Sikap Terhadap Penerapan Hukuman Cambuk Pada Masyarakat Aceh

(1)

Sikap Terhadap Penerapan Hukuman

Cambuk Pada Masyarakat Aceh

SKRIPSI

Guna Memenuhi Persyaratan sarjana Psikologi

Oleh:

AHMAD AFANDI

031301085

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

BAB I PENDAHULUAN

I.A. Latar Belakang

Masyarakat Aceh dalam sejarahnya yang cukup panjang telah menjadikan Islam sebagai pedoman hidupnya. Islam telah menjadi bagian dari kehidupan mereka. Masyarakat Aceh tunduk dan taat kepada Islam serta memperhatikan ketetapan atau fatwa ulama. Penghayatan terhadap ajaran Islam kemudian melahirkan budaya Aceh yang tercermin dalam kehidupan adat. Adat tersebut hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat, yang kemudian diakumulasikan lalu disimpulkan menjadi “Adat bak Poteumourehom, Hukom bak Syiah Kuala, Kanun bak Putro Phang, Reusam bak Laksamana” yang artinya, Hukum Adat di tangan pemerintah dan Hukum Syariat ditangan Islam. Ungkapan ini merupakan pencerminan dari perwujudan syariat islam dalam kehidupan sehari-hari (Perda No 5, 2000).

Sejarah telah mencatat bahwa kerajaan Aceh adalah termasuk ke dalam lima kerajaan yang terbesar di dunia Islam pada abad ke 16-17. Dari Aceh, Islam berkembang ke seluruh nusantara, bahkan kehebatan Islamnya tersebar sampai ke pelosok dunia lain. Dulu, kerajaan Aceh telah menerapkan syariat Islam baik di dalam sistem pemerintahannya maupun di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat biasa. Tidak ada seorang pun yang menggugat pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Juga tidak ada pertentangan-pertentagan antara yang pro dan yang kontra. Seakan-akan seluruh masyarakat Aceh dilahirkan dalam keadaan menerima ikhlas konsep syariat Islam tanpa ada yang menggerutu apa lagi


(3)

membantah. Jangankan untuk rakyat jelata, untuk raja saja tetap berlaku syariat Islam. Hal ini dapat dilihat manakala raja Iskandar Muda mengeluarkan keputusan untuk merajam mati anak lelaki tunggalnya karena telah didapati berzina. Padahal setelah anak lelakinya itu meninggal, tidak ada keturunan dari sang raja untuk meneruskan tahtanya di kemudian hari kelak. Namun, demi menjalankan syariat Islam, anak sendiripun wajib dihukum. Dari sini jelas nampak bahwa syariat Islam telah terpatri sampai di lubuk hati masyarakat Aceh, mulai dari raja sampai rakyat jelata tanpa kecuali. Dan dengan syariat Islam pula Aceh dulu telah terkenal serta disegani oleh bangsa-bangsa di seluruh dunia (Zulhelmi, 2007).

Menurut Ismail, (2002) Adat aceh sebagai aspek budaya, tidak identik dalam pemahaman “budaya” pada umumnya, karena bersumber dari agama atau syariat yang menjiwai kreasi budayanya. “adat ngon agama lagei zat ngon sifeut” yang artinya adat dan agama bagaikan zat dan sifat. Roh islami ini telah menjiwai dan menghidupkan budaya Aceh, sehingga melahirkan nilai-nilai filosofis yang pada akhirnya menjadi patron landasan budaya Aceh yang ideal.

Dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Daerah berdasarkan Undang- undang Nomor 22 Tahun 1999, UU Nomor 44 Tahun 1999, tentang penyelenggaraan keistimewaan Aceh dan UU Nomor 18 Tahun 2001, salah satu undang-undang yang telah diterapkan dalam masyarakat adalah pelaksanaan Syariat Islam yang diatur dalam Perda Nomor 5 Tahun 2001. Bertujuan melaksanaan dan mengembangkan Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam (Djalil, 2003).

Penerapan Syariat Islam di bumi Serambi Mekkah merupakan fenomena sangat menarik sekaligus menantang. Menantang di sini dimaksudkan terutama


(4)

berkaitan dengan kesiapan pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan masyarakatnya secara keseluruhan dalam menerima dan melaksanakan Syariat Islam secara menyeluruh (kaffah) (Djalil, 2003).

Secara umum, penerapan syariat Islam di Aceh menimbulkan perdebatan di berbagai kalangan. Setidaknya ada tiga permasalahan yang dipandang paling mencolok. Pertama, masalah yang menyangkut kehendak politik (political will) pemerintah daerah mulai dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kedua, implementasi syariat Islam masih terkesan kurang maksimal, diskriminatif, tidak adil, dan bias. Terakhir, adanya dualisme dasar hukum antara hukum positif dan hukum syariat (Keumala, 2006).

Pemerintah melalui undang undang nomor 13 tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional pasal 13 menjelaskan Rencana Pembangunan Jangka Panjang untuk Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ditetapkan dengan peraturan daerah (Qanun) (Fasya, 2006)

Pelaksanaan peraturan daerah (qanun) itu tidak lepas dari kontroversi. Masyarakat dan kalangan praktisi hukum menanggapi pro kontra. Beberapa alasan yang mendasarinya antara lain; pelaksanaan peraturan daerah (qanun) tersebut dinilai diskriminatif, hanya membidik masyarakat kecil. Selain itu, ada yang menganggap seharusnya peraturan daerah (qanun) tentang korupsi diberlakukan lebih dulu karena paling merugikan rakyat banyak dibandingkan dengan qanun tentang perjudian (maisir) (Elsam, 2005).

Pada tanggal 9 Juni 2005 pelaksanaan hukuman cambuk (hukuman badan : Aqubat) terhadap kejahatan syariah Islam berdasarkan Qanun No 13 tahun 2003 resmi diberlakukan dengan ditandatanganinya SK tentang petunjuk teknis hukum


(5)

cambuk bagi pelanggaran syariat Islam (Peraturan Gubernur Aceh No 10 tahun 2005) oleh pelaksana tugas Gubernur NAD, Azwar Abubakar (Elsam, 2005)

Meskipun sudah disahkan sebagai peraturan daerah (qanun), tetapi dalam implementasinya tidak semua daerah menggunakan qanun sebagai rujukan. Kabupaten Bireuen tercatat sebagai daerah pertama yang memberlakukan qanun Nomor 13/2003 tentang perjudian (maisir). Belasan warga yang didakwa melanggar syariat Islam, dihukum cambuk di halaman Masjid Jamik Bireuen dengan disaksikan ribuan warga dan diliput secara besar-besaran oleh wartawan dari barbagai media (Keumala, 2006).

Masyarakat Aceh disuguhi pertunjukan dramatis hukuman cambuk atas 15 orang yang terbukti berjudi. Para penjudi tersebut dicambuk 6-10 kali oleh Mahkamah Syariah di halaman Masjid Jamik Bireun, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Mereka tertangkap basah berjudi dengan omset yang tak lebih dari seratus ribu rupiah. Tapi itu sudah cukup membuktikan bahwa mereka melanggar Qanun Propinsi NAD Nomor 13 Tahun 2003 tentang perjudian (maisir). Dalam qanun disebutkan, setiap orang dilarang melakukan perjudian (maisir), dan yang melanggar diancam sanksi cambuk di muka umum sebanyak 6-12 kali. Kini, ada tiga qanun khusus syariat Islam di Aceh, yakni tentang perjudian, minuman keras, dan zina (Rumadi, 2005)

Penerapan hukuman cambuk ini merupakan yang pertama kali dilaksanakan di Indonesia ini merupakan impelementasi dari pemberlakuan Undang-undang Syariat Islam di NAD. Ini sesuai dengan Peraturan Gubernur (Pergub) Aceh No 10/2005 tentang Petunjuk Teknis Hukum Cambuk bagi Pelanggar Syariat Islam.Pergub ini sudah diterapkan di Aceh sejak 10 Juni 2005


(6)

sebagai pengganti perda (qanun) untuk melaksanakan Syariat Islam sesuai dengan UU 44/1999 tentang Keistimewaan Aceh dan UU 18/2001 tentang Otonomi Khusus (Hanafiah, 2006).

Hukum cambuk yang dilaksanakan di Bireuen itu merupakan sejarah baru bagi Provinsi Aceh dalam melaksanakan Syariat Islam. Cambuk dianggap jenis hukum produk Tuhan yang bernilai sakral ketika diterapkan. Cambuk dipandang sebagai hukum Islam yang otentik, dan diyakini akan efektif menyelesaikan berbagai problem sosial. Jenis hukuman lain seperti penjara, bukan saja dianggap kreasi manusia, tapi juga dipandang sebagai produk sistem hukum sekuler yang mengandung ideologi Barat (Rumadi, 2005).

Meski cambuk sering diidentifikasi sebagai hukum primitif karena menyakiti secara fisik, namun sanksi ini masih dipraktikkan di beberapa negara seperti Malaysia, Pakistan, dan Iran. Di Malaysia, ketentuan cambuk setidaknya terdapat dalam empat undang-undang jinayat, yaitu Undang-undang Pidana (F.M.S. Cap. 45), Undang-undang Persenjataan 1960 (Akta 206), Senjata Api (hukuman tambahan Akta 1971), dan Ordonansi Obat-obat Berbahaya 1952. Dalam hukum pidana, soal cambuk terdapat dalam 35 seksi, yang sebagian besar merupakan hukuman tambahan untuk penahanan dan alternatif untuk sebuah denda (Rumadi, 2005).

Pelaksanaan hukum cambuk ini mendapatkan berbagai respon. Sebagian besar umat Islam, khususnya masyarakat Aceh, menyambut hangat pelaksanaan hukuman ini. Harapannya hukuman tersebut dapat menekan tindak kriminal yang makin merajalela saat ini dan berharap agar diperlakukan secara adil dan bukan


(7)

hanya bagi orang-orang kecil, supaya ketenteraman sosial bisa terjamin (Kurniawan,2005).

Para pejabat Aceh menganggap pelaksanaan cambuk tersebut sebagai prestasi hukum luar biasa dalam penerapan syariat Islam. Sambutan Pelaksana Tugas Gubernur NAD, Azwar Abu Bakar, sebelum eksekusi cambuk menunjukkan hal itu.

“Hari ini kami mengukir sejarah baru di bidang hukum dengan melaksanakan hukum cambuk yang pertama di NAD dan Indonesia. Kami berharap daerah lain di NAD bisa mengikuti prosesi yang monumental ini agar kemaksiatan bisa hilang dari Serambi Mekah,”(Rumadi, 2005).

Alfaruqi (2000) mengatakan diberlakukannya syariat Islam atau hukum Islam, termasuk di dalamnya cambuk, tidak lain dan tidak bukan adalah untuk melindungi kepentingan umum (maslahat al ammah). Kalau hukum Islam dalam beberapa bentuk dinilai tidak manusiawi dan kejam, hal itu tidak lebih karena untuk melindungi yang manusiawi dan anti kekejaman. Berdasarkan hal ini, beratnya hukuman, baik secara meteriil maupun sosial dalam Islam pada dasarnya bukan semata-mata untuk menanamkan ketakutan, tetapi lebih dari itu, untuk menanamkan sikap jera pada pelaku. Sebab dalam Islam, mencegah terjadinya suatu keburukan itu lebih didahulukan dan diutamakan agar tidak terjadi kerusakan yang lebih besar.

Charita (2005) mengatakan Sebenarnya hukuman cambuk ini tidak perlu dipertanyakan kemanusiawiannya asalkan dilakukan dengan tata cara yang benar. Enam hingga delapan kali cambukan memang menyakitkan, tapi tetaplah merupakan luka fisik yang mudah disembuhkan. Apalagi sebelum dicambuk si terhukum diperiksa dulu kesehatannya. Jika ketidakmanusiawian itu dilihat dari


(8)

mempertontonkan hukuman, maka perlakuan hormat terhadap si terhukum akan mengurangi ketidakmanusiawian itu. kalau kita masih memandang hukuman itu sekedar sebagai punishment ( balasan setimpal bagi kesalahannya), maka mempertontonkan hukuman itu akan kita lihat sebagai sekedar mempermalukan si terhukum, menambahi hukuman fisiknya dengan hukuman psikis berupa rasa malu. Namun jika kita mau memandang dari sisi yang lain, bahwa hukuman itu juga reinforcer negatif bagi orang yang tidak melakukan (konsekuensi tidak enak yang membuatnya menghindar dari melakukan sesuatu), maka sebenarnya acara hukuman ini memiliki tempat terhormat sebagai lahan kita belajar.

Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Dr Muslih Ibrahim, MA. Mengatakan hukuman cambuk yang diterapkan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) tidak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) karena ada ketentuan yang tertuang dalam qanun (Peraturan Daerah),

"Saya sudah berkonsultasi dengan seorang wanita Jerman yang membuat UU HAM PBB. Ia menyatakan bahwa hukuman cambuk tidak melanggar HAM, karena memang sudah diatur dalam qanun," Ketika penerapan syariat Islam diberlakukan di Provinsi Aceh, banyak kalangan terutama negara-negara barat, bahkan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mempertanyakan masalah hukuman cambuk yang dinilai melanggar HAM. Tapi, setelah dijelaskan permasalahnnya, akhirnya mereka menerima, karena hukuman cambuk yang diterapkan di Aceh ada peraturannya, yaitu qanun, yang sudah disepakati oleh eksekutif dan legislatif yang merupakan lembaga negara. "Hukuman cambuk yang diberlakukan di Aceh bukan sembarangan, tapi berdasarkan peraturan yang sah. Jadi, setelah kita jelaskan persoalannya, maka orang-orang barat itu memahami, bahkan mereka menyatakan hukuman cambuk itu tidak melanggar HAM," (Majelis Permusyawaratan Ulama Provinsi NAD, 2007).

Sebaliknya, beberapa kalangan lainnya memberikan respon negatif. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), misalnya, menolak eksekusi hukuman cambuk terhadap para pelaku judi di NAD. Alasannya, hukuman


(9)

tersebut akan menimbulkan penderitaan besar, bukan saja luka fisik melainkan juga trauma psikologis bagi terpidana dan keluarganya. ELSAM juga menuntut agar Komnas HAM segera memantau usaha penegakan hak asasi manusia pada kasus ini dan segera mengeluarkan rekomendasi untuk menolak praktik hukuman cambuk (Kurniawan, 2006).

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) juga menyatakan menolak dilakukannya eksekusi cambuk terhadap para pelaku yang didasarkan kepada Undang-undang No 18 tahun 2001, Undang-undang No 44 tahun 1999 dan Qanun No 13 tahun 2003. Rencana ekekusi hukuman tersebut menurut ELSAM merupakan langkah mundur dari penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Hukuman cambuk ini merupakan hukuman yang masuk kategori perlakuan atau hukuman lain yang kejam tidak masnusiawi dan perbuatan yang merendahkan martabat manusia yang selama ini dilarang dan diatur dalam berbagai legislasi nasional maupun konvensi Internasional yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia (Ahmada, 2005).

Aldin (2005) mengatakan penerapan hukum cambuk belum tepat diberlakukan sekarang. Dia beralasan sosialiasasi hukum cambuk terhadap pemain judi masih kurang dilakukan karena itu belum saatnya dilakukan sekarang.

“Sebenarnya terjadi penolakan terhadap hukum cambuk pada masyarakat yang dapat dilihat dari setengah hati warga menjalankan syariat Islam,”. Semestinya, sosialisasi harus lebih gencar dilakukan sehingga warga mengetahui. Dengan demikian, jangankan hukum cambuk, hukum gantung pun bisa dilakukan di Aceh.


(10)

Selanjutnya Aldin (2005) juga mengatakan apakah hukum cambuk ini hanya berlaku kepada warga sipil saja yang lemah. Bagaimana aparat yang main judi, apakah mereka menggunakan peradilan militer atau peradilan syariah ?. Penerapan sanksi cambuk pada rakyat kecil dinilai hanya sekadar cara mencari sensasi karena problem Aceh bukan terletak pada masyarakat, tapi pada aparat pemerintah. Masyarakat kecil yang dicambuk merasa dirinya sekadar kelinci percobaan para pejabat yang ingin mendapat keuntungan tertentu dari sanksi itu. Pejabat Pemerintah NAD tentu ingin menanam investasi politik agar tercatat sebagai pejuang hukum Islam. Para penjudi dengan barang bukti lima puluh ribu rupiah dihukum cambuk, sementara para koruptor bebas berkeliaran tanpa hukuman. Demi keadilan, para koruptor inilah yang lebih patut dicambuk pertama kali.

Permasalahan-permasalahan mengenai kontroversi pelaksanaan hukuman cambuk di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diatas tergambar dari hasil wawancara terhadap beberapa warga Aceh sebagaimana dikutip dibawah ini. Wawancara pertama peneliti lakukan terhadap seorang warga Aceh yang berprofesi sebagai aktifis LSM Save the Children.

"Kalau ketentuan sebuah hukum sudah diterima oleh masyarakat, tokoh dan semua elemen di tempat setempat, maka tak ada masalah pelaksanaan hukuman itu ditegakkan. Namun selama ini yang sering menolak itu kan orang luar. " (Komunikasi personal, Mei 2008)

Subjek berikutnya yang diwawancara oleh peneliti adalah salah seorang tokoh masyarakat Aceh yang berdomisili di kota Banda Aceh :

“Sebenarnya itu juga satu hal yang saya tidak setuju. Tetapi persoalannya hari ini kan ada pengambil kebijakan yang telah membuatnya menjadi sebuah peraturan formal yang sudah berdasarkan sebuah hukum. Yang


(11)

hari ini harus ditunjukkan sebenarnya bagaimana sih Islam yang penuh damai, yang penuh cinta, dan penuh kasih dan seperti itu. Tapi kalau memang terus menerus yang dimunculkan adalah berbagai bentuk hukuman atau simbol-simbol yang menggambarkan kekerasan, akhirnya kan orang menilai dari segi negatif. Ketika kita mengatakan tidak setuju, ya ada konsekuensinya bahwa ini kan ada soal anda dianggap sebagai muslim yang baik atau tidak baik.” (komunikasi personal, mei 2008).

Berdasarkan pemaparan berbagai fenomena di atas, pada penelitian ini. Peneliti ingin mengetahui bagaimana gambaran sikap terhadap penerapan hukuman cambuk pada masyarakat Aceh.

I.B. Perumusan Masalah

Berdasarkan fenomena di atas peneliti ingin mengetahui beberapa hal yang dirumuskan dalam beberapa pertanyaan dibawah ini :

1. Bagaimana gambaran umum sikap terhadap penerapan hukuman cambuk pada masyarakat Aceh.

2. Bagaimana gambaran sikap terhadap penerapan hukuman cambuk pada masyarakat Aceh ditinjau dari lembaga pendidikan.

3. Bagaimana gambaran sikap terhadap penerapan hukuman cambuk pada masyarakat Aceh dilihat dari pengalaman pribadi menyaksikan

4. Bagaimana gambaran sikap terhadap penerapan hukuman cambuk pada masyarakat Aceh dilihat dari jenis kelamin.

5. Bagaimana gambaran sikap terhadap penerapan hukuman cambuk pada masyarakat Aceh dilihat dari tingkat pendidikan.

I.C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran sikap terhadap penerapan hukuman cambuk pada masyarakat Aceh.


(12)

I.D. Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan ada dua manfaat yang dapat diambil, diantaranya, yaitu :

1. Manfaat Teoritis

Diharapkan dalam penelitian ini dapat membantu mengembangkan ilmu psikologi khususnya psikologi sosial dan bidang lainnya dalam aplikasinya dan memberikan sumbangsih karya ilmiah yang berhubungan dengan gambaran sikap terhadap penerapan hukuman cambuk pada masyarakat Aceh

2. Manfaat Praktis

Penelitian diharapkan dapat dipergunakan sebagai :

1. Sebagai masukan bagi pihak pemerintahan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dalam hal ini Dinas syariat Islam tentang bagaimana gambaran sikap terhadap penerapan hukuman cambuk pada masyarakat Aceh. Sehingga dapat dijadikan dasar dalam mengambil kebijakan dalam penerapan Syariat Islam.

2. Sebagai masukan bagi pihak majelis adat Aceh, pengamat sosial, dan Wilayatul Hisbah tentang bagaimana gambaran sikap terhadap penerapan hukuman cambuk pada masyarakat Aceh.

3. Sebagai masukan dan informasi bagi masyarakat aceh sehingga dapat mengetahui dan memahami bagaimana gambaran sikap terhadap penerapan hukuman cambuk pada masyarakat Aceh.

I. D. Sistematika Penulisan.

Penelitian ini dibagi atas tiga bab dan masing-masing bab dibagi atas beberapa sub-bab. Sistematika penulisan penelitian ini adalah:


(13)

Bab I : Pendahuluan

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II : Landasan Teori

Bab ini menguraikan kepustakaan yang menjadi landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian.

Bab III : Metodologi Penelitian

Bab ini menceritakan tentang metode kuantitatif yang digunakan dalam penelitian yang meliputi identifikasi variabel penelitian, defenisi operasional, populasi, dan metode pengambilan sampel, instrumen/ alat ukur yang digunakan, prosedur penelitian, dan metode analisis data.


(14)

BAB II

LANDASAN TEORI II. A. SIKAP

II.A.1. Definisi Sikap

Allport (dalam Hogg, 2004) mendefinisikan sikap sebagai sebuah kecendrungan untuk bertingkah laku dengan cara tertentu dalam situasi sosial. Sikap merujuk pada evaluasi individu terhadap berbagai aspek dunia sosial serta bagaimana evaluasi tersebut memunculkan rasa suka atau tidak suka individu terhadap isu, ide, orang lain, kelompok sosial dan objek (Baron, 2004)

Sikap pada awalnya diartikan sebagai suatu syarat untuk munculnya suatu tindakan. Fenomena sikap adalah mekanisme mental yang mengevaluasi, membentuk pandangan, mewarnai perasaan, dan akan ikut menentukan kecenderungan perilaku kita terhadap manusia atau sesuatu yang kita hadapi, bahkan terhadap diri kita sendiri. Pandangan dan perasaan kita terpengaruh oleh ingatan akan masa lalu, oleh apa yang kita ketahui dan kesan kita terhadap apa yang sedang kita hadapi saat ini (Azwar, 2005).

Morgan (dalam Sukadji, 1993) menyatakan sikap adalah suatu evaluasi, yang merupakan predisposisi perolehan belajar. Predisposisi mengarahkan prilaku yang evaluatif yang konsisten terhadap orang, sekelompok orang, suatu objek, atau sekelompok objek. Pernyataan evaluatif dapat bermacam-macam, seperti senang-tidak senang, pro-anti, setuju-tidak setuju, positif-negatif, dan sebagainya.

Azwar (2005), menggolongkan definisi sikap dalam tiga kerangka pemikiran. Pertama, sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Berarti sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau


(15)

memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut. Kedua, sikap merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu. Ketiga skema triadik (triadic schema). Menurut pemikiran ini suatu sikap merupakan konstelasi komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling berinteraksi didalam memahami, merasakan dan berperilaku terhadap suatu objek.

Berdasarkan yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa sikap adalah suatu bentuk evaluasi perasaan dan kecenderungan potensial untuk bereaksi yang merupakan hasil interaksi antara komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling bereaksi didalam memahami, merasakan dan berperilaku terhadap suatu objek.

II.A.2. Komponen Sikap

Sikap dibagi menjadi tiga komponen yaitu kognitif, afektif, dan konatif. Komponen kognitif, adalah komponen yang terdiri dari pengetahuan. Komponen afektif, adalah komponen yang berhubungan dengan perasaan senang atau tidak senang, sehingga bersifat evaluatif. Komponen konatif, adalah komponen sikap yang berupa kesiapan seseorang untuk berperilaku yang berhubungan dengan objek sikap (dalam Azwar, 2005).

