12
4. Analisis Data
Data yang telah diperoleh dari berbagai sumber, selanjutnya dilakukan pengolahan data dan dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan metode
deduktif serta induktif.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pemahaman terhadap skripsi ini, penulis menguraikan isi skripsi dalam lima bab yang garis besarnya adalah sebagai
berikut : BAB I :
PENDAHULUAN Bab ini merupakan bab pengantar yang akan mengantarkan penulis
ke dalam pembahasan yang terdapat di bab-bab berikutnya. Bab ini memuat beberapa sub bab yang terdiri dari latar belakang, rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penelitian, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, serta sistematika
penulisan. BAB II :
TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
Didalam bab ini akan dibahas mengenai latar belakang adanya perlindungan warga sipil dalam perang. Bab kedua ini terdiri dari
beberapa sub bab yaitu: sejarah lahirnya hukum humaniter internasional, Konvensi Jenewa 1949 dan hal-hal yang diatur di
Universitas Sumatera Utara
13
dalamnya, serta pengertian penyanderaan dalam perspektif hukum humaniter internasional.
BAB III : TINJAUAN MASALAH TERHADAP KONFLIK BERSENJATA
DI FILIPINA Didalam bab ketiga ini penulis akan membahas mengenai latar
belakang terjadinya konflik bersenjata di Filipina, hal-hal yang menjadi dampak konflik serta upaya-upaya pemerintah Filipina
dalam menangani konflik bersenjata di Filiina Selatan. BAB IV :
PERLINDUNGAN TERHADAP WARGA SIPIL SEBAGAI KORBAN PENYANDERAAN DALAM KONFLIK
BERSENJATA DI FILIPINA MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
Didalam bab keempat ini penulis akan membahas tentang tindakan penyanderaan warga sipil saat konflik bersenjata di Filipina, akibat
hukum bagi pelaku penyanderaan, serta solusi-solusi yang dapat ditempuh dalam tindakan penyanderaan warga sipil saat terjadinya
konflik bersenjata. BAB V :
PENUTUP Sebagai bab penutup dalam skripsi ini, penulis akan memberikan
suatu kesimpulan yang diambil dari keseluruhan materi yang ditulis serta disertai dengan saran-saran yang diperlukan.
Universitas Sumatera Utara
14
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM HUMANITER
INTERNASIONAL
A. Sejarah Lahirnya Hukum Humaniter Internasional
Hukum Humaniter Internasional yang dahulu dikenal sebagai Hukum Perang atau Hukum Sengketa Bersenjata adalah sebagai salah satu cabang dari
Hukum Internasional Publik. Hukum ini memiliki usia sejarah yang sama tua nya dengan peradaban umat manusia. Pada dasarnya segala peraturan tentang perang
terdapat dalam pengaturan tentang tingkah laku, moral dan agama. Masing- masing agama seperti Buddha, Konfusius, Yahudi, Kristen dan juga Islam
memuat segala aturan mengenai hal yang bersangkutan dengan ketiga hal diatas. Bahkan di setiap peradaban yang pernah ada, ketentuan-ketentuan ini sudah ada.
Peradaban bangsa Romawi mengenal konsep perang yang adil just war.
8
Jean Jacques Rosseau mengatakan bahwa perang harus berlandaskan pada moral. Hal ini sesuai dengan apa yang terdapat dalam buku nya yang berjudul The
Social Contract. Inilah yang kemudian menjadi konsep dari Hukum Humaniter Internasional. Lalu pada abad ke 19, landasan yang diberikan oleh J.J Rosseau ini
kemudian diikuti oleh Henry Dunant yang tak lain adalah initiator organisasi Palang Merah. Pada akhirnya, negara-negara membuat suatu kesepakatan tentang
peraturan-peraturan internasional yang bertujuan untuk menghindari penderitaan
8
Arlina Permanasari, Op Cit. Hlm 1.
Universitas Sumatera Utara
15
sebagai akibat dari perang. Peraturan-peraturan yang diciptakan dibuat dalam suatu Konvensi, dan disetujui untuk dipatuhi bersama.
