Representasi Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Representasi Feminis dalam Buku 13 Perempuan Karya Yonathan Rahardjo T1 362008078 BAB II

9 BAB II KAJIAN TEORI Di dalam bab dua ini akan dibahas beberapa teori yang menjadi landasan dari analisis yang akan dilakukan dalam penelitian ini. Teori tersebut adalah Representasi, Cerita Pendek, Feminisme, Analisis Wacana Kritis model Sara Mills.

2.1. Representasi

Istilah representasi itu sendiri menunjuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam produk media. Pertama, apakah seseorang atau kelompok atau gagasan tersebut ditampilkan sebagaimana mestinya. Kata ‘semestinya’ ini mengacu pada apakah seseorang atau kelompok itu diberitakan apa adanya atau diburukkan. Penggambaran yang tampil bisa jadi adalah penggambaran yang buruk dan cenderung memarjinalkan seseorang atau kelompok tertentu. Kedua, bagaimanakah representasi itu ditampilkan, hal tersebut bisa diketahui melalui penggunaan kata, kalimat, aksentuasi Eriyanto, 2001:113. Persoalan utama dalam representasi adalah bagaimana realitas atau suatu objek ditampilkan. Menurut John Fiske, saat menampilkan objek, peristiwa, gagasan, kelompok atau seseorang paling tidak ada tiga proses yang harus dihadapi. Pada level pertama, adalah peristiwa yang ditandakan encode sebagai realitas; bagaimana suatu hal itu dikonstruksi sebagai realitas oleh media. Pada level kedua, ketika kita memandang sesuatu sebagai realitas, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana realitas itu digambarkan. Dalam hal ini alat teknis yang dapat digunakan adalah kata, kalimat atau proposisi dan sebagainya. Pemakaian kata-kata, kalimat atau proposisi tertentu, misalnya, membawa makna tertentu ketika diterima oleh khalayak. Pada level ketiga, bagaimana suatu hal tersebut diorganisir ke dalam konvensi-konvensi yang diterima secara ideologis. Bagaimana kode-kode representasi dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam koherensi sosial seperti kelas sosial atau kepercayaan dominan dalam masyarakat. 10 Menurut Fiske, ketika kita melakukan representasi tidak bisa dihindari kemungkinan menggunakan ideologi tersebut. Misalnya, ada peristiwa pemerkosaan, bagaimana peristiwa tersebut digambarkan. Dalam ideologi yang dipenuhi patriarki, kode representasi yang muncul, misalnya digambarkan dengan tanda posisi laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan. Tabel 2.1. Tahap Representasi Menurut John Fiske Pertama Realitas Dalam televisi seperti pakaian, make up, perilaku, gerak- gerik, ucapan, suara. Dalam bahasa tulis seperti dokumen, wawancara, transkip dan sebagainya. Kedua Representasi Elemen-elemen di atas ditandakan secara teknis. Dalam bahasa tulis seperti kata, kalimat, proposisi, foto dan sebagainya. Elemen-elemen tersebut ditransmisikan ke dalam kode representasional yang memasukan di antaranya bagaimana objek digambarkan: karakter, narasi, setting, dialog, dan sebagainya Ketiga Ideologi Semua elemen diorganisasikan dalam koherensi dan kode-kode ideologi seperti individualisme, liberalisme, sosialisme, patriaki, ras, kelas, materialism, kapitalisme dan sebagainya Sumber: Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS. hlm 115 Penggunaan istilah representasi berangkat dari kesadaran bahwa apa yang tersaji di media seringkali tidak selalu persis dengan apa yang ada di realitas empirik. Isi media tidak merupakan murni realitas karena itu representasi lebih tepat dipandang sebagai cara bagaimana mereka membentuk versi realitas dengan cara-cara tertentu bergantung pada kepentingannya. Pendapat Fiske mengenai representasi ini berlaku dalam sebuah proses kerja media secara umum dan sudah mulai menyinggung mengenai kaitan antara representasi dengan realitas bentukan yang diciptakan oleh suatu media. 11 Branston dan Stafford 1996:78 mengatakan bahwa representasi bisa diartikan sebagai segenap tanda yang digunakan media untuk menghadirkan kembali re-present sebuah peristiwa atau realitas. Namun demikian realitas yang tampak tersebut tidaklah semata-mata menghadirkan realitas sebagaimana adanya. Di dalamnya senantiasa akan ditemukan sebuah konstruksi a construction, atau tak pernah ada realitas yang benar-benar transparan. Namun realitas yang dibangun oleh pembuat teks, yakni realitas yang dibentuk oleh pihak-pihak yang terlibat dalam proses produksi makna lewat bahasa yang dilakukan oleh pekerja media itu sendiri. Konstruksi realitas ini sangat dipengaruhi sejumlah faktor seperti afiliasi ideologis dari pengelola media, lingkungan sosio-politis tempat media berada, sumber-sumber acuan yang digunakan media serta sumber-sumber kehidupan media.

2.2. Cerita Pendek Cerpen