.60

DPR mempunyai tugas dan wewenang yaitu, membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama, memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang diajukan oleh Presiden untuk

 

60

Pasal 4, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.


(44)

menjadi undang-undang, menerima rancangan undang-undang yang diajukan oleh DPD berkaitan dengan otonomi daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, membahas rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam huruf c bersama Presiden dan DPD sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden, membahas rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dengan mengikutsertakan DPD sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden, memperhatikan DPD atas rancangan undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama, membahas bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan memberikan persetujuan atas rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden, melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dan APBN, membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang disampaikan oleh DPD terhadap pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan,


(45)

 

dan agama, memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, serta membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang, memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pemberian amnesti dan abolisi, memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal mengangkat duta besar dan menerima penempatan duta besar negara lain, memilih anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD, membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang disampaikan oleh BPK, memberikan kepada Presiden atas pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial, memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden, memilih 3 (tiga) orang hakim konstitusi dan mengajukannya kepada Presiden untuk diresmikan dengan keputusan Presiden, memberikan persetujuan terhadap pemindahtanganan aset negara yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan terhadap perjanjian yang berakibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat, dan melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam undang-undang.61

61


(46)

DPD mempunyai tugas dan wewenang yaitu dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, ikut membahas bersama DPR dan Presiden rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau DPR, yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a, memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama, dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama; menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan undang-undang APBN, pajak, pendidikan, dan agama kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti, menerima hasil pemeriksaan atas keuangan negara dari BPK sebagai bahan membuat pertimbangan kepada DPR tentang

 

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Kabupaten/Kota.


(47)

rancangan undang-undang yang berkaitan dengan APBN, memberikan pertimbangan untuk ditindaklanjuti, menerima hasil pemeriksaan atas keuangan negara dari BPK sebagai bahan membuat pertimbangan kepada DPR tentang rancangan undang-undang yang berkaitan dengan APBN, memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota BPK, dan ikut serta dalam penyusunan program legislasi nasional yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.62

DPRD Provinsi mempunyai tugas dan wewenang yaitu membentuk peraturan daerah provinsi bersama gubernur, membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi yang diajukan oleh gubernur, melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi, mengusulkan pengangkatan dan/atau pemberhentian gubernur dan/atau wakil gubernur kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian, memilih wakil gubernur dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil gubernur, memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah provinsi terhadap rencana perjanjian

 

62

Pasal 24, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Kabupaten/Kota.


(48)

internasional di daerah, memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah provinsi, meminta laporan keterangan pertanggungjawaban gubernur dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi, memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama dengan daerah lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah, mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.63

DPRD Kabupaten/Kota mempunyai tugas dan wewenang yaitu membentuk peraturan daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota, membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota yang diajukan oleh bupati/walikota, melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota, mengusulkan pengangkatan dan/atau pemberhentian bupati/walikota dan/atau wakil bupati/wakil walikota kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian, memilih wakil bupati/wakil walikota dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil bupati/wakil walikota, memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota terhadap rencana perjanjian internasional di

 

63

Pasal 293, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Kabupaten/Kota.


(49)

daerah, memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota, meminta laporan keterangan pertanggungjawaban bupati/walikota dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota, memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama dengan daerah lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah, mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.64

b. Sengketa Hasil Penetapan Pemilihan Umum Kepala Daerah

Pada hakikatnya, sengketa hasil Pilkada merupakan keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dalam Pasal 94 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 yang dimaksud dengan keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan adalah hanya yang berkenan dengan hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.

c. Mahkamah Konstitusi

Perubahan UUD 1945 melahirkan lembaga baru di bidang kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Konstitusi, sebagaimana diatur dalam Pasal 24 Ayat (2), yang berbunyi sebagai berikut :

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan

 

64

Pasal 344, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Kabupaten/Kota.


(50)

 

34

badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.

Berkenaan dengan tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi, Pasal 24 C menegaskan bahwa, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undangundang terhadap UUD, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum serta juga memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.

Berdasarkan kerangka teori dan kerangka konsep tersebut, maka skema alur pikir dalam penelitian ini dapat diformulasikan sebagai berikut :


(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

A. Gunawan Setiardja, Dialetika Hukum dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 1990.

A. Muktie Fadjar dalam Harian Kompas Edisi Rabu, 20 Pebruari 2008, Kewenangan Mahkamah Konstitusi Soal Pemilihan umum Harus Diperluas.

Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Impilkasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006.

B. Smith, Decentralization: The Terriotorial Dimension of The State, London: George Allen & Unwin, 1985.

Bambang Sutiyoso dan Srihastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2005.

Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta: FH UII Press, 2003.

Benny K. Harman, Konfigurasi Politik dan Kekuasaan Kehakiman, Jakarta: Elsam, 1997.

Bivitri Susanti, Hakim atau Legislator?, Yogyakarta : Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 2006.

Brian Z. Tamanaha, On The Rule of Law: History, Politics, Theory, United Kingdom: Cambridge Univesity Press, 2004.

Bruce Akerman, The New Separation of Powers, The Harvard Law Review.

C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, Bandung: Alumni, 1994.

Eko Prasojo, Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Hukum dan Politik Indonesia, Jakarta: Jentera, 2006.


(2)

Frans Magnis Suseno, Etika Politik; Prinsip-Prinsip Model Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia, 1991.

Frans Magnis-Suseno, Mencari Sosok Demokrasi: Sebuah Telaah Filosofis, Cetakan ke-II Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1995.

Hans Kelsen, General Theory of Law and State, New York: Russel and Russel, 1971. J. Kaloh, Demokrasi dan Kearifan Lokal Pada Pemilihan Kepala Daerah Langsung,

Jakarta: Kata Hasta Pustaka, 2008.

Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006.

_______________, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Cetakan Kedua, Jakarta : Bhuana Ilmu Populer, 2008.

_______________, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid II, Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006.

_______________, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta.

_______________, “Demokrasi dan Nomokrasi : Prasyarat Menuju Indonesia Baru”, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi (Serpihan Pemikiran Hukum, Media dan HAM), Cetakan ke- I, Jakarta: Konstitusi Press, 2005.

_______________, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia (Pergeseran keseimbangan antara Individualisme dan kolektivisme dalam kebijakan Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi selama Tiga Masa Demokrasi, 1945-1980-an, Cetakan ke-I, Jakarta : PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1994.

_______________, Konsolidasi Naskah UUD’45 Setelah Perubahan Keempat, Cetakan Ke-II, Jakarta : Yasrif Watampone, 2003.


(3)

John Locke, Two Treaties of Civil Government, London: J.M. Dent and Sons Ltd, 1960.

Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Filosofi, Sistem, dan Problem Penerapan di Indonesia), Cetakan ke-II, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005.

K.C. Wheare, Konstitusi-Konstitusi Modern, Edisi Terjemahan, Surabaya: Pustaka Eureka Surabaya, 2005.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1998.

Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997.

Kotan Y. Stefanus, Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Pemerintahan Negara (Dimensi Pendekatan Politik Hukum terhadap Kekuasaan Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945), Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atma Jaya, 1998.

Lembaga Survei Indonesia (LSI), Laporan Hasil Survei tentang Kedaerahan dan Kebangsaan dalam Demokrasi Sebuah Perspektif Ekonomi-Politik, Jakarta 20 Maret 2007.

M. Solly Lubis, Sistem Nasional, Bandung: Mandar Maju, 2002.

Marjanne Termorshuizen Artz, The Concept of Rule of Law, Jurnal Jentera Edisi 3, Tahun II, November, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Jakarta.

Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press, 2006.

Mc Iver, Jaring-Jaring Pemerintahan, Diterjemahkan oleh Dra. Laila Blasyim, Cet. II, Jakarta : Aksara Baru, 1983.

Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000. Mohd. Mahfud M.D., Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Bandung:


(4)

Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid I, Djakarta : Prapantja, 1959.

Ni’matul Huda, Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi, Yogyakarta: UII Press, 2007.

____________, Otonomi Daerah Filosofi Sejarah Perkembanganya dan Problematika, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

____________, Politik Ketatanegaraan Indonesia: Kajian Terhadap Dinamika Perubahan UUD 1945, Yogyakarta: FH UII Press, 2003.

Ni’matul Huda. UUD 1945 dan Gagasan Ulang Amandemen, Jakarta: Rajawali Pers, 2008.

Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu, 1987.

