Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang Money Laundering

(1)

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

MONEY LAUNDERING

S K R I P S I

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

090200400

NANDA PRATAMA PUTRA GINTING

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

MONEY LAUNDERING

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

090200400

NANDA PRATAMA PUTRA GINTING

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disetujui Oleh

Ketua Departemen Hukum Pidana

NIP. 195703261986011001

Dr. H.M. Hamdan, SH., MH

Pembimbing I Pembimbing II

(Dr. Madiasa Ablisar, SH.H., MS)

NIP. 196104081986011002 NIP. 197302202002121001 (Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

ABSTRAK

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

MONEY LAUNDERING

Pencucian uang (disebut dengan istilah Money Laundering). Mahmoeddin As dalam bukunya Analisis Kejahatan Perbankan yang dikutip oleh Munir Fuady mengemukakan bahwa dalam sejarah hukum bisnis munculnya money laundering dimulai dari negara Amerika Serikat sejak tahun 1830.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana formulasi terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang (Money Laundry) ?Bagaimana fakta hukum dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku pencucian uang (Money Laudry) ?Apa Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang (Money Laudry) dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 498/K/PIDSUS/2009? Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif,yaitu pendekatan terhadap masalah dengan melihat dari segi peraturan-peraturan yang berlaku oleh karena itu dilakukan penelitian kepustakaan.

Pelaku kejahatan dapat memanfaatkan bank untuk kegiatan pencucian uang karena jasa dan produk perbankan memungkinkan terjadinya lalu lintas atau perpindahan dana dari satu bank ke bank atau lembaga keuangan lainnya, sehingga asal usul uang tersebut sulit dilacak oleh penegak hukum. Praktik-praktik penyelewengan dalam proses hukum seperti mafia peradilan, proses peradilan hukum yang diskriminatif, jual-beli putusan hakim, atau tebang pilih kasus merupakan realitas sehari-hari yang secara nyata dapat kita lihat dalam praktik penegakan hukum di Negara ini. Dampak dari penyelewangan hukum ini adalah kerusakan dan kehancuran di segala bidang (politik, perekonomian, budaya dan social). Selain itu menyebabkan masyarakat kehilangan rasa hormat dan timbulnya ketidak percayaan terhadap aparat penegak hukum di negeri ini. Sehingga membuat masyarakat mencari keadilan sendiri. Oleh karena, itu praktik main hakim sendiri sangat terlihat di masyarakat kita. Contoh kasus upaya pembacokan seorang hakim yang terlibat kasus korupsi oleh seorang aktivis LSM karena sang pelaku geram dengan para pelaku korupsi yang merugikan Negara ini.Dasar pertimbangan hakim bahwa unsur-unsur perbuatan yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaan kesatu maupun dakwaan kedua tidak terbukti. Yang mana dalam dakwaan kesatu primair yang terpenuhi dan dinyatakan terbukti adalah unsur “pegawai negeri atau penyelenggara negara”, dalam dakwaan kesatu subsidair yang terpenuhi dan dinyatakan terbukti adalah unsur “setiap gratifikasi” dan unsur “kepada pegawai negeri dan penyelenggara negara”, dan dalam dakwaan kesatu lebih subsidair yang terpenuhi dan dinyatakan terbukti adalah unsur “pegawai negeri atau penyelenggara negara”.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian tingkat Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang Money Laundering

Di dalam menyelesaikan skripsi ini, telah mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Prof. DR. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin, SH, MH, DFM selaku pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak M. Husni, SH, MH selaku pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Dr. M. Hamdan SH, M.H selaku Ketua Departemen Hukum Pidana.

6. Bapak Dr. Madiasa Ablisar, SH.H., MS, selaku Dosen Pembimbing I Penulis yang telah memberikan pengarahan dalam proses pengerjaaan skripsi ini.


(5)

7. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II Penulis yang telah memberikan pengarahan dalam proses pengerjaaan skripsi ini.

