Karakterisasi Simplisia dan Uji Toksisitas Subkronik Ekstrak Etanol Kubis Ungu (Brassica oleracea L. Var. Capitata F. Rubra) pada Tikus Jantan

(1)

(2)

Lampiran 2. Gambar tumbuhan kubis ungu (Brassica oleracea L.var. capitata f. rubra)

Gambar tumbuhan kubis ungu


(3)

Lampiran 3. Gambar helai dan simplisia kubis ungu (Brassica oleracea L.var. capitata f.rubra)

Gambar helai kubis ungu


(4)

Lampiran 4. Gambar mikroskopik dari simplisia kubis ungu ungu (Brassica oleracea L.) perbesaran 10x40

Keterangan:

1. Stomata tipe anisositik 2. Jaringan vessel

3. Kristal kalsium oksalat bentuk prisma 4. Berkas pengangkut bentuk spiral

3 2

4 1


(5)

(6)

Lampiran 6. Bagan alur penelitian

Dimasukkan ke dalam bejana Ditambah pelarut etanol 80%

Dibiarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya sambil sesekali di aduk

Disaring, diperas

Dicuci dengan pelarut etanol 80%

Dipindahkan ke dalam bejana tertutup

Dibiarkan di tempat sejuk, terlindung dari cahaya selama 2 hari Dienap tuangkan atau saring

Digabung

Dipekatkan dengan alat rotary evaporator 40-50oC Dikeringkan dengan alat freeze dryer -40oC

Ampas Maserat I

Ampas Maserat II

Ekstrak kering


(7)

Lampiran 7. Bagan pengerjaan uji toksisitas subkronik pada tikus 48 ekor tikus

Kelompok satelit, tdd: - Kontrol Na CMC

0,5%

- EEKU dosis 1000 mg/kg bb

Kelompok uji, tdd:

- Kontrol Na CMC 0,5% - EEKU dosis 62.5 mg/kg bb - EEKU dosis 125 mg/kg bb - EEKU dosis 250 mg/kg bb - EEKU dosis 500 mg/kg bb - EEKU dosis 1000 mg/kg bb

pengamatan selama 28 hari pengamatan selama 42 hari

Pengamatan: - Perilaku fisik

- Jumlah kematian hewan - Konsumsi makanan dan

konsumsi minuman - Berat badan

- Berat organ relatif - Makropatologi hati - Kadar ALT

- Gambaran histopatologi hati


(8)

Lampiran 8. Contoh perhitungan volume pemberian EEKU

Dosis suspensi EEKU yang akan dibuat adalah 62,5, 125, 250, 500, 1000 mg/kg bb.

Cara pembuatan suspensi EEKU:

Timbang 62,5 mg, 125 mg, 250 mg, 500 mg, 1000 mg ekstrak etanol daun kubis ungu, masing – masing dilarutkan dalam 10 ml suspensi CMC

- Volume suspensi EEKU 62,5 mg/kg bb yang diberikan untuk tikus 150 g adalah

x 10 ml = 1.5 ml

- Volume suspensi EEKU 125 mg/kg bb yang diberikan untuk tikus 150 g adalah

x 10 ml = 1.5 ml

- Volume suspensi EEKU 250 mg/kg bb yang diberikan untuk tikus 150 g adalah

x 10 ml = 1.5 ml

- Volume suspensi EEKU 500 mg/kg bb yang diberikan untuk tikus 150 g adalah

x 10 ml = 1.5 ml

- Volume suspensi EEKU 1000 mg/kg bb yang diberikan untuk tikus 150 g adalah


(9)

Lampiran 9. Perhitungan hasil karakterisasi serbuk simplisia dan ekstrak etanol kubis ungu

1. Penetapan kadar air

No

Berat sampel Volume air (ml) Simplisia Ekstrak Simplisia Ekstrak

1 5,000 g 5,010 g 0,5 0,5

2 5,005 g 5,000 g 0,4 0,5

3 5,009 g 5,000 g 0,4 0,3

Kadar air simplisia

%Kadar air = x 100% = 10 %

= x 100 % = 7,99 %

= x 100 % = 7,98 %

% Kadar air rata-rata = = 8,66 %

Kadar air ekstrak

%Kadar air = x 100% = 7,98 %

= x 100 % = 10 %

= x 100 % = 10 %

% Kadar air rata-rata = = 9,33 %

=

x 100


(10)

Lampiran 9. (Lanjutan)

2. Penetapan kadar sari larut air

No Berat sampel Berat sari

1 5,0010 g 0,1300 g

2 5,0080 g 0,1339 g

3 5,0050 g 0,1480 g

Kadar sari simplisia

% Kadar sari larut dalam air = x

x 100 % = 12,99 %

= x

x 100 % = 13,36 %

= x

x 100 % = 14,78 %

% Kadar sari larut dalam air rata-rata = = 13,71 %

% kadar sari yang larut dalam air = x

x 100


(11)

Lampiran 9. (Lanjutan)

3. Penetapan kadar sari larut etanol

No

Berat sampel Berat sari

Simplisia Simplisia

1 5,0000 g 0,1097 g

2 5,0120 g 0,1120 g

3 5,0090 g 0,1105 g

Kadar sari simplisia

% Kadar sari larut dalam etanol = x

x 100 % = 10,97 %

= x x 100 % = 11,17 %

= x x 100 % = 11,03 %

% Kadar sari larut dalam etanol rata-rata = = 11.05% % kadar sari yang larut dalam etanol = x x 100


(12)

Lampiran 9. (Lanjutan) 4. Penetapan kadar abu total

No

Berat sampel Berat abu

Simplisia Ekstrak Simplisia Ekstrak

1 2,0057 g 2,0151g 0,1270 g 0,2011 g

2 2,0095 g 2,0085 g 0,1308 g 0,1933 g

3 2,0050 g 2,0090 g 0,1290 g 0,1985 g

Kadar abu total simplisia

% Kadar abu total = x 100 % = 6,331 %

= x 100 % = 6,509 %

= x 100 % = 6,433 %

% Kadar abu total rata-rata = = 6,424 %

Kadar abu total ekstrak

% Kadar abu total = x 100 % = 9,979 %

= x 100 % = 9,624 %

= x 100 % = 9,880 %


(13)

% Kadar abu total rata-rata = = 9,764 %

Lampiran 9. (Lanjutan)

5. Penetapan kadar abu yang tidak larut asam

No Berat sampel Berat abu

Simplisia Ekstrak Simplisia Ekstrak

1 2,0057 g 2,0151g 0,1091 g 0,1943 g

2 2,0095 g 2,0085 g 0,1255 g 0,1857 g

3 2,0050 g 2,0090 g 0,1105 g 0,1897 g

Kadar abu simplisia

% Kadar abu tidak larut asam = x 100 % = 5,439 %

= x 100 % = 6,245 %

= x 100 % = 5,511 %

% Kadar abu tidak larut asam rata-rata = =

5,731%

Kadar abu ekstrak

% Kadar abu tidak larut asam = x 100 % = 9,642 %

= x 100 % = 9,245 %

= x 100 % = 9,442 %

% Kadar abu tidak larut asam rata-rata = = 9,443 %

=

x


(14)

(15)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, T., Swatantra B.S., Shivshankar, P. (2013). Phytochemical Screening and Physicochemical Parameters of Crude Drugs: A Brief Review. International Journal of Pharma Research & Review. 2(12): 53-60. Anggraini, D.R. (2008). Gambaran Makroskopis dan Mikroskopis Hati dan Ginjal

Mencit Akibat Pemberian Plumbum Asetat. Tesis. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Halaman 53.

BPOM RI. (2008). Taksonomi Koleksi Tanaman Obat Kebun Tanaman Obat Citeureup. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Deputi Bidang Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen. Halaman 20.

BPOM RI. (2010). Acuan Sediaan Herbal Volume Kelima. Edisi Pertama. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Deputi Bidang Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen. Halaman 74.

BPOM RI. (2011). Pedoman Uji Toksisitas Nonklinik Secara In Vivo. Jakarta: Pusat Riset Obat dan Makanan. Halaman 3 dan 25.

Cheville, N.F. (1999). Introduction to Veterinary Pathology. Edisi Kedua. Iowa: Iowa State University Press. Halaman 214.

BPOM RI. (2014). Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Pedoman Uji Toksisitas Nonklinik Secara In Vivo.Jakarta: Badan Pengawasan Obat dan Makanan RI. Halaman 3-4, 9,11-12, 28-32.

Dalimartha, S. (2000). Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Jilid Kedua. Jakarta: Trubus Agriwidya. Halaman 116 – 119.

Daud, M.A., Sanjana, R., Shahnaz, R., Ishtiaq, A., dan Mohammed, R. (2015). How Good is Red Cabbage Extract for Lowering High Blood Glucose and Alleviating Pain? A Preliminary Evaluation of Brassica oleracea L. var capitata f. rubra. World Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences. 4(9): 1642 – 1651.

Ditjen POM. (1977). Materia Medika Indonesia. Jilid Pertama. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat Dan Makanan. Halaman 321, 322, 325.

Ditjen POM. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman 4 – 5.

Depkes RI. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman 7, 33, 744, 748.


(16)

Depkes RI. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi Keempat. Departemen Kesehatan RI. Jakarta, Halaman 1176 – 1201.

Dragichi, G.A., Lupu, M.A., Borozan, A., Nica, D., Alda, S., Alda, L., Gogoasa, I., Gergen, I., dan Bordean, D.M. (2013). Red Cabbage, Millenium’s Functional Food. Journal of Holticulture, Foresty and Biotechnology. 17(4): 52 – 55.

Eroschenko, V.P. (2013). Atlas Histologi diFiore dengan Korelasi Fungsional. Jakarta: EGC. Halaman 367.

FDA. (2003). Redbook 2000: Subchronic Toxicity Studies with Rodents. Maryland: U.S. Food and Drug Administration. Halaman 1-12.

FK Unsri. (2004). Kumpulan Kuliah Farmakologi. Jakarta: EGC. Halaman 281. Gupta, D., Bhardwaj, S. (2012). Study of Acute, Subacute and Chronic Toxicity

Test. International Journal of Advanced Research in Pharmaceutical and Bio Science (IJARPB). 1(2): 103 – 129.

Hadi, S. (1995). Gastroenterologi. Edisi Keenam. Bandung: Alumni,. Halaman 400 – 412, 644 – 650.

Harborne, J.B. (1987). Metode Fitokimia. Penerjemah: Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro. Edisi Kedua. Bandung: Penerbit ITB. Halaman 152. Heyne, K. (1987). Tumbuhan Berguna Indonesia. Jakarta: Badan Litbang

Kehutanan. Halaman 831 – 833.

Irianto, Kus. (2000). Struktur dan Fungsi Tubuh Manusia untuk Paramedis. Bandung: Yrama Widya. Halaman 222-224.

Islam, E., Mahbubur R., Kudrot-e-azam, Shahnaz R., Shahadat H., dan Mohammed R.. (2015). Oral Glucose Tolerance Test, Phytochemical Screening and Acute Toxicity Studies with Methanolic Extract of Red Cabbage Leaves. Journal of Chemical and Pharmaceutical Research. 7(4):658-661.

Jones, L.M., H.B. Nicholson, leslie, E.M., dan Donald. (1997). Veterinary Pharmacology and Therapeutics. Edisi Keempat. New Delhi: Oxford and IBH Publishing. Halaman 1223-1232.

Junqueira, L.C., dan Carneiro, J. (2009). Histologi Dasar. Edisi Kesepuluh. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Halaman 318 – 320, 330 – 331.

Kasno, P.A. (2008). Patologi Hati dan Saluran Empedu Ekstra Hepatik. Semarang: Balai Penerbit Universitas Diponegoro. Halaman 45.


(17)

Klassen, H. (2001). Casarett and Doull’s Toxicology. The Basic Science of Poison. Edisi Keenam. McGraw-Hill: United States of America. Halaman 38, 87, 91.

Lee, S.S.T., Butter, J.T.M., Pinaeu, T., Fernandez, S.P., and Gonzalez, F.J. (1997). Role of CYP2E1 in the hepatotoxicity of acetaminophen. Journal Biology Chemical. 271:12063–12067.

