Analisis Data METODE PENELITIAN
Sejak dulu, musik Campak sering dikenal sebagai musik pergaulan karena dilakukan selama musim padi di uma ladangkebun, pesta
kampung atau pada saat terang bulan purnama. Masyarakat Bangka Belitung yang berada di Pangkalpinang, menanam padi di hutan bukan di
sawah seperti pada umumnya. Hal ini dikarenakan keadaan alam desa tersebut masih sangat alami dan masih memiliki banyak hutan, oleh karena
itu masyarakat memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia dengan menanam padi di hutan sehingga, biasanya dalam setiap pembukaan lahan
baru untuk bertani dibutuhkan kerjasama antara warga di dusun. Pak Ibnu juga menjelaskan yang diuraikan sebagai berikut:
“nanem padi jaman luk ya lama dari pada nanem padi di sawa, dulu ya urang-urang gati bebantu-bantu pun nek muka lahan baru.
Biase e pun muet lahan ni sekitar bulan maret, sude ya sekitar bulan juli sampai agustus biase urang-urang luk ya ngebakar
lahan ya. Pun la selesai mersih baru kek mulai nanem padi. luk ya, biase e ude nanem urang-urang ya beuolok-ulok kek pantun biak
ngilang leteh e.” kegiatan dalam menanam padi di hutan membutuhkan waktu yang
lama dibandingkan dengan menanam padi di sawah. Kesenian Campak ini ada berawal dari kegiatan gotong royong warga
muda-mudi Bangka saat berladang, mereka bergotong royong saat membuka lahan baru untuk pertanian memerlukan pembersihan
hutan biasanya melakukan kegiatan dalam membakar lahan, pembakaran lahan selesai barulah lahan yang telah bersih
ditanami padi, setelah menanam padi sambil menunggu panen padi, muda-mudi ini bersenda gurau dengan bernyanyi
menggunakan pantun, sehingga terciptalah suasana yang menyenangkan, kebiasaan seperti ini sering dilakukan muda - mudi
saat bekerja diladang untuk menghilangkan rasa lelah.
Kemudian, kebiasaan masyarakat Bangka Belitung yang sering menggunakan pantun telah diwariskan turun temurun sehingga waktu itu
pantun sering menjadi bahasa umum masyarakat Bangka dalam berkomunikasi. Kebiasaan masyarakat Bangka yang sering menggunakan
Pantun Melayu merupakan salah satu produk budaya yang tetap hidup di Pulau Bangka Belitung. Masyarakat melayu Bangka merupakan pujangga.
Hal itu disebabkan masyarakat Melayu Bangka Belitung sering menggunakan pantun dalam aktivitas sehari-harinya. Budaya berbalas
pantun memang sangat kental di Kepulauan Bangka Belitung. Budaya berpantun sudah ada sejak ratusan tahun lalu dalam tataran sosial
masyarakat Melayu di Pangkalpinang Bangka Belitung. Menurut hasil wawancara dengan bapak Ibnu Hajar, pantun dalam kehidupan masyarakat
Melayu Pangkalpinang Bangka Belitung bukan hanya digunakan pada kegiatan formal melainkan juga digunakan dalam kegiatan nonformal,
seperti pada kesenian Campak. Para pemuda atau laki - laki yang menggunakan pantun biasanya
digunakan untuk menggoda sang gadis yang saat itu menarik hati sang pemuda laki - laki. Mereka berpantun sambil bernyanyi, awalnya saat
mereka menendangkan pantun tanpa menggunakan alat musik yang ada hanya irama secara bernyanyi dengan nada yang ada dipikiran saja, setelah
itu sesampai di rumah mereka menggunakan alat musik gendang, piul biola, dan tawak-tawak gong yang saat itu sudah mereka miliki di
rumah untuk menyempurnakan lagu. Sambil menunggu waktu panen padi musik ini dimainkan juga sebagai penghilang rasa bosan dan hiburan bagi
petani lainnya, saat mereka bosan dalam menjaga nugel padi. Suasana
seperti ini terjadi sampai hasil panen padi tiba pada bulan Januari, oleh karena itu kesenian ini pun dinamakan kesenian Campak yang artinya
pantun yang dinyanyikan. Musik ini dimainkan bergilir dari rumah ke rumah setiap malam untuk menjalin keakraban antar warga selama proses
penanaman sampai hasil panen. Saat muda - mudi bersenda gurau biasanya terjadilah keterkaitan
antara muda-mudi sehingga ada hasrat sang laki - laki untuk memiliki sang wanita, melihat sang wanita tertarik, usaha sang laki - laki pun berlanjut
sampai pulang dari kebun uma dengan memainkan musik Campak setelah sholat isya sampai waktu subuh datang. Saat musik dimainkan
terjadilah perdebatan antara muda - mudi bahkan pemuda lain yang ingin memiliki wanita yang sama sehingga membuat keadaan semakin ramai
dan penuh dengan warna yang membuat para penonton tertawa dan rasa lelah saat dikebun pun hilang. Masyarakat bangka lebih menyukai hidup di
uma kebun di bandingkan hidup di dusunkampung dikarenaka hidup dikebun jauh lebih nyaman dan tentram. Kebiasaan mereka dalam hidup
berkelompok di uma dan telah melahirkan kesenian yang memiliki keunikan tersendiri, sehingga kesenian Campak dijadikan sebagai musik
hiburan rakyat dalam bentuk tarian, pantun, dan musik.
3. Syair lagu Kesenian Campak
Syair pada kesenian Campak merupakan Pantun yang dinyanyikan secara autodidax mendadak, namun sekarang pantun yang dinyanyikan
didendangkan sudah dirancang khusus pada saat ingin tampil. Rima yang terdapat pada pantun di musik melayu merupakan rima berangkai, yaitu
rima yang berpola A, A, B, B. Pantun akan dimulai setelah beberapa menit alat musik dimainkan, pantun pertama mulai dibawakan oleh pemantun
wanita Campak dan setelah itu barulah pemantun laki-laki nanandak akan membalas pantun tersebut.
Namun kini pelantun pantun tidak seperti dulu lagi, dimana dulunya para pemantun secara sepontan melontarkan pantun pada saat
kesenian Campak dimainkan, sedangkan sekarang ini para pemantun sudah mengkonsepkan pantun terlebih dahulu sebelum tampil sebgaimana
disebutkan oleh Bapak Ibnu : “Pantun ya dibawe dalam kesenian campak ya pantun spontan,
tapi sekarang pantun ya la di buet khusus pun nek tampil, sege orang-orang sekarang ni la mulai lupa kek tradisi-tradisi yang luk
dulu-dulu ya”.
Pantun yang dibawakan dalam kesenian Campak adalah pantun yang dimainkan secara otodidak, namun sekarang pantun yang
dimainkan sudah dirancang khusus pada saat ingin tampil, dikarenakan masyarakat sekarang mulai melupakan tradisi-tradisi
yang dahulunya sudah ada
Hal ini di karenakan minat masyarakat sekarang dengan dulu sudah sangat berbeda, pada waktu dulu masyarakat masih sering
menggunakan pantun dalam berkomunikasi sehari- hari, namun sekarang