2.
3. Proteinuria tubular terjadi karena menurunnya resorpsi tubular
terhadap komponen protein pada filtrate glomerular dan dapat dijumpai pada penyakit tubulo-interstitial.
4. Overload proteinuria terjadi secara sekunder karena meningkatnya
produksi dari protein berat molekul rendah. Keadaan proteinuria ini sering terjadi pada kondisi mieloproliperatif yang jarang pada anak.
Benign proteinuria menunjukkan proteinuria yang terdeteksi pada urinalisis tetapi tidak memeiliki penyebab patologis yang serius.
Keadaan ini dapat terjadi pada saat demam atau setelah beraktifitas, idiopathic transient proteinuria dan orthostatic atau postural
proteinuria.
2.3. Hubungan kejadian proteinuria dengan PJB sianotik
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa proteinuria, penurunan aliran darah ginjal, dan menurunnya laju filtrasi glomerulus terjadi pada penderita PJB,
tetapi hanya sedikit yang melaporkan terjadinya disfungsi tubulus ginjal.
8
Hal ini juga telah ditunjukkan bahwa sianosis kronis mempengaruhi struktur dan
fungsi glomerulus ginjal dengan akhirnya menyebabkan proteinuria. Efek merugikan dari hipoksia kronis pada fungsi tubular ginjal lebih jarang
ditunjukkan. Asidosis tubular ginjal sekunder merupakan komplikasi penyerta pada penderita sianosis kronis.
Nefropati diketahui merupakan komplikasi dari PJB, dan tingginya risiko terjadinya gangguan ginjal terutama pada PJB sianotik. Walaupun
komplikasi ini akan terjadi setelah waktu yang lama dari penyakit, tetapi kerusakan tubular dapat terjadi pada dekade pertama.
25
26,27
Hipoksia kronis menstimulasi pelepasan eritropoietin, yang meningkatkan produksi eritrosit
dan kemudian terjadi peningkatan volume darah dan viskositas. Hipoksia dapat menyebabkan proliferasi dari tubulus ginjal dan sel glomerulus,
Universitas Sumatera Utara
perubahan ini merupakan bagian dari petogenesis kerusakan ginjal. Penelitian telah menunjukkan bahwa kerusakan ginjal berhubungan dengan
durasi atau lamanya dari PJB tersebut.
8
Sianosis dan eritrositosis sangat mempengaruhi viskositas darah. Peningkatan viskositas darah
memiliki dampak langsung pada fungsi pembuluh darah dan kecenderungan untuk terjadi trombosis dan emboli.
Keadaan ini dijelaskan pada gambar 1.
13
Gambar 2.1. Patofisiologi hubungan sianosis dengan disfungsi vaskular pada PJB.
13
Universitas Sumatera Utara
Hipoksia kronis dapat mempengaruhi fungsi ginjal, baik secara langsung maupun sekunder melalui eritrositosis dan peningkatan viskositas
darah. Hiperviskositas dapat menyebabkan peningkatan resistensi arteriolar eferen glomerulus, tekanan hidrostatik di glomerulus dan fraksi filtrasi, yang
akan menghasilkan peningkatan tekanan onkotik dalam pembuluh darah postglomerular yang mengalirkan ke proksimal tubulus dan menyebabkan
reabsorpsi cairan dan zat terlarut serta terjadi retensi cairan. Nitric Oxide
28
disintesis dari NO synthase di sel mesangial glomerulus, kapiler dan sel endotel jukstamesangial khususnya pada sel makula densa.
Nitric Oxide bekerja sebagai hormon autokrin dan parakrin yang mengatur respon vaskular glomerul terhadap endotel. Sel mesangial berproliferasi
terhadap respon dari platelet-derived growth factor PDGF, yang meningkatkan substrat untuk menghasilkan NO. Peningkatan tegangan geser
dari perfusi glomerulus meningkatkan pelepasan NO yang dapat melebarkan pembuluh darah glomerulus.
29
Pada penelitian lainnya telah menjelaskan bahwa ginjal pada penderita PJB sianotik menunjukkan perubahan patologis, meliputi
glomerulomegali, dilatasi kapiler, meningkatnya jumlah loop kapiler, penebalan atau kerusakan dinding kapiler, dan proliferasi mesangial.
5
Lesi yang ditemukan pada glomerulus yaitu adanya kongesti pembuluh darah
kapiler dan ektasia, penebalan atau adanya pemisahan dari dinding kapiler, hiperseluler fokal dan difus, dan sklerosis global dan segmental.