Mann (dalam Azwar, 2005) menjelaskan bahwa komponen kognitif berisi persepsi, kepercayaan, dan stereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu. Seringkali komponen kognitif ini dapat disamakan dengan pandangan (opini), terutama apabila menyangkut masalah isu atau problem yang kontroversial. Komponen afektif merupakan perasaan individu terhadap objek sikap dan menyangkut masalah emosi. Aspek emosional inilah yang biasanaya berakar


(16)

paling dalam sebagai komponen sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin akan mengubah sikap seseorang. Komponen perilaku berisi tendensi atau kecenderungan untuk bertindak atau bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu.

II.A.3 Ciri- Ciri Sikap

Walgito (1989) mengatakan sikap mempunyai ciri-ciri yang berbeda dengan faktor pendorong yang lain. Ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut:

1. Memiliki objek.

Objek sikap dapat berupa konsep abstrak seperti situasi, merk, maupun konsep abstrak seperti produk,kelompok atau individu. Sikap itu selain bertujuan pada suatu objek juga dapat pada sekumpulan objek.

2. Memiliki arah tertentu.

Sikap seseorang menunjukkan bagaimana seseorang menangani suatu objek sikap yang dinyatakan dengan menyetujui atau tidak, suka atau tidak suka, sejauh mana tingkat ketidaksukaan dan sejauh mana tingkat keyakinannya.

3. Memiliki struktur.

Sikap tidak berdiri sendiri tetapi berhubungan dengan bentuk-bentuk mekanisme psikologis yang lain, sehingga berbentuk suatu kesatuan psikologis yang kompleks, akibatnya sikap memiliki sifat stabil, konstan dan membentuk generalisasi.

4. Sikap merupakan hasil belajar.

Sikap tidak dibawa sejak lahir, tetapi individu memperolaehnya melalui pengalaman nyata seperti informasi dari teman, media massa, dan penjual. Sikap sebagai hasil belajar cenderung bertambah kuat dan semakin sulit untuk dirubah.


(17)

II.A.4. Karakteristik Sikap.

Sax (1980) menjelaskan beberapa karakteristik sikap yaitu: 1. Arah.

Sikap terpilah pada dua arah kesetujuan, yaitu setuju atau tidak setuju, apakah mendukung atau tidak mendukung terhadap sesuatu atau seseorang sebagai objek.

2. Intensitas.

Kedalaman atau kekuatan sikap terhadap sesuatu. Sua orang yang sama tidak sukanya terhadap sesuatu, yaitu sama-sama memiliki sikap yang berarah negatif belum tentu memiliki sikap negatif yang sama intensitasnya.

3. Keleluasan.

Kesetujuan atau ketidaksetujuan terhadap suatu objek sikap dapat mengenai hanya aspek yang sedikit dan sangat spesifik akan tetapi dapat pula mencakup banyak sekali aspek yang sama pada objek sikap.

4. Konsistensi.

Kesesuaian antara pernyataan sikap yang dikemukakan dengan responnya terhadap objek sikap termaksud.

5. Spontanitas

Menyangkut sejauhmana kesiapan individu untuk menyatakan sikapnya secara spontan. Sikap dikatakan memiliki spontanitas yang tinggi apabila dapat dinyatakan secara trebuka tanpa harus melakukan pengungkapan atau desakan terlebih dahulu agar individu dapat mengemukakannya.


(18)

Azwar (2005) mengatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi sikap yaitu :

1. Pengalaman pribadi

Apa yang telah dan sedang dialami kita alami akan membentuk dan mempengaruhi penghayatan kita terhadap stimullus sosial.

2. Kebudayaan

Kebudayaan Dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap kita.

3. Pengaruh orang lain yang dianggap penting.

Orang lain disekitar kita merupakan salah satu diantara komponen sosial yang ikut mempengaruhib sikap kita.

4. Media massa.

Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah dll, mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang.

5. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama.

Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai suatu sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu.

6. Pengaruh faktor emosional

Tidak semua bentuk sikap ditentukan oleh situasi lingkungan dan pengalaman pribadi seseorang. Kadang-kadang, suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang berfungsi sebagai


(19)

semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk Mekanisme pertahanan ego.

II.A.6. Pembentukan Sikap

Sikap terbentuk dari adanya interaksi yang dialami oleh individu. Sikap dibentuk sepanjang perkembangan hidup manusia. Melalui pengalaman berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, seseorang membentuk sikap tertentu. Dalam interaksi sosial terjadi hubungan saling mempengaruhi di antara individu yang satu dengan yang lain. Melalui interaksi sosialnya individu bereaksi membentuk pola sikap tertentu terhadap objek psikologis yang dihadapinya (Azwar, 2005).

II.A.7. Perubahan Sikap

Proses perubahan sikap selalu dipusatkan pada cara-cara manipulasi atau pengendalian situasi dan lingkungan untuk menghasilkan perubahan sikap ke arah yang dikehendaki. Dasar-dasar manipulasi diperoleh dari pemamahaman mengenai organisasi sikap, faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan dan proses perubahan sikap.

Kelman (dalam Azwar, 2005) menunjukkan bagaimana sikap dapat berubah melaui tiga proses yaitu kesediaan, identifikasi, dan internalisasi. Kesediaan terjadi ketika individu bersedia menerima pengaruh dari orang lain atau dari kelompok lain dikarenakan individu berharap untuk memperoleh reaksi atau tanggapan positif dari pihak lain tersebut. Identifikasi terjadi saat individu meniru perilaku atau sikap seseorang atau sikap sekelompok lain dikarenakan sikap tersebut sesuai dengan apa yang dianggap individu sebagai bentuk hubungan yang menyenangkan antara individu dengan pihak lain termaksud. Internalisasi terjadi


(20)

saat individu menerima pengaruh dan bersedia bersikap menuruti pengaruh itu dikarenakan sikap tersebut sesuai dengan apa yang dipercayai individu dan sesuai dengan sisterm nilai yang dianutnya.

Kelman (dalam Azwar, 2005) selanjutnya mengatakan bahwa proses mana yang akan terjadi dari ketiga proses tersebut banyak bergantung pada sumber kekuatan pihak yang mempengaruhi, berbagai kondisi yang mengendalikan masing-masing proses terjadinya pegaruh, dan implikasinya terhadap permanensi perubahan sikap.

II.A.8. Fungsi Sikap

Baron (2004) mengatakan; Pertama, sikap berfungsi sebagai skema kerangka kerja mental yang membantu individu untuk menginterpretasi dan memproses berbagai jenis informasi. Kedua, sikap memiliki fungsi harga diri (self-esteem function) yang membantu individu mempertahankan atau meningkatkan perasaan harga diri. Ketiga, sikap berfungsi sebagai motivasi untuk menimbulkan kekaguman atau motivasi impresi (impression motivation function).

Menurut Kartz (dalam walgito, 2002), sikap mempunyai empat fungsi: 1. Fungsi instrumental, fungsi penyesuaian atau fungsi manfaat.

Fungsi ini berkaitan dengan sarana-tujuan-sikap merupakan sarana untuk mencapai tujuan.individu memandang sejauh mana objek sikap dapat digunakan sebagai sarana atau sebagai alat dalam rangka pencapaian tujuan. Bila objek sikap dapat membantu seseorang dalam mencapai tujuannya, maka orang akan bersifat positif terhadap objek tersebut, sebaliknya bila objek sikap dalam pencapaian tujuan,maka individu akan bersikap negatif terhadap objek sikap tersebut. Karena itu fungsi ini disebut dengan fungsi manfaat, yaitu sampai sejauh mana objek


(21)

sikap bermanfaat dalam rangka pencapaian tujuan. Fungsi ini disebut juga fungsi penyesuaian, karena dengan sikap yang diambil,seseorang dapat menyesuaikan diri dengan cara yang baik terhadap sekitarnya.

2. Fungsi pertahanan Ego.

Merupakan sikap yang diambil seseorang demi memppertahankan ego atau akunya. Sikap ini diambil oleh seseorang pada saat orang tersebut terancam keadaan dirinya atau egonya. Demi mempertahankan egonya, orang yang bersangkutan mengambil sikap tertentu.

3. Fungsi ekspresi nilai.

Sikap yang ada pada seseorang merupakan jalan bagi individu untuk mengekspresikan nilai yang ada pada dirinya. Dengan mengekspresikan diri seseorang akan mendapat kepuasan, dapat menunjukkan keadaan dirinya. Dengan individu mengambil sikap tertentu terhadap nilai tertentu. Ini menggambarkan keadaan sistem nilai yang ada pada diri individu dapat dilihat dari sikap yang diambil oleh individu yang bersangkutan terhadap nilai tersebut.

4. Fungsi pengetahuan.

Individu mempunyai dorongan untuk ingin mengerti dengan pengalama-pengalaman memperoleh pengetahuan. Elemen-elemen dari pengalamnnya yang tidak konsisten dengan apa yang diketahui oleh individu, akan disusun kembali atau dirubah sedemikian rupa sehingga menjadi konsisten. Ini berarti bila seseorang mempunyai sikap tertentu terhadap suatu objek, menunjukkan tentang pengetahuan orang tersebut terhadap sikap yang bersangkutan.


(22)

Hukuman cambuk merupakan jenis hukuman badan. Alat cambuk atau pemukul terbuat dari rotan berdiameter 0,75 cm hingga 1 cm, dengan panjang 1 meter. Pemukul tidak mempunyai ujung ganda dan pada pangkalnya ada tempat pegangan. Untuk terpidana pria akan dicambuk dalam posisi berdiri, sementara terpidana wanita dicambuk dalam posisi duduk. Pelaksanaan hukuman cambuk ini merupakan pelaksanaan Syariat Islam di Aceh sebagaimana yang diatur dalam undang undang nomor 13 tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional pasal 13. Di jelaskan Rencana Pembangunan Jangka Panjang untuk Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang ditetapkan dengan Qanun (Mahkamah syari’ah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2003).

Pada masa awal Islam, cambuk menjadi bentuk hukum pidana ta’zîr (ketentuan hukum yang ditetapkan penguasa), namun para ulama berbeda pendapat soal jumlah cambukan. Menurut Abu Hanifah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, hukum cambuk untuk pidana ta’zir tidak boleh melebihi sanksi paling rendah dalam hudûd (tindak pidana yang batasan hukumannya sudah ditentukan Alquran atau hadis), yaitu 40 kali bagi peminum khamr. Menurut Abu Yusuf, sanksi cambuk pidana ta’zir tidak boleh melewati 75 kali. Menurut Malikiyah, tidak ada batasan jumlah cambukan ta’zir dan sepenuhnya terserah imam (pemerintah/pembuat qanun/pengadilan), sehingga imam bisa menetapkan ta’zir di bawah, setara, atau melebihi sanksi hudûd (Rumadi, 2005).

Di Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam batasan penetapan jumlah hukuman cambuk diatur dalam peraturan Daerah (Qanun) Propinsi NAD Nomor 13 Tahun 2004 tentang perjudian (maisir), minuman keras (Khamr), dan zina (khalwat). Dalam qanun disebutkan, setiap orang dilarang melakukan perjudian


(23)

(maisir), minuman keras (Khamr), dan zina (khalwat) Bagi yang melanggar diancam sanksi cambuk di muka umum sebanyak 6-12 kali (Rumadi, 2005).

II.C. Masyarakat Aceh

Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain) yang membentuk sebuah sistem semi tertutup atau semi terbuka, dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut (Bintarto, 2008).

Masyarakat Aceh adalah sebuah komunitas yang terdiri dari orang-orang Aceh sebagai sebuah entitas etnis dan wilayah tertentu yang sangat berbeda dengan etnis atau wilayah lainnya di Indonesia. Masyarakat Aceh adalah masyarakat yang pluralistis dan “terbuka memiliki hubungan kekerabatan yang telah terbina sejak beberapa abad yang lalu. Masyarakat Aceh tunduk dan taat kepada Islam serta memperhatikan fatwa ulama.

Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan suatu wilayah Pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, saat ini terdiri atas 16 (enam belas) Pemerintahan Kabupaten yaitu kabupaten Aceh Besar, Pidie, Bireun, AcehUtara, Aceh Timur, Aceh Tamiang, Aceh Tengah, Aceh Jaya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil Aceh Tenggara Dan Gayo Lues. Dan 4 (empat) Pemerintah Kota yaitu Pemerintahan Kota Banda Aceh, Sabang, Lhoksumawe dan Langsa.

Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam didiami secara turun temurun oleh suku Aceh, Suku Gayao, Suku Alas, Suku Tamiang, Suku Aneuk Jame, Suku Kluet,Suku Seumelu dan Suku Singkil serta Suku Lainnya. Suku Aceh dan suku lainnya merupakan pemeluk agama Islam dan pendukung kebudayaan yang


(24)

meliputi bahasa, adat istiadat dan corak kesenian tersendiri yang tidak terlepas dari nilai-nilai ajaran agama Islam yang dianut (Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam nomor 12 Tahun 2004).


(25)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif karena penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran sikap terhadap pemberlakuan hukuman cambuk pada masyarakat Aceh. Menurut Azwar (1998) penelitian deskriptif bertujuan untuk menggambarkan secara sistematik dan akurat, fakta dan karakteristik mengenai sample atau mengenai bidang tertentu.

Penelitian ini berusaha menggambarkan gambaran sikap terhadap pemberlakuan hukuman cambuk pada masyarakat Aceh. Data yang dikumpulkan hanya bersifat deskriptif sehingga tidak bermaksud mencari penjelasan, menguji hipotesis, membuat prediksi maupun mempelajari implikasi.

III. A. Identifikasi variabel penelitian

Variabel yang hendak diteliti dalam penelitian ini adalah sikap terhadap penerapan hukuman cambuk pada masyarakat Aceh.

III.B. Defenisi Operasional

Defenisi operasional merupakan suatu defenisi mengenai variabel yang dirumuskan berdasarkan karakteristik-karakteristik variabel tersebut yang diamati (Azwar, 2000).

III.B.1. Denisi Operasional Sikap

Definisi operasional dari sikap adalah sebuah kecendrungan untuk bertingkah laku dengan cara tertentu dalam situasi sosial. Sikap merujuk pada evaluasi individu terhadap berbagai aspek dunia sosial serta bagaimana evaluasi tersebut memunculkan rasa suka atau tidak suka individu terhadap isu, ide, orang lain, kelompok sosial dan objek (Baron, 2004). Hal ini diungkap dengan skala


(26)

yang disusun berdasarkan komponen-komponen sikap yang dikemukakan oleh azwar (2005).

Aitem pernyataan skala sikap dibuat dalam bentuk skala Likert. Item terdiri dari pernyataan dengan 4 (empat) pilihan jawaban yaitu : sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS), dan sangat tidak sesuai (STS). Skala digunakan dalam bentuk pernyataan fovourable (mendukung) dan pernyataan unfavourable (tidak mendukung).

III.B. 2. Definisi operasional Hukuman Cambuk

Hukuman cambuk merupakan jenis hukuman badan. Alat cambuk atau pemukul terbuat dari rotan berdiameter 0,75 cm hingga 1 cm, dengan panjang 1 meter. Pelaksanaan hukuman cambuk ini merupakan pelaksanaan Syariat Islam di Aceh sebagaimana yang diatur dalam peraturan Daerah (Qanun) Propinsi NAD Nomor 13 Tahun 2004 tentang perjudian (maisir), minuman keras (Khamr), dan zina (khalwat). Dalam qanun disebutkan, setiap orang dilarang melakukan perjudian (maisir), minuman keras (Khamr), dan zina (khalwat). Bagi yang melanggar diancam sanksi cambuk di muka umum sebanyak 6-12 kali.

III. B. 3. Definisi operasional Masyarakat Aceh

Masyarakat Aceh adalah sebuah komunitas yang terdiri dari orang-orang Aceh sebagai sebuah entitas etnis dan wilayah tertentu yang sangat berbeda dengan etnis atau wilayah lainnya di Indonesia. Masyarakat Aceh adalah masyarakat yang pluralistis dan terbuka memiliki hubungan kekerabatan yang telah terbina sejak beberapa abad yang lalu. Masyarakat Aceh tunduk dan taat kepada Islam serta memperhatikan fatwa ulama dan melaksanakan penerapan syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat.


(27)

Skor total yang diperoleh merupakan gambaran sikap terhadap penerapan hukuman cambuk pada masyarakat Aceh.

III.C. Populasi, Sampel dan Metode Pengambilan Sampel

Masalah populasi dan sampel yang dipakai dalam penelitian merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhatikan. Populasi adalah objek, gejala atau kejadian yang diselidiki terdiri dari semua individu untuk siapa kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari sampel penelitian itu hendak digeneralisasikan.

Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat Aceh Sedangkan sampel merupakan sebahagian dari populasi atau sejumlah penduduk yang jumlahnya kurang dari jumlah populasi dan harus mempunyai paling sedikit satu sifat yang sama (Hadi, 2000).

III.C.1.Karakteristik Populasi

Menurut Azwar (2000) subjek penelitian adalah sumber utama data penelitian, yaitu yang memiliki data mengenai variabel-variabel yang diteliti. Adapun yang menjadi subjek dalam penelitian ini memiliki karakteristik :

1. Masyarakat Aceh

Pemilihan masyarakat Aceh adalah karena masyarakat Aceh, dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Daerah berdasarkan Undang- undang Nomor 22 Tahun 1999, UU Nomor 44 Tahun 1999, tentang penyelenggaraan keistimewaan Aceh dan UU Nomor 18 Tahun 2001, menerapkan pelaksanaan Syariat Islam yang diatur dalam Perda Nomor 5 Tahun 2001 Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Djalil, 2003).


(28)

Pertimbangan ini dilakukan karena lembaga pendidikan sebagai suatu sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu (Azwar, 2005).

3. Pengalaman pribadi

Penentuan karakteristik menurut pengalaman pribadi dilakukan karena menurut Azwar (2005) pengalaman pribadi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi sikap. Apa yang telah dan sedang dialami individu akan membentuk dan mempengaruhi penghayatan individu tersebut terhadap stimulus sosial.

III. C. 2. Teknik Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel atau sampling menurut Kerlinger (dalam Hasan, 2002) berarti mengambil suatu bagian dari populasi atau semesta itu. Teknik Sampling adalah cara yang digunakan untuk mengambil sampel dari populasi dengan menggunakan prosedur tertentu, dalam jumlah yang sesuai, dengan memperhatikan sifat-sifat dan penyebaran populasi agar benar-benar mewakili populasi (Hasan, 2002).

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan Teknik probability, dalam teknik probability setiap unsur (anggota) populasi diberikan peluang yang sama untuk dipilih menjadi anggota sampel. Teknik probability yang digunakan dalam penelitian ini adalah Sampel Random Berkelompok (Cluster Sampling), dimana pemilihan sekelompok sampel dilakukan terhadap sampling unit, dimana sampling unitnya terdiri dari satu kelompok (cluster). Dalam cluster sample satuan sampel tidak terdiri dari individu-individu, melainkan dari kelompok-kelompok individiu atau cluster. Teknik cluster random


(29)

sampling merupakan pengambilan sampel secara random atau tanpa pandang bulu, dimana dalam cluster random sampling semua kelas dalam populasi baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama diberi kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi anggota sampel (Hadi, 2000).

III.C.3. Jumlah Sampel Penelitian

Tidak ada batasan mengenai berapa jumlah sampel ideal yang harus digunakan dalam suatu penelitian. Menurut Azwar (2000), secara tradisional statistika menganggap bahwa jumlah sampel yang lebih dari 60 subjek sudah cukup banyak. Hadi (2000) menyatakan bahwa menetapkan jumlah sampel yang banyak lebih baik daripada menetapkan jumlah sampel yang sedikit. Penelitian ini menggunakan sampel sebanyak 200 orang.

III. D. Alat Ukur Yang Digunakan

Alat ukur merupakan metode pengumpulan data dalam kegiatan penelitian yang mempunyai tujuan untuk mengungkap fakta mengenai variabel yang diteliti (Hadi, 2000). Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala psikologi. Skala adalah suatu prosedur pengambilan data yang merupakan suatu alat ukur aspek afektif yang merupakan konstruk/konsep psikologis yang menggambarkan aspek kepribadian individu (Azwar, 1995).

Metode skala psikologi memiliki beberapa karakteristik yaitu :

1. Stimulasinya tidak langsung mengungkap atribut yang hendak diukur melainkan mengungkap indikator perilaku dari atribut yang bersangkutan. 2. skala psikologi selalu berisi banyak item dan respon subjek tidak


(30)

Menurut Azwar (1999) metode skala mempunyai kebaikan dan alasan penggunaan yaitu :

1. Pertanyaan disusun untuk memancing jawaban yang merupakan refleksi dari keadaan diri sendiri subjek yang tidak disadari.

2. Skala yang digunakan untuk mengungkap suatu atribut tunggal

3. Subjek tidak menyadari arah jawaban yang sesungguhnya diungkap dari pernyataan skala.

Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan skala sikap dengan blue print yang disajikan sebagai berikut :

Tabel 1

Blue print Skala Sikap sebelum uji coba

Komponen Sikap Favourable Unfavourable Jumlah Kognitif 2, 8, 15, 18, 19, 28,

35, 36, 46, 56, 58, 59, 60,

4, 6, 17, 20, 21, 23, 27, 37, 38, 43, 45, 55, 66, 67

27 Afektif 1, 9, 16, 29, 32, 39,

40, 41, 44, 47, 49, 61, 62

3, 7, 26, 30, 34, 42, 48, 50, 63, 65, 70 24 Konatif 5, 10, 11, 22, 24,

25, 31, 51, 52, 57

12, 13, 14, 33, 53, 54, 64, 68, 69, 19

Jumlah 36 34 70

Skala sikap yang digunakan ini menggunakan model skala likert yang berjumlah 70 aitem yang terdiri dari aitem favorable dan unfavorable, dengan menggunakan empat pilihan jawaban yaitu : Sangat sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS) dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Pemberian skor untuk skala ini bergerak dari 4 sampai 1 untuk aitem favorable, sedangkan untuk aitem unfavorable bergerak dari 1 sampai 4.


(31)

Tabel 2

Bobot Nilai Pernyataan Skala Sikap

Bobot nilai STS TS S SS

Favorable 1 2 3 4

Unfavorable 4 3 2 1

Skor total merupakan petunjuk tinggi rendahnya sikap terhadap penerapan hukuman cambuk, semakin tinggi skor yang dicapai maka semakin positif sikap terhadap penerapan hukuman cambuk.

III. E. Uji Coba Alat Ukur III. E.1. Validitas Alat Ukur

Untuk mengetahui apakah alat ukur tersebut mampu menghasilkan data yang akurat yang sesuai dengan tujuan ukurnya, diperlukan suatu pengujian validitas. Suatu alat tes atau istrumen pengukuran dapat dikatakan memiliki validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut (Azwar, 2000). Validitas yang digunakan dalam penelitian ini ádalah content validity (validitas isi) dimana peneliti meminta pendapat profesional (profesional judgement) dari dosen pembimbing dalam proses telaah soal baik dari isinya maupun validitas muka (face validity).

III. E. 2. Reliabilitas Alat Ukur

Menurut Hadi (2000) reliabilitas alat ukur menunjukkan derajat keajegan atau konsistensi alat ukur yang bersangkutan bila diterapkan beberapa kali pada kesempatan berbeda. Pengukuran yang tidak reliabel akan menghasilkan skor yang tidak dapat dipercaya karena perbedaan skor yang terjadi diantara individu


(32)

lebih ditentukan oleh kesalahan daripada faktor perbedaan yang sesungguhnya (Azwar, 2000). Dalam penelitian ini, peneliti melakukan uji reliabilitas dengan menggunakan Alpha Cronbach melalui bantuan SPSS for Windows 15.0 version. III. E. 3. Hasil Uji Coba Alat Ukur

Dalam penelitian ini dilakukan uji coba yang bertujuan untuk mengetahui kualitas item-item sebelum digunakan pada penelitian yang sesungguhnya. Item-item yang kualitasnya kurang baik akan dibuang dan Item-item-Item-item yang kualitasnya baik akan digunakan sebagai alat ukur pada penelitian yang sesungguhnya. Item-item yang berkualitas akan ditunjukkan oleh koefisien korelasi yang tinggi, yaitu korelasi antara masing-masing item dengan item total.

