Sikap Terhadap Jinamee Tinggi Pada Masyarakat Aceh
SIKAP TERHADAP JINAMEE TINGGI PADA
MASYARAKAT ACEH
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi
OLEH:
CUT RAFYQA FADHILAH
101301005
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERAUTARA
Genap, 2014/2015
(2)
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul :
Sikap Terhadap Jinamee Tinggi Pada Masyarakat Aceh
adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini yang saya kutip dari hasil karya orang lain dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.
Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Medan, April 2015
CUT RAFYQA FADHILAH NIM 101301005
(3)
Sikap Terhadap Jinamee Tinggi Pada Masyarakat Aceh Cut Rafyqa Fadhilah dan Ridhoi Meilona Purba
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran sikap terhadap jinamee
pada masyarakat Aceh. Dalam pemberian mahar pernikahan, Aceh yang dikenal dengan Serambi Mekkah menyebut mahar ini dengan jinamee. Jinamee adalah sesuatu hak yang diterima oleh calon pengantin wanita dan kewajiban bagi calon mempelai laki-laki. Jinameedalam adat Aceh ini disimbolkan dalam bentuk emas yang bila dirupiahkan sangat mahal. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif deskriptif dengan jumlah subjek sebanyak 150 masyarakat Aceh dan menggunakan skala sikap yang disusun berdasarkan teori sikap. Teknik sampling yang digunakan adalah incidental sampling. Hasil menunjukan bahwa sikap terhadap jinamee tinggi pada masyarakat Aceh adalah negatif. Hal ini menunjukkan bahwa dibalik fenomena jinamee tinggi di Aceh ternyata masyarakat Aceh memiliki kecenderungan sikap yang negatif terhadap jinamee
tinggi.
(4)
The Attitude of High Jinamee In Aceh Society Cut Rafyqa Fadhilah and Ridhoi Meilona Purba
ABSTRACT
This study aims to describe attitudes towards of thejinamee in people of Aceh. In granting a wedding dowry, Aceh known as the Serambi Mekkah is called the dowry is the jinamee. Jinamee is a right that is received by the bride and liabilities for prospective bridegroom. Jinamee in Aceh culture symbolized in the form of gold and very expensive. This study is a descriptive quantitative research with a number of subjects of 150 people in Aceh and using attitude scale is based on the theory of attitude. The sampling technique used is incidental sampling. Results showed that high jinamee attitude towards the people of Aceh are negative. This suggests that behind the phenomenon of high jinamee in Aceh Acehnese people have a tendency turns negative attitudes towards high jinamee.
Keywords: attitude, dowry, jinamee, high jinamee, high dowry, aceh society, culture
(5)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah Swt yang telah memberikan berkah dan hidayah-Nya selama menjalankan kewajiban menuntut ilmu hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat dan salam penulis ucapkan kepada Nabi Muhammad SAW, semoga penulis selalu dapat meneladaninya. Skripsi ini
berjudul “Sikap Terhadap Jinamee Tinggi Pada Masyarakat Aceh.”
Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis telah banyak menerima dukungan, bantuan, bimbingan, serta saran dari beberapa pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Orangtua terbaikTeuku Abdullah Bennidan Nuraina Karim S.Pd. Terima kasih ayah dan mami atas dukungan moral maupun materil, do’a, kasih sayang yang tidak putus-putusnyadiberikan pada peneliti, serta perhatian dan kepercayaannya. Terima Kasih untuk setiap do’a yang dipanjatkan kepada peneliti.
2. Kakak dan abang-abang terbaik yang sangat peneliti sayangi Kak Intan, Bang Pon, Bang Opit, dan Abang yang selalu sabar, mendukung, dan menyayangi peneliti selama ini. I love you too.
3. Ibu Prof. Dr. Irmawati, M.Si., psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi USU, beserta Pembantu Dekan I, II, dan III Fakultas Psikologi USU.
4. Ibu Ridhoi Meilona Purba, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi. Terima kasih karena telah meluangkan waktu untuk memberikan ilmu, pengarahan,
(6)
saran, komentar, dan juga terima kasih atas kesabaran yang Ibu berikan kepada peneliti.
5. Ibu Meutia Nauly, S.Psi., Psikolog., M.Si dan Omar Khalifa Burhan, M.Scselaku dosen penguji yang telah meluangkan waktunya dan memberikan banyak masukan sehingga penelitian ini bisa lebih baik lagi.
6. Khairi, Rika, Ayu, Dara, Indah, Upa, dan Novie. Sahabat-sahabat tercinta sejak SMP dan SMA yang tetap saling mendukung satu sama lain dan telah mengajarkan arti persahabatan sesungguhnya kepada peneliti.
7. Teman kuliah tercinta Ririn, Qiedeng, Ocha, Anggi, dan Riri. Terima kasih telah menemani peneliti selama menjalani hari-hari perkuliahan. Terima kasih atas dukungan, saran, bantuan, keceriaan, dan pembelajaran bagaimana kerasnya kehidupan di Medan, Bung. Hope to see you again someday.
8. Teman kosan tercinta Sumarsono 16 dan Sarmin Girls, terutama Atin dan Teh Oi, kakak-kakak dan adik-adik kosan yang tidak bisa ditulis satu per satu. Terima kasih atas tawa canda yang membuat kehidupan perkuliahan dan anak rantauan menjadi tak sesedih yang dibayangkan. Terima kasih telah menemani peneliti melalui hari-hari dan berjuang di kota Medan.
9. Terimakasih untuk seluruh teman-teman angkatan 2010 atas pengalaman dan suka duka selama menjalani proses perkuliahan di Fakultas Psikologi USU. I love you all.
10. Seluruh dosen Fakultas Psikologi USU. Terima kasih untuk ilmu yang sudah bapak dan ibu berikan buat peneliti.
(7)
11. Para staf dan pegawai di Fakultas Psikologi USU. Terima kasih atas pelayananan yang baik buat peneliti dan para mahasiswa lainnya.
12. Masyarakat Aceh yang telah menjadi responden dalam penelitian ini dan semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak bisa peneliti sebutkan namanya satu per satu.
Sebagai manusia yang masih belajar, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis meminta maaf jika terdapat kekurangan dan kesalahan dalam skripsi ini. Penulis berharap skripsi yang dibuat ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca.
Medan, April 2015
(8)
DAFTAR ISI LEMBAR PERNYATAAN
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian ... 8
1. Manfaat Teoritis ... 8
2. Manfaat Praktis ... 9
E. Sistematika Penulisan ... 9
BAB II LANDASAN TEORI ... 11
A. Sikap ... 11
1. Definisi Sikap... 11
2. Komponen Sikap ... 13
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Sikap ... 13
B. Jinamee dan Masyarakat Aceh ... 15
1. Pernikahan Dalam Masyarakat Aceh ... 16
2. Adat Menetap Setelah Pernikahan ... 17
3. Warisan ... 17
4. Jinamee ... 17
(9)
BAB III METODE PENELITIAN ... 23
A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 23
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 24
C. Populasi, Sampel, dan Metode Pengambilan Sampel ... 24
1. Populasi Penelitian ... 24
2. Sampel Penelitian... 25
3. Teknik Pengambilan Sampel ... 25
D. Metode Pengumpulan Data ... 26
1. Skala Sikap... 26
2. Wawancara Personal ... 27
E. Uji Validitas, Uji Daya Beda Aitem, dan Uji Reliabilitas ... 28
1. Uji Validitas ... 29
2. Uji Daya Beda Aitem ... 29
3. Uji Reliabilitas ... 30
F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 32
1. Persiapan Penelitian ... 32
2. Pelaksanaan Penelitian ... 33
3. Pengolahan Data ... 33
G. Metode Analisa Data ... 33
1. Uji Normalitas ... 34
BAB IV HASIL ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... 35
A. Gambaran Subjek Penelitian ... 35
1. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin…... . 35
2. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan 35 3. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia... . 36
B. Hasil Uji Asumsi Penelitian ... 36
1. Uji Normalitas Sebaran ... 37
C. Hasil Penelitian ... 37
1. Gambaran Sikap Terhadap Jinamee Tinggi Pada Masyarakat Aceh …... ... 37
(10)
2. Jumlah Jinamee Tinggi Menurut Masyarakat Aceh ... 39
3. Jumlah Jinamee Rendah Menurut Masyarakat Aceh ... 39
D. Hasil Analisa Wawancara ... 39
1. Hasil Analisa Data Wawancara…... ... 40
a. AnalisaData Subjek 1 ... 40
b. AnalisaData Subjek 2 ... 42
c. AnalisaData Subjek 3 ... 46
d. AnalisaData Subjek 4 ... 48
2. Kesimpulan Interpretasi Data Hasil Wawancara…... ... 49
E. Pembahasan ... 54
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 64
A. Kesimpulan ... 64
B. Saran... 65
1. Saran Praktis ... 65
2. Saran Metodologis ... 65
DAFTAR PUSTAKA ... 66 LAMPIRAN
(11)
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Distribusi Aitem Skala Sikap Sebelum Uji Coba ... 28
Tabel 2. Distribusi Aitem Skala Sikap Setelah Uji Coba ... 30
Tabel 3. Distribusi Aitem Skala Sikap yang Digunakan Dalam Penelitian... 31
Tabel 4.Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin... 35
Tabel 5.Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 36
Tabel 6.Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 36
Tabel 7. HasilUji Normalitas ... 37
Tabel 8. Jumlah Jinamee Tinggi Menurut Masyarakat Aceh ... 39
Tabel 9. Jumlah Jinamee Rendah Menurut Masyarakat Aceh ... 39
Tabel 10. Gambaran Subjek 1 ... 40
Tabel 11. Gambaran Subjek 2 ... 42
Tabel 12. Gambaran Subjek 3 ... 46
(12)
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Skala Penelitian
Lampiran 2 Reliabilitas Aitem
Lampiran 3 Hasil Uji Normalitas
Lampiran 4 Hasil Uji one-sample T-Test, Uji independent-sample T-Test, dan Uji one way Anova.
(13)
Sikap Terhadap Jinamee Tinggi Pada Masyarakat Aceh Cut Rafyqa Fadhilah dan Ridhoi Meilona Purba
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran sikap terhadap jinamee
pada masyarakat Aceh. Dalam pemberian mahar pernikahan, Aceh yang dikenal dengan Serambi Mekkah menyebut mahar ini dengan jinamee. Jinamee adalah sesuatu hak yang diterima oleh calon pengantin wanita dan kewajiban bagi calon mempelai laki-laki. Jinameedalam adat Aceh ini disimbolkan dalam bentuk emas yang bila dirupiahkan sangat mahal. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif deskriptif dengan jumlah subjek sebanyak 150 masyarakat Aceh dan menggunakan skala sikap yang disusun berdasarkan teori sikap. Teknik sampling yang digunakan adalah incidental sampling. Hasil menunjukan bahwa sikap terhadap jinamee tinggi pada masyarakat Aceh adalah negatif. Hal ini menunjukkan bahwa dibalik fenomena jinamee tinggi di Aceh ternyata masyarakat Aceh memiliki kecenderungan sikap yang negatif terhadap jinamee
tinggi.
