Pengaruh Kemandirian Keuangan Daerah dan Dana Perimbangan Terhadap Belanja Modal (Studi pada Kabupaten/Kota se-Bali).

(1)

PENGARUH KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH DAN DANA PERIMBANGAN TERHADAP BELANJA MODAL

(Studi Pada Kabupaten/Kota se-Bali)

SKRIPSI

Oleh:

LUH AYU RATIH PURNAMASARI NIM: 1206305143

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2016


(2)

i

PENGARUH KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH DAN DANA PERIMBANGAN TERHADAP BELANJA MODAL

(Studi Pada Kabupaten/Kota se-Bali)

SKRIPSI

Oleh:

LUH AYU RATIH PURNAMASARI NIM: 1206305143

Skripsi ini ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar Sarjana Ekonomi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Udayana Denpasar


(3)

ii

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini telah diuji oleh tim penguji dan disetujui oleh Pembimbing, serta diuji pada tanggal:

Tim Penguji: Tanda tangan

1. Ketua : Dr. A A N B Dwirandra, SE., M.Si., Ak

2. Sekretaris : Ni Made Adi Erawati, SE., M.Si

3. Anggota : Eka Ardhani Sisdyani, SE., M.Com., Ak

Mengetahui,

Ketua Jurusan Akuntansi Pembimbing

Dr. A.A.G.P Widanaputra, SE., M.Si., Ak Ni Made Adi Erawati, SE, M.Si


(4)

iii

PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa sepanjang pengetahuan saya, di dalam naskah skripsi ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik disuatu Perguruan Tinggi, dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila ternyata di dalam naskah skripsi ini dapat dibuktikan terdapat unsur – unsur plagiasi, saya bersedia diproses sesuai dengan pertauran perundang – undangan yang berlaku.

Denpasar, 17 Februari 2016 Mahasiswa

Luh Ayu Ratih Purnamasari 1206305143


(5)

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat rahmat dan kasih-Nya, skripsi yang berjudul “Pengaruh Kemandirian Keuangan dan Dana Perimbangan Terhadap Belanja Modal (Studi Pada Kabupaten/Kota se-Bali)” dapat diselesaikan sesuai dengan yang direncanakan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan berhasil tanpa bimbingan, pengarahan dan dukungan dari berbagai pihak yang telah meluangkan waktunya dalam penyusunan skripsi ini. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. I Nyoman Mahaendra Yasa, SE., M.Si selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.

2. Ibu Prof. Dr. Ni Nyoman Kerti Yasa, SE., M.S selaku Pembantu Dekan I Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.

3. Bapak Dr.A.A.G.P Widanaputra, SE., M.Si., Ak dan Dr. I Dewa Nyoman Badera, SE., MSi., masing – masing sebagai Ketua dan Sekretaris Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.

4. Bapak Dr. Gerianta Wirawan Yasa, SE., M.Si selaku pembimbing akademik (PA) atas waktu, bimbingan serta motivasi yang tiada henti selama saya menempuh studi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana. 5. Ibu Ni Made Adi Erawati, SE., M.Si selaku dosen pembimbing yang selalu

meluangkan waktu, tenaga, pikiran serta arahan dan motivasinya selama penyelesaian skripsi ini.

6. Ibu Eka Ardhani Sisdyani, SE., M.Com., Ak selaku dosen pembahas yang selalu meluangkan waktu dan memberikan arahan kepada penulis.

7. Seluruh Dosen, Staf dan Segenap Civitas Akademika Universitas Udayana yang telah membantu penulis selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.

8. Orang tua tercinta, I Putu Gede Pujangga dan Ni Made Agustini Harmini yang selalu memberikan dukungan, perhatian dan kasih sayang serta doanya yang tulus dan tiada hentinya, saudara-saudara saya Luh Putu Mas Purnama Dewi, Luh Diah Utari, dan Luh Putri Oktaviani serta semua keluarga besar atas dukungan serta doanya yang tulus selama saya menempuh studi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.

9. Teman baikku Pujiastini Utari, Dayu Trisna, Prawira Kurniawan, Sintya Surya, Sri Arthini, Ayu Sidney, Hiwa Sawaka, Dayu Agung Sukma, Kania Putri, Dwi Indahyani, Ruth Ginting, Astri Artini, Mahadewi, dan Adi Mulia Sanjaya serta yang telah banyak membantu dan memberikan doa dan dukungan serta semangat kepada penulis.

10. Teman – teman seperjuangan yang tidak dapat disebutkan satu persatu dan rekan – rekan akuntansi 2012 yang senantiasa membantu selama perkuliahan dan memberi motivasi selama penyusunan skripsi ini.


(6)

v

11. Teman – teman KKN Desa Belimbing, Pupuan yang telah berbagi keceriaan dan memberikan pengalaman hidup baru kepada penulis selama sebulan. 12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas doa dan

bantuannya dalam proses penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari skripsi ini tidak akan berhasil tanpa bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak. Meskipun demikian, penulis tetap bertanggung jawab terhadap semua isi skripsi. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan.

Denpasar, 17 Februari 2016


(7)

vi

Judul :Pengaruh Kemandirian Keuangan dan Dana Perimbangan Terhadap Belanja Modal (Studi Pada Kabupaten/Kota se-Bali)

Nama : Luh Ayu Ratih Purnamasari NIM : 1206305143

Abstrak

Belanja modal merupakan belanja Pemerintah Daerah yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah. Belanja modal digunakan untuk memperoleh aset tetap pemerintah daerah seperti peralatan, infrastruktur, dan harta tetap lainnya. Aset tetap yang dimiliki pemerintah daerah sebagai akibat adanya belanja modal merupakan syarat utama dalam memberikan pelayanan publik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih jauh dan lebih spesifik pengaruh kemandirian keuangan daerah dan dana perimbangan terhadap belanja modal pada delapan kabupaten dan satu kota di Bali.