Lu, F.C. (1995). Toksikologi Dasar: Asas, Organ Sasaran, dan Penilaian Resiko. Edisi Kedua. Jakarta: UIP. Halaman 47 – 48, 74, 93 – 97, 206 – 211. Majeed, M.S. (2004). Effect of Red Cabbage Extract on Oxidative Stress and

Some Cytokines Levels in Hyperthyroid Rabbits Induced by Thyroxine. Ministry of Higher Education and Scientific Research University of Baghdad. 23(1): 28-29.

OECD. (2008). Organization for Economic Cooperation and Development Guidelines for The Testing of Chemicals TG 407. 132(1): 4-13.

Putri, R.F., Evi, U.U., Rini, R.. (2014). Uji Aktivitas Anti Platetelet Ekstrak Etanol Kubis Merah (Brassica oleracea var. capitata L.). Pustaka Kesehatan. 2(11):111-114.

Price, SA., Wilson L.M. (2006). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi Keenam. Jakarta: ECG. Halaman 867- 875.

Priyanto. (2009). Toksikologi Mekanisme, Terapi Antidotum, dan Penilaian Resiko. Jakarta: Lembaga Studi dan Konsultasi Farmakologi Indonesia (LESKONFI). Halaman 1, 7, 8.

Research Animal Resource. (2009). Reference Values for Laboratory Animals: Normal Haematological Values. RAR Websites, University of

Minnesota.

Rokayya, S., Chun-Juan, L., Yan, Z., Ying, L., dan Chang-Hao, S. (2013). Cabbage (Brassica oleracea L. var. capitata) Phytochemicals with Antioxidant and Anti-inflammatory Potential. Asian Pac J Cancer Prev. 14 (11): 6657-6662.

Santoso, H,B., dan Nurliani, A. (2006). Efek Doksisiklin Selama Masa Organogenesis pada Struktur Histologi Organ Hati dan Ginjal Feteus Mencit. Bioscience. 3(1): 15 – 27.

Shama, S.N., Alekhya, T., dan Sudhakar, K. (2012). Pharmacognostical & Phytochemical Evaluation of Brassica oleracea Linn var. capitata f.


(18)

rubra (The Red Cabbage). Journal of Pharmaceutical Biology. 2(2):43-46.

Syamsuni, H.A. (2006). Ilmu Resep. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Halaman 23, 32.

Sudiono, Janti., Budi, K., Andhy, H., dan Bing, D. (2001). Patologi Anatomi. Jakarta: EGC. Halaman 7-10.

Underwood, J.C.E. (1994). Cedera Hepar Akibat Obat. Edisi Patologi Umum dan Sistemik Volume 2. Edisi Kedua. Jakarta: EGC. Halaman 483

WHO. (1998). Quality Control Methods for Medicinal Plant Materials. Switzerland: Geneva Press. Halaman. 31 – 33.

WHO. (2000). General Guidelines for Methodologies on Research and Evaluation of Traditional Medicines. China: World Health Organization Geneva. Halaman 3.

WHO. (2013). WHO: Traditional Medicine Strategy. China: World Health Organization Geneva. Halaman 11.

Wicaksono, S. (2002). Efek Toksik dan Cara Menentukan Toksisitas Bahan Kimia. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman 33.

Widmann F.K. (1989). Tinjauan Klinis atas Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Edisi Kesembilan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Halaman 331.

Yuniarti, Titin. (2008). Ensiklopedia Tanaman Obat Tradisional. Yogyakarta: Media Pressindo. Halaman 224 – 226.


(19)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dengan metode eksperimental meliputi pengambilan dan pengolahan sampel, skrining fitokimia, dan pembuatan ekstrak etanol kubis ungu yang dilakukan di Laborabotium Fitokimia serta uji toksisitas sampel terhadap tikus jantan yang dilakukan di Laboratorium Farmakologi, Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara.

3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas laboratorium, blender (Philips), lemari pengering, rotary evaporator (heidolph VV-300), neraca hewan (Presica Geniweigher GW-1500), neraca digital (Vibra), neraca kasar (ohaus), seperangkat alat destilasi penetapan kadar air, alat bedah (Wells spencer), oral sonde, spuit 3 ml (Terumo), kamera digital.

3.2.2 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan tumbuhan dan bahan kimia. Bahan tumbuhan yang digunakan yaitu daun kubis ungu (Brassica oleracea L. var. capitata f. rubra). Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah akuades, etanol 80%, kalium iodida, merkuri (II) klorida, bismut (II) nitrat, asam nitrat pekat, iodium, α-naftol, asam nitrat, asetat anhidrida, asam sulfat pekat, besi (III) klorida, timbal (II) asetat, natrium


(20)

hidroksida, asam klorida pekat, kloralhidrat, formalin 10%, Na-CMC (natrium-Carboxy Methyl Cellulose), natrium klorida 0,9%, hematoxylin, eosin, xylol, dan paraffin.

3.3Hewan Percobaan

Hewan percobaan yang akan digunakan adalah tikus putih jantan dengan berat badan 150-200 gram, berumur 6-8 minggu. Sebelum percobaan dimulai, hewan diaklimatisasi diruang percobaan selama lebih kurang 7 hari. Hewan dikelompokkan secara acak sedemikian rupa sehingga penyebaran berat badan merata untuk semua kelompok dengan variasi berat badan tidak lebih 20% dari rata-rata berat badan (BPOM RI., 2011).

3.4Pembuatan Larutan Pereaksi 3.4.1 Pereaksi Mayer

Sebanyak 5 g kalium iodida dalam 10 ml air suling kemudian ditambahkan larutan 1,36 g merkuri (II) klorida dalam 60 ml air suling. Larutan dikocok dan ditambahkan air suling hingga 100 ml (Depkes RI., 1995).

3.4.2 Pereaksi Dragendorff

Sebanyak 8g bismut (III) nitrat dilarutkan dalam asam nitrat pekat 20 ml kemudian dicampurkan dengan larutan kalium iodida sebanyak 27,2 g dalam 50 ml air suling. Campuran didiamkan sampai memisah sempurna. Larutan jernih diambil dan diencerkan dengan air suling secukupnya hingga 100 ml (Depkes RI., 1995).


(21)

3.4.3 Pereaksi Bouchardat

Sebanyak 4 g kalium iodida dilarutkan dalam 20 ml air suling kemudian ditambah 2 g iodium sambil diaduk sampai larut, lalu ditambah air suling hingga 100 ml (Depkes RI., 1995).

3.4.4 Pereaksi Molisch

Sebanyak 3 g α-naftol dilarutkan dalam asam nitrat 0,5 N secukupnya

hingga diperoleh larutan 100 ml (Depkes RI., 1995). 3.4.5 Pereaksi Liebermann-Burchard

Campur secara perlahan 5 ml asam asetat anhidrida dengan 5 ml asam sulfat pekat tambahkan etanol hingga 50 ml (Harbone, 1978).

3.4.6 Pereaksi besi (III) klorida 1%

Sebanyak 1 g besi (III) klorida dilarutkan dalam air suling hingga 100 ml kemudian disaring (Ditjen POM., 1995).

3.4.7 Larutan timbal (II) asetat

Sebanyak 15,17 g timbal (II) asetat ditimbang, kemudian dilarutkan dalam air suling hingga 100 ml (Ditjen POM., 1995).

3.4.8 Larutan natrium hidroksida 2N

Sebanyak 8 g kristal natrium hidroksida dilarutkan dalam air suling hingga diperoleh larutan 100 ml (Ditjen POM., 1979)

3.4.9 Larutan asam klorida 2N

Sebanyak 17 ml asam klorida pekat diencerkan dengan air suling sampai 100 ml(Depkes RI., 1979).

3.4.10 Larutan kloralhidrat

Sebanyak 50 g kristal kloralhidrat ditimbang lalu dilarutkan dalam 20 ml air suling (Ditjen POM., 1979).


(22)

3.5 Penyiapan Sampel 3.5.1 Pengambilan sampel

Pengambilan sampel dilakukan secara purposif yaitu tanpa membandingkan dengan sampel yang sama dari daerah lain. Sampel yang digunakan adalah daun kubis ungu (Brassica oleracea L. var capitata f. rubra). yang diperoleh dari Desa Raya Kec. Berastagi, Kabupaten Karo.

3.5.2 Identifikasi sampel

Identifikasi sampel daun kubis ungu (Brassica oleracea L. var capitata f. rubra) akan dilakukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor. 3.5.3 Pengolahan sampel

Sampel kubis ungu (Brassica oleracea L. var capitata f. rubra) yang masih segar dicuci kemudian ditiriskan lalu disortasi basah dan ditimbang beratnya sebagai berat basah. Selanjutnya dikeringkan pada lemari pengering hingga kering yang ditandai dengan sampel mudah dipatahkan, kemudian ditimbang kembali sebagai berat kering selanjutnya diblender dan ditimbang sebagai berat serbuk simplisia. Serbuk simplisia dimasukkan kedalam kantong plastik, diberi etiket dan disimpan di tempat yang sesuai.

3.6 Pemeriksaan Karakterisasi Simplisia

Pemeriksaan karakterisasi simplisia meliputi pemeriksaan makroskopik dan mikroskopik, penetapan kadar air, penetapan kadar sari larut dalam air, penetapan kadar sari larut dalam etanol, penetapan kadar abu total, penetapan kadar abu tidak larut dalam asam (Ditjen POM., 1977; WHO., 1998).

3.6.1Pemeriksaan makroskopik


(23)

meliputi pemeriksaan bentuk, warna, ukuran, bau dan rasa. 3.6.2 Pemeriksaan mikroskopik

Pemeriksaan mikroskopik terhadap serbuk simplisia dilakukan dengan cara meneteskan kloralhidrat di atas kaca objek, kemudian di atasnya diletakkan serbuk simplisia, lalu ditutup dengan kaca penutup dan dilihat di bawah mikroskop. Pemeriksaan mikroskopik untuk melihat adanya butir pati dilakukan di dalam media air.

3.6.3 Penetapan kadar air

Penetapan kadar air dilakukan dengan metode Azeotropi dan alat terdiri dari labu alas bulat 500 ml, alat penampung, pendingin, tabung penyambung dan tabung penerima.

Cara penetapan : a. Penjenuhan toluen

Sebanyak 200 ml toluena dan 2 ml air suling dimasukkan ke dalam labu alas bulat, dipasang alat penampung dan pendingin, kemudian didestilasi selama 2 jam. Destilasi dihentikan dan dibiarkan dingin selama 30 menit, kemudian volume air dalam tabung penerima dibaca dengan ketelitian 0,05 ml.

b. Penetapan kadar air simplisia

Kedalam labu tersebut dimasukkan 5 g serbuk simplisia yang telah ditimbang seksama, labu dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluen mendidih, kecepatan tetesan diatur 2 tetes untuk tiap detik sampai sebagian besar air terdestilasi, kemudian kecepatan destilasi dinaikkan sampai 4 tetes tiap detik. Setelah semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluen. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan


(24)

mendingin pada suhu kamar. Setelah air dan toluen memisah sempurna, volume air dibaca dengan ketelitian 0,05 ml. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai dengan kandungan air yang terdapat dalam simplisia. Kadar air dihitung dalam persen (WHO., 1992).

3.6.4 Penetapan kadar sari yang larut dalam air

Sebanyak 5 g serbuk simplisia dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml air-kloroform (2,5 ml air-kloroform dalam air suling sampai 1 liter) dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam, kemudian disaring. Sejumlah 20 ml filtrat pertama diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Ditjen POM., 1977).

3.6.5 Penetapan kadar sari yang larut dalam etanol

Sebanyak 5 g serbuk simplisia dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml etanol 95% dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam. Kemudian disaring cepat untuk menghindari penguapan etanol. Sejumlah 20 ml filtrat diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam etanol 96% dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Ditjen POM., 1977).

3.6.6Penetapan kadar abu total


(25)

dalam krus porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Krus dipijar perlahan-lahan sampai arang habis, pijaran dilakukan pada suhu 600oC selama 3 jam kemudian didinginkan dan ditimbang sampai diperoleh bobot tetap. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Ditjen POM., 1977).