(14)
The Attitude of High Jinamee In Aceh Society Cut Rafyqa Fadhilah and Ridhoi Meilona Purba
ABSTRACT
This study aims to describe attitudes towards of thejinamee in people of Aceh. In granting a wedding dowry, Aceh known as the Serambi Mekkah is called the dowry is the jinamee. Jinamee is a right that is received by the bride and liabilities for prospective bridegroom. Jinamee in Aceh culture symbolized in the form of gold and very expensive. This study is a descriptive quantitative research with a number of subjects of 150 people in Aceh and using attitude scale is based on the theory of attitude. The sampling technique used is incidental sampling. Results showed that high jinamee attitude towards the people of Aceh are negative. This suggests that behind the phenomenon of high jinamee in Aceh Acehnese people have a tendency turns negative attitudes towards high jinamee.
Keywords: attitude, dowry, jinamee, high jinamee, high dowry, aceh society, culture
(15)
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG
Adat Mahar telah menjadi suatu hal yang ditakuti oleh sebagian besar pemuda yang ingin menikah. Perspektif pemuda tersebut didasari oleh fakta yang sebagian besar perempuan saat inimeminta mahar dalam jumlah yang tinggi (Ayu, 2010).
Ar-Rahli (2014) mengatakan bahwa tingginya kadar mahar telah menjadi masalah sosial yang mencakup seluruh masyarakat, baik yang tinggal di pedalaman maupun di daerah yang sudah berperadaban tinggi. Fenomena ini menanamkan sebuah tradisi dan budaya pada masyarakat sehingga menjadi tuntutan yang tidak bisa dihindarkan. Apabila ada yang tidak mengikuti maka akan menjadi bahan celaan orang lain. Lebih lanjut Ar-Rahli (2014) juga menyatakan fenomena tingginya kadar mahar telah menjadi sebuah hambatan bagi pasangan yang ingin menikah. Para laki-laki merasa tertekan, sementara wanita hanya diam dan putus asa menghadapinya. Hal ini menyebabkan keengganan banyak laki-laki untuk menikah.
Di Indonesia pemberian mahar pada calon pengantin wanita dikenal dengan istilah yang bermacam-macam seperti pada masyarakat Batak disebut
“ujung, sinamot, pangolin, boli, tuhor,” Jawa “tukon” Nias “beli niha,” Bugis “sunrang,” Bali “petuku n luh,” Dayak “pekaian” Ambon “beli dan Timor “belis.” Jaya Pura pada suku Kemtuk disebut “Kiwo.” Motif pemberian ini
(16)
juga bermaksud sebagai imbalan dalam hal melepas wanita dari lingkungan keluarganya. Pemberian ini dapat berupa barang bernilai dan pada masyarakat yang masih terkebelakang dapat berupa manik-manik, barang pusaka yang bernilai magic atau binatang piaraan (Ismail & Daud, 2012).
Aceh yang dikenal dengan sebutan Serambi Mekkah menyebut mahar ini dengan jinamee. Jinamee merupakan syarat mutlak bagi pasangan yang akan menikah. Sama halnya dengan mahar, jinameeini menjadi suatu hak yang diterima oleh dara baro (calon pengantin wanita), dan menjadi kewajiban bagi linto baro (calon mempelai laki-laki). Jinamee tersebut kemudian menjadi hak istri dan tidak diperuntukkan keluarganya (Sufi, 2004).
Jinamee dalam adat Aceh disimbolkan dengan bentuk emas. Sangat jarang dan hampir tidak pernah ditemui dalam adat Aceh memberikan
jinamee dalam bentuk selain emas. Hal ini dikarenakan dalam masyarakat Aceh emas adalah simbol dari kemewahan dan kekayaan. Tradisi ini menjadi kesepakatan sosial dan kebudayaan yang diwarisi dari generasi ke generasi (Rizal, 2013).
Jumlah jinamee biasanya ditentukan menurut jumlah jinamee dari generasi keluarga sebelumnya. Apabila anak yang akan dinikahkan anak pertama, maka ukuran jinamee didasarkan pada ukuran jinamee orangtuanya. Biasanya jinamee berkisar dari 5 sampai 25 mayam emas 24 karat. Mayam adalah ukuran emas untuk orang Aceh. Satu mayam kira-kira sama dengan 3,30 gram. Emas 24 karat adalah emas 90% sampai 97%, yang jika
(17)
dikonversikan ke nilai mata uang rupiah berkisar puluhan juta rupiah. Harga emas juga selalu mengalami perubahan sesuai dengan perubahan harga rupiah terhadap dolar. Jinamee ini tidak termasuk ke dalam seserahan atau hantaran lainnya yang berupa keperluan hidup sehari-hari si wanita, seperti makanan, pakaian, sepatu, tas, kosmetika dan sebagainya (Sufi, 2004). Jinamee tersebut juga tidak boleh dikurangi dari ketentuan adat yang berlaku sebab ia dapat menjadi aib bagi keluarga tersebut (Muhammad Umar, dalam Ayu, 2010).
Penelitian yang dilakukan oleh Ayu (2010) mengenai makna jinamee
dalam penghargaan keluarga istri pada sistem pernikahan suku Aceh di Krueng Mane Kecamatan Muara Batu Aceh Utara, menunjukan bahwa
jinamee memiliki arti yang sangat besar bagi wanita suku Aceh yakni berupa harga diri seorang wanita. Hal ini disebabkan karena dalam prosesnya yang lebih menentukan adalah jumlah jinamee yang harus dibayar. Tingginya
jinamee di tentukan oleh keluarga perempuan dan disepakati lagi dengan pihak keluarga laki-laki. Jumlah jinamee yang berlaku di Krueng Mane yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak wanita berkisar 15 mayam (4,5 gram), 30 mayam (9 gram), sampai dengan 50 mayam emas (15 gram).
Jinamee tinggi tersebut memiliki maksud dimana sebagai balasannya, pihak keluarga perempuan akan memberikan peunulang (pemberian setelah dipisahkan), yaitu berbentuk rumah atau sepetak tanah sawah sesuai dengan kemampuan orang tua si gadis. Pasangan yang telah menikah tersebut juga akan tinggal dirumah orang tua istri sampai mereka diberi rumah sendiri. Selama masih bersama-sama tinggal dengan mertua, maka suami tidak
(18)
mempunyai tanggung jawab terhadap rumah tangga, melainkan ayah dari pihak perempuan (Syamsuddin, 2004).
Fenomena jinamee tinggi ini menjadi topik hangat di kalangan masyarakat Aceh sehingga muncul daftar jumlah jinamee untuk setiap daerah di Aceh. Tabel ini muncul dalam media sosial facebook dan media sosial lainnya di internet.
Tabel 1. Jumlah jinamee di Provinsi Aceh
No Area Tipe-A Tipe-B Tipe-C Tipe-D
1. Pidie 60 s/d 50
mayam emas
40 s/d 30 mayam emas
25 s/d 20 mayam emas
19 s/d 10 mayam emas
2. Pidie Jaya 40 s/d 30
mayam emas
25 s/d 20 mayam emas
19 s/d 15 mayam emas
14 s/d 10 mayam emas
3. Bireuen 40 s/d 30
mayam emas
25 s/d 20 mayam emas
19 s/d 15 mayam emas
14 s/d 10 mayam emas
4. Aceh Besar 50 s/d 40
mayam emas
30 s/d 20 mayam emas
19 s/d 15 mayam emas
14 s/d 10 mayam emas
5. Banda Aceh 60 s/d 50
mayam emas
40 s/d 30 mayam emas
25 s/d 20 mayam emas
19 s/d 10 mayam emas
6. Sabang 35 s/d 25
mayam emas
24 s/d 16 mayam emas
15 s/d 10 mayam emas
9 s/d 6 mayam emas
7. Lhokseumawe 35 s/d 25
mayam emas
24 s/d 16 mayam emas
15 s/d 10 mayam emas
9 s/d 6 mayam emas
8. Aceh Utara 35 s/d 25
mayam emas
24 s/d 16 mayam emas
15 s/d 10 mayam emas
9 s/d 6 mayam emas
9. Langsa 30 s/d 25
mayam emas
24 s/d 16 mayam emas
15 s/d 10 mayam emas
9 s/d 6 mayam emas
10. Aceh Timur 30 s/d 25
mayam emas
24 s/d 16 mayam emas
15 s/d 10 mayam emas
9 s/d 6 mayam emas 11. Aceh Tamiang 30 s/d 25
mayam emas
24 s/d 16 mayam emas
15 s/d 10 mayam emas
9 s/d 5 mayam emas
(19)
mayam emas mayam emas mayam emas mayam emas
13. Aceh Barat 30 s/d 25
mayam emas
24 s/d 16 mayam emas
15 s/d 10 mayam emas
9 s/d 5 mayam emas 14. Aceh Selatan 20 s/d 16
mayam emas
20 s/d 16 mayam emas
12 s/d 10 mayam emas
9 s/d 3 mayam emas
15. Aceh Tengah 20 s/d 16
mayam emas
20 s/d 16 mayam emas
12 s/d 10 mayam emas
9 s/d 3 mayam emas 16. Aceh Barat
Daya
20 s/d 16 mayam emas
20 s/d 16 mayam emas
12 s/d 10 mayam emas
9 s/d 4 mayam emas
17. Nagan Raya 30 s/d 20
mayam emas
20 s/d 16 mayam emas
12 s/d 10 mayam emas
9 s/d 4 mayam emas
18. Simeulue 20 s/d 16
mayam emas
20 s/d 16 mayam emas
12 s/d 10 mayam emas
9 s/d 3 mayam emas 19. Bener Meriah 20 s/d 16
mayam emas
20 s/d 16 mayam emas
12 s/d 10 mayam emas
9 s/d 3 mayam emas
20. Gayo Luwes 20 s/d 16
mayam emas
20 s/d 16 mayam emas
12 s/d 10 mayam emas
9 s/d 3 mayam emas 21. Aceh
Tenggara
20 s/d 16 mayam emas
20 s/d 16 mayam emas
12 s/d 10 mayam emas
9 s/d 3 mayam emas 22. Subulussalam 20 s/d 16
mayam emas
20 s/d 16 mayam emas
12 s/d 10 mayam emas
9 s/d 3 mayam emas
23. Singkil 20 s/d 16
mayam emas
20 s/d 16 mayam emas
12 s/d 10 mayam emas
9 s/d 3 mayam emas
Tabel diatas menunjukkan jumlah jinamee untuk setiap daerah, dari tipe A yang tertinggi hingga tipe D yang terendah. Jumlah-jumlah tersebut bila dirupiahkan berkisar jutaan hingga puluhan juta rupiah.
Muhadzdzier (2013) menyatakan tingginya jinamee di Aceh menjadi faktor penghambat pasangan yang akan menikah sehingga meningkatkan perzinaan, hamil di luar nikah, dan bertambahnya laki-laki dan wanita yang melajang di Aceh. Selain itu, karena tingginya jinamee untuk melamar wanita
(20)
Aceh, seharusnya Pemerintah mencetuskan program Jaminan Mahar Aceh (JMA) bagi laki-laki yang ingin menikah sebab jinamee dalam adat turun temurun masyarakat Aceh dianggap memberatkan setiap laki-laki lajang di Aceh yang ingin menikah.
Jinamee yang terlalu tinggi juga dinilailebih banyak menimbulkan kerugian dibandingkan dengan manfaat, seperti terhambatnya pernikahan karena tidak semua laki-laki dapat memenuhi permintaan tersebut. Selain itu,jinamee yang berlebihan berpotensi menimbulkan hal yang negatif setelah menikah. Seorang laki-laki bisa saja merasa berhak melakukan kekerasan terhadap istrinya karena merasa telah memberikan jinamee yang tinggi (Marwan Idris, 2011).
Permasalahan mengenai baik atau tidaknya, manfaat dan kerugian, serta tujuan jinamee tinggi bagi pasangan yang menikah di Aceh tergambar dari hasil wawancara yang peneliti lakukan terhadap beberapa warga Aceh, sebagaimana dikutip dibawah ini. Berikut komunikasi personal dari seorang warga Aceh yang tergabung dalam Lembaga Majelis Adat Aceh (2014).
“Kalau calon pasangan dari pihak laki-laki sanggup memenuhi syarat jumlah jinamee dari calon pasangan pihak wanita maka tak ada salahnya mereka menikah dengan jinameetinggi.”
(Komunikasi personal, 12 Desember 2014) Subjek selanjutnya yang peneliti wawancara adalah wargalaki-laki di kota Bireun:
“Tidak setuju memberikan jinamee tinggi terhadap wanita sebelum menikah. Karena itu memberatkan kami orang laki-laki.”
(21)
Fenomena jinamee tinggi di Aceh menyebabkan pro dan kontra, kesenjangan sosial yang terjadi akibat jinamee tinggi, jumlah-jumlah jinamee
yang bervariatif di setiap daerah di Aceh, serta dampak dan manfaat yang dirasakan terkait jinamee tinggi, membentuk sebuah sikap terhadap jinamee
tinggi pada masyarakat Aceh dalam melihat fenomena ini.
Berdasarkan pemaparan berbagai fenomena di atas, maka dalam penelitian ini, peneliti ingin mengetahui bagaimana gambaran sikap terhadap
jinamee tinggi pada masyarakat Aceh.
B. RUMUSANMASALAH
Berdasarkan fenomena diatas peneliti ingin mengetahui beberapa hal yang dirumuskan dalam beberapa pertanyaan dibawah ini:
a. Bagaimana gambaran umum sikap terhadap jinamee tinggi pada masyarakat Aceh.
b. Bagaimana gambaran sikap terhadap jinamee tinggi pada masyarakat Aceh dilihat dari jenis kelamin.
c. Bagaimana gambaran sikap terhadap jinamee tinggi pada masyarakat Aceh dilihat dari tingkat pendidikan.
d. Berapa jumlah jinamee tinggi menurut masyarakat Aceh. e. Berapa jumlah jinamee rendah menurut masyarakat Aceh.
C. TUJUANPENELITIAN
(22)
a. Untuk mengetahui bagimana gambaran umum sikap terhadap jinamee
tinggi pada masyarakat Aceh.
b. Untuk mengetahui bagimana gambaran sikap terhadap jinamee tinggi pada masyarakat Aceh dilihat dari jenis kelamin.
c. Untuk mengetahui bagimana gambaran sikap terhadap jinamee tinggi pada masyarakat Aceh dilihat dari tingkat pendidikan.
d. Untuk mengetahui berapa jumlah jinamee tinggi menurut masyarakat Aceh.
e. Untuk mengetahui berapa jumlah jinamee rendah menurut masyarakat Aceh.
D. MANFAATPENELITIAN 1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana dalam ilmu psikologi, khususnya dibidang Psikologi Sosial dalam menjelaskan sikap terhadap jinamee tinggi pada masyarakat Aceh. Selain itu diharapkan penelitian ini dapat menambah sumber kepustakaan dan penelitian Psikologi Sosial sehingga hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai penunjang untuk bahan penelitian lebih lanjut.
2. Manfaat Praktis
a. Sebagai masukan bagi Lembaga Adat Aceh dan pengamat sosial mengenai bagaimana gambaran sikap terhadap jinamee tinggi pada
(23)
masyarakat Aceh.
b. Sebagai masukan dan informasi bagi masyarakat Aceh sehingga dapat mengetahui dan memahami bagaimana gambaran sikap terhadap
jinamee tinggi pada masyarakat Aceh.
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan adalah struktur penulisan secara garis besar yang ada dalam penelitian.
Bab I : Pendahuluan
Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat peneltian, dan sistematika penulisan. Bab II : Landasan Teori
Bab ini menguraikan tentang landasan teoritis, yakni pembahasan teori sikap, jinamee, dan masyarakat Aceh.
Bab III : Metode Penelitian
Bab ini menguraikan tentang identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, populasi, sampel, teknik pengambilan sampel, metode pengumpulan data, uji validitas, uji daya beda aitem, uji reliabilitas, prosedur pelaksanaan penelitian, dan metode analisa data.
Bab IV : Analisa data dan Pembahasan
Bab ini terdiri dari analisa dan interpretasi data yang berisikan mengenai subjek penelitian dan hasil penelitian.
(24)
Bab V : Kesimpulan dan Saran
Bab ini menguraikan kesimpulan dari hasil penelitian serta saran untuk pihak terkait dan penelitian selanjutnya.
(25)
BAB II
LANDASAN TEORI
A. SIKAP
1. Definisi Sikap
Hogg (2004) lebih lanjut menjelaskan bahwa sikap adalah perasaan dan kecenerungan perilaku terhadap objek sosial yang signifikan, kelompok, peristiwa, atau simbol. Ia juga mendefinisikan sikap sebagai perasaan atau evaluasi umum yang positif maupun negatif terhadap orang, objek atau masalah. Baron (2004) juga menyatakan bahwa sikap merujuk pada evaluasi individu terhadap berbagai aspek dunia sosial serta bagaimana evaluasi tersebut memunculkan rasa suka atau tidak suka individu terhadap isu, ide, orang lain, kelompok sosial dan objek. Sementara Fishbein dan Ajzen (2005) menyatakan sikap adalah suatu penilaian positif atau negatif terhadap suatu objek.
Terdapat tiga model komponen penyusun sikap (Hogg, 2004). Model komponen sikap yang pertama dikemukakan oleh Thurstone (1928). Ia mendefinisikan sikap sebagai afek yang mendukung atau tidak mendukung terhadap objek psikologis (Hogg, 2004). Secara lebih spesifik, Thurstone (1928) mendefinisikan sikap sebagai derajat afek positif atau afek negatif tehadap suatu objek psikologis. Model komponen sikap kedua ditambahkan oleh Allport (1935), yaitu merupakan kesiapan mental untuk bertindak yang juga memandu respon evaluatif. Hogg (2004) menjelaskan
(26)
lebih lanjut bahwa sikap terdapat dalam diri setiap individu yang mempengaruhi keputusan seseorang mengenai apa yang baik atau buruk, diinginkan atau tidak diinginkan, dan sebagainya. LaPierre (1934) yang juga memperkenalkan model komponen kedua ini menjelaskan sikap sebagai suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap merupakan respons terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan. Model komponen sikap yang ketiga menjelaskan bahwa sikapterdiri dari komponen kognitif, afektif dan konatif yang menekankan pikiran (kognitif), perasaan (afektif) dan tindakan sebagai dasar pengalaman manusia (Rosenberg and Hovland, 1960). Lebih lanjut Eagle dan Chaiken (1993) mengemukakan sikap dapat diposisikan sebagai hasil evaluasi terhadap objek yang diekspresikan ke dalam proses kognitif, afektif, dan konatif. Secord & Backman (1964) juga menjelaskan model tiga komponen dimana menurutnya sikap merupakan keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya.
Hogg dan Vaughan (2002) menyatakan bahwa mengukur sikap bukan merupakan hal yang mudah, karena sikap tidak dapat diobservasi secara langsung. Cara yang paling umum dilakukan untuk mengetahui sikap adalah bertanya langsung pada orang tersebut. Sikap diukur dengan pertanyaan untuk membuat evaluasi positif atau negatif pada objek tertentu. Ada delapan teknik pengukuran sikap, yaitu: skala Thurstone
(27)
(skala interval tampak setara), skala Likert (skala rating yang dijumlahkan), skala Bogardus (skala jarak sosial), skala Osgood (skala diferensi semantik), skala Guttman (scalogram), skala Fishbein, pengukuran fisiologikal, dan mengukur sikap yang terbuka.
Berdasarkan beberapa penjelasan yang telah dikemukakan oleh para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sikap merupakan suatu bentuk evaluasi positif ataupun negatif terhadap suatu objek yang merupakan hasil dari interaksi komponen kognitif, afektif dan konatif.
2. Komponen Sikap
Menurut Eagley & Chaiken (1993) ada tiga komponen pembentuk sikap, yaitu:
1. Komponen kognitif berkaitan dengan kepercayaan, pendapat, dan penilaian terhadap objek sikap.
2. Komponen afektif berkaitan dengan emosi, seperti perasaan cinta atau benci, suka atau tidak suka terhadap objek sikap.
3. Komponen konatif berkaitan dengan maksud perilaku dan kecenderungan bertindak terhadap objek sikap.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap
(28)
1. Pengalaman Pribadi
Apa yang telah dan sedang individu alami akan membentuk dan mempengaruhi penghayatan individu tersebut terhadap stimulus sosial.
2. Kebudayaan
Kebudayaan memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan sikap. Individu yang hidup dan dibesarkan dalam kebudayaan maka kebudayaan tersebut akan berpengaruh besar terhadap pembentukan sikapnya.
3. Pengaruh Orang Lain yang Dianggap Penting
Orang lain disekitar individu merupakan salah satu diantara komponen sosial yang ikut mempengaruhi sikap individu tersebut. 4. Media Massa
Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lain-lain mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan seseorang. 5. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama
Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai suatu sistem yang mempunyai pengaruh dalam pembentukan serta dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman baik dan buruk, garis pemisah anatara sesuatu yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan, diperoleh dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya.
(29)
6. Pengaruh Faktor Emosional
Tidak semua bentuk sikap ditentukan oleh suatu lingkungan dan pengalaman pribadi seseorang. Kadang-kadang, suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. Sikap demikian dapat merupakan sikap yang sementara dan segera berlalu begitu frustasi hilang, akan tetapi dapat pula merupakan sikap yang bertahan lama.
