Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Konflik Bersenjata

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Abdussalam, H.R., Hukum Perlindungan Anak, PTIK, Jakarta, 2012.

Aziz, Aminah, Aspek Hukum Perlindungan Anak, USU Press, Medan, 1998.

Bouvier, Virginia Marie, Colombia: Building Peace in a Time of War (Washington, D.C.: United States Institute of Peace, 2009.

Brett, Sebastian, You'll Learn Not to Cry: Child Combatants in Columbia, Human Rights Watch, New York, 2003

Clinton, Hillary, It Takes a Villages, Simon & Schuster Inc, New York, 1996.

Gultom, Maidin, Perlindungan Hukum terhadap Anak dan Perempuan, Reflika Aditama, Bandung, 2012.

Huraerah, Abu, Child Abuse (Kekerasan Terhadap Anak), Bandung, 2007. Hurlock, Elizabeth B., Develomental Psycology, McGraw Hill, New York, 1980. Kusumaatmadja, Mochtar, Pengantar Hukum Internasional Buku I, Binacipta, Bandung, 1997.

Manan, Bagir, Peradilan Anak di Indonesia, Bandung, Mandar Maju, 1997.

May, Rudy, Hukum Internasional 1, Refika aditama, Bandung, 2010.

Mbaine, A.E., “Yes We Have Some Soldiers Below 18 Years in our Battalions”: Sebuah Wawancara Dengan Juru Bicara Militer Mayor Shaban Bantariza, 2003


(2)

Moser, Caroline O.N. and McIlwaine, Cathy, Encounters with Violence in Latin CXZVAmerica: Urban Poor Perceptions from Colombia and Guatemala, New York: Routledge 2004.

Mozasa, Chairul Bariah, Aturan-aturan Hukum Trafiking (Perdagangan Perempuan dan Anak), USU Press, Medan, 2005.

Rover, C. De, To Serve And To Protect : Acuan Universal Penegakan HAM, PT Raja Grafinda Persada, Jakarta, 2000.

Shaw, Malcom N., International Law, Cambridge press, Cambridge, 2008.

Susiolowati, Ima, Pengertian Konvensi Hak Anak, UNICEF, Jakarta, 2003.

The Columbia Encyclopedia, “Uganda,”, Sixth Edition, 2001.

Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak, CV Mandar Maju, Bandung, 2009.

Wood, Michael, The Principle Of Non-Intervention In Contemporary International Law: Non-Interference In A State’s Internal Affairs Used To Be A Rule Of International Law: Is It Still?, A summary of the Chatham House International Law discussion group meeting, London, 2007.

Peratuan Perundang-undangan:

Konvensi Hak Anak Tahun 1989

Konvensi Jenewa Tahun 1949

Protokol Tambahan I dan II Tahun 1977


(3)

Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Tahun 2000

Resolusi DK PBB Nomor 1231

Resolusi DK PBB Nomor 1343

Resolusi DK PBB Nomor 1465

Resolusi DK PBB Nomor 1592

Resolusi DK PBB Nomor 1649

Resolusi DK PBB Nomor 177

Resolusi DK PBB Nomor 846

Statuta Mahkamah International

Jurnal Ilmiah & Majalah :

Abigail Leibig, Girl Child Soldiers in Northern Uganda: Do Current Legal Frameworks Offer Sufficient Protection, 3 Nw. J. Int'l Hum. Rts. 1, 2005.

http://scholarlycommons.law.northwestern.edu/njihr/vol3/iss1/6

Avilés, William, “Institutions, Military Policy, and Human Rights in Colombia,” Latin American Perspectives 28, no. 1, 2001.

Konvensi Media Advokasi dan Penegakan Hak-hak Anak, Volume III Nomor 3 Tahun 1999, Lembaga Advokasi Anak Indonesia, Medan.

Narwati, Enny dan Hastuti, Lina, Legal Protection For Children In The Midst Of Armed Conflicts, Jurnal Penelitian Dinas Sosial Vol. 7, No. 1, 2008.


(4)

Office Of The United Nations High Commissioner For Human Rights, Rule Of Law Tools For Post-Conflict States Maximizing The Legacy of Hybrid Courts, New York-Geneva, 2008.

Internet :

http://news.bbc.co.uk/1/hi/world/africa/country_profiles/1069181.stm

http://portal.eiu.com

http://www.cdi.org/PDFs/ChildSoldiersUpdate2006Charts.html

http://www.enteruganda.com/about/history.php.

http://www.europaworld.com.offcampus.lib.washington.edu/entry/co

http://www.government.go.ug/static/history.html.

http://www.icrc.org/eng/resources/documents/publication/p4028.html

http://www.sc-sl.org/ABOUT/CourtOrganization/Chambers/tabid/86/Default.aspx


(5)

BAB III

KONFLIK BERSENJATA MENURUT HUKUM HUMANITER

A. Konflik Bersenjata Menurut Hukum Humaniter

Konflik adalah gejala-gejala sosial yang selalu ada didalam setiap masyarakat. Konflik merupakan suatu gejala universal yang mempunyai dampak yang amat besar bagi masyarakat. Bila konflik tidak dapat diselesaikan oleh pihak-pihak yang bersangkutan maka konflik lisan dapat menajdi konflik fisik, yang pada puncaknya para pihak akan menggunakan senjata dalam mempertahankan pendapatnya.

Konflik berasal dari kata kerja lain configure, yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (ataupun kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), konflik adalah percekcokan, perselisihan dan pertentangan. Konflik terdiri dari tiga (3) jenis :

a. Konflik batin, yaitu konflik yang disebabkan adanya dua gagasan atau lebih atau keinginan yang saling bertentangan untuk menguasai diri sehingga mempengaruhi tingkah laku.

b. Konflik kebudayaan, yaitu persaingan antara dua masyarakat sosial yang mempunyai kebudayaan yang hampir sama.

c. Konflik sosial, yaitu pertentangan antara anggota masyarakat yang bersifat menyeluruh dikehidupan.

Menurut Mitchell, konflik adalah sebuah situasi antara dua orang atau lebih yang saling mencapai tujuan-tujuan yang dikehendakinya.

Sedangkan James A. Schellenberg berpendapat bahwa konflik adalah situasi dimana individu atau kelompok merebut sesuatu yang dikehendaki berdasarkan pada kepentingan-kepentingan karena perbedaan identitas atau sikap.


(6)

Sebagai suatu bentuk hubungan sosial, konflik mempunyai beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk dikatakan sebagai konflik. Ted Robert Gurr menyebutkan paling tidak ada 4 (empat) ciri konflik, yaitu : 1. Adanya 2 (dua) atau lebih kelompok manusia yang terlibat. Ini

merupakan syarat dasar bagi terjadinya suatu konflik sebagai salah satu hasil hubungan sosial antar masyarakat, yakni melibatkan orang atau pihak lain yang berjumlah minimal satu sehingga ada pihak lain yang menjadi saingan atau musuh.

2. Adanya keterlibatan dalam tindakan yang bermusuhan, ini berarti bahwa pihak-pihak yang terlibat konflik secara terang-terangan menunjukkan sikap yang berlawanan dengan pihak lain sehingga menimbulkan reaksi pertentangan dan permusuhan dari pihak lain. Sikap yang dimaksud adalah keharusan adanya interaksi antara pihak-pihak yang terlibat konflik, yang mana konflik merupakan produk dari hubungan sosial. Dua pihak yang berbeda pendapat tidak bisa terlibat dalam konflik bila tidak ada interaksi sehingga tidak ada kesadaran bahwa pertentangan dan permusuhan antara keduanya. Tindakan bermusuhan muncul karena adanya pendapat yang dipertentangkan dan tindakan-tindakan yang diambil sebagai akibat dari permusuhan tersebut dianggap oleh semua pihak sebagai penolakan atau penyingkiran terhadap pendapatnya, yang dapat berbentuk usaha-usaha penyingkiran terhadap pendapatnya, yang dapat berbentuk usaha-usaha penyingkiran seperti pembunuhan satu pihak oleh pihak lain yang menjadi lawan atau musuh.

3. Penggunaan tindakan-tindakan kekerasan yang bertujuan untuk menghancurkan, melukai dan menghalang-halangi lawannya. Syarat ini lebih mengacu bahwa konflik haruslah bersifat konflik fisik. Dalam konflik lisan tidak mungkin terjadi tindakan koersif karena seperti itu hanya terbatas pada kata-kata saja.

4. Adanya interaksi yang bertentangan yang bersifat terbuka sehingga bisa dideteksi dengan mudah oleh para pengamat independen. Syarat keempat ini menunjukkan bahwa konflik adalah sebuah tingkah laku


(7)

yang nyata dan dapat diamati. Konflik haruslah berwujud tindakan (behavior) yang berbentuk tindakan-tindakan konkrit. Oleh karena itu pertentangan yang ada dalam pikiran tidak dapat disebut dengan konflik. Suatu konflik dapat dipelajari kapan terbentuknya (dengan juga mempelajari alasan-alasan terjadinya konflik tersebut), perkembangan, dan akhir dari konflik tersebut (apakah ada penyelesaian konflik dan bagaimana penyelesaian konflik itu berlangsung atau apakah konflik tersebut menghasilkan dampak yang terburuk bagi masyarakat).

Dilihat dari pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, konflik dapat dibagi menjadi 2 (dua) yakni : pertama adalah konflik individual, yakni konflik yang terjadi antara 2 (dua) orang yang tidak melibatkan kelompok masing-masing. Yang menjadi penyebabnya adalah masalah pribadi sehingga yang terlibat adalah orang-orang yang bersangkutan saja. Kedua, yaitu konflik kelompok yakni konflik yang terjadi antar dua kelompok atau lebih. Konflik ini dapat terjadi dari konflik individual karena adanya kecenderungan yang besar dari individu-individu yang berkonflik untuk melibatkan kelompoknya masing-masing. Disamping itu, anggota-anggota kelompok mempunyai solidaritas yang tinggi sehingga anggota kelompok tadi membantu seorang anggotanya yang terlibat konflik tanpa perlu tahu sebab-sebab yang menimbulkan konflik tadi.29

Konflik dibagi lagi menjadi beberapa jenis, yaitu konflik domestik yang isu utamanya adalah suatu kondisi dimana terdapat masalah-masalah antara pemegang kekuasaan dengan penentangnya (oposisi) atau dengan pemberontak (belligerence) di negaranya, yang dapat diselesaikan dengan cara damai. Selanjutnya konflik regional yang isu utamanya menekankan pada proses negoisasi dan hubungan antara negara berkonflik, serta konflik internasional yang permasalahnnya sama dengan konflik regional akan tetapi cakupanya

29

Maswadi Rauf, Konsenses dan Politik, Jakarta, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi


(8)

lebih luas lagi yakni melibatkan negara-negara yang ada didunia, contohnya dalah Perang Dunia I dan II.

Pada awalnya tidak ada kaidah-kaidah baku dalam hukum internasional yang mengatur secara spesifik mengenai konflik bersenjata, baik mengenai metode yang boleh dipakai ataupun mengenai alat-alat apa saja yang dapat dipergunakan dalam melaksanakan peperangan. Namun seiring dengan perkembangan peradaban manusia, perang yang pada mulanya dilakukan dengan kekejaman yang luar biasa, lama kelamaan mulai dibatasi dengan aturan-aturan yang dibuat oleh beberapa negara di dunia. Hingga saat ini ada 45 (empat puluh lima) peraturan-peraturan yang dibuat mengenai perang/konflik bersenjata. Namun yang paling sering menjadi bahasan adalah konvensi/Hukum Den Haag (The Hague Laws) dan konvensi/hukum Jenewa (The Genewa Laws).

Hukum humaniter internasional, sebagai bagian dari sistem hukum internasional secara otomatis memiliki sumber-sumber hukum yang sama dengan hukum internasional, yaitu :30

1. Perjanjian-perjanjian internasional. 2. Kebiasaan-kebiasaan internasional.

3. Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh negara-negara.

