Tindakan Penyanderaan Warga Sipil dalam Konflik Bersenjata Menurut Hukum Humaniter Internasional

76 perlu melakukan semua yang mereka bisa untuk mencegah kerugian lebih lanjut dari kehidupan warga sipil.

B. Tindakan Penyanderaan Warga Sipil dalam Konflik Bersenjata Menurut Hukum Humaniter Internasional

Kata penyanderaan berasal dari kata dasar “Sandera”. Dalam istilah asing, sandera disebut juga dengan Hostage, yang berarti seseorang yang ditawan oleh seseorang yang lain agar keinginannya dituruti. 76 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata sandera memiliki arti sebagai orang yang ditawan untuk dijadikan jaminan tanggungan. 77 Penyanderaan berkaitan dengan perbuatan menyandera, yang memiliki arti bahwa menyandera merupakan suatu perbuatan menawan orang untuk dijadikan sandera. Makna penyanderaan lebih kepada mengenai cara atau proses. Berdasarkan penjabaran diatas, maka dapat disimpulkan bahwa penyanderaan merupakan suatu proses, cara, perbuatan menyandera. Sebagai salah satu bentuk kejahatan perang, tindakan penyanderaan menjadi salah satu hal yang patut untuk diperhatikan. Sebab dalam setiap peperangan yang terjadi, baik itu yang bersifat internasional dan non internasional, tindakan penyanderaan sering terjadi dan menimpa pihak-pihak yang berada di wilayah konflik. Tindakan penyanderaan sudah tentu melanggar ketentuan-ketentuan yang terkadung dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949, Konvensi Jenewa IV, dan Protokol Tambahan II 1977. 76 “Sandera”, sebagaimana dimuat dalam http:id.wikipedia.orgwikiSandera, diakses pada tanggal 25 Oktober 2013. 77 “Sandera” sebagaimana dimuat dalam http:id.kbbi.web.idsandera, diakses pada tanggal 1 November 2013. Universitas Sumatera Utara 77 Pada dasar nya, Konvensi Jenewa 1949 tidak memberikan suatu penjelasan yang konkrit mengenai tindakan penyanderaan. Namun PBB telah mengeluarkan suatu konvensi internasional yang berisikan penjelasan mengenai tindakan penyanderaan terhadap warga sipil. Konvensi internasional yang dimaksud adalah International Convention Against the Taking of Hostages yang dibuat pada 17 Desember 1979, di kota New York dan telah diratifikasi oleh 173 negara. 78 Konvensi Internasional 1979 mencoba memberikan penjelasan mengenai apa yang disebut dengan penyanderaan. Dalam Pasal 1 dari konvensi ini, didefinisikan pelanggaran tersebut sebagai suatu bentuk penyitaan atau penahanan seseorang sandera, yang dikombinasikan dengan mengancam untuk membunuh, melukai atau melanjutkan untuk menahan sandera, dalam rangka untuk memaksa pihak ketiga untuk melakukan atau untuk tidak melakukan suatu tindakan apapun karena kondisi eksplisit atau implisit untuk membebaskan sandera. 79 Dalam Pasal 3 konvensi ini, dapat dilihat bahwa ada suatu kewajiban kepada negara peserta dengan segala cara untuk mencegah, melarang wilayah negaranya dijadikan tempat, baik dalam taraf mempersiapkan maupun melakukan tidak pidana penyanderaan. Lalu dalam Pasal 4 diwajibkan juga kepada negara yang wilayahnya dijadikan tempat penyanderaan untuk segera melakukan tindakan penghentian penyanderaan serta mengambil alih dan menyelamatkan sandera tersebut. Selanjutnya di Pasal 5, semua negara juga diberi kewajiban 78 “International Convention Against The Taking of Hostages”, sebagaimana dimuat dalam https:treaties.un.orgpagesViewDetails.aspx?src=TREATYmtdsg_no=XVIII- 5chapter=18lang=en, diakses pada tanggal 1 Maret 2014. 79 ”International Convention Against the Taking of Hostages”, Article 1 sebagaimana di muat dalam http:www.icrc.orgcustomary-ihlengdocsv1_cha_chapter32_rule96, diakses pada tanggal 1 November 2013. Universitas Sumatera Utara 78 untuk perduli terhadap kegiatan pemberantasan tindak pidana penyanderaan, dan menerapkan yuridiksinya terhadap tindak pidana tersebut. Negara tidak terlibat secara langsung, namun negara bertanggung jawab terhadap kejahatan tersebut, apabila tidak melaksanakan kewajiban seperti apa yang ditetapkan didalam konvensi ini. Selain dalam konvensi internasional tersebut, ICC International Criminal Court atau Mahkamah Pidana Internasional sebagai salah satu tempat untuk mengadili pelaku pelanggaran kejahatan perang, juga turut menggunakan definisi yang sama. Defenisi mengenai penyanderaan dapat dilihat dalam Elements of Crimes for the ICC . Akan tetapi , Mahkamah Pidana Internasional memberikan sedikit tambahan mengenai uraian defenisi penyanderaan yang dipaparkan oleh Konvensi Internasional. Hal ini bertujuan untuk memberikan suatu defenisi yang konkrit sehingga pemahaman mengenai penyanderaan lebih mudah diperoleh. Mahkamah Pidana Internasional menambahkan bahwa ketika terjadi tindakan penyanderaan, perilaku yang diperlukan dari pihak ketiga bisa menjadi kondisi tidak hanya untuk pembebasan sandera tetapi juga untuk keselamatan sandera. 