B. JINAMEEDAN MASYARAKAT ACEH
Aceh adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak diujung utara pulau Sumatera dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Provinsi Aceh merupakan suatu wilayah Pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Masyarakat Aceh adalah pemeluk agama Islam yang taat. Terdapat 18 Pemerintahan Kabupaten di Aceh saat ini, yaitu Kabupaten Aceh Barat, Aceh Barat Daya, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Aceh Tamiang, Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Timur, Aceh Utara, Bener Meriah, Bireuen, Gayo Lues, Nagan Raya, Pidie, Pidie Jaya, dan Simeulue; serta 5 Pemerintah Kota yaitu Pemerintahan Kota Banda Aceh, Sabang, Lhokseumawe, Langsa, dan Subulussalam.
Suku yang mendiami Provinisi Aceh sejak dahulu adalah suku Aceh, Suku Gayo, Suku Alas, Suku Tamiang, Suku Aneuk Jame, Suku Kluet, Suku Seumelu dan Suku Singkil serta Suku Lainnya (www.acehprov.go.id).
(30)
1. Pernikahan Dalam Masyarakat Aceh
Pernikahan dalam adat Aceh merupakan kegiatan yang tidak hanya menjadi urusan pribadi atau keluarga, tetapi juga menjadi urusan masyarakat setempat. Menurut masyarakat Aceh pernikahan merupakan suatu keharusan yang ditetapkan oleh agama. Pernikahan adalah suatu bentuk hidup bersama dari seorang laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan wanita yang telah dewasa diwajibkan mencari dan mendapatkan jodohnya. Adapun langkah-langkah pernikahan dalam adat Aceh:
a. Seulangke. Apabila keluarga laki-laki sudah berketetapan untuk melamar seorang gadis, diutuslah kepada keluarga si gadis seorang seulangke
(penghubung). Seulangke ini harus orang yang pandai bicara dan terdiri dari laki-laki atau perempuan. Setelah dikemukakan maksud ini serta lamaran diterima, maka utusan ini kembali.
b. Selanjutnya utusan tersebut kembali datang membawa tanda kongnarit
(tanda ikatan) berupa benda-benda berharga, biasanya emas. Apabila tanda ini diterima maka kedua belah pihak telah terikat dengan suatu tali pertunangan. Sekaligus pada saat itu ditetapkan pula waktu dan tanggal pernikahan.
c. Tepat pada waktu pernikahan itu berlangsung, ditetapkan pula jumlah
jinamee yang harus diserahkan pihak laki-laki.
d. Apabila penentuan mas kawin itu selesai, maka selang beberapa bulan baru pernikahan tersebut dilaksanakan dan diadakan secara besar-besaran.
(31)
2. Adat Menetap Setelah Pernikahan
Pasangan yang baru menikah akan tinggal dirumah orang tua pihak perempuan sampai saatnya mempunyai anak satu atau dua orang. Pihak keluarga perempuan akan memberikan peunulang (pemberian setelah dipisahkan), yaitu berbentuk rumah atau sepetak tanah sawah sesuai dengan kemampuan orang tua pihak perempuan. Pasangan yang telah menikah tersebut juga akan tinggal dirumah orang tua pihak perempuan sampai mereka diberi rumah sendiri. Selama masih bersama-sama tinggal dengan mertua, maka suami tidak mempunyai tanggung jawab terhadap rumah tangga dan yang bertanggung jawab adalah mertua (ayah perempuan).
3. Warisan
Dalam masyarakat Aceh pembagian warisan dibagi sesuai hukum agama Islam. Namun biasanya, rumah diberikan kepada anak perempuan apabila sebelumnya anak perempuan dan suaminya yang telah menikah tinggal bersama kedua orang tua perempuan tersebut (Sufi, 2004). Syamsuddin (2004) juga menyebutkan bahwa anak perempuan lebih diutamakan memperoleh rumah, sehingga rumah tidak menjadi tanggung jawab suaminya.
4. Jinamee
Menurut bahasa Jinameeberasal dari kata jame yang berarti tamu.
(32)
sebagai hadiah pernikahan (Ismail & Daud, 2012). Lebih lanjut Rizal (2013) menjelaskan bahwa jinamee adalah sesuatu hak yang diterima oleh
dara baro (calon pengantin wanita), dan kewajiban bagi linto baro (calon mempelai laki-laki). Jinamee ini sama artinya dengan mahar.
Jinameedi Aceh disimbolkan dalam bentuk emas karena menurut masyarakat Aceh emas merupakan simbol dari kemewahan dan kekayaan.
Jinamee ini tidak termasuk dalam seserahan atau hantaran lainnya yang berupa keperluan hidup sehari-hari si wanita, seperti makanan, pakaian, sepatu, tas, kosmetika, dan sebagainya. Rizal (2013) menyebutkan bahwa
jinamee merupakan salah satu elemen penting dalam masyarakat Aceh dimana agama dan adat berperan didalamnya. Dalam tradisi masyarakat Aceh, tinggi rendahnya jumlah jinamee sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
a. Faktor keturunan, bagi masyarakat Aceh keturunan merupakan suatu hal yang penting dalam menentukan tinggi rendahnya jumlah jinamee. Keturunan yang ada di Aceh dapat dilihat dalam beberapa bentuk, yaitu; keturunan bangsawan (seperti; Tuanku, Cut, dan Ampon, dan keturunan yang masih dianggap berhubungan dengan keluarga Nabi (Sayed dan Syarifah). Maka dalam tradisi masyarakat Aceh mahar dari keturunan tersebut secara otomatis berbeda.
b. Faktor kondisi keluarga, keluarga dengan latar belakang yang bercukupan dan kaya maka nilai jinamee yang diperoleh akan tinggi.
(33)
c. Status sosial, seorang wanita suku Aceh yang memiliki status sosial yang baik di masyarakat maka jinamee yang akan didapatkannya juga tinggi. Ismail dan Daud (2012) budayawan Aceh juga menyebutkan bahwa status sosial seseorang dalam mencari jodoh juga menjadi pertimbangan penting untuk melamar seorang gadis. Orangtua dari pihak laki-laki akan memilih calon menantu yang didasarkan pada garis keturunan si wanita dan status sosialnya dalam masyarakat yang bertujuan untuk mendapatkan menantu dari keturunan yang baik. Biasanya wanita yang berasal dari keluarga baik didasarkan pada keluarga yang taat beribadah.
d. Faktor pendidikan, ketika wanita tersebut memiliki latar belakang pendidikan yang bagus maka nilai jinamee yang akan diperolehnya juga semakin tinggi.
Faktor-faktor diatas hanya difokuskan kepada perempuan. Semakin tinggi faktor yang disebutkan diatas, maka jumlah jinamee yang akan diperoleh seorang wanita suku Aceh juga akan semakin tinggi. Biasanya jumlah jinamee ditetapkan kira-kira 50 gram sampai 100 gram emas lebih (Syamsuddin, 2004).
C. SIKAP TERHADAP JINAMEE TINGGI PADA MASYARAKAT ACEH
Di Aceh mahar untuk pernikahan dikenal dengan sebutan jinamee. Sama dengan mahar, jinamee ini juga diperuntukan untuk wanita dan
(34)
merupakan kewajiban yang harus dipenuhi bagi pihak laki-laki. Jinameeyang merupakan adat Aceh ini disimbolkan dalam bentuk emas. Hal ini dikarenakan bagi masyarakat Aceh emas merupakan simbol kemewahan dan kekayaan. Satuan jinamee yang dipakai masyarakat Aceh adalah mayam, satu mayam sama dengan 3,30 gram. Harga emas akan mengalami perubahan sesuai dengan perubahan harga rupiah terhadap dolar, sehingga semakin tinggi jinamee maka harga rupiah untuk membeli emas juga akan semakin mahal (Sufi, 2004).
Jinamee merupakan syarat mutlak bagi pasangan yang menikah di Aceh. jinamee tinggi menunjukan harga diri seorang wanita di Aceh dan berupa penghargaan yang diberikan kepada wanita tersebut. Seorang laki-laki yang ingin menikahi seorang wanita di Aceh biasanya harus sanggup memenuhi permintaan jumlah jinamee dari pihak wanita tersebut. Ada empat faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya jumlah jinamee dalam tradisi masyarakat Aceh, yaitu faktor keturunan, kondisi kehidupan keluarga si wanita, status sosial wanita, dan terakhir faktor pendidikan. Semakin tinggi faktor yang disebutkan, maka semakin tinggilah jinamee yang diperoleh si wanita. Perkembangan zaman saat ini membuat wanita sekarang berbeda dengan dahulu, dimana meningkatnya status sosial dan pendidikan wanita saat ini, sehingga menyebabkan permintaan jumlah jinamee kepada pihak laki-laki juga semakin tinggi (Rizal, 2013).
Jinamee tinggi ini akan membuat laki-laki semakin bekerja keras demi memenuhi permintaan jinamee dari pihak wanita serta bertujuan agar
(35)
pasangan yang menikah tidak mudah bercerai. Selain itu jinamee tersebut dapat digunakan oleh si wanita apabila dalam pernikahan suami kehilangan pekerjaan, meninggal, atau terjadi perceraian, maka jinamee tersebut dapat digunakan oleh si wanita.
Penelitian sebelumnya di Krueng Mane, Aceh utara menunjukkan bahwa jinamee memiliki arti yang sangat besar bagi wanita suku Aceh yakni berupa harga diri seorang wanita. Hal ini disebabkan karena dalam prosesnya yang lebih menentukan adalah jumlahjinamee yang harus dibayar. Jumlah
jinamee yang berlaku di Krueng Mane yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak wanita berkisar 15 mayam, 30 mayam, sampai dengan 50 mayam emas (Ayu, 2010).
Jinamee tinggi tersebut memiliki maksud dimana sebagai balasannya, pihak keluarga perempuan akan memberikan peunulang (pemberian setelah dipisahkan), yaitu berbentuk rumah atau sepetak tanah sawah sesuai dengan kemampuan orang tua si gadis. Pasangan yang telah menikah tersebut juga akan tinggal dirumah orang tua istri sampai mereka diberi rumah sendiri. Selama masih bersama-sama tinggal dengan mertua, maka suami tidak mempunyai tanggung jawab terhadap rumah tangga, melainkan ayah dari pihak perempuan (Syamsuddin, 2004).
Sikap merupakan kecenderungan berperilaku terhadap objek sosial yang signifikan, kelompok, peristiwa, atau simbol. Hogg juga mendefinisikan sikap sebagai perasaan atau evaluasi umum yang positif maupun negatif terhadap orang, objek atau masalah. Sikap ini dibentuk berdasarkan tiga
(36)
komponen pembentuk sikap. Pertama, komponen kognitif berkaitan dengan kepercayaan, pendapat, dan penilaian terhadap objek sikap. Kedua, komponen afektif berkaitan dengan emosi, seperti perasaan cinta atau benci, suka atau tidak suka terhadap objek sikap. Yang terakhir, komponen konatif berkaitan dengan maksud perilaku dan kecenderungan bertindak terhadap objek sikap, Eagley & Chaiken (1993).