Sejak saat itu, terjadi perubahan dari sifat pertikaian bersenjata dan daya merusak yang disebabkan dari penggunaan senjata modern. Pada akhirnya
menyadarkan perlunya suatu perbaikan serta perluasan Hukum Humaniter. Sangat tidak mungkin untuk menemukan bukti dokumenter, kapan dan dimana aturan-
aturan hukum humaniter itu timbul, dan bahkan lebih sulitnya lagi adalah menyebutkan “pencipta” dari hukum humaniter tersebut.
9
Dikatakan diawal bahwa hukum humaniter berusia sama tua nya dengan peradaban umat manusia.
Banyak terjadi perkembangan terhadap salah satu cabang hukum internasional ini. Terhadap bentuknya yang sekarang, hukum humaniter
internasional telah mengalami perkembangan yang sangat panjang dan pesat. Seiring dengan berjalannya waktu, berbagai upaya telah dilakukan untuk
memanusiawikan perang. Tidak dapat dipungkiri bahwa di setiap upaya yang dilakukan untuk
memanusiawikan perang, acap kali mengalami pasang surut, hambatan, dan kesulitan. Upaya-upaya tersebut dapat dibagi dalam tahapan-tahapan
perkembangan hukum humaniter, yang terdiri atas: 1.
Zaman Kuno Pada masa ini perang tidak memberi kesan yang mengerikan bagi para
pihak yang berperang serta orang-orang yang berada di daerah peperangan. Karena di masa ini, seluruh pemimpin militer memberi perintah kepada para
9
Hans-Peter Gasser, International Humanitarian Law, An Introduction, Paul Haupt Publisher, Berne-Stuttgart-Vienna, 1993, hlm. 6.
Universitas Sumatera Utara
16
pasukan untuk menyelamatkan musuh yang tertangkap, memperlakukan setiap mereka dengan baik, menyelamatkan penduduk sipil dari pihak musuh. Saat
waktu penghentian konflik, para pihak yang bersengketa membuat suatu kesepakatan yang mengharuskan mereka untuk memperlakukan tawanan perang
dengan baik.
10
Pada masa ini juga membiasakan untuk memberi peringatan terlebih dahulu kepada pihak musuk sebelum perang dimulai. Untuk menghindari luka
yang yang berlebihan maka ujung panah dilarang untuk diarahkan ke hati. Bila ada yang terbunuh atau terluka, maka peperangan wajib diberhentikan selama 15
hari. Seiring berjalannya waktu, upaya-upaya tersebut tetap berkembang dan tentunya mengalami perubahan sedikit demi sedikit. Hal ini dikemukakan oleh
Jean Pictet, antara lain: a.
Diantara bangsa-bangsa Sumeria, perang telah menjadi suatu lembaga yang terorganisir. Hal ini ditandai dengan adanya pernyataan perang,
arbitrasi, kekebalan utusan musuh serta perjanjian perdamaian. b.
Dalam kebudayaan Mesir Kuno, tergambar adanya perintah untuk memberikan makanan, minuman, pakaian dan perlindungan kepada
musuh. Juga perintah untuk merawat setiap orang yang sakit dan menguburkan yang mati.
c. Dalam kebudayaan bangsa Hittie, perang dilakukan dengan sangat
manusiawi karena hukum yang mereka miliki didasarkan keadilan serta integritas. Para penduduk yang menyerah tidak akan diganggu,
10
Frits Kalshoven, Constraint on the Waging of War, ICRC, 1991, hlm 7.
Universitas Sumatera Utara
17
serta apabila terdapat penduduk yang melakukan perlawanan akan ditindak tegas.
d. Dalam kebudayaan India, para satria dilarang keras untuk membunuh
musuh yang cacat atau yang menyerah. Apabila ada yang luka, maka mereka harus dipulangkan ke tempat tinggal mereka setelah
sebelumnya diobati. Pemakaian senjata yang dapat menusuk hati ataupun senjata yang beracun dan panah api sangat dilarang.
2. Abad Pertengahan
Pada abad pertengahan, ajaran dari agama Kristen, Islam dan prinsip ksatria sudah mulai mempengaruhi eksistensi dari hukum humaniter. Oleh agama
Kristen, hukum humaniter mendapat pengaruh berupa konsep “perang yang adil” atau just war. Sedangkan oleh agama Islam, hukum humaniter mendapat pengaruh
berupa pandangan bahwa perang sebagai sarana pembelaan diri dan menghapuskan kemungkaran. Ajaran Islam tentang tentang perang dapat dilihat
dalam Al Qur’an surah al Baqarah: 190, 191, al Anfal: 39, at Taubah: 5, al Haj: 39.