80 Defenisi yang telah dipaparkan oleh kedua sumber hukum internasional tersebut memiliki maksud tertentu yang mencirikan tindakan penyanderaan. Serta memberikan perbedaan pengertian tentang tindakan perampasan kemerdekaan seseorang sebagai tindakan administratif atau yudikatif. Meskipun larangan penyanderaan pada dasarnya ditentukan dalam Konvensi Jenewa Keempat dan biasanya terkait dengan penyelenggaraan warga sipil sebagai sandera, tidak ada 80 Elements of Crimes for the ICC, Definition of the taking of hostages as a war crime ICC Statute, Article 82aviii and ciii dalam Loc.cit., diakses pada tanggal 12 November 2013. Universitas Sumatera Utara 79 indikasi bahwa kejahatan tersebut terbatas untuk mengambil sandera warga sipil. Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949, Statuta Pengadilan Pidana Internasional dan Konvensi Internasional melawan Penyanderaan tidak membatasi pelanggaran untuk mengambil warga sipil, tetapi menerapkannya ke pengambilan setiap orang. Walaupun dalam Elemen-elemen kejahatan untuk Mahkamah Pidana Internasional, definisi tersebut berlaku untuk pengambilan setiap orang yang dilindungi oleh Konvensi Jenewa. 81 C. Akibat Hukum bagi Pelaku Tindakan Penyanderaan Warga Sipil dalam Konflik Bersenjata Menurut Hukum Humaniter Internasional Tindakan penyanderaan terhadap warga sipil dalam suatu konflik bersenjata yang bersifat internasional maupun yang bersifat non internasional merupakan suatu tindakan yang dilarang secara tegas oleh hukum humaniter internasional. Civilians hostage dapat pula dikategorikan kedalam jenis-jenis tindak pidana internasional. Pasal 27-34 Konvensi Jenewa IV dengan tegas melarang perbuatan sandera terhadap penduduk sipil. Suatu perangkat hukum akan dapat dikatakan efektif apabila ia dapat diimplementasikan dan sanksinya dapat ditegakkan apabila ada yang melanggarnya. Untuk dapat ditegakkan maka didalam perangkat hukum itu perlu suatu mekanisme yang mengatur dan menetapkan bagaimana norma-norma tersebut dapat ditegakkan. Dalam salah satu common articles dari Konvensi- konvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwa Pihak Peserta Agung memiliki kewajiban 81 Elements of Crimes for the ICC, Definition of the taking of hostages as a war crime ICC Statute, Article 82aviii dalam Loc.cit., diakses pada tanggal 12 November 2014. Universitas Sumatera Utara 80 untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter. Pada dasarnya mekanisme yang didahulukan dalam Konvensi Jewnewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrumen hukum nasional. Apabila mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat memenuhi rasa keadilan, maka mekanisme internasional menjadi opsi berikutnya. 82 Ketentuan yang mengatur tentang penghukuman bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat hukum humaniter terdapat dalam beberapa pasal, yaitu: 1. Pasal 49 ayat 1 Konvensi I. 2. Pasal 50 1 Konvensi II. 3. Pasal 129 1 Konvensi III. 4. Pasal 146 1 Konvensi IV. Berdasarkan ketentuan Pasal-Pasal tersebut di atas maka negara yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa diwajibkan untuk menerbitkan suatu Undang- undang nasional yang memberikan sanksi pidana efektif kepada setiap orang yang melakukan atau memerintahkan untuk melakukan pelanggaran berat terhadap Konvensi. Mekanisme yang terdapat pada ketentuan ini adalah suatu mekanisme di mana penegakan hukum humaniter yang dilaksanakan berdasarkan suatu proses 82 http:pusham.uii.ac.idham15_Chapter9.pdf, diakses pada 29 Maret 2014. Universitas Sumatera Utara 81 peradilan nasional dari tiap-tiap negara. 83 Artinya, bila terjadi suatu kasus pelanggaran hukum humaniter maka si pelaku akan dituntut dan dihukum berdasarkan peraturan perundangan nasional dan dengan menggunakan mekanisme peradilan nasional yang negara bersangkutan. Apabila mekanisme internal atau nasional ini tidak berfungsi atau tidak difungsikan dengan baik, maka pada tahapan berikutnya kasus yang bersangkutan dapat diambil alih oleh suatu mekanisme internasional baik melalui pengadilan yang bersifat ad hoc atau yang permanen. Secara umum terdapat 5 bentuk sanksi atau akibat hukum terhadap pelanggaran mengenai hukum perang, yaitu: Protes, Penyanderaan, Kompensasi, Reprisal, dan Penghukuman pelaku yang tertangkap. 84 Secara khusus ada pula sejumlah bentuk akibat hukum terhadap pelanggaran hukum humaniter internasional yang dapat dikenakan kepada pihak yang berperang, yaitu Kompensasi, Sanksi Militer, Sanksi Non militer. 85 Sedangkan bagi individu yang terlibat dalam perang yang melakukan pelanggaran hukum perang dapat dikenakan pertanggungjawaban individu dan pertanggungjawaban komandan. 86 Berkenaan dengan tindakan penyanderaan warga sipil yang terjadi di Filipina, maka bentuk sanksi yang diberikan kepada MNLF sebagai pelaku penyanderaan adalah dalam bentuk sanksi militer dan penghukuman terhadap pelaku yang tertangkap. Hal ditunjukan dengan adanya aksi kontak senjata antara 83 Loc Cit. 84 Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter Internasional, PT. Rajawali Pers, Jakarta, 2009, Hlm. 97. 85 Oliver Rambotsham, Conflict Resolution, Second Edition, Cambridge: Polity Press, 2006, Hlm. 88. 86 Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Refika Aditama, Jakarta, 2000, Hlm 40. Universitas Sumatera Utara 82 pasukan militer Filipina dengan pasukan MNLF, serta ditangkapnya beberapa anggota militer MNLF. Universitas Sumatera Utara 83 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan