Analisis Termal Pada Bangunan Konstruksi Kayu Rumah Pre-Pabrikasi Tahan Gempa Fahutan IPB.

(1)

1 I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hasil proyeksi Badan Pusat Statistik tahun 2008 menunjukan bahwa jumlah penduduk Indonesia selama 25 tahun mendatang terus meningkat yaitu dari 205,1 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 273,2 juta pada tahun 2025 (Lampiran 1). Dalam dekade 1990-2000, penduduk Indonesia bertambah dengan kecepatan 1,49 % per tahun. Meningkatnya laju pertumbuhan di Indonesia secara tidak langsung akan meningkatkan jumlah kebutuhan bangunan rumah tinggal di Indonesia. Oleh karena itu dibutuhkan suatu alternatif konstruksi bangunan yang mudah dan cepat dalam pembangunannya. Salah satu bahan bangunan yang dapat diaplikasikan secara cepat dan sumbernya mudah diperoleh adalah bahan kayu. Dalam penggunaannya, kayu dipengaruhi oleh sifat-sifatnya, yaitu sifat fisis, mekanis, kimia dan termal. Sifat tersebut dipengaruhi oleh jenis kayu, umur pohon, letak kayu dalam pohon, dan perbedaan tempat tumbuh. Sebagai bahan bangunan maka kayu harus memenuhi syarat tertentu seperti kerapatan, kembang susut, kekuatan dan keawetannya (Surjokusumo, 1982) dalam (Abdurachman dan Nurwati Hadjib, 2006).

Dalam perancangan desain bangunan, faktor lingkungan yang menjadi perhatian utama adalah intensitas radiasi, suhu, kelembaban, dan kecepatan udara. Jumlah radiasi matahari yang masuk kedalam bangunan dipengaruhi oleh jenis atap, luas penampang, dan bahan atap. Suhu dan kelembaban udara bergantung pada udara di lingkungan dan proses pindah panas yang terjadi akan membuat distribusi suhu di dalam bangunan menjadi berubah. Pengaruh lain adalah kecepatan dan laju aliran udara sesuai dengan bentuk ventilasi dan bahan penutup ventilasi.

Menurut Tri Endangsih (2005) kenyamanan bangunan erat hubungannya dengan kondisi alam atau lingkungan disekitarnya dan upaya pengkondisian atau pengaturan ruang dalam bangunan tersebut. Permasalahan yang dihadapi dalam penerapan aspek kenyamanan pada bangunan tergantung pada obyek bangunan yang dihadapi. Untuk bangunan yang menghendaki kualitas hunian


(2)

2 yang sempurna maka persyaratan terkait dengan kenyamanan penghuninya mutlak harus diadopsi dan diterapkan. Sehingga penentuan karakteristik lingkungan pada suatu bangunan, dalam hal ini bangunan hunian konstruksi kayu sangat dibutuhkan untuk mengetahui distribusi sifat-sifat lingkungan yang berpengaruh terhadap aktivitas penghuni pada bangunan tersebut.

Untuk mengetahui distribusi kondisi termal dalam bangunan rumah pre-pabrikasi tahan gempa maka diperlukan pengkajian dan analisis termal, dimana akan dipetakan dengan program komputer melalui surfer 8.0.

B. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui karakteristik lingkungan yang nyaman pada bangunan konstruksi kayu Fahutan.

2. Melakukan analisis termal pada bangunan konstruksi kayu.

3. Melakukan permodelan (pemetaan distribusi suhu) terhadap bangunan konstruksi kayu dengan menggunakan program komputer surfer 8.0.


(3)

3 II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Bangunan Konstruksi Kayu

Kebutuhan kayu sebagai bahan baku untuk berbagai keperluan terus meningkat. Demikian pula untuk keperluan bahan bangunan. Kayu-kayu yang beredar di pasaran sebagian besar berasal dari hutan alam yang dikelompokkan atas jenis-jenis komersial seperti mahoni (Swietenia macrophylla), akasia (Acacia mangium willd), jati (Tectona grandis), dan kayu campuran (borneo). Ketidak-seimbangan kecepatan antara pemanenan dan penanaman p a d a h u t a n k a y u menyebabkan pasokan kayu dari hutan kian menurun baik volume maupun mutunya yang mengakibatkan harga kayu menjadi relatif mahal (Abdurachman dan Nurwati Hadjib, 2006).

Abdurachman (2006) mengatakan bahwa berbagai upaya telah dilakukan dalam mengatasi keterbatasan jumlah pasokan kayu hutan antara lain dengan mengalihkan perhatian kepada jenis-jenis kayu yang berasal dari hutan rakyat atau hutan tanaman, terutama sebagai bahan baku industri pengolahan kayu, baik yang berskala kecil maupun besar. Demikian pula untuk keperluan bahan bangunan dan industri barang kerajinan. Oleh sebab itu, kayu yang berasal dari hutan tanaman maupun hutan rakyat yang potensinya cukup besar diharapkan dapat memenuhi kebutuhan kayu untuk berbagai keperluan tersebut. Di sisi lain, kayu yang dihasilkan dari hutan tanaman dan hutan rakyat pada umumnya merupakan jenis kayu cepat tumbuh (fast growing), seperti kayu akasia (Acacia mangium willd), sengon (Paraserianthes falcataria lnielsen) dan lain-lain. Jenis-jenis kayu yang sering dijumpai di hutan rakyat sebagai bahan bangunan antara lain kayu meranti, akasia, mindi, sengon, kihiang, kiputri, karet, pinus, kayu buah seperti kecapi, nangka, kemang, kemiri, manggis dan lain-lain yang memiliki diameter 30 –40 cm (Abdurachman dan Nurwati Hadjib, 2006). Ciri kualitas kayu gergajian umumnya memuat persyaratan mutu, hasil yang dipersyaratkan, kadar air, ukuran maksimum dan minimum yang digunakan (Lampiran 2). Jenis-jenis kayu tersebut relatif bermutu rendah karena selain berumur muda, juga mengandung banyak cacat seperti mata kayu, miring


(4)

4 serat, cacat bentuk dan sebagainya. Sehingga untuk dapat memenuhi persyaratan bahan konstruksi bangunan diperlukan teknologi yang tepat sesuai dengan tujuan penggunaannya.

Abdurachman (2006) menyatakan bahwa sebagai bahan konstruksi bangunan, kayu harus memenuhi syarat seperti memiliki kemampuan menahan bermacam-macam beban yang bekerja dengan aman dalam jangka waktu yang direncanakan, mempunyai ketahanan dan keawetan yang memadai melebihi umur pakainya, serta mempunyai ukuran penampang dan panjang yang sesuai dengan pemakainnya dalam konstruksi.

Jenis kayu yang berasal dari hutan rakyat ialah jenis kayu yang diusahakan atau dibudidayakan oleh rakyat dengan lokasi atau tempat tumbuh tidak teratur atau tidak terpola, biasanya ditanam pada areal dekat hutan alam/hutan tanaman atau tanah-tanah negara yang belum dimanfaatkan (Hak Guna Garap, HGG) dalam (Abdurachman dan Nurwati Hadjib, 2006).

Luas hutan rakyat di Indonesia adalah 1.568.415,63 ha dengan potensi 39.416.557 m3 dan jumlah pohon siap tebang 78.485.993 atau potensi produksi 19.621.480 m3 (dengan assumsi volume 0,25 m3/pohon). Hutan rakyat yang terkonsentrasi di Pulau Jawa, potensinya sekitar 23.578.787 m3 dari jenis akasia, bambu, jati, mahoni, pinus, sengon, sonokeling dan tisuk. Jumlah pohon siap tebang diperkirakan 77.214.541 pohon (19.303.480 m3). (Ditjen BPK, 2005) dalam (Abdurachman dan Nurwati Hadjib, 2006).

A.1 Bahan konstruksi

Abdurachman (2006) mengatakan bahwa bahan konstruksi adalah bahan yang dipergunakan untuk mendukung beban dalam arti memerlukan analisa atau perhitungan yang cukup cermat, dan untuk kayu mencakup bahan-bahan untuk kuda-kuda, jembatan, tiang pancang dan sebagainya.

Wirjomartono (1977) dalam (Abdurachman dan Nurwati Hadjib, 2006) menyatakan bahwa penggunaan kuda-kuda kayu dapat menghemat biaya sekitar 40-50% untuk daya dukungya dibandingkan jika


(5)

5 menggunakan baja. Diperkirakan sekitar 80% konsumsi kayu diperuntukkan pada bangunan rumah dan gedung, sedangkan yang 20% untuk perancah, jembatan, dermaga dan lain-lain. Penggunaan kayu untuk pembangunan jembatan dan tiang pancang tidak lebih dari 5%.

Menurut Abdurachman (2006) sampai abad ke-20 sebagian besar dari hampir semua bangunan perumahan dan struktur bangunan komersial dibangun dari kayu. Karena masih berlimpahnya sumber kayu menyebabkan hampir semua struktur bangunan perumahan, jembatan, bangunan komersial ringan, pabrik dan tiang menggunakan kayu solid. Sekarang bangunan tersebut lebih banyak menggunakan bahan kayu struktural yang lebih modern.

Hasil penelitian Karnasudirdja (1989) dalam (Abdurachman dan Nurwati Hadjib, 2006) menghasilkan bahwa glulam (bahan lapis dari balok kayu) yang dibuat dari meranti merah dan jati dengan perbandingan meranti merah : jati = 2,5 cm:1cm, menghasilkan nilai kekuatan yang tidak berbeda nyata dengan kekuatan yang dihasilkan dari glulam sejenis dengan porsi jati lebih tinggi. Hasil penelitian ini telah dapat digunakan oleh PT PAL untuk mengganti lambung jati menjadi lamina jati-meranti.

A.2 Bagian konstruksi bangunan

Abdurachman (2006) mengatakan bahwa dalam suatu konstruksi bangunan setidaknya terdiri dari beberpa elemen bangunan, yaitu :

1. Tanah

Pondasi harus memiliki kontur yang rata sesuai dengan daya dukung tanah yang diperlukan, , struktur yang kuat dan stabil serta mampu menahan beban bangunan.

2. Lantai

Kayu untuk lantai lebih disukai hardwood (kayu daun lebar) dan dengan kekerasan yang tinggi. Beberapa industri mensyaratkan kayu untuk lantai dipilih kayu yang bercorak indah, kelas kuat I-II dan kelas awet I-II. 3. Dinding


(6)

6 nilai kekuatan dan keawetan yang tinggi, saat ini lebih umum digunakan kayu lapis eksterior, papan partikel eksterior. Sedangkan untuk dinding di bagian dalam ruangan (interior) tidak diperlukan persyaratan yang tinggi. Pembuatan dinding, selain diperlukan kayu yang bercorak indah, juga kayu yang stabil dan awet, untuk berbagai keperluan dipersyaratkan mampu meredam suara (isolator). Kayu gergajian yang telah dicoba dibuat untuk partisi dinding antara lain kayu karet, mindi, kelapa dan mangium. Partisi dinding yang dibuat dari kayu karet yang diawetkan dengan boron menunjukkan penampilan yang mirip dengan ramin. Sedangkan yang dibuat dari kayu mangium menunjukkan menampilan seperti jati.

A.3 Dimensi beberapa jenis kayu di pasaran

Ukuran kayu rakyat dalam bentuk kayu gergajian bervariasi untuk setiap jenis kayu tertentu seperti kayu mahoni yang biasanya dipakai sebagai bahan mebel, kayu buah sebagai bahan kayu pertukangan dan konstruksi (Abdurachman dan Nurwati Hadjib, 2006). Spesifikasi ukuran balok untuk rangka dinding, kusen pintu kayu, kusen jendela kayu, daun pintu kayu dan daun jendela kayu untuk bangunan rumah dan gedung seperti pada Lampiran 2.