Populasi dalam penelitian ini adalah delapan kabupaten dan satu kota di Bali.periode 2010 – 2014. Metode penentuan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampling jenuh, sehingga sampel dalam penelitian ini adalah seluruh anggota populasi. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder yang diperoleh dari dokumen Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, yaitu Laporan Realisasi APBD, dan didukung dengan data primer dari hasil wawancara kepada Kasubag Pembukuan di Sekretariat Daerah Pemerintah Kota Denpasar. Data penelitian dianalisa dengan analisis regresi linear berganda.

Hasil pengujian yang dilakukan menunjukkan bahwa kemandirian keuangan daerah berpengaruh positif terhadap belanja modal dan dana perimbangan tidak berpengaruh terhadap belanja modal.


(8)

vii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi BAB I PENDAHULUAN ... Error! Bookmark not defined. 1.1 Latar Belakang Masalah ... Error! Bookmark not defined. 1.2 Rumusan Masalah Penelitian ... Error! Bookmark not defined. 1.3 Tujuan Penelitian ... Error! Bookmark not defined. 1.4 Kegunaan Penelitian... Error! Bookmark not defined. 1.5 Sistematika Penulisan ... Error! Bookmark not defined. BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... Error! Bookmark not defined.

2.1. Landasan Teori ... Error! Bookmark not defined. 2.1.1 Teori Keagenan ... Error! Bookmark not defined. 2.1.2 Teori Fiscal Federalism... Error! Bookmark not defined. 2.1.3 Kemandirian Keuangan ... Error! Bookmark not defined. 2.1.4 Pendapatan Asli Daerah ... Error! Bookmark not defined. 2.1.5 Dana Perimbangan ... Error! Bookmark not defined. 2.1.6 Belanja Modal ... Error! Bookmark not defined. 2.2. Hipotesis Penelitian ... Error! Bookmark not defined.

2.2.1 Pengaruh Kemandirian Keuangan Daerah terhadap Belanja Modal Error! Bookmark not defined.

2.2.2 Pengaruh Dana Perimbangan terhadap Belanja Modal ... Error! Bookmark not defined.

BAB III METODE PENELITIAN ... Error! Bookmark not defined. 3.1 Desain Penelitian ... Error! Bookmark not defined.


(9)

viii

3.2 Lokasi dan Ruang Lingkup Wilayah Penelitian ... Error! Bookmark not defined.

3.3 Obyek Penelitian ... Error! Bookmark not defined. 3.4 Identifikasi Variabel ... Error! Bookmark not defined. 3.5 Definisi Operasional Variabel ... Error! Bookmark not defined. 3.6 Jenis dan Sumber Data ... Error! Bookmark not defined. 3.7 Populasi, Sampel, dan Metode Penentuan Sampel ... Error! Bookmark not defined.

3.8 Metode Pengumpulan Data ... Error! Bookmark not defined. 3.9 Teknik Analisis Data ... Error! Bookmark not defined. 3.9.1 Statistik Deskriptif ... Error! Bookmark not defined. 3.9.2 Uji Asumsi Klasik ... Error! Bookmark not defined. 3.9.3 Uji Hipotesis ... Error! Bookmark not defined. BAB IV DATA DAN HASIL PEMBAHASAN PENELITIANError! Bookmark not defined.

4.1. Deskripsi Sampel Penelitian ... Error! Bookmark not defined. 4.2. Analisis Statisktik Deskriptif ... Error! Bookmark not defined. 4.3. Uji Asumsi Klasik ... Error! Bookmark not defined. 4.4. Uji Hipotesis ... Error! Bookmark not defined. 4.5. Pembahasan Penelitian ... Error! Bookmark not defined. 4.5.1 Pengaruh Kemandirian Keuangan Daerah pada Belanja Modal . Error! Bookmark not defined.

4.5.2 Pengaruh Dana Perimbangan pada Belanja Modal... Error! Bookmark not defined.

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... Error! Bookmark not defined. 5.1 Simpulan ... Error! Bookmark not defined. 5.2 Saran ... Error! Bookmark not defined. Daftar Rujukan ... Error! Bookmark not defined. LAMPIRAN ... Error! Bookmark not defined.


(10)

ix

DAFTAR TABEL

No. Tabel Halaman

2.1 Kemampuan Keuangan dan Tingkat Kemandirian Daerah ... 10

4.1 Hasil Statistik Deskriptif ... 28

4.2 Hasil Uji Normalitas ... 30

4.3 Hasil Uji Multikolinearitas ... 30

4.4 Hasil Uji Autokorelasi... 31

4.5 Hasil Uji Heterokedastisitas ... 32


(11)

x

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Halaman


(12)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

No. Lampiran Halaman

1. Daftar Kabupaten dan Kota di Provinsi Bali ... 45

2. Hasil Tabulasi Data ... 46

3. Hasil Statistik Deskriptif Data Uji ...48

4. Hasil Output Uji Asumsi Klasik ... 49


(13)

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem otonomi daerah. Awal dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah sejak diberlakukannya Undang-undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Otonomi daerah adalah bagian dari desentralisasi. Pola hubungan yang cenderung sentralisasi berubah pada pola desentralisasi yang memberikan kewenangan lebih besar kepada daerah dalam mengatur pemerintahan daerahnya.