R. Kranenburg, Ilmu Negara, Jakarta: Viva Studi, 1967.

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press, 2003. Robert M. McIver, The Modern State, Oxford: Oxford University Press, 1950. Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010.

Sarundajang, Pemilihan Kepala Daerah Langsung: Problem dan Prospek, Jakarta: Kata Hasta Pustaka, 2005.

Sir Ivor Jennings, The Law and the Constitution, 4th edition, London: The English Language Book Society, 1976.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994.

B. Makalah, Majalah dan Karya Tulis Ilmiah

Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dan Bertanggungjawab, Majalah Pro Justitia Nomor 4 Tahun 2000, Universitas Parahyangan Bandung.


(5)

Denny Indrayana, Komisi Negara: Evaluasi Kekinian dan Tantangan Masa Depan, Jurnal Yustisia, Edisi XVI Nomor 2, Juli-Desember, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.

Eka N.A.M Sihombing, Antara Markus dan Etik Penegak Hukum, Harian Analisa, Senin 26 April 2010.

Harjono, Kedudukan Dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan di

Indonesia, Makalah disampaikan pada diskusi hukum Jurusan Hukum Administrasi,

Universitas Airlangga. Tanggal 6 Juni 2003.

I. Widarta, Cara Mudah Memahami Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Bantul: Pondok Edukasi, 2005.

Jimly Asshiddiqie, Mahkamah Konstitusi: Fenomena Hukum Tata Negara Abad 20, Makalah Diskusi Terbatas KRHN, Jakarta, 18 Juni 2002.

Jimmly Asshiddiqie, Sruktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, Makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII yang diselenggarakan Oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar 14-18 Juli 2003.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cetak Biru, Membangun Mahkamah Konstitusi, Sebagai Institusi Peradilan Konstitusi Yang Modern Dan Terpercaya, Sekretariat Jenderal MKRI, 2004.

C. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, LN No. 125 Tahun 2004, TLN. No. 4437.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe


(6)

171

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.

Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 072-073/PUU-II/2004 tentang Pengujian Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap UUD Negara RI 1945.

Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Perkara No. 001/PUU-IV/2006 Mengenai Pengujian Undang-Undang Terhadap UUD 1945.

Mahkamah Konstitusi, Putusan Nomor 66/PHPU.D-VI/2008./2008 Tentang Sengketa Hasil Pemilukada Provinsi Jawa Timur.

Mahkamah Konstitusi, Putusan No. 41/PHPU.D-VI/2008./2008 Tentang Sengketa Hasil Pemilukada Kabupaten Langkat Sumatera Utara.

D. Internet

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0310/30/opini/651122.htm. http://hukumonline.com/detail.asp?id=140676cl=Berita.

http://liputan 6.com/view/1,114924,1,0,1135983958. html. http://liputan 6.com/view/ 7,114381,1,0,1135246655. http://www.hukumonline.com

http://www.hukumonline.com/Berita

http://cetak.kompas.com/read/2010/01/07/02412454/mahfud.hukum.harus.adi l.dan.bernurani, akses tanggal 8 Juni 2011 jam 09.40 wib


Dokumen yang terkait

Calon Independen dalam Pemilihan Kepala Daerah Ditinjau dari Undang-undang Pemerintahan Daerah

2 79 104

Tingkahlaku Politik Etnis Tionghoa Dalam Pemilihan Kepala Daerah 2010 Di Kelurahan Pusat Pasar Medan Kota

0 50 99

Strategi Pemenangan Calon Independen Dalam pemilihan kepala Daerah Medan 2010 (Studi kasus Prof.Dr.H.M.Arif Nasution dan H.Supratikno WS).

3 66 147

Pelaksanaan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Memutus Hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (studi kasus Pilkada Kabupaten Dairi)

0 31 119

KAJIAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA HASIL PEMILUKADA OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI (Berdasarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 15 Tahun 2008 Tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Putusan Mahkamah Konstitusi No.

0 4 15

KAJIAN YURIDIS TERHADAP KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PEMILIHAN KEPALA DAERAH

1 22 69

KEWENANGAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH

0 14 83

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MEMUTUS SENGKETA PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH (STUDI KASUS : PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH KOTAWARINGIN BARAT).

1 2 18

Redesain Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Penyelesaian Sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia

0 0 22

A. PENDAHULUAN - KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM MENURUT UU NO. 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

0 0 13