B. Bangunan pre-Pabrikasi Tahan Gempa

Pada dasarnya yang dimaksud dengan bangunan tahan gempa bukan berarti bangunan tersebut itu tidak akan mengalami kerusakan bila terjadi gempa. Bangunan tahan gempa memiliki kaidah sebagai berikut (Puslitbangkim, 2004) dalam ( Lina Karlina dan Naresworo, 2006):

1. Bila terjadi gempa ringan bangunan tidak akan mengalami kerusakan baik pada elemen struktur (kolom, balok, atap, dinding, dan pondasi) maupun pada elemen non-struktur (genteng dan kaca).

2. Bila terjadi gempa berkekuatan sedang, bangunan bisa mengalami kerusakan hanya pada elemen non-struktur. Sedangkan elemen strukturnya tidak boleh rusak.

3. Bila terjadi gempa berkekuatan besar, bangunan bisa mengalami kerusakan, baik pada elemen struktur maupun elemen non-strukturnya.


(7)

7 Namun kedua elemen tersebut tidak boleh membahayakan penghuni yang ada di dalam bangunan. Penghuni harus bisa mempunyai waktu untuk menyelamatkan diri sebelum bangunan runtuh.

4. Departemen Pemukiman dan Prasaran Wilayah dalam Lina Karlina (2006) menyatakan bahwa untuk memenuhi kinerja bangunan yang diharapkan, maka harus dipenuhi persyaratan bangunan tahan gempa sebagai berikut:

a. Bangunan harus terletak di atas tanah yang stabil.

b. Denah bangunan rumah sebaiknya sederhana dan simetris. c. Kualitas material dan campuran beton serta spesi/mortar harus

memadai.

d. Sloof diangkur ke pondasi.

e. Adanya balok ring yang diikat kaku dengan kolom. f. Setiap luasan dinding 10 m2 harus dipasang kolom praktis.

g. Dinding pasangan bata/batako dipasang angkur setiap jarak vertical 30 cm yang dijangkarkan ke kolom.

h. Seluruh kerangka bangunan harus terikat secara kokoh dan kaku. i. Rangka kuda-kuda, pada titik sambungan kayu diberi baut dan plat

pengikat.

j. Usahakan atap terbuat dari material yang ringan k. Pelaksanaan konstruksi harus baik

Lina Karlina dan Naresworo (2006) menyatakan bahwa stuktur bangunan berkayu memiliki stabilitas dan integritas struktur yang sangat tinggi. Kayu memiliki kekuatan dibanding berat yang jauh lebih tinggi dai pada baja dan beton sehingga bangunan kayu umumnya lebih ringan. Sambungan-sambungan komponen bangunan kayu bersifat kompak dan tidak mudah lepas. Kerusakan pada salah satu komponen bangunan kayu dapat diatasi karena kayu dapat mengambil posisi keseimbangan baru. Sifat-sifat demikian menyebabkan bangunan kayu lebih tahan terhadap gempa.


(8)

8 Ada beberapa sifat yang umum terdapat pada semua jenis kayu yaitu : 1. Kayu tersusun dari sel-sel yang memiliki tipe bermacam-macam dan

susunan dinding selnya terdiri dari senyawa kimia berupa selulosa dan hemi selulosa (karbohidrat) serta lignin (non karbohidrat).

2. Semua kayu bersifat anisotropik, yaitu memperlihatkan sifat-sifat yang berlainan jika diuji menurut tiga arah utamanya (longitudinal, radial dan tangensial).

3. Kayu merupakan bahan yang bersifat higroskopis, yaitu dapat menyerap atau melepaskan kadar air (kelembaban) sebagai akibat perubahan kelembaban dan suhu udara disekelilingnya.

Elemen bangunan terdiri atas elemen vertikal dan horizontal. Agar bangunan dapat bekerja dengan baik, elemen yang paling penting adalah sambungan. Secara umum bangunan rangka kayu tahan gempa harus memenuhi persyaratan berikut:

1. Rangka dinding harus dilengkapi batang-batang diagonal. 2. Balok pondasi diikat ke pondasi dengan baut jangkar. 3. Hubungan dan sambungan antar elemen harus kuat.

4. Terdapat pengaku untuk meningkatkan kekakuan bangunan karena bangunan kayu cenderung lebih fleksibel dibanding bangunan beton. 5. Atap diusahakan seringan mungkin.

6. Hubungan papan dengan rangka harus kuat.

7. Gunakan sambungan bibir miring berkait pada balok nok dan gording.

8. Sambungan dilakukan sejarak 1/6 bentang dari tumpuan. C. Kenyamanan Termal

Professor Fanger (1970); Morris G. Davis (2004) dari Technical University of Denmark beranggapan bahwa thermal comfort didefinisikan sebagai istilah keadaan fisik tubuh yang lebih baik daripada keadaan fisik lingkungan, apa yang benar-benar kita rasakan adalah suhu kulit dan bukan suhu udara. ASHRAE (American Society of Heating, Refrigerating and Air Conditioning Engineers ) mensyaratkan tingkat kenyamanan dipengaruhi oleh: suhu udara ruangan, kelembaban ruangan, dan kecepatan udara dalam ruangan


(9)

9 dengan batasan kenyamanan berada pada suhu efektif (effective themperature) 23oC – 27oC, kecepatan angin 0,1 - 1,5 m/s , kelembaban relatif (RH) antara 50-60%. Untuk kenyamanan termal dibutuhkan:

1. Thermal balance, yaitu nilai heat loss = nilai heat gain. Keseimbangan Termal pada setiap individu berbeda-beda, misalnya saat berkeringat, seseorang mungkin nyaman saat terjadi keringat dan dalam tubuhnya terjadi keseimbangan termal, namun tak sedikit pun orang yang merasa tidak nyaman saat tubuhnya berkeringat.

2. Mean skin themperature, harus berada pada level yang tepat untuk kenyamanan (suhu kulit untuk kenyamanan berkurang dengan bertambahnya aktivitas).

3. Sweating, kenyamanan adalah fungsi dari nilai sweating yang disukai, yang mana juga merupakan fungsi aktivitas dan laju metabolisme. Terdapat beberapa standar yang menentukan kenyamanan thermal. Dalam Standar ISO 7730 tahun 2000 disebutkan bahwa standar kenyamanan termal adalah sebagai berikut:

1. Kenyamanan termal didefinisikan sebagai keadaaan pikiran yang mengekspresikan kepuasan termal terhadap lingkungan termal.

2. Standar menunjukan cara untuk memperkirakan sensasi termal pada tubuh manusia terhadap derajat ketidakpuasan termal (thermal dissatisfaction) manusia.

3. Kondisi lingkungan yang bisa diterima untuk kenyamanan.

4. Modifikasi lingkungan indoor dengan tujuan untuk mencapai kenyamanan termal, atau lingkungan indoor agar idak terjadi terjadi penyimpangan kenyamanan.

Menurut Tri Harso (2001) dalam ilmu arsitektur dikenal paling sedikit empat macam kenyamanan: kenyamanan ruang, kenyamanan penglihatan, kenyamanan pendengaran, dan kenyamanan termal. Dalam kenyamanan termal, manusia merasakan sensasi panas atau dingin sebagai wujud respon dari sensor perasa pada kulit terhadap stimuli suhu di sekitarnya. Sensor perasa berperan menyampaikan rangsangan rasa kepada otak, dimana otak akan memberikan perintah kepada bagian-bagian tubuh tertentu agar melakukan


(10)

10 antisipasi guna mempertahankan suhu tubuh agar tetap berada pada sekitar 37oC sehingga organ tubuh dapat menjalankan fungsinya dengan baik.

Anggraeni (1998) menyatakan bahwa batas kenyamanan pada daerah khatulistiwa berkisar antara suhu 22,5ºC sampai 29,5ºC dengan kelembaban udara relatif berkisar antara 30-80%.

Penelitian Farida Idealistina (1991); Anggraeni (1998) menyatakan bahwa suhu nyaman diperlukan manusia untuk mengoptimalkan produktifitas kerja. Dalam menyatakan suatu kondisi termal tertentu, ISO 7730-94, menggunakan indeks yang diperkenalkan oleh Fanger yakni PMV (Predicted Mean Vote, prediksi sensasi termal rata-rata) dan PPD (Predicted Percentage Dissatisfied, prediksi prosentase ketidaknyamanan). Nilai atau besaran PMV dinyatakan dengan angka antara -3 (cold, dingin sekali) hingga +3 (hot, panas sekali). Skala sensasi termal yang digunakan merujuk pada skala yang direkomendasikan oleh ISO 7730-94. Suhu nyaman atau netral dicapai apabila nilai PMV = 0, dimana pada kondisi ini nilai PPD mencapai 5% atau persentase responden yang nyaman mencapai 95%. Pada kondisi termal apapun prosentase responden yang tidak nyaman (PPD) tidak akan mungkin mencapai 0%, atau prosentase responden yang nyaman tidak mungkin mencapai 100%. Sementara itu rentang suhu nyaman dicapai apabila nilai PMV berada antara – 0,5 hingga +0,5, dimana pada kondisi ini nilai PPD mencapai 10%, atau prosentase responden yang nyaman mencapai 90%.

C.1 Suhu dalam bangunan (o C)

Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap proses fisik dan kimiawi yang selanjutnya akan mengendalikan proses metabolisme tubuh manusia. Suhu berpengaruh terhadap kecepatan proses respirasi dan proses metabolik (Tiwari, 1998).

Kategori suhu udara ada dua macam: suhu udara biasa (air suhu) dan suhu radiasi rata-rata (mean radiant themperature = MRT). MRT merupakan radiasi rata-rata dari permukaan-permukaan bidang yang mengelilingi seseorang. MRT sangat penting karena menimbulkan rasa panas bagi seseorang hingga 66%. Kenyamanan termal sulit tercapai bila suhu udara dan MRT berbeda hingga 5o C atau lebih (Heinz Frick et.all, 2007).


(11)

11 Pada konstruksi bangunan, radiasi matahari gelombang pendek dapat masuk kedalam bangunan melalui penutup transparan dan diubah menjadi radiasi panas gelombang panjang. Radiasi panas ini tidak dapat keluar dari bangunan dan terperangkap didalamnya sehingga timbul efek rumah kaca yang menyebabkan suhu udara di dalamnya meningkat. Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya suhu dalam bangunan adalah tingkat intensitas radiasi matahari, besar kecilnya panas yang hilang melalui atap dan dinding. C.2 Kelembaban udara pada bangunan (RH)

Relatif humidity (RH), kelembaban relatif merupakan persentase kandungan air di udara pada suhu tertentu. Persentase yang menunjukan besaran kelembaban udara didapat dari perbandingan antara keadaan kenyataan uap air dan jumlah maksimum uap air yang dikandung oleh udara pada kondisi ruang dan suhu yang sama (Tiwari, 1998).

Kelembaban udara menjadi penting saat suhu udara mendekati atau melampaui ambang batas daerah kenyamanan termal dan kelembaban udara mencapai lebih dari 80% atau kurang dari 30% (Heinz Frick et.al, 2007).

Beberapa faktor yang mempengaruhi kelembaban udara yaitu besar kecilnya suhu, kondisi iklim, efek angin, dan intensitas cahaya matahari. Apabila kondisi cuaca mendung maka suhu menjadi rendah, intensitas cahaya berkurang sehingga kelembaban menjadi tinggi (Tiwari, 1998).

C.3 Kecepatan udara pada bangunan

Pergerakan udara adalah aspek yang penting untuk kenyamanan termal, terlebih didaerah panas, seperti hanya didaerah tropis. Pergerakan angin terjadi karena adanya perbedaan tekanan udara di dalam dan di luar bangunan, angin menyebabkan adanya zona tekanan tinggi dan rendah disekeliling bangunan sehingga menyebabkan terjadinya aliran udara (Tiwari, 1998).

Pergerakan udara atau angin yang menyapu permukaan kulit sehingga mempercepat pelepaan panas secara konveksi. Bila permukaan kulit basah, maka penguapan yang terjadi mengakibatkan terjadinya pelepasan panas yang lebih besar. Pada suhu udara 25oC, kecepatan 0,5 m/detik membuat tubuh


(12)

12 terasa 2oC lebih dingin. Kecepatan angin 1 m/detik membuat tubuh terasa 3oC lebih dingin (Heinz Frick et.al, 2007).

