PENDAHULUAN Sikap Terhadap Penerapan Hukuman Cambuk Pada Masyarakat Aceh

1

BAB I PENDAHULUAN

I.A. Latar Belakang Masyarakat Aceh dalam sejarahnya yang cukup panjang telah menjadikan Islam sebagai pedoman hidupnya. Islam telah menjadi bagian dari kehidupan mereka. Masyarakat Aceh tunduk dan taat kepada Islam serta memperhatikan ketetapan atau fatwa ulama. Penghayatan terhadap ajaran Islam kemudian melahirkan budaya Aceh yang tercermin dalam kehidupan adat. Adat tersebut hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat, yang kemudian diakumulasikan lalu disimpulkan menjadi “Adat bak Poteumourehom, Hukom bak Syiah Kuala, Kanun bak Putro Phang, Reusam bak Laksamana” yang artinya, Hukum Adat di tangan pemerintah dan Hukum Syariat ditangan Islam. Ungkapan ini merupakan pencerminan dari perwujudan syariat islam dalam kehidupan sehari-hari Perda No 5, 2000. Sejarah telah mencatat bahwa kerajaan Aceh adalah termasuk ke dalam lima kerajaan yang terbesar di dunia Islam pada abad ke 16-17. Dari Aceh, Islam berkembang ke seluruh nusantara, bahkan kehebatan Islamnya tersebar sampai ke pelosok dunia lain. Dulu, kerajaan Aceh telah menerapkan syariat Islam baik di dalam sistem pemerintahannya maupun di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat biasa. Tidak ada seorang pun yang menggugat pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Juga tidak ada pertentangan-pertentagan antara yang pro dan yang kontra. Seakan-akan seluruh masyarakat Aceh dilahirkan dalam keadaan menerima ikhlas konsep syariat Islam tanpa ada yang menggerutu apa lagi Universitas Sumatera Utara 2 membantah. Jangankan untuk rakyat jelata, untuk raja saja tetap berlaku syariat Islam. Hal ini dapat dilihat manakala raja Iskandar Muda mengeluarkan keputusan untuk merajam mati anak lelaki tunggalnya karena telah didapati berzina. Padahal setelah anak lelakinya itu meninggal, tidak ada keturunan dari sang raja untuk meneruskan tahtanya di kemudian hari kelak. Namun, demi menjalankan syariat Islam, anak sendiripun wajib dihukum. Dari sini jelas nampak bahwa syariat Islam telah terpatri sampai di lubuk hati masyarakat Aceh, mulai dari raja sampai rakyat jelata tanpa kecuali. Dan dengan syariat Islam pula Aceh dulu telah terkenal serta disegani oleh bangsa-bangsa di seluruh dunia Zulhelmi, 2007. Menurut Ismail, 2002 Adat aceh sebagai aspek budaya, tidak identik dalam pemahaman “budaya” pada umumnya, karena bersumber dari agama atau syariat yang menjiwai kreasi budayanya. “adat ngon agama lagei zat ngon sifeut” yang artinya adat dan agama bagaikan zat dan sifat. Roh islami ini telah menjiwai dan menghidupkan budaya Aceh, sehingga melahirkan nilai-nilai filosofis yang pada akhirnya menjadi patron landasan budaya Aceh yang ideal. Dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Daerah berdasarkan Undang- undang Nomor 22 Tahun 1999, UU Nomor 44 Tahun 1999, tentang penyelenggaraan keistimewaan Aceh dan UU Nomor 18 Tahun 2001, salah satu undang-undang yang telah diterapkan dalam masyarakat adalah pelaksanaan Syariat Islam yang diatur dalam Perda Nomor 5 Tahun 2001. Bertujuan melaksanaan dan mengembangkan Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam Djalil, 2003. Penerapan Syariat Islam di bumi Serambi Mekkah merupakan fenomena sangat menarik sekaligus menantang. Menantang di sini dimaksudkan terutama Universitas Sumatera Utara 3 berkaitan dengan kesiapan pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam NAD dan masyarakatnya secara keseluruhan dalam menerima dan melaksanakan Syariat Islam secara menyeluruh kaffah Djalil, 2003. Secara umum, penerapan syariat Islam di Aceh menimbulkan perdebatan di berbagai kalangan. Setidaknya ada tiga permasalahan yang dipandang paling mencolok. Pertama, masalah yang menyangkut