8. Seluruh staf dosen pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu khususnya dalam bidang hukum.

9. Kedua orang tua penulis Ayahanda Sada Arih Tarigan, SH dan Ibunda Tri Korini Siregar,SH yang selalu memberikan dukungan baik secara moril maupun material sehingga terselesaikanya skripsi ini.

10.Teman-Teman stambuk 2009 yang telah mendukung dan memberikan motivasi kepada penulis selama masa perkuliahan sampai selesainya penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga penulisan skripsi ini masih memiliki banyak kekeliruan. Oleh karena itu penulis meminta maaf kepada pembaca skripsi ini karena keterbatasan pengetahuan dari penulis. Besar harapan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada kita semua dan semoga doa yang telah diberikan mendapatkan berkah dari Tuhan dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan perkembangan hukum di negara Republik Indonesia.

Medan, Oktober 2013


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

D. Keaslian Penulisan ... 6

E. Tinjauan Kepustakaan ... 7

F. Metode Penelitian ... 16

BAB II FORMULASI SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDRY) ... 22

A. Tindak pidana dan unsur-unsurnya ... 22

B. Macam-Macam Tindak Pidana ... 26

C. Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundry) ... 31

BAB III FAKTA HUKUM DALAM MENJATUHKAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PENCUCIAN UANG (MONEY LAUDRY) ... 41

A. Objek dakwaan terlalu umum ... 41

B. Bentuk dan jenis tindak pidana pencucian uang (money laundry) ... 44


(7)

BAB IV PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUDRY) DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG

REPUBLIK INDONESIA NO. 498/K/PIDSUS/2009 ... 50

A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang (Money Laundry) ... 50

B. Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundry) dan Sanksi Pidana ... 82

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 89

A. Kesimpulan ... 89

B. Saran ... 91 DAFTAR PUSTAKA


(8)

ABSTRAK

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

MONEY LAUNDERING

Pencucian uang (disebut dengan istilah Money Laundering). Mahmoeddin As dalam bukunya Analisis Kejahatan Perbankan yang dikutip oleh Munir Fuady mengemukakan bahwa dalam sejarah hukum bisnis munculnya money laundering dimulai dari negara Amerika Serikat sejak tahun 1830.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana formulasi terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang (Money Laundry) ?Bagaimana fakta hukum dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku pencucian uang (Money Laudry) ?Apa Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang (Money Laudry) dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 498/K/PIDSUS/2009? Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif,yaitu pendekatan terhadap masalah dengan melihat dari segi peraturan-peraturan yang berlaku oleh karena itu dilakukan penelitian kepustakaan.

Pelaku kejahatan dapat memanfaatkan bank untuk kegiatan pencucian uang karena jasa dan produk perbankan memungkinkan terjadinya lalu lintas atau perpindahan dana dari satu bank ke bank atau lembaga keuangan lainnya, sehingga asal usul uang tersebut sulit dilacak oleh penegak hukum. Praktik-praktik penyelewengan dalam proses hukum seperti mafia peradilan, proses peradilan hukum yang diskriminatif, jual-beli putusan hakim, atau tebang pilih kasus merupakan realitas sehari-hari yang secara nyata dapat kita lihat dalam praktik penegakan hukum di Negara ini. Dampak dari penyelewangan hukum ini adalah kerusakan dan kehancuran di segala bidang (politik, perekonomian, budaya dan social). Selain itu menyebabkan masyarakat kehilangan rasa hormat dan timbulnya ketidak percayaan terhadap aparat penegak hukum di negeri ini. Sehingga membuat masyarakat mencari keadilan sendiri. Oleh karena, itu praktik main hakim sendiri sangat terlihat di masyarakat kita. Contoh kasus upaya pembacokan seorang hakim yang terlibat kasus korupsi oleh seorang aktivis LSM karena sang pelaku geram dengan para pelaku korupsi yang merugikan Negara ini.Dasar pertimbangan hakim bahwa unsur-unsur perbuatan yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaan kesatu maupun dakwaan kedua tidak terbukti. Yang mana dalam dakwaan kesatu primair yang terpenuhi dan dinyatakan terbukti adalah unsur “pegawai negeri atau penyelenggara negara”, dalam dakwaan kesatu subsidair yang terpenuhi dan dinyatakan terbukti adalah unsur “setiap gratifikasi” dan unsur “kepada pegawai negeri dan penyelenggara negara”, dan dalam dakwaan kesatu lebih subsidair yang terpenuhi dan dinyatakan terbukti adalah unsur “pegawai negeri atau penyelenggara negara”.


