Fahrur Rozi Hasman : Kekerabatan Masyarakat Bajou, 2009. USU Repository © 2009
BAB III SISTEM KEKERABATAN MASYARAKAT BAJOU
3.1. Pola Kehidupan Sehari-hari
Masyarakat Bajou yang bermukim di wilayah pantai mengembangkan kemampuan mendapatkan makanannya di air. Mereka hidup dengan cara menangkap
ikan di laut, mencari tiram di samping mengembangkan teknik-teknik peralatan pencarian makanan, alat-alat penangkapan ikan maupun sistem peralatan transportasi
lautan. Masyarakat Bajou yang bermukim di daerah pantai Teluk Bone ternyata sejak lama manfaatkan potensi sumber daya laut sebagai lapangan pencaharian hidupnya.
Masyarakat Bajou juga ada sebagai pakkaja yang dalam pengertian umum mencakup setiap orang memusatkan sumber penghasilan pada sektor perikanan.
Istilah perikanan itu sendiri secara defentif adalah berarti “segala usaha penangkapan budi daya ikan serta pengolahan sampai pemasaran hasilnya, sedangkan yang
dimaksud sumber perikanan ialah binatang dan tumbuh-tumbuhan yang hidup di perairan baik darat maupun laut.
Mereka juga bekerja sebagai Pappalele pada hakekatnya berarti orang yang memusatkan kegiatan pencaharian hidupnya pada usaha distribusi atau penyalur hasil
produksi ikan laut melalui proses perdagangan atau transaksi jual beli ikan. Dalam hal ini para pappalele membeli ikan dari nelayan, kemudian menyalurkannya pula baik
kepada para pedagang besar maupun pedagang eceran. Selain itu pappalele kadangkala menjual ikan tersebut kepada konsumen.
Aktivitas perdagangan pappalele seluruhnya berlangsung di darat.
Fahrur Rozi Hasman : Kekerabatan Masyarakat Bajou, 2009. USU Repository © 2009
3.2. Sistem Kekerabatan
Prinsip Kekerabatan Masyarakat Bajou dapat diungkapkan sebagai prinsip ikatan perkawinan. Perkawinan adalah salah satu fenomena kehidupan sosial budaya
yang dikenal dan dilakukan hampir setiap masyarakat sejak dahulu kala hingga sekarang. Secara sepintas dapat dikatakan bahwa perkawinan itu merupakan salah
satu bentuk kehidupan bersama yang sangat penting artinya bagi sepasang individu yang berlawanan jenis kelaminnya, baik didalam rangka pemenuhan kebutuhan
seksual maupun untuk mengembangkan keturunan. Pendekatan tersebut diatas ini bertolak dari suatu asumsi dasar, bahwa
“Perkawinan itu adalah suatu urusan keluarga, urusan kerabat, urusan masyarakat, urusan derajat dan urusan pribadi dalam hubungannya yang berbeda-beda. Ini berarti,
bahwa suatu perkawinan hanya mungkin terselenggara apabila kedua unsur calon mempelai mendapat dukungan dari individu atau kelompok individu lain yang ada
dalam masyarakatnya. Dan sebagai sumbu tempat berputar seluruh hidup kemasysrakatan.
Berbicara mengenai aturan-aturan perkawinan, maka secara garis besar sistem perkawinan masyarakat Bajou bertumpu pada dua landasan fundamental, yaitu
aturan-aturan agama islam dan aturan-aturan adat. Namun dalam kenyataannya masyarakat bersangkutan lebih mengutamakan aturan-aturan perkawinan yang
bersumber dari syariat islam. Dalam bahasa Bugis juga dikenal pula oleh sebagian warga
Masyarakat Bajou para lelaki yang melakukan perkawinan poligini itu disebut mappammaru memadukan lebih dari seorang istri.
Sehubungan dengan sistem perkawinan diatas maka dalam kehidupan masyarakat Bajou terbentuklah berbagai unit rumah tangga yang bentuknya sangat
Fahrur Rozi Hasman : Kekerabatan Masyarakat Bajou, 2009. USU Repository © 2009
bervariasi. Dari seluruh unit rumah tangga di wilayah Dusun Bajou ada sebagian merupakan rumah tangga monogamis, ada pula beberapa unit rumah tangga
poligamis. Ini jika dilihat dari bentuk perkawinan yang melandasinya. Sedangkan dilihat dari struktur keanggotaannya, maka ditemukan adanya rumah tangga yang
terdiri atas satu keluarga batih. Selebihnya unit-unit rumah tangga yang berbentuk keluarga luas, terdiri atas lebih dari satu keluarga batih.
Rumah tangga monogamis dan rumah tangga poligamis ini dapat merupakan keluarga batih, dapat pula merupakan keluarga luas. Keluarga batih adalah unit sosial
yang diartikan sebagai kelompok kekerabatan terkecil, terdiri atas ayah, ibu dan anak atau anak-anak yang belum menikah. Keluarga luas adalah keluarga besar yang terdiri
atas lebih dari satu keluarga batih, menempati rumah yang sama atau tinggal dalam satu perkarangan. Kemudian istilah rumah tangga mencakup pengertian, sebagai
kesatuan masyarakat yang makan dari satu dapur atau mengurus ekonomi rumah tangga.
Dari pengertian diatas tersebut dapat dikatakan bahwa masyarakat Bajou pada hakekatnya memandang ideal sistem perkawinan monogamis, namun
demikian mereka tidak menganggap tabu perkawinan yang berbentuk poligamis. Sebaliknya mereka tidak mengenal sistem perkawinan poliandri.
Ada juga sistem kekerabatan prinsi keturunan dan ikatan hubungan darah yang pada hakikatnya tidak hanya merupakan acuan untuk menetapkan keanggotaan
seseorang dalam suatu kelompok kekerabatan. Lebih dari itu prinsip keturunan juga menjadi dasar fundamental untuk menetapkan hak dan kewajiban setiap individu
dalam suatu unit keluarga dan kelompok kekerabatan. Didalam kehidupan masyarakat Bajou jaringan hubungan kekerabatan antar
individu senantiasa diperhitungkan menurut prinsip “bilateral”. Berdasarkan prinsip
Fahrur Rozi Hasman : Kekerabatan Masyarakat Bajou, 2009. USU Repository © 2009
ini maka setiap anak yang lahir akan secara otomatis menjadi anggota kerabat baik dari garis keturunan pihak ayah maupun garis keturunan ibunya.
Dalam hal ini berbagai kelompok kekerabatan, baik dalam organisasi daruma rumah tangga sebagai unit sosial yang paling kecil maupun di dalam unit-unit
organisasi kekerabatan yang lebih besar, yaitu dansitang kerabat luas. Berdasarkan pola hubungan kekerabatan yang fundamental terbentuk atas
dasar ikatan dan hubungan darah maka masyarakat Bajou mengenal dan menerapkan sistem pengelompokan anggota kerabat yang terbagi menjadi golongan yaitu
kelompok kerabat dansitang teo kerabat jauh, dansitang tutuku kerabat dekat, dan tutuku sikali kerabat dekat sekali.
3.3. Stratifikasi Sosial