Pandangan Islam Dan Hukum Positif Terhadap Praktek Nikah Tahlil

43

C. Pandangan Islam Dan Hukum Positif Terhadap Praktek Nikah Tahlil

1. Pandangan Hukum Islam Dalam hukum perkawinan Islam juga mngenal adanya larangan perkawinan yang di dalam Fikih disebut dengan mahram atau orang yang haraam dinikahi, selanjutnya di kalangan masyarakat lebih dikenal dengan muhrim. 4 Para ulama Fikih membagi mahram ini menjadi dua macam yaitu Mahram Muaqqad larangan menikah untuk waktu tertentu dan Mahram Mu’abbad larangan untuk selamanya. Wanita yang haram dinikahi untuk waktu selamanya terbagi menjadi tiga kelompok yaitu: a. Wanita-wanita satu keturunan b. Wanita-wanita sepersusuan c. Wanita-wanita yang haram dinikahi karena hubungan persemendaan. 5 Sedangkan wanita yang haram dinikahi untuk waktu tertentu atau yang bersifat muaqqat sebagaimana yang termuat dalam pasal 40 Kompilasi Hukum Islam: a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain 4 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, hukum perdata Islam di Indonesia jakarta: kencana, 2006 hal. 145 5 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, hukum perdata Islam di Indonesia jakarta: kencana, 2006 hal. 146 44 c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam. 6 Selanjutnya selain yang disebutkan di atas Islam juga melarang perkawinan seperti nikah mut’ah, nikah syighar, nikah dengan niat untuk mentalak, nikah dengan istri yang sudah di talak tiga dan yang terakhir adalah nikah tahlil. Karena luasnya pembahasan mengenai larangan pernikahan ini penulis lebih fokus terhadap pernikahan tahlil sebab fokus penilisan ini mengenai pernikahan tahlil. Kedudukan pernikahan dalam Islam dari suatu sisi merupakan sunnah Rasulullah SAW dan pada sisi lain, berfungsi sebagai penyambung keturunan agar silsilah keluarga tidak terputus. 7 Namun pernikahan tahlil ini hanya berfungsi untuk menghalalkan perempuan yang telah ditalak tiga oleh suaminya untuk rujuk kembali dengan mantan suaminya tersebut. Nikah yang seperti ini hukumnya adalah haram. Hal ini berdasarkan hadist Rasulullah SAW : رماع ب قع لاق - س و ه لع ها لص ها لوسر لاق ؟راعتس لا س تلاب مكر خأ اأ مل . للح لا وه لاق ها لوسر ا . لب اولاق ها عل هل للح لاو للح لا 8 6 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, hukum perdata Islam di Indonesia jakarta: kencana, 2006 hal. 150 7 Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan, Jakarta: PT. Prima Heza Lestari, 2006 hal. 7 8 Sunan Ibnu Majjah Hadits No 1936, dikutip dari maktabah syamilah, bab muhallil wa muhallalahu. hal. 623 Matan hadits: . رص لا حلاص ب ا ثع ب ح انثدح : رماع ب قعلاق اعاه ب حرشم بعصم وبأ ل لاق لوق دعس ب ث للا تع س لاق بأ انثدح - لوسر لاق ملس و ه لع ها لص ها . للح لا وه لاق ها لوسر ا . لب اولاق ؟ راعتس لا س تلاب مكر خأ اأ ها عل هل للح لاو للح لا 45 Artinya: Uqbah bin Amir berkata telah bersabda Rasulullah SAW, maukah kuberitahukan kepadamu tentang kambing jantan yang dipinjam? Para sahabat menjawab, mau wahai Rasulullah. Rasulullah bersabda, yaitu muhallil. Allah melaknat muhallil dan muhallal lah. HR. Ibnu Majjah. 9 Namun jika didalam akadnya tidak ada disyaratkan apapun, maka hukumnya sah karena yang membatalkan suatu akad adalah syarat yang diucapkan dalam akad namun tidak dilaksanakan. 2. Pandangan Hukum Positif Permasalahan dalam perkawinan sudah sedemikian rupa diatur dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 dan dalam Kompilasi Hukum Islam, baik mengenai tujuan perkawinan maupun masalah-masalah yang datang setelah perkawinan Dalam Kompilasi Hukum Islam sudah sangat jelas bahwa perkawinan merupakan ikatan yang suci dan mempunyai tujuan yang suci pula, sangat melindungi hak-hak perempuan. Nikah tahlil bertentangan dengan aturan-aturan yang dijelaskan dalam undang-undang perkawinan. Karena adalam pernikahan ini tidak ada pencatatan, tidak bertujuan untuk membentuk sebuah rumah tangga. Jadi menurut hukum positif yang mengatur tentang perkawinan, pernikahan tahlil bertentangan dengan aturan perkawinan baik mengenai prinsip- prinsip maupun mengenai tujuannya karena perkawinan tersebut mencederai 9 Asrorun Ni’am Sholeh, fatwa-fatwa masalah pernikahan dan keluarga, Jakarta: Garaha Pramuda, 2008, hal. 37 46 pasal 2 KHI dan undang-undang no 1 tahun 1974 yang menjelaskan suatu tujuan perkawinan.

D. Respon Masyarakat Terhadap Praktek Nikah Tahlil