kehendak politik political will pemerintah daerah mulai dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kedua, implementasi syariat Islam masih terkesan kurang maksimal, diskriminatif, tidak adil, dan bias. Terakhir, adanya dualisme dasar hukum antara hukum positif dan hukum syariat Keumala, 2006. Pemerintah melalui undang undang nomor 13 tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional pasal 13 menjelaskan Rencana Pembangunan Jangka Panjang untuk Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ditetapkan dengan peraturan daerah Qanun Fasya, 2006 Pelaksanaan peraturan daerah qanun itu tidak lepas dari kontroversi. Masyarakat dan kalangan praktisi hukum menanggapi pro kontra. Beberapa alasan yang mendasarinya antara lain; pelaksanaan peraturan daerah qanun tersebut dinilai diskriminatif, hanya membidik masyarakat kecil. Selain itu, ada yang menganggap seharusnya peraturan daerah qanun tentang korupsi diberlakukan lebih dulu karena paling merugikan rakyat banyak dibandingkan dengan qanun tentang perjudian maisir Elsam, 2005. Pada tanggal 9 Juni 2005 pelaksanaan hukuman cambuk hukuman badan : Aqubat terhadap kejahatan syariah Islam berdasarkan Qanun No 13 tahun 2003 resmi diberlakukan dengan ditandatanganinya SK tentang petunjuk teknis hukum Universitas Sumatera Utara 4 cambuk bagi pelanggaran syariat Islam Peraturan Gubernur Aceh No 10 tahun 2005 oleh pelaksana tugas Gubernur NAD, Azwar Abubakar Elsam, 2005 Meskipun sudah disahkan sebagai peraturan daerah qanun, tetapi dalam implementasinya tidak semua daerah menggunakan qanun sebagai rujukan. Kabupaten Bireuen tercatat sebagai daerah pertama yang memberlakukan qanun Nomor 132003 tentang perjudian maisir. Belasan warga yang didakwa melanggar syariat Islam, dihukum cambuk di halaman Masjid Jamik Bireuen dengan disaksikan ribuan warga dan diliput secara besar-besaran oleh wartawan dari barbagai media Keumala, 2006. Masyarakat Aceh disuguhi pertunjukan dramatis hukuman cambuk atas 15 orang yang terbukti berjudi. Para penjudi tersebut dicambuk 6-10 kali oleh Mahkamah Syariah di halaman Masjid Jamik Bireun, Nanggroe Aceh Darussalam NAD. Mereka tertangkap basah berjudi dengan omset yang tak lebih dari seratus ribu rupiah. Tapi itu sudah cukup membuktikan bahwa mereka melanggar Qanun Propinsi NAD Nomor 13 Tahun 2003 tentang perjudian maisir. Dalam qanun disebutkan, setiap orang dilarang melakukan perjudian maisir, dan yang melanggar diancam sanksi cambuk di muka umum sebanyak 6-12 kali. Kini, ada tiga qanun khusus syariat Islam di Aceh, yakni tentang perjudian, minuman keras, dan zina Rumadi, 2005 Penerapan hukuman cambuk ini merupakan yang pertama kali dilaksanakan di Indonesia ini merupakan impelementasi dari pemberlakuan Undang-undang Syariat Islam di NAD. Ini sesuai dengan Peraturan Gubernur Pergub Aceh No 102005 tentang Petunjuk Teknis Hukum Cambuk bagi Pelanggar Syariat Islam. Pergub ini sudah diterapkan di Aceh sejak 10 Juni 2005 Universitas Sumatera Utara 5 sebagai pengganti perda qanun untuk melaksanakan Syariat Islam sesuai dengan UU 441999 tentang Keistimewaan Aceh dan UU 182001 tentang Otonomi Khusus Hanafiah, 2006. Hukum cambuk yang dilaksanakan di Bireuen itu merupakan sejarah baru bagi Provinsi Aceh dalam melaksanakan Syariat Islam. Cambuk dianggap jenis hukum produk Tuhan yang bernilai sakral ketika diterapkan. Cambuk dipandang sebagai hukum Islam yang otentik, dan diyakini akan efektif menyelesaikan berbagai problem sosial. Jenis hukuman lain seperti penjara, bukan saja dianggap kreasi manusia, tapi juga dipandang sebagai produk sistem hukum sekuler yang mengandung ideologi Barat Rumadi, 2005. Meski cambuk sering diidentifikasi sebagai hukum primitif karena menyakiti secara fisik, namun sanksi ini masih dipraktikkan di beberapa