Berdasarkan komunikasi personal dengan beberapa masyarakat Aceh, jinamee tinggi ternyata dapat menghambat pernikahan. Pihak laki-laki juga merasa kesulitan untuk memenuhi permintaan jinamee tinggi tersebut sehingga pernikahan yang harus disegerakan terpaksa ditunda demi tercapainya jumlah jinamee yang diinginkan. Terhambatnya pernikahan juga meningkatkan perzinaan, hamil di luar nikah, dan bertambahnya laki-laki dan wanita yang melajang di Aceh. Setelah menikah juga dikhawatirkan laki-laki akan berperilaku semena-mena terhadap istrinya karena merasa telah memberikan jinamee yang tinggi.
Sikap positif terhadap jinamee tinggi pada masyarakat Aceh terbentuk ketika masyarakat Aceh memiliki pemikiran, perasaan, dan perilaku yang mendukung jinamee tinggi tersebut. Sementara sikap negatif terhadap
jinamee tinggi pada masyarakat Aceh terbentuk masyarakat Aceh memiliki pemikiran, perasaan, dan perilaku yang tidak setuju terhadap jinamee tinggi tersebut.
(37)
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif deskriptif. Penelitian deskriptif bertujuan untuk menggambarkan secara sistematik dan akurat, fakta dan karakteristik mengenai populasi atau mengenai bidang tertentu (Azwar, 2003). Penelitian ini berkaitan dengan sikap terhadap jinameetinggi pada masyarakat Aceh. Berikut akan dijelaskan lebih lanjut mengenai identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, populasi, sampel, teknik pengambilan sampel, metode pengumpulan data, uji validitas, uji daya beda aitem, uji reliabilitas, prosedur pelaksanaan penelitian, dan metode analisa data.
A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN
Variable merupakan suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, objek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2003). Variabel yang digunakan dalam penelitian ini sikap.
B. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN
Sikap terhadap jinamee tinggi pada masyarakat Aceh adalah bentuk evaluasi dan kecenderungan individu untuk memahami, merasakan, bereaksi dan berperilaku terhadap jinamee tinggi. Sikap terhadap jinamee tinggi pada
(38)
masyarakat Aceh diukur dengan menggunakan skala sikap berdasarkan tiga komponen:
1. Komponen kognitif yaitu pengetahuan atau pemahaman masyarakat Aceh terhadap jinamee tinggi.
2. Komponen afektif berkaitan dengan perasaan masyarakat Aceh terhadap
jinamee tinggi.
3. Komponen konatif memperlihatkan kesediaan masyarakat Aceh untuk bertindak terhadap jinamee tinggi.
Sikap masyarakat Aceh terhadap jinamee tinggi dilihat dari besarnya nilai rata-rata dari titik tengah skala. Adapun skala yang digunakan adalah skala model Likert dan diberikan kepada masyarakat Aceh. Semakin tinggi nilai rata-rata partisipandalam skala, maka semakin positif sikap yang dimiliki partisipan terhadap jinamee tinggi. Sebaliknya,semakin rendahnilai rata-rata partisipandalam skala, maka semakin negatif sikap yang dimiliki partisipan terhadap jinamee tinggi.
C. POPULASI, SAMPEL, DAN TEKNIKPENGAMBILANSAMPEL 1. Populasi Penelitian
Menurut Azwar (2010), populasi merupakan kelompok subjek yang akan dikenai penelitian. Populasi dalam penelitian meliputi kelompok subjek yang harus memiliki karakteristik dan ciri-ciri yang sama sehingga dapat dibedakan dengan kelompok subjek yang lain. Adapun populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat Aceh yang tinggal di kota
(39)
Banda Aceh. Alasan peneliti memilih kota Banda Aceh adalah karena merupakan ibu kota Provinsi Aceh. Banda Aceh merupakan daerah di Aceh yang terkenal dengan tingginya jinamee.
2. Sampel Penelitian
Menyadari luasnya keseluruhan populasi dan keterbatasan yang dimiliki peneliti maka partisipan penelitian yang dipilih adalah sebagian dari keseluruhan populasi yang dinamakan sampel (Field, 2009). Pengambilan sampel digunakan untuk menggeneralisasikan sampel dan menarik kesimpulan sampel sebagai sesuatu yang berlaku bagi populasi (Azwar,2010). Menurut Azwar tidak ada angka yang dikatakan pasti mengenai berapa jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian. Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 150 masyarakat Aceh yang tinggal di kota Banda Aceh.
3. Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik
non probability, dalam teknik non probability tidak semua individu dalam populasidiberi peluang yang sama untuk ditugaskan menjadi anggota sampel. Teknik non probability yang digunakan dalam penelitian ini adalah incidental sampling. Metode ini merupakan salah satu teknik
nonprobability sampling yang memiliki ciri-ciri mengambil sampel secara acak ditempat yang tidak ditentukan (kebetulan) berdasarkan kriteria
(40)
sampel yang dibutuhkan. Hal ini digunakan untuk memudahkan penelitian (Sugiono, 2008).
D. METODE PENGUMPULANDATA
Dalam usaha mengumpulkan data penelitian diperlukan suatu metode. Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode skala dan wawancara personal sebagai alat ukur tambahan. Metode skala yaitu suatu metode pengumpulan data yang merupakan suatu daftar pertanyaan yang harus dijawab oleh subjek secara tertulis (Hadi, 2000). Sedangkan wawancara personal digunakan untuk mengeksplorasi hasil penelitian dengan lebih dalam.
1. Skala Sikap
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan skala psikologi yang berbentuk skala Likert. Skala ini disusun untuk mengungkap sikap subjek berupa sikap positif dan negatif, setuju dan tidak setuju, serta pro dan kontra terhadap suatu objek. Metode skala digunakan mengingat data yang ingin diukur berupa konstrak atau konsep psikologis yang dapat diungkap secara tidak langsung melalui indikator-indikator perilaku yang diterjemahkan dalam bentuk aitem–aitem pernyataan (Azwar, 2010). Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan skala sikap.
(41)
Skala ini bertujuan untuk melihat sikap subjek sebagai kesimpulan apakah subjek memiliki sikap positif atau negatif tehadap jinamee tinggi. Disusun atas tiga komponen yang membentuk sikap yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif. Skala ini akan terdiri dari aitem dengan empat pilihan jawaban yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS) dan terdiri dari aitem favorable dan unfavorable. Bobot penilaian favourable adalah 4 untuk jawaban Sangat Setuju (SS), 3 untuk jawaban Setuju, 2 untuk pilihan jawaban Tidak Setuju (S), 1 untuk pilihan jawaban Sangat Tidak Setuju (STS). Sementara bobot penilaian unfavourable yakni 1 untuk jawaban Sangat Setuju (SS), 2 untuk jawaban Setuju, 3 untuk pilihan jawaban Tidak Setuju (S), 4 untuk pilihan jawaban Sangat Tidak Setuju (STS).
2. Wawancara Personal
Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu dan untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti, dan bermaksud mengadakan eksplorasi terhadap isu tersebut (Poerwandari, 2007).
Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan secara personal dan dilakukan kepada empat orang subjek yaitu ustad, pemuka adat, dan masyarakat laki-laki dan perempuan. Metode wawancara ini bersifat
(42)
sebagai penyedia data untuk membahas studi kasus mengenai bagaimana sikap terhadap jinamee tinggi.
E. UJI VALIDITAS, UJI DAYA BEDA AITEM, DAN UJI RELIABILITAS
1. Uji Validitas
Azwar (2003) mendefinisikan validitas tes atau validitas alat ukur adalah sejauh mana tes itu mengukur apa yang dimaksudkannya untuk diukur, artinya derajat fungsi mengukurnya suatu tes atau derajat kecermatan suatu tes. Untuk mengkaji validitas alat ukur dalam penelitian ini, peneliti melihat alat ukur berdasarkan arah isi yang diukur yang disebut dengan validitas isi (content validity). Dalam penelitian ini, validitas alat ukur ditentukan melalui pendapat profesional (professional judgement) dalam proses telaah soal.Pengujian validitas ini dilakukan dengan cara analisis rasional atau professional judgement dengan dosen pembimbing dan pihak-pihak yang ahli di bidangnya.
Tabel 1. Distribusi Aitem Skala Sikap Sebelum Uji Coba
Komponen Favourable Unfavorable Jumlah
Aitem
Bobot
Kognitif 1, 2, 4, 7, 11, 13, 14, 15, 20,
21, 33
3, 6, 8, 9, 17, 19, 25, 27
19 44,1%
Afektif 10, 22, 34, 36, 37
16, 26, 29, 31, 42, 43
(43)
Konatif 5, 12, 18, 24, 28, 32, 35, 38
23, 30, 39, 40, 41
13 30,2%
Total 43 100%
2. Uji Daya Beda Aitem
Pengujian reliabilitas terhadap hasil ukur skala dilakukan bila aitem-aitem yang terpilih lewat prosedur analisis aitem telah dikompilasi menjadi satu. Reliabilitas mengacu kepada konsistensi atau kepercayaan hasil ukur, yang mengandung makna kecermatan pengukuran (Azwar, 2003).
Daya beda aitem diperoleh dengan cara mengkorelasikan skor aitem dengan skor total. Koefisien korelasi aitem dengan skor total harus signifikan, untuk memperoleh skor total digunakan teknik korelasi
PearsonProduct Moment (Azwar,2003). Semakin tinggi korelasi positif antara skor aitem dengan skor total maka semakin tinggi pula konsistensi antara aitem tersebut dengan skor total yang diperoleh, sehingga daya bedanya juga semakin tinggi. Bila koefisien korelasinya rendah atau mendekati 0 (nol), maka berarti fungsi aitem tersebut tidak cocok dengan fungsi alat ukur tes dan daya bedanya tidak baik. Apabila korelasi berharga negatif, maka dapat diartikan terdapat cacat pada aitem tersebut. Penghitungannyadilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 20 for windows.Batasan nilai indeks daya beda item dalam penelitian ini
(44)
yang akan digunakan dalam pengambilan data yang sebenarnya.
Tabel 2. Distribusi Aitem Skala Sikap Setelah Uji Coba
Komponen Favourable Unfavorable Jumlah
Aitem
Bobot
Kognitif 1, 2, 4, 7, 11, 13, 14, 15, 20,
21, 33
3, 6, 8, 9, 17, 19, 25, 27
19 44,18%
Afektif 10, 22, 34, 36, 37
16, 26, 29, 31, 42, 43
11 25,58%
Konatif 5, 12, 18, 24, 28, 32, 35, 38
23, 30, 39, 40, 41
13 30,23%
Total 43 100%
Nomor yang ditebalkan berarti memiliki daya diskriminasi < 0,3
3. Uji Reliabilitas
Reliabilitas mengacu kepada kekonsistenan alat ukur yang menunjukkan suatu pengukuran dapat memberi hasil yang relatif sama bila diukur kembali pada subjek yang sama. Uji reliabilitas alat ukur ini menggunakan pendekatan konsistensi internal dimana prosedurnya hanya memerlukan satu kali pengenaan tes kepada sekelompok individu sebagai subjek. Pendekatan ini dipandang ekonomis, praktis, dan memiliki efisiensi yang tinggi. Pengujian reliabilitas alat ukur dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan bantuan program SPSS versi 20 for windows dan estimasi reliabilitas dilihat dengan menggunakan koefisien
(45)
alpha cronbach, yaitu suatu bentuk tes yang hanya memerlukan satu kali pengenaan tes tunggal pada sekelompok individu sebagai subjek dengan tujuan untuk melihat konsistensi antar item atau antar bagian dalam skala. Teknik ini dipandang ekonomis dan praktis (Azwar, 2003).
Pengujian reliabilitas alat ukur diujicobakan kepada 90 masyarakat Aceh. Berdasarkan dari hasil penghitungan reliabilitas dengan menggunakan formula alpha cronbach didapatkan koefisien reliabilitas dari skala sikap adalah sebesar 0,942. Azwar (2003) mengatakan bahwa nilai reliabilitas yang koefisiennya mencapai minimal rxx’ = 0,900 dianggap memuaskan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa nilai reliabilitas dari skala sikap ini sangat memuaskan dan menunjukkan bahwasanya alat ukur ini reliabel untuk digunakan.
Tabel 3. Distribusi Aitem Skala Sikap yang Digunakan Dalam Penelitian
Komponen Favourable Unfavorable Jumlah
Aitem
Bobot
Kognitif 1, 3, 9, 11, 12, 13, 18, 19, 28
2, 5, 6, 7, 15, 17, 22, 24
17 48,57%
Afektif 8, 20, 29, 30, 31
14, 23, 27, 34, 35
10 28,57%
Konatif 4, 10, 16, 25, 32
21, 26, 33 8 22,85%
(46)
F. PROSEDUR PELAKSANAAN PENELITIAN
Prosedur pelaksanaan penelitian terdiri dari 3 tahap. Ketiga tahap tersebut adalah tahap persiapan penilitian, tahap pelaksanaan penelitian dan tahap pengolahan data.
1. Persiapan Penelitian
Pada tahapan ini peneliti melakukan langkah-langkah sebagai berikut: a. Pada tahap awal penelitian, peneliti akan membuat alat ukur
berdasarkan tiga komponen sikap. Kemudian peneliti membuat skala dalam bentuk model Likert yang terdiri dari skala sikap.
b. Setelahskala selesai dibuat, maka aitem-aitem yang telah dibuat akan dianalisis terlebih dahulu olehprofessional judgement, yakni dosen pembimbing.
c. Peneliti akan menguji coba atau melakukan try out terhadap subjek yang memiliki kriteria yang sama dengan kriteria penelitian. Uji coba ini bertujuan untuk menseleksi aitem yang benar-benar sesuai dengan variabel yang hendak diukur.
d. Selanjutnya peneliti melakukan uji coba alat ukur, peneliti menguji daya beda aitem, validitas dan reliabilitas kedua skala dengan menggunakan bantuan aplikasi komputer SPSS versi 20 for Windows. Setelah diketahui aitem-aitem mana saja yang memenuhi validitas dan
(47)
reliabilitasnya, peneliti mengambil aitem-aitem yang sesuai untuk dijadikan aitem-aitem dalam skala.
2. Pelaksanaan Penelitian
Setelah peneliti melakukan uji coba, merevisi alat ukur dan telah menyusun kembali aitem-aitem yang sesuai pada saat uji coba, maka peneliti mengambil data penelitian pada masyarakat Aceh sebanyak 150 orang. Pengambilan sampel ini dilakukan dengan menggunakan teknik
incidental sampling, peneliti juga melakukan wawancara kepada empat orang partisipan penelitian.
3. Pengolahan Data
Setelah diperoleh data dari skala sikap pada masing-masing sampel, maka dilakukanlah pengolahan data dengan mengunakan metode statistik. Pengolahan data menggunakan bantuan program aplikasi komputer SPSS.
G. METODE ANALISIS DATA
Dalam penelitian ini digunakan teknik analisa dataone sample t-test,independent-sample t-test dan uji one way anova yang mengujikan nilai rata-rata para partisipan dengan titik tengah skala. Dalam hal ini, rentang skor rentang yang mungkin adalah antara 1 sampai dengan 4, dengan titik tengah 2,5. Data yang berhasil dikumpulkan kemudian diolah dengan menggunakan bantuan program SPSS versi 20 for windows. Peneliti juga melakukan wawancara personal guna mengeksplorasi studi kasus mengenai jinamee
(48)
tinggi di Aceh. Wawancara personal dilakukan berdasarkan pedoman wawancara dari teori sikap.
1. Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data penelitian yang dianalisis sudah terdistribusi sesuai dengan prinsip-prinsip distribusi normal agar dapat digeneralisasikan terhadap populasi. Pada penelitian ini uji normalitas ini dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov Smirnov
dengan bantuan SPSS version 20.0 for windows. Data dikatakan terdistribusi normal jika nilai p >0.05 (Hadi,2000).
(49)
BAB IV
HASIL ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
Bab ini akan diuraikan mengenai keseluruhan hasil penelitian. Pembahasan pada bab ini dimulai dengan gambaran umum subjek penelitian dan hasil penelitian yang berkaitan dengan analisis data penelitian sesuai dengan permasalahan dan analisa data tambahan yang ada.
A. Gambaran Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini berjumlah 150orang yang keseluruhannya adalah masyarakat Aceh yang berada di Kota Banda Aceh. Subjek dalam penelitian ini dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan usia.
1. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin
Subjek dalam penelitian ini dibedakan berdasarkan jenis kelamin, penyebarannya adalah sebagai berikut:
Tabel 4. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin N % dari total N
Laki-laki 53 35,33%
Perempuan 97 64,66%
2. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Subjek dalam penelitian ini dibedakan berdasarkan tingkat pendidikan, penyebarannya adalah sebagai berikut:
(50)
Tabel 5. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tingkat Pendidikan N % dari total N
SMA 23 15,33%
D3 28 18,66%
D4 14 9,33%
S1 51 34%
S2 34 22,66%
3. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia
Subjek dalam penelitian ini dibedakan berdasarkan usia dengan 5 pengelompokan kategori usia, yaitu: 18-30 tahun, 31-40 tahun, 41-50 tahun, 51-60 tahun, dan 61-63 tahun,, dengan penyebaran sebagai berikut:
Tabel 6. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia
Usia N % dari total N
Usia 18-30 Tahun 64 42,66%
Usia 31-40 Tahun 41 27,33%
Usia 41-50 Tahun 25 16,66%
Usia 51-60 Tahun 14 9,33%
Usia 61-63 Tahun 6 4%
B. Hasil Uji Asumsi Penelitian
Sebelum menganalisa data utama penelitian dengan t-test, maka terlebih dahulu dilakukan pengujian asumsi penelitian. Uji asumsi penelitian terdiri dari uji normalitas.
(51)
1. Uji Normalitas Sebaran
Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah sampel penelitian telah menyebar secara normal dan perlu dilakukan untuk menentukan analisa data selanjutnya (Sugiyono, 2002). Uji normalitas sebaran dilakukan dengan menggunakan Kolmogorov-Smirnov.
Tabel 7. Hasil Uji Normalitas
Variabel Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed)
Sikap .772 .590
Berdasarkan tabel 7, diperoleh nilai z sebesar 1,277 dan nilai signifikansi (p) sebesar .590 . Oleh karena nilai p > 0,05 maka data penelitian ini dikatakan terdistribusi normal.
C. Hasil Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah ingin menggambarkan bagimana gambaran umum mengenai sikap terhadap jinamee tinggi pada masyarakat Aceh, gambaran sikap terhadap jinamee tinggi pada masyarakat Aceh dilihat dari jenis kelamin dan tingkat pendidikan. Tujuan penelitian ini juga ingin mengetahui berapa gambaran jumlah jinamee tinggi dan jinamee rendah menurut masyarakat Aceh.
1. Gambaran Sikap Terhadap Jinamee Tinggi Pada Masyarakat Aceh
Untuk menentukan bagaimana sikap masyarakat Aceh terhadap
(52)
mengujikan nilai rata-rata para partisipan dengan titik tengah skala. Dalam hal ini, rentang skor rentang yang mungkin adalah antara 1 sampai dengan 4, dengan titik tengah 2,5. Apabila nilai rata-rata partisipan lebih rendah secara signifikan dari titik tengah, maka rata-rata partisipan memiliki kecenderungan sikap negatif negatif terhadap jinamee tinggi. Sebaliknya, apabila rata-rata partisipan lebih tinggi secara signifikan dari titik tengah, maka rata-rata partisipan secara umum memiliki sikap positif terhadap jinamee tinggi.
Secara umum, partisipan memiliki sikap yang cenderung negatif terhadap jinamee tinggi, t(149) = 51,891 = 0,001. Berdasarkan jenis kelamin, analisis independent samples t-test menunjukkan bahwa laki-laki (M = 1,70; SD = 0,33) memiliki sikap yang lebih negatif daripada perempuan (M = 2,28; SD = 0,43), dengan t(148), p = 0,001. Analisis one way anova menunjukkan adanya perbedaan sikap terhadap jinamee tinggi yang signifikan berdasarkan tingkat pendidikan (F = 34,786) ; (df 1 = 4) ; (df 2 = 145) ; (P = 0,001). Secara berurutan, hanya masyarakat berpendidikan SMA yang memiliki sikap positif terhadap jinamee tinggi (M = 2,65; SD = 0,37), selanjutnya masyarakat yang berpendidikan D4 memiliki sikap negatif terhadap jinamee tinggi (M = 1,69; SD = 1,65), S2 (M = 1,80; SD = 0,37), D3 (M = 1,91; SD = 0,20), dan S1 (M = 2,16; SD = 0,52).
(53)
2. Jumlah Jinamee Tinggi Menurut Masyarakat Aceh
Tabel 8. Jumlah Jinamee Tinggi Menurut Masyarakat Aceh
Jumlah N % dari total N
5 s/d 10 Mayam Emas 9 6%
11 s/d 15 Mayam Emas 11 7,33%
16 s/d 20 Mayam Emas 15 10%
21 s/d 25 Mayam Emas 21 14%
26 s/d 30 Mayam Emas 36 24%
31 s/d 40 Mayam Emas 24 16%
50 Mayam Emas 19 12,66%
70 Mayam Emas 5 3,33%
80 Mayam Emas 4 2,66%
100 Mayam Emas 6 4%
3. Jumlah Jinamee Rendah Menurut Masyarakat Aceh
Tabel 9. Jumlah Jinamee Rendah Menurut Masyarakat Aceh
Jumlah N % dari total N
1 s/d 4 Mayam Emas 29 19,33%
5 s/d 10 Mayam Emas 57 38%
11 s/d 15 Mayam Emas 46 30,66%
16 s/d 20 Mayam Emas 18 12%
D. Hasil Analisa Wawancara Personal
Setelah dilakukan analisa deskriptif data utama penelitian ini maka kemudian dilakukan analisa tambahan yaitu wawancara personal secara kualitatif dengan beberapa subjek untuk mengeksplorasi studi kasus mengenai sikap terhadap jinamee tinggi di Aceh. Wawancara personal
(54)
dilakukan pada empat orang subjek penelitian, yaitu ustad, pemuka adat, masyarakat laki-laki dan perempuan.
1. Hasil Analisa Data Wawancara Personal a. Analisa Data Subjek 1
Tabel 10. Gambaran Umum Subjek 1
Keterangan Subjek 1
Nama ND
Jenis Kelamin Laki-laki
Usia 63 tahun
Suku Aceh
Pendidikan Terakhir Sarjana
Pekerjaan Penceramah, Ustad
Kognitif
Menurut pemahaman (kognitif) ND, beliau tidak setuju terhadap fenomena jinamee tinggi di Aceh. ND menyatakan bahwa
jinamee tinggi tidak harus dipenuhi dalam sebuah pernikahan.
Jinamee tinggi dapat menimbulkan dampak negatif seperti terhambatnya pernikahan, memberatkan pihak laki-laki sebagai syarat pernikahan, sehingga banyak yang memilih berhutang atau kredit. ND juga menyatakan sesuai dengan anjuran agama, sebaiknya jumlah jinamee tidak memberatkan pihak laki-laki dalam sebuah pernikahan. Menurutnya, apabila jinamee sudah terpenuhi dalam sebuah pernikahan, maka pernikahan sudah dapat dikatakan sah secara agama. Oleh karena itu, ND memiliki pemahaman yang negatif terhadap fenomena jinamee tinggi. Beliau juga
(55)
menambahkan bahwa jinamee tinggi bukanlah patokan harga diri dari seorang perempuan.
“Jinamee itukan tidak harustinggi, jinamee sedikit juga tidak masalah yang pentingkan itu sah kalau kita nikah. Lagian
jinamee tinggi-tinggi kali juga gak baik yang ada banyak orang nikah utang sana sini dan nikahnya jadi lama. Dan harga diri perempuan itu juga tidak ada hubungan dengan
jinamee tinggi.”
(Komunikasi Personal, 10 November 2014)
Afektif
ND merasa tidak menyukai jinamee tinggi, dan kecewa terhadap fenomena jinamee tinggi. Menurutnya, sebagai daerah
Serambi Mekkah, seharusnya masyarakat Aceh tidak mempermasalahkan jinamee tinggi sebagai syarat dalam sebuah pernikahan. Pemikirannya tersebut juga sesuai dengan ajaran agama, bahwa sebaik-baiknya perempuan adalah yang maharnya ringan. ND juga menambahkan, masyarakat Aceh sebagai mayoritas umat muslim hendaknya mengikuti yang dianjurkan oleh agama. Oleh karena itu, dampak negatif yang ditimbulkan seperti perzinahan, hamil diluar nikah, bertambahnya laki-laki dan perempuan yang melajang dapat dikurangi.
“Sebagai daerah yang terkenal dengan Serambi Mekkah saya merasa kecewa terhadap fenomena jinamee tinggi itu.”
(Komunikasi Personal, 10 November 2014)
“Tidak sukalah dengan jinamee tinggi itu.”
(56)
Konatif
ND tidak melarang pemberian jinamee tinggi pada masyarakat Aceh. Namun, beliau menghimbau dan menyarankan kepada masyarakat Aceh agar menghindari penerapanjinamee yang terlalu tinggi sebagai syarat dalam sebuah pernikahan. ND juga menambahkan, bahwa dengan menghindari pemberian jinamee
tinggi akan meringankan syarat sebuah pernikahan.
“Tidak usah diikuti saja. Yang penting ada mahar sedikit aja pernikahan sudah sah.”
(Komunikasi Personal, 10 November 2014)
b. Analisa Data Subjek 2
Tabel 11. Gambaran Umum Subjek 2
Keterangan Subjek 2
Nama TR
Jenis Kelamin Laki-laki
Usia 59 tahun
Suku Aceh
Pendidikan Terakhir Sarjana
Pekerjaan Pegawai Negri Sipil, Tokoh Adat
Kognitif
Menurut pemahaman TR, jinamee tinggi itu memiliki tujuan. Menurutnya, jinamee tinggi merupakan harga diri dari kedua belah pihak baik perempuan dan laki-laki. Apabila pihak laki-laki mampu memberikan jinamee tinggi kepada calon istrinya, maka pihak laki-laki akan dipandang memiliki kemampuan secara materil. Hal
(57)
tersebut secara tidak langsung akan menaikkan harga diri pada pihak laki-laki. Begitu juga halnya dengan pihak perempuan, apabila pihak perempuan diberikan jinamee tinggi, maka secara tidak langsung pihak perempuan dan keluarganya merasa dihargai dan dimuliakan.
“Nyan jinamee tinggikan na maksud. Kon sembarang meunan. Jinamee itukan itu tanda harga diri perempuan dan keluarganya. Kalau laki-laki memberi jinamee dalam jumlah besarkan bagus juga untuk laki-laki itu berarti ia laki-laki baik dan terhormat.
(Komunikasi Personal, 10 November 2014)
TR juga menjelaskan bahwa dibalik pemberian jinamee
tinggi, salah satu keutamaannya yaitu menantu laki-laki diizinkan untuk tinggal satu atap dengan mertuanya. Sehingga pihak laki-laki tidak merasa dibebani dengan urusan tempat tinggal. Selama masih bersama-sama tinggal dengan mertua, maka suami tidak mempunyai tanggung jawab terhadap rumah tangga dan yang bertanggung jawab adalah mertua (ayah perempuan). Selain itu
jinamee tinggi tersebut memiliki maksud dimana sebagai balasannya, pihak keluarga perempuan akan memberikan
peunulang (pemberian setelah dipisahkan), yaitu berbentuk rumah atau sepetak tanah sawah sesuai dengan kemampuan orang tua perempuan. Oleh karena itu, permintaan terhadap jinamee tinggi, merupakan hal yang wajar bagi masyarakat Aceh dan merupakan sebuah adat yang sudah berlaku turun-temurun dilakukan.
(58)
“Nanti setelah mereka menikah mereka tinggal dirumah si
perempuan jadi si laki-laki tidak perlu memikirkan urusan rumah lagi. Terus nanti mereka diberi rumah atau tanah sama orangtua istri namanya peunalong.”
(Komunikasi Personal, 10 November 2014)
TR juga menambahkan bahwa tingginya jinamee juga dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, status sosial, dan keadaan kondisi keluarga. Semakin baik latar belakang yang dimiliki oleh pihak perempuan, maka semakin tinggilah jinamee
yang akan diperoleh perempuan tersebut. Hal tersebut sesuai dengan penuturan subjek sebagai berikut:
“Zaman sekarang kita lihat hampir tidak adakan perempuan
yang tidak berpendidikan. Sekarang hampir semua perempuan itu memiliki pendidikan, keluarganya juga sudah membesarkan anak perempuannya dengan baik, jadi wajar kalau permintaan terhadap jinamee itu tinggi.”
(Komunikasi Personal, 10 November 2014)
“Jinamee tinggi itu juga dilihat dari pendidikan, status sosial,
dan latar belakang si perempuan dan keluarganya.”
(Komunikasi Personal, 10 November 2014)
Manfaat lain dari pemberian jinamee tinggi, yaitu dapat digunakan sewaktu-waktu apabila rumah tangganya mengalami suatu masalah. Misalnya, jinamee tersebut dapat dijual atau digadaikan untuk dapat memenuhi kebutuhan keluarga ataupun menyelesaikan masalah di dalam keluarga. Hal tersebut juga sesuai dengan penuturan subjek sebagai berikut:
(59)
“Jinamee itu nanti akan berguna dalam berumah tangga. Nanti dapat digunakan misal dijual atau digadai kalau terjadi apa-apa didalam rumah tangga.”
(Komunikasi Personal, 10 November 2014)
Afektif
TR merasa bangga dengan salah satu adat Aceh yang memberikan jinamee tinggi pada perempuan. Menurutnya, hal tersebut merupakan sebuah kekhasan ataupun keunikan dari budaya Aceh. Selain itu, pemberian jinamee tinggi juga merupakan simbol ataupun sebagai tanda untuk memuliakan seorang perempuan. Pemberian jinamee tinggi juga merupakan sebuah hadiah agar pihak perempuan dapat memulai hidup barunya dengan lebih baik. Oleh karena itu dengan adanya jinamee tinggi, maka keluarga dari pihak perempuan tidak perlu merasa khawatir ketika melepaskan anak perempuannya untuk menikah.
“Kita patut bangga karena jinamee itu merupakan tanda
bahwa kita memuliakan. Itu salah satu khas di tempat kita.”
(Komunikasi Personal, 10 November 2014)
Konatif
TR juga menyarankan agar masyarakat Aceh tetap mengikuti aturan adat yang berlaku di dalam masyarakat Aceh. Hal tersebut dikarenakan pemberiaan jinamee tinggi adalah sebuah keunikan budaya Aceh yang membedakannya dari budaya lain. Meskipun anjuran agama tidak memerintahkan untuk memberikan mahar
(60)
yang tinggi, namun pemberian jinamee yang tinggi juga bukan merupakan hal yang melanggar dalam agama.
“Tidak ada salahnya mengikuti adat, selama itu juga tidak
melanggar agama.
(Komunikasi Personal, 10 November 2014)
c. Analisa Data Subjek 3
Tabel 12. Gambaran Umum Subjek 3
Keterangan Subjek 3
Nama NS
Jenis Kelamin Laki-laki
Usia 26 tahun
Suku Aceh
Pendidikan Terakhir Sarjana
Pekerjaan Karyawan
Kognitif
Menurut NS, jinamee tinggi itu menyusahkan pihak laki-laki. Selain itu jinamee tinggi mempersulit pernikahan. Untuk mengumpulkan jinamee tinggi laki-laki harus bekerja keras, belum lagi memikirkan duit hantaran dan lain-lain. Selanjutnya NS menjelaskan bahwa untuk jinamee tinggi tersebut laki-laki terpaksa menghabiskan tabungannya. Bahkan banyak laki-laki yang berhutang atau melakukan kredit. Sehingga setelah menikah gaji terpaksa dipotong demi melunasi hutang-hutang tersebut.
“Jinamee tinggi membuat kami para pria kesusahan. Nikah nikah pun jadi susah. Habis duit kami, makanya anak laki banyak hutang karena uang jinamee sekarang mahal-mahal
kali. Udah nikah gaji kami pun kurang karena bayar utang.”
(61)
NS menambahkan bahwa menurutnya jinamee itu tidak mesti tinggi, disesuaikan dengan kemampuan si laki-laki. Bila laki-laki tersebut sanggup memenuhi maka tidak masalah, namun bila ada laki-laki yang merasa sulit sebaiknya disesuai dengan kemampuan si laki-laki saja.
“Maunya sesuai dengan semampu si pria aja. Kalau laki-lakinya banyak duit dan sanggup ya gak masalah, tapi kek mana dengan laki-laki yang tidak mampu. Makanya sebaiknya disesuaikan dengan kemampuan pria.”