C.4 Intensitas cahaya matahari

Menurut Tiwari (1998) intensitas matahari yang cukup akan berpengaruh tehadap distribusi suhu dalam bangunan, yang kemudian akan mempengaruhi metabolisme dan aktivitas manusia dalam bangunan tersebut. Cahaya dengan masa penyinaran dari pagi hingga sore dikalikan dengan intensitas yang tinggi merupakan jumlah energi yang dapat diterima oleh suatu bangunan. Pada pagi hari, belum banyak cahaya yang diterima, begitu pula pada sore hari karena matahari meredup sehingga intensitas cahaya berkurang. Kondisi cuaca yang mendung selama beberapa hari akan mengurangi intensitas cahaya matahari.

Intensitas cahaya matahari erat kaitannya dengan besarnya radiasi matahari, menurut Tiwari (1998) dalam kondisi sebenarnya terdapat beberapa jenis nilai radiasi matahari, yaitu:

1. Extraterrestrial radiation (Ion)

Extraterrestrial radiation (Ion) merupakan radiasi yang terjadi di luar

daerah atmosfer. Perubahan jarak bumi ke matahari akan mempengaruhi besarnya radiasi ekstraterensial. Menurut Tiwari (1998) pada bulan Juni bearnya radiasi berkisar 1322 W/m2. Radiasi tesebut dapat dihitung dengan menggunakan rumu sebagai berikut:

……….………1 Keterangan :

Isc =Rata-rata energi radiasi matahari (1353 W/m2)

(Energi dan Listrik Pertanian,105) n = Hari ke-n dalam satu tahun 2. Terrestrial radiation (In)

Terrestrial radiation (In) merupakan radiasi yang masuk ke dalam

atmosfer (daerah terestrial). Radiasi yang terjadi pada daerah terestrial adalah radiasi langsung, radiasi tidak langsung, dan radiasi total. Radiasi ini dipengaruhi oleh turbidity factor dari atmofer dan ketinggian lokasi.


(13)

13 Tiwari (1998) menyatakan bahwa turbidity factor merupakan ketetapan yang mempengaruhi besarnya radiasi yang jatuh pada suatu wilayah yang dikategorikan sebagai wilayah pegunungan, dataran rendah dan perkotaan, dimana besarnya angka ini setiap bulannya mengalami perubahan (Tabel 4). Perhitungan nilai Terrestrial radiation (In) menggunakan rumus sebagai

berikut :

………2

Keterangan : TR = Turbidity faktor = Ketinggian permukaan Tabel 1. Nilai Turbidity faktor dalam berbagai wilayah untuk setiap bulannya dalam satu tahun Bulan ke- Jenis daerah Perkotaan Dataran Pegunungan 1 3,10 2,20 1,80 2 3,20 2,20 1,90 3 3,50 2,50 2,10 4 3,90 2,90 2,20 5 4,10 3,20 2,40 6 4,20 3,40 2,70 7 4,30 3,50 2,70 8 4,20 3,30 2,70 9 3,90 2,90 2,50 10 3,60 2,00 2,10 11 3,30 2,30 1,90 12 3,10 2,20 1,80 Tm 3,70 2,76 2,15 Sumber : Bansal et.all, 1990 dalam Tiwari, 1998 3. Direct radiation (Ibi) Direct radiation (Ibi) merupakan radiasi yang langsung jatuh ke permukaan bumi pada daerah terestrial. Radiasi tersebut dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: ………....………...3

………...4

…………...………...5


(14)

14 ………...…………...………7 ………8 ………...9 Keterangan :

i = Sudut dating matahari ( o )

s = Sudut altitude matahari ( o )

= Sudut inklinasi ( = 30o)

w = Sudut tegak/vertical ( o ) s = sudut azimuth Matahari ( o )

= Besar latitud

= Sudut jam matahari ( o ) = Sudut deklinasi ( o ) 4. Diffuse radiation (Idh)

Diffuse radiation (Idh) merupakan radiasi yang tidak langsung jatuh ke

permukaan bumi pada daerah terestrial sehingga terjadi pembauran. Radiasi tidak langung terjadi pada permukaan mendatar dan pemukaan miring. Radiasi tersebut dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

…………..………...………..10

…………...……...11 Keterangan :

Idh = Radiasi tidak langsung yang terjadi pada pemukaan mendatar

(W/m2)

Idi = Radiasi tidak langsung yang terjadi pada permukaan miring (W/m2)

5. Reflektivitas radiation (Ir)

Reflektivitas radiation (Ir) adalah radiasi yang jatuh ke permukaan bumi

dan dipantukan kembali ke atmosfer. Radasi tersebut dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berukut :


(15)

15 ………...…...12 ………..……..13

………..………....14 Keterangan :

Ibh = Radiasi pantulan pada tipe permukaan (W/m2) g = Konstanta refleksi (Tabel 5)

Ith = Radiasi pantulan pada permukaan mendatar (W/m2)

Ir = Total radiasi pantuan (W/m2)

= Sudut inlinasi

Tabel 2. Nilai konstansta refleksi dengan berbagai jenis permukaan

Jenis permukaan Konstanta refleksi

Permukaan nomal bumi 0,21 – 0,45

Permukaan air 0,16

Permukaan es dan salju 0,16 – 0,78 Sumber : Bansal et.all, 1990 dalam Tiwari, 1998)

6. Total Radiation (Iti)

Total Radiation (Iti) adalah radiasi total yang diterima oleh permukaan

bumi. Radiasi tersebut dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

………...………..15 D. Proses Pindah Panas pada Bangunan

Panas yang masuk kedalam bangunan berasal dari lingkungan dan akan dikeluarkan kembali ke lingkungan. Perpindahan panas yang terjadi dalam bangunan ini terjadi karena adanya perbedaan tekanan didalam dan di luar bangunan. Hal yang dengan demikian akan membuat terjadi pergerakan fluida antara didalam dan diluar bangunan untuk menyeimbangkan energi.

Soegijanto (1999) menyatakan bahwa bangunan akan mendapatkan perolehan panas dan mengeluarkan atau kehilangan panas ke lingkungan sekitarnya, perolehan dan pengeluaran panas dapat terjadi melalui peristiwa perpindahan panas. Proses pindah panas yang terjadi pada bangunan tersebut terjadi melalui beberapa jenis pidah panas, yaitu pindah panas radiasi, pindah panas konduksi dan pindah panas konveksi.


(16)

16 D.1 Pindah panas radiasi

Radiasi adalah proses transfer energi melaluii gelombang elektromagnet. Radiasi tidak merambat pada suatu material dan terjadi pada ruang hampa. Radiasi merupakan bagian dari energi yang dapat dinilai berdasarkan besarnya suhu. Saat energi radiasi mengelilingi setiap bagian atau seluruh partikel maka akan terjadi perpindahan panas. Besarnya energi radiasi bergantung pada suhu permukaan dari partikel tersebut.

Tiwari (1998) menyatakan bahwa persamaan besarnya perpindahan panas karena radiasi digambarkan oleh persamaan berikut :

……….16 Keterangan:

= Emisivitas permukaan

= Konstanta Boltsman-Stefan,5.67x10-8 W/m2K4 T = Suhu permukaan luar,°K

Q = Pindah panas Konduksi ( Joule ) D.2 Pindah panas konveksi

Konveksi adalah transfer panas dari satu bagian fluida ke beberapa bagian lain dengan suhu rendah dari pencampuran partikel fluida. Pergerakan fluida dapat terjadi karena adanya paksaan ataupun secara alami. Apabila pergerakan fluida disebabkan karena adanya perbedaan tekanan maka kondisi tersebut dapat disebut konveksi paksa (Tiwari, 1998).

Davies, Moris (2004) pada proses percepatan sentrifugal gravitasi perlu digantikan posisinya sesuai dengan posisi fluida, gaya pergerakan akibat viskositas ini dapat diabaikan. Pada dua plat dengan perbedaan perubahan suhu yang kecil dimana salah satu plat diberikan pendinginan maka akan menyebabkan terhambatnya pergerakan dari viskositas fluida udara pada posisi tersebut, sehingga kondisi ini disebut Rayleigh number.

……..……….……17 Keterangan :

Q = Pindah panas Konduksi ( Joule ) h = Koefisien pindah panas

A = Luas permukaan, m2 4

T Q=hεAσ T

Q= ∆

4 T Q=ε σ


(17)

17 T = Perbedaan suhu permukaan, °K

Untuk konduktivitas panas konveksi (h) pada permukaan vertikal (v) dapat diketahui dengan menggunakan persamaan dibawah.

.…..………...…………18

.………..………...……19 ………..………....20 Nilai konduktivitas panas konveksi pada permukaan vertikal (i) dengan membentuk sudut dapat diketahui dengan menggunakan persamaan dibawah.

……..……….………..………21

….………..……...…………...…………22 ...……….………..…..…23 .……...……….………...….24 Nilai konduktivitas panas konveksi pada permukaan horizontal (h) dapat diketahui dengan menggunakan persamaan dibawah.

…..………...………..………25 ……..………….……….………..26 ...………..….………...….………...……27 D.3 Pindah panas konduksi

Konduksi adalah perpindahan panas yang merambat dari material satu ke material yang lain atau merambat dari satu partikel ke partikel yang lain. Pindah panas kondukksi biasanya terjadi pada daerah lantai dan lapisan


(18)

18 dinding. Persamaan besarnya perpindahan panas karena konduksi digambarkan oleh persamaan berikut :

.………...……….28 Keterangan :

Q = Pindah panas Konduksi ( Jaule ) T = Suhu (°C atau °K)

X = Jarak antar material,m

K = Thermal conductivity (W/m°C) S = Ketebalan material, m

T1 = Suhu Udara (°C atau °K)

T2 = Suhu material (°C atau °K)

E. Simulasi Distribusi Termal Pada Bangunan

Simulasi adalah teknik penyusunan dari kondisi nyata (sistem) dan kemudian melakukan percobaan pada model yang dibuat dari sistem. Simulasi merupakan alat yang fleksibel dari model atau kuantitatif. Simulasi cocok diterapkan untuk menganalisa interaksi masalah yang rumit dari sistem. Simulasi berguna untuk mengetahui pengaruh atau akibat suatu keputusan dalam jangka waktu tertentu (Avissar, et.al., 1982) didalam Marat (2006).

Dalam melakukan simulasi, terlebih dahulu harus dibuat model yang akan dijadikan acuan untuk melakukan simulasi agar diperoleh nilai ekonomis, efektif, mudah, resiko kecil. Kriteria umum agar model simulasi efektif adalah : 1) model simulasi dapat memprediksi proses fisik dan fisiologi dalam sistem dengan ketepatan yang masuk akal dan dapat dibuktikan dengan percobaan; 2) model simulasi bersifat umum dan cukup fleksibel untuk diaplikasikan pada system tertentu yang memiliki kondisi lingkungan yang beragam. Untuk mengetahui kriteria tersebut, parameter lingkungan yang digunakan adalah kondisi batas yang mudah diukur dan tidak dipengaruhi oleh keberadaan sistem. Skala waktu, parameter, initial condition dapat dengan mudah diubah-ubah, serta dapat dengan mudah menyelesaikan persamaan-persamaan yang tidak linier dan dapat mengkaji sistem secara utuh (Avissar, et.al., 1982) didalam Marat (2006).

) (T1 T2 S

K X T K

Q = −

∂ ∂ − =


(19)

19 Simulasi dapat dilakukan dengan pembuatan model persamaan matematika, program komputer, atau pembuatan model prototipe sehingga system yang akan disimulasikan dapat terwakili oleh model yang disimulasikan. Simulasi analisis distribusi suhu dan kelembaban udara (RH) pada bangunan dapat dilakukan dengan persamaan matematika, dan program komputer. Parameter yang harus diperhitungkan dalam simulasi analisis distribusi suhu dan kelembaban udara (RH) pada bangunan antara lain suhu lingkungan, suhu udara dalam bangunan, suhu tanah, radiasi matahari, kecepatan angin, system dan besaran ventilasi, bahan-bahan bangunan (konduktivitas panas, emisivitas, koefisien pindah panas, absorpsivitas). Simulasi distribusi parameter iklim mikro seperti suhu, kelembaban, kecepatan angin, sudut dating radiasi matahari telah banyak dilakukan pada bangunan pertanian terutama greenhouse baik menggunakan persamaan-persamaan matematika, program komputer maupun model atau prototipe.