Sumarmi (2008) menyatakan bahwa kebijakan otonomi daerah tersebut bisa dilihat dari dua sudut pandang. Sudut pandang yang pertama adalah tantangan, yang kedua adalah peluang bagi Pemerintah Daerah (Pemda). Hal tersebut dikarenakan, dalam UU tersebut diamanatkan suatu kewenangan otonomi yaitu agar daerah melaksanakan pembangunan disegala bidang, terutama untuk pembangunan sarana dan prasarana publik (public service).

Laporan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan sarana utama dalam menjalankan otonomi daerah. Dalam APBD tersebut terkandung unsur pendapatan dan belanja. Belanja modal digunakan untuk pembangunan sarana dan prasarana daerah, dana yang digunakan untuk alokasi belanja modal berasal dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan dan lain-lain


(14)

2

pendapatan yang sah. Pemerintah daerah mengalokasikan dana dalam bentuk anggaran belanja modal dalam APBD untuk menambah aset tetap. Belanja modal merupakan pengeluaran pemerintah yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset dan selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya operasi dan biaya pemeliharaan. Belanja modal dapat dikategorikan dalam belanja modal tanah, belanja modal gedung dan bangunan, belanja modal peralatan mesin, belanja modal jalan, irigasi dan bangunan serta belanja modal fisik lainnya. Belanja modal pemerintah daerah mempunyai peran strategis dalam memicu pertumbuhan ekonomi di daerah nersangkutan. Belanja modal bersifat produktif dan bersentuhan langsung dengan kepentingan public sehingga dapat menstimulus perekonomian di daerah bersangkutan. Rasio belanja modal tiap tahunnya hanya mengalami sedikit peningkatan pada setiap kabupaten, padahal belanja modal pemerintah daerah mempunyai peran strategis dalam memicu pertumbuhan ekonomi di daerah yang bersangkutan. Semakin tinggi nilai rasio belanja modal maka semakin tinggi pula diharapkan dampaknya terhadap perkembangan perekonomian di daerah tersebut (BPS, 2015).

Penelitian Zielinski (2001) dalam Kolomycew (2014) menyebutkan bahwa unsur penting dari desentralisasi adalah memberikan kemandirian keuangan pada daerah itu sendiri. Secara khusus, kemandirian keuangan sangat penting untuk pengembangan pemerintahan daerah. Ketergantungan pada subsidi dari anggaran pusat bertentangan dengan prinsip dari desentralisasi.

Salah satu tujuan dari otonomi daerah adalah kemandirian daerah, kemandirian daerah disini juga dimaksudkan kemandirian dalam bidang


(15)

3

keuangan. Daerah diberi kewenangan yang lebih besar untuk mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri. Tujuan kewenangan tersebut adalah untuk lebih mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat, memudahkan masyarakat untuk memantau dan mengontrol penggunaan dana yang bersumber dari APBD, dan untuk menciptakan persaingan yang sehat antardaerah, serta mendorong timbulnya

inovasi. Sejalan dengan hal tersebut, Pemerintah Daerah diharapkan mampu menggali sumber-sumber keuangan khususnya untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintahan dan pembangunan di daerahnya melalui pendapatan asli daerah.

Pendapatan yang berasal dari daerah tersebut dikenal dengan pendapatan asli daerah. Pendapatan asli daerah ini dapat menunjukkan kemandirian keuangan daerah itu sendiri. Semakin tinggi rasio kemandirian mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak eksternal (terutama pemerintah pusat dan provinsi) semakin rendah, dan demikian sebaliknya. Semakin tinggi rasio kemandirian, semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah, yang merupakan komponen utama dari pendapatan asli daerah. Semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah akan menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang semakin tinggi. Hal ini dapat dilihat dari pembangunan infrastruktur daerah yang semakin berkembang. Menurut Assyurriani (2015) menyatakan bahwa kemandirian keuangan suatu daerah sangat dipengaruhi oleh pendapatan asli daerah dalam memenuhi seluruh kebutuhan belanja pemerintah, baik belanja operasional maupun belanja modal, semakin banyak kebutuhan yang dapat dipenuhi maka semakin tinggi tingkat kemandirian suatu daerah, demikian juga sebaliknya semakin sedikit belanja yang dapat dipenuhi dengan pendapatan asli


(16)

4

daerah, maka semakin rendah tingkat kemandirian suatu daerah. Guna meningkatkan kemandirian keuangan setiap daerah berupaya meningkatkan pendapatan asli daerahnya untuk mengurangi ketergantungan dari pemerintah pusat. Penelitian yang dilakukan oleh Silitonga (2009) yang menemukan bahwa tingkat kemandirian keuangan daerah tidak berpengaruh signifikan positif terhadap belanja modal. Begitu pula dengan penelitian Ardhini (2011) bahwa rasio tingkat kemandirian daerah tidak berpengaruh terhadap belanja modal. Sebaliknya, penelitian Kadafi (2013) menunjukkan bahwa pendapatan asli daerah dan dana perimbangan berpengaruh signifikan terhadap belanja modal.

