PENGARUH BELANJA MODAL DAN INVESTASI DAERAH TERHADAP TINGKAT KEMANDIRIAN KEUANGAN KABUPATEN KOTA Se-SUMATERA

(1)

TERHADAP TINGKAT KEMANDIRIAN KEUANGAN KABUPATEN KOTA Se-SUMATERA

Oleh Rostina

Kemandirian keuangan merupakan faktor penting didalam suatu daerah. Keuangan daerah yang baik dapat dilihat pada kinerja keuangannya. Keadaan keuangan ini merupakan penunjang dalam peningkatan kepercayaan masyarakat terutama dalam hal penyediaan berbagai sarana dan prasarana untuk menunjang pembangunan daerah khususnya belanja modal. Pembangunan daerah juga bisa dilihat dari adanya investasi daerah, yang gunanya untuk menambah income daerah berupa pendapatan daerah, hal ini dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berasal dari penyertaan modal pemerintah dalam bentuk saham yang pada akhirnya bertujuan mendapatkan manfaat ekonomik. Perkembangan ekonomi dapat mendorong peningkatan pendapatan daerah, yang secara teori semakin tinggi kontribusi pendapatan daerah yang tinggi berarti daerah memiliki kemampuan untuk membiayai rumah tangganya sendiri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perkembangan ekonomi di daerah dilihat dari belanja modal, investasi daerah terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah, Alat analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah model regresi linear berganda dengan pengolahan data menggunakan bantuan program SPSS. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara simultan/ bersama-sama belanja modal, investasi daerah signifikan berpengaruh terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah, namun secara individual belanja modal signifikan berpengaruh terhadap tingkat kemandirian keuangan, begitu pula investasi daerah berpengaruh terhadap tingkat kemandirian keuangan.

Kata kunci : Belanja Modal, Investasi daerah, Tingkat Kemandirian keuangan kabupaten kota Se-Sumatera


(2)

DISTRICT ON THE LEVEL OF INDEPENDENCE CITY Se-SUMATRA

by

Rostina

Financial independence is an important factor in a region. Good financial area can be seen on its financial performance. The financial situation is supporting the improvement of public confidence, especially in terms of providing a variety of facilities and infrastructure to support regional development, especially capital expenditure. Regional development can also be seen from the investment area, which is pointless to increase income in the form of regional income areas, this can increase the economic growth that comes from government participation in the form of shares that ultimately aims to obtain economic benefits. Economic development to boost local revenues, which in theory the higher contribution of high income area means the area has the ability to finance their own household. This study aims to determine the effect of economic development in the area seen from capital expenditures, the investment on the level of local financial

independence, analytical tool used in this research are multiple linear regression model with data processing using SPSS.

The results of this study indicate that simultaneous / together capital expenditure, the investment significantly affect the level of financial independence, but

individually significant capital expenditures affect the level of financial independence, as well as local investment affect the level of financial independence.

Keywords: Capital Expenditure, Investment area, level of independence of the city's financial district Se-Sumatra


(3)

PENGARUH BELANJA MODAL DAN INVESTASI DAERAH

TERHADAP TINGKAT KEMANDIRIAN KEUANGAN

KABUPATEN KOTA Se-SUMATERA

Tesis

Oleh:

Rostina

PROGRAM PASCASARJANA ILMU AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS LAMPUNG

TAHUN 2014


(4)

PENGARUH BELANJA MODAL DAN INVESTASI

DAERAH TERHADAP TINGKAT KEMANDIRIAN

KEUANGAN KABUPATEN KOTA Se-SUMATERA

Oleh

Rostina

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar

MAGISTER SAINS AKUNTANSI

pada

Program Pascasarjana Ilmu Akuntansi

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA ILMU AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG


(5)

(6)

(7)

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanjung Karang tanggal 28 Oktober 1974, dengan ibu yang bernama Hj. Ratu Puji dan bapak yang bernama Hi. Raden Jauhari Almarhum. Penulis menyesaikan studi di Taman Kanak-kanak Aisiah Bandarlampung diselesaikan tahun 1983, SDN 3 Rawalaut Bandar lampung diselesaikan tahun 1989, Sekolah Menengah Pendidikan Pertama Negeri 1 Rawalaut Bandarlampung diselesaikan tahun 1991, Sekolah Menengah Pendidikan Atas Negeri 10 pahoman Bandarlampung diselesaikan tahun 1994, kemudian penulis mengambil gelar S1 di Universitas Lampung program extension diselesaikan pada tahun 2001.

Penulis bekerja sebagai pengajar di STIE-Lampung sebagai dosen tetap bulan mei 2001 dan pernah mengajar di Universitas Malahayati selama 1 tahun, tahun 2007 penulis pindah bekerja di UMP-Lampung. Pada tahun 2011 bulan November penulis melanjutkan S2 pada program studi Magister Ilmu Akuntansi.Tahun 2013 mengadakan fieldtrip di Yogyakarta mengunjungi UGM, saat ini penulis bekerja di UMP-Lampung sebagai tenaga pengajar.

Bandarlampung, 12 September 2014 Penulis


(9)

PERSEMBAHAN

Dengan rasa syukur kepada Allah SWT atas segala anugerah Nya yang melimpah di dalam kehidupanku dan keluarga, aku persembahkan karya kecil ini kepada orang-orang terkasih yang selalu menyertai setiap langkah dalam suka dan duka.

kepada :

kedua orang tua dan mertua, suamiku Sukirwan, anakku Nur Azizah Kirana, kakak dan adikku yang selalu mendoakan keberhasilanku, mak yang selalu memberi motivasi untuk selalu sabar dalam menjalankan segala hal dan mak selalu memberi solusi dalam menghadapi permasalahan. Saya tidak akan seperti ini tanpa dukungan mereka.

Angko, adon, ica, hanri, ayu, indah, zaki, salma, nabila, hanif, isma, cinta, wira, fadil, kiesa, dan aulia yang selalu mendokan bibinya, terimakasih atas doanya semoga kalian sukses smuanya.

Dan saya ucapkan terimakasih kepada temen-teman di PIA yang selslu memberi motivasi kepadaku pada saat kuliah dan penyusunan tesis. Terutama kepada pak Iswanto yang sudah banyak membantu dalam hal data, terimakasih pak is dan juga mba nolita siregar thanks untuk semua bantuannya.


(10)

(11)

MOTO

Tersenyumlah dan gembiralah selalu walaupun hatimu menangis,

karena banyak cobaan yang menderu dalam hidup ini, semoga Allah

swt selalu melindungi setiap langkah jalan yang benar

“Barang siapa bersungguh

-sungguh, sesungguhnya itu adalah

untuk dirinya sendiri” (QS Al

-Ankabut . 29:6)

Orang yang menimpuki dengan batu, kita membalas dengan buah.

Kesabaran adalah buah dari orang yang subur, subur ilmunya,

subur rezeki untuk menyongsong hari yang lebih cerah laksana

pelangi yang berwarna

warni.


(12)

SANWACANA

Puji syukur Penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis ini..

Tesis dengan judul ”Pengaruh Belanja Modal Dan Investasi Daerah Terhadap Tingkat Kemandirian Keuangan Kabupaten Kota Se-Sumatera” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains Akuntansi pada Program Magister Ilmu Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. Satria Bangsawan, S.E, M.Si., selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung;

2. Ibu Susi Sarumpaet, Ph.D.,Akt selaku Ketua Program Pascasarjana Ilmu Akuntansi Universitas Lampung.

3. Bapak Dr. Einde Evana, Akt. selaku Dosen Pembimbing Utama yang telah memberikan dukungan, saran, dan waktunya selama penyusunan tesis.

4. Bapak Sudrajat, S.E.,M.cc., Akt, selaku Dosen Pembimbing Pendamping yang telah memberikan dukungan, saran, dan waktunya selama penyusunan tesis.

5. Ibu Susi Sarumpaet, S.E., M.B.A., Ph.D.,Akt selaku pembahas 1 yang telah memberikan dukungan, saran, dan waktunya selama penyusunan tesis.

6. Ibu Reni Octavia, S.E., M.Si selaku pembahas 2 yang juga telah memberikan dukungan, saran, arahan dan waktunya selama penyusunan tesis.

7. Bapak dan Ibu Dosen yang telah memberikan bimbingan dan ilmu yang sangat bermanfaat selama penulis berada di Magister Ilmu Akuntansi


(13)

9. Suami, anaku Nur Azizah Kirana, Adik dan kakakku yang selalu memberikan semangat, menghibur, dan memotivasi penulis untuk menyelesaikan studinya. 10. Ponakan-ponakanku yang ku sayangi yang telah memberikan semangat dan

doa untuk penulis.

11. Nolita Siregar, S.E., yang telah menjadi sahabat maupun saudara bagi penulis. terima kasih atas dukungan, semangat, dan nasehat yang diberikan.

12. Iswanto, S.E, M.S.Ak., yang telah banyak membantu penulis dalam hal data penelitian. terima kasih atas dukungan, dan data yang diberikan.

13. Sahabat-sahabat terbaikku di PIA angkatan 2011 selama penulis menjalankan studi. Melda, Nolita, Sadat dan Riza yang selalu memberikan masukan ke penulis selama menyelesaikan penelitian ini.

14. Rekan-rekan PIA angkatan 2 : Dedy, Mba Ari, Mba Ratna, , Gustin, Dwi, Rita, Aminah, Meidian, Liya, , Rico, Mujiman, Taufik, Nurcholis, Suhendar, Rudy, Matson, Udin, Reza, Pak Adhi, Rosy, Dini, iik, Yulistia devi, Agus K. 15. Keluarga besar UMP-Lampung yang telah memberikan dukungan,

pengertian, dan doa selama penulis menjalankan studi.

16. Pengelola dan karyawan serta karyawati Magister Ilmu Akuntansi yang ikut membantu kelancaran perkuliahan. .

17. Terimakasih untuk orang yang sudah terlibat dalam penelitian ini yang terlewat disebutkan tetapi memiliki arti yang sama pentingnya bagi kehidupan saya.

Semoga karya ini bermanfaat bagi seluruh pihak dan semoga Allah memberikan rahmat, hidayah dan ridho-Nya kepada kita semua.