(20)

20 III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari-Juli 2009 (pengukuran dilapangan berlangsung mulai tanggal 23 April hingga 27 April 2009), bertempat di bangunan kayu rumah pre-pabrikasi tahan gempa Fakultas Kehutanan IPB dan Laboratorium kekuatan bahan, Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

B. Bahan dan Alat

B.1 Bahan penelitian

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah Bangunan prepabrikasi tahan gempa (Gambar 1). Bangunan pre-pabrikasi tahan gempa terbuat dari bahan utama kayu mangium dengan atap terbuat dari asbes.

Gambar 1. Rumah pre-pabrikasi tahan gempa B.2 Peralatan penelitian

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah : 1. Pyranometer model EKO tipe MS-401

Pyranometer adalah alat yang digunakan untuk melakukan pengukuran besarnya intensitas radiasi matahari. Besaran yang terbaca dalam Pyranometer ini adalah mV (mili Volt), oleh karena itu perlu dikonversi kedalam besaran intensitas matahari yaitu W/m2. Faktor konversi yang


(21)

21 digunakan untuk Pyranometer tipe MS-401 ini adalah dengan menggunkan persamaan.

…………...29 Keterangan :

I = Intensitas matahari (W/m2)

n = Voltase pembacaan Volt meter (mV) 2. Hybrid recorder

Hybrid recorder digunakan untuk merekam pergerakan suhu yang terbaca oleh sensor suhu (termokopel).

3. Termokopel CC

Termokopel merupakan sensor untuk mengukur suhu yang disambungkan dengan recorder sebagai alat perekam hasil pengukuran.

4. Termometer air raksa

Alat yang digunakan untuk mengukur suhu ruang secara langsung. Termometer ini dibagi menjadi dua macam, yaitu termometer bola basah dan termometer bola kering. Termometer bola basah adalah termometer yang digunakan untuk mengukur suhu ruangan dalam keadaan jenuh (100% RH). Termometer bola kering adalah termometer yang digunakan untuk mengukur suhu dalam udara kering atau kelembaban sebenarnya (kelembaban dibawah 100%)

(a) (b)


(22)

22

(e) (f)

Gambar 2. Beberapa peralatan yang digunakan dalam penelitian (a) hybrid recorder, (b) Yokogawa recorder, (c) Yokogawa recorder, (d)anemometer, (e) pyranometer, (f) voltmeter

5. Chino Recorder Yokogwa tipe 3058

Chino recorder digunakan untuk merekam pergerakan suhu yang terbaca oleh sensor suhu (termokopel).

6. Rol Kabel 7. Obeng

8. Personal Komputer 9. Kamera Digital C. Pola Pengambilan Data

Metode pola pengambilan data dilakukan dengan cara yang berbeda, dilakukan dan dibagi sesuai dengan parameter lingkungan yang dicari namun pengukuran dilakukan dalam rentang waktu yang sama, pengukuran dilakukan selama 12 jam mulai pukul 06:00 hingga 18:00. Beberapa metode pengambilan data terebut adalah sebagai berikut :

C.1 Pola pengukuran suhu

Pola pengambilan data atau pengukuran suhu pada bangunan dilakukan dengan menggunakan termometer bola basah dan termometer bola kering serta beberapa termokopel yang dihubungkan dengan recorder yang kemudian ditempatkan pada beberapa titik-titik pengukuran. Titik-titik pengukuran tersebut ditentukan sehingga secara umum dapat mewakili setiap titik pada tataletak bangunan. Titik-titik pengukuran terlihat pada Gambar 2, pengukuran suhu oleh termokopel yang terpasang dalam bangunan terdiri dari 36 titik pengukuran dengan pembagian menjadi dua bagian, yaitu : 24 titik pengukuran oleh recorder pertama yang tersebar disekitar ruang tamu dan


(23)

23 halaman rumah, kemudian 12 titik pengukuran oleh recorder yang kedua ditempatkan diruang kamar.

Gambar 3. Posisi titik-titik pengukuran termokopel dalam bangunan Agar pola distribusi pengukuran parameter lingkungan merata, maka 36 titik pengukuran dikelompokan kedalam tiga layer atau lapian, yatu di z = 0 cm, z = 150 cm, dan z = -15 cm. Penempatan titik-titik pengukuran dalam bangunan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 3. Koordinat titik-titik penempatan termokopel

No X Y Z Ket. No X Y Z Ket.

1 431 299 0 Lantai 19 431 53 150 udara 2 431 299 150 Udara 20 431 53 0 lantai 3 63 354 150 dinding 21 186 299 150 udara 4 224 233 -15 Udara 22 186 299 0 lantai 5 554 299 0 Lantai 23 308 299 150 udara 6 554 299 150 Udara 24 308 299 0 lantai 7 0 108 -15 Lantai a 0 173 0 dinding 8 431 299 150 Udara b 63 173 150 udara 9 554 173 0 Lantai c 63 53 150 udara 10 554 173 150 Udara d 186 53 150 udara 11 431 354 150 dinding e 554 173 150 udara 12 627 176 150 dinding f 63 173 0 lantai 13 554 173 0 Lantai g 0 108 -15 dinding

15 16 2 1 6 5 21 22 23 24 b f 10 9 e j c h 19 20 14 13 d i l 0 0 4 17 18 0 g 12 0 a 0 k 0 3 0 11 0 8 7


(24)

24 Tabel 3. Koordinat titik-titik penempatan termokopel (Lanjutan)

No X Y Z Ket. No X Y Z Ket.

14 15 554 53 53 299 150 150 Udara Udara h i 63 186 53 53 0 0 dinding lantai 16 53 299 0 Lantai j 186 173 0 lantai 17 308 173 300 Udara k 186 0 150 dinding 18 308 173 280 Udara l 308 53 150 dinding C.2 Pola pengukuran kelembaban

Pola pengambilan data atau pengukuran kelembaban (RH) pada bangunan dilakukan dengan menggunakan termometer bola basah dan termometer bola kering yang ditempatkan pada beberapa titik-titik pengukuran. Titik-titik pengukuran tersebut ditentukan sehingga secara secara umum sehingga dapat mewakili setiap titik pada tataletak bangunan.

C.3 Pola pengukuran kecepatan udara

Pola pengambilan data atau pengukuran kecepatan udara pada bangunan dilakukan dengan menggunakan anemometer yang diukur pada beberapa titik-titik pengukuran. Titik-titik pengukuran tersebut ditentukan sehingga secara secara umum dapat mewakili setiap titik pada tataletak bangunan.

C.4 Pola pengukuran intensitas cahaya matahari

Pola pengambilan data atau pengukuran besarnya intensitas matahari dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut dengan pyrnometer yang kemudian ditempatkan pada titik yang fokus langsung terkena sinar matahari. Pengukuran dilakukan setiap satu jam mulai pukul 06:00 hingga 18:00. Besaran yang keluar dari pyranometer yang digunakan ialah berupa satuan milivolt tau mV sehingga perlu dikonversi agar menjadi W/m2.

D. Pengolahan Data

Metode pengolahan data yang digunakan adalah pengolahan data dengan menggunakan program Microsoft Excel dengan fokus pengolahan data pada analisis termal yang didalamnya meliputi analisis suhu, kelembaban, kecepatan udara, intensitas matahari, analisis kenyaman termal pada bangunan dan


(25)

25 analisis distribusi radiasi matahari serta analisis pindah panas (pindah panas radiasi, konduksi dan konveksi) yang terjadi dalam bangunan pre-pabrikasi tahan gempa yang dan kemudian diakhir dilakukan simulasi distribusi parameter lingkungan dengan menggunakan program surfer 8.


(26)

26 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Radiasi Matahari

Jansen (1995) menyatakan bahwa posisi matahari diperlukan untuk menentukan radaisi surya yang diteruskan melalui kaca dan bahan transparan lain, dimana penyinaran berubah-ubah sesuai dengan sudut naik sinar. Kondisi cuaca yang mendung selama beberapa hari akan mengurangi intensitas matahari. Romdhonah (2002) menyatakan bahwa radiasi matahari mempunyai ciri kahs, yaitu sifat keberadaanya yang selalu berubah-ubah tergantung kepada keadaan atmoser dan geometri radiasi matahari.

Tabel 4. Hasil perhitungan beberapa jenis nilai radiasi tanggal 23-27 April 2009

Tanggal Isc Ion IN Ibi Ith Ibh Idh Idi Ir Iti W/m2

23 1353 1336 998 710 708 601 107 89 21 821 24 1353 1336 998 706 708 601 107 89 21 817 25 1353 1335 997 702 707 601 107 89 21 812 26 1353 1334 997 698 707 600 106 89 21 808 27 1353 1334 996 694 706 600 106 88 21 804 Rata 1353 1335 997 702 707 601 107 89 21 812 Maks 1353 1336 998 710 708 601 107 89 21 821 Min 1353 1334 996 694 706 600 106 88 21 804

Hasil perhitungan menunjukan bahwa dari masing-maing jenis nilai radiasi mulai tanggal 23 April 2009 hingga 27 April 2009 perubahan terlihat relatif stabil, hasil perhitungan memperlihatkan bahwa besarnya rata-rata nilai Extraterrestrial radiation (Ion) 1335,04 W/m2, Inclined radiation (Idi) 88,85

W/m2 , Diffuse radiation (Idh) 106,54 W/m2, direct and diffuse radiation on

horizontal surface (Ith) 707,31 W/m2, Reflektivitas radiation (Ir) 21,32 W/m2,

Total Radiation (Iti) 812,37 W/m2.

Nilai rata-rata intensitas radiasi yang dipancarkan ke permukaan bumi melalui atmosfer untuk daerah khatulistiwa sebesar 1353 W/m2 (Kamaruddin et al, 1998 ) dan selanjutnya kita sebut sebagai radiasi ekstraterensial. Menurut Tiwari (1998) fluktuasi nilai radiasi ekstraterensial ini berkisar antara 1350 hingga 1440 w/m2. Pada perpengukuran dilapangan diperoleh besarnya nilai radiasi ekstraterensial antara 1334 hingga 1336 W/m2 dan jika diambil nilai


(27)

27 rata-ratanya yaitu sebesar 1335 W/m2. Perubahan nilai Ion ini terjadi karena

adanya perbedaan panjang gelombang sehingga suhu yang diterima pada bangunan pun menjadi berbeda. Radiasi yang selanjutkan menentukan adalah besarnya radiasi langsung pada daerah terestrial dimana bangunan tersebut berada. Besarnya nilai radiasi terestrial ini dipengaruhi oleh kontur daerah,menurut Tiwari (1998) terdapat tiga wilayah yang mempengaruhi besarnya nilai radiasi tetrestrial langsung ini, yaitu daerah perkotaan, daerah dataran, dan daerah pegunungan. Masing-masing tempat tersebut memiliki konstanta tempat berbeda (Turbidity factor) sesuai dengan tempat yang dihubungkan dengan waktunya dalam bulan. Bangunan pre-pabrikasi berada pada daerah datar sehingg apabila dihubungkan dengan waktu pengukuarn pada bulan april, maka akan diketahui nilai karakteristik tempat (Turbidity factor) sebesar 2,9 dan didapat rata-rata nilai radiasi terestrial normal sebesar 997 W/m2. Hasil perhitungan total, besarnya nilai intensitas radiasi matahari yang diterima oleh bnagunan sebesar 812 W/m2. Besarnya nilai perbandingan radiasi hasil pengukuran dan pehitungan dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Grafik perbandingn nilai radiasi matahari (W/m2) hasil perhitungan dan pengukuran.