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pencucian uang (disebut dengan istilah Money Laundering). Mahmoeddin As dalam bukunya Analisis Kejahatan Perbankan yang dikutip oleh Munir Fuady1

1

Munir Fuady. 2001. Hukum Perbankan Indonesia. CirtraAditya Bakti Bandung, hal 21

mengemukakan bahwa dalam sejarah hukum bisnis munculnya money laundering dimulai dari negara Amerika Serikat sejak tahun 1830. Pada waktu itu banyak orang yang membeli perusahaan dengan uang hasil kejahatan (uang panas) seperti hasil perjudian, penjualan narkotika, minuman keras secara illegal dan hasil pelacuran. Pusat-pusat gangster besar yang piawai masalah pencucian uang di Amerika Serikat yang terkenal dengan nama kelompok legendaries Al Capone (Chicago). Mayer Lansky memutihkan uang kotor milik kelompok Al Capone dengan mengembangkan pusat perjudian, pelacuran, serta bisnis hiburan malam di Las Vegas (Nevada). Lalu dikembangkan lagi offshore banking di Havana (Cuba) dan Bahama. Kegiatan pencucian uang yang dilakukan oleh kelom-pok ini menjadikan Mayer Lansky dijuluki sebagai bapak Money Laundering Modern. Setelah memasuki tahun 1980 an kegiatan ini semakin jadi dengan banyaknya penjualan obat bius. Bertolak dari sini dikenal istilah narco dollar atau drug money yang merupakan uang hasil penjualan narkotika. Perkembangan selanjutnya uang panas itu disimpan di lembaga keuangan antaranya di bank.


(10)

Penyimpanan uang panas ini dengan tujuan agar uang hasil dari kejahatan itu menjadi legal.

Dunia internasional bersepakat melarang kejahatan yang berhubungan dengan narkotika dan pencucian uang. Kesepakatan ini dituangkan dalam sebuah konvensi the United Nation Convention Against Illicit Trafic in Narcotics, Drugs and Psycotropic Substances of 1988, yang biasa disebut dengan the Vienna Convention, disebut juga U N Drug Convention 1988 yang mewajibkan para anggotanya untuk menyatakan pidana terhadap pelaku tindakan tertentu yang berhubungan dengan narkotika dan money laundering.2

Apabila uang hasil kejahatan dipergunakan dan atau dimasukkan ke dalam dunia peredaran uang termasuk lembaga keuangan, berarti status uang itu identik dengan uang yang diperoleh dari kegiatan yang legal. Jika demikian berarti akan menumbuh subur-kan kejahatan yang bermotif uang baik kejahatan konvensional maupun modern, sehingga samar perbuatan yang legal dan illegal. Pencucian uang tidak dilakukan seperti kejahatan tradisional lainnya walaupun bentuk kejahatannya sama seperti penipuan atau penyuapan. Penipuan dan penyuapan ini merupakan tindak pidana kejahatan menurut KUHP. Apakah sama cara melakukan kedua tindak pidana ini dari waktu ke waktu atau dari situasi ke situasi berlainan atau oleh orang yang satu dengan orang yang lain atau dapat terjadi pelakunya sama, akan tetapi objek dan korbannya tidak sama. Kejahatan berkembang seiring perkembangan IPTEK. Kegiatan pencucian uang akan menyesuaikan diri dengan perkembangan IPTEK. Penipuan, penyuapan

2


(11)

secra tradisional akan langsung dilakukan dengan tunai. Akan tetapi penyuapan dan kegiatan penipuan dilakukan dengan kecanggihan teknologi tidak harus pada suatu tempat terten-tu. Praktik money laundering bisa dilakukan oleh seseorang tanpa harus berpergian ke luar negeri.

Hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di dalamnya, mulai dari perlunya kehati-hatian, dihindari sekecil mungkin ketidakcermatan, baik yang bersifat formal maupun materiil sampai dengan adanya kecakapan teknik membuatnya.3

Dalam memberikan putusan terhadap suatu perkara pidana, seharusnya putusan hakim tersebut berisi alasan-alasan dan pertimbangan-pertimbangan yang bisa memberikan rasa keadilan bagi terdakwa. Dimana dalam pertimbangan-pertimbangan itu dapat dibaca motivasi yang jelas dari tujuan putusan diambil, yaitu untuk menegakkan hukum (kepastian hukum) dan memberikan keadilan.

Oleh karena itu hakim tidak berarti dapat berbuat sesuka hatinya, melainkan hakim juga harus mempertanggung jawabkan putusannya.

4

3

Ahmad Rifai, 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif,

Jakarta: Sinar Grafika, hal 94 4

Nanda Agung Dewantara, 1987. Masalah Kebebasan Hakim Dalam Menangani Suatu Masalah Perkara Pidana. Jakarta: Aksara Persada Indonesia, hal 50.

Dalam memberikan pertimbangan untuk memutuskan suatu perkara pidana diharapkan hakim tidak menilai dari satu pihak saja sehingga dengan demikian ada hal-hal yang patut dalam penjatuhan putusan hakim apakah pertimbangan tersebut memberatkan ataupun meringankan pidana, yang melandasi pemikiran hakim, sehingga hakim sampai pada putusannya.


(12)

Pertimbangan hakim sebenarnya tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan bagian amar putusan hakim dan justru bagian pertimbangan itulah yang menjadi roh dari seluruh materi isi putusan, bahkan putusan yang tidak memuat pertimbangan yang cukup dapat menjadi alasan untuk diajukannya suatu upaya hukum baik itu banding maupun kasasi, yang dapat menimbulkan potensi putusan tersebut akan dapat dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi.5

Dalam penjatuhan pidana oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana, pada dasarnya haruslah mempertimbangkan segala aspek tujuan, yaitu sebagai berikut:6 1. Sebagai upaya untuk melindungi masyarakat dari ancaman suatu kejahatan

yang dilakukan oleh pelakunya;

2. Sebagai upaya represif agar penjatuhan pidana membuat pelakunya jera dan tidak akan melakukan tindak pidana dikemudian hari;

3. Sebagai upaya preventif agar masyarakat luas tidak melakukan tindak pidana sebagaimana yang dilakukan oleh pelakunya;

4. Mempersiapkan mental masyarakat dalam menyikapi suatu kejahatan dan pelaku kejahatan tersebut, sehingga pada saatnya nanti pelaku tindak pidana dapat diterima dalam pergaulan masyarakat.

Proses penjatuhan putusan yang dilakukan hakim merupakan suatu proses yang kompleks dan sulit, sehingga memerlukan pelatihan, pengalaman, dan kebijaksanaan. Dalam proses penjatuhan putusan tersebut, seorang hakim harus meyakini apakah seorang terdakwa melakukan tindak pidana ataukah tidak, dengan tetap berpedoman pada pembuktian untuk menentukan kesalahan dari

5

Ahmad Rifai, Op Cit, hal 111. 6


(13)

perbuatan yang dilakukan oleh pelaku pidana. Setelah menerima dan memeriksa suatu perkara, selanjutnya hakim akan menjatuhkan keputusan, yang dinamakan dengan putusan hakim, pernyataan hakim yang merupakan sebagai pernyataan pejabat negara yang diberi wewenang untuk putusan itu. Jadi putusan hakim bukanlah semata-mata didasarkan pada ketentuan yuridis saja, melainkan juga didasarkan pada hati nurani.7

B. Perumusan Masalah

Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut

1. Bagaimana formulasi terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang (Money Laundry) ?

2. Bagaimana fakta hukum dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku pencucian uang (Money Laudry) ?

3. Apa Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang (Money Laudry) dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 498/K/PIDSUS/2009?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

7

Bambang Sutiyoso, 2010. Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum Di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, hal 95.


(14)

a. Untuk mengetahui formulasi terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang (Money Laundry)

b. Untuk mengetahui fakta hukum dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku pencucian uang (Money Laudry)

c. Untuk mengetahui Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang (Money Laudry) dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 498/K/PIDSUS/2009

d. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat mempunyai kegunaan baik secara praktis maupun teoritis yaitu:

a. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pihak-pihak yang terkait pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang (Money Laudry)

b. Secara teoritis penelitian ini diharapkan akan menjadi bahan untuk penelitian lebih lanjut terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang (Money Laudry)

D. Keaslian Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi yang ada penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundry) belum pernah dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya, walaupun penelitian menyangkut


(15)

money laundering dan perpajakan telah ada diteliti, namun pendekatan yang dilakukan berbeda. Sehingga dapat dikatakan penelitian ini asli dan keaslian secara akademis keilmuan dapat dipertanggung jawabkan secara akademik.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Sistem Pembuktian

Sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang boleh dipergunakan, penguraian alat bukti dan dengan cara-cara bagaimana alat-alat bukti itu dipergunakan dan cara bagaimana hakim harus membentuk keyakinannya.8

Tujuan dan guna pembuktian bagi para pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan persidangan adalah:

Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara pidana. Dalam hal ini pun hak asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwakan dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar. Untuk inilah maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, berbeda dengan hukum acara perdata yang cukup puas dengan kebenaran formal.

9

a. Bagi penuntut umum, pembuktian adalah merupakan usaha untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan seorang terdakwa bersalah sesuai dengan surat atau catatan dakwaan.

8

Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung. 2003. Hal. 11

9


(16)

b. Bagi terdakwa atau penasehat hukum, pembuktian merupakan usaha sebaliknya, untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan terdakwa dibebaskan atau dilepaskan dari tuntutan hukum atau meringankan pidananya. Untuk itu terdakwa atau penasihat hukum jika mungkin harus mengajukan alat-alat bukti yang menguntungkan atau meringankan pihaknya. Biasanya bukti tersebut disebut bukti kebalikan.

c. Bagi hakim, atas dasar pembuktian tersebut yakni dengan adanya alat-alat bukti yang ada dalam persidangan baik yang berasal dari penuntut umum atau penasihat hukum/ terdakwa dibuat dasar untuk membuat keputusan.

Sejarah perkembangan hukum acara pidana menunjukkan bahwa ada beberapa sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan. Sistem atau teori pembuktian ini bervariasi menurut waktu dan tempat (negara). 1. Sistem atau Teori Pembuktian berdasarkan Undang-undang secara Positif

(Positief wetterlijk Bewijstheori)

Pembuktian yang didasarkan melulu kepada alat-alat pembuktian yang disebut undang-undang, disebut sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positief wettelijk bewijstheorie). Dikatakan secara positif, karena hanya didasarkan kepada undang-undang melulu. Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebutkan oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali.10

10

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 247 buku (2)

Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal (formele bewijstheorie).


(17)

Apabila dalam hal membuktikan telah sesuai dengan apa yang telah ditentukan terlebih dahulu dalam undang-undang, baik mengenai alat-alat buktinya maupun cara-cara mempergunakannya, maka hakim harus menarik kesimpulan bahwa kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana telah terbukti. Keyakinan hakim sama sekali tidak penting dan bukan menjadi bahan yang boleh dipertimbangkan dalam hal menarik kesimpulan tentang kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana. 11

Sistem ini mendasarkan kepada bahwa hakim hanya boleh menentukan kesalahan tertuduh, bila ada bukti minimum yang diperlukan oleh undang-undang. Jika bukti itu terdapat, maka hakim wajib menyatakan bahwa tertuduh itu bersalah dan dijatuhi hukuman, dengan tidak menghiraukan keyakinan hakim. Pokoknya: kalau ada bukti (walaupun sedikit) harus disalahkan dan dihukum. 12