11
Prinsip ksatria juga turut memberi pengaruhnya kepada hukum humaniter. Bentuk pengaruh yang diberikan oleh prinsip ini ialah mengajarkan pentingnya
pengumuman perang serta larangan penggunaan senjata tertentu. 3.
Zaman Modern Melihat uraian yang sebelumnya, jelas sekali bahwa dari waktu ke waktu
hukum humaniter mengalami pasang surut dengan waktu yang terkesan singkat. Zaman modern ditandai dengan praktek-praktek dari berbagai negara yang
11
Masjur Effendi,, Moh. Ridwan, Muslich Subandi, Pengantar dan Dasar-dasar Hukum Internasional, IKIP Malang, Malang, 1995, hlm. 16.
Universitas Sumatera Utara
18
kemudian berubah menjadi suatu hukum serta kebiasaan dalam berperang. Keadaan ini terjadi di abad ke 18 setelah berakhirnya perang Napoleon sampai
kepada pecahnya Perang Dunia I. Yang menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah lahirnya serta
perkembangan hukum humaniter ialah berdirinya suatu organisasi kemanusiaan, yaitu Palang Merah yang di promotori oleh Henry Dunant. Selain berdirinya
organisasi ini, penandatanganan Konvensi Jenewa 1864 juga menjadi tonggak penting terhadap perkembangan hukum humaniter. Konvensi Jenewa 1864
merupakan Konvensi mengenai Perbaikan Keadaan Tentara yang Luka di Medan Perang Darat. Tahun 1864 menjadi titik lahir untuk mengawali Konvensi-
konvensi Jenewa yang berikutnya, yang berhubungan tentang Perlindungan terhadap Korban Perang.
Pada dasar nya, tujuan dari Hukum Humaniter adalah untuk memberikan perlindungan kepada mereka yang menderita atau yang menjadi korban dari
perang, baik mereka yang secara nyata dan aktif dalam pertikaiankombat, maupun mereka yang tidak turut serta dalam pertikaian penduduk sipil.
12
Melihat dari apa yang menjadi tujuan dari salah satu cabang Hukum Internasional ini adalah menegaskan bahwa setiap terjadi pertikaian bersenjata; baik yang
sifatnya internasional ataupun non internasional, jatuhnya korban jiwa serta keadaan yang porak poranda tidak dapat dihindarkan. Hukum Humaniter
diciptakan hanya untuk mengatur konflik bersenjata saja. Tidak untuk mengatur
12
Prof. KGPH. Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter, PT Raja Grafindo Persada, 2005, hlm 3.
Universitas Sumatera Utara
19
bentuk-bentuk lain dari konflik atau perang, misalnya konflik ekonomi economical warfare.
Salah satu cabang dari Hukum Internasional yang bersifat publik ini dulu nya sempat menimbulkan kebingungan di tengah-tengah masyarakat karena
namanya. Banyak kalangan yang mengira bahwa Hukum Humaniter merupakan nama baru dari Hukum Perang. Untuk menghilangkan keragu-raguan terhadap
istilah dari hukum ini, maka secara tegas istilah yang sesungguhnya dari hukum ini adalah Hukum Humaniter International Humanitarian Law Applicable in
Armed Conflict. Istilah yang muncul sebelum adanya penegasan akan hal ini adalah dahulu disebut Hukum Perang Laws of War, kemudian berubah menjadi
Hukum Sengketa Bersenjata Laws of Armed Conflict, dan kemudian diubah untuk terakhir kali nya menjadi Hukum Humaniter. Munculnya istilah sah dari
hukum ini diharapkan tidak lagi menimbulkan suatu kebingungan di tengah masyarakat.
Sebagai bidang baru dalam hukum internasional, terdapat berbagai rumusan atau defenisi tentang hukum humaniter serta ruang lingkupnya yang
berasal dari para sarjana. Rumusan serta ruang lingkup ini ditujukan untuk mempermudah pemahaman terhadap salah satu cabang hukum internasional yang
bersifat publik ini. Sebagai pemahaman lebih jauh, Geza Herzegh memberikan rumusan
tentang hukum humaniter yaitu: “…. Part of the rules of public international law which serve as the
protection of individuals in time of armed conflict. Its place is beside the
Universitas Sumatera Utara
20
norm of warfare it is closely related to them but must be clearly distinguish from these its pupose and spirit being different”
13
Bagian dari aturan-aturan hukum internasional publik yang berfungsi sebagai perlindungan individu dalam masa konflik bersenjata. Tempatnya adalah
disamping norma peperangan itu terkait erat dengan mereka, tetapi harus jelas membedakan dari ini tujuan dan semangat yang berbeda.
Pengertian yang diberikannya lebih memfokuskan pada tujuan dari hukum humaniter, yaitu memberikan perlindungan individu sepanjang tejadinya konflik
bersenjata. Lebih berdasarkan pada wujud dari implementasi hukum humaniter tersebut.
Hal senada juga dijelaskan Mochtar Kusumaatmadja bahwa hukum humaniter adalah bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan
perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu
sendiri.
14
Hampir sama dengan Herzegh, bahwa pendapat Mochtar Kusumaatmadja bertitik pada perlindungan terhadap korban konflik bersenjata.
Sedangkan Jean Pictet menjelaskan: “International humanitarian law in the wide sense is constitutional legal
provision, whether written and customary, ensuring respect for individual and his well being.”
15
13
Geza Herzegh, Recent Problem of International Humanitarian Law, Hlm 17 dalam Arlina Permanasari, Op Cit. Hlm 9.
14
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Internasional Humaniter dalam Pelaksanaan dan Penerapannya di Indonesia, 1980, Hlm 5 dalam Arlina Permanasari, Op Cit. Hlm 9.
15
Pictet, The Principles of International Humanitarian Law, dalam Haryomataram, Op Cit., Hlm 15.
Universitas Sumatera Utara
21
Hukum humaniter internasional dalam arti luas adalah ketentuan hukum yang konstitusional, baik yang tertulis dan adat, yang menjamin penghormatan terhadap
individu dan kesejahteraannya. Pengertian yang diberikannya lebih ditujukan kepada sifat dari hukum
humaniter itu sendiri serta tujuan utama nya. Dalam rumusan yang diberikan oleh Sarjana ini, terdapat unsur HAM di dalam nya, yaitu mengenai penghormatan
terhadap individu serta kesejahteraannya. HAM menjadi salah satu materi penting dalam penyusunan atau pembentukan dari hukum humaniter.
Salah satu pembahasan yang terdapat dalam hukum internasional adalah mengenai ajaran “just war”. Melalui ajaran ini, maka hukum humaniter dibagi
dalam dua bagian, yaitu: 1.
Jus ad bellum yang berarti hukum tentang perang; 2.
Jus in bello yang berarti hukum yang berlaku dalam perang. Jus ad bellum membahas mengenai tentang waktu pelaksanaan perang
atau mengatur tentang hal bagaimana suatu Negara dibenarkan untuk melakukan kekerasan bersenjata atau berperang. Sedangkan Jus in bello membahas mengenai
ketentuan-ketentuan atau hukum yang berlaku dalam perang, yang diatur dalam sumber-sumber hukum humaniter.
Ketentuan dalam Jus in bello dijabarkan lagi dalam 2 dua ketentuan lagi, yakni:
a. Ketentuan megenai tata cara dilakukannya perang conduct of war dan
alat-alat yang dibenarkan dipakai untuk berperang. Ketentuan ini
Universitas Sumatera Utara
22
secara umum disebut sebagai Hukum Den Haag atau The Hague Laws yang terdapat dalam Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1907
b. Ketentuan yang mengatur tentang perlindungan terhadap orang-orang
yang menjadi korban perang baik itu yang tergolong kombatan dan penduduk sipil. Ketentuan ini lazimnya dikenal sebagai Hukum
Jenewa atau The Geneva Laws yang tercantum dalam Konvensi- konvensi Jenewa tahun 1949.
Hukum Humaniter diciptakan bukan tanpa suatu tujuan yang jelas. Hukum Humaniter mempunyai tujuan utama yaitu memberi perlindungan terhadap
seluruh korban perang baik yang berasal dari kombatan maupun non kombatan. Selain itu, tujuan dari hukum ini ialah untuk menjamin hak-hak asasi dari setiap
pihak yang jatuh ke tangan musuh. Disamping memberikan perlindungan, hukum humaniter juga diharapkan mampu memberikan harapan untuk terjadinya
perdamaian antara pihak yang bertikai serta membatasi kekuasaan dari setiap pihak yang berperang agar tidak terjadi penguasaan total oleh satu pihak di dalam
suatu wilayah pertikaian. Berdasarkan tujuan yang telah diuraikan diatas, terkandung 3 tiga asas
penting dalam Hukum Humaniter. Asas-asas tersebut antara lain: 1.
Asas Kepentingan Militer Asas ini memaparkan bahwa setiap pihak yang bersengketa dibenarkan
menggunakan kekerasan untuk menaklukan lawan atau musuh demi tercapainya keberhasilan perang. Dalam istilah asing, asas ini disebut
juga military necessity.
Universitas Sumatera Utara
23
2. Asas Perikemanusiaan
Asas ini menjelaskan bahwasannya para pihak yang bersengketa diwajibkan untuk memperhatikan perikemanusiaan. Maksudnya adalah
bahwa setiap pihak yang bertikai dilarang menggunakan kekerasan dalam bentuk apapun yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan
atau penderitaan yang tidak diinginkan. Dalam istilah asing asas ini disebut humanity.
3. Asas Kesatria
Asas ini mengandung arti bahwa ketika perang berlangsung, kejujuran merupakan suatu hal yang sifat nya sangatlah penting. Kejujuran harus
diutamakan. Kejujuran yang dimaksud difokuskan pada penggunaan senjata yang tidak diperkenankan untuk digunakan, tidak dibenarkan
melakukan berbagai ragam tipu muislihat dan tidak dibenarkan juga melakukan pengkhianatan. Dalam istilah asing asas ini disebut
chilvary. Suatu hukum diciptakan tidak hanya dengan mempertimbangkan tujuan
apa yang hendak dicapai oleh hukum tersebut. Sumber daripada hukum tersebut juga harus menjadi salah satu hal penting yang harus dipertimbangkan. Suatu
hukum harus memiliki sumber yang jelas. Jika suatu hukum tidak memiliki sumber hukum yang jelas, dikhawatirkan hukum tersebut menjadi tidak sah atau
tidak memiliki kekuatan yang mengikat.
Universitas Sumatera Utara
24
Bagi hukum internasional, sumber hukum nya mengacu pada Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional. Pasal ini menyebutkan bahwa sumber hukum
yang dapat diterapkan antara lain: 1.
Perjanjian yang bersifat internasional. Baik itu yang sifatnya umum ataupun khusus, yang mengandung ketentuan hukum dan ditetapkan
sebagai suatu aturan hukum yang tegas serta diakui oleh tiap-tiap negara peserta;
2. Kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum
yang diterima sebagai hukum; 3.
Prinsip-prinsip hukum umum yang oleh diakui bangsa-bangsa yang beradab;
4. Keputusan pengadilan dan ajaran para sarjana yang sifatnya paling
terkemuka dari berbagai negara, yang dijadikan sebagai sumber tambahan untuk menetapkan kaidah-kaidah hukum internasional.
Sebagaimana telah disebutkan pada halaman sebelumnya, mengenai ruang lingkup dari hukum humaniter, maka dapat diketahui bahwasannya hukum
humaniter tersebut terdiri dari Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa. Hukum Den Haag mengatur mengenai tata cara serta perlengkapan yang boleh dipakai pada
saat berperang, sedangkan Hukum Jenewa mengatur mengenai bentuk-bentuk perlindungan terhadap korban perang. Dengan kata lain, kedua hukum inilah yang
menjadi sumber utama dari hukum humaniter. Hukum Den Haag The Hague Laws memiliki fokus pengaturan terhadap
tata cara peperangan serta jenis persenjataan yang diperkenankan untuk dipakai
Universitas Sumatera Utara
25
selama masa perang. Pembahasan mengenai hukum ini, berorientasi kepada Konferensi Perdamaian I pada tahun 1899 dan Konferensi Perdamaian II pada
tahun 1907. Rangkaian konvensi inilah yang pada akhirnya dikenal dengan sebutan “Hukum den Haag”. Ada 2 prinsip penting yang terdapat dalam hukum
ini. Prinsip pertama berbunyi,”The right of belligerents to adopt means of injuring the enemy is not unlimited”
16
. Artinya adalah berarti ada tata cara tertentu serta alat-alat tertentu yang dilarang untuk digunakan selama masa perang.
Prinsip terpenting kedua dalam Hukum den Haag ini ialah dikenal dengan “Martens Clause”, yang dapat ditemukan dalam Pembukaan Konvensi den Haag.
Klausula Marten ini merupakan suatu klausula yang memberi ketentuan apabila hukum humaniter belum member suatu aturan terhadap hal-hal tertentu, maka
ketentuan yang dapat dipergunakan adalah ketentuan yang harus mengacu dan berpedoman kepada prinsip-prinsip hukum internasional yang dibentuk dari
kebiasaan yang ada di antara negara-negara, hukum kemanusiaan serta yang berasal dari hati nurani masyarakat.
Konferensi den Haag yang berlangsung dari 18 Mei – 29 Juli 1899 pada akhirnya menghasilkan tiga konvensi serta dan tiga deklarasi. Tiga konvensi
tersebut antara lain
17
: 1.
Konvensi I mengenai Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional 2.
Konvensi II mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat 3.
Konvensi III mengenai Adaptasi Azas-azas Konvensi Jenewa tanggal 22 Agustus 1864 tentang Hukum Perang di Laut.
16
Prof. KGPH. Haryomataram, Op Cit., hlm 46.
17
Arlina Permanasari, Op Cit., hlm 23.
Universitas Sumatera Utara
26
Telah disebutkan diatas bahwa konferensi ini tidak hanya menghasilkan tiga konvensi, tetapi juga melahirkan tiga deklarasi pada 29 Juli 1899. Tiga
deklarasi tersebut terdiri dari
18
: 1.
Melarang penggunaan peluru-peluru dum-dum peluru-peluru yang bungkusnya tidak sempurna menutup bagian dalam sehingga dapat
pecah dan membesar dalam tubuh manusia. 2.
Peluncuran proyektil-proyektil dan bahan-bahan peledak dari balon, selama jangka waktu lima tahun yang berakhir di tahun 1905 juga
dilarang. 3.
Penggunaan proyektil-proyektil yang menyebabkan gas-gas cekik dan beracun dilarang.
Konferensi Den Haag yang terjadi pada tahun 1899 yang silam kemudian disempurnakan lagi dengan diselenggarakannya Konferensi II Den Haag pada
tahun 1907. Pada konferensi ini, konvensi yang dihasilkan lebih banyak dibandingkan dengan jumlah konvensi yang lahir dari konferensi pertama di tahun
1899. Meningkatnya jumlah konvensi yang dilahirkan menandakan bahwa pada saat itu dunia memang sudah selayaknya memiliki suatu aturan-aturan yang tegas
yang mencakup segala aspek kepentingan hidup masyarakat dunia. Konvensi- konvensi dari konferensi kedua yang dilaksanakan di Den Haag pada tahun 1907
yang lalu, antara lain terdiri dari
19
: 1.
Konvensi I mengenai Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional;
18
Ibid. hlm 23.
19
Ibid. hlm 24.
Universitas Sumatera Utara
27
2. Konvensi II mengenai Pembatasan Kekerasan Senjata dalam menuntut
Pembayaran Hutang yang berasal dari Perjanjian Perdata; 3.
Konvensi III mengenai Cara Memulai Peperangan; 4.
Konvensi IV mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat dilengkapi dengan Peraturan Den Haag;
5. Konvensi V mengenai Hak dan Kewajiban Negara dan Warga Negara
Netral dalam Perang di Darat; 6.