Intensitas matahari merupakan faktor dominan, karena intensitas matahari secara langsung menjadi penggerak parameter-parameter lingkungan yang lain. Intensitas matahari berperan besar terhadap perubahan lingkungan bangunan. Besarnya intensitas cahaya matahari yang diterima oleh bangunan akan mempengaruhi membentuk iklim mikro dalam bangunan


(28)

28 tersebut. Tabel 5 dan Gambar 5 menjelaskan bahwa pergerakan intensitas matahari ini seyogyanya berbentuk parabolik, nilai kritis dari proses ini berada pada nilai 743,87 W/m2 yang terjadi pada sekitar pukul 13:00 saat matahari berada diatas kepala.

Tabel 5. Perbandingan statistik nilai intensitas matahari (W/m2) hasil pengukuran.

23-27 April 2009

Jam Maksimum Rata-rata Minimum (W/m2)

06:00 172,00 124,00 20,00 13:00 856,00 743,87 636,00

18:00 66,00 39,20 22,00

Perubahan nilai intensitas radiasi yang secara ekstrim tidak dengan mudah menyebabkan perubahan suhu lingkungan menjadi berubah pula secara signifikan. Hal ini disebabkan suhu udara tidak berubah secara cepat apabila dibandingkan dengan perubahan intensitas matahari, karena suhu dipengaruhi oleh pergerakan udara.

Gambar 5. Grafik perbandingan statistik nilai intensitas matahari (W/m2) hasil pengukuran.

B. Kondisi Termal pada Bangunan pre-Pabrikasi Tahan Gempa B.1 Suhu

Suhu merupakan salah satu parameter lingkungan yang cukup berpengaruh dan secara tidak langung mempengaruhi pengendalian metabolisme manusia. ASHRAE (American Society of Heating, Refrigerating


(29)

29 and Air Conditioning Engineers ) mensyaratkan tingkat kenyamanan dipengaruhi oleh: suhu udara ruangan, kelembaban ruangan, dan kecepatan angin dalam ruangan dengan batasan kenyamanan berada pada suhu efektif 23oC – 27oC, kecepatan angin 0,1 - 1,5 m/s , kelembaban relatif (RH) antara 50-60%. Lain halnya dinyatakan oleh Anggraeni (1998) batas kenyamanan pada daerah khatulistiwa berkisar antara suhu 22,5ºC sampai 29,5ºC dengan kelembaban udara relatif sebesar 20-50%.

Pengukuran dilakukan mulai tanggal 23 April hingga 27 Apri 2009 yang ditempatkan pada titik-titik pengukuran yang mewakili posisi pendistribusian suhu pada bangunan, terdapat 36 titik pengukuran yang dibagi kedalam tiga layer. Pengukuran suhu dilakukan mulai pukul 06:00 pagi hingga puku 18:00, seperti apa yang telah disyaratkan bahwa suhu efektif untuk bangunan pada daerah tropis antara 22,5ºC sampai 29,5ºC (Anggraeni, 1998) sedangkan menurut ASHRAE berada antara 23oC-27oC. Terihat pada Gambar 3, suhu rata-rata hasil pengukuran dalam bangunan mulai pukul 06:00 hingga pukul 12:00 relatif masih berada pada kondisi suhu efektif walaupun kondisi terus meningkat. Kondisi lingkungan sekitar bangunan yang cukup teduh karena pengaruh barier berupa bangunan gedung dan pepohonan membuat pergerak suhu diawal tidak terlalu signifikan naik namun bergerak secara perlahan dan kontinyu.

Mengacu pada standar yang dikemukakan oleh Anggraeni (1998), hasil pengukuran relatif berada pada kondisi yang nyaman, hal ini perlihatkan pada Gambar 6 bahwa rata-rata suhu hasil pengukuran berada diantara batas minimum dan maksimum, dan batas tidak nyaman terlihat terjadi selepas pukul 12:00 hingga pukul 15:00 dimana suhu rata-rata melebihi kondisi suhu kenyamanan standar yaitu suhu rata-rata pengukuran melebihi 29oC (standar Anggraeni, 1998). Namun apabila mengacu pada standar ASHRAE tingkat kenyamanan dalam satu hari relatif lebih pendek, dilihat dalam Gambar 3, mulai pukul 06:00 hingga pukul 10:00 suhu dalam bangunan masih berada dalam kondisi nyaman, yaitu diantara 23oC-27oC, namun selepas pukul 10:00 hingga pukul 16:00 suhu dalam bangunan berada diatas 27oC, dan ini artinya berada diluar kondisi kenyaman termal menurut ASHRAE. Titik kritis


(30)

30 pengukuran suhu berada pada pukul 13:00 dimana suhu pada saat itu mencapai 30,34oC dan kondisi ini tentu membuat suhu dalam bangunan termasuk kedalam kondisi yang tidak nyaman karena berada diatas batas suhu efektif , kondisi ini bertahan selama dua jam mulai pukul 12:30 hingga pukul 14:30. Selepas pukul 13:00 intensitas suhu mulai menurun dan mulai kembali masuk kedalam suhu daerah nyaman dan berhenti pada suhu 26,43oC tepat pada pukul 18:00.

Gambar 6. Grafik perbandingan nilai rata-rata suhu (oC) hasil pengukuran dengan syarat maksimum dan minimum suhu dalam suatu ruangan

B.2 Kelembaban (RH)

Kelembaban merupakan salah satu faktor yang cukup berpengaruh dalam menentukan nyaman tidaknya suatu lingkungan, Lampiran 5 memperlihatkan bahwa rata-rata nilai kelembaban pada bangunan pre-pabrikasi rata-rata 80% dan jika kita lihat, nilai tersebut merupakan ambang nilai kelembaban maksimum yang diizinkan pada suatu lingkungan bangunan. Nilai kelembaban untuk daerah tropis yang termasuk kedalam kondisi nyaman berkisar antara 30% hingga 80% RH. Menurut ASHRAE kondisi kelembaban yang nyaman berada pada antara 50-60% RH, sedangkan menurut Angraeni (1998) kelembaban yang efektif untuk daerah tropis bearada pada rentang 20-50% RH. Seperti yang terlihat pada Gambar 7,


(31)

rata-31 rata nilai kelembaban hasil pengukuran berada jauh diatas kondisi standar yang disyaratkan.

Gambar 7. Grafik perbandingan nilai rata-rata kelembaban (RH) pengukuran dengan syarat maksimum dan minimum kelembaban dalam suatu ruangan

Material bangunan yang terbuat dari kayu membuat bangunan tersebut mudah menyerap uap air pada kondisi basah, sehingga apabila kita korelasikan dengan Gambar 9 terihat bahwa besarnya kelembaban pada pukul

06:00 pagi nilainya jauh diatas batas yang diizinkan yaitu sekitar 90%, hal ini terjadi karena pada pagi hari kondisi bangunan dalam keadaan lembab basah, sebagian besar material bangunan yang terdiri dari kayu mengandung uap air.

Gambar 8. Grafik perbandingan nilai rata-rata kelembaban (RH) didalam dan luar bangunan.

Penurunan besarnya nilai kelembaban ini berbanding lurus dengan semakin meningatnya suhu lingkungan di sekitar bangunan, hal ini jelas


(32)

32 diperlihatkan oleh pergerakan rata-rata nilai kelembaban yang berkurang secara perlahan yang terjadi sekitar pukul 06:00 hingga pukul 10:00. Intensitas matahari secara tidak langsung berpengaruh terhadap besarnya kelembaban pada bangunan, intensitas matahari yang cukup kuat membuat suhu lingkungan menjadi lebih tinggi, hal ini membuat material bangunan yang cenderung mengandung banyak uap air, melepaskan kalor sehingga suhu didalam ruangan menjadi lebih tinggi dan kelembaban menjadi lebih rendah.

Kelembaban udara yang tinggi mengakibatkan terjadinya penguapan dipermukaan kulit sehingga mekanisme pelepasan panas bisa terganggu. Dalam keadaan seperti itu pergerakan udara akan sangat membantu proses penguapan. Sebaliknya, bila kelembaban udara rendah, orang akan menderita efek keringnya udara (selaput lendir mengering, batuk rejan, radang mata, kulit menyamak, dan sebagainya), dan untuk mengatasinya diperlukan tambahan uap air ke dalam udara.

Tabel 6. Perbandingan nilai kelembaban (%) di dalam dan luar bangunan

Jam Dalam Luar

6.00 13.00 18.00 6.00 13.00 18.00 Rata-rata 88.80 77.25 82.75 88.89 77.32 82.77 Maksimum 92.60 84.70 92.40 92.40 84.30 92.10 Minimum 83.40 69.20 75.20 84.20 69.60 76.00 B.3 Kecepatan aliran udara

Pergerakan udara menyebabkan terjadinya aliran udara yang mendorong adanya perbedaan tekanan udara antara dalam dan luar bangunan. Angin menyebabkan zona tekanan tinggi dan tekanan rendah disekeliling bangunan sehingga terjadi aliran udara. Kecepatan aliran udara sangat bepengaruh dalam sistem kenyamanan termal teutama saat proses pertukaran panas antara permukaan kulit dengan lingkungan didalam bangunan, oleh karena itu perlu adanya desain yang sesuai antara sistem ventilasi dalam bangunan dengan proses aktivitas penghuni sehingga aliran udara yang masuk tidak terlalu mengalami fluktuasi yang tinggi sehingga dapat menganggu proses pertukaran panas yang terjadi pada kulit manusia dalam bangunan.


(33)

33 Tabel 7. Perbandingan nilai rata-rata kecepatan udara (m/s) hasil pengukuran dengan syarat maksimum dan minimum kecepatan udara dalam suatu ruangan

23-27 April 2009 Jam

Maksimum Rata-rata Minimum

(ASHRAE) (Pengukuran) (ASHRAE)

( m/s )

6:00:00 1.50 0.11 0.10

13:00:00 1.50 0.17 0.10

18:00:00 1.50 0.20 0.10

Besarnya kecepatan udara yang disyaratkan untuk kondisi kenyamanan termal di daerah tropis berkisar antara 0,10 m/s hingga 1,50 m/s. Hasil pengukuran pada Tabel 7 menunjukan bahwa rata-rata kecepatan udara yang masuk kedalam bangunan berkisar 0,11 m/s hingga 0,20 m/s. Kondisi lingkungan bangunan yang terletak pada posisi diantara bangunan gedung dan pepohonan membuat pergerakan udara tidak terlalu tinggi, sehingga aliran yang masuk kedalam bangunan terdegradasi.

Nilai rata-rata yang diperoleh sebenarnya kurang begitu optimal bagi penghuni yang tinggal didalamnya, karena dengan nilai rata-rata kecepatan udara sebesar 0,20 m/s dapat membuat proses pertukaran kalor antara tubuh dengan lingkungan menjadi kurang optimal, setidaknya rata-rata nilai kecepatan udara yang optimal antara 1 m/s hingga 1,2 m/s.

Gambar 9. Grafik perbandingan nilai rata-rata kecepatan udara (m/s) hasil pengukuran dengan syarat maksimum dan minimum kecepatan udara dalam suatu ruangan.


(34)

34 B.4 Hubungan antara suhu, kelembaban, dan kecepatan udara

Tiwari (1998) mengatakan bahwa suhu merupakan parameter lingkungan yang membentuk atau mempenengaruhi sifat-sifat termal lainnya pada suatu lingkungan, baik itu kelembaban, pergerakan udara, tekanan lingkungan, hingga proses pindah panas pada bangunan. Oleh karena itu dari setiap parameter lingkunga tersebut tentunya memiliki hubungan dengan suhu.

Hubungan antara suhu dengan kelembaban memiliki keterkaitan yang cukup sulit dijelaskan, hal ini terjadi karena pengukura kelembaban tidak dilakukan secara kontinyu setiap jam berbeda dengan pengukuran suhu menggunakan recorder (Gambar 9). Walaupun begitu apabila kita lihat pada satu titik waktu tertentu pada jam 12 hingga jam 13 dari mulai tanggal 23 hingga 27 April 2009, kelembaban memiliki hubungan berbanding terbalik terhadap waktu. Dapat dijelaskan bahwa ketika pergerakan suhu diawal mulai naik

Gambar 10. Grafik hubungan antara suhu dengan kelembaban terhadap waktu (Jam)

(nilai suhu sebesar 23oC), saat itu besarnya kelembaban (RH) relatif tinggi (sebesar 80% hingga 90%), kondisi sebaliknya terlihat saat pergerakan jam mulai memasuki waktu tengah hari dimana saat itu suhu bangunan mencapai rata-rata nilai tertinggi, sehingga terlihat bahwa besarnya nilai kelembaban rata-rata (RH) mengalami penurunan hingga mencapai sekitar 75% RH.