4. Doktrin. 5. Yurisprudensi

Konvensi Jenewa tahun 1949 beserta 2 protokol tambahannya yang mengatur sengketa bersenjata, pada kenyataannya tidak mudah untuk dipatuhi negara-neagra yang sedang bersengketa. Sehingga, masalah yang sangat mendesak saat ini adalah perlindungan hukum bagi penduduk sipil (terutama perempuan dan anak-anak).

30


(9)

Sejarah manusia hampir tidak pernah bebas dari peperangan, Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa adalah suatu kenyataan yang menyedihkan bahwa selama 3400 sejarah yang tertulis, umat manusia hanya mengenal 250 tahun perdamaian.31

Menurut Karl Von Clausewitz perang adalah perjuangan dalam skala besar yang dimaksudkan oleh salah satu pihak untuk menundukkan lawannya guna memenuhi kehendaknya.

Secara defenitif perang adalah suatu kondisi tertinggi dari bentuk konflik antar manusia. Dalam studi hubungan internasional, perang secara tradisional adalah penggunaan kekerasan yang terorganisasi oleh unit-unit politik dalam sistem internasional. Perang akan terjadi apabila negara-negara dalam situasi konflik dan saling bertentangan merasa tujuan-tujuan eksklusif mereka tidak bisa tercapai, kecuali dengan cara-cara kekerasan.32

Istilah hukum humaniter (hukum perang) atau lengkapnya disebut dengan International Humanitarian Law applicable in armed conflict

berawal dari istilah hukum perang (laws of war), yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata konflik bersenjata (laws of armed conflict). Upaya pengaturan dimaksudkan agar tidak mengakibatkan penderitaan bagi penduduk sipil maupun bagi anggota pelaku pertempuran (combatant).33 Haryomataram membagi hukum humaniter menjadi dua (2) aturan-aturan pokok, yaitu :34

1. Hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk berperang (hukum Den Haag / The Hague Laws)

31

Syahmin AK, Hukum Internasional Humaniter I Bagian Umum, Bandung, Armico,

1985, hlm. 5 32

Graham Evans dan Jeffrey Newnham, the Penguin Dictionary of International Relations, London. Penguins Books, 1998, hlm. 575

33

Pengantar Hukum Humaniter, International Committee of the Red Cross, Jakarta, 1999, hlm. 5

34

Haryomataram, Sekelumit tentang Hukum Humaniter, Sebelas Maret University Press Surakarta, 1994, hlm. 1


(10)

2. Hukum yang mengatur mengenai perlindungan terhadap kombatan dan penduduk sipil akibat perang ( hukum Jenewa /

The Genewa Laws).

Sedangkan Mochtar Kusumaatmadja membagi hukum perang sebagai berikut :

1. Jus ad bellum , yaitu hukum tentang perang yang mengatur tentang bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata.

2. Jus in bello , yaitu hukum yang berlaku dalam perang. Terbagi atas 2 (dua), yaitu :

a. Hukum yang mengatur bagaimana cara melakukan perang (conduct of war). Bagian ini biasanya disebut dengan The Hague Laws.

b. Hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi korban perang. Bagian ini lazimnya disebut dengan

The Genewa Laws.

Maka berdasarkan uraian di atas, hukum humaniter internasional terdiri dari 2 (dua) aturan pokok, yaitu hukum Den Haag dan hukum Jenewa.

1. Konvensi Den Haag

Konvensi Den Haag merupakan ketentuan hukum humaniter yang mengatur mengenia tata cara dan alat berperang. Konvensi-konvensi Den Haag ini merupakan Konvensi-konvensi-Konvensi-konvensi yang dihasilkan dari konferensi-konferensi Den Haag I dan II yang diadakan pada tahun 1899 dan 1907.

a. Konvensi Den Haag 1899

Konvensi Den Haag tahun 1899 merupakan hasil konferensi perdamaian I di Den Haag ( 18 Mei – 29 Juli 1899), konferensi ini merupakan prakarsa Tsar Nicholas II dari Rusia. Konferensi ini dilakukan untuk mewujudkan suatu konferensi internasional yang batal


(11)

diselenggarakan Tsar Nicholas I di Brussel pada tahun 1874. Untuk melaksanakan kehendak Tsar Nicholas II tersebut, maka pada tahun 1898 Menteri luar negeri Rusia Count Mouravieff mengedarkan surat kepada semua kepala perwakilan negara-negara yang diakreditir di St. Petersburg berupa ajakan Tsar untuk berusaha mempertahankan perdamaian dunia dan mengurangi persenjataan. Adapun 3 (tiga) konvensi yang dihasilkan, yaitu :

1. Konvensi I tentang penyelesaian damai persengketaan internasional.

2. Konvensi II tentang hukum dan kebiasaan perang didarat. 3. Konvensi III tentang adaptasi azas-azas Konvensi Jenewa

tanggal 22 Agustus 1864 tentang hukum perang di laut.

Sedangkan 3 (tiga) deklarasi yang dihasilkan adalah sebagai berikut :

1. Melarang penggunaan peluru dum-dum (peluru-peluru yang bungkusnya tidak sempurna menutup bagian dalam sehingga dapat pecah dan membesar dalam tubuh manusia).

2. Peluncuran proyektil-proyektil dan bahan-bahan peledak dari balon, selama jangka lima tahun yang berakhir tahun 1905 juga dilarang pemakaiannya.

3. Penggunaan proyektil-proyektil yang menyebabkan gas-gas beracun juga dilarang pemakaiannya.

Konvensi Den Haag 1907

Konvensi-konvensi tahun 1907 merupakan kelanjutan dari konferensi Perdamaian I tahun 1809 di Den Haag. Konvensi-konvensi yang dihasilkan dari konvensi Den Haag II adalah sebagai berikut : 1. Konvensi I tentang penyelesaian damai persengketaan internasional; 2. Konvensi II tentang pembatasan kekerasan senjata dalam menurut

pembayaran hutang yang berasal dari perjanjian perdata ; 3. Konvensi III tentang tata cara memulai peperangan ;


(12)

4. Konvensi IV tentang hukum dan kebiasaan perang didarat dilengkapi dengan peraturan Den Haag ;

5. Konvensi V tentang hak dan kewajiban negara dan warga negara netral dalam perang didarat ;

6. Konvensi VI tentang status kapal dagang musuh pada saat permulaan perang ;

7. Konvensi VII tentang staturs kapal dagang menjadi kapal perang ; 8. Konvensi VIII tentang penempatan ranjau otomatis di dalam laut ; 9. Konvensi IX tentang pemboman oleh angkatan laut di waktu perang

;

10.Konvensi X tentang adopsi azas-azas Konvensi Jenewa tentang perang di laut ;

11.Konvensi XI tentang pembatasan tertentu terhadap penggunaan hak penangkapan dalam perang angkatan laut ;

12.Konvensi XII tentang mahkamah barang-barang sitaan ;

13.Konvensi XIII tentang hak dan kewajiban negara netral dalam perang di laut ;

2. Konvensi Jenewa 1949

Konvensi Jenewa tahun 1949 mengenai perlindungan korban perang yang dikenal juga dengan nama Konvensi Palang Merah adalah nama cakupan bagi keempat buah konvensi yang masing-masing bernama : 1. Konvensi Jenewa untuk perbaikan keadaan yang luka dan sakit dalam

angkatan perang di medan pertempuran darat ;

2. Konvensi Jenewa untuk perbaikan keadaan anggota angkatan perang yang luka, sakit dan korban karam di laut ;

3. Konvensi Jenewa mengenai perlakuan tawanan perang ;

4. Konvensi Jenewa mengenai perlindungan orang sipil di waktu perang; Dalam kepustakaan hukum internasional, istilah hukum humaniter merupakan istilah sekitar tahun 1970-an, ditandai dengan diadakannya


(13)

Conference of Government Expert on the Reaffirmation and Development in Armed Conflict pada tahun 1971. Sebagai bidang baru dalam hukum internasional, maka terdapat beberapa rumusan pengertian hukum humaniter oleh para ahli, seperti pengertian hukum humaniter menurut Mochtar Kusumaatmadja :35

“Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri”.

Esbjorn Rosenbland merumuskan hukum humaniter internasional dengan melakukan pembedaan, yaitu :

1. The law of armed conflict, berhubungan dengan : a. Permulaan dan berakhirnya pertikaian. b. Penduduk wilayah lawan.

c. Hubungan pihak bertikai dengan negara netral.

2. Sedangkan law of warfare, antara lain mencakup : a. Metode dan sarana berperang.

b. Status kombatan.

c. Perlindungan yang sakit, tawanan perang dan orang sipil. Sedangkan Jean Pictet mengartikan hukum humaniter internasional sebagai berikut:

“International humanitarian law in the wide sense is constitutional legal provision, wether written and customary, ensuring respect for individual and his well being.”

“Hukum humaniter internasional dalam arti luas adalah merupakan perlengkapan hukum konstitusi, baik tertulis maupun kebiasaan,

35Op. Cit ICRC


(14)

guna memastikan penghargaan terhadap individu sebagaimana ia berada.”

Ada beberapa azas atau prinsip pokok yang terkandung dalam hukum humaniter, antara lain :36

a. Azas keperluan/kepentingan militer (military necessity), yaitu memberikan batasan, lamdasan atau pedoman bagi pihak angkatan bersenjata yang saling bertempur mengenai hal-hal apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan, mengenai tindakan apa yang melanggar hukum dan yang tidak melanggar hukum (dalam situasi perang), alat / sarana yang boleh digunakan dan yang tidak boleh digunakan.

b. Azas kemanusiaan (humanitarian), yaitu untuk menerapkan perlakuan terhadap manusia sebagaimana kodratnya dan bukan diperlakukan sebagai binatang (hewan), menyadari rasa kasih saying sesama manusia (jangan membantai atau menelantarkan lawan yang luka, sakit, tidak berdaya atau yang sudah menyerah), menghargai hak-hak hidup bagi manusia dan tidak melakukan pelanggaran hak-hak azasi manusia. c. Azas ksatria (chivalry), yaitu untuk berlaku ksatria, tidak membokong

lawan dan tidak berbuat khianat. Dalam hal ini termasuk larangan untuk melakukan pembalasan dendam dengan mengatasnamakan perang atau situasi pertempuran. Perang diharapkan hanya dilakukan sebatas mengalahkan atau melumpuhkan kekuatan lawan dan bukan untuk menghancurkan personel, keluarga dan harta benda lawan.

d. Azas non-diskriminasi (non-discrimination), yaitu untuk menghargai persamaan derajat, tidak membeda-bedakan, baik para pihak dalam pertempuran maupun korban perang (termasuk tawanan perang), atas dasar agama, ras, suku, bangsa, warna kulit, status sosial, afiliasi (ideologi) dan lain sebagainya.

36


(15)

Ada beberapa tujuan hukum humaniter yang dapat dijumpai dalam berbagai kepustakaan, antara lain sebagai berikut :

1. Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering).

2. Menjamin hak azasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh harus dilindungi dan dirawat serta berhak diperlakukan sebagai tawanan perang.

3. Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas. Dibagian ini yang terpenting adalah azas kemanusiaan.