Bandar Lampung, September 2014 Penulis,


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

Daftar Isi……….………...i

Daftar Tabel………...………iii

Daftar Gambar………...…iv

Daftar Lampiran……….v

Bab I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang……….………1

1.2.Perumusan Masalah……….………9

1.3.Tujuan Penelitian………..………9

1.4.Manfaat Penelitian………..………..9

Bab II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kerangka Teori Dan Hipotesis………….………..11

2.2.Kerangka Pikir……….……….………..24

2.3.Kemandirian Keuangan Daerah……….………....26

2.4.Belanja Modal……….………….………...30


(15)

2.5.1.Belanja Modal Terhadap Kemandirian Keuangan………..…..45

2.5.2.Pengaruh Investasi Terhadap Kemandirian Keuangan Daerah...48

Bab III METODE PENELITIAN 3.1.Jenis Dan Sumber Data……….………...…………....53

3.1.1.Jenis Penelitian………...53

3.1.2.Sumber Data………....…..53

3.2.Metode Pengumpulan Data………...…..…...……....54

3.3.Objek Penelitian………...………..……….…54

3.4.Populasi Dan Sampel Penelitian……….…………54

3.5.Variabel Penelitian……….………….55

3.5.1.Kemandirian Keuangan……….…………...55

3.5.2.Belanja Modal……….………..64

3.5.3.Investasi Daerah………...64

3.5.1.1.Definisi Operasional……….64

3.5.1.2.Statistik Deskriptif……….………...66

3.5.1.3.Uji Regresi Berganda……….………...66

3.5.1.4.Uji Normalitas………..68


(16)

3.5.1.6.Uji Heteroskedastisitas……….69

3.5.1.7.Uji Autokorelasi……….…..70

3.5.1.8.Pengujian Hipotesis………..……71

Bab IV ANALISIS HASIL PENELITIAN 4.1.Populasi Dan Sampel……….72

4.2.Statistik Deskriptif Penelitian………72

4.3.Pengujian Asumsi Klasik……….………..74

4.3.1.Uji Normalitas………..75

4.3.2.Uji Autokolerasi………...77

4.3.3.Uji Multikolinearitas………78

4.3.4.Uji Heteroskedastisitas………79

4.4.Pembahasan………..79

4.5.Model Uji Hipotesis……….…….…80

4.5.1.Uji F………..………80

4.5.2.Uji Statistik t………...81

4.6.Pengujian Hipotesis……….82

4.6.1.Hipotesis 1………..83


(17)

4.7.Pembahasan Hasil……….……...86

Bab V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1.Kesimpulan……….……….……89

5.2.Implikasi……….……….……90

5.3.Keterbatasan Dan Saran……….…….91

5.3.1.Keterbatasan……….……….….91

5.3.2.Saran……….………….…….91

LAMPIRAN


(18)

DAFTAR TABEL

2.1.Asumsi Dasar Teori Stewardship………...18

4.1.Statistik Deskriptif Untuk Variabel Dependen Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah……….73

4.2.Tabel Uji Normalitas………..76

4.3.Tabel Autokolerasi……….78

4.4.Tabel Multikolinearitas………..78

4.5.Tabel R Square………...………79

4.6.Tabel Uji F………...……...80

4.7.Tabel Uji Statistik t………...…..81


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1

1.a. Data Belanja Modal Kabupaten Kota Se-Sumatera 1.b. Data Investasi Kabupaten Kota Se-Sumatera

1.c. Data Kabupaten Kota Se-Sumatera Yang tidak Terdapat Investasi 1.d. Data Penelitian Yang sudah Diolah

Lampiran 2

Tabel Sebelum Transformasi Data 1. Tabel Variabel Yang Digunakan 2. Tabel Output Statistik Deskriptif 3. Tabel Output Uji Autukolerasi 4. Tabel Output Uji F

5. Tabel Output Uji Multikolenearitas 6. Tabel Output Uji Normalitas Lampiran 3

Tabel Setelah Transformasi Data

1. Tabel Variabel Yang Digunakan 2. Tabel Output Statistik Deskriptif


(20)

3. Tabel Output Uji Autukolerasi 4. Tabel Output Uji F

5. Tabel Output Uji Multikolenearitas 6. Tabel Output Uji Normalitas Lampiran 4

Gambar 4.1.Sebelum Transformasi Data Gambar 4.2.Setelah Transformasi Data Lampiran Kajian Terdahulu


(21)

DAFTAR GAMBAR

2.1.Kerangka Penelitian……….52


(22)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap daerah kabupaten kota memiliki otonomi untuk mengatur daerahnya termasuk juga didalam mengatur keuangan daerah, hal ini diatur dalam Undang-Undang Otonomi Daerah No 32 tahun 2004 dan Undang-Undang-Undang-Undang No 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan baik pusat maupun daerah. Kemandirian keuangan daerah sangat berperan aktif didalam laju perekonomian sehingga menuntut pemerintah daerah melakukan tindakan yang bijaksana agar perencanaan terhadap pembangunan didaerah tidak menjadi buruk. Adanya kemandirian keuangan daerah berhubungan dengan kinerja organisasi pemerintah.

Meyers et all (2006) menyatakan untuk mencapai kinerja organisasi pemerintah yang baik, diperlukan berbagai instrumen manajemen. Instrumen manajemen tersebut meliputi aspek manajemen keuangan, manajemen kinerja, manajemen sumber daya manusia dan manajemen kualitas. Menurut Meyers et all bahwa instrumen manajemen keuangan di organisasi pemerintah meliputi berbagai instrumen terkait dengan (1) adanya alokasi internal atas sumber daya kepada unit-unit organisasi berbasiskan hasil yang telah dan hendak dicapai (2) adanya otonomi manajemen internal yang diberikan pada unit organisasi yang lebih rendah (3) adanya pengembangan terhadap system perhitungan biaya. Instrumen manajemen kinerja meliputi (1) adanya pengendalian internal terhadap proses pencapaian hasil dan sasaran unit organisasi (2) adanya pengembangan sistem evaluasi dan pelaporan internal yang


(23)

memungkinkan manajemen yang bertanggung jawab dan atasannya dapat menilai hasil yang dicapai (3) adanya perencanaan jangka panjang yang bersifat multi tahun. Adapun instrumen manajemen sumber daya manusia meliputi adanya upaya pengembangan sumber daya manusia yang berdasarkan pencapaian hasil. Instrumen manajemen kualitas meliputi (1) penggunaan standar kualitas atas pelayanan yang diberikan oleh organisasi (2) penggunaan survei kepuasan pelanggan atau pengguna jasa organisasi (3) penggunaan sistem manajemen kualitas (seperti balanced scorecard atau ISO) (4) penggunaan unit internal yang memonitor kualitas dalam organisasi.

Reformasi yang bergulir tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, salah satu bentuk reformasi tersebut adalah perubahan bentuk pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan diberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, yang kemudian terakhir diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan daerah. Tujuan ekonomi yang hendak dicapai melalui desentralisasi adalah mewujudkan kesejahteraan melalui penyediaan pelayanan publik yang lebih merata dan memperpendek jarak antara penyedia layanan publik dan masyarakat lokal.

Berdasarkan Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, otonomi daerah diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Otonomi daerah berlaku efektif mulai 1 Januari


(24)

2001 mempunyai tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum dan daya saing daerah. Dengan adanya otonomi daerah, pemerintah daerah diharapkan semakin mandiri, mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat, baik dalam hal pembiayaan pembangunan maupun dalam hal pengelolaan keuangan daerah.

Pengelolaan keuangan daerah yang baik akan berpengaruh terhadap kemajuan suatu daerah. Pengelolaan keuangan daerah yang dilakukan secara ekonomis, efisien, dan efektif atau memenuhi prinsip value for money serta partisipasi, transparansi, akuntabilitas dan keadilan akan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Pengelolaan keuangan daerah yang baik tidak hanya membutuhkan sumberdaya manusia yang handal tetapi juga harus didukung oleh kemampuan keuangan daerah yang memadai. Tingkat kemampuan keuangan daerah salah satunya dapat diukur dari besarnya penerimaan daerah khususnya pendapatan asli daerah. Upaya pemerintah daerah dalam menggali kemampuan keuangan daerah dapat dilihat dari kinerja keuangan daerah yang diukur menggunakan analisis rasio keuangan pemerintah daerah. Pengukuran kemandirian keuangan pada pemerintah daerah juga digunakan untuk menilai akuntabilitas dan kemampuan keuangan daerah dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Dengan demikian maka suatu daerah yang kinerja keuangannya dinyatakan baik berarti daerah tersebut memiliki kemampuan keuangan untuk membiayai pelaksanaan otonomi daerah.

Kinerja merupakan pencapaian atas apa yang direncanakan, baik oleh pribadi maupun organisasi. Apabila pencapaian sesuai dengan yang direncanakan, maka kinerja yang dilakukan terlaksana dengan baik. Apabila pencapaian melebihi dari


(25)

apa yang direncanakan dapat dikatakan kinerjanya sangat bagus. Apabila

pencapaian tidak sesuai dengan apa yang direncanakan atau kurang dari apa yang direncanakan, maka kinerjanya jelek. Kinerja keuangan adalah suatu ukuran kinerja yang menggunakan indikator keuangan. Analisis kinerja keuangan pada dasarnya dilakukan untuk menilai kinerja di masa lalu dengan melakukan berbagai analisis sehingga diperoleh posisi keuangan yang mewakili realitas entitas dan potensi-potensi kinerja yang akan berlanjut.

Menurut Halim dalam Sularso dan Restianto 2011 analisis keuangan adalah usaha mengidentifikasi ciri-ciri keuangan berdasarkan laporan keuangan yang tersedia. Dalam organisasi pemerintah untuk mengukur kinerja keuangan ada beberapa ukuran kinerja, yaitu derajat desentralisasi, ketergantungan keuangan, rasio kemandirian keuangan daerah, rasio efektivitas, rasio efisiensi, rasio keserasian, dan pertumbuhan.

Dalam era desentralisasi fiskal diharapkan adanya peningkatan pelayanan di berbagai sektor terutama sektor publik, dengan adanya peningkatan dalam layanan di sektor publik dapat meningkatkan daya tarik bagi investor untuk menanamkan investasinya di daerah. Pergeseran komposisi belanja merupakan upaya logis yang dilakukan Pemda dalam rangka meningkatkan tingkat

kepercayaan publik yang dapat dilakukan dengan peningkatan investasi modal dalam bentuk aset tetap, yakni peralatan, bangunan, infrastruktur dan harta tetap lainnya (Maharani, 2011). Meningkatnya pengeluaran modal diharapkan dapat meningkatkan pelayanan publik karena hasil dari pengeluaran belanja modal adalah meningkatnya aset tetap daerah yang merupakan prasyarat dalam


(26)

memberikan pelayanan publik oleh Pemerintah daerah. Alokasi belanja modal dibentuk melalui proses penyusunan anggaran. Tentunya dalam pengalokasian belanja modal sebagai pendukung proses pembangunan, peran proses

penganggaran sangatlah signifikan. Penggunaan pendekatan penganggaran berbasis kinerja tentunya akan semakin berpengaruh dalam penetapan tujuan dan outcome sehingga diejawantahkan kedalam angka-angka pada pos belanja modal APBD (Annisa, 2010).

Anggaran belanja modal didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik. Dalam penjelasan Undang-Undang nomor 33 tahun 2004, salah satu variabel yang mencerminkan kebutuhan atas penyediaan sarana dan prasarana adalah luas wilayah. Daerah dengan wilayah yang lebih luas tentulah

membutuhkan sarana dan prasarana yang lebih banyak sebagai syarat untuk pelayanan kepada publik bila dibandingkan dengan daerah dengan wilayah yang tidak begitu luas. Belanja modal sangat berperan dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat akan fasilitas- fasilitas umum seperti adanya jalan yang merupakan penghubung transportasi antar daerah. Belanja modal akan dapat terpenuhi apabila kemandirian keuangan daerah mengalami peningkatan, terutama yang berasal dari pendapatan asli daerah, dan juga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Adanya pengaruh belanja modal terhadap kemandirian keuangan sesuai dengan penelitian Sularso et all 2011 bahwa adanya pengaruh belanja modal dan pertumbuhan ekonomi


(27)

Kemandirian keuangan juga berpengaruh terhadap investasi, peningkatan nilai investasi daerah berpengaruh besar terhadap peningkatan perumbuhan ekonomi. Adanya peningkatan perumbuhan ekonomi akan berpengaruh terhadap

kemandirian suatu daerah. Pencapaian kemandirian suatu daerah akan dapat meningkatkan kesejahteran masyarakat. Adanya investasi dapat membuka peluang pekerjaan bagi masyarakat terutama bagi kabupaten kota yang ada di daerah. Investasi yang meningkat akan dapat meningkatkan pendapatan asli daerah dan pertumbuhan ekonomi. Ayu Mita Utami 2011 menemukan bahwa investasi berpengaruh terhadap pendapatan asli daerah sedangkan investasi tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Pendapatan asli daerah berpengaruh terhadap investasi, peningkatan PAD sangat berperan dalam kemandirian

keuangan suatu daerah. Peningkatan pendapatan yang diperoleh dari investasi berguna dalam pembangunan suatu daerah. Investasi merupakan pengeluaran pemerintah untuk mendapatkan manfaat ekonomis, baik dari segi sosial maupun masyarakat daerah pada umumnya, yang memang pada dasarnya membutuhkan pelayanan publik yang dilakukan pemerintah daerah.