(35)

35 Dengan begitu dapat dinyatakan bahwa hubungan antara suhu dengan kelembaban (RH) memililki hubungan berbanding terbalik.

Hubungan antara suhu dengan kecepatan dijelaskan pada Gambar 10. Pergerakan suhu diawal-awal jam ternyata berbanding lurus dengan kecepatan pergerakan udara. Namun ini terjadi hanya pada enam jam diawal, yaitu terjadi antara pukul 12:00-13:00. Pergerakan udara yang terjadi didalam bangunan bisa terjadi karena adanya perbedaan suhu dan tekanan udara antara didalam dan diluar bangunan, sehingga hal ini menyebabkan udara di luar bangunan akan bergeraka kedalam bangunan agar tekanan didalam dan diluar bangunan seimbang.

Gambar 11. Grafik hubungan antara suhu dengan kecepatan udara terhadap waktu (Jam)

Selanjutnya hubungan antara suhu dengan besarnya intensitas matahari dijelaskan oleh Gambar 11. Hasil perhitungan memperlihatkan bahwa secara umum dapat dikatakan bahwa suhu dengan intensitas radiasi matahari memiliki hubungan yang berbanding lurus. Hal ini jelas terjadi karena suhu merupakan salah satu hasil turunan dari nilai intensitas radiasi. Pergerakan suhu pada bangunan selalu diikuti oleh besarnya perubahan intensitas rasiasi.


(36)

36

Gambar 12. Grafik hubungan antara suhu dengan intensitas radiasi matahari terhadap waktu (Jam)

C. Pindah Panas pada banguanan

Soegijanto (1999) menyatakan bahwa bangunan akan mendapatkan perolehan panas dan mengeluarkan atau kehilangan panas ke lingkungan sekitarnya, perolehan dan pengeluaran panas dapat terjadi melalui peristiwa perpindahan panas.

Proses pindah panas yang terjadi melalui tiga proses pindah panas, yaitu: pindah panas radiasi, pindah panas konveksi dan pindah panas konduksi. Gambar 12 menunjukan bahwa proses pindah panas yang terjadi pada bangunan pre-pabrikasi dimulai dengan adanya pindah panas radiasi yang dipancarkan langsung oleh matahari, pindah panas radiasi tidak memerlukan medium karena pindah panas radiasi merupakan transfer energi melalui gelombang eletromagnetik.

Gambar 13. Proses pindah panas dalam bangunan Qkonv Qkonv

Qkond Qkond

Qkonv(in)

Qrad Q


(37)

37 Tabel 8 menunjukan hasil perhitungan nilai rata-rata pindah panas radiasi pada atap sebesar 482 w/m2. Proses pindah panas pada bangunan dimulai dengan adanya pancaran radiasi dari energi surya yang memiliki gelombang pendek dan memiliki energi yang besar lalu gelombang ini akan diteruskan melalui proses pindah panas konveksi yang terjadi antara lapisan udara di lingkungan dengan lapisan atap asbes.

Selanjutanya yang berperan adalah pindah panas konduksi pada lapisan atap. Energi yang masuk kedalam bangunan berubah menjadi gelombang panjang dan memiliki energi yang tidak terlalu besar, gelombang panjang ini yang akan terperangkap dalam bangunan dan tidak bisa diteruskan ke luar bangunan melainkan akan terus dipantulkan didalam bangunan sehingga suhu dalam bangunan menjadi naik. Proses pindah panas konveksi yang terjadi di dalam bangunan terdiri dari konveksi antara atap dengan udara di dalam bangunan, konveksi antara udara di dalam dengan lantai dan dinding, dan kemudaian konveksi yang terjadi dipermukaan kulit manusia dengan udara didalam bangunan.

Tabel 8. Nilai pindah panas Radiasi pada atap bangunan pre-pabrikasi Hari ke Radiasi

W/m2

1 501

2 473

3 484

4 477

5 476

Rata-rata 482

Maksimum 501

Minimum 473

Tabel 9 memperlihatkan bahwa rata-rata nilai konveksi terbesar terjadi pada proses pindah panas antara atap asbes dengan udara luar, hal ini terjadi karena kontribusi faktor koefisien pindah panas konveksi cukup besar dibandingkan dengan yang lain dan penaruh intenitas matahari langsung. Nilai rata-rata pindah panas konveksi antara atap asbes dengan udara luar sebesar 12,62 W/m2, asbes dengan udara dalam 0,81 W/m2, dinding dengan udara


(38)

38 dalam 5,34 W/m2, dinding dalam dengan udara dalam 0,25 W/m2, udara dalam dengan lantai 0,23 W/m2, dan lantai dengan udara luar sebesar 0,25 W/m2.

Tabel 9. Nilai pindah panas Konveksi pada bangunan pre-pabrikasi Hari ke- Konveksi Asbes-udara luar Asbes-udara dalam Dinding-udara luar Dinding-udara dalam Udara dalam-lantai Lantai-udara luar W/m2

1 18.03 0.14 7.86 0.03 0.52 0.30

2 11.83 0.93 3.86 0.26 0.23 0.32

3 12.81 0.63 5.07 0.29 0.07 0.45

4 10.10 0.33 4.74 0.33 0.03 0.05

5 10.31 2.02 5.16 0.31 0.32 0.12

Rata-rata 12.62 0.81 5.34 0.25 0.23 0.25

Maksimum 18.03 2.02 7.86 0.33 0.52 0.45

Minimum 10.10 0.14 3.86 0.03 0.03 0.05

Pindah panas secara konduksi dijelaskan pada Tabel 10, nilai rata-rata pindah panas konduksi yang terjadi pada bangunan terjadi pada lapisan atap sebesar 11,45 W/m2, lapisan dinding luar 1,54 W/m2, lapian dinding dalam 15,42 W/m2, lapian pintu 15,04 W/m2, lapisan lantai 1,25 W/m2, dan lapisan tanah sebesar 2,08 W/m2. Pindah panas radiasi lebih dominan dipengaruhi oleh intensitas matahari sedangkan pindah konveksi dan konduksi lebih dominan dipengaruhi oleh karakteritik material, ketebalan material dan koefisien pindah panas.

Tabel 10. Nilai pindah panas Konduksi pada bangunan pre-pabrikasi

Konduksi Hari ke Lapisan atap Dinding luar Dinding dalam Lapian

pintu Lantai Tanah W/m2

1 22.60 16.69 16.91 13.35 1.52 2.53

2 15.44 10.42 17.35 27.25 1.58 1.70

3 7.53 13.46 18.49 17.44 2.09 2.06

4 0.38 13.43 19.06 16.90 0.38 2.05

5 11.30 13.71 5.26 0.27 0.70 2.07

Rata-rata 11.45 13.54 15.42 15.04 1.25 2.08 Maksimum 22.60 16.69 19.06 27.25 2.09 2.53


(39)

39 D. Kenyamanan Termal dan Simulasi Termal pada Bangunan pre-Pabrikasi

tahan gempa

D.1 Kenyaman termal pada bangunan

Standar kenyamanan termal menurut Internasional Standard, ISO 7730:1994 menyatakan bahwa sensasi manusia terhadap suhu merupakan fungsi dari empat faktor iklim yaitu, suhu udara, suhu radiasi, kelembaban udara, dan kecepatan angin, serta dua faktor individu yakni, tingkat kegiatan yang berkaitan dengan tingkat metabolisme tubuh, serta jenis pakaian yang dikenakan. Dalam teori tersebut dinyatakan bahwa kenyamanan termal tidak dipengaruhi secara nyata oleh hal-hal lain, misalnya oleh perbedaan jenis kelamin, tingkat kegemukan, faktor usia, suku bangsa, tempat tinggal geografis, adaptasi,faktor kepadatan, faktor warna, dan sebagainya.

Apabila suhu udara di sekitar tubuh manusia lebih tinggi dari suhu nyaman yang diperlukan, aliran darah pada permukaan tubuh atau anggota badan akan meningkat dan ini akan meningkatkan suhu kulit. Peningkatan suhu ini bertujuan untuk melepaskan lebih banyak panas secara radiasi dari dalam tubuh ke udara di sekitarnya. Proses pengeluaran keringat akan terjadi pada suhu udara yang lebih tinggi lagi, sebagai tindak lanjut dari usaha pelepasan panas tubuh melalui proses penguapan. Pada situasi dimana suhu udara lebih rendah dari yang diperlukan tubuh, peredaran darah ke permukaan tubuh atau anggota badan dikurangi. Hal ini merupakan usaha tubuh untuk mengurangi pelepasan panas ke udara disekitarnya. Pada situasi ini pada umumnya tangan atau kaki menjadi dingin dan pucat. Hal ini merupakan usaha terakhir tubuh untuk memperoleh tambahan panas melalui peningkatan proses metabolisme.

Tabel 11. Nilai faktor lingkungan hasil pengukuran Jam Suhu o Kelembaban Kecepatan udara

C RH % m/s

6:00 23.30 89 0.11

13:00 30.34 77 0.17

18:00 26.43 83 0.20


(40)

40 Melihat nilai rata-rata nilai parameter lingkungan pada Tabel 11 kondisi lingkungn dalam bangunan pre-pabrikasi termasuk kedalam daerah kenyaman termal, untuk membentuk suatu lingkungan termal yang nyaman disyaratkan bahwa besarnya suhu berkisar antara 22,5ºC sampai 29,5ºC, memiliki kelembaban relatif berkisar antara 30-80%, dan pergerakan kecepatan udara berkisar antara 0,1-1,5 m/s. Diperlihatkan pada Tabel 12 bahwa nilai rata-rata yang diperoleh termasuk kedalam kategori daerah kenyamanan termal dengan nilai suhu sebesar 27,18ºC, memiliki kelembaban relatif berkisar sebesar 82%, dan rata-rata pergerakan kecepatan udara sebesar 0,16 m/s.

Tabel 12. Faktor perhitungan suhu efektif pada bangunan pre-Parikasi tahan gempa

Suhu 27.18 oC

Kelembaban 82% RH

Kecepatan udara 0.16 m/s

D.2 Simulasi termal pada bangunan

Simulasi merupakan satu bentuk penggambaran atau pemodelan dari kondisi sebenarnya yang terdapat dilapangan, hal ini penting dilakukan untuk mengetahui visualisasi kondii yang tidak sesuai sehingga mudah untuk di identifikasi dan dapat segera di perbaiki sebelum model yang direncanakan tersebut benar-benar di implementasikan di lapangan. Dalam simulais ini parameter lingkungan yang digunakan adalah suhu, simulasi yang dilakuakan merupakan data pengkuran suhu pada tanggal 24 April 2009.

Gambar 14. Pergerakan suhu hasil pengukuran pada tanggal 24 April 2009 Berdasarkan teori menyatakan bahwa fungsi suhu pada suatu bangunan akan membentuk suatu kurva parabol yang diawali dengan bergerak naik hingga mencapai titik puncak sebagai suhu maksimum yang terjadi dalam


(41)

41 bangunan dan kemudian akan kembali bergerak turun karena tidak ada lagi pemanasan dari luar. Pengambaran suhu tersebut dapat dilihat pada Gambar 13, yang menunjukan adanya pergerakan naik mulai pukul 06:00 dan mencapai tempertaur maksimum pada pukul 14:00 dan kemudian mengalami pergerakan menurun.