B. Perlindungan Penduduk Sipil Pada Konflik Bersenjata

Prinsip atau azas pembedaan (distinction principle) merupakan suatu azas penting dalam hukum humaniter, yaitu suatu prinsip atau azas yang membedakan atau membagi penduduk dari suatu negara yang sedang berperang atau terlibat konflik bersenjata yang dibagi kedalam 2 (dua) golongan, yakni kombatan (combatant) dan penduduk sipil (civilian). Kombatan adalah golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam permusuhan (hostilities), sedangkan penduduk sipil adalah golongan penduduk yang bukan anggota angkatan bersenjata yang karenanya tidak berhak ikut serta langsung dalam permusuhan.37

Menurut Jean Pictet, prinsip pembedaan ini berasal dari azas umum yang dinamakan azas pembatasan ratione personae yang menyatakan bahwa “the civilion population and individual civilians shall enjoy general protection against danger arising from military operation”. Azas umum ini memerlukan penjabaran lebih jauh kedalam sejumlah azas pelaksanaan (principles of application), yakni :

37


(16)

a. Pihak-pihak yang bersengketa setiap saat harus membedakan antara kombatan dan penduduk sipil guna menyelamatkan penduduk sipil dan objek-objek sipil.

b. Penduduk sipil, demikian pula orang sipil secara perorangan, tidak boleh dijadikan objek serangan walaupun dalam hal pembalasan (reprisals). c. Tindakan maupun ancaman kekerasan yang tujuan utamanya untuk

menyebarkan terror terhadap penduduk sipil adalah dilarang.

d. Pihak-pihak yang bersengketa harus mengambil segala langkah pencegahan yang memungkinkan untuk menyelamatkan penduduk sipil atau setidak-tidaknya untuk menekan kerugian atau kerusakan yang tidak disengaja menjadi sekecil mungkin.

e. Hanya anggota angkatan bersenjata yang berhak menyerang dan menahan musuh.

Perlindungan terhadap penduduk sipil dalam konflik bersenjata diatur oleh Konvensi Jenewa (beserta protokol-protokolnya) serta protokol tambahan tahun 2000 Konvensi Hak Anak.

Pelindungan terhadap penduduk sipil diatur dalam Konvensi Jenewa IV, dalam konvensi ini perlindungan yang diberikan merupakan perlindungan yang bersifat umum (general protection) yang diatur dalam bagian II.

Sedangkan dalam protokol tambahan, perlindungan terhadap penduduk sipil tercantum dalam Bagian IV mengenai penduduk sipil. Bagian IV protokol ini antara lain mengatur mengenai perlindungan umum (general protection against the effect of hostilities); bantuan terhadap penduduk sipil (relief in favour of the civilian population); serta perlakuan orang-orang yang berada dalam salah satu kekuasaan pihak yang bersengketa (treatment of persons in the power of a party to a conflict); termasuk didalamnya adalah perlindungan terhadap para pengungsi orang yang tidak memiliki kewarganegaraan (stateless), anak-anak, wanita dan wartawan.


(17)

Perlindungan Umum

Berdasarkan Konvensi Jenewa, perlindungan umum yang diberikan kepada penduduk sipil tidak boleh dilakukan secara diskriminatif. Dalam segala keadaan, penduduk sipil berhak atas penghormatan pribadi, hak kekeluargaan, kekayaan dan praktek ajaran agamanya.

Dalam suatu sengketa bersenjata, orang-orang yang dilindungi meliputi kombatan dan penduduk sipil. Kombatan yang telah berstatus horse de combat

harus dilindungi dan dihormati dalam segala keadaan. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh mendapatkan status sebagai tawanan perang. Perlindungan dan hak-hak sebagai tawanan perang diatur dalam Konvensi Jenewa III tahun 1949. Sedangkan penduduk sipil berhak mendapatkan perlindungan sebagaimana diatur dalam Konvensi Jenewa IV tahun 1949. Pasal 27-34 Konvensi Jenewa IV tahun 1949 mengatur tentang perlindungan yang harus diberikan kepada penduduk sipil yang tidak ikut serta dalam suatu permusuhan. Perlindungan tersebut meliputi : 38

1. Perlindungan atas diri pribadi, hak-hak kekeluargaan, keyakinan dan praktek keagamaan, serta adat dan kebiasaan mereka;

2. Hak untuk berhubungan dengan Negara Pelindung, ICRC dan Palang Merah Nasional;

3. Larangan untuk melakukan paksaan jasmani dan rohani untuk memperoleh keterangan;

4. Larangan untuk melakukan tindakan yang menimbulkan penderitaan yang berlebihan;

5. Larangan untuk menjatuhkan hukuman secara kolektif, larangan untuk melakukan intimidasi, terror dan perampokan, juga larangan untuk melakukan resprisal terhadap penduduk sipil;

6. Larangan untuk menjadikan sandera. Selain penduduk sipil secara umum yang harus mendapatkan perlindungan, terdapat beberapa kategori yang juga perlu mendapatkan perlindungan, yaitu : orang asing di wilayah

38


(18)

pendudukan, orang yang tinggal di wilayah pendudukan dan intermiran sipil.

Dalam konvensi ini juga mengatur mengenai pembentukan kawasan-kawasn rumah sakit dan daerah-daerah keseluruhan (safety zone) dengan persetujuan antara pihak-pihak yang bersangkutan (Pasal 14 konvensi IV). Pembentukan kawasan ini terutama ditujukan untuk memberikan perlindungan kepada orang-orang sipil yang rentan terhadap akibat konflik bersenjata yaitu orang yang luka (sakit), lemah, perempuan hamil atau menyusui, perempuan yang memiliki anak balita, orang lanjut usia dan anak-anak. Daerah keselamatan ini harus memiliki syarat-syarat, yaitu :39

1. Daerah-daerah kesehatan hanya boleh meliputi sebagian kecil dari wilayah diperintah oleh negara yang mengadakannya.

2. Daerah-daerah itu harus berpenduduk relatif lebih sedikit dibandingkan dengan kemungkinan-kemungkinan akomodasi yang terdapat disitu. 3. Daerah-daerah itu harus jauh letaknya dan tidak ada hubungannya dengan

segala macam objek-objek militer atau bangunan-bangunan industri dan administrasi yang besar.

4. Daerah-daerah seperti itu tidak boleh ditempatkan diwilayah- wilayah yang menurut perkiraan, dapat dijadikan areal untuk melakukan peperangan.

Berkaitan dengan perlakuan terhadap orang-orang yang dilindungi, perlakuan khusus harus diberikan kepada anak-anak. Para pihak yang bersangkutan harus diharuskan untuk memelihara anak-anak yang sudah yatim piatu atau terpisah dari orang tua mereka. Perlindungan khusus terhadap anak-anak yang diatur dalam konvensi Jenewa ini kemudian dilengkapi pula dengan ketentuan baru sebagaimana diatur dalam Pasal 77 protokol I.

Menurut protokol I anak-anak berhak atas perawatan dan bantuan yang dibutuhkan sesuai dengan usia mereka, mereka tidak boleh didaftarkan menjadi anggota angkatan perang sebelum usia 15 tahun dan jika sebelum usia tersebut mereka terlibat langsung dalam pertempuran, maka apabila tertangkap mereka

39


(19)

harus menerima perlakuan khusus sesuai dengan usia mereka dan terhadap mereka yang tertangkap sebelum usia 18 tahun maka tidak boleh dijatuhi hukuman mati.40

Diantara penduduk sipil yang harus dilindungi, terdapat pula beberapa kelompok orang-orang sipil yang perlu dilindungi, seperti :

1. Orang asing diwilayah pendudukan.

Pada waktu pecah perang antara negara yang warganya berdiam di wilayah negara musuh, maka orang-orang asing ini merupakan warga negara musuh. Walaupun demikian, mereka tetap mendapatkan penghormatan dan perlindungan dinegara mereka berdiam. Berdasarkan Pasal 35 Konvensi IV, mereka harus diberi izin untuk meninggalkan negara tersebut. Jika permohonan mereka ditolak, mereka berhak meminta agar penolakan tersebut dipertimbangkan kembali (diajukan kepada pengadilan atau badan administrasi yang ditunjuk untuk melaksanakan tugas tersebut). 2. Orang yang tinggal diwilayah pendudukan.

Orang-orang sipil di wilayah ini harus dihormati hak-hak azasinya, misalnya mereka tidak boleh dipaksa untuk melakukan kegiatan-kegiatan militer. Penguasa pendudukan bertanggung jawab untuk memelihara dinas-dinas kesehatan, rumah sakit dan bangunan lainnya. Perhimpunan palang merah atau bulan sabit merah nasional harus tetap diperbolehkan untuk menjalankan tugas-tugasnya.

Penguasa pendudukan juga harus memerhatikan kesejahteraan anak-anak. Serta menjamin kebuthan makanan dan kesehatan penduduk (Pasal 50 protokol tambahan) dan bila penguasa pendudukan tidak mampu melakukan hal tersebut maka mereka harus mengizinkan adanya bantuan yang datang dari luar negeri sesuai dengan Pasal 59-61.41

3. Interniran sipil

Penduduk sipil yang dilindungi dapat diinternir, ketetuan-ketentuan tentang perlakuan orang-orang yang diinternir diatur dalam Bagian IV Pasal

40

Op.Cit ICRC

41


(20)

179 Konvensi Jenewa IV. Penduduk sipil yang diinternir tetap memiliki kedudukan dan kemampuan sipil mereka dan dapat melaksanakan hak-hak sipil mereka (Pasal 80). Orang-orang sipil yang dapat diinternir adalah :42 a. Penduduk sipil musuh dalam wilayah pihak yang bersengketa perlu

diawasi dengan ketat demi kepentingan keamanan.

b. Penduduk sipil musuh dalam wilayah pihak yang bersengketa yang dengan sukarela menghendaki untuk diinternir atau karena keadaannya menyebabkan ia diinternir.

c. Penduduk sipil musuh dalam wilayah yang diduduki, apabila penguasa pendudukan menghendaki mereka perlu diinternir karena alasan mendesak.

d. Penduduk sipil yang telah melakukan pelanggaran hukum yang secara khusus bertujuan untuk merugikan penguasa pendudukan.

Perlindungan Khusus

Perlindungan khusus diberikan kepada pendudukan sipil asing yang melakukan tugas-tugas sosial untuk membantu orang-orang yang terluka dan penduduk sipil lainnya pada waktu konflik bersenjata. Mereka adalah anggota Perhimpunan Palang Penolong Sukarela lainnya, termasuk juga anggota Pertahanan Sipil.

Pada saat melaksanakan tugas-tugas yang bersifat sosial (sipil), biasanya mereka dilengkapi dengan sejumlah fasilitas (transportasi dan bangunan-bangunan khusus) maupun lambing-lambang khusus. Apabila sedang melaksanakan tugasnya, mereka harus dihormati (respected) dan dilindungi (protected). ‘Dihormati’ berarti mereka harus dibiarkan untuk melaksanakan tugas-tugas sosial mereka pada waktu konflik bersenjata. Sedangkan ‘dilindungi’ adalah bahwa mereka tidak boleh dijadikan sasaran serangan militer.

42

Dalam Pasal 79 Konvensi Jenewa IV, berbunyi : “ pihak-pihak dalam pertikaian hanya

boleh menginternir orang-orang yang dilindungi, sesuai dengan aturan-aturan Pasal 41-43, 68 dan 78”


(21)

Perlindungan bagi anak-anak

Dalam Pasal 77 Ayat (1) protokol I Konvensi Jenewa menjelaskan bahwa anak-anak harus mendapat penghormatan khusus dan harus dilindungi dari setiap bentuk serangan. Dalam hal ini pihak yang terlibat dalam sengketa harus memberikan bantuan kepada mereka perhatian dan bantuan yang mereka perlukan.

Dalam menyikapi keterlibatan anak dalam perekrutan anggota untuk permusuhan, pihak yang bersengketa harus mengambil tindakan agar anak yang belum mencapai usia 15 (lima belas) tahun tidak ambil bagian langsung dalam peperangan. Dalam hal pelatihan, anak-anak yang telah memasuki usia 15 (lima belas) tahun tetapi belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun, maka pihak-pihak dalam sengketa harus mengutamakan kepada umur yang tertua.43

Apabila ada anak-anak yang belum mencapai usia 15 (lima belas) tahun ikut dalam bagian permusuhan langsung dan jatuh ke ‘tangan’ lawan, maka anak-anak itu harus memperoleh perlindungan istimewa. Apabila ditangkap, ditahan atau diasingkan karena alasan tertentu, anak-anak tersebut harus ditempatkan di markas yang terpisah dari orang dewasa. Untuk pemberian hukuman mati dalam konflik bersenjata, hal ini tidak berlaku bagi anak-anak saat pelanggaran usia dilakukan (Pasal 77 Ayat (3), (4) dan (5) protokol I Konvensi Jenewa.