negara seperti Malaysia, Pakistan, dan Iran. Di Malaysia, ketentuan cambuk setidaknya terdapat dalam empat undang-undang jinayat, yaitu Undang-undang Pidana F.M.S. Cap. 45, Undang-undang Persenjataan 1960 Akta 206, Senjata Api hukuman tambahan Akta 1971, dan Ordonansi Obat-obat Berbahaya 1952. Dalam hukum pidana, soal cambuk terdapat dalam 35 seksi, yang sebagian besar merupakan hukuman tambahan untuk penahanan dan alternatif untuk sebuah denda Rumadi, 2005. Pelaksanaan hukum cambuk ini mendapatkan berbagai respon. Sebagian besar umat Islam, khususnya masyarakat Aceh, menyambut hangat pelaksanaan hukuman ini. Harapannya hukuman tersebut dapat menekan tindak kriminal yang makin merajalela saat ini dan berharap agar diperlakukan secara adil dan bukan Universitas Sumatera Utara 6 hanya bagi orang-orang kecil, supaya ketenteraman sosial bisa terjamin Kurniawan,2005. Para pejabat Aceh menganggap pelaksanaan cambuk tersebut sebagai prestasi hukum luar biasa dalam penerapan syariat Islam. Sambutan Pelaksana Tugas Gubernur NAD, Azwar Abu Bakar, sebelum eksekusi cambuk menunjukkan hal itu. “Hari ini kami mengukir sejarah baru di bidang hukum dengan melaksanakan hukum cambuk yang pertama di NAD dan Indonesia. Kami berharap daerah lain di NAD bisa mengikuti prosesi yang monumental ini agar kemaksiatan bisa hilang dari Serambi Mekah,”Rumadi, 2005. Alfaruqi 2000 mengatakan diberlakukannya syariat Islam atau hukum Islam, termasuk di dalamnya cambuk, tidak lain dan tidak bukan adalah untuk melindungi kepentingan umum maslahat al ammah. Kalau hukum Islam dalam beberapa bentuk dinilai tidak manusiawi dan kejam, hal itu tidak lebih karena untuk melindungi yang manusiawi dan anti kekejaman. Berdasarkan hal ini, beratnya hukuman, baik secara meteriil maupun sosial dalam Islam pada dasarnya bukan semata-mata untuk menanamkan ketakutan, tetapi lebih dari itu, untuk menanamkan sikap jera pada pelaku. Sebab dalam Islam, mencegah terjadinya suatu keburukan itu lebih didahulukan dan diutamakan agar tidak terjadi kerusakan yang lebih besar. Charita 2005 mengatakan Sebenarnya hukuman cambuk ini tidak perlu dipertanyakan kemanusiawiannya asalkan dilakukan dengan tata cara yang benar. Enam hingga delapan kali cambukan memang menyakitkan, tapi tetaplah merupakan luka fisik yang mudah disembuhkan. Apalagi sebelum dicambuk si terhukum diperiksa dulu kesehatannya. Jika ketidakmanusiawian itu dilihat dari Universitas Sumatera Utara 7 mempertontonkan hukuman, maka perlakuan hormat terhadap si terhukum akan mengurangi ketidakmanusiawian itu. kalau kita masih memandang hukuman itu sekedar sebagai punishment balasan setimpal bagi kesalahannya, maka mempertontonkan hukuman itu akan kita lihat sebagai sekedar mempermalukan si terhukum, menambahi hukuman fisiknya dengan hukuman psikis berupa rasa malu. Namun jika kita mau memandang dari sisi yang lain, bahwa hukuman itu juga reinforcer negatif bagi orang yang tidak melakukan konsekuensi tidak enak yang membuatnya menghindar dari melakukan sesuatu, maka sebenarnya acara hukuman ini memiliki tempat terhormat sebagai lahan kita belajar. Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama MPU Aceh Dr Muslih Ibrahim, MA. Mengatakan hukuman cambuk yang diterapkan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam NAD tidak melanggar Hak Asasi Manusia HAM karena ada ketentuan yang tertuang dalam qanun Peraturan Daerah, Saya sudah berkonsultasi dengan seorang wanita Jerman yang membuat UU HAM PBB. Ia menyatakan bahwa hukuman cambuk tidak melanggar HAM, karena memang sudah diatur dalam qanun, Ketika penerapan syariat Islam diberlakukan di Provinsi Aceh, banyak kalangan terutama negara-negara barat, bahkan Perserikatan Bangsa-bangsa PBB mempertanyakan masalah hukuman cambuk yang dinilai melanggar