Pukul 06:00

Pukul 07:00

Pukul 08:00

Gambar 15. Pemetaan distribusi suhu pada tanggal 24 April 2009 pukul 06:00 07:00, dan 08:00

Seperti apa yang terlihat pada Gambar 14, pergerakan suhu pada pukul 06:00 pagi belum menampakan adanya perubahan suhu yang begitu signifikan, distribusi suhu dalam bangunan relatif seragam di beberapa titik-titik pengukuran dan terlihat bahwa suhu yang terbaca berkisar antara 23-24oC. Saat masuk pukul 07:00 pagi peningkatan suhu banguanan sudah mulai terlihat, ini dapat terlihat pada bagian daerah atap yang ditujukan dengan adanya perubahan warna hijau menjadi wana hijau kekuningan. Perningkatan suhu ini terjadi karena adanya peningktan suhu lingkungan karena adanya radiasi matahari. Peningkatan suhu pun terlihat pada bagian muka bangunan yang disebabkan karena muka bangunan langsung berhadapan dengan datagnya arah sinar matahari.


(42)

42

Pukul 09:00

Pukul 10:00

Pukul 11:00

Gambar 16. Pemetaan distribusi suhu pada tanggal 24 April 2009 pukul 09:00 hingga pukul 11:00

Gambar 15 memperlihatkan bahwa pergerakan matahari pada sekitar pukul 09:00 membuat proses pemanasan bangunan mulai berjalan namun belum merata dimulai dari bagian-bagian terluar bangunan seperti bagian atap, dinding dan muka bangunan. Pada sekitar pukul 10:00 proes pindah panas mulai terjadi pada bagian-bagian yang lebih banyak menerima intensitas matahari secara langsung yaitu bagian timur bangunan dan sebagaian bagian selatan bangunan. Jika dilihat pada gambar, bagian halaman depan bangunan dan bagian atap sudah hampir seluruhnya terkena cahaya matahari dan pada saat itu terjadi proses pindah panas radiasi dan proes pindah panas konveksi antara atap dengan udara luar. Suhu rata-rata udara pada saat itu sudah bertambah menjadi sekitar 25oC.

Perubahan yang cukup jelas mulai terlihat pada sekitar pukul 11:00, distribusi panas pada kondisi ini sudah cukup merata pada setiap bagian dari bangunan, daerah yang cukup terlihat perubahannya adalah pada bagian ruang tamu, dimana proses pindah panas konveksi banyak terjadi disini. Peningkatan suhu pada ruang tamu terjadi cukup cepat, hal ini terjadi karena adanya proses pindah panas yang cukup seragam dari tiap bagaian dari


(43)

43 bangunan, bagian atap, bagaian dinding, dan bagian muka bangunan. Namun pada bagian ruang kamar, proes pindah panas terjadi lebih lambat, hal ini dikarenakan tidak secara langsung ruang kamar berhadapan dengan arah datangnya matahari dan faktor kecepatan udara membuat proes pindah panas menjadi kurang begitu optimal.

Pukul 12:00

Pukul 13:00

Pukul 14:00

Gambar 17. Pemetaan distribusi suhu pada tanggal 24 April 2009 pukul 12:00 hingga 14:00

Saat kondisi tengah hari (Gambar 16), mulai pukul 12:00 hingga 14:00 proses pindah panas pada bangunan benar-benar mencapai puncaknya, pada kondisi ini intensitas matahari akan memancarkan intenitas maksimumnya sehingga dalam bangunan pun akan mengalami kondisi suhu tertinggi dalam satu hari. Rata-rata suhu bisa mencapai 31-32oC. Dalam simulasi distribui ini suhu tertinggi terjadi pada pukul 15:00 yaitu mencapai 31,8oC diperlihatkan dengan warna kontur paling merah.

Perpindahan panas pada bangunan menyebabkan terjadi distribusi suhu pada setiap bagian pada bangunan. Pindah panas konveksi yang terjadi merupakan pindah panas konveksi alami dengan hanya mengandalkan sitem ventilasi pada jendela dan kisi-kisi bangunan sebagai tempat pertukaran udara. Gambar 18 memperlihatkan bahwa kondisi bangunan cukup tidak


(44)

44 nyaman pada kondisi tengah hari (sekitar pukul 13:00 hingga 15:00), hal ini terlihat dengan pengambaran hasil pemetaan menunjukan warna merah dengan rata-rata suhu sebesar32oC. Kondisi seperti ini sebenarnya dapat diantisipasi dengan menambahkan kipas angin untuk membuat sistem konveksi paksa sehingga kita menurunkan suhu dalam bangunan tersebut.

Pukul 15:00

Pukul 16:00

Pukul 17:00

Pukul 18:00

Gambar 18. Pemetaan distribusi suhu pada tanggal 24 April 2009 pukul 15:00 dan pukul 18:00

Selepas pukul 15:00 dari hasil simulasi memperlihatkan bahwa suhu perlahan turun, kondisi ini diperlihatkan dengan perubahan warna kontur dari yang sebelumnya dominan dengan warna merah terdegradasi menjadi warna hijau ke kuning-kuningan. Kondisi ini terjadi karena suhu lingkungan yang cukup berpengaruh terhadap proses pindah sudah mulai turun intensitasnya dan sebaliknya pengaruh kecepatan udara yang secara tidak langsung berperan dalam proses pendinginan bangunan. Simulasi termal ini


(45)

45 mengambarkan dan membuktikan bahwa bangunan pre-Pabrikasi benar-benar mengalami proses pindah panas yang ditunjukan dengan perubahan nilai suhu pada setiap waktunya.


(46)

46 V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

1. Suhu udara, intensitas radiasi, kelembaban udara, dan kecepatan udara merupakan faktor lingkungan yang menjadi prasyarat utama untuk membentuk suatu kenyamanan termal dalam suatu bangunan.

2. Rata-rata hasil pengukuran suhu udara dalam bangunan pre-pabrikasi berada pada nilai rata-rata suhu udara sebesar 27,18oC, rata-rata batas mínimum sebesar 22,50oC (kondisi standar mensyaratkan 23oC), dan rata-rata batas maksimum sebesar 29,50 (kondisi standar mensyaratkan 29oC). 3. Material kayu mudah menyerap uap air pada kondisi lembab (terutama

pagi hari dan cuaca basah) oleh karena itu, rata-rata nilai kelembaban udara pada bangunan pre-pabrikasi melebihi batas normal pada pagi dan sore hari yaitu diatas 80% RH. Sehingga dapat disimpulkan bangunan konstruksi kayu mampu meningkatkan kelembaban udara di dalam bangunan.

4. Rata-rata nilai kecepatan udara pada bangunan berada pada nilai batas bawah yaitu 0,11-0,20 m/s atau dalam kondisi kenyamanan termal yaitu antara 0,10-1,50 m/s.

5. Pengaruh intensitas matahari memiliki hubungan berbanding lurus dengan suhu dalam bangunan. Semakin besar radiasi matahari yang diterima oleh bangunan, akan membuat suhu udara dalam bangunan semakin meningkat. 6. Proses pindah panas yang terjadi pada bangunan pre-pabrikasi meliputi pindah panas radiasi, pindah panas konveksi dan pindah panas konduksi. Pindah panas radaisi terjadi pada laisan atap, pindah panas konveksi terjadi pada lapisan atap asbes-udara luar, atap asbes-udara dalam, dinding-lapisan udara, lantai-dinding-lapisan udara, sedangkan pindah panas konduksi terjadi pada lapisan atap, dinding, lapisan pintu, lantai dan lapisan tanah. Besarnya nilai kalor radiasi yang diterima bangunan sebesar 482 W/m2 (rata-rata), 501 W/m2 (maksimum), 473 W/m2 (minimum), Besarnya nilai kalor konveksi yang diterima bangunan sebesar 19,5 W/m2 (rata-rata), 29,21 W/m2 (maksimum), 14,21 W/m2 (minimum), Besarnya nilai kalor


(47)

47 konduki yang diterima bangunan sebesar 58,78 W/m2 (rata-rata), 90,22 W/m2 (maksimum), 18,41 W/m2 (minimum).

7. Hasil pengukuran suhu yang dijadikan sebagai input dalam program surfer 8.0 memperlihatkan bahwa telah terjadi proses pindah panas dalam banguanan yang ditunjukan dengan simulasi perubahan kontur termal terhadap fungsi waktu.

8. Dapat disimpulkan pula bahwa dengan melihat data dan hasil pemetaan distribusi suhu, bangunan rumah pre-pabrikasi tahan gempa memiliki tingkat kenyamanan yang relatif beragam, bagian bangunan yang dapat dikatakan berada dalam kondisi nyaman yaitu bagian kamar tidur dan beberapa bagian rumah pada kondisi penyinaran tidak maksimum yaitu pada pagi hari dan sore hari.

B. SARAN

1. Besarnya nilai rata-rata kecepatan udara yang diperoleh belum memadai bagi manusia yang berada didalamnya yaitu sebesar 0,11-0,20 m/s (diambang batas mínimum kondisi kenyamanan termal yaitu 0,10 m/s) , oleh karena itu perlu adanya sistem ventilasi yang baik dan pemasangan kipas angin pada ruang tamu agar kecepatan udara dapat terkontrol dan manuasia menjadi nyaman berada didalamnya.

2. Perlu ada penelitian lanjut untuk memperoleh besarnya nilai kecepatan yang optimum bagi manusia yang berada pada bangunan kayu tersebut. 3. Menambah lapisan material pada bagian bawah atap asbes sebagai isolator

termal agar suhu hasil konveksi dari atap tidak dirasakan langsung oleh manuia namun dihambat melalui proes konduksi sehingga suhu yang masuk kedalam bangunan tidak terlalu tinggi.

4. Memperbaiki ventilasi-ventilasi yang tidak sesuai sehingga kehilangan panas pada bangunan dapat minimumkan.


(48)

SKRIPSI

ANALISIS TERMAL PADA BANGUNAN KONSTRUKSI KAYU RUMAH PRE-PABRIKASI TAHAN GEMPA FAHUTAN IPB

Oleh:

ANDRI KUSMAYADI F14051547

2009

DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN


(49)

48 DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman, Nurwati N. 2006. Pemanfaatan kayu hutan rakyat untuk komponen Bangunan. Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : 130-148 Anggraeni D. 1998. Pengukuran Suhu Efektif Pada Gedung Biru Universitas Budi

Luhur. http://rapidlibrary.com/Pengukuran Suhu Efektif Pada Gedung Biru Universitas Budi Luhur.

[Anonim]. 2007. Perencanaan dan Konstruksi Bangunan Sederhana Tahan Gempa.http://www.hyogo.uncrd.or.jp/school%20project/outcome/GE/GE% 20Indn.pdf. [17 Juni 2009].

[Anonim]. 2009. Lingkungan Udara Ruang yang Nyaman. http://googe.com//earch//udara nyaman.// lingkungan udara ruang yang nyaman. [Juni 2009]

Davies, Morris G. 2004. Building Heat Transfer. British Library Cataloguing in Publication Data: Englan. http://rapidlibrary.com/download_file// building heat transfer. [Juni 2009]

Heinz Frick, AMS Darmawan. 2007. Ilmu Fisika Bangunan. http:// http://google.com/search/download_file// ilmu_fisika_bangunan.[Juni 2009] Jansen. T.J. 1995. Teknologi Rekayasa Surya. Diterjemahkan oleh Wiranti

Arismunandar. PT. Pradnya Paramitha, Jakarta.

Karlinasari, lina dan Nugroho, Naresworo. 2006. Pembangunan rumah contoh tahan gempa untuk daerah bencana dengan sistem pre-pabrikasi. Laporan akhir KPM, Fakultas Kehutanan, Departemen Hasil Hutan, IPB, Bogor Karyono, Tri Harso.2001. Penelitian Kenyamanan Termis di Jakarta Sebagai

Acuan Suhu Nyaman Manusia Indonesia. Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 29, No. 1, Juli 2001: 24 – 33

Kamaruddin A et.all. 1998. Enegi dan Listrik Pertanian. JICA-DGHE/IPB Project ADAET:JTA-9a(132). FATETA, IPB: Bogor

Marat Khairoutdinov.2006. High-Resolution Simulation of Shallow-to-Deep Convection Transition over Land. Journal of the Atmospheric


(50)

49 Sciences.revised Version: March 2006. Department of Atmospheric Science Colorado State University.

Myer kutz. 2006. Heat Transfer Calculation. The McGraw-Hill Companies, Inc. http:// rapidlibrary.com/download_file// heat transfer. [17 Juni 2009]

Riska AAS. 2008. Analisis Distribusi Suhu dalam Bangunan Greenhouse Tunnel Berventilasi Ganda. Skripsi, Depatemen Teknik Pertanian. FATETA. IPB. Bogor

Romdhonah, Y. 2002. Analisis Sudut Datang Radiasi Matahari dan Pengembangan Model Pindah Panas Pada Greenhouse. Skripsi, Depatemen Teknik Pertanian. FATETA. IPB. Bogor

Soegijanto. 1999. Bangunan di Indonesia dengan Iklim Tropis Lembab Ditinjau Dari Aspek Fisika Lingkungan. Direktorat Jendral Pendidikan Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bandung

Tiwari, G.N., and Goyal, R.K. 1998. Greenhouse Technology. Narosa Publishing House, 6 community Centre Park, New Delhi, India.