Investasi dan belanja modal tentunya berasal dari APBD, nilai anggaran yang didapat berasal dari penerimaan daerah yang berupa PAD dan bantuan anggaran dari pemerintah pusat. Adanya perbedaan pendapatan asli daerah yang diterima sehingga berpengaruh terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah. Untuk mengurangi kesenjangan dan untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan sumber-sumber pendanaan, lahirlah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 yang terakhir diubah dengan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah pusat dan Pemerintah daerah.


(28)

Dana Perimbangan menurut Undang-Undang nomor 33 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah nomor 55 tahun 2005 terdiri dari Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus.

Laporan keuangan setelah otonomi daerah yang memiliki kewenangan adalah pemerintah daerah. Konsekuensi dari otonomi daerah yang berkenaan dengan pelimpahan wewenang dari pusat kepada daerah maka Pemerintah Daerah dituntut untuk menyajikan informasi keuangan yang sesuai dengan karakteristik kualitatif laporan keuangan agar bermanfaat untuk pengambilan keputusan yaitu andal, relevan, dapat dibandingkan dan dapat dipahami (PP Nomor 24 Tahun 2005: 32). Menurut Halim (2005), salah satu tujuan laporan keuangan pemerintah yaitu, pertanggungjawaban (accountability and stewardship) yang memiliki arti memberikan informasi keuangan yang lengkap dan cermat dalam bentuk dan waktu yang tepat, yang berguna bagi pihak yang bertanggungjawab yang berkaitan dengan operasi unit-unit pemerintah. Hal ini sesuai dengan Ketentuan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara Pasal 31 yang mengatur bahwa Kepala Daerah harus memberikan pertanggungjawaban

pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa Laporan Keuangan. Laporan Keuangan tersebut setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBD, Neraca, Laporan Arus Kas dan Catatan Atas Laporan Keuangan yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan daerah (Nordiawan, 2006: 34).

Pemaparan diatas menunjukkan pemerintah daerah wajib menyampaikan laporan keuangan yang sesuai PP No. 24 Tahun 2005 Tentang Standar Akuntansi


(29)

bersangkutan berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik atau tidak.

Keberhasilan Pemerintah Daerah didalam menyusun Laporan Keuangan yang baik adalah opini dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Opini merupakan pernyataan atau pendapat profesional yang merupakan kesimpulan pemeriksa mengenai tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan. Opini ini didasarkan pada kriteria (1) kesesuaian dengan Standar Akuntansi Pemerintahan, (2) kecukupan pengungkapan (adequate disclosures), (3) kepatuhan terhadap peraturan perundangundangan dan (4) efektivitas Sistem Pengendalian Interen (www.bpk.go.id).

Jalan keluar dari permasalahan tersebut adalah Pemerintah Daerah mampu untuk mengidentifikasi perkembangan kemandirian keuangan dari tahun ke tahun. Salah satu alat untuk menganalisis kemandirian keuangan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerahnya adalah dengan melakukan analisa rasio keuangan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang telah ditetapkan dan dilaksanakannya (Halim, 2005: 148). Penggunaan analisis rasio keuangan secara luas telah digunakan oleh private sector, sedangkan pada lembaga publik penggunaannya masih terbatas. Padahal dari hasil analisis dapat diketahui tingkat kemandirian keuangan Pemerintah Daerah diharapkan dapat dijadikan suatu acuan untuk meningkatkan kinerjanya dari tahun ke tahun. Untuk itu penulis berkeinginan untuk mengadakan penelitian dengan judul “Pengaruh belanja modal, Investasi daerah terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah kabupaten kota se-Sumatera”


(30)

1.2 . Perumusan masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, penelitian yang penulis kemukakan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam bentuk pertanyaan penelitian : 1. Apakah belanja modal berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat

kemandirian keuangan daerah kabupaten kota se-Sumatera

2. Apakah Investasi berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah kabupaten kota se-Sumatera

1.3. Tujuan penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis : 1. Pengaruh belanja modal terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah

kabupaten kota se-Sumatera

2. Pengaruh investasi terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah kabupaten kota se-Sumatera

1.4. Manfaat penelitian

Adapun manfaat pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Praktis Sebagai bahan masukan bagi daerah agar dapat membuat suatu keputusan

yang tepat untuk menentukan pengelolan keuangan daerah agar dapat berdaya guna untuk meningkatkan pelayanan terhadap publik dimana hal ini akan berpengaruh besar terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut dan ini dapat menjadi suatu tantanan untuk manajemen didalam organisasi ke pemeritahan khususnya disetiap daerah kabupaten kota.


(31)

Sebagai bahan referensi dan sumbangan yang nyata dalam mengisi pemikiran untuk pengembangan penelitian selanjutnya dalam literature yang berguna untuk pengetahuan khususnya dalam ilmu di bidang sektor publik.


(32)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kerangka Teori dan Hipotesis

Grand theory yang mendasari penelitian ini adalah bagian dari agency theory yaitu stewardship theory (Donaldson et all, 1991) dengan judul “Toward A

Stewardship Theory Of Management”. Dalam penelitian ini, mereka menemukan bahwa ada 2 faktor yang membedakan antara Agency Theory dan Stewardship Theory. Berikut ini mengenai Teori Stewardship :

Teori Stewardship

Model manusia Perilaku

Aktualisasi diri Melayani orang lain. Mekanisme psikologi :

Motivasi

Perbandingan Sosial Identifikasi

Kekuasaan

Kebutuhan yang lebih tinggi (pertumbuhan, prestasi, aktualisasi diri)

Intrinsik Prinsipal

Menilai Komitmen Tinggi(pakar, referen)

Perseorangan Mekanisme situasional:

Filosofi manajemen

Berorientasi partisipasi Kepercayaan


(33)

Teori Stewardship Orientasi resiko

Kerangka waktu Tujuan

Perbedaan Budaya

Jangka panjang Perbaikan kinerja Kebersamaan

Rentang kekuasaan rendah

Teori stewardship menggambarkan situasi dimana manajemen tidaklah

termotivasi oleh tujuan-tujuan individu tetapi lebih ditujukan pada sasaran hasil utama mereka untuk kepentingan organisasi. Teori tersebut mengasumsikan adanya hubungan yang kuat antara kepuasan dan kesuksesan organisasi. Kesuksesan organisasi menggambarkan maksimalisasi utilitas kelompok principals dan manajemen. Maksimalisasi utilitas kelompok ini pada akhirnya akan memaksimumkan kepentingan individu yang ada dalam kelompok organisasi tersebut.

Teori stewardship dapat diterapkan pada penelitian akuntansi organisasi sektor publik seperti organisasi pemerintahan (Morgan, 1996; David, 2006 dan Thorton, 2009) dan non profit lainnya (Vargas, 2004; Caers Ralf, 2006 dan Wilson 2010) yang sejak awal perkembangannya, akuntansi organisasi sektor publik telah dipersiapkan untuk memenuhi kebutuhan informasi bagi hubungan antara stewards dengan principals. Akuntansi sebagai penggerak informasi keuangan (driver) berjalannya transaksi kearah yang semakin kompleks dan diikuti dengan tumbuhnya spesialisasi dalam akuntansi dan perkembangan organisasi sektor publik. Kondisi semakin kompleks dengan bertambahnya tuntutan akan akuntabilitas pada organisasi sektor publik, principal semakin sulit untuk


(34)

melaksanakan sendiri fungsi-fungsi pengelolaan. Pemisahan antara fungsi kepemilikan pada masyarakat dengan fungsi pengelolaan pada pemerintah menjadi semakin nyata. Berbagai keterbatasan, pemilik sumber daya (capital suppliers/principals) mempercayakan (trust = amanah) pengelolaan sumber daya tersebut kepada pihak lain (steward = manajemen) yang lebih capable dan siap. Kontrak hubungan antara stewards dan principals atas dasar kepercayaan (amanah = trust), bertindak kolektif sesuai dengan tujuan organisasi, sehingga model yang sesuai pada kasus organisasi sektor publik adalah stewardship theory. Teori ini merupakan penatalayanan dimana kaitannya terhadap organisasi didalam

kepemerintahan. Menurut Mahsun 2010 pemerintahan yang baik harus memiliki akuntabilitas kinerja yang baik. Akuntabilitas didalam sektor publik terdiri dari : 1. Akuntabilitas Kinerja

Dalam pengertian yang sempit akuntabilitas dapat dipahami sebagai bentuk pertanggungjawaban yang mengacu pada kepada siapa organisasi (atau pekerja individu) bertanggungjawab dan untuk apa organisasi (pekerja individu)

bertanggung jawab?. Dalam pengertian luas, akuntabilitas dapat dipahami sebagai kewajiban pihak pemegang amanah (agent) untuk memberikan

pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya kepada pihak pemberi amanah (principal) yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta

pertanggungjawaban tersebut. Makna akuntabilitas ini merupakan konsep filosofis inti dalam manajemen sektor publik. Dalam konteks organisasi pemerintah, sering ada istilah akuntabilitas publik yang berarti pemberian informasi dan disclosure atas aktivitas dan kinerja finansial pemerintah kepada pihak-pihak yang


(35)

berkepentingan dengan laporan tersebut. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus bisa menjadi subyek pemberi informasi dalam rangka pemenuhan hak-hak publik.

Akuntabilitas berhubungan terutama dengan mekanisme supervisi, pelaporan, dan pertanggungjawaban kepada otoritas yang lebih tinggi dalam sebuah rantai

komando formal. Pada era desentralisasi dan otonomi daerah, para manajer publik diharapkan bisa melakukan transformasi dari sebuah peran ketaatan pasif menjadi seorang yang berpartisipasi aktif dalam penyusunan standar akuntabilitas yang sesuai dengan keinginan dan harapan publik. Oleh karena itu, makna akuntabilitas menjadi lebih luas dari sekedar proses formal dan saluran untuk pelaporan kepada otoritas yang lebih tinggi. Akuntabilitas harus merujuk kepada sebuah spektrum yang luas dengan standar kinerja yang bertumpu pada harapan publik sehingga dapat digunakan untuk menilai kinerja, responsivitas, dan juga moralitas dari para pengemban amanah publik. Konsepsi akuntabilitas dalam arti luas ini

menyadarkan kita bahwa pejabat pemerintah tidak hanya bertanggungjawab kepada otoritas yang lebih tinggi dalam rantai komando institusional, tetapi juga bertanggungjawab kepada masyarakat umum, lembaga swadaya masyarakat, media massa, dan banyak stakeholders lain. Jadi, penerapan akuntabilitas ini, di samping berhubungan dengan penggunaan kebijakan administratif yang sehat dan legal, juga harus bisa meningkatkan kepercayaan masyarakat atas bentuk

akuntabilitas formal yang ditetapkan.