Glomerulomegali dianggap mendasari terjadi peningkatan luas permukaan yang tersedia untuk filtrasi dan dilaporkan berhubungan dengan derajat
sianosis dan usia penderita. Penelitian di Iran
30
melaporkan PJB non sianotik, proteinuria tidak berhubungan dengan usia, tekanan arteri pulmonal, hematokrit dan
regurgitasi trikuspid. Selain itu, juga dilaporkan kadar hemoglogin dan
Universitas Sumatera Utara
hematokrit pada penderita PJB sianotik secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan PJB non-sianotik tetapi tidak ada hubungan antara
jumlah ekskresi protein dengan hemoglogin dan hematokrit tetapi kejadian proteinuria terjadi lebih sering pada hematokrit yang tinggi.
Mekanisme terjadinya proteinuria pada penderita nefropati sianotik belum sepenuhnya diketahui, tetapi terdapat beberapa kemungkinan.
Pertama, hiperviskositas menyebabkan menurunnya aliran darah kapiler peritubular yang mungkin menyebabkan meningkatnya tekanan kapiler pada
glomerulus, yang akhirnya menyebabkan proteinuria. Alasan kedua, akibat meningkatnya area permukaan kapiler glomerulus menyebabkan
terganggunya fungsi podosit, yang mengakibatkan hipertrofi podosit, yang akhirnya menyebabkan proteinuria. Bagaimanapun, hipertrofi podosit tidak
dapat mengkompensasi lebih lama akibat meningkatnya area permukaan kapiler glomerulus, akibatnya terjadi disfungsi podosit, yang akhirnya
menyebabkan proteinuria.
27
Penelitian di Iran melaporkan Truncus Arteriosus TA adalah penyebab penting dari proteinuria pada bayi dan anak yang menderita PJB,
yang mungkin berhubungan dengan Hipertensi Pulmonal berat dan sianosis.
5,17
31
Proteinuria yang lebih rendah dari kadar nefrotik telah terbukti terjadi pada penderita PJB sianotik dan PJB yang lama serta Hipertensi
Pulmonal dimana umumnya terjadi pada dewasa dengan patogenesis yang kontroversial.
32
Hipertensi Pulmonal didefinisikan sebagai peningkatan tekanan arteri pulmonal lebih dari 25 mmHg pada saat istirahat dan 30 mmHg pada saat
beraktivitas.
33,34
Definisi ini tidak berlaku pada neonatus dan bayi muda dimana tekanan arteri pulmonal masih lebih tinggi dari tekanan arteri
sistemik. Hipertensi Pulmonal berhubungan dengan PJB yang memiliki hubungan yang besar dari sistemik ke pulmonal seperti DSV, DSA, DAP dan
Universitas Sumatera Utara
lainnya. Hipertensi pulmonal juga dapat terjadi pada beberapa PJB sianotik dengan peningkatan vaskularisasi ke paru, seperti Transposisi Arteri Besar,
dan sebagainya.
34
Hipertensi Pulmonal terjadi lebih sering pada kelompok PJB sianotik dan terjadi proteinuria yang signifikan pada kelompok dengan
sianosis dan tingginya tekanan atrium. Beberapa penelitian melaporkan bahwa tingginya tekanan atrium kanan merupakan faktor risiko meningkatnya
proteinuria pada panyakit jantung. Komplikasi pada ginjal dapat terjadi primer setelah operasi jantung
bawaan, tetapi biasanya komplikasi jantung terjadi secara sekunder. Rendahnya Cardiac Output CO dan henti jantung dapat menyebabkan
disfungsi ginjal akut atau gagal ginjal akut.
34
35
Angiotensin-converting enzyme inhibitor ACEI telah terbukti mengurangi proteinuria pada penderita PJB
sianotik. Dalam beberapa eksperimental, kelas obat ini tampaknya untuk memperbaiki apoptosis yang menginduksi hipoksia dan mengatur produksi
nitric oxide endotel.
13
Peningkatan aliran plasma kapiler glomerulus menyebabkan dilatasi kapiler, meningkatnya tekanan hidrolik kapiler
glomerulus dan sklerosis glomerular. Pada keadaan ini, ACEI dapat menurunkan tekanan intraglomerular, ACEI memiliki efek anti proteinuria
melalui pengaruh langsung pada hemodinamik glomerulus dengan efek vasodilatasi arteriol eferen.
6
Penelitian di Italia melaporkan bahwa kombinasi ACEI dengan angiotensin II type 1 receptor antagonists pada anak dengan
keadaan proteinuria akibat masalah utama pada ginjal dapat menurunkan proteinuria secara signifikan dibandingkan dengan pemberian obat tersebut
secara tunggal.
36
Universitas Sumatera Utara
2.4. Kerangka Konseptual