Pelaksanaan otonomi daerah menitikberatkan pada daerah kabupaten dan kota ditandai dengan adanya penyerahan sejumlah kewenangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah. Sesuai dengan teori keagenan (agency theory) bahwa hubungan principal dan agen dapat dilihat dari kewenangan yang diserahkan oleh pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus daerahnya sendiri. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah adalah pemerintah daerah harus menggali potensi-potensi sumber pendapatan sehingga mampu meningkatkan pendapatan asli daerah. Menurut Undang-undang No.33 tahun 2004, pelaksanaan perimbangan keuangan dilakukan melalui dana perimbangan yang terdiri atas Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus. Pemberian dana perimbangan bertujuan untuk mengurangi kesenjangan fiskal antar pemerintah dan menjamin tercapainya standar pelayanan publik minimum di seluruh daerah. Berdasarkan Badan Pusat Statistik Provinsi Bali (2015), ketergantungan pemerintah daerah kabupaten/kota se-Bali terhadap pihak


(17)

5

eksternal dalam pembiayaan pembangunannya semakin menurun setiap tahunnya namun masih di bawah 50 persen. Hal ini berarti bahwa pemerintah daerah belum sepenuhnya mampu untuk membiayai seluruh kegiatannya karena sebagian besar pendapatan daerah dalam APBD masih berasal dari pihak eksternal, termasuk untuk pembangunan infrastruktur daerah. Handayani (2009) menyatakan bahwa dana perimbangan berpengaruh positif terhadap belanja modal pada daerah Sumatera Utara. Wibowohadi (2011) juga menunjukkan bahwa Dana Perimbangan berpengaruh terhadap belanja modal.

Tingginya pendapatan pada suatu daerah baik itu pendapatan dari daerah itu sendiri maupun transfer dari pihak eksternal menyebabkan pemerintah daerah mampu mengalokasikan anggarannya untuk belanja modal lebih besar. Belanja modal pemerintah daerah mempunyai peran strategis dalam memicu pertumbuhan ekonomi di daerah yang bersangkutan. Semakin tinggi nilai rasio belanja modal maka semakin tinggi pula diharapkan dampaknya terhadap perkembangan perekonomian di daerah tersebut (BPS, 2015).

Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui lebih jauh dan lebih spesifik pengaruh kemandirian keuangan daerah dan dana perimbangan terhadap belanja modal pada delapan kabupaten dan satu kota di Bali. Penelitian ini bermaksud mereplikasi dan mengeksplorasi penelitian yang dilakukan oleh Silitonga (2009) yang meneliti mengenai Pengaruh Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Terhadap Belanja Modal Pemerintah Kabupaten/Kota di Sumatera Utara. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian


(18)

6

Silitonga (2009) adalah adanya penambahan variabel dana perimbangan sebagai variabel bebas dan juga pada lokasi penelitian.

1.2 Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Apakah Kemandirian Keuangan Daerah berpengaruh terhadap Belanja Modal?

2) Apakah Dana Perimbangan berpengaruh terhadap Belanja Modal? 1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1) Untuk mengetahui pengaruh Kemandirian Keuangan Daerah terhadap Belanja Modal.

2) Untuk mengetahui pengaruh Dana Perimbangan terhadap Belanja Modal. 1.4 Kegunaan Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Manfaat Teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih luas mengenai Pengaruh Kemandirian Keuangan Daerah dan Dana Perimbangan Terhadap Belanja Modal. Disamping itu, diharapkan dapat memberikan kontribusi dan dijadikan perbandingan, pengembangan,


(19)

7

dan penyempurnaan dari penelitian – penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.

2) Manfaat Praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pemerintah daerah mengenai Pengaruh Kemandirian Keuangan Daerah dan Dana Perimbangan Terhadap Belanja Modal.

1.5 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini terdiri dari lima bab yang saling berkaitan dan disusun dengan sistematika penyajian sebagai berikut.

Bab I : Pendahuluan

Bab ini menguraikan latar belakang masalah yang mendorong dilakukannya penelitian, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian serta sistematika penulisan.

Bab II : Kajian Pustaka dan Hipotesis Penelitian

Bab ini berisi mengenai landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini, hasil penelitian sebelumnya serta hipotesis dari penelitian yang dilakukan.

Bab III : Metode Penelitian

Bab ini memaparkan mengenai desain penelitian, lokasi penelitian, obyek penelitian, identifikasi variabel, definisi operasional variabel, jenis dan sumber data, populasi, sampel dan metode penentuan sampel, metode pengumpulan data serta teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini.


(20)

8 Bab IV: Pembahasan Hasil Penelitian

Bab ini memaparkan tentang deskripsi sampel penelitian, analisis data serta pembahasan hasil penelitian berdasarkan output SPSS.

Bab V : Simpulan dan Saran

Bab ini memaparkan tentang simpulan yang diperoleh dari hasil analisis dalam bab pembahasan hasil penelitian dan saran – saran yang dianggap perlu bagi para peneliti selanjutnya serta menguraikan keterbatasan penelitian.


(21)

9 BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1.

Landasan Teori

2.1.1Teori Keagenan

Teori keagenan menyatakan bahwa hubungan keagenan merupakan sebuah persetujuan (kontrak) di antara dua pihak, yaitu prinsipal dan agen, dimana prinsipal memberi wewenang kepada agen untuk mengambil keputusan atas nama prinsipal (Jensen dan Meckling, 1976). Dalam teori keagenan terdapat perbedaan kepentingan antara agen dan prinsipal, sehingga mungkin saja pihak agen tidak selalu melakukan tindakan terbaik bagi kepentingan prinsipal. Teori keagenan merupakan cabang dari game theory yang mempelajari suatu model kontraktual yang mendorong agen untuk bertindak bagi prinsipal saat kepentingan agen bisa saja bertentangan dengan kepentingan prinsipal. Prinsipal mendelegasikan pertanggungjawaban atas pengambilan keputusan kepada agen, dimana wewenang dan tanggung jawab agen maupun prinsipal diatur dalam kontrak kerja atas persetujuan bersama. Sesuai dengan teori keagenan ini bahwa hubungan prinsipal dan agen dapat dilihat dari kewenangan yang diserahkan oleh pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus daerahnya sendiri.