C. Hak-hak Penduduk Sipil dalam Konflik Bersenjata Internasional

Ketika konflik bersenjata muncul, penduduk sipil kerap kali timbul sebagai bagian yang menderita kerugian. Hak-hak azasi yang melekat pada penduduk sipil sering terlanggar dan terabaikan. Pelanggaran tersebut dapat

43

Pasal 77 Ayat (2) protokol 1 Konvensi Jenewa terhadap penduduk sipil dengan cara menjadikannya sebagai tameng dalam konflik bersenjata, melakukan propaganda atau tekanan-tekanan masyarakat sipil, melibatkan penduduk sipil


(22)

berbentuk segala macam hal, seperti pemanfaatan sebagai tameng dan pemanfaatan ikut dalam permusuhan dengan dasar propaganda dan tekanan.

Dalam konflik bersenjata antara negara seperti Israel dengan Palestina, terjadi pelanggaran yang dilakukan Israel terhadap penduduk sipil di Palestina. Pelanggaran yang dilakukan tentara Israel terhadap masyarakat sipil Palestina seperti : melakukan pemanfaatan dalam konflik bersenjata, memanfaatkan penduduk sipil sebagai alat untuk kepentingan tentara Israel dalam konflik bersenjata.

Pelanggaran yang telah dilakukan oleh Israel tersebut merupakan suatu hal yang dilarang dalam Konvensi Jenewa. Dijelaskan dalam Pasal 27 Ayat (1). Konvensi Jenewa IV menegaskan bahwa orang-orang harus diperlakukan dengan perikemanusiaan dan harus dilindungi secara khusus terhadap segala tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan dan penghinaan. Berdasarkan Pasal tersebut jelas bahwa penduduk sipil harus dilindungi saat konflik bersenjata berlangsung.

Hak-hak penduduk sipil dalam konflik bersenjata internasional dikemukakan dalam Additional protocol of the Genewa Convention of 12 August 1949 and Relating to the Protection of Victims of International Armed Conflicts.

Pasal 13 menyatakan segala bentuk perlindungan sipil, yaitu :44 1. Sipil berhak untuk memperoleh perlindungan umum.

2. Sipil tidak boleh menjadi sasaran peperangan.

3. Sipil dapat diungsikan bila dimungkinkan, ketika konflik bersenjata semakin bergejolak dan dikhawatirkan akan memakan korban jiwa pada penduduk sipil.

Pada protokol tambahan I tersebut tampak jelas bahwa penduduk sipil berhak untuk dilindungan. Maka, segala bentuk pemanfaatan kemiliteran terhadap penduduk sipil tidak diperkenankan.

44


(23)

Pada Pasal 28 Konvensi Jenewa IV menyatakan bahwa yang dilindungi tidak boleh digunakan untuk menyatakan sasaran tertentu kebal dari operasi militer. Pada dasarnya sipil merupakan pihak yang paling dilindungi dan kebal dari sasaran militer, oleh sebab itu terkadang sipil digunakan sebagai suatu alat demi keuntungan militer semata.

Penduduk sipil berhak atas perlindungan dibawah Konvensi Jenewa IV, perlindungan tersebut menitik beratkan pada perlindungan sipil pada wilayah yang diduduki berhak atas suatu hak azasi terkait dengan hak atas rasa aman. Penduduk sipil berhak atas perlindungan dibawah naungan Konvensi Jenewa dan bebas dari segala rasa takut. Pasal 51 Konvensi Jenewa IV menyatakan bahwa pendudukan terhadap suatu wilayah tetap tidak membenarkan tindakan propaganda atau tekanan-tekanan yang bertujuan untuk memperoleh tenaga militer sukarela.

Anak-anak dalam konflik bersenjata harus dipenuhi hak-haknya, seperti yang diatur dalam protokol II Konvensi Jenewa, antara lain :

1. Dalam bidang pendidikan, agama dan kesusilaan harus sesuai dengan keinginan atau paham orang tua mereka. Dalam hal ini jika anak tersebut yatim piatu. Maka tanggung jawab akan hal tersebut dilimpahkan kepada wali mereka.

2. Jika anak-anak dalam keadaan terpisah dari keluarganya, maka harus diambil langkah agar mereka bisa bersatu kembali.

3. Anak-anak yang belum mencapai usia 15 tahun tidak boleh direkrut untuk terlibat dalam permusuhan langsung.

4. Walaupun anak-anak tersebut ikut dalam permusuhan langsung, maka mereka akan diberikan perlindungan yang istimewa.

5. Memindahkan anak-anak sementara waktu dari daerah permusuhan yang sedang berlangsung diwilayahnya ke daerah yang lebih aman dan memberikan jaminan akan dilindungi oleh orang-orang yang bertanggung jawab atas keamanan dan kesejahteraan mereka.


(24)

BAB IV

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK PADA KONFLIK BERSENJATA YANG TERJADI DI BERBAGAI BELAHAN DUNIA

A. Berbagai Kasus Konflik Bersenjata yang Melibatkan Anak-anak dan

Bentuk Pelanggarannya

I. Praktik perekrutan tentara anak di Negara situasi konflik bersenjata

di Kolombia

a. Konflik bersenjata di Kolombia

Selama beberapa dekade Kolombia telah dilanda oleh konflik bersenjata internal yang berakar pada sejarah kompleks ketidaksetaraan sosial ekonomi, korupsi politik, budaya kekerasan, obat-obatan, dan terang-terangan mengabaikan norma hukum internasional. Konflik telah melanda negara itu, jutaan pengungsi, dan secara efektif menempatkan mayoritas penduduk sipil di tengah-tengah kekerasan yang mengerikan dan bentrokan antara berbagai kelompok bersenjata.45

Di Kolombia, pemerintah telah berusaha untuk menangani pasukan pemberontak dengan menggunakan pasukan militernya sendiri dan bantuan dari kelompok-kelompok paramiliter. Meskipun kelompok-kelompok bersenjata ilegal telah melemah dan kebijakan telah ditujukan untuk mengatasi hak-hak korban dan membangun akuntabilitas, beberapa kebijakan telah terbukti tidak efisien dan tidak adil. Selama lebih dari satu abad, kekuasaan memerintah di Kolombia telah dibagi antara dua partai politik, Partai Konservatif (Partido Conservador Colombiano, atau PCC) dan Liberal (Partido Liberal Colombiano, atau PL), sepanjang abad kedua puluh, persaingan ketat antara

45

Bouvier, Virginia Marie, Colombia: Building Peace in a Time of War (Washington,


(25)

pihak diperburuk oleh ketimpangan sosial dan ekonomi yang luas, dan sering menyebabkan kekerasan.46

Dari tahun 1949 sampai 1958, di tengah-tengah kerusuhan internal sedang meluas, perang saudara pengikut muncul dan diperkirakan merenggut nyawa sekitar 280.000 jiwa.47La Violencia menandai awal dari konflik kekerasan bersenjata internal yang telah berlangsung selama lebih dari setengah abad.48 Kelompok gerilya sayap kiri muncul pada pertengahan tahun 1960 sebagai reaksi terhadap faktor-faktor seperti pengecualian gerakan politik luar dari Front Nasional, terpinggirkannya masyarakat miskin, pengaruh ideologi komunis dan sosialis, dan ketidakefektifan sistem peradilan.49

The Fuerzas Armadas Revolucionarias de Colombia (Angkatan Bersenjata Revolusioner Kolombia, atau FARC) berawal di La Violencia dan sebagian terdiri dari asosiasi lepas dari kelompok petani, tetapi kemudian semakin meningkat karena pengaruh Komunis partai dan kemudian mereka menyatakan dirinya sebagai tentara revolusioner pada tahun 1964. Dengan keberadaan yang kuat di seluruh Kolombia, FARC dianggap sebagai kelompok gerilyawan paling kuat di dalam konflik tersebut.

The National Liberation Army (ELN) yang berarti Tentara Pembebasan Nasional adalah kelompok gerilyawan yang memiliki akar di La Violencia dan terus menjadi salah satu pihak utama dalam konflik.50Pasukan gerilya telah memperluas kekuatan mereka selama konflik: FARC diperkirakan meningkatkan 3.600 kombatan pada tahun 1986 dan pada tahun 1996 menjadi 16.500 kombatan, sedangkan ELN diperkirakan sekitar 800 kombatan pada tahun 1986 dan pada tahun 2001 menjadi 4.500.51

46

http://www. europaworld.com.offcampus.lib.washington.edu/entry/co, “Colombia:

Recent History,” Europa World Plus, Routledge Taylor and Francis Group, diakses pada tanggal Desember 2015 Pukul 03.20 WIB

47

Ibid

48

Bouvier, Virginia Marie. Op.cit hlm. 9

49

http://portal.eiu.com. Colombia: Country Profile – September 2008 Main Report,”

Economist Intelligence Unit”, diakses pada tanggal Desember 2015 Pukul 03.30 WIB 50

Ibid, hlm. 161 51


(26)

Sekitar tahun 1980, pasukan paramiliter diciptakan oleh militer dengan bantuan AS, meskipun mereka diciptakan untuk memerangi revolusioner, paramiliter tak lama kemudian terlibat dalam perdagangan narkoba dan meneror warga negara Kolombia. Penculikan, eksekusi, dan kekerasan bersenjata terhadap warga sipil menjadi karakteristik kehidupan sehari-hari di kota-kota dan daerah pedesaan Kolombia, dan ini memaksa upaya yang lebih besar untuk memenuhi tuntutan kaum revolusioner, sehingga merusak kekuasaan negara. Dengan peradilan yang tidak efisien dan pergeseran budidaya, kokain dari Bolivia dan Peru masuk ke Kolombia pada pertengahan tahun 1980, budidaya obat juga mulai makmur di Kolombia. Kekayaan yang dihasilkan dari kartel narkoba memicu kekerasan dan korupsi dan memperkuat gerilya dan aktivitas paramiliter.

Konflik bersenjata internal di Kolombia terbentuk oleh sejarah yang rumit. Selama beberapa dekade konflik ini telah menyebabkan kekerasan, pelanggaran hak asasi manusia besar-besaran, dan pelanggaran hukum kemanusiaan internasional oleh semua pihak yang terlibat dalam konflik.

Penyebab Konflik

Ada beberapa faktor kompleks yang telah memberi kontribusi pada perang sipil Kolombia. Faktor-faktor ini tidak hanya mewakili akar penyebab dari konflik, tetapi juga memberikan kekuatan yang memungkinkan untuk memberi kelanjutan dari perang dan eskalasi kekerasan yang menjadi ciri evolusinya berupa kekurangan dan ketimpangan struktural Meskipun penduduk perkotaan di Kolombia merupakan mayoritas dari total penduduk di Kolombia, tetapi akar sejarah kekerasan politik di Kolombia berasal dari pedesaan. Kekerasan meningkat di pedesaan, masuknya para pengungsi ke masyarakat setempat juga menyebabkan kekerasan meluas.52

52

Caroline O.N. Moser and Cathy McIlwaine, Encounters with Violence in Latin

America: Urban Poor Perceptions from Colombia and Guatemala, New York: Routledge 2004, hlm. 71


(27)

Akar kekerasan di Kolombia terletak pada ketidaksetaraan ekonomi terkait dengan kemiskinan, pengangguran, dan kurangnya pendidikan.53 Meskipun tingkat pertumbuhan masyarakat di Kolombia meningkat di tahun 1980 dan 1990, pada tahun 2001 52% dari penduduk Kolombia hidup dalam kemiskinan, 20% pengangguran, 63% dari petani tidak memiliki tanah, dan pengedar narkoba memiliki setengah lahan produktif di Kolombia.54 Konflik ini memiliki dampak signifikan , dan berkontribusi terhadap ketidakamanan penduduk dan menyoroti kekurangan lembaga negara.