3.6.7 Penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam

Abu yang diperoleh dalam penetapan kadar abu dididihkan dalam 25 ml asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam dikumpulkan, disaring melalui kertas saring, dipijarkan sampai bobot tetap, kemudian didinginkan dan ditimbang. Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Ditjen POM., 1977).

3.7 Skrining Fitokimia

Skrining fitokimia dilakukan menurut Ditjen POM (1995) untuk mengetahui golongan senyawa alkaloida, flavonoid, glikosida, glikosida antrakinon, saponin, tanin, dan steroida/triterpenoida.

3.7.1 Pemeriksaan alkaloida

Ekstrak etanol kubis ungu ditimbang sebanyak 0,5 g kemudian ditambahkan 1 ml asam klorida 2N dan 9 ml air suling, dipanaskan di atas penangas air selama 2 menit, didinginkan dan disaring. Filtrat yang diperoleh dipakai untuk uji alkaloida: diambil 3 tabung reaksi, lalu kedalamnya dimasukkan 0,5 ml filtrat.

Pada masing-masing tabung reaksi ditambahkan 2 tetes pereaksi Mayer, 2 tetes pereaksi Bouchardat dan 2 tetes pereaksi Dragendorf. Alkaloida positif jika


(26)

terjadi endapan atau kekeruhan paling sedikit dua dari tiga percobaan di atas (Ditjen POM., 1977).

3.7.2 Pemeriksaan flavonoida Larutan Percobaan:

Sebanyak 0,5 g sampel disari dengan 10 ml metanol lalu direfluks selama 10 menit, disaring panas-panas melalui kertas saring berlipat, filtrat diencerkan dengan 10 ml air suling. Setelah dingin ditambah 5 ml eter minyak tanah, dikocok hati-hati, didiamkan. Lapisan metanol diambil, diuapkan pada temperatur 400 C. Sisa dilarutkan dalam 5 ml etil asetat, disaring.

Cara Percobaan:

a. Satu ml larutan percobaan diuapkan hingga kering, sisanya dilarutkan dalam 1-2 ml etanol 96%, ditambahkan 0,5 g serbuk seng dan 2 ml asam klorida 2 N, didiamkan selama satu menit. Ditambahkan 10 ml asam klorida pekat, jika dalam waktu 2-5 menit terjadi warna merah intensif menunjukkan adanya flavonoida (glikosida-3-flavonol).

b. Satu ml larutan percobaan diuapkan hingga kering, sisanya dilarutkan dalam 1 ml etanol 96%, ditambahkan 0,1 g magnesium dan 10 ml asam klorida pekat, terjadi warna merah jingga sampai merah ungu menunjukkan adanya flavonoida (Depkes RI., 1995).

3.7.3 Pemeriksaan glikosida

Ekstrak etanol kubis ungu ditimbang sebanyak 3 g, lalu disari dengan 30 ml campuran etanol 96% dengan air (7:3) dan 10 ml asam klorida 2N, direfluks selama 2 jam, didinginkan dan disaring. Diambil 20 ml filrat ditambahkan 25 ml air suling dan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M, dikocok, didiamkan 5 menit lalu


(27)

disaring. Filtrat disari dengan 20 ml campuran isopropanol dan kloroform (2:3), dilakukan berulang sebanyak 3 kali. Sari air dikumpulkan dan diuapkan pada temperatur tidak lebih dari 50٥C. Sisanya dilarutkan dalam 2 ml metanol. Larutan sisa digunakan untuk percobaan berikut: 0,1 ml larutan percobaan dimasukan dalam tabung reaksi dan diuapkan diatas penangas air. Pada sisa ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes pereaksi Molisch. Kemudian secara perlahan-lahan ditambahkan 2 ml asam sulfat pekat melalui dinding tabung, terbentuknya cincin berwarna ungu pada batas kedua cairan menunjukkan ikatan gula (Depkes RI., 1995).

3.7.4 Pemeriksaan antrakinon

Ekstrak etanol kubis ungu ditimbang sebanyak 0,2 g, kemudian ditambahkan 5 ml asam sulfat 2N, dipanaskan sebentar, setelah dingin ditambahkan 10 ml benzena, dikocok dan didiamkan. Lapisan benzen dipisahkan dan disaring, kocok lapisan benzen dengan 2 ml NaOH 2N, didiamkan. Lapisan air berwarna merah dan lapisan benzen tidak berwarna menunjukan adanya antrakinon.

3.7.5 Pemeriksaan saponin

Ekstrak etanol kubis ungu ditimbang sebanyak 0,5 g dan dimasukan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan 10 ml air panas, dinginkan kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 detik. Jika terbentuk busa setinggi 1-10 cm yang stabil tidak kurang dari 10 menit dan tidak hilang dengan penambahan 1 tetes asam klorida 2N menunjukan adanya saponin (Ditjen POM., 1995).

3.7.6 Pemeriksaan tanin

Ekstrak etanol kubis ungu ditimbang sebanyak 1 g, dididihkan selama 3 menit dalam 100 ml air suling lalu didinginkan dan disaring. Pada filtrat ditambah


(28)

1-2 tetes peraksi besi (III) klorida 1%. Jika terjadi warna biru kehitaman atau hijau kehitaman menunjukan adanya tanin.

3.7.7 Pemeriksaan steroida/ triterpenoida

Ekstrak etanol kubis ungu ditimbang 1 g, dimaserasi dengan 20 ml n-heksan selama 2 jam, lalu disaring. Filtrat diuapkan dalam cawan penguap. Pada sisa ditambahkan beberapa tetes pereaksi Liebermann-Burchard. Timbulnya warna biru atau biru hijau menunjukan adanya steroid, sedangkan warna merah, merah muda atau ungu menunjukkan adanya triterpenoida (Harborne, 1987).

3.8 Pembuatan Ekstrak Etanol Kubis Ungu

Pembuatan ekstrak etanol kubis ungu dilakukan secara maserasi menggunakan etanol 80%.

Cara kerja:

Sebanyak 535 g serbuk simplisia kubis ungu dimasukkan ke dalam wadah kaca berwarna gelap, kemudian dituangi dengan etanol 80%. Ditutup dan dibiarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya sambil sering diaduk, diserkai dan diperas. Ampas dicuci dengan etanol 80%, dipindahkan ke dalam bejana tertutup, dibiarkan di tempat sejuk, terlindung dari cahaya selama 2 hari, selanjutnya disaring. Maserat etanol yang diperoleh diuapkan dengan menggunakan rotary evaporator pada temperatur ± 40oC sampai diperoleh ekstrak kental kemudian dipekatkan dengan pemanasan di penangas air pada temperatur ± 40oC.

3.9 Pengujian Efek Toksisitas


(29)

suspensi ekstrak etanol kubis ungu, percobaan pendahuluan, pengujian toksisitas subkronik pada tikus, pengamatan meliputi kematian hewan, gejala-gejal klinis, perubahan berat badan, pengukuran SGPT, ureum dan kreatinin, serta histopatologi organ hati dan ginjal.

3.9.1 Penyiapan hewan percobaan

Hewan percobaan yang akan digunakan adalah tikus jantan dengan berat badan 150-200 gram, berumur 6-8 minggu. Sebelum percobaan dimulai, hewan diaklimatisasi diruang percobaan selama lebih kurang 7 hari. Hewan dikelompokkan secara acak sedemikian rupa sehingga penyebaran berat badan merata untuk semua kelompok dengan variasi berat badan tidak lebih 20% dari rata-rata berat badan (BPOM RI., 2011).

3.9.2 Pembuatan larutan Na CMC 0.5%

Sebanyak 0.5 g Na CMC ditaburkan dalam lumpang yang berisi ± 10 ml aquades panas, kemudian didiamkan selama 15 menit hingga diperoleh massa yang transparan, lalu digerus sampai homogeny, diencerkan dengan aquades, dihomogenkan dan dimasukkan ke labu tentukur 100 ml. Volume dicukupkan sampai garis tanda.

3.9.3 Pembuatan suspensi ekstrak etanol kubis ungu (EEKU)

Sebanyak 62.5 mg EEKU dimasukkan ke dalam lumpang dan ditambahkan larutan Na CMC 0.5% sedikit demi sedikit sambil digerus sampai homogen, lalu dimasukkan ke labu tentukur 10 ml. Volume dicukupkan sampai garis tanda. Prosedur yang sama dilakukan pada dosis 125, 250, 500, dan 1000mg/kg bb. 3.9.4 Pengujian efek toksisitas subkronik


(30)

klinik secara in vivo (BPOM RI., 2011). Hewan yang digunakan adalah tikus putih jantan berumur 3-4 bulan sebanyak 48 ekor. Sebelum percobaan dimulai, hewan diaklimatisasi di ruang percobaan selama 7-14 hari. Hewan dikelompokkan secara acak sedemikian rupa sehingga penyebaran berat badan merata untuk semua kelompok dengan variasi berat badan tidak lebih 20% dari rata-rata berat badan. Hewan dibagi dalam 8 kelompok, masing-masing terdiri dari 6 ekor tikus: Kelompok I : Diberi suspensi Na-CMC 0,5% b/v dosis 1 % bb

(kelompok kontrol)

Kelompok II : Diberi ekstrak etanol kubis ungu dosis 62,5 mg/kg bb (kelompok uji I)

Kelompok III : Diberi ekstrak etanol kubis ungu dosis 125 mg/kg bb (kelompok uji II)

Kelompok IV : Diberi ekstrak etanol kubis ungu dosis 250 mg/kg bb (kelompok uji III)

Kelompok V : Diberi ekstrak etanol kubis ungu dosis 500 mg/kg bb (kelompok uji IV)

Kelompok VI : Diberi ekstrak etanol kubis ungu dosis 1000 mg/kg bb (kelompok uji V)

Kelompok VII : Diberi suspensi Na-CMC 0,5% b/v dosis 1 % bb (kelompok satelit kontrol)

Kelompok VIII: Diberi ekstrak etanol kubis ungu dosis 1000 mg/kg bb (kelompok satelit dosis tinggi)

Tabel 3.1 Dosis uji toksisitas

Kelompok Jumlah tikus Dosis (mg/kg bb)

K1 6 Kontrol

K2 6 62,5

K3 6 125

K4 6 250

K5 6 500

K6 6 1000

K7 6 Kontrol (satelit)


(31)

Sediaan uji diberikan secara oral setiap hari selama 28 hari. Kemudian dilakukan pengamatan hewan uji terhadap gejala toksik yang muncul, untuk kelompok uji pengamatan dilakukan setiap hari selama 28 hari. Sedangkan untuk kelompok satelit pengamatan dilanjutkan selama 14 hari untuk mendeteksi proses penyembuhan kembali dari pengaruh toksik. Hewan ditimbang setiap hari selama 28 hari untuk menentukan volume sediaan uji yang akan diberikan. Perubahan berat badan dianalisis seminggu sekali. Pada akhir penelitian, hewan yang masih hidup ditimbang dan diotopsi (OECD., 2008).

Pengamatan terjadinya gejala-gejala toksik dan gejala klinis yang berupa perilaku fisik seperti diare, salivasi, lemas, gerak-gerik aneh seperti berjalan mundur dan menggunakan perut, hewan uji diletakkan di atas bidang yang datar dilakukan pengamatan secara umum pada masing-masing kelompok selama 2 jam setelah 1 jam pemberian sediaan uji. Sedangkan jumlah makanan dan minuman yang dikonsumsi ditimbang setiap 1 minggu sekali (BPOM RI., 2011).

3.9.5 Pemeriksaan fungsi hati

Pemeriksaan fungsi hati dilakukan dengan menghitung kadar ALT (Alanin Aminotransferase) menggunakan alat spektrofotometer UV yang dikerjakan oleh Laboratorium Kesehatan Daerah Provinsi Sumatera Utara.

Darah diambil dari jantung sebanyak 0,5 ml darah dimasukkan ke dalam microtube, didiamkan ± 5 menit, disentrifuse selama 10 menit dengan kecepatan 3000 rpm hingga dihasilkan serum yang bening. Penetapan kadar ALT dengan cara sejumlah 100 µl serum uji direaksikan dengan 1000 µl pereaksi uji untuk pemeriksaan ALT dalam tabung reaksi 5 ml, dihomogenkan dengan bantuan


(32)

vortex. Absorbansi diukur dengan spektrofotometer UV pada suhu 37°C tepat setelah menit ke 1, 2, dan 3 pada panjang gelombang 340 nm.