Tri Endangsih. 2005. Penerapan Hemat Energi Pada Kenyaman Bangunan. Skripsi, Program Studi Teknik Arsitektur. Fakultas Teknik. Universitas Budi Luhur. Jakarta

William SJ. 2000. Engineering Heat Transfer 2nd Edition. Library of Congress Cataloging-in-Publication Data, CRC Press LLC:USA. http:// http://rapidlibrary.com/download_file// heat transfer. [Juni 2009]


(51)

SKRIPSI

ANALISIS TERMAL PADA BANGUNAN KONSTRUKSI KAYU RUMAH PRE-PABRIKASI TAHAN GEMPA FAHUTAN IPB

Oleh:

ANDRI KUSMAYADI F14051547

2009

DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN


(52)

SKRIPSI

ANALISIS TERMAL PADA BANGUNAN KONSTRUKSI KAYU RUMAH PRE-PABRIKASI TAHAN GEMPA FAHUTAN IPB

Oleh:

ANDRI KUSMAYADI F14051547

2009

DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN


(53)

DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

ANALISIS TERMAL PADA BANGUNAN KONSTRUKSI KAYU RUMAH PRE-PABRIKASI TAHAN GEMPA FAHUTAN IPB

SKRIPSI

Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

ANDRI KUSMAYADI F14051547

Dilahirkan di Bandung pada tanggal 1 Februari 1987

Bogor, September 2009 Menyetujui,

Ir. Sri Mudiastuti, M.Eng Dosen Pembimbing Akademik

Mengetahui,

Dr. Ir. Desrial, M.Eng Ketua Departemen


(54)

i Andri Kusmayadi. F14051547. Analisis Termal Pada Bangunan Konstruksi Kayu Rumah Pre-Pabrikasi Tahan Gempa Fahutan IPB. Di bawah bimbingan Sri Mudiastuti:2009

RINGKASAN

Hasil proyeksi Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia selama 25 tahun mendatang terus meningkat yaitu dari 205,1 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 273,2 juta pada tahun 2025. Dalam dekade 1990-2000, penduduk Indonesia bertambah dengan kecepatan 1,49 % per tahun. Semakin meningkatnya laju pertumbuhan di Indonesia ini secara tidak langsung akan meningkatkan jumlah kebutuhan rumah tinggal di Indonesia. Salah satu bahan bangunan yang dapat diaplikasikan secara cepat dan sumbernya dapat diperbaharui adalah bahan kayu. Penentuan karakteristik lingkungan pada suatu bangunan, dalam hal ini bangunan hunian konstruksi kayu sangat dibutuhkan untuk mengetahui distribusi sifat-sifat lingkungan yang berpengaruh terhadap mobilitas penghuni dalam bangunan.

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui karakteristik lingkungan yang nyaman pada bangunan konstruksi kayu Fahutan, melakukan analisis termal pada bangunan konstruksi kayu, dan melakukan permodelan (pemetaan distribusi suhu) terhadap bangunan konstruksi kayu dengan menggunakan program komputer surfer 8.0. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2009, bertempat di Laboratorium Teknik Kekuatan bahan, Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian dan Bangunan pre-Pabrikasi tahan gempa Fakultas Kehutan Institut Pertanian Bogor.

Dari hasil pengukuran langsung diperoleh bahwa rata-rata hasil pengukuran temperatur udara dalam bangunan pre-pabrikasi berada pada syarat zona daerah kenyamanan termal yaitu rata-rata temperatur udara sebesar 27,18oC, rata-rata batas mínimum sebesar 22,50oC (kondisi standar mensyaratkan 23oC), dan rata-rata batas maksimum sebesar 29,50 (kondisi standar mensyaratkan 29oC). Rata-rata nilai kecepatan udara pada bangunan berada pada nilai 0,11-0,20 m/s atau dalam kondisi kenyamanan termal yaitu antara 0,10-1,50 m/s. Rata-rata nilai kelembaban udara sebesar 82% (kondisi standar mensyaratkan 50-80%).

Proses pindah panas yang terjadi pada bangunan pre-pabrikasi meliputi pindah panas radiasi, pindah panas konveksi dan pindah panas konduksi. Pindah panas radiasi terjadi pada lapisan atap, pindah panas konveksi terjadi pada lapisan atap asbes-udara luar, atap asbes-udara dalam, dinding-lapisan udara, lantai-lapisan udara, sedangkan pindah panas konduksi terjadi pada lantai-lapisan atap, dinding, lapisan pintu, lantai dan lapisan tanah. Besarnya nilai kalor radiasi yang diterima bangunan sebesar 482 W/m2 (rata-rata), 501 W/m2 (maksimum), 473 W/m2 (minimum), besarnya nilai kalor konveksi yang diterima bangunan sebesar 19,5 W/m2 (rata-rata), 29,21 W/m2 (maksimum), 14,21 W/m2 (minimum), Besarnya nilai kalor konduksi yang diterima bangunan sebesar 58,78 W/m2 (rata-rata), 90,22 W/m2 (maksimum), 18,41 W/m2 (minimum). Hasil pengukuran temperatur yang dijadikan sebagai input dalam program surfer 8.0 memperlihatkan bahwa telah terjadi proses pindah panas dalam banguanan yang ditunjukan dengan simulasi perubahan kontur termal terhadap fungsi waktu.


(55)

ii RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung 1 Februari 1987. Anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Sukirno dan Entin. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Cibeunying III pada tahun 1999. Penulis melanjutkan pendidikan menengah di SLTP Negeri 27 Bandung dan lulus pada tahun 2002. Setelah itu melanjutkan ke SMA PGII 1 Bandung dan lulus pada tahun 2005. Tahun 2005, penulis masuk ke IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan kemudian pada tahun 2006 melalui seleksi sistem Mayor-Minor IPB penulis diterima di Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Pada semester lima, penulis masuk bagian Lingkungan dan Bangunan Pertanian (LBP) dengan dosen pembimbing akademik Ir. Sri Mudiastuti, M.Eng.

Pada tahun 2008, penulis melakukan Kegiatan Praktek Lapangan di PTPN VII Unit Usaha Cinta Manis Palembang Sumatera Selatan dengan mengambil judul “ Aspek Keteknikan Pada Proses dan Budidaya tebu di PTPN VII (Persero) UU. Cinta Manis, Sumatera Selatan”. Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Termal Pada Bangunan Konstruksi Kayu Rumah Pre-Pabrikasi Tahan Gempa Fahutan IPB”.

Selama di perkuliahan penulis aktif mengikuti beberapa lembaga kemahasiswaan di IPB yaitu MPM KM IPB sebagai Sekretaris Jenderal tahun 2008-2009, DPM KM IPB sebagai staf Komisi Tiga tahun 2008-2009, DPM Fateta IPB 2007-2008 sebagai Ketua, MPM KM IPB 2007-2008 sebagai staf BP MWA, BEM Fateta IPB 2006-2007 sebagai staf SOSPOL, dan Paguyuban Mahasiswa Bandung 2006-2007 sebagai Wakil Ketua. Selain aktif di lembaga kemahasiswaan, penulis pun pernah mendapatkan hibah DIKTI melalui Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang kewirausahaan tahun 2008 dengan judul “Ekstrak Daun Saga Sebagai Alternatif Minuman Kesehatan”. Penulis pun pernah mendapatkan Beasiswa Bantuan Belajar Mandiri IPB (2006/2007), Beasiswa Yayasan Karya Salemba Empat (2007/2008, 2008/2009, dan 2009/2010). hp:+6285624949289|e-mail:naru_interisty_02@yahoo.com


(1)

(2)

(3)

50

LAMPIRAN


(4)

(5)

(6)

i Andri Kusmayadi. F14051547. Analisis Termal Pada Bangunan Konstruksi Kayu Rumah Pre-Pabrikasi Tahan Gempa Fahutan IPB. Di bawah bimbingan Sri Mudiastuti:2009

RINGKASAN

Hasil proyeksi Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia selama 25 tahun mendatang terus meningkat yaitu dari 205,1 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 273,2 juta pada tahun 2025. Dalam dekade 1990-2000, penduduk Indonesia bertambah dengan kecepatan 1,49 % per tahun. Semakin meningkatnya laju pertumbuhan di Indonesia ini secara tidak langsung akan meningkatkan jumlah kebutuhan rumah tinggal di Indonesia. Salah satu bahan bangunan yang dapat diaplikasikan secara cepat dan sumbernya dapat diperbaharui adalah bahan kayu. Penentuan karakteristik lingkungan pada suatu bangunan, dalam hal ini bangunan hunian konstruksi kayu sangat dibutuhkan untuk mengetahui distribusi sifat-sifat lingkungan yang berpengaruh terhadap mobilitas penghuni dalam bangunan.

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui karakteristik lingkungan yang nyaman pada bangunan konstruksi kayu Fahutan, melakukan analisis termal pada bangunan konstruksi kayu, dan melakukan permodelan (pemetaan distribusi suhu) terhadap bangunan konstruksi kayu dengan menggunakan program komputer

surfer 8.0. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2009, bertempat di Laboratorium Teknik Kekuatan bahan, Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian dan Bangunan pre-Pabrikasi tahan gempa Fakultas Kehutan Institut Pertanian Bogor.

Dari hasil pengukuran langsung diperoleh bahwa rata-rata hasil pengukuran temperatur udara dalam bangunan pre-pabrikasi berada pada syarat zona daerah kenyamanan termal yaitu rata-rata temperatur udara sebesar 27,18oC, rata-rata batas mínimum sebesar 22,50oC (kondisi standar mensyaratkan 23oC), dan rata-rata batas maksimum sebesar 29,50 (kondisi standar mensyaratkan 29oC). Rata-rata nilai kecepatan udara pada bangunan berada pada nilai 0,11-0,20 m/s atau dalam kondisi kenyamanan termal yaitu antara 0,10-1,50 m/s. Rata-rata nilai kelembaban udara sebesar 82% (kondisi standar mensyaratkan 50-80%).

Proses pindah panas yang terjadi pada bangunan pre-pabrikasi meliputi pindah panas radiasi, pindah panas konveksi dan pindah panas konduksi. Pindah panas radiasi terjadi pada lapisan atap, pindah panas konveksi terjadi pada lapisan atap asbes-udara luar, atap asbes-udara dalam, dinding-lapisan udara, lantai-lapisan udara, sedangkan pindah panas konduksi terjadi pada lantai-lapisan atap, dinding, lapisan pintu, lantai dan lapisan tanah. Besarnya nilai kalor radiasi yang diterima bangunan sebesar 482 W/m2 (rata-rata), 501 W/m2 (maksimum), 473 W/m2 (minimum), besarnya nilai kalor konveksi yang diterima bangunan sebesar 19,5 W/m2 (rata-rata), 29,21 W/m2 (maksimum), 14,21 W/m2 (minimum), Besarnya nilai kalor konduksi yang diterima bangunan sebesar 58,78 W/m2 (rata-rata), 90,22 W/m2 (maksimum), 18,41 W/m2 (minimum). Hasil pengukuran temperatur yang dijadikan sebagai input dalam program surfer 8.0

memperlihatkan bahwa telah terjadi proses pindah panas dalam banguanan yang ditunjukan dengan simulasi perubahan kontur termal terhadap fungsi waktu.