Pengelolaan Perikanan Pelagis Kecil
297 telah mulai digulirkan sejak berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia No.
22 tahun 1998 tentang Otonomi Daerah dan kemudian diamandemen dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, akan tetapi sebagian dari pengelolaan sumberdaya perikanan lautnya masih berbasis pada pemerintah pusat Government Based Management. Dalam
pengelolaan seperti ini, pemerintah bertindak mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai pada pengawasan. Sedangkan kelompok masyarakat pengguna hanya
menerima informasi tentang produk-produk kebijakan dari pemerintah. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia N0. 31 tentang Perikanan
dikemukakan bahwa pengelolaan perikanan adalah ”semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan,
konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang
perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produkstivitas sumberdaya hayati perairan dan
tujuan yang telah disepakati”. Dari definisi tersebut tercermin beberapa elemen, yaitu :
1 Pengumpulan data dan informasi, 2 Penganalisaan,
3 Penegakan hukum pengawasan, 4 Konsultasi dan
5 Alokasi sumberdaya Pengelolaan perikanan yang baik seyogyanya diawali dengan perencanaan,
dimana dalam perumusannya harus melibatkan seluruh stakeholder agar terjadi kesepakatan akan tujuan dari pengelolaan itu sendiri, serta cara yang
dipergunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Wujud dari pengelolaan perikanan ini adalah berupa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah atau otoritas
pengelola perikanan.
Pada dasarnya kebijakan pembangunan dirumuskan dalam 3 tiga kebijakan strategis yang terintegrasi, yaitu kebijakan ekonomi, kebijakan sumberdaya alam
298 dan lingkungan serta kebijakan kelembagaan. Selanjutnya, setiap kebijakan
strategis akan diperkuat dengan kebijakan-kebijakan spesifik, sesuai dengan isu yang relevan dan aktual. Purwanto 1995 mengemukakan bahwa secara
konsepsional terdapat 2 dua pilihan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di laut, yaitu membebaskan seluruh nelayan untuk mengembangkan armada
penangkapannya yang lebih dikenal dengan regim akses terbuka, atau mengendalikan perkembangan industri perikanan tangkap. Konsekuensi dari
kegiatan perikanan akses terbuka seperti halnya yang pertama adalah terjadinya inefisiensi alokasi dan terancamnya kelestarian sumberdaya perikanan.
Sementara pilihan kedua dapat diarahkan pada berbagai sasaran, misalnya bila sasarannya semata- mata untuk peningkatan konsumsi ikan, maka pengelolaan
sumberdaya perikanan diarahkan pada upaya mencapai MSY. Namun demikian, kebijakan ini secara ekonomi berakibat inefisiensi alokasi sumberdaya.
Selanjutnya, bila sasarannya adalah efisiensi alokasi sumberdaya secara ekonomi, maka kegiatan usaha penangkapan harus dikendalikan sampai mencapai titik
MEY. Berangkat dari masalahisu yang berkembang berkaitan dengan perikanan
pelagis kecil yang berbasis di pantai utara Jawa, maka analisa dilakukan dengan memperhatikan faktor- faktor strategis baik yang bersifat internal maupun
eksternal, dan dengan bantuan pendekatan SWOT diperoleh beberapa strategi kebijakan. Selanjutnya, hasil analisis menunjukkan bahwa strategi – ST yaitu
strategi dengan menggunakan kekuatan yang dimilik untuk menghindari ancaman menjadi prioritas utama. Dengan mempertimbangkan bahwa kelebihan kapasitas
penangkapan sebagai ancaman utama, karena ancaman ini dapat melahirkan persoalan lebih tangkap, konflik sosial dan lain sebagainya, maka kebijakan
pembangunan yang harus dijalankan adalah kebijakan yang mampu mengatasi ancaman ini. Adapun kebijakan dimaksud adalah :