HAM. Tapi, setelah dijelaskan permasalahnnya, akhirnya mereka menerima, karena hukuman cambuk yang diterapkan di Aceh ada peraturannya, yaitu qanun, yang sudah disepakati oleh eksekutif dan legislatif yang merupakan lembaga negara. Hukuman cambuk yang diberlakukan di Aceh bukan sembarangan, tapi berdasarkan peraturan yang sah. Jadi, setelah kita jelaskan persoalannya, maka orang-orang barat itu memahami, bahkan mereka menyatakan hukuman cambuk itu tidak melanggar HAM, Majelis Permusyawaratan Ulama Provinsi NAD, 2007. Sebaliknya, beberapa kalangan lainnya memberikan respon negatif. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat ELSAM, misalnya, menolak eksekusi hukuman cambuk terhadap para pelaku judi di NAD. Alasannya, hukuman Universitas Sumatera Utara 8 tersebut akan menimbulkan penderitaan besar, bukan saja luka fisik melainkan juga trauma psikologis bagi terpidana dan keluarganya. ELSAM juga menuntut agar Komnas HAM segera memantau usaha penegakan hak asasi manusia pada kasus ini dan segera mengeluarkan rekomendasi untuk menolak praktik hukuman cambuk Kurniawan, 2006. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat ELSAM juga menyatakan menolak dilakukannya eksekusi cambuk terhadap para pelaku yang didasarkan kepada Undang-undang No 18 tahun 2001, Undang-undang No 44 tahun 1999 dan Qanun No 13 tahun 2003. Rencana ekekusi hukuman tersebut menurut ELSAM merupakan langkah mundur dari penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Hukuman cambuk ini merupakan hukuman yang masuk kategori perlakuan atau hukuman lain yang kejam tidak masnusiawi dan perbuatan yang merendahkan martabat manusia yang selama ini dilarang dan diatur dalam berbagai legislasi nasional maupun konvensi Internasional yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia Ahmada, 2005. Aldin 2005 mengatakan penerapan hukum cambuk belum tepat diberlakukan sekarang. Dia beralasan sosialiasasi hukum cambuk terhadap pemain judi masih kurang dilakukan karena itu belum saatnya dilakukan sekarang. “Sebenarnya terjadi penolakan terhadap hukum cambuk pada masyarakat yang dapat dilihat dari setengah hati warga menjalankan syariat Islam,”. Semestinya, sosialisasi harus lebih gencar dilakukan sehingga warga mengetahui. Dengan demikian, jangankan hukum cambuk, hukum gantung pun bisa dilakukan di Aceh. Universitas Sumatera Utara 9 Selanjutnya Aldin 2005 juga mengatakan apakah hukum cambuk ini hanya berlaku kepada warga sipil saja yang lemah. Bagaimana aparat yang main judi, apakah mereka menggunakan peradilan militer atau peradilan syariah ?. Penerapan sanksi cambuk pada rakyat kecil dinilai hanya sekadar cara mencari sensasi karena problem Aceh bukan terletak pada masyarakat, tapi pada aparat pemerintah. Masyarakat kecil yang dicambuk merasa dirinya sekadar kelinci percobaan para pejabat yang ingin mendapat keuntungan tertentu dari sanksi itu. Pejabat Pemerintah NAD tentu ingin menanam investasi politik agar tercatat sebagai pejuang hukum Islam. Para penjudi dengan barang bukti lima puluh ribu rupiah dihukum cambuk, sementara para koruptor bebas berkeliaran tanpa hukuman. Demi keadilan, para koruptor inilah yang lebih patut dicambuk pertama kali. Permasalahan-permasalahan mengenai kontroversi pelaksanaan hukuman cambuk di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diatas tergambar dari hasil wawancara terhadap beberapa warga Aceh sebagaimana dikutip dibawah ini. Wawancara pertama peneliti lakukan terhadap seorang warga Aceh yang berprofesi sebagai aktifis LSM Save the Children. Kalau ketentuan sebuah hukum sudah diterima oleh masyarakat, tokoh dan semua elemen di tempat setempat, maka tak ada masalah pelaksanaan hukuman itu ditegakkan. Namun selama ini yang sering menolak itu kan orang luar. Komunikasi personal, Mei 2008 Subjek berikutnya yang diwawancara oleh peneliti adalah salah seorang tokoh masyarakat Aceh yang berdomisili di kota Banda Aceh : “ Sebenarnya itu juga satu hal yang saya tidak setuju. Tetapi persoalannya hari ini kan ada pengambil kebijakan yang telah membuatnya menjadi sebuah peraturan formal yang sudah berdasarkan sebuah hukum. Yang Universitas Sumatera Utara 10 hari ini harus ditunjukkan sebenarnya bagaimana sih Islam yang penuh damai, yang penuh cinta, dan penuh kasih dan seperti itu. Tapi kalau memang terus menerus yang dimunculkan adalah berbagai bentuk hukuman atau simbol-simbol yang menggambarkan kekerasan, akhirnya kan orang menilai dari segi negatif. Ketika kita mengatakan tidak setuju, ya ada konsekuensinya bahwa ini kan ada soal anda dianggap sebagai muslim yang baik atau tidak baik.” komunikasi personal, mei 2008. Berdasarkan pemaparan berbagai fenomena di atas, pada penelitian ini. Peneliti ingin mengetahui bagaimana gambaran sikap terhadap penerapan hukuman cambuk pada masyarakat Aceh. I.B. Perumusan Masalah Berdasarkan fenomena di atas peneliti ingin mengetahui beberapa hal yang dirumuskan dalam beberapa pertanyaan dibawah ini : 1. Bagaimana gambaran umum sikap terhadap penerapan hukuman cambuk pada masyarakat Aceh. 2. Bagaimana gambaran sikap terhadap penerapan hukuman cambuk pada masyarakat Aceh ditinjau dari lembaga pendidikan. 3. Bagaimana gambaran sikap terhadap penerapan hukuman cambuk pada masyarakat Aceh dilihat dari pengalaman pribadi menyaksikan 4. Bagaimana gambaran sikap terhadap penerapan hukuman cambuk pada masyarakat Aceh dilihat dari jenis kelamin. 5. Bagaimana gambaran sikap terhadap penerapan hukuman cambuk pada masyarakat Aceh dilihat dari tingkat pendidikan. I.C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran sikap terhadap penerapan hukuman cambuk pada masyarakat Aceh. Universitas Sumatera Utara 11 I.D. Manfaat Penelitian Dari penelitian ini diharapkan ada dua manfaat yang dapat diambil, diantaranya, yaitu : 1. Manfaat Teoritis Diharapkan dalam penelitian ini dapat membantu mengembangkan ilmu psikologi khususnya psikologi sosial dan bidang lainnya dalam aplikasinya dan memberikan sumbangsih karya ilmiah yang berhubungan dengan gambaran sikap terhadap penerapan hukuman cambuk pada masyarakat Aceh 2. Manfaat Praktis Penelitian diharapkan dapat dipergunakan sebagai : 1. Sebagai masukan bagi pihak pemerintahan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dalam hal ini Dinas syariat Islam tentang bagaimana gambaran sikap terhadap penerapan hukuman cambuk pada masyarakat Aceh. Sehingga dapat dijadikan dasar dalam mengambil kebijakan dalam penerapan Syariat Islam. 2. Sebagai masukan bagi pihak majelis adat Aceh, pengamat sosial, dan Wilayatul Hisbah tentang bagaimana gambaran sikap terhadap penerapan hukuman cambuk pada masyarakat Aceh. 3. Sebagai masukan dan informasi bagi masyarakat aceh sehingga dapat mengetahui dan memahami bagaimana gambaran sikap terhadap penerapan hukuman cambuk pada masyarakat Aceh.

I. D. Sistematika Penulisan.

Penelitian ini dibagi atas tiga bab dan masing-masing bab dibagi atas beberapa sub-bab. Sistematika penulisan penelitian ini adalah: Universitas Sumatera Utara 12 Bab I : Pendahuluan Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. Bab II : Landasan Teori Bab ini menguraikan kepustakaan yang menjadi landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian. Bab III : Metodologi Penelitian Bab ini menceritakan tentang metode kuantitatif yang digunakan dalam penelitian yang meliputi identifikasi variabel penelitian, defenisi operasional, populasi, dan metode pengambilan sampel, instrumen alat ukur yang digunakan, prosedur penelitian, dan metode analisis data. Universitas Sumatera Utara 13

BAB II LANDASAN TEORI