Sejarah kelemahan negara Kolombia berasal dari kekurangan kelembagaan. negara tidak efisien dalam pengumpulan pajak dan Kolombia memiliki basis sumber daya yang sangat lemah. Karena kurangnya sumber daya, jumlah militer Kolombia sedikit dan lemah. Sebagai hasil dari kurangnya pelatihan dan organisasi, militer tidak mampu untuk menegaskan dirinya dalam wilayah yang dikuasai oleh gerilyawan, dan mengandalkan pasukan paramiliter untuk berurusan dengan pasukan pemberontak. Sebagai akibatnya, pemberontak Kolombia telah mampu mengkonsolidasikan kegiatan mereka di daerah-daerah lemah di Kolombia, di daerah-daerah yang dimana budidaya obat terlarang adalah hal yang lazim.

Bentuk pelanggaran terhadap anak pada konflik bersenjata di Kolombia Perekrutan Tentara Anak di Kolombia

Sebagian besar pelaku yang terlibat dalam konflik Kolombia telah menandatangani perjanjian dimana mereka telah berkomitmen untuk tidak menggunakan anak-anak dalam tentara mereka. Tetapi kenyataannya menunjukkan bahwa perjanjian itu belum terpenuhi. Banyak bukti-bukti yang menunjukkan bahwa kelompok bersenjata seperti FARC-EP bergerak lebih dalam ke hutan dan perbatasan, mereka merekrut lebih banyak anak-anak dari suku-suku asli di Kolombia.55

53

Ibid, hlm. 88 54

William Avilés, “Institutions, Military Policy, and Human Rights in Colombia,” Latin

American Perspectives 28, no. 1 2001 ,hlm. 36-37 55


(28)

Pasukan pemberontak telah merekrut dan memaksa untuk melibatkan anak-anak dalam konflik yang bertentangan dengan UNCRC dan Protokol Opsional pada anak-anak dalam konflik bersenjata. Anak-anak telah diculik dari rumah mereka pada malam hari atau dari sekolah atau dilapangan pada siang hari.

Penting untuk menyadari bahwa kurangnya pencatatan kelahiran yang akurat, terutama di daerah pedesaan di Kolombia membuat anak di bawah usia delapan belas tahun beresiko tinggi lahir tanpa akte kelahiran, dengan demikian dapat lebih mudah dipaksa untuk bergabung dengan angkatan bersenjata. Selain itu, anak lebih mudah dibujuk daripada orang dewasa. Hal ini yang membuat mereka merupakan target yang lebih mudah, dan kemudian anak-anak dituntun untuk menjadi pejuang yang sangat baik.56 Banyak anak-anak tidak menyadari betapa berbahayanya berjuang dalam perang. Mereka sering kurang takut terluka dibandingkan tentara dewasa, dan mereka cenderung tidak bersembunyi atau melarikan diri. Para kelompok bersenjata tahu ini, dan oleh karena itu mereka bahagia memiliki tentara anak di tentara mereka. Tentara anak juga kadang-kadan harus memimpin ketika pasukan menyerang atau mengatur penyergapan dan mereka yang pertama menerima peluru sehingga tentara lainnya dapat bertahan hidup.57Tetapi tentara anak juga tidak selalu harus berada di garis depan pertempuran yang dianggap sebagai tentara anak. Setiap situasi yang menempatkan anak dalam risiko untuk kepentingan kelompok bersenjata atau anak yang terlibat dalam tenaga kerja untuk kelompok bersenjata dianggap sebagai tentara anak. Ini termasuk utusan, mata-mata, juru masak, budak seks dan mengirimkan pesan, karena musuh tidak mungkin menduga mereka adalah tentara, atau anak-anak dapat digunakan untuk membersihkan ranjau darat karena mereka lebih dikorbankan daripada tentara yang mmpunyai peringkat yang lebih tinggi.58

56

http://www.hrw.org/reports/2003/colombia0903/18.htm , diakses pada tanggal Desember 2015 pukul 18.09 WIB

57

Alex McDougall, Op.cit, hlm. 124

58


(29)

Perekrutan Anak menggunakan Obat-obatan

Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi perekrutan anak menjadi kelompok bersenjata, banyak anak-anak yang bergabung untuk mendapatkan uang, sebagai alasan untuk tetap hidup, atau kekuatan. Penghargaan berupa uang terdiri dari upah, kesempatan untuk menjarah, dan manfaat berwujud lainnya seperti alkohol dan obat-obatan terlarang. Penghargaan non-materil dipecah menjadi penghargaan yang fungsional dan mempunyai solidaritas yang berfokus pada persahabatan yang muncul dalam kelompok. Ketika kekuatan yang terlibat, baik insentif non-materil dan ekonomi dapat diterapkan untuk menjaga anak-anak sehingga ingin tetap dalam kelompok.59

Banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah Kolombia untuk membangun kembali masa depan anak-anak yang telah direkrut menjadi tentara anak, tetapi upaya ini terhambat oleh masalah penyalahgunaan narkoba di kalangan tentara anak, banyak dari mereka yang diculik oleh FARC dan di berikan obat-obatan untuk melupakan situasi-situasi yang sulit dan menjauhkan pikiran mereka tentang rumah dan kehidupan mereka sebelumnya. Setelah mereka di culik, para pasukan misili melatih mereka untuk benar-benar terpisah dari kehidupan lampau mereka. Banyak anak mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa ketika mereka diculik, komandan memerintahkan mereka untuk melupakan tentang kehidupan lama mereka dan melupakan orangtua mereka. Setelah mereka melupakan keluarganya, mereka tahu bahwa ia memiliki tempat untuk menjalankan tugas sebagai tentara dan mengakui angkatan bersenjata sebagai keluarga satu-satunya.

Orang-orang dewasa dalam kelompok menyediakan obat dan alkohol kepada anak-anak untuk tetap berada di dalam kelompok mereka dan membuat dan membuat anak-anak kurang menyadari bahaya saat berperang. Selain rokok, mereka juga diberi ganja dan obat-obatan lainnya yang terbuat dari campuran kopi, bumbu dan daun pepaya. Hal ini banyak membuat tentara anak

59

Ingunn Bjørkhaug, ”Child Soldiers in Colombia: The Recruitment of Children into

Non-state Violent Armed Groups”, MICROCON Research Working Paper 27, Brighton: MICROCON, June 2010, hlm. 320


(30)

mengkonsumsi minuman beralkohol, merokok, dan mengkonsumsi obat-obatan secara teratur. Dengan mengkonsumsi obat, tentara anak menyadari bahwa obat dapat membuat mereka kehilangan tidak mampu menilai yang mana yang benar dan yang mana yang salah.

Tentara anak diberi pelatihan khusus untuk menghilangkan rasa takut pada saat berperang, tetapi pelatihan sederhana ini tidak efektif, apalagi pelatihan ini diberikan dalam jangka pendek. Inilah sebabnya mengapa banyak anak-anak diberi obat-obatan seperti kokain, ganja, mariyuana. Karena dengan diberikan obat-obtan tersebut ana-anak dapat menenangkan pikiran mereka dan membuat mereka lebih patuh dan untuk mematikan atau memadamkan perasaan negatif yang mungkin mereka miliki tentang tindakan mereka.

Penggunaan obat-obatan ini sangat umum di banyak konflik dan obat pilihan yang digunakan dalam kasus Kolombia adalah "Aguardiente" atau "Basuco", merupakan obat-obatan yang tingkatannya paling rendah. Kemudian obat-obatan ini diisap menggunakan pipa dan efeknya sangat adiktif. Hal ini digunakan untuk mendominasi dan menghancurkan hati nurani anak-anak sehingga mereka dapat diperintahkan untuk melakukan segala jenis tindakan.

Tidak mengherankan, setelah periode singkat dari penggunaan narkoba paksa, tentara anak banyak menjadi kecanduan zat tersebut. Hal ini membuat mereka lebih mudah marah dan dengan demikian lebih mungkin untuk menyerang lebih keras pada saat pertempuran berlangsung. Disamping itu tentara anak akan melakukan apa saja untuk memperoleh uang dan mengobati rasa kecanduan terhadap obat-obatan tersebut.

Perekrutan Anak Laki-laki Sebagai Tentara Anak

Seperti telah di katakan sebelumnya, banyak anak-anak yang berpartisipasi langsung dibagian depan suatu pertempuran atau terlibat dalam tugas-tugas logistik seperti memata-matai, pembawa pesan atau budak seks. Usia rata-rata perekrutan adalah 12 tahun. Hal ini karena ketika anak-anak teruta anak lelaki pada usia ini lebih mudah untuk terpengaruh dan mudah tertarik oleh seragam. Bergabung dengan kelompok bersenjata memungkinkan


(31)

mereka untuk mendapatkan semacam perlindungan dan keamanan, bahkan untuk memperoleh makanan sehari-hari.

Para kelompok bersenjata sering membuat janji yang terdengar baik untuk anak-anak dan mengatakan kepada mereka, misalnya, bahwa mereka akan dibayar dengan upah yang baik. Telah dilaporkan bahwa tentara anak memang kadang-kadang dibayar upah, tapi setelah itu mereka harus berjuang untuk sesauty yang mereka tidak paham. Banyak kelompok bersenjata juga mencoba untuk memenangkan hati anak-anak dengan mengatakan bahwa betapa hebatnya untuk menjadi pejuang, dan apabila kelompok mereka menang dalam perang, situasi di Kolombia akan membaik.

Alasan lain mengapa anak-anak bergabung dengan kelompok-kelompok bersenjata adlaah untuk membalas dendam, dengan tujuan membunuh pembunuh ibu atau ayah mereka. Perasaan benci mereka terhadap perampokan dan teror di kota dapat digunakan dalam perekrutan anak sebagai tentara. Sebuah modus baru dari perekrutan anak yaitu anak-anak berumur sembilan tahun di culik dan dibesarkan oleh kelompok bersenjata, para kelompok bersenjata berfikir bahwa dengan strategi seperti itu dapat menciptakan keterikatan yang erat dengan kelompok bersenjata tersebut.

Anak-anak yang berpartisipasi dalam konflik bersenjata sering mati atau terluka dalam pertempuran. Jika tidak, maka mereka dipaksa untuk melakukan tugas-tugas berbahaya seperti menyiapkan ranjau darat, dan bahan peledak. Laki-laki maupun perempuan dalam perang hidup dalam kondisi menyedihkan, di berikan makanan dan tidak mempunyai akses layanan kesehatan. Dalam kebanyakan kasus mereka diperlakukan dengan kejam, mereka dipukuli dan dihina agar mereka berusaha keras untuk mendapatkan rasa hormat dari pemimpin. Apabila mereka melakukan kesalahan, hukuman yang datang sangat kasar atau bahkan mengancam nyawa mereka.

Keputusan berpartisipasi dalam konflik bersenjata seringkali ditentukan oleh, struktur sosial ekonomi serta struktur masyarakat dan keluarga yang telah hancur akbat situasi konflik bersenjata. Seperti yang dikatakan sebelumnya, pada saat seperti ini satu-satunya cara untuk bertahan hidup bagi anak-anak


(32)

yaitu bergabung dalam jajaran angkatan bersenjata. Kemiskinan dan kurangnya akses ke pendidikan atau lapangan kerja merupakan faktor paling utama yang memungkinkan banyak pemuda untuk bergabung kedalam angkatan bersenjata. Menurut Presiden Uribe, anak afro Kolombia dan masyarakat adat adalah korban utama dari perekrutan karena mereka berada langsung di bidang kepentingan kelompok bersenjata. Cara utama dimana anak-anak dibawa ke dalam konflik adalah dengan mempekerjakan mereka di perkebunan Cocaine yang secara langsung terkait dengan konflik. Untuk menjaga konflik tetap hidup, anak-anak yang bekerja di perkebunan mereka dilatih secara militer sebagai imbalan atas kerja keras mereka dan "naik" di tangga militer ke posisi prajurit. Selain itu meluasnya senjata kecil dan senjata ringan di masyarakat Kolombia dan khususnya di daerah-daerah konflik tetap menjadi faktor penting yang memungkinkan untuk perekrutan anak sebagai tentara. Senjata-senjata ini murah, selain itu mudah dibawa dan mudah digunakan, bahkan kadang-kadang senjata-senjata ini disubsidi oleh kelompok-kelompok bersenjata. Oleh karena itu mereka dapat memberikan kepada anak-anak dan mengajarkan bagaimana cara menggunakannya.