Akuntabilitas publik terdiri atas dua macam, yaitu (1) akuntabilitas vertikal dan (2) akuntabilitas horisontal. Akuntabilitas vertikal adalah pertanggungjawaban atas pengelolaan dana kepada otoritas yang lebih tinggi, misalnya


(36)

pertanggung-jawaban unit-unit kerja (dinas) kepada pemerintah daerah, pertanggungpertanggung-jawaban daerah kepada pemerintah pusat, dan pemerintah pusat kepada MPR.

Pertanggungjawaban horizontal adalah pertanggungjawaban kepada masyarakat luas.

2. Akuntabilitas dengan Responsibilitas

Istilah akuntabilitas dan responsibilitas (responsibility) sering didefinisikan sama yaitu pertanggungjawaban. Dalam rangka memahami konsep akuntabilitas sangat dibutuhkan suatu analisis yang jelas dan mendalam sehingga tidak tumpang tindih dengan pengertian responsibilitas. Konsep akuntabilitas ini dijabarkan dengan sangat sederhana oleh berbagai referensi. Dalam literatur Australia menurut Donaldson et all 1991, bahwa konsep akuntabilitas ini sering dipahami dalam dua pengertian, (1) berkaitan dengan virtually interchangeable (dapat dipertukarkan dengan sebenar-benarnya), dan (2) berkaitan dengan closely related (terdapat saling keterkaitan yang bersifat tertutup). Sementara itu, responsibilitas mem- punyai sejumlah konotasi termasuk di dalamnya kebebasan untuk bertindak, kewajiban untuk memuji dan menyalahkan, dan perilaku baik yang merupakan bagian dari tanggung jawab seseorang.

Jadi akuntabilitas dan resposibilitas saling berhubungan sebagai bagian dari sistem yang menyeluruh. Dalam beberapa kajian disebutkan bahwa akuntabilitas lebih baik dan berbeda dengan resposibilitas. Akuntabilitas didasarkan pada catatan /laporan tertulis sedangkan responsibilitas didasarkan atas kebijaksanaan.

Akuntabilitas merupakan sifat umum dari hubungan otoritasi asimetrik misalnya yang diawasi dengan pengawasnya, agen dengan prinsipal, yang mewakili dengan yang diwakili, dan sebagainya. Selain itu, kedua konsep tersebut sebetulnya juga


(37)

mempunyai perbedaan fokus dan cakupannya. Responsibility lebih bersifat internal sebagai pertanggungjawaban bawahan kepada atasan yang telah

memberikan tugas dan wewenang, yang biasanya terbatas pada bidang keuangan saja, sedangkan akuntabilitas lebih bersifat eksternal sebagai tuntutan

pertanggungjawaban dari masyarakat terhadap apa saja yang telah dilakukan oleh para pejabat atau aparat. Menurut Mahsun 2010 bahwa ruang lingkup

akuntabilitas tidak hanya pada bidang keuangan saja, tetapi meliputi: 1. Fiscal Accountability

Akuntabilitas yang dituntut masyarakat berkaitan pemanfaatan hasil perolehan pajak dan retribusi.

2. Legal accountability

Akuntabilitas yang berkaitan dengan bagaimana undang-undang maupun peraturan dapat dilaksanakan dengan baik oleh para pemegang amanah. 3. Program accountability

Akuntabilitas yang berkaitan dengan bagaimana pemerintah mencapai program-program yang telah ditetapkan

4. Process accountability

Akuntabilitas yang berkaitan dengan bagaimana pemerintah mengolah dan memberdayakan sumber-sumber potensi daerah secara ekonomi dan efisien. 5. Outcome accountability

Akuntabilitas yang berkaitan dengan bagaimana efektivitas hasil dapat bermanfaat memenuhi harapan dan kebutuhan masyarakat

3. Akuntabilitas dan Stewardship

Istilah akuntabilitas juga sering dipersamakan dengan stewardship yaitu keduanya merupakan pertanggungjawaban. Sebenarnya, akuntabilitas merupakan konsep yang lebih luas dari stewardship. Stewardship mengacu pada pengelolaan atas suatu aktivitas secara ekonomis dan efisien tanpa dibebani kewajiban untuk melaporkan, sedangkan akuntabilitas mengacu pada pertanggungjawaban oleh seorang yang diberi amanah kepada pemberi tanggung jawab dengan kewajiban membuat pelaporan dan pengungkapan secara jelas.


(38)

4. Dimensi Akuntabilitas

Terwujudnya akuntabilitas merupakan tujuan utama dari reformasi sektor publik. Tuntutan akuntabilitas publik mengharuskan lembaga-lembaga sektor publik untuk lebih menekankan pada pertanggungjawaban horizontal bukan hanya pertanggungjawaban vertical. Tuntutan yang kemudian muncul adalah perlunya dibuat laporan keuangan eksternal yang dapat menggambarkan kinerja lembaga sektor publik.

Akuntabilitas publik yang harus dilakukan oleh organisasi sektor publik terdiri atas beberapa dimensi. Ellwood dalam Mahsun (2010) menjelaskan empat dimensi akuntabilitas yang harus dipenuhi oleh organisasi sektor publik, yaitu: 1. Akutabilitas Kejujuran dan Akuntabilitas Hukum (Accountability for Probity

and Legality)

Akuntabilitas kejujuran terkait dengan penghindaran penyalahgunaan jabatan (abuse of power), sedangkan akuntabilitas hukum terkait dengan jaminan adanya kepatuhan terhadap hukum dan peraturan lain yang disyaratkan dalam penggunaan sumber dana publik.

2. Akuntabilitas Proses

Akuntabilitas proses terkait dengan apakah prosedur yang digunakan dalam melaksanakan tugas sudah cukup baik dalam hal kecukupan sistem informasi akuntansi, sistem informasi manajemen, dan prosedur administrasi.

Akuntabilitas proses termanifestasi melalui pemberian pelayanan publik yang cepat, responsive, dan murah biaya.

Pengawasan dan pemeriksaan terhadap pelaksanaan akuntabilitas proses dapat dilakukan, misalnya dengan memeriksa ada tidaknya mark up dan pungutan-pungutan lain di luar yang ditetapkan, serta sumber-sumber inefisiensi dan pemborosan yang menyebabkan mahalnya biaya pelayanan publik dan kelambanan dalam pelayanan. Pengawasan dan pemeriksaan akuntabilitas proses juga terkait dengan pemeriksaan terhadap proses tender untuk melaksanakan proyek-proyek publik. Yang harus dicermati dalam kontrak tender adalah apakah proses tender telah dilakukan secara fair melalui Compulsory Competitive Tendering (CCT), ataukah dilakukan melalui korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

3. Akuntabilitas Program

Akuntabilitas program terkait dengan pertimbangan apakah tujuan yang ditetapkan dapat dicapai atau tidak, dan apakah telah mempertimbangkan alternatif program yang memberikan hasil yang optimal dengan biaya yang minimal.


(39)

Akuntabilitas kebijakan terkait dengan pertanggungjawaban pemerintah, baik pusat maupun daerah, atas kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah terhadap DPR/DPRD dan masyarakat luas.

Teori stewardship sering disebut sebagai teori pengelolaan (penatalayanan) dengan beberapa asumsi-asumsi dasar (fundamental assumptions of stewardship theory) ditunjukkan dalam tabel berikut :

Tabel 2.1

Asumsi Dasar Teori Stewardship

Manager as Stewards

Approach To Governance Sociological and Psychological Model of human behaviour Collectivistic, pro-organizational,

trustworthy

Managers Motivated by Principal objectives Manager-Principal Interst Covergence

Structures That Facilitate and Empower Owners Attitude Risk-Propensity

The Principal-Manager Relantionship Relly on

Trust

Sumber : Podrug, N (2011:406)

Menurut Podrug beberapa pertimbangan penggunaan stewardship theory sehubungan dengan masalah penelitian ini :

1. Manajemen sebagai stewards (pelayan/penerima amanah/pengelolah) Stewardship theory memandang bahwa pemerintah sebagai

“stewards/penatalayanan”, akan bertindak dengan penuh kesadaran, arif dan bijaksana bagi kepentingan masyarakat. Pemerintah Daerah bertindak sebagai stewards, penerima amanah menyajikan informasi yang bermanfaat bagi organisasi dan para pengguna informasi keuangan pemerintah, baik secara langsung atau tidak langsung melalui wakil-wakilnya.


(40)

2. Pendekatan governance menggunakan sosiologi dan psikologi

Teori stewardship menggunakan pendekatan governace atas dasar psikologi dan sosiologi yang telah didesain bagi para peneliti untuk menguji situasi manajemen sebagai stewards (pelayan) dapat termotivasi untuk bertindak sesuai dengan keinginan principal dan organisasi. Implikasinya pada

penelitian ini adalah Pemda memberikan pelayanan kepada masyarakat bukan hanya untuk kepentingan ekonomi tetapi juga pertimbangan sosiologis

maupun psikologis masyarakat guna mencapai good governance. Pendekatan governace yaitu menghasilkan tingkat kemandirian keuangan dengan

mempertimbangkan faktor sosiologi dan psikologi. Pertimbangan faktor sosiologi dilakukan pada saat efektivitas pengendalian intern dalam konteks lingkungan pengendalian berupa nilai etika dan integritas. Pertimbangkan faktor psikologi dilakukan pada saat analisis variabel kemampuan manajemen berupa motivasi pimpinan pemda dalam melaksanakan fungsi-fungsi

manajemen.

3. Model Manusia, berprilaku kolektif untuk kepentingan organisasi

Model of man pada stewardship theory didasarkan pada steward (pelayan) yang memiliki tindakan kolektif atau berkelompok, bekerja sama dengan utilitas tinggi dan selalu bersedia untuk melayani. Terdapat suatu pilihan antara perilaku self serving dan pro-organisational. Steward akan mengantikan atau mengalihkan self serving untuk bertindak kooperatif. Kepentingan antara steward dan principal tidak sama, tetapi steward tetap akan menjunjung tinggi nilai kebersamaan. Steward berpedoman bahwa terdapat utilitas yang lebih besar pada tindakan kooperatif dan tindakan tersebut dianggap tindakan rasional yang dapat diterima, misalnya dengan melakukan efisiensi biaya dan peningkatan kualitas/kinerja.

Implikasi pada penelitian ini bahwa pemerintah kabupaten atau kota se- Sumatera dan kinerja keuangan secara kolektif (bersama-sama) dan kooperatif mengarahkan seluruh kemampuan dan kualitasnya pada belanja modal dan pembiayaan investasi dalam pelayanan terhadap masyarakat.

4. Motivasi pimpinan sejalan dengan tujuan principals

Teori stewardship adalah teori yang menggambarkan situasi para pimpinan tidak termotivasi oleh tujuan-tujuan individu tetapi lebih ditujukan pada sasaran utama untuk kepentingan organisasi sehingga steward (manajemen) bertindak sesuai keinginan prinsipal.

Konteks penelitian ini adalah tingkat kemandirian keuangan yang baik, terdapat belanja modal dan investasi yang cenderung bersikap sesuai dengan perspektif teori pengelolaan (stewardship theory). Seorang aktor yang rasional yang tidak dimotivasi oleh keinginan individualnya, tetapi lebih sebagai penerima amanah (penatalayanan) yang memiliki motif yang sejalan dengan tujuan prinsipal.

5. Kepentingan manajer-principal adalah konvergensi

Teori stewardship mengasumsikan bahwa kepentingan legislatif dan principal adalah kovergensi artinya keduanya mempunyai tujuan yang sama menuju


(41)

satu titik yaitu untuk kepentingan organisasi. Kepentingan organisasi tercapai maka kepentingan individu juga terpenuhi.

6. Struktur berupa fasilitasi dan pemberdayaan

Teori stewardship menggunakan struktur yang memfasilitasi dan

memberdayakan. Penelitian ini menggunakan variabel belanja modal dan investasi. Penggunaan variabel tersebut, diharapkan dapat memfasilitasi dan memberdayakan pengendalian intern menjadi efektif guna menghasilkan tingkat kemandirian keuangan yang baik.

7. Sikap pemilik mempertimbangkan risiko

Teori stewardship cenderung mempertimbangkan risiko. Penelitian ini menguji kinerja keuangan dilihat dari tingkat kemandirian keuangan dengan mempertimbangkan risiko-risiko yang mungkin akan dihadapi untuk dapat menghasilkan kinerja keuangan yang baik.

8. Hubungan principals-manajemen saling percaya

Stewardship theory dibangun atas asumsi filosofis mengenai sifat manusia yakni manusia pada hakekatnya dapat dipercaya, mampu bertindak dengan penuh tanggung jawab, memiliki integritas dan kejujuran terhadap pihak lain. Filosofis tersebut tersirat dalam hubungan fidusia antara principals dan manajemen. Stewardship theory memandang manajemen sebagai institusi yang dapat dipercaya untuk bertindak dengan sebaik-baiknya bagi

kepentingan principals maupun organisasi.

Implikasi teori stewardship terhadap penelitian ini, dapat menjelaskan eksistensi Pemerintah Daerah sebagai suatu lembaga yang dapat dipercaya untuk bertindak sesuai dengan kepentingan publik dengan melaksanakan tugas dan fungsinya dengan tepat, membuat pertanggungjawaban keuangan yang diamanahkan kepadanya, sehingga tujuan ekonomi, pelayanan publik maupun kesejahteraan masyarakat dapat tercapai secara maksimal. Untuk melaksanakan tanggungjawab tersebut maka stewards mengarahkan semua kemampuan dan keahliannya dalam mengefektifkan pengendalian intern untuk dapat menghasilkan laporan informasi keuangan yang berkualitas.

Informasi keuangan dilihat dari kinerja keuangan pemerintah melalui anggaran pemerintah daerah. Anggaran yang dilakukan pemerintah daerah sendiri di lihat dari keadaan tingkat kemandirian keuangan daerah. Tingkat kemandirian


(42)

keuangan merupakan salah satu faktor yang penting dalam pengembangan daerah, untuk itu Kabupaten atau kota se- Sumatera dalam melaksanakan pembangunan perlu adanya dana yang dialokasikan secara khusus. Kinerja keuangan yang baik dapat meningkatkan kemandirian daerah terutama dalam melaksanakan

pembangunan disetiap daerah kabupaten se-Sumatera. Kinerja keuangan daerah adalah sebagaimana kemampuan pemerintah daerah untuk menghasilkan

keuangan daerah melalui penggalian kekayaan asli daerah yang dikatakan sebagai pendapatan asli daerah yang harus terus menerus dipacu pertumbuhannya oleh pemerintah daerah. Jumlah dan kenaikan kontribusi PAD akan sangat berperan dalam kemandirian pemerintah daerah yang dapat dikatakan sebagai kinerja pemerintah daerah (Florida, 2007).

Penelitian sebelumnya yang menganalisis hubungan belanja modal pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi diantaranya Alexiou (2009), bahwa pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh belanja modal pemerintah, belanja konsumsi

pemerintah, investasi swasta, tenaga kerja, perdagangan bebas serta bantuan luar negeri. Sementara pada penelitian Sularso (2011) hubungan antara belanja modal dan pertumbuhan ekonomi disusun dalam bentuk simultan dimana kinerja

keuangan daerah berupa derajat desentralisasi, ketergantungan keuangan, efektivitas PAD dan derajat kontribusi BUMD berpengaruh terhadap alokasi belanja modal dan belanja modal berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.

Berbagai belanja yang dialokasikan pemerintah, hendaknya memberikan manfaat langsung bagi masyarakat. Untuk itu, didalam melaksanakan kepentingan jangka pendek, pungutan yang bersifat retribusi lebih relevan dibanding pajak. Alasan


(43)

yang mendasari, pungutan ini berhubungan secara langsung dengan masyarakat. Masyarakat tidak akan membayar apabila kualitas layanan publik tidak

mengalami peningkatan (Mardiasmo 2002).

Otonomi daerah menurut UU No.32 Tahun 2004, diartikan sebagai hak wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Otonomi daerah membawa dua implikasi khusus bagi pemerintah daerah yaitu semakin meningkatnya biaya ekonomi (high cost economy), dan yang kedua adalah efisiensi dan efektifitas. Oleh karena itu

desentralisasi membutuhkan dana yang memadai bagi pelaksanaan pembangunan di daerah (Handayani 2009).

Menurut Khusaini (2006), desentralisasi merupakan bentuk pemindahan tanggung jawab, wewenang, dan sumber-sumber daya (dana, personil, dan lain-lain) dari pemerintah pusat ke tingkat pemerintah daerah. Desentralisasi dapat pula diartikan sebagai pelimpahan kewenangan di bidang penerimaan anggaran atau keuangan, baik secara administrasi maupun pemanfaatannya diatur atau dilakukan oleh pemerintah pusat. Oleh karena itu, salah satu makna desentralisasi fiscal dalam bentuk pemberian otonomi di bidang keuangan (sebagian sumber penerimaan) kepada daerah-daerah merupakan suatu proses pengintensifikasian peranan dan sekaligus pemberdayaan daerah dalam pembangunan. Desentralisasi fiskal memerlukan adanya pergeseran beberapa tanggung jawab terhadap pendapatan (revenue) dan atau pembelanjaan (expenditure) ke tingkat pemerintahan yang lebih rendah (Handayani 2009). Faktor yang sangat penting dalam menentukan


(44)

desentralisasi fiskal adalah sejauh mana pemerintah daerah diberi wewenang (otonomi) untuk menentukan alokasi atas pengeluarannya sendiri. Faktor lain juga penting adalah kemampuan daerah untuk meningkatkan pendapatan asli

daerahnya (PAD).

Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, tentang Pokok-pokok

Pemerintahan di Daerah, pada pasal 1 memberikan pengertian bahwa “Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Pemahaman lain dapat dilihat dari para ahli, bahwa dalam membahas dan mengungkap masalah otonomi daerah, terdapat 4 hal untuk mengetahui dan menilai bahwa daerah dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya.

1. Adanya urusan-urusan yang diserahkan oleh pemerintah atasannya.

2. Pengaturan dan pengurusan dilaksanakan atas inisiatif dan kebijakan sendiri. 3. Untuk mengatur urusan tersebut diperlukan perlengkapan sendiri.

4. Untuk membiayai urusan yang diserahkan itu diperlukan sumber keuangan sendiri.”

Menyimak hal tersebut di atas, maka jelaslah bahwa otonomi daerah terjadi apabila terdapat pemerintahan tingkat atas yang memberikan atau menyerahkan beberapa atau sebahagian urusan penyelenggaraan pemerintahan kepada

pemerintah tingkat dibawahnya untuk mengatur dan mengurus rumahtangganya sendiri, atau dengan kata lain bahwa pengaturan yang telah dilaksanakan oleh aparat pemerintah daerah berdasarkan atas inisiatif dan kebijaksanaannya.


(45)

Demikian pula dalam hal pembiayaannya yang bersumber pada pendapatan yang dimiliki oleh daerah atau pendapatan luar sebagai suatu upaya yang dilakukan sendiri sesuai dengan wewenang yang dimiliki. Sesuai dengan uraian tentang cara peningkatan sumber pendapatan asli daerah ini, maka suatu daerah dalam

melaksanakan otonomi memerlukan sumber-sumber pembiayaan, dan oleh karena itu daerah harus memiliki kemampuan untuk menggali sumber-sumber daya yang tersedia dan potensial guna memenuhi kebutuhan pembiayaan daerah.

2.2. Kerangka Pikir

Dengan meningkatnya alokasi belanja modal, pemerintah berharap kinerja yang dilakukan oleh para pegawai juga akan mengalami peningkatan. Menggenjot belanja modal adalah perkara sangat penting karena meningkatkan produktivitas perekonomian. Semakin banyak belanja modal semakin tinggi pula produktivitas perekonomian dalam hal ini adalah kinerja pemerintah daerah. Belanja modal berupa infrastruktur jelas berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Upaya menggenjot belanja modal jelas harus disertai dengan meningkatnya kemampuan pemerintah pusat dan daerah menyerap anggaran. Salah satu caranya adalah dengan mempercepat proses tender untuk proyek-proyek yang dibiayai dari anggaran belanja modal. Dengan begitu, proyek-proyek-proyek-proyek itu pun cepat bergulir dan roda ekonomi bergerak (wordpress.com).

Berbagai belanja yang dialokasikan pemerintah, hendaknya memberikan manfaat langsung bagi masyarakat. Belanja modal yang dilakukan pemerintah dalam hal ini melayani kebutuhan masyarakat seperti pembangunan sarana prasarana contohnya jalan, bangunan, jembatan. Hal ini tentunya menuntut pemerintah untuk menyediakan dana yang berasal dari keuangan daerah untuk membangun


(46)

fasilitas tersebut. Pemerintah dapat melakukan belanja modal dengan melihat kondisi dari keuangan daerah. Keuangan daerah ini dilihat dari kemandirian suatu daerah yang tidak tergantung dengan dana bantuan pusat tapi lebih mengandalkan dari hasil sumber – sumber yang ada didaerah tersebut. Kekayaan yang berasal dari sumber – sumber daerah dapat meningkatkan derajat kemandirian suatu daerah. Kemandirian keuangan daerah ini berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi suatu daerah alasan yang mendasar ini ditinjau dari penelitian Adi 2007 bahwa adanya hubungan antara pertumbuhan ekonomi daerah, belanja pembangunan dan pendapatan asli daerah.

Dalam penelitian ini juga penulis menghubungkan antara investasi daerah dengan kemandirian keuangan daerah yang memiliki pengaruh, hal ini dapat terlihat dalam jangka waktu panjang. Investasi tidak dapat dilihat dengan waktu yang pendek. Penulis dalam hal ini mengambil investasi daerah berupa penyertaan modal saham. Investasi meningkat akan meningkatkan pula pendapatan daerah dan ini berpengaruh terhadap tingkat kemandirian keuangan suatu daerah Kemandirian keuangan daerah bila dikaitkan dengan investasi sangat berkaitan karena investasi dapat meningkatkan keuangan daerah tetapi jangka waktu yang dapat terlihat bahwa untuk investasi dalam jangka panjang. Hal ini bisa dilihat dengan adanya peningkatan pendapatan yang berasal dari investasi dearah melalui Pendapatan Regional Domestik Bruto (PDRB). Investasi ditujukan untuk

mendapatkan manfaat ekonomik bagi daerah seperti bunga, deviden dan royalty atau manfaat social dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat.


(47)

Kemandirian keuangan daerah adalah sebagaimana kemampuan pemerintah daerah untuk menghasilkan keuangan daerah melalui penggalian kekayaan asli daerah yang dikatakan sebagai pendapatan asli daerah yang harus terus menerus dipacu pertumbuhannya oleh- pemerintah daerah. Jumlah dan kenaikan kontribusi PAD akan sangat berperan dalam kemandirian pemerintah daerah yang dapat dikatakan sebagai kinerja pemerintah daerah (Florida, 2007).

Belanja modal pada umumnya dialokasikan untuk perolehan asset tetap yang dapat digunakan sebagai sarana pembangunan daerah. Dengan berkembang pesatnya pembangunan diharapkan terjadi peningkatan kemandirian daerah dalam membiayai kegiatannya terutama dalam hal keuangan. Untuk dapat mengetahui terjadinya peningkatan kemandirian daerah, pendapatan asli daerah bisa dijadikan sebagai tolak ukurnya, karena PAD ini sendiri merupakan komponen yang penting yang mencerminkan bagaimana sebuah kota atau kabupaten se-Sumatera dapat mendanai sendiri kegiatannya melalui komponen pendapatan yang murni dihasilkan melalui daerah tersebut.

2.3. Kemandirian Keuangan Daerah

Faktor keuangan merupakan faktor yang penting dalam mengatur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonomi daerah. Dalam Peraturan Pemerintah No. 105 tahun 2000, menyebutkan bahwa keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang temasuk didalamnya segala bentuk kekayaan lain yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut dalam kerangka APBD.


(48)

Sehubungan dengan pentingnya posisi keuangan tersebut, keuangan daerah sebagai salah satu indikator untuk mengetahui kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Dikeluarkannya undang-undang tentang Otonomi Daerah, membawa konsekuensi bagi daerah yang akan menimbulkan perbedaan antar daerah yang satu dengan yang lainnya, terutama dalam hal kemampuan keuangan daerah, antara lain (Nataluddin, 2001:167):

- Daerah yang mampu melaksanakan otonomi daerah.

- Daerah yang mendekati mampu melaksanakan otonomi daerah. - Daerah yang sedikit mampu melaksanakan otonomi daerah dan - Daerah yang kurang mampu melaksanakan urusan otonomi daerah

Selain itu ciri utama yang menunjukkan suatu daerah mampu melaksanakan otonomi daerah adalah sebagai berikut (Nataluddin, 2001:167)

Kemampuan keuangan daerah, artinya daerah harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahannya.

Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin agar Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar, yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah, sehingga peranan pemerintah daerah menjadi lebih besar.


(49)

Berkaitan dengan hakekat otonomi daerah yaitu pelimpahan wewenang pengambilan keputusan kebijakan, pengelolaan dana publik dan pengaturan kegiatan dalam penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan masyarakat, maka peranan data keuangan daerah sangat dibutuhkan untuk mengidentifikasi sumber-sumber pembiayaan daerah serta jenis dan besar belanja yang harus dikeluarkan agar perencanaan keuangan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.

Data keuangan daerah yang memberikan gambaran statistik perkembangan anggaran dan realisasi, baik penerimaan maupun pengeluaran dan analisa terhadapnya merupakan informasi yang penting terutama untuk membuat kebijakan dalam pengelolaan keuangan daerah untuk melihat kemampuan / kemandirian daerah (Yuliati, 2001:22)

Secara konseptual, pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah harus dilakukan sesuai dengan kemampuan keuangan daerah dalam membiayai pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan, walaupun pengukuran kemampuan keuangan daerah ini akan menimbulkan perbedaan. Paul Hersey dan Kenneth Blanchard dalam Nataludin, 2001:168-169) memperkenalkan “Hubungan Situasional” dalam pelaksanaan otonomi daerah

- Pola Hubungan Instruktif, peranan pemerintah pusat lebih dominan dari pada kemandirian pemerintah daerah (daerah yang tidak mampu melaksanakan otonomi daerah)


(50)

- Pola Hubungan Konsultif, campur tangan pemerintah pusat sudah mulai berkurang, karena daerah dianggap sedikit lebih mampu melaksanakan otonomi.

- Pola Hubungan Partisipatif, peranan pemerintah pusat semakin berkurang, mengingat daerah yang bersangkutan tingkat kemandiriannya mendekati mampu melaksanakan urusan otonomi.

- Pola Hubungan Delegatif, campur tangan pemerintah pusat sudah tidak ada karena daerah telah benar-benar mampu dan mandiri dalam melaksanakan urusan otonomi daerah.

Bertolak dari teori tersebut, karena adanya potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang berbeda, akan terjadi pula perbedaan pola hubungan dan tingkat kemandirian antar daerah. Sebagai pedoman dalam melihat pola hubungan dengan kemampuan daerah (dari sisi keuangan) dapat dikemukakan tabel sebagai berikut :

Tabel

Pola Hubungan Tingkat Kemampuan Daerah Kemampuan Keuangan Kemandirian (%) Pola hubungan Rendah sekali Rendah Sedang Tinggi 0%-25% 25%-50% 50%-75% 75%-100% Instruktif Konsultatif Partisipatif Delegatif Sumber : Abdul Halim (2002:169)

-Pengukuran Kemandirian keuangan daerah - Rasio Kemandirian Keuangan Daerah


(51)

RK

=

PENDAPATAN ASLI DAERAH S =

BANTUAN PEM PUSAT/ PROVINSI DAN PINJAMAN

Sumber : Abdul Halim (2008)

- Rasio kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana eksternal. Semakin tinggi rasio kemandirian mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak eksternal (terutama pemerintah pusat dan provinsi) semakin rendah dan demikian pula sebaiknya. Rasio kemandirian juga menggambarkan tingkat

partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio kemandirian, semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah akan menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggi.

2.4. Belanja Modal.

- Sumber dan pengertian belanja modal

Belanja Modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka

pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap/inventaris yang memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi, termasuk di dalamnya adalah pengeluaran untuk biaya pemeliharaan yang sifatnya mempertahankan atau menambah masa manfaat,meningkatkan kapasitas dan kualitas

aset. Belanja Modal sendiri terdiri dari: (1) BelanjaModal Tanah, (2) Belanja Modal Peralatan dan Mesin, (3) Belanja Modal Gedung danBangunan, (4) Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan, dan (5) Belanja Modal


(52)

nomor PER-66/PB/2005 tanggal 28 Desember 2005 tentang Mekanisme Pelaksanaan Pembayaran atas Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, pengeluaran untuk beban BelanjaModal dilakukan melalui mekanisme pembayaran langsung.

- Penggunaan belanja modal 1. 523 Belanja pemeliharaan 2. 5231 Belanja Pemeliharaan

3. 52311 Belanja Biaya Pemeliharaan Gedung dan Bangunan 4. 523111 Belanja Biaya Pemeliharaan Gedung dan Bangunan

Pengeluaran pemilharaan/perbaikan yang dilaksanakan sesuai dengan Stándar Biaya Umum. Dalam rangka mempertahankan gedung dan bangunan kantor dengan tingkat kerusakan kurang dari atau sampai dengan 2%; dan pemeliharaan/perawatan halaman/taman gedung/kantor agar berada dalam kondisi normal (tidak memenuhi syarat kapitalisasi aset tetap gedung dan bangunan).

5. 523119 Belanja Biaya Pemeliharaan Gedung dan Bangunan Lainnya Pengeluaran untuk membiayai pemeliharaan rumah dinas dan rumah jabatan yang erat kaitannya dengan pelaksanaan tugas para pejabat seperti istana negara, rumah Jabatan

Menteri/Gubernur/Bupati/Walikota/Mahkamah Agung/Ketua Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi/Kejaksaan Agung/Kejaksaan Tinggi/Kejaksaan Negeri/Pimpinan/Ketua Lembaga Non Kementerian/TNI/Polri/asrama yang terdapat di semua Kementerian/Lembaga Non Kementerian, termasuk TNI, Polri/Aula yang pisah dengan Gedung Kantor/Gedung


(53)

Kesenian, Art Center/Gedung Museum beserta isinya termasuk taman, pagar agar berada dalam kondisi normal.

6. 52312 Belanja Biaya Pemeliharaan Peralatan dan Mesin 7. 523121 Belanja Biaya Pemeliharaan Peralatan dan Mesin

Pengeluaran untuk pemeliharaan/perbaikan untuk mempertahankan peralatan dan mesin agar berada dalam kondisi normal yang tidak memenuhi syarat kriteria kapitalisasi aset tetap peralatan dan mesin. 8. 523129 Belanja Biaya Pemeliharaan Peralatan dan Mesin Lainnya

Pengeluaran lainnya untuk pemeliharaan/perbaikan untuk

mempertahankan peralatan dan mesin agar berada dalam kondisi normal yang tidak memenuhi syarat kriteria kapitalisasi aset tetap peralatan dan mesin.

9. 52313 Belanja Biaya Pemeliharaan Jalan, Irigasi dan Jaringan 10.523131 Belanja Biaya Pemeliharaan Jalan dan Jembatan

Pengeluaran untuk pemeliharaan/perbaikan untuk mempertahankan jalan dan jembatan agar berada dalam kondisi normal yang nilainya tidak memenuhi kriteria kapitalisasi jalan dan jembatan.

11.523132 Belanja Biaya Pemeliharaan Irigasi

Pengeluaran untuk pemeliharaan/perbaikan untuk mempertahankan irigasi agar berada dalam kondisi normal yang nilainya tidak memenuhi kriteria kapitalisasi.


(54)

Pengeluaran untuk pemeliharaan/perbaikan untuk mempertahankan jaringan agar berada dalam kondisi normal yang tidak memenuhi kriteria kapitalisasi jaringan.

13.52319 Belanja Biaya Pemeliharaan Lainnya 14.523199 Belanja Biaya Pemeliharaan Lainnya

Pengeluaran untuk pemeliharaan aset tetap selain gedung dan bangunan, peralatan dan mesin serta jalan, irigasi dan jaringan agar berada dalam kondisi normal termasuk pemeliharaan tempat ibadah, bangunan bersejarah seperti candi, bangunan peninggalan Belanda, Jepang yang belum diubah posisinya, kondisi bangunan/Bangunan Keraton/Puri bekas kerajaan, bangunan cagar alam, cagar budaya, makam yang memilki nilai sejarah.

- Jenis Belanja Modal

Pengeluaran untuk pembayaran perolehan asset dan/atau menambah nilai asset tetap/asset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi dan melebihi batas minimal kapitalisasi asset tetap/asset lainnya yang ditetapkan pemerintah.

Dalam pembukuan nilai perolehan aset dihitung semua pendanaan yang dibutuhkan hingga asset tersebut tersedia dan siap untuk digunakan. Termasuk biaya operasional panitia pengadaan barang/jasa yang terkait dengan pengadaan asset berkenaan.


(55)

Kriteria kapitalisasi dalam pengadaan/pemeliharaan barang/asset merupakan suatu tahap validasi untuk penetapan belanja modal atau bukan dan merupakan syarat wajib dalam penetapan kapitalisasi atas pengadaan barang/asset:

1. Pengeluaran anggaran belanja tersebut mengakibatkan bertambahnya asset dan/ atau bertambahnya masa manfaat/umur ekonomis asset berkenaan 2. Pengeluaran anggaran belanja tersebut mengakibatkan bertambahnya

kapasitas, peningkatan standar kinerja, atau volume asset.

3. Memenuhi nilai minimum kapitalisasi dengan rincian sebagai berikut: a. Untuk pengadaan peralatan dan mesin batas minimal harga pasar per

unit barang adalah sebesar Rp 300.000,-

b. Untuk pembangunan dan/ atau pemeliharaan gedung dan bangunan perpaket pekerjaan adalah sebesar Rp 10.000.000,-

4. Pengadaan barang tersebut tidak dimaksudkan untuk diserahkan/dipasarkan kepada masyarakat atau entitas lain di luar pemerintah.

Belanja modal dipergunakan untuk antara lain: 1. Belanja modal tanah

Seluruh pengeluaran untuk pengadaan/pembelian/pembebasan/ penyelesaian, balik nama, pengosongan, penimbunan, perataan, pematangan tanah,

pembuatan sertifikat tanah serta pengeluaran-pengeluaran lain yang bersifat administratif sehubungan dengan perolehan hak dan kewajiban atas tanah pada saat pembebasan/pembayaran ganti rugi sampai tanah tersebut siap


(56)

2. Belanja modal peralatan dan mesin

Pengeluaran untuk pengadaan peralatan dan mesin yang digunakan dalam pelaksanaan kegiatan antara lain biaya pembelian, biaya pengangkutan, biaya instalasi, serta biaya langsung lainnya untuk memperoleh dan mempersiapkan sampai peralatan dan mesin tersebut siap digunakan.

3. Belanja modal gedung dan bangunan

Pengeluaran untuk memperoleh gedung dan bangunan secara kontraktual sampai dengan gedung dan bangunan siap digunakan meliputi biaya pembelian atau biaya konstruksi, termasuk biaya pengurusan IMB, notaris, dan pajak (kontraktual).

Dalam belanja ini termasuk biaya untuk perencanaan dan pengawasan yang terkait dengan perolehan gedung dan bangunan.

4. Belanja modal jalan, irigasi, dan jaringan

Pengeluaran untuk memperoleh jalan dan jembatan, irigasi dan jaringan sampai siap pakai meliputi biaya perolehan atau biaya kontruksi dan biaya-biaya lain yang dikeluarkan sampai jalan dan jembatan, irigasi dan jaringan tersebut siap pakai. Dalam belanja ini termasuk biaya untuk penambahan dan penggantian yang meningkatkan masa manfaat, menambah nilai aset, dan di atas batas minimal nilai kapitalisasi jalan dan jembatan, irigasi dan jaringan. 5. Belanja modal lainnya


(57)

Pengeluaran yang diperlukan dalam kegiatan pembentukan modal untuk pengadaan/pembangunan belanja modal lainnya yang tidak dapat

diklasifikasikan dalam perkiraan kriteria belanja modal Tanah, Peralatan dan Mesin, Gedung dan Bangunan, Jaringan (Jalan, Irigasi dan lain-lain).

Termasuk dalam belanja modal ini: kontrak sewa beli (leasehold),

pengadaan/pembelian barang-barang kesenian (art pieces), barang-barang purbakala dan barang-barang untuk museum, serta hewan ternak, buku-buku dan jurnal ilmiah sepanjang tidak dimaksudkan untuk dijual dan diserahkan kepada masyarakat.

Termasuk dalam belanja modal ini adalah belanja modal non fisik yang besaran jumlah kuantitasnya dapat teridentifikasi dan terukur.

6. Belanja modal Badan Layanan Umum (BLU)

Pengeluaran untuk pengadaan/perolehan/pembelian aset yang dipergunakan dalam rangka penyelenggaraan operasional BLU.

2.5. Investasi Daerah

- Pengertian

Investasi Pemerintah adalah penempatan sejumlah dana dan barang dalam jangka panjang untuk investasi pembelian surat berharga dan Investasi Langsung untuk memperoleh manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya.

Investasi Pemerintah bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam rangka memajukan kesejahteraan umum. Menurut Simbolon(2010) bentuk Investasi Pemerintah dilakukan dalam bentuk Investasi surat berharga


(58)

dimaksudkan untuk mendapatkan manfaat ekonomi. Investasi Surat Berharga meliputi:

a. investasi dengan cara pembelian saham; dan/atau b. investasi dengan cara pembelian surat utang.

Investasi ini dilaksanakan oleh Badan Investasi Pemerintah. 1. Investasi Langsung.

Dimaksudkan untuk mendapatkan manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya.

Investasi Langsung meliputi: 1. Penyertaan Modal; dan/atau 2. Pemberian Pinjaman.

Investasi Langsung dapat dilakukan dengan cara:

1. Kerjasama investasi antara Badan Investasi Pemerintah dengan Badan Usaha dan/atau BLU dengan pola kerjasama pemerintah dan swasta (Public Private Partnership); dan/atau

2. Kerjasama investasi antara Badan Investasi Pemerintah dengan Badan Usaha, BLU, Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota, BLUD, dan/atau badan hukum asing, dengan selain pola kerjasama pemerintah dan swasta (Non Public Private Partnership).


(59)

Khusus pada Investasi Langsung pada bidang lainnya, ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

- Sumber dana Investasi

Menurut Simbolon (2010) bahwa sumber dana investasi pemerintah dapat berasal dari:

1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; 2. Keuntungan investasi terdahulu;

3. Dana/barang amanat pihak lain yang dikelola oleh Badan Investasi Pemerintah; dan/atau

4. Sumber-sumber lainnya yang sah.

Sumber dana Investasi Pemerintah ditempatkan pada Rekening Induk Dana Investasi yang ditentukan oleh Menteri Keuangan. Sumber dana Investasi Pemerintah ditempatkan pada Badan Investasi Pemerintah dan dikelola secara tersendiri oleh Badan Investasi Pemerintah.

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyediaan, pencairan, dan pengelolaan dana dalam Rekening Induk Dana Investasi diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan.

- Kewenangan, Lingkup dan Pelaksanaan Investasi Pemerintah - Lingkup

Lingkup pengelolaan Investasi Pemerintah meliputi: a. perencanaan;


(60)

c. penatausahaan dan pertanggungjawaban investasi; d. pengawasan; dan

e. divestasi. - Kewenangan

Kewenangan pengelolaan Investasi Pemerintah dilaksanakan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara. Kewenangan pengelolaan Investasi Pemerintah meliputi kewenangan regulasi, supervisi, dan operasional. Dalam rangka pelaksanaan kewenangan regulasi sebagaimana, Menteri Keuangan selaku pengelola Investasi Pemerintah berwenang dan bertanggung jawab:

1. merumuskan kebijakan, mengatur, dan menetapkan pedoman pengelolaan Investasi Pemerintah;

2. menetapkan kriteria pemenuhan perjanjian dalam pelaksanaan Investasi Pemerintah; dan

3. menetapkan tata cara pembayaran kewajiban yang timbul dari proyek penyediaan Investasi Pemerintah dalam hal terdapat penggantian atas hak kekayaan intelektual, pembayaran subsidi, dan kegagalan pemenuhan Perjanjian Investasi.

Dalam rangka pelaksanaan kewenangan supervisi, Menteri Keuangan selaku pengelola Investasi Pemerintah berwenang dan bertanggung jawab:

1. melakukan kajian kelayakan dan memberikan rekomendasi atas pelaksanaan Investasi Pemerintah;


(61)

dukungan pemerintah;

3. mengevaluasi secara berkesinambungan mengenai pembiayaan dan keuntungan atas pelaksanaan Investasi Pemerintah dalam jangka waktu tertentu; dan

4. melakukan koordinasi dengan instansi terkait khususnya sehubungan dengan Investasi Langsung dalam penyediaan infrastruktur dan bidang lainnya, termasuk apabila terjadi kegagalan pemenuhan kerjasama.

Dalam rangka pelaksanaan kewenangan operasional, Menteri Keuangan selaku pengelola Investasi Pemerintah berwenang dan bertanggung jawab:

1. mengelola Rekening Induk Dana Investasi;

2. meneliti dan menyetujui atau menolak usulan permintaan dana Investasi Pemerintah dari Badan Usaha, BLU, Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota, BLUD, dan/atau badan hukum asing;

3. mengusulkan rencana kebutuhan dana Investasi Pemerintah yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

4. dana atau barang dalam rangka Investasi Pemerintah;

5. melakukan Perjanjian Investasi dengan Badan Usaha terkait dengan penempatan dana Investasi Pemerintah;

6. melakukan pengendalian atas pengelolaan risiko terhadap pelaksanaan Investasi Pemerintah;

7. mengusulkan rekomendasi atas pelaksanaan Investasi Pemerintah; 8. mewakili dan melaksanakan kewajiban serta menerima hak pemerintah


(62)

9. menyusun dan menandatangani Perjanjian Investasi; 10.mengusulkan perubahan Perjanjian Investasi;

11.melakukan tindakan untuk dan atas nama pemerintah apabila terjadi sengketa atau perselisihan dalam pelaksanaan Perjanjian Investasi; 12.melaksanakan Investasi Pemerintah dan Divestasinya; dan

13.apabila diperlukan, dapat mengangkat dan memberhentikan Penasihat Investasi.

Untuk menyelenggarakan kewenangan supervisi, Menteri Keuangan membentuk Komite Investasi Pemerintah yang bersifat ad hoc.

Untuk menyelenggarakan kewenangan operasional, Menteri Keuangan membentuk Badan Investasi Pemerintah yang dapat berupa satu atau lebih satuan kerja atau badan hukum.

Penyelenggaraan kewenangan operasional pengelolaan Investasi Pemerintah oleh Badan Investasi Pemerintah berbentuk satuan kerja dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. Penyelenggaraan kewenangan operasional pengelolaan Investasi Pemerintah oleh Badan Investasi Pemerintah berbentuk badan hukum dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Badan Investasi Pemerintah yang berupa satuan kerja dipimpin oleh kepala atau direktur yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Dalam rangka pengawasan atas pelaksanaan kewenangan operasional oleh Badan Investasi Pemerintah yang berupa satuan kerja, Menteri Keuangan dapat membentuk Dewan


(63)

Pengawas. - Pelaksanaan

Investasi dengan cara pembelian saham dapat dilakukan atas saham yang diterbitkan perusahaan. Investasi dengan cara pembelian surat utang dapat dilakukan atas surat utang yang diterbitkan perusahaan, pemerintah, dan/atau negara lain (hanya dapat dilakukan apabila penerbit surat utang memberikan opsi pembelian surat utang kembali).

Pelaksanaan investasi sebagaimana dimaksud tersebut, didasarkan pada penilaian kewajaran harga surat berharga yang dapat dilakukan oleh Penasihat Investasi.

Pelaksanaan Investasi Langsung melalui Penyertaan Modal dan/atau Pemberian Pinjaman dilakukan oleh Badan Investasi Pemerintah dengan Badan Usaha, BLU, Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota, BLUD, dan/atau badan hukum asing. (untuk jangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan).

- .Penelitian Terdahulu

Adapun penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini diantaranya. Mangindang Silitonga. (2010) melakukan penelitian tentang pengaruh tingkat

kemandirian keuangan daerah terhadap belanja modal pemerintah daerah pada pemerintah kabupaten/kota di Sumatra Utara. Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat kemandirian keuangan daerah tidak berpengaruh signifikan positif terhadap belanja modal.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Sukriy dan Abdul Halim. 2009. Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Pemerintah Daerah Studi Kasus Kabupaten/Kota di Jawa dan Bali. Yogyakarta,Hal 1140-1159.

Adi, Priyo Hari. 2007. Hubungan antara Pertumbuhan Ekonomi Daerah, Belanja Pembangunan dan Pendapatan Asli Daerah. Proceeding SNA IX. Padang Ariani, Kurnia Rina. 2010. Pengaruh BelanjaModal dan Dana Alokasi Umum

terhadap Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah dan Tax Effort (Studi Kasus pada Pemerintah Kabupaten/Kota Wilayah Eks Surakarta Jurnal akuntansi Vol 1 No 2 Universitas Sebelas Maret Surakarta

Annisa, Raisa. 2010. Analisis Pengaruh Alokasi Belanja Modal Terhadap Kemandirian Keuangan Pemerintah Daerah. Penelitian Akuntansi Universitas Indonesia Jakarta

Alexiou , Constantinos, 2009. Government Spending and Economic Growth: Econometric Evidence from the South Eastern Europe (SEE), Journal of Economic and Social Research, 11(1), 1-16

Alegre, Juan G. 2006. Decentralization and Composition of Public Expenditure in Spain. European University Institute. Spain.

Bebchuk, Lucian A. 2008. A Plan For Addressing The Financial Crisis. Jurnal The Voice ekonom, Vol. 5, Issue 5 (September 2008). Harvard Law School Cambridge, MA 02138

Bland, Robert Land Nunn, Samuel. 1992. The Impact of Capital Spending on Municipal Operating Budgets. Public Budgeting and Finance, Summer 1992

Donaldson et all. 1991. Stewardship Theory or Agency Theory CLO Governance and Shareholder Return Australian Journal Of Management 16, p:49-63 Durbin Watson. 2008. Didalam Wardani,2008 www.google.co.id, 4 April 2014 Ellwood. 1993. Di dalam Mahsun, M. 2006. www.google.co.id, 14 Juni 2014


(2)

Florida, Asha. 2007. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Dan Kota di Propinsi Sumatera Utara. Tesis, Medan

Francis M. 2001. Growth Performance Explain Africa : Kenya Case Study. Jurnal Departemen Ekonomi Universitas Nairobi

Ghozali., Imam. (2009), Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS, Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Gujarati, 2010. Dasar – Dasar Ekonometrika buku 1 Edisi 5 Salemba Empat Halim, Abdul. 2005. Kajian Tentang Keuangan Daerah Pemerintah Kota

Malang. Tesis. Malang.

Halim, Abdul. 2008. Akuntansi Keuangan Daerah, Jakarta. Salemba Empat Halim, Abdul. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Jakarta. Salemba Empat. Handayani, Atiah. 2009. .Analisis Pengaruh Transfer Pemerintah Pusat

Terhadap Pengeluaran Daerah dan Upaya Pajak (Tax Effort) Daerah (Studi Kasus: Kabupaten/Kota di Jawa Tengah).. Skripsi Tidak Dipublikasikan, Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Universitas Diponegoro Semarang.

Holtz-Eakin Whitney Neway and Rosen. 1985 Implementing Causality Test With panel data with an example from local public finance. NBER Technical. Hariyadi, Jasaagung. 2001. Estimasi penerimaan dan Belanja Daerah serta

Derajat Desentralisasi Fiskal Kabupaten Belitung Studi Kasus Tahun Anggaran 2001 jurnal Universitas Diponegoro. Malang

Hopt et all. 2004. Board Models In Europe Recent Developments of Internal Corporate Governance Structures in Germany, the United Kingdom, France and Italy. Jurnal Institut Max Planck untuk Swasta Asing dan Swasta Hukum Internasional, Hamburg & ECGI

Jaya, Amir. 2005. Analisis Pengaruh Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Dan Investasi Swasta Terhadap Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Di Kabupaten Tana Toraja. Jurnal Adiwidia Vol 1 UKI Paulus Medan.

Ismi Rizky dan Suryo. 2009. Pengaruh PAD dan Belanja Pembangunan terhadap rasio kemandirian dan pertumbuhan ekonomi. Konferensi Penelitian Keuangan Sektor Publik II.

Keneeth Davey, 1986. Pembiayaan Pemerintah Daerah Praktek-Praktek

Internasional dan Relevansinya Bagi Dunia Ketiga (Terjemahan, Amanullah Dkk) Universitas Indonesia Press. Jakarta.


(3)

Khusaini., Mohammad. 2006. Ekonomi Publik: Desentralisasi Fiskal dan Pembangunan Daerah. BPFE Unibraw, Malang.

Kuncoro, Mudrajad. 2004. Otonomi Daerah & Pembangunan Daerah (Reformasi, Perencanaan, Strategi dan peluang). Penerbit Erlangga. Jakarta

Kusnandar et all, 2010. Pengaruh Dana Alokasi Umum, Pendapatan Asli Daerah, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran, Dan Luas Wilayah Terhadap Belanja Modal. Jurnal Akuntansi Universitas Indonesia, Jakarta

Lind et all, 2008. Teknik – Teknik Statistika Dalam Bisnis Dan Ekonomi buku 2 Edisi 13 Salemba Empat

Magindang, Silitonga. 2010. Pengaruh Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Terhadap Belanja Modal Pemerintah Daerah pada Pemerintah Kabupaten/Kota di Sumatra Utara. Jurnal Akuntansi Universitas Sumatera Utara, Medan.

Mayzetika, Maharani. 2011 Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) Terhadap Belanja Modal. Skripsi Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas negeri Semarang Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik. ANDI. Yogyakarta

Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. ANDI. Yogyakarta.

Mnenwa, Raymond. 2009. Assessing Institusional Promoting Framework Growth Of MSE in Tanzania : Case Dar Es Salaam Jurnal Research on Poverty Alleviation (REPOA)

Mahsun, Mohammad. 2010. Akuntabilitas Kinerja. Artikel.

Meyers, F., Verhoest, K and Beuselinck E., 2006. Performance of Public Sector Organizations: Do Management Instruments Matter? Paper for ìA Performing Public Sector: The Second Transatlantic Dialogueî. Leuven, BelgiÎ 1-3 June.

Nataluddin. 2001. Potensi dana perimbangan pada pemerintahan daerali di Propinsi Jambi, Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: UPP YKPN.

Nataluddin. 2001. Didalam Widowati. 2006. www.google.co.id, 18 April 2014 Nurcholis. 2007. Pengertian dan Sumber – Sumber Pendapatan Asli


(4)

Nirzawan. 2001, Tinjauan umum terhadap sistem pengelolaan Keuangan Daerah di Bengkulu Utara, Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta : UPP YKPN.

Nordiawan, Deddi, 2006 Akuntansi Sektor Publik, Salemba Empat, Jakarta.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan sosial Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2011

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah

Penjelasan Penggunaan Kode Akun Direktorat Jenderal Perbendaharaan Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Akun Penjelasan

Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan nomor PER-66/PB/2005 tanggal 28 Desember 2005 tentang Mekanisme Pelaksanaan Pembayaran atas Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara


(5)

Sasana, Hadi. 2011. Analisis Determinan Belanja Daerah Di Kabupaten/ Kota Propinsi Jawa Barat Dalam Era Otonomi Dan Desentralisasi Fiskal. Jurnal Bisnis Dan Ekonomi Vol. 18, No 1 Undip, Semarang.

Sekaran, Uma. 2006. Research Methods for Business. (a skill building approach), Second Edition Jhon Wiley, New York.

Simbolon, Michael. 2010. Investasi dan Penyertaan Modal Pemerintah. Artikel. Sugiono. 2001. Analisis Manfaat dan Biaya Sosial. Makalah ekonomi Publik

Jakarta

Sularso, Havid., Restianto, Yanuar E. 2011. Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap Alokasi belanja Modal dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Jawa Tengah. Media Riset Ekonomi. Purwokerto Suryaningrum, 2000. Pertumbuhan ekonmi Regioanal di Indonesia. Media

Ekonomi dan Bisnis, FE-Undip , Vol. XII No.1 Juni 2000.

Sumitro Djojohadikusumo, (1994), Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan, Jakarta, LP3ES.

Wong, John D. 2004. The Fiscal Impact of Economic Growth and Development on Local Government Capacity. Journal of Public Budgeting.,

Accounting and Financial Management. Fall.

Thesaurianto, Kuncoro. 2007. Analisis Pengelolaan Keuangan Daerah Terhadap Kemandirian Daerah. Tesis Undip, Semarang

Trunbull, Shann. 2002. A. New Way To Govern Organitations and Society After Enron. New Economics Foundation. London United Kingdom

Utami, Ayu Mita. 2012. Pengaruh Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi terhadap Pendapatan Asli Daerah, Fakultas Ekonomi, Jurnal Universitas Siliwangi. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan

Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol To The United Nations Framework Convention On Climate Change (Protokol Kyoto Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Perubahan Iklim)

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah


(6)

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

UU RI. 2000. Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 Tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.

Yani, Ahmad. 2008. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia. Rajagrafindo Persada. Jakarta

Yuliati. 2001. Analisis Kemampuan Keuangan Daerah dalam menghadapi Otonomi Daerah, Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: UPP YKPN.


Dokumen yang terkait

Pengaruh Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Terhadap Belanja Modal Pemerintah Daerah pada Pemerintah Kabupaten/Kota di Sumatra Utara

8 65 63

Pengaruh Belanja Modal dan Dana Alokasi Umum Terhadap Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah

0 4 6

Pengaruh Dana Perimbangan, Wealth, Belanja Modal dan Leverage Terhadap Kemandirian Keuangan Daerah Pada Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara

0 3 109

Pengaruh Dana Perimbangan, Belanja Modal, dan Belanja Pegawai Terhadap Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Pada Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara (2010-2013)

1 12 77

Pengaruh Kemandirian Keuangan Daerah dan Dana Perimbangan Terhadap Belanja Modal (Studi pada Kabupaten/Kota se-Bali).

0 1 32

Pengaruh Dana Perimbangan, Belanja Modal, dan Belanja Pegawai Terhadap Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Pada Pemerintah Kabupaten Kota di Provinsi Sumatera Utara (2010-2013)

0 1 10

Pengaruh Dana Perimbangan, Belanja Modal, dan Belanja Pegawai Terhadap Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Pada Pemerintah Kabupaten Kota di Provinsi Sumatera Utara (2010-2013)

0 0 6

Pengaruh Dana Perimbangan, Belanja Modal, dan Belanja Pegawai Terhadap Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Pada Pemerintah Kabupaten Kota di Provinsi Sumatera Utara (2010-2013)

0 1 14

Pengaruh Dana Perimbangan, Belanja Modal, dan Belanja Pegawai Terhadap Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Pada Pemerintah Kabupaten Kota di Provinsi Sumatera Utara (2010-2013)

1 12 3

PENGARUH BELANJA MODAL DAN BELANJA PEGAWAI TERHADAP TINGKAT KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH PADA KABUPATEN DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

0 0 17