16
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN KERJA
BERSAMA
A. Perjanjian Pada Umumnya
Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak
yang lain dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
13
Hubungan hukum yang menerbitkan perikatan itu bersumber pada perjanjian atau sumber
lainnya, yaitu undang-undang. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata selanjutnya disebut dengan KUH Perdata
bahwa perikatan dapat bersumber dari perjanjian dan undang-undang.
Perikatan yang lahir dari undang-undang tidak ada kesepakatan dari para pihak ataupun tidak dari kemauan para pihak, sedangkan perikatan yang lahir dari
perjanjian merupakan kesepakatan dari para pihak yang membuat perjanjian.
14
Hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber terpenting yang melahirkan
perikatan, karena perjanjian merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua pihak, sedangkan perikatan lahir dari undang-undang dibuat tanpa kehendak
dari para pihak yang bersangkutan. Dengan kata lain perikatan merupakan
13
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Bandung : Intermasa, 1978, hlm. 1.
14
Noni Fransiska, Op.Cit, hlm. 31.
Universitas Sumatera Utara
pengertian yang abstrak, sedangkan perjanjian merupakan suatu hal yang konkrit atau merupakan suatu peristiwa.
15
Dalam Pasal 1313 KUH Perdata dinyatakan bahwa “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Maksudnya bahwa perjanjian suatu perbuatan dari para pihak yang ditujukan agar timbul akibat
hukum. Dengan demikian, perjanjian adalah suatu hubungan timbal balik, maksudnya suatu pihak yang memperoleh hak-hak dari perjanjian itu juga
menerima kewajiban-kewajiban yang merupakan konsekuensi dari menerima hak- hak yang diperolehnya.
16
Wirjono Prodjdikoro menyatakan bahwa “Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana
satu pihak berjanji atau dianggap tidak berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak yang lain berhak untuk menuntut
pelaksaaan janji tersebut”.
17
Menurut M. Yahya Harahap, perjanjian mengandung suatu pengertian yang memberikan sesuatu hak pada suatu pihak untuk
memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.
18
Perbuatan hukum yang mengikat antara para pihak yang terlibat dalam suatu hubungan hukum diawali dengan adanya suatu perjanjian. Setiap orang
diberikan kebebasan untuk mengadakan perjanjian atau perikatan sepanjang tidak melanggar batasan yang telah ditentukan. Berdasarkan kehendak dari para pihak
15
Ibid.
16
Ibid.
17
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan Tertentu, Bandung : Sumur, 1981, hlm. 11.
18
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung : Alumni, 1986, hlm. 20.
Universitas Sumatera Utara
yang membuat perjanjian maka dapat diadakan pengecualian terhadap berlakunya pasal-pasal dari hukum yang terdapat dalam KUH Perdata.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman bahwa : Diizinkan orang membuat peraturansendiri karena pasal-pasal dari hukum
perjanjian itu tidak lengkap, itulah yang menyebabkan sifat hukum perjanjian disebut dengan hukum pelengkap optimal law selanjutnya
bahwa asas yang menentukan bahwa setiap orang adalah bebas atau leluasa memperjanjikan apa saja disebut atas kebebasan berkontrak yang
berhubungan dengan isi perjanjian dan asas harus merupakan sesuatu yang halal.
19
Hukum perjanjian merupakan bagian dari hukum perikatan, bahkan sebagian ahli hukum menempatkan sebagai bagian dari hukum perjanjian karena
kontrak sendiri ditempatkan sebagai perjanjian tertulis. Pembagian antara hukum kontrak dan hukum perjanjian tidak dikenal dalam KUH Perdata, karena dalam
KUH Perdata hanya dikenal perikatan yang lahir dari perjanjian dan yang lahir dari undang-undang.
20
Ahmadi Miru menyatakan bahwa:
21
Perikatan bersumber dari perjanjian dan undang-undang, perikatan yang bersumber dari undang-undang dibagi dua, yaitu dari undang-undang saja
dan dari undang-undang karena perbuatan manusia. Selanjutnya, perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia dapat dibagi dua
yaitu, perbuatan yang sesuai hukum dan perbuatan yang melanggar hukum.
Abdulkadir Muhammad menyatakan Pasal 1313 KUH Perdata kurang memuaskan karena ada kelemahannya yaitu:
22
19
Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III, Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Bandung : Alumni, 1983, hlm. 110
20
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 1.
21
Ibid, hlm. 2.