3.9.6 Pengamatan makropatologi organ

Tikus yang telah dikorbankan harus segera diotopsi dan dilakukan pengamatan secara makropatologi berupa perubahan warna, permukaan dan konsistensi dari organ.

3.9.7 Penimbangan organ

Organ yang akan ditimbang (absolut) harus dikeringkan terlebih dahulu dengan kertas penyerap, kemudian segera ditimbang, sedangkan yang dianalisis adalah bobot relatif (indeks organ), yaitu bobot organ absolut dibagi bobot badan. 3.9.8 Pemeriksaan histopatologi

Pemeriksaan histopatologi dilakukan di laboratorium anatomi kedokteran Sumatera Utara. Organ yang diperiksa adalah hati. Organ yang sudah dipisahkan dicuci dengan menggunakan larutan fisiologis 0,9%, kemudian dimasukkan dalam larutan dapar formalin 10% dan dibuat preparat histopatologi dengan pewarnaan hematoxylin & eosin kemudian diperiksa di bawah mikroskop.

Prosedur pembuatan preparat histopatologi:

a. Organ yang akan dihistologi direndam di dalam larutan dapar formalin 10% pada suhu kamar.

b. Organ yang akan dihistologi dipotong, untuk hati dilakukan pemotongan pada lobus terbesar hati.

c. Untuk menghilangkan sisa formalin dilakukan pencucian dengan air mengalir.


(33)

d. Dilakukan proses dehidrasi dengan etanol 70%, 80%, 90% dan etanol absolut. Kemudian dilanjutkan dengan penjernihan menggunakan xylol sebanyak tiga kali selama 1 jam.

e. Proses penanaman dilakukan dengan cara: sampel direndam dalam campuran xylol dan parafin cair pada suhu 60–70o C, dengan perbandingan xylol : parafin berturut-turut 3 : 1,1 : 1 dan 1 : 3 masing-masing selama 2 jam.

f. Dilakukan pencetakan dan dibiarkan membeku, kemudian blok parafin dipotong dengan menggunakan alat mikrotom dengan ketebalan irisan 5-7 µm. Setelah memperoleh potongan yang bagus, potongan tersebut ditempelkan pada kaca obyek. Sayatan organ yang telah menempel pada kaca obyek segera diletakkan pada permukaan pemanas dengan suhu 56-58°C selama kurang lebih 10 detik, sehingga organ meregang dan menempel pada kaca obyek sambil diatur jangan sampai organ berkerut atau melipat. Selanjutnya preparat disimpan dalam suhu kamar untuk dilakukan pewarnaan. g. Pewarnaan dilakukan dengan menggunakan hematoxylin-eosin. Pertama

sediaan direndam dengan larutan xylol untuk proses deparafinasi masing-masing selama 12 menit. Dilakukan proses dehidrasi dengan merendam preparat dalam etanol 70%, 80%, 90% dan etanol absolut selama 5 menit, dicuci dengan air mengalir. Selanjutnya direndam dengan larutan hematoxylin selama 5 menit, dicuci dengan air mengalir, dilakukan pewarnaan dengan eosin. Kemudian, dicelupkan ke dalam etanol 70%, 80%, 90% dan etanol absolut masing-masing selama 10 menit. Terakhir dimasukkan kedalam xylol selama 12 menit. Preparat diamati di bawah mikroskop.


(34)

3.10 Analisis Data

Data jumlah hewan uji yang mati dianalisa secara statistik menggunakan SPSS dengan metode One Way Analysis of Variance (ANOVA) dilanjutkan dengan uji post hoc Tukey untuk mengetahui perbedaan signifikan berat badan, berat organ relatif, konsumsi makan dan minum, serta kadar ALT (Alanin Aminotransferase ).


(35)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1Hasil Identifikasi Sampel

Hasil identifikasi yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) terhadap bahan yang diteliti adalah tumbuhan kubis ungu (Brassica oleracea L.) suku Brassicaceae dan menurut Heyne (1987) kubis ungu merupakan varietas capitata dengan forma rubra. Hasil dari LIPI dapat dilihat pada Lampiran 1 halaman 46.

4.2Ekstraksi Serbuk Kubis Ungu

Ekstraksi kubis ungu yang dilakukan secara maserasi menggunakan pelarut etanol 80%, hasilnya diperoleh ekstrak kental 164,35 g dan setelah diuapkan di penangas air diperoleh ekstrak kering 127,9 g dari 533 g serbuk simplisia.

4.3Pemeriksaan Karakterisasi 4.3.1 Pemeriksaan makroskopik

Hasil pemeriksaan makroskopik kubis ungu berupa daun berwarna ungu yang sangat jelas, berbentuk bulat lonjong, mempunyai rasa yang hambar, dan memiliki bau yang khas. Hasil uji makroskopik terdapat pada Lampiran 2 halaman 47 dan Lampiran 3 halaman 48.

4.3.2 Pemeriksaan mikroskopik


(36)

vessel, stomata tipe anisositik, kristal Ca. Oksalat berbentuk prisma, dan berkas pengangkut. Hasil uji mikroskopik pada simplisia kubis ungu terdapat pada Lampiran 4 halaman 49.

4.3.3 Hasil penetapan kadar pada simplisia dan ekstrak

Hasil penetapan kadar dapat dilihat pada Tabel 4.2 dan hasil perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 9 halaman 54-58.

Penetapan kadar air pada simplisia dan ekstrak dilakukan untuk mengetahui jumlah air yang terkandung di dalam simplisia. Kadar air simplisia ditetapkan untuk menjaga kualitas simplisia karena kadar air berkaitan dengan pertumbuhan jamur (WHO., 1998). Dari penelitian sebelumnya ditemukan bahwa kadar air simplisia kubis ungu adalah 10% (Shama, et al., 2012).

Tabel 4.1 Hasil penetapan kadar pada simplisia dan ekstrak

No Parameter

Hasil (%)

Simplisia Ekstrak

1 Kadar air 8,66 9,33

2 Kadar sari larut air 13,71 -

3 Kadar sari larut etanol 11,05 -

4 Kadar abu total 6,42 9,76

5 Kadar abu tidak larut asam 5,73 9,44

Penetapan kadar sari simplisia kubis ungu dilakukan menggunakan dua pelarut, yaitu air dan etanol. Penetapan kadar sari larut air adalah untuk mengetahui kadar senyawa kimia bersifat polar yang terkandung di dalam simplisia, sedangkan kadar sari larut dalam etanol dilakukan untuk mengetahui kadar senyawa larut dalam etanol, baik senyawa polar maupun senyawa non polar. Kadar sari larut etanol tidak jauh berbeda dengan kadar sari larut air sehingga untuk penelitian senyawa aktif dapat digunakan pelarut etanol yang mudah menguap. Penetapan kadar abu total dilakukan untuk mengetahui kadar senyawa anorganik dalam simplisia misalnya Mg, Ca, Na dan Pb sedangkan penetapan


(37)

kadar abu tidak larut dalam asam untuk mengetahui kadar senyawa yang tidak larut dalam asam misalnya silika. Data kadar abu dan kadar abu tidak larut asam dapat berbeda-beda sesuai dengan tempat tumbuh, unsur hara dalam tanah dan pestisida yang digunakan, karena itu parameter ini disebut parameter non spesifik (WHO., 1998).

4.4 Hasil Pemeriksaan Skrining Fitokimia

Hasil skrining fitokimia simplisia daun kubis ungu dan ekstrak daun kubis ungu dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut:

Tabel 4.2 Hasil skrining fitokimia

No. Nama Senyawa Hasil

Simplisia Ekstrak

1 Alkaloid - -

2 Flavonoid + +

3 Glikosida + +

4 Tanin - -

5 Saponin - -

6 Steroida - -

7 Antrakinon + +

8 Triterpen - -

Keterangan : (+) = terdeteksi; (-) = tidak terdeteksi

Berdasarkan hasil skrining fitokimia tersebut, dalam simplisia kubis ungu dan ekstrak etanol kubis ungu mengandung golongan senyawa seperti flavonoid, glikosida, dan antrakinon.

4.5 Uji Toksisitas Subkronik Ekstrak Etanol Kubis Ungu (EEKU) 4.5.1 Hasil pengamatan terhadap perilaku fisik hewan


(38)

percobaan tikus sesuai dengan pedoman uji toksistas nonklinik secara in vivo (BPOM., 2011). Hasil pengamatan terhadap perilaku fisik dapat dilihat pada Tabel 4.3 yang menunjukkan bahwa pemberian EEKU tidak ditemukan adanya gejala toksik pada perilaku fisik hewan selama 28 dan 42 hari seperti terjadinya diare, salivasi, lemas, jalan mundur, dan jalan menggunakan perut.

Tabel 4.3 Hasil pengamatan gejala toksik terhadap perilaku fisik hewan selama 28 dan 42 hari.

Kelompok Diare Salivasi Lemas Jalan mundur

Jalan dengan perut

K1 - - - - -

K2 - - - - -

K3 - - - - -

K4 - - - - -

K5 - - - - -

K6 - - - - -

K7 - - - - -

K8 - - - - -

Keterangan: K1 = kontrol; K2 = dosis 62,5 mg/kg bb; K3 = dosis 125 mg/kg bb; K4 = dosis 250 mg/kg bb; K5 = dosis 500 mg/kg bb; K6 = dosis 1000 mg/kg bb; K7 = satelit kontrol; K8 = dosis satelit 1000mg/kg bb (-) = tidak menunjukkan gejala; (+) = menunjukkan adanya gejala

Hasil penelitian dari Islam, et.al., (2015), pada pengujian toksisitas akut terhadap ekstrak metanol kubis ungu tidak ditemukan perubahan perilaku fisik dan kematian pada hewan uji. Hal ini menunjukkan bahwa kubis ungu tidak toksik terhadap perilaku fisik hewan.


(39)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa:

a. Hasil karakterisasi simplisia kubis ungu diperoleh kadar air 8,66%, kadar sari larut air 13,71%, kadar sari larut etanol 11,05%, kadar abu total 6,42%, kadar abu tidak larut dalam asam 5,73%. Pada esktrak diperoleh kadar air 9,33%, kadar abu total 6,42% dan kadar abu tidak larut dalam asam 9,43%.

b. Hasil skrining fitokimia pada simplisia dan ekstrak etanol kubis ungu diperoleh kandungan senyawa flavonoid, glikosida, dan antrakinon.

c. Ekstrak etanol kubis ungu pada kelompok kontrol dan pemberian sediaan uji tidak memberikan pengaruh terhadap gejala toksik klinis, berat badan, jumlah makan, dan minum pada tikus jantan.

d. Ekstrak etanol kubis ungu dapat meningkatkan kadar enzim ALT pada dosis 125 mg/kg bb hingga 1000 mg/kg bb pada tikus jantan.

e. Ekstrak etanol kubis ungu secara histopatologi menyebabkan toksisitas pada dosis 500 dan 1000 mg/kg bb pada tikus jantan.

f. Efek toksik ekstrak etanol kubis ungu pada tikus jantan bersifat reversibel setelah pemberian ekstrak dihentikan.

5.2 Saran


(40)

dengan organ sasaran yang lain, seperti ginjal dan jantung. Serta dilakukan pengujian lebih lanjut untuk meneliti potensi toksisitas subkronis 90 hari dari ekstrak etanol kubis ungu.


(41)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan

2.1.1 Habitat dan daerah tumbuh

Tumbuhan kubis (Brassica oleracea) bentuk capitata merupakan tumbuhan dari famili Brassicaceae atau Cruciferae (Majeed, 2004). Bentuk capitata menghasilkan kubis ungu maupun kubis putih. Kubis ungu dapat ditanam di dataran rendah maupun dataran tinggi dengan curah hujan rata-rata 850-900 mm dan umur panen berbeda-beda berkisar dari 90 hari sampai 150 hari. Kubis dapat diperbanyak dengan biji atau setek tunas (Dalimartha, 2000).