(Komunikasi Personal, 10 November 2014)
Afektif
NS merasa tidak senang dengan pemberian jinamee tinggi kepada wanita. Hal ini dikarenakan jinamee tinggi menyulitkan para laki-laki untuk menikah.
“Yaa gimana mau senang kalau jinamee tinggi itu
menyulitkan kami, hehe.. ”
(Komunikasi Personal, 10 November 2014)
Konatif
NS tidak ingin jinamee tinggi ini diterapkan dalam oleh masyarakat. NS menolak penerapan jinamee tinggi dan menganjurkan jinamee disesuaikan dengan kemampuan laki-laki.
“Saya tidak mau orang Aceh semuanya kalo nikah jinamee
nya harus tinggi. Udah semampu pria aja.”
(62)
d. Analisa Data Subjek4
Tabel 13. Gambaran Umum Subjek 4
Keterangan Subjek4
Nama Sarah
Jenis Kelamin Perempuan
Usia 27 tahun
Suku Aceh
Pendidikan Terakhir Magister
Pekerjaan Ibu Rumah Tangga
Kognitif
Menurut pemahaman Ibu Sarah, jinamee tinggi itu menunjukkan harga diri seorang perempuan.
“Kalau diberi jinamee yang tinggi itu menunjukkan harga
diri kita.”
(Komunikasi Personal, 10 November 2014) Ibu sarah juga menjelaskan bahwa dengan adanya patokan
jinamee yang diberikan kepada pihak laki-laki maka laki-laki akan bekerja keras dan berjuang untuk mengumpulkan jinamee tersebut, sehingga laki-laki yang akan kita nikahi adalah laki-laki yang pekerja keras dan bertanggung jawab.
“Dengan adanya jinamee tinggi laki-laki akan bekerja keras untuk mendapatkan wanitanya dan ia akan bekerja dan pasti
akan bertanggung jawab sama kita.”
(Komunikasi Personal, 10 November 2014)
Afektif
Ibu Sarah merasa dihargai dan senang terhadap pemberian
(63)
merupakan suatu bukti atau simbol bahwa perempuan merasa dihargai dan pasti akan senang.
“Dengan adanya pemberian jinamee tinggi tadi pasti perempuan merasa dihargai dan pastilah senang.”
(Komunikasi Personal, 10 November 2014)
Konatif
Ibu Sarah ingin jinamee tinggi ini diterapkan dalam keluarganya. Ibu Sarah akan menentang pemberian jinamee yang rendah terhadap perempuan. Ibu Sarah juga menganjurkan pihak laki-laki untuk memberi jinamee tinggi kepada calon istrinya.
“Kalau dalam keluarga saya, perempuan harus diberi jinamee tinggi. Saya juga nentang anak gadis dalam keluarga saya yang dikasih jinamee nya dikit. Itu uda turun
menurun dari nenek dan Ibu saya.”
(Komunikasi Personal, 10 November 2014)
2. Kesimpulan Interpretasi Data Hasil Wawancara Personal
Subjek 1 yaitu ND memiliki sikap yang negatif terhadap jinamee
tinggi. Hal ini terlihat dari pendapat ND yang menyatakan bahwa jinamee
tinggi dapat menimbulkan dampak negatif seperti terhambatnya pernikahan, memberatkan pihak laki-laki sebagai syarat pernikahan, sehingga banyak yang memilih berhutang atau kredit. ND juga menyatakan sesuai dengan anjuran agama, sebaiknya jumlah jinamee tidak memberatkan pihak laki-laki dalam sebuah pernikahan.
(64)
ND tidak menyukai jinamee tinggi, dan kecewa terhadap fenomena
jinamee tinggi. Menurutnya, sebagai kota Serambi Mekkah, seharusnya masyarakat Aceh tidak mempermasalahkan jinamee tinggi sebagai syarat dalam sebuah pernikahan. Pemikirannya tersebut juga sesuai dengan ajaran agama, bahwa sebaik-baiknya perempuan adalah yang maharnya ringan. ND juga menambahkan, masyarakat Aceh sebagai mayoritas umat muslim hendaknya mengikuti yang dianjurkan oleh agama. Oleh karena itu, dampak negatif yang ditimbulkan seperti perzinahan, hamil diluar nikah, bertambahnya laki-laki dan perempuan yang melajang dapat dikurangi.
ND tidak melarang pemberian jinamee tinggi pada masyarakat Aceh. Namun, beliau menghimbau dan menyarankan kepada masyarakat Aceh agar menghindari penerapanjinamee yang terlalu tinggi sebagai syarat dalam sebuah pernikahan. ND juga menambahkan, bahwa dengan menghindari pemberian jinamee tinggi akan meringankan syarat sebuah pernikahan.
Subjek 2 memiliki sikap yang positif terhadap jinamee tinggi. Menurut pemahaman subjek 2 yaitu TR, jinamee tinggi itu memiliki tujuan. Menurutnya, jinamee tinggi merupakan harga diri dari kedua belah pihak baik perempuan dan laki-laki. Apabila pihak laki-laki mampu memberikan jinamee tinggi kepada calon istrinya, maka pihak laki-laki akan dipandang memiliki kemampuan secara materil. Hal tersebut secara tidak langsung akan menaikkan harga diri pada pihak laki-laki. Begitu juga
(1)
Aitem17 1,59 ,860 90
Aitem18 1,94 ,839 90
Aitem19 1,50 ,723 90
Aitem20 2,02 ,821 90
Aitem21 1,77 ,912 90
Aitem22 2,07 ,859 90
Aitem23 2,37 ,930 90
Aitem24 2,89 ,661 90
Aitem25 1,88 ,934 90
Aitem26 1,49 ,738 90
Aitem27 1,90 ,822 90
Aitem28 1,91 ,788 90
Aitem29 2,36 ,952 90
Aitem30 1,78 ,746 90
Aitem31 1,76 ,928 90
Aitem32 1,69 ,774 90
Aitem33 1,70 ,800 90
Aitem34 2,17 ,864 90
Aitem35 3,19 ,685 90
Aitem36 2,14 ,931 90
Aitem37 2,51 ,782 90
Aitem38 1,98 ,834 90
Aitem39 2,18 ,978 90
Aitem40 2,81 ,763 90
Aitem41 2,34 ,837 90
Aitem42 2,58 ,912 90
Aitem43 2,46 1,007 90
Summary Item Statistics
Mean Minimum Maximum Range Maximum / Minimum
Variance N of Items
Item Variances ,725 ,437 1,149 ,712 2,629 ,026 43
Item-Total Statistics
Scale Mean if Item Deleted Scale Variance if Item Deleted Corrected Item-Total Correlation Squared Multiple Correlation Cronbach's Alpha if Item
Deleted
(2)
aitem2 88,59 372,447 ,640 . ,940
aitem3 88,18 372,013 ,522 . ,941
aitem4 88,52 375,623 ,498 . ,941
aitem5 88,46 372,678 ,612 . ,940
aitem6 88,56 374,767 ,604 . ,941
aitem7 87,19 382,897 ,246 . ,943
aitem8 88,50 374,747 ,521 . ,941
aitem9 88,31 369,925 ,583 . ,940
Aitem10 87,97 368,864 ,662 . ,940
Aitem11 87,67 374,607 ,384 . ,942
Aitem12 88,31 372,127 ,623 . ,940
Aitem13 88,23 368,181 ,580 . ,940
Aitem14 88,24 372,479 ,645 . ,940
Aitem15 88,14 370,147 ,597 . ,940
Aitem16 87,87 364,813 ,715 . ,939
Aitem17 88,63 376,167 ,444 . ,941
Aitem18 88,28 366,607 ,759 . ,939
Aitem19 88,72 378,068 ,466 . ,941
Aitem20 88,20 372,724 ,578 . ,941
Aitem21 88,46 369,082 ,621 . ,940
Aitem22 88,16 367,728 ,706 . ,940
Aitem23 87,86 370,080 ,580 . ,940
Aitem24 87,33 385,303 ,230 . ,943
Aitem25 88,34 371,397 ,540 . ,941
Aitem26 88,73 375,501 ,547 . ,941
Aitem27 88,32 369,929 ,667 . ,940
Aitem28 88,31 370,509 ,678 . ,940
Aitem29 87,87 386,589 ,112 . ,944
Aitem30 88,44 378,677 ,429 . ,942
Aitem31 88,47 368,431 ,629 . ,940
Aitem32 88,53 385,285 ,192 . ,943
Aitem33 88,52 377,983 ,421 . ,942
Aitem34 88,06 370,682 ,609 . ,940
Aitem35 87,03 390,145 ,040 . ,944
Aitem36 88,08 364,926 ,729 . ,939
Aitem37 87,71 374,904 ,534 . ,941
Aitem38 88,24 369,108 ,683 . ,940
Aitem39 88,04 379,571 ,293 . ,943
Aitem40 87,41 388,335 ,093 . ,944
(3)
Aitem42 87,64 374,254 ,471 . ,941
Aitem43 87,77 370,024 ,533 . ,941
Scale Statistics
Mean Variance Std. Deviation N of Items
(4)
LAMPIRAN 3: HASIL UJI NORMALITAS
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
Sikap 150 72,71 17,160 39 115
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Sikap
N 150
Normal Parametersa,b Mean 72,71
Std. Deviation 17,160
Most Extreme Differences
Absolute ,063
Positive ,055
Negative -,063
Kolmogorov-Smirnov Z ,772
Asymp. Sig. (2-tailed) ,590
a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
(5)
LAMPIRAN 4: HASIL UJI ONE-SAMPLE T-TEST, UJI INDEPENDENT
SAMPLE T-TEST, DAN UJI ONE WAY ANOVA.
Hasil Uji
One-Sample T-TestSikap Terhadap
Jinamee Tinggi Pada
Masyarakat Aceh
One-Sample Statistics
N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Average 150 2,0773 ,49030 ,04003
One-Sample Test
Test Value = 0
t df Sig. (2-tailed) Mean Difference 95% Confidence Interval of the Difference
Lower Upper
Sikap 51,891 149 ,000 2,07733 1,9982 2,1564
Hasil Uji
Independent Sample T-Test Sikap Terhadap
Jinamee Tinggi Pada
Masyarakat Aceh Dilihat Dari Jenis Kelamin
Group Statistics
VAR00001 N Mean Std. Deviation Std. Error Mean Sikap Dilihat Dari Jenis
Kelamin
Laki-laki 53 1,7008 ,33892 ,04655
Perempuan 97 2,2831 ,43572 ,04424
Independent Sample T-Test
F Sig Sig (2-tailed)
(6)
Hasil Uji One Way Anova Sikap Terhadap Jinamee Tinggi Pada Masyarakat
Aceh Dilihat Dari Tingkat Pendidikan
ANOVA
Sikap Dilihat Dari Tingkat Pendidikan
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 19,536 4 4,884 34,786 ,000
Within Groups 20,358 145 ,140