Universitas Sumatera Utara
1. Hanya menyangkut sepihak saja. Dari rumusan ini diketahui satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lainnya atau lebih.
Kata kerja “mengikat” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu saling “mengikat diri”
terlihat dari adanya consensus dari kedua belah pihak.
2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus maksudnya dalam pengertian “perbuatan” termasuk tindakan melaksanakan tugas tanpa
kuasa zaakwaarneming dan tindakan melawan hukum yang tidak mengandung adanya consensus. Seharusnya dipakai kata “persetujuan”
saja.
3. Pengertian perjanjian terlalu luas. Dikatakan terlalu luas karena terdapat juga dalam lapangan hukum keluarga yang terdapat dalam buku I seperti
janji kawin, pelangsungan perkawinan. Sedangkan perjanjian yang dikehendaki oleh buku III KUH Perdata sebenarnya hanyalah perjanjian
yang bersifat kebendaan bukan bersifat personal.
4. Dalam rumusan pasal tersebut tidak disebutkan tujuan mengaddakan perjanjian, sehingga para pihak mengikat dirinya tidak untuk apa.
Berdasarkan alasan yang dikemukakan di atas menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian adalah “suatu persetujuan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan diri untuk melakukan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”.
23
Ia juga menyebutkan bahwa di dalam suatu perjanjian termuat beberapa unsur, yaitu:
a. Adanya pihak-pihak b. Adanya persetujuan antara para pihak
c. Adanya tujuan yang akan dicapai d. Sepakat mereka yang mengikatkan diri
e. Kecakapan membuat suatu perjanjian
24
Perjanjian yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu bisa dikatakan sebagai suatu perjanjian yang sah dan sebagai akibatnya perjanjian akan mengikat
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Oleh karena itu agar keberadaan suatu perjanjian diakui oleh undang-undang Legally concluded
22
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung : Alumni, 1982, hlm. 78.
23
Ibid.
24
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
contract haruslah sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang- undang. Adapun syarat sahnya suatu perjanjian telah ditentukan di dalam Pasal
1320 KUH Perdata, dinyatakan bahwa untuk sahnya perjanjian-perjanjian diperlukan empat syarat, yakni:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Syarat pertama sahnya kontrak adalah kesepakatan para pihak yang
mengadakan perjanjian atas hal-hal yang diperjanjikan. Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak
lainnya.
25
Yang sesuai itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat dilihatdiketahui orang lain. Ada lima cara terjadinya persesuaian
pernyataan kehendak, yaitu dengan:
26
1. Bahasa yang sempurna dan tertulis; 2. Bahasa yang sempurna secara lisan;
3. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. Karena dalam kenyataannya seringkali seseorang menyampaikan dengan bahasa
yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya; 4. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya;
5. Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan. Kesepakatan terjadi melalui 4 empat teori, yaitu:
1. Teori Pernyataan Uitingstheorie Menurut teori pernyataan, kesepakatan terjadi pada saat pihak yang
menerima penawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu.
25
Salim H.S, Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta : Sinar Grafika, 2003, hlm. 33.
26
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Kelemahan teori ini adalah sangat teoretis karena dianggap terjadinya kesepakatan secara otomatis.
2. Teori Pengiriman Verzendtheorie Menurut teori ini, kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima
penawaran mengirimkan telegram. Kelemahannya yaitu perjanjian telah mengikat pada saat orang yang menawarkan sendiri tidak tahu tanggal
berapa, sehingga tidak dapat diterima berdasarkan kepatutan. 3. Teori Pengetahuan Vernemingstheorie
Teori ini berpendapat bahwa kesepakatan terjadi apabila pihak yang menawarkan mengetahui adanya penerimaan, tetapi penerimaan itu belum
diterimanya tidak diketahui secara langsung. Kelemahannya, bagaimana ia mengetahui isinya apabila ia belum menerimanya.
4. Teori Penerimaan Ontvangstheorie Menurut teori ini bahwa kesepakatan terjadi padasaat pihak yang
menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.
5. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan Kecakapan bertindak adalah kemampuan untuk melakukan perbuatan
hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang membuat perjanjian haruslah orang yang cakap dan
mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang. Dalam Pasal 1329 KUH Perdata dinyatakan
bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan jika ia oleh undang-
Universitas Sumatera Utara
undang tidak dinyatakan tak cakap. Dalam Pasal 330 KUH Perdata dinyatakan bahwa seorang dianggap tidak cakap untuk
melakukan perjanjian jika belum
genap berumur 21 tahun, kecuali ia telah kawin sebelum itu. Sebaliknya setiap
orang yang berumur
21 tahun keatas, oleh hukum dianggap cakap, kecuali karena
suatu hal dia ditaruh di bawah pengampuan, seperti gelap mata,
dungu, sakit ingatan, atau
pemboros. Sementara itu, dinyatakan dalam Pasal 1330
KUH Perdata, bahwa tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah:
1. Orang-orang yang belum dewasa; 2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;
3. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh
undang-undang, dan semua orang kepada siapa undang-undang
telah melarang membuat
perjanjian tertentu. Khusus huruf c diatas mengenai perempuan
dalam hal yang ditetapkan
dalam undang-undang sekarang ini tidak dipatuhi lagi,
setelah dikeluarkan SEMA
Nomor 3 Tahun 1963, maka sejak saat itu hak perempuan dan
laki-laki telah disamakan dalam hal
membuat perjanjian. Dalam membuat sesuatu
perjanjian seseorang haruslah cakap bertindak dalam perbuatan hukum, karena dalam perjanjian itu seseorang terikat untuk melaksanakan suatu prestasi dan
harus dapat mempertanggungjawabkannya.
27
Subjek dari perjanjian harus cakap bertindak menurut hukum. Dalam hal ini akan terikat dengan segala ketentuan yang telah disepakati bersama, maka
ia harus mampu bertanggung jawab terhadap perbuatannya. Orang yang tidak
27
R. Subekti, Op.Cit, hlm. 19.
Universitas Sumatera Utara
sehat pikirannya walaupun telah dewasa, tidak dapat menyelenggarakan kepentingannya dengan baik dan memerlukan bantuan dari pihak lain untuk
menyelenggarakan kepentingannya. Ketidakcakapan ini disebut tidak cakap untuk mengadakan hubungan hukum, hal ini dikarenakan ia tidak dapat
menentukan mana yang baik dan mana yang tidak baik.
28
Orang yang belum dewasa, umumnya belum dapat menentukan dengan sempurna dan tidak mampu mengendalikan ke arah yang baik, sehingga ia
dikategorikan sebagai orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian. Sedangkan orang yang berada di bawah pengampuan adalah orang yang
berdasarkan keputusan hakim dinyatakan bahwa ia tidak mampupemboros di dalam mengendalikan keinginannya sehingga bagi mereka harus ada wakil dari
orang tertentu untuk menyelenggarakan kepentingannya.
29
Setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya cakap bertindak menurut hukum. Ahmadi
Miru mengatakan bahwa: Seorang dikatakan tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum jika
orang tersebut belum cukup 21 tahun, kecuali jika ia telah kawin sebelum cukup 21 tahun. Sebaliknya setiap orang yang telah berumur 21 tahun ke
atas, oleh hukum dianggap telah cakap kecuali karena suatu hal ditaruh di bawah pengampuan, seperti gelap mata, dungu, sakit ingatan atau
pemboros.
30
4. Suatu hal tertentu adanya objek perjanjian KUH Perdata hanya menekankan pada perikatan untuk memberikan atau
menyerahkan sesuatu. Namun demikian jika diperhatikan lebih lanjut, apapun jenis perikatannya, baik itu perikatan untuk memberikan sesuatu, berbuat
28
M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm. 6.
29
Ibid, hlm. 9.
30
Ahmadi Miru, Op.Cit, hlm. 29.
Universitas Sumatera Utara
sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu, KUH Perdata hendak menjelaskan bahwa semua jenis perikatan tersebut pasti melibatkan keberadaan atau
eksistensi dari suatu kebendaan yang tertentu.