2.1.2 Morfologi

Tumbuhan kubis mempunyai daun berbentuk bulat, oval, sampai lonjong, membentuk roset akar yang besar dan tebal, warna daun bermacam-macam, antara lain putih (forma alba), hijau, dan merah keunguan (forma rubra). Awalnya daunnya berlapis lilin tumbuh lurus, daun-daun berikutnya tumbuh membengkok, menutupi daun-daun muda yang terakhir tumbuh. Pertumbuhan daun terhenti ditandai dengan terbentuknya krop atau telur (kepala) dan krop samping pada kubis tunas (Brussel sprouts). Selanjutnya, krop akan pecah dan keluar malai bunga yang bertangkai panjang, bercabang-cabang, berdaun kecil-kecil, mahkota tegak, berwarna kuning. Buahnya polong berbentuk silindris, panjang 5-10 cm, berbiji banyak. Biji berdiamater 2-4 mm, berwarna coklat kelabu dan berakar serabut (Dalimartha, 2000).


(42)

2.1.3 Taksonomi tumbuhan

Sistematika tumbuhan kubis ungu (Majeed, 2004) adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Bangsa : Capparales Suku : Brassicaceae Marga : Brassica

Spesies : Brassica oleracea L. var. capitata f. rubra 2.1.4 Nama lain

Tumbuhan kubis ungu mempunyai nama lain dari berbagai negara, diantaranya: Rode Kool (Belanda), Suitkool (Afrika), Chou Cobus (Prancis), Kopfkohl (Jerman), Purple / Red Cabbage (Inggris) (Heyne, 1987).

2.1.5 Khasiat dan penggunaan

Tumbuhan kubis ungu digunakan sebagai pewarna alami di berbagai produk, mempunyai serat diet yang cukup tinggi dalam membantu pencegahan kanker kolon, kolesterol, diabetes dan obesitas. Mengonsumsi jus kubis ungu juga dapat membantu memperbaiki lapisan lambung dan mengobati ulkus (Draghici, 2013). Jus kubis ungu dibuat dengan cara mencuci ¼ bagian kubis segar sampai bersih, bilas dengan air matang, lalu potong – potong seperlunya. Jus kubis tersebut, lalu sarinya diminum (Dalimartha, 2000).

Hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap khasiat kubis ungu antara lain, ekstrak metanol sebagai uji toleransi glukosa darah dan toksisitas akut (Islam, et al., 2015), ekstrak etanol sebagai antiplatelet (Putri, et.al., 2014), ekstrak


(43)

metanol sebagai antioksidan dan antiinflamasi (Rokayya, et.al., 2013), ekstrak metanol sebagai antihiperglikemik dan analgesik (Daud, et.al., 2015).

2.1.6 Kandungan Kimia

Kubis ungu memiliki kandungan karbohidrat, protein, glikosida, flavonoid, fenol (Shama, et.al, 2012), air, lemak, karbohidrat, serat, kalsium, fosfor, besi, natrium, kalium, vitamin (A, C, E), beta karoten, antosianin (pemberi warna merah-ungu) (Dalimartha, 2000).

2.2 Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan suatu pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan kedalam golongan minyak atsiri, alkaloida, flavonoida dan lain-lain. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dengan cara ekstraksi yang tepat (Ditjen POM., 2000).

Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya matahari langsung (Ditjen POM., 1979). Tujuan utama ekstraksi ini adalah untuk mendapatkan atau memisahkan sebanyak mungkin zat-zat yang memiliki khasiat pengobatan (Syamsuni, 2006). Beberapa metode ekstraksi yang sering digunakan dalam berbagai penelitian antara lain yaitu:

a. Cara dingin 1. Maserasi


(44)

beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan, sedangkan remaserasi merupakan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya (Ditjen POM, 2000).

Maserasi dilakukan dengan cara masukkan 10 bagian simplisia atau campuran simplisia dengan derajat halus yang cocok ke dalam sebuah bejana, tuangi dengan 75 bagian cairan penyari, tutup, biarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya sambil sering diaduk, serkai, peras, cuci ampas dengan cairan penyari secukupnya hingga diperoleh 100 bagian. Pindahkan ke dalam bejana tertutup, biarkan di tempat sejuk, terlindung dari cahaya selama 2 hari. Enap tuangkan dan saring (Ditjen POM, 1979).

2. Perkolasi

Perkolasi adalah suatu proses penyarian simplisia menggunakan alat yang disebut perkolator dimana simplisia terendam dalam cairan penyari, zat-zat akan terlarut dan larutan tersebut akan menetes secara beraturan. Prosesnya terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap perendaman antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan / penampungan perkolat) sampai diperoleh ekstrak (Ditjen POM., 2000).

Prosedur perkolasi yaitu basahi 10 bagian simplisia atau campuran simplisia dengan derajat halus yang cocok dengan 2,5 bagian sampai 5 bagian cairan penyari, masukkan ke dalam bejana tertutup sekurang-kurangnya selama 3 jam. Pindahkan massa sedikit demi sedikit ke dalam perkolator sambil tiap kali di tekan hati-hati, tuangi dengan cairan penyari secukupnya sampai cairan mulai menetes dan di atas simplisia masih terdapat selapis cairan penyari, tutup perkolator, biarkan selama 24 jam. Biarkan cairan menetes dengan kecepatan 1 ml per menit, tambahkan berulang-ulang cairan penyari secukupnya sehingga se-


(45)

lalu terdapat selapis cairan penyari di atas simplisia, hingga diperoleh 80 bagian perkolat. Peras massa, campurkan cairan perasan ke dalam perkolat, tambahkan cairan penyari secukupnya hingga diperoleh 100 bagian. Pindahkan ke dalam bejana, tutup, biarkan selama 2 hari di tempat yang sejuk, terlindung dari cahaya. Enap tuangkan atau saring (Ditjen POM., 1979).

b. Cara panas 1. Refluks

Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan alat pada temperatur titik didihnya dalam waktu tertentu dimana pelarut akan terkondensasi menuju pendingin dan kembali ke labu (Ditjen POM., 2000).

2. Sokletasi

Sokletasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut yang selalu baru, dilakukan dengan menggunakan alat soklet dimana pelarut akan terkondensasi dari labu menuju pendingin, kemudian jatuh membasahi sampel (Ditjen POM., 2000).

3. Digesti

Digesti adalah proses penyarian dengan pengadukan kontinu pada temperatur lebih tinggi dari temperatur kamar, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50°C (Ditjen POM., 2000).

4. Infudasi

Infudasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90°C selama 15 menit (Ditjen POM., 2000).

5. Dekoktasi

Dekoktasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90°C selama 30 menit (Ditjen POM., 2000).


(46)

2.3 Toksisitas

Uji toksisitas merupakan suatu uji untuk mendeteksi efek toksik suatu zat pada sistem biologi dan untuk memperoleh data dosis-respon yang khas dari sediaan uji. Data yang diperoleh dapat digunakan untuk memberi informasi mengenai derajat bahaya sediaan uji tersebut bila terjadi pemaparan pada manusia, sehingga dapat ditentukan dosis penggunaannya demi keamanan manusia.

Uji toksisitas menggunakan hewan uji sebagai model berguna untuk melihat adanya reaksi biokimia, fisiologik dan patologik pada manusia terhadap suatu sediaan uji. Hasil uji toksisitas tidak dapat digunakan secara mutlak untuk membuktikan keamanan suatu bahan/ sediaan pada manusia, namun dapat memberikan petunjuk adanya toksisitas relatif dan membantu identifikasi efek toksik bila terjadi pemaparan pada manusia (BPOM RI., 2014).

1. Uji toksisitas akut oral

Uji toksisitas akut oral adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang muncul dalam waktu singkat setelah pemberian sediaan uji yang diberikan secara oral dalam dosis tunggal, atau dosis berulang yang diberikan dalam waktu 24 jam. Prinsip uji toksisitas akut oral yaitu, sediaan uji dalam beberapa tingkat dosis diberikan pada beberapa kelompok hewan uji dengan satu dosis per kelompok, kemudian dilakukan pengamatan terhadap adanya efek toksik dan kematian. Hewan yang mati selama percobaan dan yang hidup sampai akhir percobaan diotopsi untuk dievaluasi adanya gejala-gejala toksisitas. Tujuan uji toksisitas akut oral adalah untuk mendeteksi toksisitas intrinsik suatu zat, menentukan organ sasaran, kepekaan spesies, memperoleh informasi bahaya setelah pemaparan suatu zat secara akut, memperoleh informasi awal yang dapat


(47)

digunakan untuk menetapkan tingkat dosis, merancang uji toksisitas selanjutnya, memperoleh nilai LD50 suatu bahan/sediaan, serta penentuan penggolongan bahan/ sediaan dan pelabelan (BPOM RI., 2014).

2. Uji toksisitas subkronis oral

Uji toksisitas subkronis oral adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji dengan dosis berulang yang diberikan secara oral pada hewan uji selama sebagian umur hewan, tetapi tidak lebih dari 10% seluruh umur hewan. Prinsip dari uji toksisitas subkronis oral adalah sediaan uji dalam beberapa tingkat dosis diberikan setiap hari pada beberapa kelompok hewan uji dengan satu dosis per kelompok selama 28 atau 90 hari, bila diperlukan ditambahkan kelompok satelit untuk melihat adanya efek tertunda atau efek yang bersifat reversibel. Selama waktu pemberian sediaan uji, hewan harus diamati setiap hari untuk menentukan adanya toksisitas. Hewan yang mati selama periode pemberian sediaan uji, bila belum melewati periode rigor mortis (kaku) segera diotopsi, dan organ serta jaringan diamati secara makropatologi dan histopatologi.

Pada akhir periode pemberian sediaan uji, semua hewan yang masih hidup diotopsi selanjutnya dilakukan pengamatan secara makropatologi pada setiap organ dan jaringan. Selain itu juga dilakukan pemeriksaan hematologi, biokimia klinis dan histopatologi. Tujuan uji toksisitas subkronis oral adalah untuk memperoleh informasi adanya efek toksik zat yang tidak terdeteksi pada uji toksisitas akut; informasi kemungkinan adanya efek toksik setelah pemaparan sediaan uji secara berulang dalam jangka waktu tertentu; informasi dosis yang tidak menimbulkan efek toksik (No Observed Adverse Effect Level / NOAEL);


(48)

dan mempelajari adanya efek kumulatif dan efek reversibilitas zat tersebut (BPOM RI., 2014).

3. Uji toksisitas kronis oral

Uji toksisitas kronis oral adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji secara berulang sampai seluruh umur hewan. Uji toksisitas kronis pada prinsipnya sama dengan uji toksisitas subkronis, tetapi sediaan uji diberikan selama tidak kurang dari 12 bulan. Tujuan dari uji toksisitas kronis oral adalah untuk mengetahui profil efek toksik setelah pemberian sediaan uji secara berulang selama waktu yang panjang, untuk menetapkan tingkat dosis yang tidak menimbulkan efek toksik (NOAEL). Uji toksisitas kronis harus dirancang sedemikianrupa sehingga dapat diperoleh informasi toksisitas secara umum meliputi efek neurologi, fisiologi, hematologi, biokimia klinis dan histopatologi (BPOM RI., 2014).

2.4 Hati

Hati adalah salah satu organ pencernaan terbesar dan terletak di posisi sangat strategis. Semua nutrien dan cairan yang diserap dari usus masuk kehati melalui vena porta hepatis, kecuali produk lemak kompleks, yang masuk dan diangkut oleh pembuluh limfe (Eroschenko, 2013).

2.4.1 Anatomi hati

Hati terletak di sebelah kanan atas rongga perut di bawah diafragma, beratnya kira-kira 1,5 kg atau 2,5% berat badan pada orang dewasa normal. Oleh ligament falsiformis hati dibagi menjadi lobus kanan dan lobus kiri. Pada lobus kanan terdapat juga lobus kaudatus dan lobus kuadratus (Irianto, 2004). Warnanya


(49)

dalam keadaan segar merah kecoklatan, warna tersebut terutama disebabkan oleh adanya darah yang amat banyak (Lee, et al., 1997).