2.1.2 Teori Fiscal Federalism

Teori Fiscal Federalism merupakan teori yang dikembangkan oleh Hayek (1945), Musgrave (1959) dan Oates (1972). Teori ini menekankan pertumbuhan ekonomi dicapai dengan jalan desentralisasi fiskal atau pendelegasian wewenang


(22)

10

oleh pusat kepada daerah untuk mengatur rumah tangga pemerintahan daerahnya sendiri atau sering disebut dengan otonomi daerah. Teori fiscal federalism terbagi atas dua perspektif teori yakni menurut traditional theories (first generation theory) dan new perspective theories (second generation theories).

Traditional theories (first generation theory) dikemukakan oleh Hayek (1945) yang menekankan keuntungan alokatif dari desentralisasi. Dari pandangan ini terdapat dua pendapat yang menekankan keuntungan alokatif desentralisasi. Pertama, tentang penggunaan knowledge in society mengenai proses pengambilan keputusan yang terdesentralisasi akan dipermudah dengan penggunaan informasi yang efisien karena pemerintah daerah lebih dekat dengan masyarakatnya. Kedua, memperkenalkan dimensi persaingan dalam pemerintah dan kompetisi antar daerah tentang alokasi pengeluaran public memungkinkan masyarakat memilih berbagai barang dan jasa publik yang sesuai dengan selera dan keinginan masyarakat. Sementara new perspective theories (second generation theories), dikemukakan oleh Musgrave (1959) dan Oates (1972) lebih menekankan pada bagaimana desentralisasi fiskal berpengaruh terhadap perilaku pemerintah daerah. Apabila pemerintah daerah mempunyai kewenangan membuat peraturan tentang ekonomi lokal, maka campur tangan pemerintah pusat dalam perekonomian daerah dibatasi.

2.1.3 Kemandirian Keuangan

Kemandirian keuangan daerah pada dasarnya adalah kemampuan dari pemerintah daerah dalam meningkatkan pendapatan asli daerahnya sendiri untuk membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada


(23)

11

masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatanyang diperlukan daerah (Halim, 2008:232). Menurut Munir dkk (2004:105) dalam Sijabat dkk (2013), ciri utama yang menunjukkan suatu daerah mampu berotonomi terletak pada kemampuan keuangan daerah, artinya daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya. Kemandirian keuangan daerah juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi tingkat kemandirian keuangan suatu daerah berarti semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen pendapatan asli daerah. Kemandirian keuangan daerah dapat diukur menggunakan rasio kemandirian. Rasio kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana ekstern. Semakin tinggi rasio kemandirian daerah, tingkat ketergantungan terhadap bantuan pihak ekstern (terutama pemerintah pusat dan provinsi) semakin rendah, begitu pula sebaliknya (Dwirandra, 2006). Kemampuan keuangan, tingkat kemandirian daerah dan pola hubungan dapat disajikan dalam tabel sebagai berikut.

Tabel 2.1 Kemampuan Keuangan, Tingkat Kemandirian Daerah dan Pola Hubungan

Kemampuan Keuangan Rasio Kemandirian (%) Pola Hubungan

Rendah Sekali 0 – 25 Instruktif

Rendah >25 – 50 Konsultatif

Sedang >50 – 75 Partisipatif

Tinggi >75 – 100 Delegatif


(24)

12

Pola hubungan yang terdapat dapat Tabel 2.1 menunjukkan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah. Paul Hersey dan Kenneth Blanchard dalam Halim (2008:189) mengemukakan pola hubungan tersebut sebagai berikut.

a. Pola hubungan instruktif, yaitu peranan pemerintah pusat lebih dominan daripada kemandirian pemerintah daerah (daerah tidak mampu melaksakan otonomi daerah secara financial).

b. Pola hubungan konsultatif, yaitu campur tangan pemerintah pusat sudah mulai berkurang dan lebih banyak pada pemberian konsultasi karena daerah dianggap sedikit lebih mampu melaksanakan otonomi daerah.

c. Pola hubungan partisipatif, yaitu pola dimana peranan pemerintah pusat semakin berkurang mengingat tingkat kemandirian daerah otonom bersangkutan mendekati mampu melaksanakan urusan otonomi.

d. Pola hubungan delegatif, yaitu campur tangan pemerintah pusat sudah tidak ada lagi karena daerah telah benar – benar mampu dan mandiri dalam melaksakan urusan otonomi daerah. Pemerintah pusat siap dan dengan keyakinan penuh mendelegasikan otonomi keuangan kepada pemerintah daerah.

2.1.4 Pendapatan Asli Daerah

Pelaksanaan otonomi daerah pemerintah daerah sering terlalu bergantung pada dana yang diterima dari Pemerintah Pusat. Hal tersebut mengakibatkan berkurangnya kemandirian suatu daerah sehingga potensi masyarakat pada suatu daerah tidak berkembang. Pemerintah Daerah diharapkan mampu mengelola


(25)

13

sumber daya daerah dan meningkatkan potensi masyarakatnya sehingga akan berdampak pada peningkatan pendapatan asli daerahnya. Peningkatan pendapatan asli daerah diperlukan untuk mengurangi ketergantungan pemerintah daerah dari dana transfer pemerintah pusat untuk menciptakan kemandirian serta memberikan pelayanan publik kepada masyarakat. Berdasarkan Pasal 1 UU No. 33 Tahun 2004, pendapatan asli daerah adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 6 UU No. 33 Tahun 2004 menyebutkan bahwa pendapatan asli daerah bersumber dari: 1) Pajak Daerah, 2) Retribusi Daerah, 3) Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan 4) Lain-lain PAD yang sah.

a. Pajak Daerah

Berdasarkan penjelasan UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang dimaksud dengan pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi dan badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan. Berdasarkan undang-undang tersebut pajak daerah terbagi menjadi dua yaitu: pajak provinsi dan pajak kabupaten. Pajak provinsi adalah pajak daerah yang dipungut oleh Pemerintah Daerah tingkat provinsi, pajak yang masih berlaku sampai saat ini. Pajak kabupaten/kota adalah pajak daerah yang dipungut oleh Pemerintah Daerah tingkat II yakni Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.


(26)

14 b. Retribusi Daerah

Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan atau untuk diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan pribadi atau badan. Adapun jenis retribusi daerah sebagaimana diatur dalam Undang – Undang Nomor 34 Tahun 2000 adalah.

1) Retribusi jasa umum, antara lain pelayanan kesehatan, persampahan/kebersihan, pengganti cetak KTP/akta catatan sipil, pemakaman dan pengabuan mayat, parkir di tepi jalan umum, pelayanan pasar, pengujian kendaraan bermotor, pemeriksaan alat pemadam kebakaran, penggantian cetak peta, pengujian kapal perikanan.

2) Retribusi jasa usaha, antara lain pemakaian kekayaan daerah, pasar grosir/pertokoan, tempat pelelangan, terminal, tempat khusus parkir, tempat penginapan/pesanggrahan/vila, penyedotan kakus, rumah potong hewan, pelayanan pelabuhan kapal, tempat rekreasi dan olah raga, penyeberangan di atas air, pengolahan limbah cair, penjualan produksi usaha daerah.

3) Retribusi perijinan tertentu, antara lain ijin mendirikan bangunan, ijin tempat penjualan minuman beralkohol, ijin gangguan, ijin trayek.


(27)

15

c. Hasil Pengelolaan Kekayaan yang Dipisahkan

Berdasarkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, yang dimaksud hasil

pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, meliputi: 1) bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD; 2) bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik negara/BUMN; 3) bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat.

d. Lain – lain Pendapatan yang Sah

Menurut Markifah dalam Wibowohadi (2011) menjelaskan bahwa sumber pendapatan lain-lain PAD yang sah adalah pendapatan yang berasal dari dinas-dinas daerah serta pendapatan-pendapatan lainnya yang diperoleh secara sah oleh pemerintah daerah. Lain-lain PAD yang sah berdasarkan penjelasan UU No 33 Tahun 2004 terdiri dari 1) hasil penjualan kekayaan Daerah yang tidak dipisahkan; 2) jasa giro; 3) pendapatan bunga; 4) keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing dan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah.

2.1.5 Dana Perimbangan

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 tahun 2005 menyatakan bahwa dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana perimbangan ini terdiri atas (1) Dana Bagi Hasil, (2) Dana Alokasi Umum, dan (3) Dana Alokasi Khusus.


(28)

16 a. Dana Bagi Hasil

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 tahun 2005 menyatakan bahwa dana bagi hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Bagi Hasil dianggarkan untuk membiayai kegiatan yang berkaitan dengan sumber daya alam, seperti perairan, kehutanan, dan cukai.

Dana bagi hasil ini bersumber dari pajak dan kekayaan daerah. Berdasarkan Pasal 11 ayat 1 UU No. 33 Tahun 2004, Dana Bagi Hasil yang berasal dari

pajak terdiri dari : “1) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), 2) Bea Perolehan Hak

atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), 3) Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan

Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21”.

Sedangkan pada pasal 11 ayat 2 Undang-Undang No. 33 Tahun 2004, Dana Bagi Hasil yang berasal dari sumber daya alam terdiri dari 1) kehutanan; 2) pertambangan umum; 3) perikanan; 4) pertambangan minyak bumi; 5) pertambangan gas bumi; dan 6) pertambangan panas bumi.

b. Dana Alokasi Umum

Dana Alokasi Umum bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 55 tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, dinyatakan bahwa Dana Alokasi Umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan


(29)

17

kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana alokasi umum ini akan digunakan untuk pembayaran gaji pegawai dan tunjangan serta lain-lain pada belanja pegawai. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, dana alokasi umum bersifat “Block Grant” yang berarti penggunaannya diserahkan kepada daerah sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka otonomi daerah.

c. Dana Alokasi Khusus

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 tahun 2005 menyatakan bahwa dana alokasi khusus adalah adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Sesuai dengan Undang-Undang No.33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, kegiatan khusus yang dimaksud adalah: 1) Kegiatan dengan kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan rumus alokasi umum, dalam pengertian kebutuhan suatu daerah tidak sama dengan kebutuhan daerah lain, misalnya kebutuhan di kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasi / prasarana baru, pembangunan jalan di kawasan terpencil, serta saluran irigasi primer, dan 2) kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional. Dana alokasi khusus digunakan untuk meningkatkan pelayanan publik antara lain seperti pembangunan rumah sakit,


(30)

18

jalan, pasar, irigasi, dan air bersih. Dana alokasi khusus digunakan sepenuhnya sebagai belanja modal oleh pemerintah daerah.

2.1.6 Belanja Modal

Menurut PP Nomor 71 Tahun 2010, belanja modal merupakan belanja Pemerintah Daerah yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah dan selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan pada kelompok belanja operasional. Belanja modal digunakan untuk memperoleh aset tetap pemerintah daerah seperti peralatan, infrastruktur, dan harta tetap lainnya. Aset tetap yang dimiliki pemerintah daerah sebagai akibat adanya belanja modal merupakan syarat utama dalam memberikan pelayanan public (Arsa, 2015). Penambahan aset tetap, pemerintah daerah mengalokasikan dana dalam bentuk anggaran belanja modal dalam APBD. Setiap tahun diadakan pengadaan aset tetap oleh pemerintah daerah sesuai dengan prioritas anggaran dan pelayanan publik yang memberikan dampak jangka panjang secara finansial.

Belanja modal diklasifikasikan dalam dua kelompok, kelompok pertama adalah belanja publik yaitu belanja yang manfaatnya dapat langsung dinikmati masyarakat misalnya: pembangunan jembatan, pembelian mobil ambulan untuk umum dan Iain-lain. Kelompok kedua adalah belanja aparatur yaitu belanja yang manfaatnya tidak dinikmati langsung oleh masyarakat tetapi dapat dirasakan langsung oleh aparatur misalnya: pembangunan gedung dewan, pembelian mobil dinas dan lain-lain.


(31)

19

Belanja Modal digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (duabelas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya (Permendagri No. 13 tahun 2006). Pemerintah daerah mengalokasikan dana dalam bentuk anggaran belanja modal dalam APBD untuk menambah aset tetap. Alokasi belanja modal ini didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintah maupun untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. Belanja modal pemerintah daerah mempunyai peran strategis dalam memicu pertumbuhan ekonomi di daerah yang bersangkutan. Rasio antara belanja modal terhadap total belanja daerah menunjukkan proporsi belanja daerah yang dialokasikan untuk belanja modal. Semakin tinggi nilai rasionya maka semakin tinggi pula diharapkan dampaknya terhadap perkembangan perekonomian di daerah tersebut (BPS, 2015).

2.2. Hipotesis Penelitian

2.2.1 Pengaruh Kemandirian Keuangan Daerah terhadap Belanja Modal Kemandirian keuangan suatu daerah sangat dipengaruhi oleh Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam memenuhi seluruh kebutuhan belanja pemerintah, baik belanja operasional maupun belanja modal. Semakin banyak kebutuhan yang dapat dipenuhi maka semakin tinggi tingkat kemandirian suatu daerah, demikian juga sebaliknya semakin sedikit belanja yang dapat dipenuhi dengan pendapatan asli daerah, maka semakin rendah tingkat kemandirian suatu daerah (Assyurriani,


(32)

20

2015 dan Kadafi, 2013). Dari uraian di atas maka dapat diajukan hipotesis sebagai berikut:

H1: Kemandirian Keuangan Daerah berpengaruh positif terhadap Belanja Modal

pada Kabupaten/Kota se-Bali.

2.2.2 Pengaruh Dana Perimbangan terhadap Belanja Modal

Sumber Anggaran dalam belanja daerah selain PAD adalah dana perimbangan dari pemerintah pusat. Sehingga dana perimbangan ini memiliki keterkaitan dengan belanja daerah, khususnya belanja modal. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2009) menyatakan bahwa dana perimbangan berpengaruh positif terhadap belanja modal pada daerah Sumatera Utara. Hasil penelitian tersebut didukung oleh penelitian dari Kadafi (2013) bahwa dana perimbangan berpengaruh signifikan terhadap belanja modal pada pemerintah Kota Bandung. Berdasarkan uraian di atas maka dapat diajukan hipotesis sebagai berikut:

H2: Dana Perimbangan berpegaruh positif terhadap Belanja Modal pada


(1)

15

c. Hasil Pengelolaan Kekayaan yang Dipisahkan

Berdasarkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, yang dimaksud hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, meliputi: 1) bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD; 2) bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik negara/BUMN; 3) bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat.

d. Lain – lain Pendapatan yang Sah

Menurut Markifah dalam Wibowohadi (2011) menjelaskan bahwa sumber pendapatan lain-lain PAD yang sah adalah pendapatan yang berasal dari dinas-dinas daerah serta pendapatan-pendapatan lainnya yang diperoleh secara sah oleh pemerintah daerah. Lain-lain PAD yang sah berdasarkan penjelasan UU No 33 Tahun 2004 terdiri dari 1) hasil penjualan kekayaan Daerah yang tidak dipisahkan; 2) jasa giro; 3) pendapatan bunga; 4) keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing dan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah.

2.1.5 Dana Perimbangan

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 tahun 2005 menyatakan bahwa dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana perimbangan ini terdiri atas (1) Dana Bagi Hasil, (2) Dana Alokasi Umum, dan (3) Dana Alokasi Khusus.