Sistem ini bertentangan dengan hak-hak asasi manusia, yang pada zaman sekarang sangat diperhatikan dalam hal pemeriksaan tersangka atau terdakwa oleh negara. Juga system ini sama sekali mengabaikan perasaan nurani hakim. Hakim bekerja menyidangkan terdakwa seperti robot yang tingkah lakunya sudah deprogram melalui undang-undang.13 Sistem pembuktian ini menyandarkan diri pada alat bukti saja, yakni alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang. Sistem ini yang dicari adalah kebenaran formal, sehingga sistem ini dipergunakan dalam hukum acara perdata.

11

Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Penerbit Alumni, Bandung, 2008, hal. 27 (buku 1)

12

Wantjik Saleh, Tindak Pidana Korupsi Dan Suap. Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hal. 70

13


(18)

2. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu

Menurut sistem ini, hakim dalam menjatuhkan putusan tidak terikat dengan alat bukti yang ada. Darimana hakim menyimpulkan putusannya tidak menjadi masalah. Ia hanya boleh menyimpulkan dari alat bukti yang ada dalam persidangan atau mengabaikan alat bukti yang ada dalam persidangan.14

Disadari bahwa alat bukti berupa pengakuan terdakwa sendiri pun tidak selalu membuktikan kebenaran. Pengakuan pun kadang-kadang tidak menjamin terdakwa benar-benar telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Oleh karena itu, diperlukan bagaimana pun juga keyakinan hakim sendiri. 15

Sistem ini mengandung kelemahan yang besar. Sebagaimana manusia biasa, hakim bisa salah keyakinan yang telah dibentuknya, berhubung tidak ada kriteria, alat-alat bukti tertentu yang harus dipergunakan dan syarat serta cara-cara hakim dalam membentuk keyakinanya itu. Disamping itu, pada sistem ini terbuka peluang yang besar untuk terjadi praktik penegakan hukum yang sewenang-wenang, dengan bertumpu pada alasan hakim telah yakin.16

Sistem ini memberi kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi. Disamping itu terdakwa atau penasehat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan. Dalam hal ini hakim dapat memidana terdakwa berdasarkan keyakinannya bahwa ia telah melakukan apa yang didakwakan. 40Hakim menyatakan telah terbukti kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan dengan didasarkan keyakinannya saja, dan tidak perlu

14

Hari Sasangka dan Lily Rosita, op.cit, hal. 14 15

Andi Hamzah, buku 2, op.cit. hal. 248 16


(19)

mempertimbangkan dari mana (alat bukti) dia memperoleh dan alasan-alasan yang dipergunakan serta bagaimana caranya dalam membentuk keyakinannya tersebut. 3. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang

Logis (Laconviction Raisonnee)

Sebagai jalan tengah, muncul sistem atau teori yang disebut pembuktian yang berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu (laconviction raisonnee) Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasar keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan satu kesimpulan (conclusie) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Jadi putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi.17

Walaupun UU menyebutkan dan menyediakan alat-alat bukti, tetapi sistem ini dalam hal menggunakannya dan menaruh kekuatan alat-alat bukti tersebut terserah dalam pertimbangan hakim dalam hal membentuk keyakinannya tersebut, asalkan alasan-alasan yang dipergunakan dalam pertimbangannya logis. Artinya, alasan yang dipergunakannya dalam hal membentuk keyakinan hakim masuk akal, artinya dapat diterima oleh akal orang pada umumnya.18

17

Ibid, hal. 249 18

Adami Chazawi, Buku 1 Op.Cit, hal 26

Pembuktian ini masih menyandarkan kepada keyakinan hakim. Hakim harus mendasarkan putusan terhadap seorang terdakwa berdasarkan alasan yang logis dapat diterima oleh akal dan nalar.