Gambar 2.1. Gambaran makroskopik hati manusia dari anterior

Setiap lobulus hati terdiri dari berbagai komponen, yaitu sel-sel hati (hepatosit), vena sentralis, sinusoid, cabang-cabang vena porta, cabang-cabang arteri hepatika, sel Kupffer dan kanalikuli biliaris (Junqueira and Carneiro, 2009). 2.4.2 Fisiologi hati

Selain merupakan organ parenkim yang paling besar, hati juga mempunyai beberapa fungsi. Fungsi utama hati yaitu (Irianto, 2000):

1. Memproduksi protein plasma (albumin, fibrinogen, protrombin; juga memproduksi heparin, yaitu suatu antikoagulan darah).

2. Fagositosis mikroorganisme dan eritrosit dan lekosit yang sudah tua dan rusak.

3. Pusat metabolisme protein, lemak, dan karbohidrat. Bergantung kepada keperluan tubuh, ketiganya dapat saling terbentuk.


(50)

beracun diubah menjadi urea yang relatif tidak beracun pada Daur Krebs – Urea di dalam sel hati.

5. Memproduksi cairan empedu

6. Merupakan gudang penyimpanan berbagai zat seperti mineral (Cu, Fe); vitamin A, D, E, K, B12, glikogen dan berbagai racun yang tidak dapat dikeluarkan dari tubuh, misalnya pestisida DDT.

Hati mempunyai tiga kelompok penting: sintesis, ekskresi dan penyimpanan. Energi dan zat-zat gizi yang didapat dari makanan harus diproses dan kemudian disimpan, disebar atau diubah bentuknya oleh hati. Hati merombak, mendetoksikasi dan mengubah metabolit-metabolit primer dan pertengahan untuk ekskresi, penyimpanan atau untuk dipakai lagi (Widmann, 1989).

2.4.3 Histologi hati

Hati manusia memiliki maksimal 100.000 lobulus. Diantara lempengan sel hati terdapat kapiler-kapiler yang disebut sebagai sinusoid, yang merupakan cabang vena porta dan arteria hepatika. Tidak seperti kapiler lain, sinusoid dibatasi oleh sel fagositik atau sel Kupffer. Sel Kupffer merupakan sistem monosit-makrofag, dan fungsi utamanya adalah menelan bakteri dan benda asing lain dalam darah sehingga hati merupakan salah satu organ penting dalam pertahanan melawan invasi bakteri dan agen toksik. Selain cabang-cabang vena porta dan arteria hepatika yang melingkari bagian perifer lobulus hati, juga terdapat saluran empedu. Saluran empedu interlobular membentuk kapiler empedu yang sangat kecil yang disebut sebagai kanalikuli, yang berjalan ditengah lempengan sel hati. Empedu yang dibentuk dalam hepatosit dieksresi ke dalam


(51)

kanalikuli yang bersatu membentuk saluran empedu yang makin lama makin besar hingga menjadi duktus koledokus (Price dan Wilson, 2003).

2.4.4 Patologi hati

Kerusakan pada hati dapat terjadi oleh beberapa faktor yaitu onset pemaparan yang terlalu lama, durasi pemaparan, dosis dan sel inang yang rentan (Jubb, 1993). Kerusakan yang terjadi pada sel hati dapat bersifat sementara (reversible) dan tetap (irreversible) (Wicaksono, 2002). Sel akan mengalami perubahan untuk beradaptasi mempertahankan hidupnya, perubahan ini biasa disebut degenerasi. Degenerasi sel dapat berupa degenerasi hidropis dan degenerasi lemak. Degenerasi terjadi karena adanya gangguan biokimiawi yang disebabkan oleh iskemia, anemia, metabolisme abnormal dan zat kimia yang bersifat toksik(Cheville, 1999).

Degenerasi lemak (fatty changes atau steatosis) adalah penimbunan abnormal dari trigliserida dalam sel parenkim. Penyebabnya adalah toksin, malnutrisi protein, diabetes mellitus, obesitas, dan anoksia. Timbunan trigliserida dalam sel hati dapat disebabkan defek dari mulai masuknya asam lemak dalam hati sampai keluarnya lemak dari hati sebagai lipoprotein. Dimana bentuk jaringan hati sudah tidak teratur, vakuola-vakuola lemak besar dan kecil dalam sitoplasma sel hati, inti sel terdesak ke tepi, stroma jaringan ikat yang menebal atau fibrosis (pembentukan jaringan ikat fibrosa oleh sel-sel fibrolas dan fibrosit) pada daerah saluran portal yang masuk ke dalam lobulus hati, membentuk pseudo lobul. Dinamakan pseudo lobul karena merupakan lobus yang tidak mempunyai vena sentral atau lobus palsu (Sudiono, 2001).


(52)

Degenerasi hidropik merupakan peristiwa meningkatnya kadar air di intraseluler yang menyebabkan sitoplasma dan organel-organel membengkak dan membentuk vakuola-vakuola. Rusaknya permeabilitas membran sel menyebabkan terhambatnya aliran Na+ keluar dari sel sehingga menyebabkan ion-ion dan air masuk secara berlebihan kedalam sel. Degenerasi hidropik merupakan respon awal sel terhadap bahan-bahan yang bersifat toksik, serta merupakan proses awal dari kematian sel (Jones, et al., 1997; Cheville, 1999).

Kerusakan sel secara terus-menerus akan mencapai suatu titik sehingga terjadi kematian sel. Paparan zat toksik pada sel apabila cukup hebat atau berlangsung cukup lama, maka sel tidak dapat lagi mengkompensasi dan tidak dapat melanjutkan metabolisme. Inti sel yang mati dapat terlihat lebih kecil dan menjadi lebih padat (piknosis), hancur bersegmen-segmen (karioreksis) dan kemudian inti sel menghilang (kariolisis) (Underwood, 1994). Nekrosis hati adalah kematian hepatosit yang umumnya merupakan kerusakan akut (Lu, 1995). 2.4.5 Aminotransferase

Sebagai enzim yang mengkatalisis perpindahan reversibel satu gugusan amino dari asam amino ke asam alfa-keto. Transminase merupakan jenis enzim intraseluler yang terlibat dalam metabolisme karbohidrat dan asam amino. Enzim transminase terdapat di dalam sel-sel beberapa organ seperti jantung, hati, ginjal, dan pankreas. Kedua enzim yang paling sering diukur ialah alanin aminotransferase (ALT) dan aspartat aminotransferase (AST). Asam amino ikut serta dalam banyak reaksi dan amino transferase tersebar luas. Hati merupakan pusat sintesis protein dan penyaluran asam amino kedalam jalur-jalur biokimia lain sangat banyak mengandung enzim aminotransferase. Hanya sel-sel hati yang


(53)

memiliki konsentrasi ALT yang tinggi, walaupun ginjal, jantung dan otot bergaris mengandung ALT dalam jumlah sedang. Kadar ALT menjadi petunjuk yang lebih sensitif ke arah kerusakan hati karena sangat sedikitnya kondisi bukan hati berpengaruh terhadap kadar ALT dalam serum (Widmann, 1989). Kadar ALT normal pada tikus yaitu 35-80 U/L (Research Animal Resource, 2009). Pemeriksaan enzim-enzim pada berbagai penyakit dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Kondisi-kondisi yang berhubungan dengan peningkatan

aminotransferase.

Penyakit Petunjuk Lain

Nilai sangat tinggi (20 atau lebih kali normal)

a. Hepatitis oleh virus b. Hepatitis toksis

Antigen virus dan antibodi terhadap virus

Riwayat pemakaian obat, pemaparan sehubungan dengan anestetika.

Nilai meningkat sedang (biasanya 3-10 kali normal)

a. Mononucleosis infectiosa b. Hepatitis kronik aktif

c. Obstruksi saluran empedu ekstrahepatik

d. Sindrom Reye

e. Cholestatis intrahepatic f. Infark miokard

Antibodi heterofil; antibodi terhadap EBV

Kadar turun naik, turun oleh steroid ALP meningkat

Amonia dalam serum tinggi ALT lebih tinggi dari AST ALP sangat tinggi

AST jauh lebih tinggi dari ALT Nilai tidak atau sedikit meningkat (1-3

kali normal) a. Pankreatitis

b. Hati melemak oleh alkohol c. Sirosis Laennec

d. Infiltrasi granulomatous atau oleh tumor

e. Sirosis biliar

Lipase dan amilase meninggi GGT biasanya meninggi

Fungsi sintesis merendah; hipertensi portal

AST biasanya lebih tinggi dari ALT ALT sangat tinggi; antibodi terhadap mitokondria.


(54)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Obat tradisional berasal dari bahan – bahan tumbuhan, bagian-bagian hewan dan mineral. Obat-obatan dari tumbuhan merupakan jenis yang paling banyak digunakan (WHO., 2000). Biasanya digunakan dalam pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit dan pengobatan, khususnya untuk penyakit kronis (WHO., 2013). Karakterisasi simplisia dan ekstrak memiliki peran yang sangat penting dalam mengidentifikasi kemurnian maupun kualitas simplisia dan ekstrak (Ahmad, 2013). Toksisitas adalah potensi merusak dari suatu zat kimia dan istilah ini lebih menyatakan kualitatif daripada kuantitatif. Kerusakan ini ditentukan oleh faktor jumlah zat kimia yang masuk atau diabsorpsi ke dalam tubuh tergantung dari keparahan pemaparan dan dosis (FK Unsri., 2004).

Salah satu tumbuhan obat adalah kubis ungu (Brassica oleracea L. var capitata f. rubra) famili Brassicaceae. Tumbuhan ini lazim ditanam di Indonesia dan dipercayai oleh masyarakat berkhasiat sebagai obat sembelit, meningkatkan produksi ASI dan mencegah kanker kolon (Yuniarti, 2008).

Penelitian menunjukkan bahwa kubis ungu mengandung serat makanan tinggi yang dapat membantu pencegahan kanker kolon, kolesterol tinggi, diabetes dan obesitas. Kubis ungu juga mengandung antioksidan, vitamin, mineral dan senyawa antosianin yang tinggi (Draghici, et al., 2013). Menurut Islam, et al., 2015, ekstrak metanol kubis ungu dengan dosis 50, 100, 200 dan 400 mg/kg bb dapat menurunkan kadar glukosa darah. Kubis ungu juga mempunyai khasiat lain


(55)

seperti antihiperglikemik, analgesik (Daud, et al., 2015), antioksidan, dan antiinflamasi (Rokayya, et al., 2013). Perbedaan dengan kubis lainnya adalah terlihat ekstraknya mempunyai warna yang cukup jelas dan stabilitas yang baik ketika dibandingkan dengan antosianin yang lainnya jika dilihat dari konfigurasi kimianya (Shama, et al., 2012). Pengujian tentang toksisitas perlu dilakukan agar penggunaannya aman. Pengujian toksisitas akut ekstrak metanol kubis ungu (Brassica oleracea L.) telah dilakukan dan dinyatakan tidak memberikan efek toksik (Islam, et al., 2015) sehingga pada penelitian ini dilakukan uji toksisitas subkronik.

Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi efek toksik suatu zat pada sistem biologi dan untuk memperoleh data dosis-respon yang khas dari sediaan uji. Secara umum uji toksisitas dibedakan menjadi toksisitas akut, sub kronik dan kronik. Uji toksisitas subkronik merupakan suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji dengan dosis berulang yang diberikan secara oral pada hewan uji selama 28 atau 90 hari (OECD., 2008). Uji toksisitas subkronik singkat oral 28 hari pada rodensia digunakan untuk menguji sediaan uji yang penggunaannya secara klinis apakah dalam bentuk sekali pakai dan berulang dalam waktu kurang dari satu minggu. Uji toksisitas subkronik oral 90 hari digunakan untuk menguji sediaan uji yang penggunaannya secara klinis berulang dalam waktu 1-4 minggu (BPOM RI., 2011).

Tujuan uji toksisitas subkronik adalah untuk memperoleh informasi adanya efek toksik setelah pemaparan sediaan uji untuk mengetahui dosis yang tidak menimbulkan efek toksik, untuk memperoleh informasi adanya efek toksik


(56)

zat yang tidak terdeteksi pada uji toksisitas akut, untuk memperoleh informasi adanya dosis yang tidak menimbulkan efek toksik (No Observed-Adversed Effect Level/NOAEL), dan mempelajari adanya efek kumulatif dan efek reversibilitas setelah pemaparan sediaan uji secara berulang dalam jangka waktu tertentu (BPOM RI., 2011).