Perekrutan Anak Perempuan Sebagai Tentara Anak Gadis-gadis tidak mencari cara untuk membalas membalas dendam dan membawa kerugian bagi mereka yang telah digunakan oleh kelompok bersenjata. Mereka hanya mencari cara untuk memberikan kontribusi, untuk melakukan sesuatu yang berarti yang produktif dengan kehidupan mereka. Sementara yang biasa terlihat adalah anak laki-laki memegang dari AK-47, kita tidak boleh melupakan semua gadis-gadis yang berada di belakang garis dan di kamp mereka juga bisa dikatakan tentara, mereka memasak atau melakukan tugas dengan menjadi budak sex.

Di Kolombia, pemimpin kelompok bersenjata memiliki perempuan sebagai pasangan mereka, mereka diperkosa dan dijadikan budak rumah tangga. Selain itu perempuan di jadikan budak seksual, pelacuran paksa serta bentuk-bentuk dari kebrutalan lainnya. Ketika gadis bergabung dengan kelompok-kelompok bersenjata dan menderita pelanggaran tersebut, mereka sering ditolak setelah mereka kembali ke desa asal mereka. Hal ini membuat proses penyatuan


(33)

kembali sangat sulit. Hidup sebagai tentara anak untuk seorang gadis sangatlah berat, mereka diberikan suntikan kontrasepsi secara rutin, semua kehamilan adalah kesalahan dari gadis itu. Gadis itu bertanggung jawab dan dipaksa untuk mengakhiri kehamilannya dengan melakukan aborsi. Gadis-gadis mengakui bahwa hidup mereka akan lebih mudah jika mereka mempunyai hubungan mitra dengan komandan.

Human Rights Watch mengatakan, kelompok bersenjata Kolombia adalah salah satu pelanggar terburuk norma-norma internasional terhadap perekrutan dan penggunaan tentara anak. Praktek-praktek yang mengerikan ini menyebabkan kerusakan serius bagi anak-anak Kolombia, dan juga bagi masyarakat Kolombia secara keseluruhan. Sekitar 80 persen dari tentara anak-anak di Kolombia milik salah satu dari dua kelompok gerilya sayap kiri, Angkatan Bersenjata Revolusioner Kolombia (FARC) dan Tentara Pembebasan Nasional (ELN), sementara sisanya terlibat perang di tengah kelompok-kelompok paramiliter.

Menurut perkiraan Human Rights Watch, FARC memiliki mayoritas petempur anak di Kolombia. Tentara anak-anak senantiasa menghadapi berbagai masalah. Gangguan psikologis dan mental anak-anak dalam perang, hanya bagian kecil dari penderitaan yang harus dipikul oleh mereka. Mereka juga menghadapi berbagai masalah sosial di tengah masyarakat. Anak-anak telah kehilangan keluarga mereka dan putus sekolah, serta tidak memiliki akses ke sarana pelayanan kesehatan dan medis. Mereka terisolasi dan sebagian besar waktunya terbuang sia-sia di medang perang. Anak-anak biasanya tidak akan lari dari medan perang, karena mereka akan dibunuh.

II. Penggunaan tentara anak di Uganda

a. Konflik bersenjata di Uganda

Uganda telah mengalami masa penuh gejolak dan kekerasan. Negara ini terdiri dari berbagai suku yang memiliki beragam bahasa dan budaya tradisi. Selama pemerintahan kolonial Inggris, pemerintah kolonial sering memberi posisi pegawai negeri atas suku Buganda dari bagian tengah dan selatan negara itu, dan yang kerajaan dipusatkan di Kampala, ibukota resmi dari negara. Suku


(34)

lain cenderung terpinggirkan termasuk Acholi dan Lango dari utara, yang menemukan cara mereka hanya untuk mendapatkan kekuasaan melalui militer. Pada tahun 1962, Uganda merdeka dari penjajahan Inggris dan Milton Obote, pemimpin Partai Kongres Rakyat Uganda menjadi Perdana Menteri pertama. Raja suku Buganda diangkat Presiden.60Tak lama kemudian, Obote memerintahkan pasukan militernya, melalui Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Idi Amin, untuk menghilangkan lawan politik, termasuk Raja.61 Sementara Raja pergi ke pengasingan di Inggris, Obote mengangkat dirinya sendiri Presiden dan memerintahkan Jaksa Agung nya menulis ulang konstitusi untuk mengkonsolidasikan hampir semua kekuatan politik di tangan Presiden.62

Pada tahun 1971, ketika Obote menghadiri pertemuan di Asia, Jenderal Amin melakukan kudeta dan menggulingkan pemerintah. Selama delapan tahun memerintah , "pemerintahan teror" Amin menghancurkan infrastruktur negara, diperkirakan 400.000 orang Uganda kehilangan nyawa, khususnya adalah Acholi dan Lango.63Kemudian Amin memulai perang dengan Tanzania dalam menggalang dukungan rakyat dan merupakan upaya untuk membangun kepercayaan diri para tentara. Namun, Tanzania akhirnya menguasai pasukan Amin, dan ia diusir dari kekuasaan pada 1979. Kemudian pasukan Tanzania menjarah negara, menciptakan gelombang kekacauan lainnya dalam negara yang sudah hancur tersebut.64


Setelah pergantian kekuasaan gagal pada tahun 1979 dan 1980, Obote kembali mengambil kekuasaaan. Dibawah pemerintahan Obote ini Uganda terus megalami perpecahan.65Pada tahun 1985, Obote digulingkan oleh Tito

60

Government of Uganda, The History of Uganda, di

http://www.government.go.ug/static/history.html. 61

Ibid

62

http://www.enteruganda.com/about/history.php. 63

Government of Uganda, supra note 11

64“Uganda,” The Columbia Encyclopedia, Sixth Edition , 2001 65


(35)

Okello.66 Namun, ada pemberontak lainnya yaitu Yoweri Museveni, yang memimpin tentara gerilya yang dikenal sebagai National Resistance Army

(NRA) dan Museveni berjuang melawan pasukan Okello sampai 1986 ketika mereka menguasai ibukota negara, Kampala. Museveni mendapat dukungan dari sebagian besar wilayah selatan Uganda, tapi memiliki banyak lawan di wilayah utara; perlawanan ini masih berlangsung hingga saat ini.

Di bawah pemerintahan Museveni, Uganda telah menjadi salah satu negara yang lebih stabil di Afrika Timur, tetapi pembangunan ekonomi masih terpusat di daerah selatan dan tengah negara itu. Wilayah utara berbatasan Sudan terus berkembang. Setelah Museveni berkuasa pada tahun 1986, banyak tentara Okello ini melarikan diri ke utara dan membentuk Tentara Demokrat. Beberapa kelompok Rakyat Uganda memisahkan diri dari UPDA, termasuk

Lord’s Resistance Army (LRA), yang dipimpin oleh Joseph Kony. LRA adalah gerakan untuk menggulingkan pemerintah Museveni, dan gerakan ini menarik anggota dari umat Kristiani. Pemerintah Sudan mendukung LRA, seperti Uganda didukung pasukan gerilya menyerang Sudan. Untuk sebagian besar tahun 1990-an, LRA berbasis di Sudan, bertualang melintasi perbatasan mengakibatkan malapetaka dan menghancurkan kehidupan di Uganda Utara.

Akibatnya, tiga dari kabupaten yang terdiri Uganda Utara - Gulu, Kitgum, dan Pader (secara kolektif dikenal sebagai tanah Acholi-) - berada dalam keadaan putus asa hingga hari ini. "Karena lamanya konflik bersenjata, hari ini infrastruktur di Uganda Utara, hampir hancur, seperti ekonomi, pusat perdagangan, produksi pertanian, dan kawanan ternak." Bahkan anak-anak yang belum diculik atau direkrut oleh LRA menderita dampak konflik jangka panjang.

Namun, pada tahun 1999 Sudan dan Uganda saling sepakat untuk berhenti mendukung kelompok pemberontak. Sudan memungkinkan pasukan Uganda untuk masuk Sudan Selatan dan menghancurkan basis LRA. Operasi militer ini dikenal sebagai "Operasi Iron Fist." Salah satu justifikasi operasi

66

BBC News, Timeline: Uganda, di


(36)

adalah untuk menyelamatkan ribuan anak Uganda yang diculik. "Sejak awal operasi, setidaknya 2.000 anak-anak telah diambil, ditangkap atau telah berhasil melarikan diri sendiri. Selama periode yang sama Namun, 5.000 lebih anak-anak diculik-lebih daripada di tahun sebelumnya.

Infrastruktur darah telah mengalami banyak kerusakan dari Operasi Iron Fist. Dengan kekuatannya, LRA sekarang beroperasi dari Uganda Utara, warga sipil yang telah dipaksa masuk ke kamp-kamp militer Uganda, yang seharusnya untuk perlindungan mereka sendiri, sekarang tidak bisa keluar dari kamp karena takut mereka menjadi korban. Anak – anak yang tinggal di kamp atau di desa-desa sering bepergian ke bangunan "aman" di kota-kota besar setiap malam – karena jika mereka tinggal di desa-desa mereka, mereka kemungkinan besar akan diculik oleh LRA. Ada beberapa kali kegagalan di perjanjian damai antara pasukan Uganda dan LRA, yang bahkan lebih sulit lagi karena kurangnya sarana formal komunikasi antara komandan LRA dan Uganda military.67

b. Bentuk pelanggaran terhadap anak pada konflik bersenjata di

Uganda

Sejak pembentukannya pada tahun 1987, LRA telah melakukan banyak pelanggaran HAM yang mengerikan terhadap anak. Menurut Human Rights Watch, perkiraan konservatif dari jumlah anak diculik oleh LRA sejak tahun 1986 sekitar 20,000. UNICEF melaporkan kepada Human Rights Watch bahwa 4.500 anak diculik pada tahun 2002 saja.

Selain itu, ada laporan dari pasukan militer Uganda merekrut anak-anak. Anak-anak sering direkrut untuk bergabung Unit Pertahanan lokal yang menjaga desa atau camps. Namun dalam kenyataannya, setelah direkrut anak-anak ini sering pergi untuk melawan LRA. Sementara pejabat Uganda mengklaim bahwa mereka tidak merekrut anak-anak, mereka mengakui bahwa ada anak di bawah 18 yang bertugas sebagai Tentara.68 Pejabat ini mengklaim bahwa mereka tidak dapat menentukan umur resmi setiap anak karena

67

STOLEN CHILDREN, supra note 30, hlm. 5. 68

A.E. Mbaine, “Yes We Have Some Soldiers Below 18 Years in our Battalions”: Sebuah Wawancara Dengan Juru Bicara Militer Mayor Shaban Bantariza, 9 Maret 2003


(37)

kurangnya catatan kelahiran yang tepat dalam negeri, dan banyak anak-anak berbohong tentang usia mereka karena mereka ingin mendapatkan keamanan ekonomi relatif dari posisi yang dibayar di angkatan bersenjata.

Sebanyak 20 hingga 30 persen anak perempuan dari tentara anak-anak direkrut dan diculik di Uganda Utara. Mereka yang diculik oleh LRA menghadapi ancaman bervariasi, sering di belakang garis depan konflik. Namun, beberapa dipaksa untuk melawan pasukan militer Uganda untuk membantu dalam penculikan anak-anak lain. Gadis-gadis muda yang sering digunakan sebagai pembantu oleh LRA dikenal sebagai ting ting (pegawai), gadis-gadis ini dipaksa untuk bekerja dalam kapasitas domestik berat selama berjam-jam setiap hari.

Brenda O., seorang tentara anak perempuan, dilaporkan Human Rights Watch: Komandan memperlakukan saya dengan sangat buruk. Ia akan memerintahkan tentara muda untuk mengalahkan saya dan dua ting ting lain. Komandan akan memanggil kita untuk datang dan berbaring. Dia akan mengatakan, 'Apakah Anda tahu mengapa saya mengalahkan Anda? "Kami tidak tahu, sehingga para prajurit dicambuk mencambuk kami sebanyak lima puluh kali. Hal ini terjadi setiap hari. Mereka mencambuk kami di bokong, tetapi jika Anda menangis, mereka akan mencambuk setiap bagian tubuh kamu hingga tidak terhitung jumlahnya.

Setelah gadis mencapai umur empat belas atau lima belas tahun, banyak yang dipaksa untuk melayani sebagai "istri" dari komandan LRA, di mana mereka menghadapi ancaman perkosaan, penyakit menular seksual, dan kehamilan yang tidak diinginkan. Beberapa gadis telah melaporkan bahwa melayani sebagai "istri" membawa beberapa hak istimewa seperti jam kerja lebih sedikit per hari dan makanan yang lebih baik. Namun, "istri" lainnya melaporkan pelecehan dan eksploitasi seksual yang mengerikan.

Angela P. mengatakan kepada Human Rights Watch, "sebagai seorang istri, saya dipukuli dan mengalami pelecehan seksual. Sebagai ting ting, saya dipukuli dua kali; sebagai istri saya dipukuli berkali-kali hingga aku tidak bisa menghitung ". Dengan satu estimasi, lima puluh persen dari anak-anak


(38)

memasuki pusat rehabilitasi setelah mereka dilepaskan atau telah melarikan diri telah penyakit menular seksual. Perkiraan lain menemukan bahwa hampir 100% dari gadis-gadis yang dikeluarkan atau telah melarikan diri dari LRA telah mengidap penyakit menular seksual. Ada beberapa indikasi bahwa jumlah ini mengalami penurunan signifikan dalam beberapa tahun terakhir sejak anak-anak sekarang cenderung untuk tetap dengan LRA untuk jangka waktu yang luas, sehingga membatasi eksposur mereka terhadap penyakit menular seksual.

Jika ini "istri" cukup beruntung akan dirilis oleh LRA, atau berhasil melarikan diri, mereka menghadapi penghakiman secara budaya yang signifikan dari masyarakat mereka, terutama jika mereka menjadi hamil dan kembali dengan anak-anak. Gadis-gadis atau wanita telah kehilangan "kemurnian" mereka sering ditolak oleh keluarga atau masyarakat mereka.69Amnesty International mengutip sebuah survei tahun 1997 oleh ACORD yang berbicara dengan 36 wanita yang telah diperkosa oleh LRA atau pemerintah prajurit - 30 dari mereka telah ditolak oleh suami atau keluarga mereka. Jika mereka dapat melarikan diri, anak perempuan juga melaporkan bahwa mereka diculik untuk kedua kalinya oleh suami komandan mereka. Akhirnya, prostitusi telah meningkat di Uganda Utara sejak konflik dimulai. Hal ini mungkin fungsi dari perempuan ditolak oleh komunitas mereka setelah diculik oleh tentara dan tidak memiliki cara lain untuk mendukung diri mereka sendiri.

Masalah "kehilangan" kemurnian seksual ini adalah titik yang menuntun ke masalah struktural patriarki lain yang lebih luas dari masyarakat Uganda. Kekuatan yang melekat dalam kepemilikan gadis-anak dan wanita oleh tentara LRA laki-laki adalah bentuk penyimpangan yang ada dalam kehidupan sosial. Laporan pemerintah menjelaskan konteks sosial patriarkal yang lebih luas di Uganda di mana perempuan dan anak perempuan memiliki status lebih rendah dari laki-laki dalam keluarga, masyarakat, dan masyarakat pada umumnya.

69

Amnesty International, ‘Breaking God’s Commands’: the destruction of childhood by the Lord’s Resistance Army 16 (1997), at

http://web.amnesty.org/library/Index/ENGAFR590011997?open &of=ENG-UGA [hereinafter


(39)

Gadis diperlakukan sebagai komoditas oleh tentara. Komandan LRA dihargai untuk pertempuran dan istri berfungsi sebagai tanda kekuasaan dan prestise. Pemimpin LRA, Joseph Kony, diketahui memiliki tiga puluh istri, sementara petugas lain mungkin memiliki empat.

Akhirnya, ketika pasukan LRA menyerang pemukiman atau desa, pemerkosaan adalah senjata yang sering digunakan untuk teror, intimidasi, dan kontrol. Paling sering, bagaimanapun, fungsi seperti bentuk-bentuk penyiksaan dan digunakan sebagai senjata taktis perang untuk mempermalukan dan melemahkan moral musuh yang dirasakan. Selama konflik bersenjata, pemerkosaan digunakan untuk meneror penduduk atau memaksa warga sipil melarikan diri.70

Pemerkosaan digunakan untuk menanamkan teror di penduduk sipil, dan melakukan kontrol atas gadis-gadis diculik dan dipaksa untuk melayani sebagai tentara anak-anak untuk LRA.71

III. Penggunaan tentara anak di Sierra Leone

a. Konflik bersenjata di Sierra Leone

Pada tahun 1930, telah ditemukan suatu deposit berlian dalam jumlah yang besar di bagian Timur Distrik Kono. Berlian ini kemudian menjadi komoditas ekspor terbesar di Sierra Leone, setelah kelapa sawit. Selanjutnya di tahun 1933, di daerah Marampa, Distrik Port Loko, dibangun sebuah pertambangan biji besi, yang kemudian juga mempunyai peran yang signifikan dalam total eksport dari Sierra Leone. Besi dan berlian kemudian mejadi dua komoditas utama yang pada akhirnya sangat berperan dalam meningkatkan perekonomian Sierra Leone.

Sekitar tahun 1951-1961 terjadi peralihan kekuasaan di Sierra Leone, dimana pemerintahan kolonial juga memberikan kursi pemerintahannya kepada

70

Machel, supra note 5, prf. 94.


71

Abigail Leibig, Girl Child Soldiers in Northern Uganda: Do Current Legal Frameworks

Offer Sufficient Protection, 3 Nw. J. Int'l Hum. Rts. 1 (2005).



(40)

beberapa warga Negara Sierra Leone. Hal ini terlihat pada terpilihnya beberapa warga Negara Sierra Leone menjadi menteri pada tahun 1953. Kementrian ini bertugas untuk mengatur pemerintahan dalam negeri, kecuali masalah hubungan luar negeri dan pertahanan. Dalam sususnan kementrian tersebut Sir Milton Margai merupakan salah satu warga Negara Sierra Leone yang ada di dalamnya dan menjabat sebagai Chief Minister.

Seperti yang diketahui , Sierra Leone memperoleh kemerdekaannya dari pemerintah kolonial Inggris pada tahun 1961, dan sejak itu Sierra Leone tetap mewarisi system pemerintahan parlementer, dengan Milton Margai yang merupakan pemimpin partai Sierra Leone People’s Party (SLPP), ditunjuk sebagai presiden. Pada tahun 1964 Milton Margai kemudian meninggal dan posisinya digantikan oleh adiknya Sir Albert Margai, yang memimpin pemerintahan dari tahun 1964 hingga 1967. Pemerintahan Albert Margai, ditandai dengan adanya praktek korupsi dan upaya-upaya otoriter untuk mengonsolidasikan kekuasaan dan juga untuk menyingkirkan pihak oposisi.

Pada pemilihan umum tahun 1967, Gubernur Jenderal Sierra Leone menetapkan Siaka Stevens, yang merupakan pemimpin partai All People’s Congress (APC), sebagai Presiden Sierra Leone berikutnya. Stevens pada awalnya merupakan sekertaris umum Serikat Pekerja Tambang dan pernah bergabung dalam SLPP, kemudian diangkat menjadi Menteri Pertambangan dan Tenaga Kerja, hingga pada akhirnya sesaat sebelum kemerdekaan Sierra Leone, Stevens keluar dan membentuk APC.

Pada masa pemerintahannya di Sierra Leone, terdapat kesenjangan antara kelompok etnik Kreole di Freetiwb yang mendominasi sector politik dan ekonomi di awal periode Kolonial selama 150 tahun dengan kelompok lainnya yang mempunyai tingkat kependudukan yang lebih tinggi dan bersifat less-developed. Selain itu juga terdapat kesenjangan di bidang ekonomi dan politik antara wilah bagian utara Sierra Leone yang didominasi oleh kolompok Temne dan Kriom, dengan wilayah bagian selatan yang didominasi oleh kelompok yang menggunakan Bahasa Mende.


(41)

Selama memimpin, Stevens berhasil mengeksploitasi berlian dengan cara mendekati para penambang gelap dengan membentuk National Diamond Mining Company (NDMC) untuk menasionalisasi SLST (Sierra Leone Selection Trust). Pada pertengahan 1980-an kondisi domestic di Sierra Leone, ditandai dengan adanya tingkat inflasi yang tinggi dan menurunnya kekuasaan pemerintah, tidak tersedianya bahan pangan, meluasnya korupsi dan juga semakin tingginya tingkat pengangguran pada generasi muda, serta meningkatnya gerakan radikalisme dari mahasiswa.

Semakin memburuknya kondisi domestic Sierra Leone tersebut pada akhirnya membuat Stevens pensiun pada 1985, dan ia menunjuk Mayor Jendra Joseph Saidu Momoh menjadi penggantinya. Pada masa pemerintahan Momoh, terdapat kecenderungan meningkatnya jumlah pengangguran sehingga menjadi pemicu timbulnya kekerasan dan kriminalitas, serta penggunaan obat obat terlarang, serta meningkatnya tingkat korupsi yang dilakukan olehnya.

Lemahnya kepemimpinan dari Momoh ini, kemudian di manfaatkan oleh dua pihak oposisi. Pertama, Kopral Fodya yang memimpin pemberontakan melalui Revolutionary United Front (RUF) dan didukung oleh pasukan pemberontak National People Front (NPFL) di Liberia. RUF merupakan sebuah kelompok pemberontak yang berasal dari spillover pemberontakan di negara tetangga Liberia. Pada tahun 1987, terjadi percobaan kudeta terhadap pemerintahan Momoh yang menandai awal dari kejatuhan dari pemerintahannya. Hal ini didukung dari sikap dendam Charles Taylor, warlords / tokoh perang Liberia (menjadi presiden pada tahun 1997), yang diakibatkan oleh ditolaknya tawaran Taylor untuk dapat beroperasi disebelah Timur Sierra Leone dengan iming-iming uang, oleh Momoh. Pada tanggal 23 Maret 1991, RUF menyerang sebelah Timur Leone dari Liberia. Pada saat inilah konflik internal Sierra Leone dimulai. Tujuan RUF melakukan aksi pemberontakan ini adalah untuk mengakhiri kekuasaan rezim APC yang telah berlangsung kurang 24 tahun di Sierra Leone.

Kedua ; Kapten Valentine Strasser yang memimpin kelompok yang terdiri dari para tentara, melakukan aksi kudeta militer. Pada tahun 1992,


(42)

Strasser berhasil menjatuhkan pemerintahan Momoh dan kemudian memerintah negara melalui badan pemerintahan yang baru, the National Provisional Ruling Council (NPRC). Pada masa pemerintahannya, Strasser menyewa EO (Executive Outcomers), perusahaan keamanan tentara bayaran dari Afrika Selatan dengan tujuan untuk membantu tentara pemerintahan Sierra Leone untuk melawan RUF. Namun demikian, Sankoh beserta RUF, terus melawan pemerintahan militer Strasser yang baru. Pada tahun 1996 diadakan pemilihan umum multipartai yang dimenangkan oleh Ahmad Tejan Kabbah yang merupakan pemimpin dari Sierra Leone People’s Party (SLPP), yang kemudian menjadi Presiden Sierra Leone berikutnya.

Pada masa pemerintahannya, Presiden Kabbah menandatangani perjanjian damai Abidjan (Abidjan Peace Accord) dengan pihak RUF pada akhir November 1996. Perjanjian ini menetapkan pembentukan pasukan penjaga perdamaian yang netral, penarikan EO dan penarikan semua pasukan asing dari Sierra Leone. RUF merupakan pihak yang paling mendapatkan keuntungan dari perjanjian ini, karena dalam perjanjian ini, dapat dikatakan bahwa RUF mempunyai posisi yang setara dengan pemerintah Sierra Leone. Selain itu RUF juga tidak dikenai sanksi atas segala aksi kekerasan yang dilakukan selama ini.

b. Bentuk pelanggaran terhadap anak pada konflik bersenjata di

Sierra Leone

Ribuan anak-anak direkrut dan digunakan oleh semua pihak selama konflik Sierra Leone (1993-2002), termasuk Revolutionary United Front (RUF), Angkatan Bersenjata Revolusioner Council (AFRC), dan pro-pemerintah Angkatan Bersenjata Sipil (CDF). Anak-anak sering direkrut paksa, diberi obat dan digunakan untuk melakukan kekejaman. Ribuan perempuan juga direkrut sebagai tentara dan sering mengalami eksploitasi seksual. Banyak anak-anak yang selamat dari serangan desa, sementara yang lain ditemukan meninggal. Mereka digunakan untuk keperluan patroli, menyerang desa-desa, dan menjaga pekerja di bidang berlian. Dalam bukunya A Long Way Go:


(43)

Memoirs of a Chilren Soldier, Ishmael Beah kronik hidupnya selama konflik di Sierra Leone. 72

Situs resmi Human Rights Watch dalam satu laporannya mengatakan bahwa pemberontak di Sierra Leone telah memaksa anak-anak untuk bergabung dengan barisan mereka dan terlibat dalam pertempuran. Direktur Eksekutif dari Divisi Afrika Human Rights Watch, Peter Takirambudde meminta semua pihak dalam konflik di Sierra Leone untuk segera menghentikan penggunaan tentara anak-anak dan untuk membebaskan mereka yang diculik dan anak-anak di bawah usia 18 tahun. Revolutionary United Front (RUF) juga menculik anak-anak untuk memasok logistik pasukan dan peralatan militer, serta memanfaatkan gadis-gadis kecil sebagai pemuas seks.

Takirambudde menuturkan, "Anak-anak menghadapi beberapa pelanggaran paling berat dalam perang di Sierra Leone di tangan pemberontak RUF. Mereka secara khusus menargetkan anak-anak untuk perekrutan sebagai tentara, kerja paksa, dan eksploitasi seksual." Konflik bersenjata yang menghancurkan Sierra Leone ditandai dengan kebrutalan ekstrim dan pelanggaran HAM berat terhadap warga sipil. Selama konflik, puluhan ribu warga sipil tewas dan sampai seperempat dari penduduk mengungsi. Selama perang, yang berlangsung dari tahun 1991-2002, pemberontak, dan untuk tingkat yang lebih rendah pasukan pemerintah, secara konsisten gagal untuk membedakan antara warga sipil dan kombatan.

B. Perlindungan Terhadap Anak akibat konflik Bersenjata

I. Konflik bersenjata di Kolumbia

Kasus Tentara Anak di Kolombia dalam Perspektif CroC dan Protokol Optionalnya Kolombia sebagai salah satu negara yang telah meratifikasi CRoC pada tanggal 28 Januari 1991 dan juga telah meratifikasi Protokol Opsionalnya

72

http://www.icrc.org/eng/resources/documents/publication/p4028.html, “Children


(44)

pada tanggal 25 Mei 2005, sudah tentu memilki kewajiban untuk dapat menjalankan semua yang tertuang dalam konvensi dan protokol opsionalnya tersebut. Namun pada kenyataannya, Kolombia telah melanggar begitu banyak Pasal yang terkandung dalam dua hukum internasional tersebut, terkhusus dalam permasalahan tentara anak. 73

Pelanggaran-pelanggaran kasus tentara anak di Kolombia dalam perspektif CRoC antara lain:

1. Pasal 9, Ayat 1:

States Parties shall ensure that a child shall not be separated from his or her parents against their will, except when competent authorities subject to judicial review determine, in accordance with applicable law and procedures, that such separation is necessary for the best interests of the child.

(Negara-negara Pihak harus menjamin bahwa seorang anak tidak dapat dipisahkan dari orang tuanya, secara bertentangan dengan kemauan mereka, kecuali ketika penguasa yang berwenang dengan tunduk pada yudicial review menetapkan sesuai dengan prosedur dan hukum yang berlaku bahwa pemisahan tersebut diperlukan demi kepentingan-kepentingan terbaik anak) Dan Pasal 37 (a)-(d):

States Parties shall ensure that:

a) No child shall be subjected to torture or other cruel, inhuman or degrading treatment or punishment. Neither capital punishment nor life imprisonment without possibility of release shall be imposed for offences committed by persons below eighteen years of age;

(Tidak seorang anak pun dapat dijadikan sasaran penganiayaan, atau perlakuan kejam yang lain, tidak manusiawi atau hukuman yang menghinakan. Baik hukuman mati atau pemenjaraan seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan, tidak dapat

73

Sebastian Brett, You'll Learn Not to Cry: Child Combatants in Columbia, ed. Joanne


(1)

kemanusiaan melalui UNICEF ini merupakan langkah besar dalam memberikan keadilan dan perlindungan bagi anak-anak tersebut. Publik global turut menyaksikan dan mendukung sepak terjang UNICEF dalam menanggulangi masalah kemanusiaan ini.

Penulis menyadari dalam penelitian ini masih banyak terdapat ketidaksempurnaan akibat keterbatasan kemampuan penulis juga minimnya literatur yang aktual dan akurat mengenai konflik bersenjata yang terjadi. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini.

Penulis ingin menghaturkan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya pula kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan serta orang-orang yang telah memberikan warna dalam penelitian ini maupun selama perjalanan Penulis dalam proses untuk menjadi seorang terpelajar:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc.(CTM), Sp.A(K)., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) Medan; 


2. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum USU;

3. Prof Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum USU; 


4. Bapak Syafruddin, S.H., M.Hum., D.F.M. Selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum USU ;



(2)

5. Dr. OK Saidin, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum USU; 


6. Bapak Alwan, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing Akademik Penulis yang telah banyak memberikan arahan dan nasihat selama Penulis menimba ilmu di Fakultas Hukum USU; 


7. Dr. Chairul Bariah, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum USU, juga selaku Dosen Pembimbing I yang selalu memberikan bantuan dan arahan kepada Penulis saat penelitian ini. Terima kasih untuk segala waktu dan bantuan yang diberikan kepada Penulis;

8. Bapak Arif, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dengan penuh kesabaran kepada Penulis. Penulis sangat mengapresiasi waktu yang telah diberikan kepada Penulis saat penelitian ini;

9. Seluruh dosen FH USU dengan karakter dan kenangannya masing-masing, terima kasih atas ilmu, diskusi, dan bimbingan akademik di bidang hukum korporasi, serta atas seluruh nasihat, motivasi, harapan dan kepercayaan yang tidak terhenti kepada Penulis, yang membangun Penulis agar menjadi manusia yang lebih baik. ‘Kesuksesan adalah membuat orang lain sukses.’ Tak lupa seluruh dosen Departemen Hukum Internasional, khususnya Pak Jelly Leviza, Pak Sutiarnoto, dan Pak Deni Purba atas pelajarannya untuk menjadi yang terpelajar; 



(3)

10.Keluarga Penulis, harta paling berharga, yang telah melindungi dan menyayangi Penulis dengan sepenuh dan setulus hati. Terutama untuk kedua orang tua Penulis, Cipta Wijaya dan Elisah, yang selalu ada dan mendukung Penulis menjadi apapun yang diinginkannya bagi dunia. Vincent Wijaya dan Jesslyn Wisely, adik-adik Penulis yang selalu memberi tawa dan canda bagi Penulis.

11.Ucapan terima kasih khusus kepada Trifena, yang telah memberikan semangat dan tidak henti memberikan dukungan yang teramat berarti bagi Penulis, sehingga penelitian ini dapat selesai. Tanpa dukungan yang telah diberikan hingga saat ini, tidak mungkin penelitian ini dapat diselesaikan.

12.Sahabat-sahabat terbaik Penulis, Michael Tenzil, Denny Tanaya, Wilson Joenardi Jeo dimanapun kalian berada.


13.Keluarga besar International Law Students Association (ILSA) FH USU Stambuk 2011, sebagai wadah bagi Penulis untuk berkembang, belajar, dan bersenang-senang. Terkhusus untuk Yohana, Astra, Virsa, Gunawan, Kathy, Mila , Isaac , Algrant, Gennady, Hary, Andri, Nurul, Frans, Devy, Samitha dan anggota-anggota ILSA Comparative Study and Tour to Beijing. Terima kasih atas kepercayaan, dukungan, tangis dan tawa selama proses pembelajaran yang berharga bagi Penulis.

14. Seluruh Teman-teman Grup A Angkatan 2011, terutama teman-teman Penulis di Rangers Makmurs, dan teman-teman Angkatan 2011 lainnya. Terima kasih atas kebersamaan dan semangat serta membuat hari-hari selama studi di FH USU menjadi lebih berarti.


(4)

15. Seluruh pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu, bukan karena keterbatasan kata, melainkan karena terlalu banyak jumlah orang yang telah mendukung penulis dan menyemangati penulis. Terima Kasih Banyak!

Penulis menyadari bahwa penelitian ini tidak luput dari berbagai kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dan menyempurnakan penelitian ini. Penulis mengharapkan, dengan segala kerendahan hati, semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat yang berguna terutama bagi tanah air tercinta, Indonesia, serta seluruh umat manusia. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan Rahmat dan Karunia-Nya kepada kita semua. Amin.

Medan, 20 Desember 2015

Hormat penulis,

WILLIAM WIJAYA


(5)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar……….………i

Daftar Isi……….………iv

Abstrak……….………..vi

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang……….1 B.Rumusan Masalah……….. C.Tujuan Penelitian……… D.Keaslian Penulisan………. E. Tinjauan Kepustakaan……… F. Metode Penelitian……….. G.Sistematika Pembahasan………

BAB II PERATURAN HAK ANAK MENURUT HUKUM

INTERNASIONAL

A. Sejarah Konvensi Hak Anak………. B. Hak-hak Anak Menurut Konvensi Hak Anak……….. C. Peraturan Mengenai Status Anak dalam Konflik Bersenjata…………..

BAB III KONFLIK BERSENJATA MENURUT HUKUM

HUMANITER

A. Konflik Bersenjata Menurut Hukum Humaniter……… B. Perlindungan Penduduk Sipil pada Konflik Bersenjata………….


(6)

C. Hak-hak Penduduk Sipil dalam Konflik Bersenjata………..

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK PADA

KONFLIK BERSENJATA YANG TERJADI DI BERBAGAI BELAHAN DUNIA

A. Sejarah Konflik Bersenjata yang Melibatkan Anak-Anak………. B. Bentuk-bentuk Pelanggaran Terhadap Anak sebagai Penduduk Sipil… C. Peranan PBB Dalam Menyelesaikan Konflik Bersenjata yang Terjadi.. D. Perlindungan Terhadap Anak Akibat Konflik Bersenjata di Dunia…..

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan……….. B. Saran………