Berdasarkan pengolahan data yang dilakukan dengan menggunakan SPSS for Windows 15.0 version diperoleh koefisien reliabilitas alpha sebesar 0,943

Tabel 3

Blue print Skala sikap Setelah Uji Coba

Komponen Sikap Favourable Unfavourable Jumlah Kognitif 2, 8, 15, 18, 19, 28,

35, 36, 46, 58, 59, 60,

17, 21, 27, 37, 38,

55, 66, 19

Afektif 1, 9, 16, 29, 39, 40, 41, 61,

3, 30, 65, 70

12 Konatif 5, 10, 11, 24, 25,

31, 51, 57

12, 13, 33, 54, 68,

69, 14

Jumlah 28 17 45

Tabel 4

Blue print Skala sikap yang Akan digunakan Dalam Penelitian Komponen Sikap Favourable Unfavourable Jumlah Kognitif 2, 5, 11, 14 15, 20,

25, 26, 32, 37, 38, 39

13, 16, 19, 27, 28,

35, 42 19


(33)

31, 40. 12 Konatif 4, 7, 8, 17, 18, 23,

33, 36

9, 10, 24, 34, 43,

44 14

Jumlah 28 17 45

III. F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian

Prosedur pelaksanaan penelitian terdiri dari 3 tahap. Ketiga tahap tersebut adalah tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap pengolahan data.

III. F. 1. Tahap Persiapan

Pada tahapan ini maka peneliti mempersiapkan alat ukur berupa skala sikap sebanyak 70 item yang berupa skala likert. Pada tahap ini, alat ukur yang berupa skala orientasi nilai yang dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan teori yang telah diuraikan. Skala yang dibuat dalam bentuk buku yang terdiri dari 4 alternatif jawaban, di mana di samping pernyataan telah disediakan tempat untuk menjawab sehingga memudahkan subjek dalam memberikan jawaban.

III. F. 2. Tahap Pelaksanaan

Setelah diujicobakan, maka selanjutnya peneliti melakukan pengambilan data dengan memberikan alat ukur berupa skala sikap masyarakat Aceh yang berada di Kelurahan punge jurong kotamadya Banda Aceh dan kepada masyarakat Aceh yang berada di Kelurahan Hagu barat laut kotamadya lhokseumawe Aceh Utara.

III. F. 3. Tahap Pengolahan Data.

Setelah diperoleh hasil skor orientasi nilai pada masing-masing subjek, maka untuk pengolahan data selanjutnya, diolah dengan menggunakan aplikasi SPSS for windows 15.0 version.


(34)

III. G. Metode Analisa Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis dengan analisa statistik. Pertimbangan penggunaan analisa statistik dalam penelitian ini adalah karena analisa statistik bekerja dengan angka-angka, bersifat objektif, bersifat universal, dalam arti dapat digunakan pada hampir semua bidang penelitian (Hadi, 2000).

Azwar (1999) menyatakan bahwa pengolahan data penelitian yang sudah diperoleh dimaksudkan sebagai suatu cara mengorganisasikan data sedemikian rupa sehingga dapat dibaca (readable) dan dapat ditafsirkan (interpretable).

Pengolahan data hasil skala dilakukan dengan menggunakan program SPSS for windows 15.0 version.


(35)

BAB IV

ANALISA DATA DAN INTERPRETASI

Bab ini akan menguraikan gambaran umum subjek penelitian dan hasil penelitian yang berkaitan dengan analisis data penelitian yang sesuai dengan permasalahan yang ingin dilihat dari penelitian ini maupun analisa tambahan terhadap data yang ada.

IV.A Gambaran Subjek Penelitian

Subjek penelitian berjumlah 200 orang yang keseluruhannya adalah masyarakat Aceh yang berada dikota banda Aceh kelurahan Punge jurong dan Masyarakat Aceh yang berada Dikota Lhokseumawe Kelurahan Hagu Barat Laut. Dari skala yang dibagikan kepada subjek, diperoleh gambaran mengenai Sikap terhadap penerapan hukuman cambuk yang meliputi lembaga pendidikan, pengalaman pribadi, jenis kelamin, dan pendidikan.

IV.A.1 Lembaga pendidikan Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini dibedakan berdasarkan lembaga pendidikan yang pernah diikuti, dalam hal ini pernah mengikuti pendidikan di Dayah atau tidak, pembagian kategori Lembaga pendidikan didasarkan atas pertimbangan bahwa Lembaga pendidikan sebagai suatu sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu (Azwar, 2005).


(36)

Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Lembaga pendidikan

Lembaga pendidikan N % of total N

Pernah di Dayah 101 50,5%

Tidak pernah diDayah 99 49,5%

Total 200 100 %

Tabel 4 menunjukkan bahwa subjek penelitian yang pernah mengikuti pendidikan di Dayah dengan persentase sebanyak 50,5 % (101 orang) dan tidak pernah mengikuti pendidikan di Dayah dengan persentase sebanyak 49,5 % (99 orang).

IV.A.2 Pengalaman pribadi Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini dibedakan berdasarkan pengalaman pribadi dalam hal ini pernah menyaksikan pelaksanaan hukuman cambuk atau tidak pernah menyaksikan pelaksanaan hukuman cambuk. Pembagian kategori pengalaman pribadi didasarkan atas pertimbangan bahwa pengalaman pribadi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi sikap. Apa yang telah dan sedang dialami individu akan membentuk dan mempengaruhi penghayatan individu tersebut terhadap stimulus social (Azwar, 2005).

Tabel 6

Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Pengalaman pribadi

Pengalaman pribadi N % of total N

Pernah melihat

pelaksanaan hukuman cambuk

82 41 %

Tidak Pernah melihat pelaksanaan hukuman cambuk.

118 59 %

Total


(37)

Tabel menunjukkan bahwa subjek penelitian yang pernah melihat pelaksanaan hukuman cambuk dengan persentase sebanyak 39,5 % (79 orang) dan tidak Pernah melihat pelaksanaan hukuman cambuk dengan persentase sebanyak 57,5 % (115 orang) dan terdapat 3 % (6 orang) subjek yang tidak terdefinisi. IV.A.3 Jenis Kelamin Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini dibedakan jenis kelaminnya yaitu pria dan wanita, dengan penyebaran sebagai berikut:

Tabel 7

Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis kelamin N % of total N

Pria 82 41%

Wanita 118 59%

Total 100 100% Berdasarkan data pada Tabel 7, dapat dilihat bahwa jumlah subjek pria dan

wanita adalah tidak seimbang dimana jumlah subjek wanita lebih banyak berjumlah sebanyak 118 orang dan pria 82 orang.

IV.A.4 Tingkat Pendidikan Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini dibedakan tingkat pendidikannya yaitu SMA, Diploma, Sarjana, dan Pasca Sarjana dengan penyebaran sebagai berikut:

Tabel 8

Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan N % of total N

SMA 86 43,0 Diploma 36 18,0

Sarjana 59 29,5

Pasca sarjana 19 9,5


(38)

Tabel 8 menunjukkan bahwa subjek penelitian yang paling banyak menjadi subjek penelitian berdasarkan tingkat pendidikan adalah subjek dengan tingkat pendidikan SMA yaitu sebanyak 43 % (86 orang), kemudian subjek dengan tingkat pendidikan Sarjana sebanyak 29,5 % (59 orang), kemudian subjek dengan tingkat pendidikan Diploma sebanyak 18 % (36 orang) dan yang paling sedikit subjek dengan tingkat pendidikan Pasca Sarjana sebanyak 9,5 % (19 orang).

IV.B Hasil Utama Penelitian

Dari penelitian ini diperoleh gambaran umum tentang gambaran sikap terhadap penerapan hukuman cambuk pada masyarakat Aceh secara umum untuk setiap komponen sikap terhadap hukuman cambuk yang terdiri dari skor minimum, skor maksimum, mean skor dan standar deviasi.

IV.B.1. Gambaran Umum Skor sikap terhadap hukuman cambuk

Gambaran umum skor sikap terhadap penerapan hukuman cambuk dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 9

Gambaran Umum Sikap Terhadap Penerapan Hukuman Cambuk

Variabel N Min Maks Mean Std

Deviasi Sikap 200

200

66 179 137.08 18.977

Berdasarkan tabel 9 untuk gambaran umum skor sikap terhadap hukuman cambuk dengan mean = 137.08 yang dibulatkan menjadi 137, standar deviasi = 18.977 yang dibulatkan menjadi 19, maka diperoleh pengkategorisasian sikap terhadap hukum cambuk dengan perhitungan sebagai berikut:


(39)

Tabel 10

Kategorisasi Sikap Terhadap Hukum Cambuk

Variabel Rentang Nilai Kategori skor Jumlah Persenatase

Sikap X > 156 Positif 35 17,5 %

118 ≤ X ≤156 Sedang 139 69,5 %

X < 118 Negatif 26 13 %

Berdasarkan data pada tabel 9 dapat dilihat bahwa sikap terhadap hukum cambuk pada masyarakat Aceh yang tergolong kedalam kategori positif sebanyak 35 orang (17,5 %), tergolong kedalam kategori sedang sebanyak 139 orang (69,5 %), dan tergolong kedalam kategori rendah sebanyak 26 orang (13 %).

Selanjutnya, gambaran kategorisasi sikap terhadap hukum cambuk dapat dilihat pada Grafik 1 berikut ini :

Grafik 1

Kategorisasi Sikap Terhadap Hukum Cambuk

kategoriumum

negatif sedang

positif

Frequency

125

100

7

5

2

0


(40)

IV.B.2. Gambaran Sikap Terhadap Hukuman Cambuk berdasarkan komponen sikap

IV.B.2.1. Gambaran Sikap Terhadap Hukuman Cambuk berdasarkan komponen sikap kognitif

Gambaran skor Sikap Terhadap Hukuman Cambuk berdasarkan komponen sikap kognitif dapat dilihat pada tabel 11 berikut ini:

Tabel 11

Gambaran Sikap Terhadap Hukuman Cambuk Berdasarkan Komponen Sikap Kognitif

Kognitif

Valid N (listwise)

N Min Maks Mean Std

Deviasi 200

200

30 76 56.99 8.543

Berdasarkan tabel 11 untuk gambaran skor sikap terhadap hukuman cambuk Berdasarkan Komponen Sikap Kognitif dengan mean = 56.99 yang dibulatkan menjadi 57, standar deviasi = 8.543 yang dibulatkan menjadi 8, maka diperoleh pengkategorisasian sikap terhadap hukum cambuk Berdasarkan Komponen Sikap Kognitif dengan perhitungan sebagai berikut

Tabel 12

Kategorisasi Sikap Terhadap Hukum Cambuk Berdasarkan Komponen Sikap Kognitif

Variabel Rentang Nilai Kategori skor Jumlah persentase

Sikap X > 65 Positif 24 12 %

49≤ X ≤ 65 Sedang 140 70 %


(41)

Berdasarkan data pada tabel 12 dapat dilihat bahwa sikap terhadap hukum cambuk pada masyarakat Aceh Berdasarkan Komponen Sikap Kognitif yang tergolong kedalam kategori positif sebanyak 24 orang (12 %), tergolong kedalam kategori sedang sebanyak 140 orang (70 %), dan tergolong kedalam kategori rendah sebanyak 36 orang (18 %).