(2)

16 a. Dana Bagi Hasil

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 tahun 2005 menyatakan bahwa dana bagi hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Bagi Hasil dianggarkan untuk membiayai kegiatan yang berkaitan dengan sumber daya alam, seperti perairan, kehutanan, dan cukai. Dana bagi hasil ini bersumber dari pajak dan kekayaan daerah. Berdasarkan Pasal 11 ayat 1 UU No. 33 Tahun 2004, Dana Bagi Hasil yang berasal dari pajak terdiri dari : “1) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), 2) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), 3) Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21”. Sedangkan pada pasal 11 ayat 2 Undang-Undang No. 33 Tahun 2004, Dana Bagi Hasil yang berasal dari sumber daya alam terdiri dari 1) kehutanan; 2) pertambangan umum; 3) perikanan; 4) pertambangan minyak bumi; 5) pertambangan gas bumi; dan 6) pertambangan panas bumi.

b. Dana Alokasi Umum

Dana Alokasi Umum bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 55 tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, dinyatakan bahwa Dana Alokasi Umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan


(3)

17

kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana alokasi umum ini akan digunakan untuk pembayaran gaji pegawai dan tunjangan serta lain-lain pada belanja pegawai. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 33 Tahun

2004, dana alokasi umum bersifat “Block Grant” yang berarti

penggunaannya diserahkan kepada daerah sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka otonomi daerah.

c. Dana Alokasi Khusus

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 tahun 2005 menyatakan bahwa dana alokasi khusus adalah adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Sesuai dengan Undang-Undang No.33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, kegiatan khusus yang dimaksud adalah: 1) Kegiatan dengan kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan rumus alokasi umum, dalam pengertian kebutuhan suatu daerah tidak sama dengan kebutuhan daerah lain, misalnya kebutuhan di kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasi / prasarana baru, pembangunan jalan di kawasan terpencil, serta saluran irigasi primer, dan 2) kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional. Dana alokasi khusus digunakan untuk meningkatkan pelayanan publik antara lain seperti pembangunan rumah sakit,


(4)

18

jalan, pasar, irigasi, dan air bersih. Dana alokasi khusus digunakan sepenuhnya sebagai belanja modal oleh pemerintah daerah.

2.1.6 Belanja Modal

Menurut PP Nomor 71 Tahun 2010, belanja modal merupakan belanja Pemerintah Daerah yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah dan selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan pada kelompok belanja operasional. Belanja modal digunakan untuk memperoleh aset tetap pemerintah daerah seperti peralatan, infrastruktur, dan harta tetap lainnya. Aset tetap yang dimiliki pemerintah daerah sebagai akibat adanya belanja modal merupakan syarat utama dalam memberikan pelayanan public (Arsa, 2015). Penambahan aset tetap, pemerintah daerah mengalokasikan dana dalam bentuk anggaran belanja modal dalam APBD. Setiap tahun diadakan pengadaan aset tetap oleh pemerintah daerah sesuai dengan prioritas anggaran dan pelayanan publik yang memberikan dampak jangka panjang secara finansial.

Belanja modal diklasifikasikan dalam dua kelompok, kelompok pertama adalah belanja publik yaitu belanja yang manfaatnya dapat langsung dinikmati masyarakat misalnya: pembangunan jembatan, pembelian mobil ambulan untuk umum dan Iain-lain. Kelompok kedua adalah belanja aparatur yaitu belanja yang manfaatnya tidak dinikmati langsung oleh masyarakat tetapi dapat dirasakan langsung oleh aparatur misalnya: pembangunan gedung dewan, pembelian mobil dinas dan lain-lain.


(5)

19

Belanja Modal digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (duabelas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya (Permendagri No. 13 tahun 2006). Pemerintah daerah mengalokasikan dana dalam bentuk anggaran belanja modal dalam APBD untuk menambah aset tetap. Alokasi belanja modal ini didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintah maupun untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. Belanja modal pemerintah daerah mempunyai peran strategis dalam memicu pertumbuhan ekonomi di daerah yang bersangkutan. Rasio antara belanja modal terhadap total belanja daerah menunjukkan proporsi belanja daerah yang dialokasikan untuk belanja modal. Semakin tinggi nilai rasionya maka semakin tinggi pula diharapkan dampaknya terhadap perkembangan perekonomian di daerah tersebut (BPS, 2015).

2.2. Hipotesis Penelitian

2.2.1 Pengaruh Kemandirian Keuangan Daerah terhadap Belanja Modal Kemandirian keuangan suatu daerah sangat dipengaruhi oleh Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam memenuhi seluruh kebutuhan belanja pemerintah, baik belanja operasional maupun belanja modal. Semakin banyak kebutuhan yang dapat dipenuhi maka semakin tinggi tingkat kemandirian suatu daerah, demikian juga sebaliknya semakin sedikit belanja yang dapat dipenuhi dengan pendapatan asli daerah, maka semakin rendah tingkat kemandirian suatu daerah (Assyurriani,


(6)

20

2015 dan Kadafi, 2013). Dari uraian di atas maka dapat diajukan hipotesis sebagai berikut:

H1: Kemandirian Keuangan Daerah berpengaruh positif terhadap Belanja Modal pada Kabupaten/Kota se-Bali.

2.2.2 Pengaruh Dana Perimbangan terhadap Belanja Modal

Sumber Anggaran dalam belanja daerah selain PAD adalah dana perimbangan dari pemerintah pusat. Sehingga dana perimbangan ini memiliki keterkaitan dengan belanja daerah, khususnya belanja modal. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2009) menyatakan bahwa dana perimbangan berpengaruh positif terhadap belanja modal pada daerah Sumatera Utara. Hasil penelitian tersebut didukung oleh penelitian dari Kadafi (2013) bahwa dana perimbangan berpengaruh signifikan terhadap belanja modal pada pemerintah Kota Bandung. Berdasarkan uraian di atas maka dapat diajukan hipotesis sebagai berikut:

H2: Dana Perimbangan berpegaruh positif terhadap Belanja Modal pada Kabupaten/Kota Se-Bali.


Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25