31
Pada perikatan untuk memberikan sesuau kebendaan yang akan diserahkan berdasarkan suatu
perikatan tertentu tersebut haruslah sesuai yang telah ditentukan secara pasti. Dalam jual beli misalnya, setiap kesepakatan antara penjual dan pembeli
mengenai kebendaan yang dijual atau dibeli harus telah ditentukan terlebih dahulu kebendaannya. Jika sebuah sepeda motor, maka harus ditentukan merek
sepeda motor tersebut, kapasitasnya, serta spesifikasi lain yang melekat pada kebendaan sepeda motor yang dipilih tersebut, sehingga tidak akan
menerbitkan keraguan mengenai sepeda motor lainnya yang serupa tetapi bukan yang dimaksudkan. Pada perikatan untuk melakukan sesuatu, hal yang
wajib dilakukan oleh salah satu pihak dalam perikatan tersebut debitur pastilah juga berhubungan dengan suatu kebendaan tertentu, baik itu berupa
kebendaan berwujud maupun kebendaan tidak berwujud. Dalam perjanjian penanggungan utang misalnya, seorang penanggung yang menanggung utang
seorang debitur, harus mencantumkan secara jelas utang mana yang ditanggung olehnya, berapa besarnya, serta sampai seberapa jauh ia dapat dan baru
diwajibkan untuk memenuhi perikatannya kepada kreditur, atas kelalaian atau wanprestasi dari pihak debitur. Pasal 1824 KUH Perdata dinyatakan bahwa :
“penanggungan utang tidak dipersangkakan, tetapi harus diadakan dengan pernyataan yang tegas, tidaklah diperbolehkan untuk memperluas
31
Budiman N.P.D. Sinaga, Hukum Kontrak dan Penyelesaian Sengketa dari Perspektif Sekretaris, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005, hlm. 18.
Universitas Sumatera Utara
penanggungan hingga melebihi ketentuan-ketentuan yang menjadi syarat sewaktu mengadakannya.” Dalam pandangan KUH Perdata, kewajiban
penanggungan yang diberikan oleh penanggung adalah penanggungan utang terhadap hak tagih kreditur kepada debitur, dimana penanggung akan
memenuhi kewajiban debitur yaitu untuk membayar hak tagih kreditur manakala debitur cidera janji. Dalam hal yang demikian, berarti hak tagih
kreditur adalah kebendaan yang dinyatakan dalam Pasal 1333 KUH Perdata, harus telah dapat ditentukan terlebih dahulu. Dalam perikatan untuk tidak
melakuan atau tidak berbuat sesuatu, KUH Perdata juga menegaskan kembali bahwa apapun yang ditentukan untuk tidak dilakukan atau diperbuat, pastilah
merupakan kebendaan, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, yang pasti harus telah dapat ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Dalam perjanjian
untuk merahasiakan sesuatu confidentially agreement misalnya, apa-apa saja yang wajib dirahasiakan oleh debitur misalnya terhadap hak atas kekayaan
intelektual milik kreditur, yang dalam pandangan KUH Perdata adalah juga merupakan kebendaan yang telah tertentu sifatnya. Suatu perjanjian
merahasiakan saja tanpa menjelaskan apa yang harus dan wajib dirahasiakan belumlah merupakan perjanjian yang mengikat pada pihak, dan karenanya
belum menerbitkan perikatan bagi para pihak. Jadi jelaslah bahwa dalam pandangan KUH Perdata, yang dimaksudkan dengan kebendaan yang telah
ditentukan jenisnya, meliputi tidak hanya perikatan untuk memberikan sesuatu, melainkan juga dalam perikatan untuk berbuat sesuatu dan juga perikatan
untuk tidak berbuat sesuatu.
Universitas Sumatera Utara
KUH Perdata menjelaskan maksud hal tertentu, dengan memberikan rumusan dalam Pasal 1333 KUH Perdata, dinyatakan bahwa “suatu perjanjian
harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya.” Tidak menjadi halangan bahwa jumlah
barangnya tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat dihitung atau ditetapkan.
5. Suatu sebab yang halal Menurut undang-undang, sebab yang halal adalah jika tidak dilarang oleh
undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum, ketentuan ini dinyatakan dalam Pasal 1337 KUH Perdata.
Perjanjian yang berisi suatu sebab yang tidak halal, maka perjanjian itu batal demi hukum. Dengan demikian, tidak ada dasar untuk menuntut
pemenuhan perjanjian di muka hakim, karena sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian. Demikian juga apabila perjanjian yang dibuat itu tanpa
sebab, ia dianggap tidak pernah ada.
32
Dari keempat syarat tersebut, secara garis besarnya dapat digolongkan menjadi dua syarat pokok yaitu sebagai berikut:
1. Syarat Subjektif Syarat subjektif adalah suatu syarat yang menyangkut pada subjek-subjek
perjanjian itu atau dengan perkataan lain, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh mereka yang membuat perjanjian di mana hal ini meliputi kesepakatan
32
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hlm. 96.
Universitas Sumatera Utara
mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan pihak yang membuat perjanjian.
2. Syarat Objektif Syarat objektif adalah syarat yang menyangkut pada objek perjanjian itu,
hal ini meliputi suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Akibat hukum dari kedua syarat tersebut apabila tidak dapat terpenuhi adalah batal demi
hukum Pasal 1446 KUH Perdata. Dalam syarat subjektif, apabila perjanjian yang disepakati itu diberikan karena kekhilafan, dengan paksaan, atau
penipuan maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan. Lebih lanjut lagi dapat diperjelas, kalau akibat hukum itu dapat dibatalkan, ini berarti sebelum
dilakukan pembatalan tersebut perjanjian itu adalah sah, sahnya sampai diadakannya pembatalan itu. Sedangkan kalau akibatnya batal demi hukum, ini
berarti sejak lahirnya perjanjian itu sudah batal atau perjanjian itu memang ada tapi tidak berlaku atau dianggap tidak pernah ada.
33
Perjanjian dikenal beberapa asas penting, yaitu:
34
1. Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat
1 KUH Perdata, yang dinyatakan “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas
kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :
1. Membuat atau tidak membuat perjanjian
33
A Qirom Syamsudin Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, Yogyakarta : Liberty, 1985, hlm 13.
34
Salim H.S, Op.Cit, hlm. 9.
Universitas Sumatera Utara
2. Mengadakan perjanjian dengan siapapun 3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan,dan persyaratannya
4. Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan. Asas kebebasan berkontrak adalah setiap orang bebas mengadakan suatu
perjanjian apa saja baik perjanjian itu sudah diatur dalam undang-undang maupun belum diatur dalam undang-undang.
35
Asas kebebasan seperti yang dinyatakan dalam Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata bukan berarti bahwa tidak ada batasannya sama sekali, melainkan
kebebasan seseorang dalam membuat perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum, dan undang-undang sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 1337 KUH Perdata. 5. Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme dinyatakan dalam Pasal 1320 ayat 1 KUH Perdata. Dalam pasal itu ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian, yaitu
adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara
formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang
dibuat oleh kedua belah pihak. Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUH Perdata adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.
Syarat sahnya suatu perjanjian, bahwa harus ada kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian. Asas ini penting sekali dalam suatu perjanjian,
35
A Qirom Syamsudin Meliala, Op.Cit, hlm 18.
Universitas Sumatera Utara
sebab dengan kata sepakat ini sudah timbul adanya suatu perjanjian sejak tercapainya kata sepakat. Sejak tercapainya kata sepakat maka perjanjian itu
sudah mempunyai akibat hukum dan mengikat mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan itu.
36
6. Asas Pacta Sunt Servanda Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum.
Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak yang berkepentingan harus
menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi
terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda dinyatakan dalam Pasal 1338 ayat 1 KUH
Perdata, yang berbunyi “perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang”.
Asas pacta sunt servanda ini dalam suatu perjanjian bermaksud untuk mendapatkan kepastian hukum bagi para pihak yang telah membuat
perjanjian itu. Asas pacta sunt servanda dalam suatu perjanjian yang mereka buat mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.
37
7. Asas Itikad Baik Goede Trouw Asas iktikad baik dinyatakan dalam Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata
yaitu “perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Asas iktikad baik merupakan asas bahwa para pihak yaitu pihak kreditur dan debitur harus
36
Ibid, hlm. 21.
37
Ibid, hlm. 20.
Universitas Sumatera Utara
melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari pihak.
Asas itikad baik ini dapat dibedakan antara itikad baik yang subjektif dan itikad baik yang objektif.
38
Itikad baik dalam pengertian yang subjektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang dalam melakukan suatu perbuatan
hukum yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum. Sedangkan itikad baik dalam pengertian yang
objektif, maksudnya bahwa pelaksanaan suatu perjanjian itu harus didasarkan pada norma kepatutan atau apa-apa yang dirasakan sesuai dengan yang patut
dalam masyarakat Pasal 1339 KUH Perdata. 8. Asas Kepribadian Personalitas
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan danatau membuat kontrak hanya untuk kepentingan
perseoranagan saja. Asas ini dinyatakan dalam Pasal 1315 KUH Perdata, yaitu “pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama
sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri”. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang
dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subyek hukum pribadi, hanya akan berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri. Namun
ketentuan itu ada pengecualiannya, sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1317 KUH Perdata bahwa dapat pula perjanjian diadakan untuk
kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri,
38
Ibid, hlm. 19.
Universitas Sumatera Utara
atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu. Pasal ini menyatakan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian
untuk kepentingan pihak ketiga dengan suatu syarat yang ditentukan.
39
B. Pengertian Perjanjian Kerja Bersama