(20)

4. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-undang secara Negatif (Negatief Wettelijk)

Menurut sistem ini, dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, hakim tidak sepenuhnya mengandalkan alat-alat bukti serta dengan cara-cara yang ditentukan oleh undang-undang. Itu tidak cukup, tetapi harus disertai pula keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Keyakinan yang dibentuk ini haruslah didasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang. Kegiatan pembuktian didasarkan pada dua hal, yaitu alat-alat bukti dan keyakinan yang merupakan kesatuan tidak dipisahkan, yang tidak berdiri sendiri-sendiri.19

Menurut sistem ini untuk menyatakan orang itu bersalah dan dihukum harus ada keyakinan pada hakim dan keyakinan itu harus didasarkan kepada alat-alat bukti yang sah, bahwa memang telah dilakukan sesuatu perbuatan yang terlarang dan bahwa tertuduhlah yang melakukan perbuatan itu. Hukum acara pidana kita ternyata menganut sistem ini, seperti dapat ditarik kesimpulan dari Pasal 183 KUHAP, dahulu Pasal 294 HIR. yang berbunyi:“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”20

Dari kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian harus didasarkan kepada undang-undang (KUHAP), yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam Pasal 184

19

Ibid, hal 28 20


(21)

KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut. Sebenarnya, sebelum diberlakukan KUHAP, ketentuan yang sama telah ditetapkan dalam Undang-undang pokok tentang Kekuasaan Kehakiman (UUPK) Pasal 6 ayat (2) yang berbunyi sebagai berikut:“ Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya.”21

Pembuktian adalah suatu proses kegiatan untuk membuktikan sesuatu atau menyatakan kebenaran tentang suatu peristiwa.

Sistem pembuktian ini berpangkal tolah pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitative oleh undang-undang, tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan hakim.

5. Kedudukan Asas Pembuktian Terbalik di dalam KUHAP

22

Pasal 183 menyatakan: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”23

Sedangkan mengenai ketentuan alat bukti yang sah diatur dalam Pasal 184 KUHAP, yang berbunyi: 24

21

Pasal 6 ayat 2 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

22

Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang. 2005, Hal. 398 (buku 2)

23

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Titik Terang. Hal. 86 24


(22)

1. Alat bukti yang sah ialah: a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat;

d. Petunjuk;

e. Keterangan terdakwa.

2. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

Alat bukti petunjuk sangat diperlukan dalam pembuktian suatu perkara terutama dalam kasus korupsi. Alat bukti petunjuk tidak mungkin berdiri sendiri, tetapi bergantung pada alat-alat bukti lain yang telah dipergunakan atau diajukan oleh jaksa penuntut umum dan penasehat hukun. Alat-alat bukti yang dapat dipergunakan untuk membangun alat bukti petunjuk ialah keterangan saksi, surat-surat dan keterangan tersangka (Pasal 188 ayat 2 KUHAP).

Alat bukti petunjuk dalam hukum pidana formil korupsi tidak saja dibangun melalui tiga alat bukti dalam Pasal 188 ayat (2), melainkan dapat diperluas di luar tiga alat bukti yang sah tersebut sebagaimana yang diterangkan dalam Pasal 26 A Undang-undang No. 20 Tahun 2001 yaitu:25

a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapka, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu; dan

b. Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa

25

Pasal 12A Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi


(23)

bantuan suatu sarana, baik yang tertuang dalam kertas, benda fisik apa pun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

Ketentuan khusus mengenai pembuktian dalam hukum pidana formil korupsi yang dirumuskan dalam undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-undang No. 29 Tahun 2001 merupakan perkecualian dari hukum pembuktian yang ada dalam KUHAP.26

6. Pengaturan Pembuktian Terbalik

Di dalam KUHAP kewajiban pembuktian dibebankan sepenuhnya kepada Jaksa Penuntut Umum, hal ini sesuai dengan ketentuan pembuktian yang diatur dalam KUHAP Bab XVI bagian ke empat (Pasal 183 sampai dengan Pasal 232 KUHAP), sehingga status hukum atau kedudukan asas pembuktian terbalik di dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia (KUHAP) tidak diatur.