Salah satu parameter pengamatan uji toksisitas subkronik adalah pengamatan fungsi hati dengan parameter biokimia pemeriksaan terhadap kadar ALT (Alanin Aminotransferase). Hati merupakan organ utama tempat biotransformasi zat-zat kimia dan hati juga memiliki kapasitas yang lebih tinggi untuk mengikat zat-zat kimia (Lu, 1994).

Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk melakukan karakterisasi simplisia dan ekstrak, serta pengujian toksisitas subkronik ekstrak etanol kubis ungu pada tikus jantan mengingat pemanfaatannya yang beragam dan belum ditemukan informasi mengenai batas keamanannya.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas dapat diambil perumusan masalah, yaitu:

a. Apakah hasil dari karakterisasi simplisia dan ekstrak etanol kubis ungu ?

b. Apakah golongan senyawa kimia yang terdapat pada ekstrak etanol kubis ungu setelah dilakukan skrining fitokimia?

c. Apakah ekstrak etanol kubis ungu berpengaruh terhadap gejala toksik klinis, berat badan, jumlah makan, dan minum tikus jantan?


(57)

d. Apakah ekstrak etanol kubis ungu dapat meningkatkan kadar enzim ALT (Alanin Aminotransferase) tikus jantan?

e. Apakah ekstrak etanol kubis ungu secara histopatologi menyebabkan efek toksik pada organ hati terhadap tikus jantan?

f. Apakah ekstrak etanol kubis ungu bersifat reversibel setelah pemberian ekstrak dihentikan pada tikus jantan?

1.3 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah diatas hipotesis pada penelitian ini adalah:

a. Simplisia dan ekstrak etanol dapat dikarakterisasi dan memenuhi persyaratan standar mutu.

b. Ekstrak etanol kubis ungu mengandung golongan senyawa flavonoid, glikosida, dan antrakinon.

c. Ekstrak etanol kubis ungu tidak berpengaruh terhadap gejala toksik klinis, berat badan, jumlah makan, dan minum tikus jantan.

d. Ekstrak etanol kubis ungu dapat meningkatkan kadar enzim ALT (Alanin Aminotransferase) pada tikus jantan.

e. Ekstrak etanol kubis ungu secara histopatologi dapat menyebabkan efek toksik pada tikus jantan.

f. Ekstrak etanol kubis ungu bersifat reversibel setelah pemberian ekstrak dihentikan pada tikus jantan.


(58)

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan hipotesis diatas tujuan penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui hasil dari karakterisasi simplisia dan ekstrak etanol kubis ungu.

b. Untuk mengetahui golongan senyawa kimia yang terdapat pada ekstrak etanol kubis ungu setelah dilakukan skrining fitokimia.

c. Untuk mengetahui apakah ekstrak etanol kubis ungu berpengaruh terhadap gejala toksik klinis, berat badan, jumlah makan, dan minum tikus jantan.

d. Untuk mengetahui apakah ekstrak etanol kubis dapat meningkatkan kadar enzim ALT (Alanin Aminotransferase) tikus jantan.

e. Untuk mengetahui apakah ekstrak etanol kubis ungu secara histopatologi menyebabkan efek toksik pada organ hati terhadap tikus jantan.

f. Untuk mengetahui apakah ekstrak etanol kubis ungu bersifat reversibel setelah pemberian ekstrak dihentikan pada tikus jantan.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini yaitu memberikan informasi mengenai senyawa yang terkandung dari proses karakterisasi simplisia dan skrining fitokimia, serta efek toksik yang ditimbulkan dari ekstrak etanol kubis ungu sebagai acuan uji klinik untuk dijadikan sebagai obat.

1.6Kerangka Pikir Penelitian

Penelitian ini terdapat dua variabel, yaitu simplisia dan ekstrak etanol kubis ungu 62,5, 125, 250, 500, 1000 mg/kg bb sebagai variable bebas. Sedangkan pemeriksaan simplisia dan potensi ketoksikan sebagai variabel terikat.


(59)

Parameter pemeriksaan simplisia meliputi pengamatan makroskopik, mikroskopik, skrining fitokimia, kadar air, kadar sari larut dalam etanol, kadar abu total, dan kadar abu tidak larut dalam asam. Sedangkan parameter ketoksikan meliputi gejala toksik, berat badan, jumlah makan dan minum, kematian, kadar ALT, berat organ hati relatif, makropatologi, dan histopatologi. Kerangka pikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.1

Variabel bebas Variabel terikat Parameter

Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian. Simplisia kubis ungu (Brassica oleracea L.) Ekstrak etanol kubis ungu (EEKU) Gejala toksik Kelompok kontrol :

-Na CMC 0,5 % Kelompok uji

-Dosis 62,5 mg/kg bb -Dosis 125 mg/kg bb -Dosis 250 mg/kg bb -Dosis 500 mg/kg bb -Dosis 1000 mg/kg bb Kelompok satelit

-Na CMC 0,5 % (Satelit kontrol) -Dosis 1000 mg/kg bb

(Satelit dosis tinggi) Waktu pengujian 28 hari dan 42 hari

Pemeriksaan simplisia dan ekstrak - Makroskopik - Mikroskopik - Skrining fitokimia - Kadar air

- Kadar sari larut dalam etanol - Kadar abu total - Kadar abu tidak

larut dalam asam

- Berat badan - Jumlah makan

dan minum - Kematian - Kadar ALT - Makropatologi - Berat organ hati

relatif


(60)

KARAKTERISASI SIMPLISIA DAN UJI TOKSISITAS SUBKRONIK EKSTRAK ETANOL KUBIS UNGU (Brassica oleracea L. var capitata f.

rubra) PADA TIKUS JANTAN

ABSTRAK

Kubis ungu (Brassica oleracea L.) famili Brassicaceae berkhasiat sebagai antidiabetes, antioksidan, antihiperglikemik, analgesik dan antiinflamasi yang mengandung senyawa antosianin cukup tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk karakterisasi simplisia, skrining fitokimia dan uji efek toksisitas subkronik ekstrak etanol daun kubis ungu setelah pemberian selama 28 hari pada tikus.

Simplisia kubis ungu diekstraksi dengan cara maserasi menggunakan pelarut etanol 80%. Karakterisasi dan skrining fitokimia dilakukan terhadap simplisia dan ekstrak. Uji toksisitas subkronik menggunakan tikus jantan sebanyak 48 ekor yang dibagi dalam 8 kelompok. Kelompok kontrol (I) diberikan suspensi Na CMC 0,5%. Kelompok uji (II, III, IV, V dan VI) masing-masing diberi ekstrak etanol kubis ungu dengan konsentrasi 62,5, 125, 250, 500, 1000 mg/kg bb selama 28 hari. Kelompok satelit (VI dan VIII) masing – masing diberi suspensi Na CMC 0,5% dan ekstrak dengan konsentrasi 1000 mg/kg bb selama 42 hari.

Hasil karakterisasi simplisia diperoleh kadar air 8,66%, kadar sari larut dalam air 13,71%, kadar sari larut dalam etanol 11,05%, kadar abu total 6,42% dan kadar abu tidak larut dalam asam 5,73%. Pada ekstrak diperoleh kadar air 9,33%, kadar abu total 9,76% dan kadar abu tidak larut dalam asam 9,43%. Hasil skrining fitokimia simplisia dan ekstrak dijumpai senyawa flavonoid, glikosida, dan antrakinon. Hasil uji toksisitas ekstrak tidak ditemukan kematian tikus pada semua kelompok. Tidak ditemukan adanya gejala toksik pada perilaku fisik hewan seperti terjadinya diare, salivasi, lemas, jalan mundur dan jalan menggunakan perut.

Kata kunci: Karakterisasi simplisia, ekstrak etanol kubis ungu, toksisitas subkronik, tikus jantan.


(61)

SIMPLEX CHARACTERIZATION AND SUB-CHRONIC TOXICITY TEST WITH ETHANOL EXTRACT OF RED CABBAGE (Brassica

oleracea L. var capitata f. rubra) ON MALE RATS

ABSTRACT

The red cabbage (Brassica oleracea L.) belonging to the family Brassicaceae, is the one of herbal medicine that had many effect, which is antidiabetic, antioxidant, antihyperglycemic, analgesic and antiinflammation. Red cabbage is rich of anthocyanin pigment. This study aimed to test a crude drug, phytochemical screening, and toxic effects of ethanol extract of red cabbage after administration for 28 days to rats.

Red cabbage extraction was macerated by ethanol 80%. Characterization

and phytochemical screening was carried out on simplex and extract. Sub-chronic toxicity tests using rats as much as 48 tails, which were grouped into 8 groups. Control (I) was given 0.5% CMC Na solution. Dosage (II, III, IV, V, and VI) respectively given the ethanol extract of red cabbage leaf with a concentration

62.5, 125 ,250, 500, 1000 mg / kg bw for 28 days. Satellite (VII and VIII)

respectively given CMC Na and 1000 mg/kg bw concentration for 42 days.

Result of simplex characterization was water content 8.66% and 9.33%, levels of water-soluble 13.71% and 11.37%, the levels of ethanol-soluble 11.05%,

total ash content 6.42% and ash content does not dissolve in acid 5.73%. For

extract was water content 9.33%, total ash content 9.76% and ash content does not dissolve in acid 4.33%. Phytochemical screening showed the presence of

flavonoids, glycoside, and anthraquinone. There were no deaths found at toxicity

test in any groups. There were no toxic symptoms in physical behavior of rats such as diarrheae, salivation, weak, step backward and walk with stomach.

Keywords: simplex characterization, ethanol extract of red cabbage, sub-chronic toxicity, male rats.


(62)

KARAKTERISASI SIMPLISIA DAN UJI TOKSISITAS

SUBKRONIK EKSTRAK ETANOL KUBIS UNGU (Brassica

oleracea L. var. capitata f. rubra) PADA TIKUS JANTAN

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

NURUL KHAIRINA HARAHAP

NIM 101501096

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(63)

KARAKTERISASI SIMPLISIA DAN UJI TOKSISITAS

SUBKRONIK EKSTRAK ETANOL KUBIS UNGU (Brassica

oleracea L. var. capitata f. rubra) PADA TIKUS JANTAN

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

NURUL KHAIRINA HARAHAP

NIM 101501096

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(64)

PENGESAHAN SKRIPSI

KARAKTERISASI SIMPLISIA DAN UJI TOKSISITAS

SUBKRONIK EKSTRAK ETANOL KUBIS UNGU (Brassica

oleracea L. var. capitata f. rubra) PADA TIKUS JANTAN

OLEH:

NURUL KHAIRINA HARAHAP NIM 101501096

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada tanggal : 8 Maret 2016 Disetujui Oleh:

Pembimbing I, Panitia Penguji,

Dr. Marline Nainggolan, M.S., Apt. Prof. Dr. Karsono, Apt. NIP 195709091985112001 NIP 195409091982011001

Pembimbing II, Dr. Marline Nainggolan, M.S., Apt. NIP 195709091985112001

Dr. Kasmirul Ramlan Sinaga, M.S., Apt. Dra. Suwarti Aris, M.Si., Apt. NIP 195504241983031003 NIP 195107231982032001

Marianne, S.Si., M.Si., Apt. NIP 198005202005012006

Medan, April 2016 Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Pejabat Dekan,

Dr. Masfria, M.S., Apt. NIP 195707231986012001


(65)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini, serta shalawat beriring salam untuk Rasulullah Muhammad SAW sebagai suri tauladan dalam kehidupan. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Karakterisasi Simplisia Dan Uji Toksisitas Subkronik Ekstrak Etanol Kubis Ungu (Brassica oleracea L. Var. Capitata F.

Rubra) Pada Tikus Jantan”.

Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dr. Masfria, M.S., Apt., selaku Pejabat Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara yang telah menyediakan fasilitas sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Marline Nainggolan, M.S., Apt., selaku pembimbing I dan Bapak Dr. Kasmirul Ramlan Sinaga, M.S., Apt., selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktu dan tenaga dalam membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan tanggung jawab, memberikan petunjuk dan saran-saran selama penelitian hingga selesainya skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Karsono, Apt., selaku ketua penguji, Ibu Dra. Suwarti Aris, M.Si., Apt., dan Ibu Marianne, S.Si., M.Si., Apt., selaku anggota penguji yang telah memberikan saran dan arahan untuk menyempurnakan skripsi ini. Ibu Dra. Saleha Salbi, M.Si., Apt., selaku dosen pembimbing akademik serta Bapak dan Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi USU yang telah banyak membimbing penulis selama masa perkuliahan hingga selesai.


(66)

Penulis juga mempersembahkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada Ayahanda H. Khairul Syahnan Harahap, ST., MAP., dan Ibunda Hj. Yurina Rahmah Siregar S.Psi, M.Psi, dan adik Mutiara Putri Harahap serta Bukhari Rahman Harahap, serta keluarga yang telah memberikan cinta dan kasih sayang yang tidak ternilai dengan apapun, baik materi maupun motivasi serta doa yang tulus. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Mitra Nugraha Sembiring S.Farm., yang selalu mendoakan dan memberi semangat yang tiada henti.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya di bidang farmasi.

Medan, 8 Maret 2016 Penulis,

Nurul Khairina Harahap NIM 101501096


(67)

KARAKTERISASI SIMPLISIA DAN UJI TOKSISITAS SUBKRONIK EKSTRAK ETANOL KUBIS UNGU (Brassica oleracea L. var capitata f.

rubra) PADA TIKUS JANTAN

ABSTRAK

Kubis ungu (Brassica oleracea L.) famili Brassicaceae berkhasiat sebagai antidiabetes, antioksidan, antihiperglikemik, analgesik dan antiinflamasi yang mengandung senyawa antosianin cukup tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk karakterisasi simplisia, skrining fitokimia dan uji efek toksisitas subkronik ekstrak etanol daun kubis ungu setelah pemberian selama 28 hari pada tikus.

Simplisia kubis ungu diekstraksi dengan cara maserasi menggunakan pelarut etanol 80%. Karakterisasi dan skrining fitokimia dilakukan terhadap simplisia dan ekstrak. Uji toksisitas subkronik menggunakan tikus jantan sebanyak 48 ekor yang dibagi dalam 8 kelompok. Kelompok kontrol (I) diberikan suspensi Na CMC 0,5%. Kelompok uji (II, III, IV, V dan VI) masing-masing diberi ekstrak etanol kubis ungu dengan konsentrasi 62,5, 125, 250, 500, 1000 mg/kg bb selama 28 hari. Kelompok satelit (VI dan VIII) masing – masing diberi suspensi Na CMC 0,5% dan ekstrak dengan konsentrasi 1000 mg/kg bb selama 42 hari.

Hasil karakterisasi simplisia diperoleh kadar air 8,66%, kadar sari larut dalam air 13,71%, kadar sari larut dalam etanol 11,05%, kadar abu total 6,42% dan kadar abu tidak larut dalam asam 5,73%. Pada ekstrak diperoleh kadar air 9,33%, kadar abu total 9,76% dan kadar abu tidak larut dalam asam 9,43%. Hasil skrining fitokimia simplisia dan ekstrak dijumpai senyawa flavonoid, glikosida, dan antrakinon. Hasil uji toksisitas ekstrak tidak ditemukan kematian tikus pada semua kelompok. Tidak ditemukan adanya gejala toksik pada perilaku fisik hewan seperti terjadinya diare, salivasi, lemas, jalan mundur dan jalan menggunakan perut.

Kata kunci: Karakterisasi simplisia, ekstrak etanol kubis ungu, toksisitas subkronik, tikus jantan.


(68)

SIMPLEX CHARACTERIZATION AND SUB-CHRONIC TOXICITY TEST WITH ETHANOL EXTRACT OF RED CABBAGE (Brassica

oleracea L. var capitata f. rubra) ON MALE RATS

ABSTRACT

The red cabbage (Brassica oleracea L.) belonging to the family Brassicaceae, is the one of herbal medicine that had many effect, which is antidiabetic, antioxidant, antihyperglycemic, analgesic and antiinflammation. Red cabbage is rich of anthocyanin pigment. This study aimed to test a crude drug, phytochemical screening, and toxic effects of ethanol extract of red cabbage after administration for 28 days to rats.

Red cabbage extraction was macerated by ethanol 80%. Characterization

and phytochemical screening was carried out on simplex and extract. Sub-chronic toxicity tests using rats as much as 48 tails, which were grouped into 8 groups. Control (I) was given 0.5% CMC Na solution. Dosage (II, III, IV, V, and VI) respectively given the ethanol extract of red cabbage leaf with a concentration

62.5, 125 ,250, 500, 1000 mg / kg bw for 28 days. Satellite (VII and VIII)

respectively given CMC Na and 1000 mg/kg bw concentration for 42 days.

Result of simplex characterization was water content 8.66% and 9.33%, levels of water-soluble 13.71% and 11.37%, the levels of ethanol-soluble 11.05%,

total ash content 6.42% and ash content does not dissolve in acid 5.73%. For

extract was water content 9.33%, total ash content 9.76% and ash content does not dissolve in acid 4.33%. Phytochemical screening showed the presence of

flavonoids, glycoside, and anthraquinone. There were no deaths found at toxicity

test in any groups. There were no toxic symptoms in physical behavior of rats such as diarrheae, salivation, weak, step backward and walk with stomach.

Keywords: simplex characterization, ethanol extract of red cabbage, sub-chronic toxicity, male rats.


(1)

3.4.6 Pereaksi besi (III) klorida 1% ... 22

3.4.7 Larutan timbal (II) asetat ... 22

3.4.8 Larutan natrium hidroksida 2N ... 22

3.4.9 Larutan asam klorida 2N ... 22

3.4.10 Larutan kloralhidrat ... 22

3.5 Penyiapan Sampel ... 23

3.5.1 Pengambilan sampel ... 23

3.5.2 Identifikasi sampel ... 23

3.5.3 Pengolahan sampel ... 23

3.6 Pemeriksaan Karakterisasi Simplisia ... 23

3.6.1 Pemeriksaan makroskopik ... 23

3.6.2 Pemeriksaan mikroskopik ... 24

3.6.3 Penetapan kadar air ... 24

3.6.4 Penetapan kadar sari larut dalam air ... 25

3.6.5 Penetapan kadar sari larut dalam etanol ... 25

3.6.6 Penetapan kadar abu total ... 25

3.6.7 Penetapan kadar abu tidak larut asam ... 26

3.7 Skrining Fitokimia ... 26

3.7.1 Alkaloida ... 28

3.7.2 Flavonoida ... 27

3.7.3 Glikosida ... 27

3.7.4 Antrakinon ... 28

3.7.5 Saponin ... 28


(2)

3.7.7 Steroida/Triterpenoida ... 29

3.8 Pembuatan Ekstrak Etanol Kubis Ungu ... 29

3.9 Pengujian Efek Toksisitas ... 29

3.10 Analisis Data ... 34

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36

4.1 Hasil Identifikasi Sampel ... 36

4.2 Ekstraksi Serbuk Kubis Ungu ... 36

4.3 Pemeriksaan Karakterisasi ... 36

4.4 Hasil Pemeriksaan Skrining Fitokimia ... 38

4.5 Uji Toksisitas Subkronik Ekstrak Etanol Kubis Ungu (EEKU) ... 38

4.5.1 Hasil pengamatan terhadap perilaku fisik hewan .... 38

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 53

5.1 Kesimpulan ... 53

5.2 Saran ... 53

DAFTAR PUSTAKA ... 55


(3)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1 Kondisi – kondisi yang berhubungan dengan peningkatan

aminotransferase ... 19

3.1 Dosis uji toksisitas ... 31

4.1 Hasil penetapan kadar pada simplisia dan ekstrak ... 37

4.2 Hasil skrining fitokimia ... 39

4.3 Hasil pengamatan gejala toksik terhadap perilaku fisik hewan Selama 28 dan 42 hari ... 39


(4)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.1 Gambar kerangka pikir penelitian ... 6 2.1 Gambaran makroskopik hati manusia dari anterior ... 15


(5)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1 Hasil identifikasi tumbuhan kubis ungu (Brassica oleracea L.) 59 2 Gambar tumbuhan daun kubis ungu (Brassica oleracea L.) ... 60 3 Gambar helai daun dan simplisia kering daun kubis ungu ... 61 4 Gambar mikroskopik dari simplisia daun kubis ungu ... 62 5 Gambar hewan percobaan yang digunakan selama penelitian ... 63 6 Bagan alur penelitian ... 64 7 Bagan pengerjaan uji toksisitas subkronik pada tikus ... 65 8 Contoh perhitungan volume pemberian EEDKU dosis 62,5,

125, 250, 500, 1000 mg/kg bb ... 66 9 Perhitungan hasil karakterisasi serbuk simplisia dan ekstrak

etanol kubis ungu ... 67 10 Rekomendasi persetujuan etik penelitian kesehatan ... 72 11 Hasil pemeriksaan kadar ALT (Alanin Aminotransferase) /

SGPT (Serum Glutamic Piruvic Transaminase) ... 73 12 Cara Kerja ALT ... 75 13 Analisis statistika jumlah konsumsi makan tikus pada minggu

ke- 1,2,3,4,5, dan 6 ... 77 14 Analisis statistika jumlah konsumsi minum tikus pada minggu

ke- 1,2,3,4,5, dan 6 ... 80 15 Analisis statistika berat bedan tikus pada minggu ke-1,2,3,4,5,

dan 6 ... 84 16 Analisis statistika kadar ALT (Alanin Aminotransferase) tikus . 87 17 Analisis statistik perbandingan kadar ALT dosis 1000 mg/kg bb

dan satelit 1000 mg/kg bb ... 88 18 Analisis statistika berat relatif organ hati, ginjal, dan jantung .... 89 19


(6)

20 Hasil pengamatan berat badan tikus ... 104 21 Hasil pengamatan data bobot relatif organ ... 116


Dokumen yang terkait

Formulasi Sediaan Lipstik Dengan Ekstrak Kubis Merah (Brassica oleraceae var capitata L.f. rubra (L) Thell) Sebagai Pewarna

42 173 64

Uji aktivitas antibakteri ekstrak kubis (brassica oleracea l.var. capitata l.) terhadap bakteri Escherichia Coli

0 5 0

Stabilitas Pigmen Antosianin Kubis Merah (Brassica Oleraceae Var Capitata L.F. Rubra (L) Thell) Terenkapsulasi Pada Minuman Ringan Yang Dipasteurisasi (Stability Of Encapsulation Red Cabbage (Brassica Oleraceae Var Capitata L.F. Rubra (L) Thell) Anthocyan

1 3 19

Karakterisasi Simplisia dan Uji Toksisitas Subkronik Ekstrak Etanol Kubis Ungu (Brassica oleracea L. Var. Capitata F. Rubra) pada Tikus Jantan

0 1 15

Karakterisasi Simplisia dan Uji Toksisitas Subkronik Ekstrak Etanol Kubis Ungu (Brassica oleracea L. Var. Capitata F. Rubra) pada Tikus Jantan

0 0 2

Karakterisasi Simplisia dan Uji Toksisitas Subkronik Ekstrak Etanol Kubis Ungu (Brassica oleracea L. Var. Capitata F. Rubra) pada Tikus Jantan

0 1 6

Karakterisasi Simplisia dan Uji Toksisitas Subkronik Ekstrak Etanol Kubis Ungu (Brassica oleracea L. Var. Capitata F. Rubra) pada Tikus Jantan

0 0 13

Karakterisasi Simplisia dan Uji Toksisitas Subkronik Ekstrak Etanol Kubis Ungu (Brassica oleracea L. Var. Capitata F. Rubra) pada Tikus Jantan

0 1 4

Karakterisasi Simplisia dan Uji Toksisitas Subkronik Ekstrak Etanol Kubis Ungu (Brassica oleracea L. Var. Capitata F. Rubra) pada Tikus Jantan

0 2 14

Uji Daya Hambat Ekstrak Etanol Kubis (Brassica oleracea var. capitata f. alba) Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus Secara In Vitro

0 0 5