Selanjutnya, gambaran kategorisasi sikap terhadap hukum cambuk dapat dilihat pada Grafik 2 berikut ini :

Grafik 2

Kategorisasi Sikap Terhadap Hukum Cambuk Berdasarkan Komponen Sikap Kognitif

IV.B.2.2. Gambaran Sikap Terhadap Hukuman Cambuk Berdasarkan Komponen Sikap Afektif

Gambaran skor Sikap Terhadap Hukuman Cambuk berdasarkan komponen sikap Afektif dapat dilihat pada tabel 13 berikut ini:

kategoriaspek1

negatif sedang

positif

Frequency

125

100

75

50

25

0


(42)

Tabel 13

Gambaran Sikap Terhadap Hukuman Cambuk Berdasarkan Komponen Sikap Afektif

Afektif

Valid N (listwise)

N Min Maks Mean Std

Deviasi 200

200

17 48 36.20 5.491

Berdasarkan tabel 13 untuk gambaran skor sikap terhadap hukuman cambuk Berdasarkan Komponen Sikap Kognitif dengan mean = 36.20 yang dibulatkan menjadi 36, standar deviasi = 5.491 yang dibulatkan menjadi 5, maka diperoleh pengkategorisasian sikap terhadap hukum cambuk Berdasarkan Komponen Sikap afektif dengan perhitungan sebagai berikut:

Tabel 14

Kategorisasi Sikap Terhadap Hukum Cambuk Berdasarkan Komponen Sikap afektif

Variabel Rentang Nilai Kategori skor Jumlah Persentase

Sikap X > 41 Positif 29 14,5 %

36 ≤ X ≤ 41 Sedang 129 64,5 %

X < 31 Negatif 42 21 %

Berdasarkan data pada tabel 14 dapat dilihat bahwa sikap terhadap hukum cambuk pada masyarakat Aceh Berdasarkan Komponen Sikap afektif yang tergolong kedalam kategori positif sebanyak 29 orang (14,5 %), tergolong kedalam kategori sedang sebanyak 129 orang (64,5 %), dan tergolong kedalam kategori rendah sebanyak 42 orang (21 %).

Selanjutnya, gambaran kategorisasi sikap terhadap hukum cambuk dapat dilihat pada Grafik 2 berikut ini :


(43)

Grafik 3

Kategorisasi Sikap Terhadap Hukum Cambuk Berdasarkan Komponen Sikap Afektif

IV.B.2.2. Gambaran Sikap Terhadap Hukuman Cambuk Berdasarkan Komponen Sikap Konatif

Gambaran skor Sikap Terhadap Hukuman Cambuk berdasarkan komponen sikap konatif dapat dilihat pada tabel 15 berikut ini:

Tabel 15

Gambaran Sikap Terhadap Hukuman Cambuk Berdasarkan Komponen Sikap konatif

Konatif

Valid N (listwise)

N Min Maks Mean StdDeviasi 200

200

19 56 43.89 6.067

Berdasarkan tabel 15 untuk gambaran skor sikap terhadap hukuman cambuk Berdasarkan Komponen Sikap konatif dengan mean = 43.89 yang dibulatkan menjadi 44, standar deviasi = 6.067 yang dibulatkan menjadi 6, maka

kategoriaspek2

negatif sedang

positif

Frequency

125

100

75

50

25

0


(44)

diperoleh pengkategorisasian sikap terhadap hukum cambuk Berdasarkan Komponen Sikap konatif dengan perhitungan sebagai berikut:

Tabel 16

Kategorisasi Sikap Terhadap Hukum Cambuk Berdasarkan Komponen Sikap Konatif

Variabel Rentang Nilai Kategori skor Jumlah Persentase

Sikap X > 50 Positif 31 15,5 %

38 ≤ X ≤ 50 Sedang 137 68,5 %

X < 38 Negatif 32 16 %

Berdasarkan data pada tabel 16 dapat dilihat bahwa sikap terhadap hukum cambuk pada masyarakat Aceh Berdasarkan Komponen Sikap konatif yang tergolong kedalam kategori positif sebanyak 31 orang (15,5 %), tergolong kedalam kategori sedang sebanyak 137 orang (68,5 %), dan tergolong kedalam kategori rendah sebanyak 32 orang (16 %).

Selanjutnya, gambaran kategorisasi sikap terhadap hukum cambuk dapat dilihat pada Grafik 4 berikut ini


(45)

Grafik 4

Kategorisasi Sikap Terhadap Hukum Cambuk Berdasarkan Komponen Sikap Konatif

IV. C. Hasil Tambahan Penelitian

Selanjutnya akan diuraikan ulasan interpretasi hasil tambahan penelitian berupa gambaran sikap terhadap hukum cambuk berdasarkan ditinjau dari lembaga pendidikan, pengalaman pribadi, jenis kelamin, daan tingkat pendidikan.

IV.C.1 Gambaran Sikap Terhadap Hukuman Cambuk Di Tinjau Dari Lembaga Pendidikan

Gambaran skor Sikap Terhadap Hukuman Cambuk Di Tinjau Dari Lembaga Pendidikan dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 17

Gambaran Sikap Terhadap Hukuman Cambuk Di Tinjau Dari Lembaga Pendidikan

kategoriaspek3

negatif sedang

positif

Frequency

125

100

75

50

25

0


(46)

Lembaga pendidikan

N Mean Std Max

.

Min. Sikap terhadap hukuman cambuk

Negatif Sedang Positif Pernah di

Dayah

101

(50,5 %) 137,0 9

20,7

38 179 66

15 (14,9%) 67 (66,3%%) 19 (18,8%) Tidak pernah

di Dayah 99 (49,5%)

137,0 7

17,1 01

178 93 11

(11,1%) 72 (72,7%) 16 (16,2%) Total

200(100%) 26

(13%)

139 (69,5%%)

35 (17,5%) Berdasarkan data pada tabel 17, dapat dilihat bahwa penggolongan Sikap

Terhadap Hukuman Cambuk Di Tinjau Dari Lembaga Pendidikan (pernah mengikuti pendidikan di Dayah dan tidak pernah mengikuti pendidikan di Dayah) maka Masyarakat Aceh yang pernah mengikuti pendidikan di Dayah memiliki Sikap Terhadap Hukuman Cambuk yang negatif sebanyak 15 orang (14,9%), yang memiliki Sikap Terhadap Hukuman Cambuk yang sedang sebanyak 67 orang (66.3%), dan yang memiliki Sikap Terhadap Hukuman Cambuk yang positif sebanyak 19 orang (18.8%), sedangkan Masyarakat Aceh yang tidak pernah mengikuti pendidikan di Dayah yang memiliki Sikap Terhadap Hukuman Cambuk yang negatif sebanyak 11 orang (11,1%), yang memiliki Sikap Terhadap Hukuman Cambuk yang sedang sebanyak 72 orang (72.7%), dan yang memiliki Sikap Terhadap Hukuman Cambuk yang positif sebanyak 16 orang (16.2%),

Mean Masyarakat Aceh yang pernah mengikuti pendidikan di Dayah lebih tinggi daripada Masyarakat Aceh yang tidak pernah mengikuti pendidikan di Dayah. Standart deviasi Masyarakat Aceh yang pernah mengikuti pendidikan di Dayah lebih tinggi daripada Masyarakat Aceh yang tidak pernah mengikuti pendidikan di Dayah. Skor maksimum Masyarakat Aceh yang pernah mengikuti


(47)

pendidikan di Dayah lebih tinggi daripada Masyarakat Aceh yang tidak pernah mengikuti pendidikan di Dayah. Skor minimum Masyarakat Aceh yang pernah mengikuti pendidikan di Dayah lebih rendah daripada Masyarakat Aceh yang pernah mengikuti pendidikan di Dayah.

Berdasarkan nilai mean sikap terhadap penerapan hukuman cambuk Masyarakat Aceh ditinjau dari lembaga pendidikan (pernah mengikuti pendidikan di Dayah dan tidak pernah mengikuti pendidikan di Dayah dapat disimpulkan, bahwa sikap Masyarakat Aceh yang pernah mengikuti pendidikan di dayah lebih baik atau positif dibandingkan dengan masyarakat Aceh yang tidak pernah mengikuti pendidikan di dayah.

Gambaran sikap masyarakat Aceh di tinjau dari lembaga pendidikan dapat dilihat pada Grafik berikut :


(48)

Gambaran sikap terhadap hukum cambuk Ditinjau dari Lembaga pendidikan 137,06 137,065 137,07 137,075 137,08 137,085 137,09 mean Pernah di Dayah Tidak pernah di Dayah Lembaga Pendidikan

IV.C.2 Gambaran Sikap Terhadap Hukuman Cambuk Di Tinjau Dari Pengalaman Pribadi

Gambaran skor Sikap Terhadap Hukuman Cambuk Di Tinjau Dari pengalaman pribadi dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 18

Gambaran Sikap Terhadap Hukuman Cambuk Di Tinjau Dari Pengalaman Pribadi

Pengalaman Pribadi

N Mean Std Max .

Min. Sikap terhadap hukuman cambuk

Negatif Sedang Positif Pernah melihat pelaksanaan hukuman cambuk 82 (41%) 139,5 6 20,3

48 178 66

15 (18,3%) 56 (68,3%) 11 (13,4%) Tidak Pernah melihat pelaksanaan hukuman cambuk 118 (59%) 135,3 6 17,8 49

179 91 11

(9,3%) 83 (70,3% 20 (20,3&) Total

200 26

(13%)

139 (69,5%)

35 (17,5%)


(49)

Berdasarkan data pada tabel 18, dapat dilihat bahwa penggolongan Sikap Terhadap Hukuman Cambuk Di Tinjau Dari pengalaman pribadi (Pernah melihat pelaksanaan hukuman cambuk dan tidak pernah melihat pelaksanaan hukuman cambuk) maka Masyarakat Aceh yang Pernah melihat pelaksanaan hukuman cambuk memiliki Sikap Terhadap Hukuman Cambuk yang negatif sebanyak 15 orang (18,3%), yang memiliki Sikap Terhadap Hukuman Cambuk yang sedang sebanyak 56 orang (68.3%), dan yang memiliki Sikap Terhadap Hukuman Cambuk yang positif sebanyak 11 orang (13.4%), sedangkan Masyarakat Aceh yang tidak Pernah melihat pelaksanaan hukuman cambuk yang memiliki Sikap Terhadap Hukuman Cambuk yang negatif sebanyak 11 orang (9,3%), yang memiliki Sikap Terhadap Hukuman Cambuk yang sedang sebanyak 83 orang (70.3%), dan yang memiliki Sikap Terhadap Hukuman Cambuk yang positif sebanyak 20 orang (20.3%),

Mean Masyarakat Aceh yang Pernah melihat pelaksanaan hukuman cambuk lebih tinggi daripada Masyarakat Aceh yang tidak Pernah melihat pelaksanaan hukuman cambuk. Standart deviasi Masyarakat Aceh yang pernah melihat pelaksanaan hukuman cambuk lebih tinggi daripada Masyarakat Aceh yang tidak pernah melihat pelaksanaan hukuman cambuk. Skor maksimum Masyarakat Aceh yang pernah melihat pelaksanaan hukuman cambuk lebih rendah daripada Masyarakat Aceh yang tidak pernah melihat pelaksanaan hukuman cambuk. Skor minimum Masyarakat Aceh yang pernah melihat pelaksanaan hukuman cambuk lebih rendah daripada Masyarakat Aceh yang tidak pernah melihat pelaksanaan hukuman cambuk


(50)

Berdasarkan nilai mean Sikap Terhadap Hukuman Cambuk Di Tinjau Dari pengalaman pribadi (Pernah melihat pelaksanaan hukuman cambuk dan tidak pernah melihat pelaksanaan hukuman cambuk) dapat disimpulkan, bahwa sikap Masyarakat Aceh yang pernah melihat pelaksanaan hukuman cambuk lebih positif dibandingkan dengan masyarakat Aceh yang tidak melihat pelaksanaan hukuman cambuk

Gambaran Sikap Terhadap Hukuman Cambuk Di Tinjau Dari pengalaman pribadi dapat dilihat pada Grafik berikut :

Grafik 6

Gambaran sikap terhadap hukum cambuk Ditinjau dari Pengalaman Pribadi

133 134 135 136 137 138 139 140

mea

n

Pernah Melihat

Tidak pernah melihat Pengalaman pribadi

IV.C.2 Gambaran Sikap Terhadap Hukuman Cambuk Di Tinjau Dari Jenis Kelamin

Gambaran skor Sikap Terhadap Hukuman Cambuk Di Tinjau Dari jenis kelamin dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 19

Gambaran skor Sikap Terhadap Hukuman Cambuk Di Tinjau Dari Jenis Kelamin


(51)

Jenis Kelamin N Mean Std Max .

Min. Sikap terhadap hukuman cambuk

Negatif Sedang Positif Pria 82 (41,0%) 137,7 8 19,5

20 178 91

11 (13,4%) 55 (67,1%) 16 (19,5%) Wanita 118 (59,0%) 136,5 9 18,6

60 179 66

15 (12,7%) 84 (71,2%) 19 (16,1% Total

200 35

(17,5%)

139 (69,5%)

26 (13,0%) Berdasarkan data pada tabel 19, dapat dilihat bahwa penggolongan Sikap

Terhadap Hukuman Cambuk Di Tinjau Dari jenis kelamin maka Masyarakat Aceh yang berjenis kelamin Pria memiliki Sikap Terhadap Hukuman Cambuk yang negatif sebanyak 11 orang (13,4%), yang memiliki Sikap Terhadap Hukuman Cambuk yang sedang sebanyak 55 orang (67.4%), dan yang memiliki Sikap Terhadap Hukuman Cambuk yang positif sebanyak 16 orang (19.5%), sedangkan Masyarakat Aceh yang yang berjenis kelamin Wanita yang memiliki Sikap Terhadap Hukuman Cambuk yang negatif sebanyak 15 orang (12,7%), yang memiliki Sikap Terhadap Hukuman Cambuk yang sedang sebanyak 84 orang (71.2%), dan yang memiliki Sikap Terhadap Hukuman Cambuk yang positif sebanyak 19 orang (16.1%). Mean Masyarakat Aceh yang berjenis kelamin Pria lebih tinggi daripada Masyarakat Aceh yang berjenis kelamin wanita. Standart deviasi Masyarakat Aceh yang berjenis kelamin Pria lebih tinggi daripada Masyarakat Aceh yang berjenis kelamin wanita. Skor maksimum Masyarakat Aceh berjenis kelamin Pria lebih rendah daripada Masyarakat Aceh berjenis kelamin Wanita. Skor minimum Masyarakat Aceh yang berjenis kelamin Pria lebih tinggi daripada Masyarakat Aceh yang berjenis kelamin Wanita.


(52)

Berdasarkan nilai mean Sikap Terhadap Hukuman Cambuk Di Tinjau Dari Jenis Kelamin (Pria dan Wanita) dapat disimpulkan, bahwa sikap Masyarakat Aceh yang berjenis kelamin Pria lebih positif dibandingkan dengan masyarakat Aceh yang berjenis kelamin Wanita

Gambaran Sikap Terhadap Hukuman Cambuk Di Tinjau Dari Jenis Kelamin dapat dilihat pada Grafik berikut :

Grafik 7

Gambaran sikap terhadap hukum cambuk Ditinjau dari Lembaga pendidikan

135,8 136 136,2 136,4 136,6 136,8 137 137,2 137,4 137,6 137,8

mean

Laki-laki Perempuan

Jenis Kelamin

IV.C.3 Gambaran Sikap Terhadap Hukuman Cambuk Di Tinjau Dari Tingkat Pendidikan

Gambaran skor Sikap Terhadap Hukuman Cambuk Di Tinjau Dari tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 20

Gambaran skor Sikap Terhadap Hukuman Cambuk Di Tinjau Dari Tingkat Pendidikan

Tingkat Pendidikan

N Mean Std Max .

Min. Sikap terhadap hukuman cambuk


(53)

SMA 86 (43,0%) 137,9 1 18,0

39 179 92

13 (15,1%) 62 (72,1%) 11 (12,8%) Diploma 36 (18%) 138,5 0 21,4

30 171 91

10 (27,8%) 20 (55,6%) 6 (16,7% Sarjana 59

(29,5)

134,2 2

18,6

31 174 66

6 (10,2%) 44 (74,6%) 9 (15,3%) Pasca Sarjana 19

(9,5%)

139,5 3

19,8

28 178 105

3 (15,8%) 11 (57,9%) 5 (26,3%) Total

200 32

(15,5%)

137 (68,5%)

31 (16,0%)

Berdasarkan data pada tabel 20, dapat dilihat bahwa penggolongan Sikap Terhadap Hukuman Cambuk Di Tinjau Dari tingkat pendidikan maka Masyarakat Aceh yang memiliki tingkat pendidikan SMA memiliki Sikap Terhadap Hukuman Cambuk yang negatif sebanyak 13 orang (15,1%), yang memiliki Sikap Terhadap Hukuman Cambuk yang sedang sebanyak 62 orang (72.1%), dan yang memiliki Sikap Terhadap Hukuman Cambuk yang positif sebanyak 11 orang (12.8%), Masyarakat Aceh yang memiliki tingkat pendidikan Diploma yang memiliki Sikap Terhadap Hukuman Cambuk yang negatif sebanyak 10 orang (27,8%), yang memiliki Sikap Terhadap Hukuman Cambuk yang sedang sebanyak 20 orang (55.6%), dan yang memiliki Sikap Terhadap Hukuman

Cambuk yang positif sebanyak 6 orang (16.7%). Masyarakat Aceh yang memiliki tingkat pendidikan Sarjana yang memiliki Sikap Terhadap Hukuman Cambuk yang negatif sebanyak 6 orang (10,2%), yang memiliki Sikap Terhadap Hukuman Cambuk yang sedang sebanyak 44 orang (74.6%), dan yang memiliki Sikap Terhadap Hukuman Cambuk yang positif sebanyak 9 orang (15.3%). Masyarakat Aceh yang memiliki tingkat pendidikan Pasca Sarjana yang memiliki Sikap Terhadap Hukuman Cambuk yang negatif sebanyak 3 orang (15,8%), yang


(54)

memiliki Sikap Terhadap Hukuman Cambuk yang sedang sebanyak 11 orang (57.9%), dan yang memiliki Sikap Terhadap Hukuman Cambuk yang positif sebanyak 5 orang (26.3%). Mean Masyarakat Aceh yang memiliki tingkat pendidikan pasca sarjana lebih tinggi daripada Masyarakat Aceh yang memiliki tingkat pendidikan Diploma, SMA dan Sarjana. Standart deviasi Masyarakat Aceh yang memiliki tingkat pendidikan Diploma lebih tinggi daripada Masyarakat Aceh yang yang memiliki tingkat pendidikan Pasca Sarjana, Sarjana, Dan SMA. Skor maksimum Masyarakat Aceh yang memiliki tingkat pendidikan SMA lebih tinggi daripada Masyarakat Aceh yang memiliki tingkat pendidikan Pasca Sarjana, sarjana, dan Diploma. Skor minimum Masyarakat Aceh yang memiliki tingkat pendidikan pasca sarjana lebih tinggi daripada Masyarakat Aceh yang memiliki tingkat pendidikan SMA, Diploma, dan Sarjana.

Berdasarkan nilai mean Sikap Terhadap Hukuman Cambuk Di Tinjau Dari tingkat pendidikan (SMA, Diploma, Sarjana, Pasca Sarjana) dapat disimpulkan, bahwa sikap Masyarakat Aceh yang memiliki tingkat pendidikan pasca sarjana lebih positif dibandingkan dengan masyarakat Aceh yang yang memiliki tingkat pendidikan SMA, Diploma, dan Sarjana

Gambaran Sikap Terhadap Hukuman Cambuk Di Tinjau Dari tingkat pendidikan dapat dilihat pada Grafik berikut :


(55)

Grafik 8

Gambaran sikap terhadap hukum cambuk Ditinjau dari tingkat pendidikan

131 132 133 134 135 136 137 138 139 140

mean

SMU DIII S1 S2

Tingkat pendidikan

IV. C. 4. Gambaran Skor Komponen Sikap berdasarkan Karakteristik Subjek

IV. C. 4. a. Gambaran Skor Komponen Kognitif ditinjau dari Karakteristik Subjek

Gambaran Skor komponen kognitif ditinjau dari lembaga pendidikan, pengalaman pribadi, jenis kelamin, tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 21 berikut:

Tabel 21

Gambaran Skor Komponen Kognitif ditinjau dari Karakteristik Subjek

Karakteristik N Mean SD

Lembaga pendidikan,

Pernah di Dayah 101 56,82 9,429

Tidak pernah di Dayah

99 57,16 7,578 Pengalaman pribadi, Pernah melihat

pelaksanaan hukuman cambuk

79 57,93 9,209 Tidak pernah

melihat pelaksanaan


(56)

hukuman cambuk

Jenis kelamin Laki-laki 82 57,27 9,161

Perempuan 118 56,80 8,120

Tingkat pendidikan SMU 86 57,22 8,390

Diploma 36 57,00 9,493

S1 59 55,76 8,192

S2 19 59,74 8,359

Berdasarkan Tabel 21 diatas, skor mean Komponen Kognitif tertinggi berada pada subjek pada lembaga pendidikan kelompok tidak pernah didayah (57,16), pengalaman pribadi pernah melihat pelaksanaan hukuman cambuk (57,78), laki-laki (57,27), memiliki tingkat pendidikan S2 (59,74).

Gambaran skor komponen kognitif ditinjau dari karakteristik subjek dapat dilihat pada Grafik 13 berikut:

Grafik 9

Gambaran Skor komponen kognitif ditinjau dari Karakteristik Subjek

53 54 55 56 57 58 59 60

mean

Lembaga Pendidikan

Pengalaman pribadi

Jenis kelamin

Tingkat pendidikan


(57)

IV. C. 4. b. Gambaran Skor Komponen Afektif ditinjau dari Karakteristik Subjek

Gambaran Skor komponen Afektif ditinjau dari lembaga pendidikan, pengalaman pribadi, jenis kelamin, tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 22 berikut:

Tabel 22

Gambaran Skor Komponen Afektif ditinjau dari Karakteristik Subjek

Karakteristik N Mean SD

Lembaga pendidikan,

Pernah di Dayah 101 36,47 5,770

Tidak pernah di Dayah

99 35,94 5,208

Pengalaman pribadi, Pernah melihat pelaksanaan

hukuman cambuk

79 36,98 5,719 Tidak pernah

melihat pelaksanaan hukuman cambuk

115 35,67 5,361

Jenis kelamin Laki-laki 82 36,39 5,715

Perempuan 118 36,08 5,351

Tingkat pendidikan SMU 86 36,47 5,096

Diploma 36 36,94 6,538

S1 59 35,54 5,299

S2 19 35,68 5,831

Berdasarkan Tabel 22 diatas, skor mean Komponen Afektif tertinggi berada pada subjek pada lembaga pendidikan kelompok pernah didayah (36,47), pengalaman pribadi pernah melihat pelaksanaan hukuman cambuk (37,08), laki-laki (36,39), memiliki tingkat pendidikan S2 (36,94).

Gambaran skor komponen Afektif ditinjau dari karakteristik subjek dapat dilihat pada Grafik 10 berikut:


(58)

Grafik 10

Gambaran Skor komponen Afektif ditinjau dari Karakteristik Subjek

34,5 35 35,5 36 36,5 37

mean

Lembaga Pendidikan

Pengalaman pribadi

Jenis kelamin

Tingkat pendidikan

IV. C. 4. C. Gambaran Skor Komponen Konatif ditinjau dari Karakteristik Subjek

Gambaran Skor komponen Konatif ditinjau dari lembaga pendidikan, pengalaman pribadi, jenis kelamin, tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 23 berikut:

Tabel 23

Gambaran Skor Komponen Konatif ditinjau dari Karakteristik Subjek

Karakteristik N Mean SD

Lembaga pendidikan,

Pernah di Dayah 101 43,80 6,642

Tidak pernah di Dayah

99 43,97 5,450 Pengalaman pribadi, Pernah melihat

pelaksanaan hukuman cambuk


(59)

Tidak pernah melihat

pelaksanaan hukuman cambuk

115 43,35 5,682

Jenis kelamin Laki-laki 82 44,12 6,151

Perempuan 118 43,72 6,028

Tingkat pendidikan SMU 86 44,22 5,670

Diploma 36 44,56 6,566

S1 59 42,92 6,064

S2 19 44,11 6,943

Berdasarkan Tabel 22 diatas, skor mean Komponen konatif tertinggi berada pada subjek pada lembaga pendidikan kelompok tidak pernah didayah (43,97), pengalaman pribadi pernah melihat pelaksanaan hukuman cambuk (44,67), laki-laki (44,12), memiliki tingkat pendidikan Diploma (44,56).

Gambaran skor komponen konatif ditinjau dari karakteristik subjek dapat dilihat pada Grafik 11 berikut:

Grafik 11

Gambaran Skor komponen Afektif ditinjau dari Karakteristik Subjek

42 42,5 43 43,5 44 44,5 45

m

ean

Lembaga Pendidikan

Pengalaman pribadi

Jenis kelamin

Tingkat pendidikan


(60)

BAB V

KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

Pada bab ini diuraikan kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan hasil analisa yang diuraikan pada Bab IV. Pada bab ini juga diuraikan saran-saran untuk pengembangan penelitian dan bagi pihak-pihak yang terkait dengan penelitian ini. V. A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisa data, dapat disimpulkan bahwa:

1. Secara umum kategori sikap terhadap penerapan hukuman cambuk pada masyarakat Aceh yang paling banyak adalah kategori sedang, yaitu sebanyak 139 orang (69,5 %), yang tergolong kedalam kategori positif sebanyak 35 orang (17,5 %), dan yang tergolong kedalam kategori negatif sebanyak 26 orang (13 %).

a) Kategori Sikap Terhadap Hukuman Cambuk berdasarkan komponen sikap kognitif yang paling banyak adalah kategori sedang, yaitu 140 orang (70%), kategori positif sebanyak 24 orang (12%), dan kategori negatif sebanyak 36 orang (18 %).

b) Kategori Sikap Terhadap Hukuman Cambuk berdasarkan komponen sikap Afektif yang paling banyak adalah kategori sedang, yaitu 129 orang (64,5 %), kategori positif sebanyak 29 orang (14,5 %), dan kategori negatif sebanyak 42 orang (21%)


(61)

c) Kategori Sikap Terhadap Hukuman Cambuk berdasarkan komponen sikap konatif yang paling banyak adalah kategori sedang, yaitu 137 orang (68,5 %), kategori positif sebanyak 31 orang (15,5 %), dan kategori negatif sebanyak 32 orang (16 %).

2. Berdasarkan karakteristik subjek, sikap terhadap penerapan hukuman cambuk pada masyarakat Aceh di Tinjau Dari Lembaga Pendidikan (pernah mengikuti pendidikan di Dayah dan tidak pernah mengikuti pendidikan di Dayah) maka Masyarakat Aceh yang pernah mengikuti pendidikan di Dayah memiliki Sikap Terhadap Hukuman Cambuk yang paling banyak adalah kategori sedang, yaitu 67 orang (66,3), yang tergolong kedalam kategori positif sebanyak 19 orang (18,8%), dan yang tergolong kedalam kategori negatif sebanyak 15 orang (14,9%), sedangkan Masyarakat Aceh yang tidak pernah mengikuti pendidikan di Dayah yang memiliki Sikap Terhadap Hukuman Cambuk yang paling banyak adalah kategori sedang, yaitu sebanyak 72 orang, kategori positif sebanyak 16 orang (16,2%), dan kategori negatif sebanyak 11 orang (11,1%),

Mean Masyarakat Aceh yang pernah mengikuti pendidikan di Dayah lebih tinggi yakni 137,09 daripada Masyarakat Aceh yang tidak pernah mengikuti pendidikan di Dayah yakni 137,07. Berdasarkan nilai mean sikap terhadap penerapan hukuman cambuk Masyarakat Aceh ditinjau dari lembaga pendidikan (pernah mengikuti pendidikan di Dayah dan tidak pernah mengikuti pendidikan di Dayah) dapat disimpulkan, bahwa sikap Masyarakat Aceh yang pernah mengikuti pendidikan di dayah lebih baik atau positif dibandingkan dengan masyarakat Aceh yang tidak pernah mengikuti pendidikan di dayah.


(1)

ketika mengatakan tidak setuju konsekuensinya akan dianggap disebagai muslim yang tidak baik.

Penelitian ini juga melihat sikap terhadap penerapan hukuman cambuk ditinjau dari karakteristik subjek penelitian, yaitu lembaga pendidikan, pengalaman pribadi, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan, berdasarkan karakteristik lembaga pendidikan subjek, sikap terhadap penerapan hukuman cambuk yang tertinggi terdapat pada kelompok pernah mengikuti pendidikan di Dayah (137,09). Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Azwar (2005) yang mengatakan lembaga pendidikan sebagai suatu sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu.

Berdasarkan karakteristik pengalaman pribadi sikap terhadap penerapan hukuman cambuk yang tertinggi terdapat pada kelompok pernah melihat pelaksanaan hukuman cambuk (139,53). Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Azwar (2005) yang mengatakan pengalaman pribadi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi sikap. Apa yang telah dan sedang dialami individu akan membentuk dan mempengaruhi penghayatan individu tersebut terhadap stimulus sosial. Pandangan dan perasaan seseorang terpengaruh oleh ingatannya pada masa lalu, oleh apa yang ia ketahui dan kesannya kita terhadap apa yang sedang ia hadapi saat ini. Pengalaman-pengalaman seseorang pada masa lalu akan membawa pada sikap yang terbuka atau tertutup terhadap dorongan dari orang luar.


(2)

Berdasarkan karakteristik jenis kelamin sikap terhadap penerapan hukuman cambuk yang tertinggi terdapat pada kelompok laki-laki (137,78).

Berdasarkan karakteristik tingkat pendidikan sikap terhadap penerapan hukuman cambuk yang tertinggi terdapat pada tingkat pendidikan Pasca sarjana (139,53). Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Ancok (1997) yang mengatakan Tingkat pendidikan formal merupakan faktor penting untuk mengetahui tingkat sumberdaya manusia. Makin tinggi tingkat pendidikan formal maka akan semakin rasional pola berfikirnya, dan daya nalarnya. Pendidikan merupakan sarana belajar untuk meningkatkan pengetahuan, yang selanjutnya akan menanamkan pengertian sikap dan mempengaruhi kemampuan seseorang untuk dapat bertindak yang lebih rasional sehingga semakin tinggi penerimaannya terhadap suatu inovasi.

Dengan demikian pengetahuan merupakan tahap awal terjadinya persepsi yang kemudian melahirkan sikap dan pada gilirannya melahirkan perbuatan atau tindakan. Dengan adanya pengetahuan yang baik tentang suatu hal, akan mendorong terjadinya perubahan perilaku dan dengan adanya pengetahuan tentang manfaat suatu hal juga akan menyebabkan seseorang bersikap positif terhadap hal tersebut. Niat untuk ikut serta dalam suatu kegiatan, sangat tergantung pada apakah seseorang mempunyai sikap positif terhadap kegiatan itu. Adanya niat yang sungguh-sungguh untuk melakukan suatu kegiatan akhirnya dapat menentukan apakah kegiatan itu betul-betul dilakukan Ancok (1997).


(3)

V.C Saran

V.C.1 Saran Metodologis

Karena penelitian ini tidak luput dari kekurangan-kekurangan yang berangkat dari tujuan utama penelitian yaitu ingin melihat gambaran atau deskriptif sikap terhadap penerapan hukuman cambuk pada masyarakat Aceh berikut adalah saran yang dapat diberikan untuk pengembangan penelitian selanjutnya :

1. Perlu dilakukan penelitian yang sama dengan menggunakan sampel yang berbeda atau sampel yang lebih luas, agar dapat dijadikan bahan perbandingan.

V.C.2 Saran Praktis

Disamping saran-saran yang diberikan untuk pengembangan penelitian, berikut ini adalah saran-saran yang dapat diberikan bagi pihak-pihak yang berkaitan dengan pelaksanaan hukum cambuk yang diberlakukan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam :

1. Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dalam hal ini Dinas syariat Islam sebaiknya melakukan sosialisasi dengan lebih baik terhadap penerapan hukuman cambuk agar masyarakat benar-benar memahami dan dapat merasakan dampak positif penerapan hukuman cambuk bagi pelanggar syari,at.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmada. Y. (2005). Tolak pelaksanaan hukuman cambuk di Aceh. http://groups.yahoo.com/group/freelancejourn/message/2290. tanggal akses 23 mei 2008.

Ancok, D. (1997). Teknik Penyusunan Skala Pengukuran. Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Aldin (2005), penerapan hukuman cambuk di Aceh tuai kontroversi. http://www.sinarharapan.co.id/berita/0506/11/nas01.html. tanggal akses 25 mei 2008.

Alfaruqi, J. (2005), wacana hukuman cambuk, kekejaman?. http://www.suaramerdeka.com/harian/0506/28/opi03.htm.tanggal akses 25 mei 2008

Arikunto. S. (2002). Prosedur penelitian. Suatu pendekatan praktek. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Azwar, S. (1995). Sikap manusia : Sikap dan Pengukurannya. Yogyakarta: Liberty

Azwar, S. (2000). Penyususnan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Azwar, S. (2000). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Azwar, S. (2005). Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya (edisi ke-2). Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

Baron, R.A, & Byrne , D. (1991) .Social Psychology, Understanding Human Interaction ( 6 th edtion) Boston, MA : Allynn an Bacon.

Bintarto, R. (2008). Urbanisasi dan Permasalahannya. Jakarta: Ghalia Indonesia. Charita, (2005). Hukuman cambuk manusiawi. http://smritacharita.blogspot.com/2005/06/hukuman-cambukmanusiawi. html. tanggal akses 30 mei 2008.

Djalil, M. (2003) Menjawab Mitos Syariat Islam di Aceh http://www.indomedia.com/serambi/2003/10/231003opini.htm. tanggal akses 23 mei 2008.

Elsam, (2005). Tolak Pelaksanaan Hukuman Cambuk Di Aceh http://groups.yahoo.com/group/freelancejourn/message/2290. tanggal akses 24


(5)

Hadi, Sutrisno. (2000). Metodologi Research (Jilid 1). Yogyakarta: Penerbit Andi. Hanafiah, M. (2006). Penegakan Syariat Islam Di NAD, upaya utopis (refleksi

akhir tahun 1426 H). http://www.nad.go.id/index2.php?option=isi&task=view&id=817&pop=1&page=

0. Tanggal akses 24 mei 2008

Hasan. M. I.. (2002). Pokok-Pokok Metodologi Penelitian Dan Aplikasinya. Jakarta : Ghalia Indonesia.

Hogg, Michael dan Vaughan. (2002). Sosial psychology 3 rd Edition. New York : Mc Graw-Hill.

Ismail, B, ( 2002) . Mesjid dan Adat Meunasah Sebagai Sumber Energi Budaya Aceh, Banda Aceh : Penerbit Majelis Pendidikan Daerah, Percetakan Gua Hira. Keumala, (2006). Hasil polling syari’at Islam Di Aceh. I http://keumala.org/index.php?option=com_content&task=view&id=34&Itemid=4 0. Tanggal akses 24 mei 2008.

Kurniawan, (2005). Adakah yang Lebih Baik dari Hukum Islam?. http://groups.yahoo.com/group/khilafah/message/191.tanggal akses 24 mei 2008. Majelis Permusyawaratan Ulama Provinsi NAD, (2007). hukum cambuk tak langgar Hak asasi manusia. ttp://www.antara.co.id/arc/2007/9/6/mpu-hukum-cambuk-tak-langgar-ham/. Tanggal akses 24 mei 2008.

Peraturan daerah provinsi daerah istimewa aceh nomor 5 tahiun 2000 tentang pelaksanaan syariat islam http://www.aceheye.org/data_files/bahasa_format/bhs_acehgovt/bhs_acehgovt_de c/acehgovt_dec_2000_08_25_05.pdf. tanggal akses 25 februari 2008.

Rumadi, (2005). Hukuman Cambuk dan Imajinasi Islam Kâffah http://islamlib.com/id/index.php?id=847&page=article. Tanggal akses 23 mei 2008.

Sax, (1980). Principles of educational and psychological measurement and evaluation.

Soekanto, S. (1993). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Raja Grafindo Persada. Jakarta.


(6)

Zulhelmi, 2007. Syari’at Islam, dulu dan sekarang. http://www.acehinstitute.oopini_syariat_islam_220607_zulhelmi_si_dulu_sekaran g.htm. Tanggal akses 15 september 2008.