Konvensi VI mengenai Status Kapal Dagang Musuh pada saat Permulaan Peperangan;
7. Konvensi VII mengenai Status Kapal Dagang menjadi Kapal Perang;
8. Konvensi VIII mengenai Penempatan Ranjau Otomatis didalam Laut;
9. Konvensi IX mengenai Pemboman oleh Angkatan Laut di waktu
Perang; 10.
Konvensi X mengenai Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tentang Perang di Laut;
11. Konvensi XI mengenai Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan
Hak Penangkapan dalam Perang Angkatan Laut; 12.
Konvensi XII mengenai Mahkamah Barang-barang Sitaan; 13.
Konvensi XIII mengenai Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang di Laut.
Sumber lain dari hukum humaniter adalah Hukum Jenewa. Atau dalam bahasa asing, disebut The Geneva Laws. Hukum ini merupakan seperangkat
aturan yang berisikan materi-materi mengenai perlindungan terhadap orang-orang
Universitas Sumatera Utara
28
yang menjadi korban perang. Hukum Jenewa lahir setelah adanya konferensi internasional yang diselenggarakan di Swiss, Jenewa pada tahun 1949. Melalui
konferensi itu lahirlah empat perjanjian pokok, yang masing-masing adalah: 1.
Konvensi Jenewa 1949 tentang Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Perang yang Luka dan Sakit di Medan Pertempuran Darat;
2. Konvensi Jenewa 1949 tentang Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan
Perang di Laut yang Luka, Sakit dan Korban Karam; 3.
Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlakuan Tawanan Perang; 4.
Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Orang-orang Sipil di Waktu Perang.
Selain melahirkan empat buah konvensi tersebut diatas, Hukum Jenewa juga memiliki beberapa protokol tambahan. Keberadaan dari protokol tambahan
ini dimaksudkan untuk menyempurnakan kinerja dari empat konvensi yang telah dibentuk lebih dulu, tanpa menghilangkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam
keempat Konvensi Jenewa 1949. Protokol tambahan ini disusun sekitar tahun 1977 dan dibagi ke dalam 2 buku, yakni:
1. Protokol I, berisikan beberapa aturan mengenai perang atau konflik
bersenjata yang bersifat lintas negara internasional. 2.
Protokol II, berisikan beberapa aturan mengenai perang atau konflik bersenjata yang terjadi di wilayah salah satu pihak peserta agung
antara pasukannya dengan pemberontak yang ada di wilayah tersebut. Dengan kata lain, sifat nya non-internasional. Protokol Tambahan II ini
menambah isiruang lingkup Pasal 3 Konvensi Jenewa.
Universitas Sumatera Utara
29
Pembahasan lebih lanjut mengenai Konvensi Jenewa ini, akan penulis ulas lebih dalam lagi pada sub bab selanjutnya.
Pada dasarnya, sumber utama dari hukum humaniter adalah Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa. Akan tetapi, hukum humaniter juga mengenal beberapa
sumber hukum lainnya seperti Protokol Tambahan 1977 atau yang sering dikenal dengan sebutan “hukum campuran” karena sifatnya yang mengatur masing-
masing sifat dari Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa. Selain Protokol Tambahan 1977, ada 7 hukum yang turut dijadikan sumber dari hukum humaniter.
Ketujuh hukum tersebut ialah: 1.
Deklarasi Paris 16 April 1856, yang mengatur tentang Perang di Laut.
2. Deklarasi St. Petersburg 29 November – 11 Desember 1868, tentang
pelarangan penggunaan senjata yang permukaannya keras sehingga tutupnya dapat meledak.
3. Rancangan Peraturan Den Haag tentang Perang di Udara 1923, yang
digunakan sebagai pedoman dalam pertempuran di udara. 4.
Protokol Jenewa 17 Juni 1925 tentang Pelarangan Penggunaan Gas Cekik dan Macam-macam Gas Lain dalam Peperangan
5. Protokol London 6 November 1936 tentang Peraturan Penggunaan
Kapal Selam dalam Pertempuran. Protokol ini merupakan suatu penegasan dari Deklarasi Hukum Perang yang dibentuk di London.
Universitas Sumatera Utara
30
6. Konvensi Den Haag 1954 tentang Perlindungan terhadap Benda-benda
Budaya pada waktu Pertikaian Bersenjata.
20
B. Konvensi Jenewa 1949 dan Hal-hal yang Diatur di Dalamnya