1 Diversifikasi usaha perikanan 2 Relokasi nelayan dan armada perikanan serta
3 Perbaikan ekosistim perairan dengan melibatkan masyarakat.
299 Kebijakan diversifikasi usaha perikanan diharapkan dapat memberikan
dampak multiplyer yang tinggi, yaitu membuka lapangan kerja di luar kegiatan penangkapan di satu sisi dan mengurangi jumlah nelayan yang melakukan
penangkapan ikan disisi lain. Harapan lanjutannya adalah berkurangnya tekanan terhadap sumberdaya ikan yang ada, dan pendapatan masyarakat meningkat
karena hasil tangkapan per upaya akan meningkat. Sementara kebijakan relokasi nelayan dan armada perikanan mempunyai tujuan jangka pendek, yaitu
mengurangi jumlah nelayan. Akan tetapi dalam jangka panjang, kebijakan ini diharapkan mampu menghidari ancaman kelebihan kapasitas penangkapan dan
juga mampu meningkatkan pendapatan nelayan. Kebijakan yang berkaitan dengan perbaikan ekosistim perairan dengan melibatkan masyarakat, mempunyai
tujuan untuk meningkatkan daya dukung perairan yang akan berdampak pada terciptanya ruang ekologi yang memungkinkan bertambahnya stok ikan. Dengan
melibatkan masyarakat yang mempunyai kekuatan cinta bahari, diharapkan kebijakan ini dapat berjalan baik dan mampu menciptakan lapangan kerja baru.
Ketiga bentuk kebijakan tersebut diatas menuntut adanya partisipasi penuh dari masyarakat, agar kebijakan dapat berjalan dengan baik. Artinya, masyarakat
harus memahami persoalan mendasar yang ada pada kegiatan perikanan pelagis kecil ini, dengan harapan berinisiatif untuk menyelesaikannya. Tentu dalam hal
ini pemerintah sebagai otoritas pengelola perikanan harus mampu bertindak sebagai fasilitator, agar kebijakan dapat berjalan sesuai dengan harapan. Prinsip
dasarnya sebagaimana dikemukakan oleh Osborne and Gaebler 1992, bahwa orang akan bertindak dengan lebih bertanggung jawab bila mereka mengontrol
sendiri lingkungannya dibandingkan bila berada dibawa kendali orang lain. Lebih lanjut dikemukakan bahwa, bila masyarakat diberi wewenang untuk memecahkan
masalah mereka sendiri, maka mereka akan berfungsi lebih baik ketimbang masyarakat yang tergantung pada jasa yang diberikan pihak luar.
Dengan memperhatikan data dan informasi yang diperoleh dalam penelitian ini, maka dapat dikemukakan bahwa perikanan pelagis kecil yang berbasis di
utara Jawa berada pada kondisi yang sangat memprihatinkan. Hal ini disebabkan oleh kondisi sumberdaya ikannya yang sudah lebih tangkap, sebagai akibat
adanya kelebihan kapasitas. Sementara disisi lain, jumlah upaya yang terlibat
300 dalam kegiatan perikanan ini cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Oleh
karena itu, harus ada keberanian untuk mengurangi jumlah upaya yang ada sampai pada batas jumlah optimal untuk mencapai maximum economic yield MEY.
Upaya optimal ini adalah 231.781,97 hari-kapal, atau setara dengan 935 unit alat
tangkap purse-seine. Apabila jumlah unit alat tangkap ini dibagi secara proporsional berdasarkan jenis alat tangkap, maka akan diperoleh 114 unit purse-
seine, 1.327 unit payang, 11.733 unit gillnet dan 805 unit bagan. Sementara apabila pendekatannya adalah maximum sustainable yield MSY, maka upaya
optimalnya adalah 338.199,98 hari-kapal atau setara dengan 1.364 unit purse-
seine. Upaya optimal ini terdistribusi secara proporsional untuk masing- masing alat tangkap, yaitu 166 unit purse-seine, 1.936 unit payang, 17.119 unit gillnet
dan 1.174 unit bagan.
10 KESIMPULAN DAN SARAN