Sesuai dengan Pasal 183 KUHAP, maka jelaslah bahwa kedudukan asas pembuktian terbalik tidak dianut dalam sistem hukum acara pidana pada umumnya (KUHAP), melainkan yang sering diterapkan dalam proses pembuktian dalam peradilan pidana yaitu teori jalan tengah yakni gabungan dari teori berdasarkan undang-undang dan teori berdasarkan keyakinan hakim.

Dasar hukum munculnya peraturan di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) adalah Pasal 103 KUHP. Didalam Pasal tersebut dinyatakan:

26


(24)

“ketentuan dari delapan bab yang pertama dari buku ini berlaku juga terhadap perbuatan yang dapat dihukum menurut peraturan undang-undang lain, kecuali kalau ada undang-undang (wet) tindakan umum pemerintahan (algemene maatregelen van bestuur) atau ordonansi menentukan peraturan lain.27

Jadi, dalam hal ketentuan dalam peraturan perundang-undangan mengatur lain daripada yang telah diatur di dalam KUHP, dapat diartikan bahwa suatu bentuk aturan khusus telah mengesampingkan aturan umum (Lex specialis derogate Legi Generali). Dengan kata lain Pasal 103 KUHP memungkinkan suatu ketentuan perundang-undangan di luar KUHP untuk mengesampingkan ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam KUHP.28

F. Metode Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, artinya bahwa penelitian ini, menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara analitis tindak pidana pencucian uang. Pendekatan penelitian ini adalah penelitian hukum normatif,29

27

Pasal 103 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), R. Soesilo, Politeia, Bandung 28

Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktik dan Masalahnya, P.T. Alumni, Bandung. 2007. Hal. 155 (buku 2)

29

Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan Di dalam Penelitian Hukum,(Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999), hal.3

yaitu dimaksudkan sebagai pendekatan terhadap masalah dengan melihat dari segi peraturan-peraturan yang berlaku oleh karena itu dilakukan penelitian kepustakaan. Pada penelitian hukum, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Data sekunder tersebut


(25)

mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, sehingga meliputi surat-surat pribadi, buku-buku harian, buku-buku, sampai pada dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah. 30

1. Bahan hukum primer, antara lain: 2. Sumber Data

Data penelitian ini didapatkan melalui studi kepustakaan, yakni dengan melakukan pengumpulan referensi yang berkaitan dengan obyek penelitian yang meliputi data sekunder yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori dan informasi serta pemikiran konseptual dari penelitian pendahulu baik berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya. Data sekunder terdiri dari:

a. Norma atau kaedah dasar

b. Peraturan dasar Landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini diantaranya adalah Kitab undang Hukum Pidana, Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Undang-Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang serta Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

2. Bahan Hukum Sekunder berupa buku yang berkaitan dengan tindak pidana tindak pidana pencucian uang, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan,

30

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Sebagaimana dikutip dari Seojono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali Press, 1990), hal. 41.


(26)

artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

3. Bahan Hukum Tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer, sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah, serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian.44 Di samping itu untuk melengkapi data skunder, juga didukung dengan data primer yakni dilakukannya wawancara dengan informan yang dianggap memahami tentang tindak pidana pencucian uang yakni penyidik Polri pada Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara. Data primer berupa wawancara kepada informan digunakan sebagai data pelengkap dan pendukung dari data skunder. Dengan kerangka teoritis merupakan alat untuk menganalisis data yang diperoleh baik berupa bahan hukum sekunder, pendapat-pendapat atau tulisan para ahli atau pihak lain berupa informasi baik dalam bentuk formal maupun melalui naskah resmi yang dijadikan sebagai landasan teoritis.

3. Alat Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitan skripsi ini menggunakan teknik studi dokumen berupa buku-buku, tulisan-tulisan para ahli hukum, artinya data yang diperoleh melalui penelurusan kepustakaan berupa data sekunder ditabulasi yang kemudian disistematisasikan dengan memilih perangkat-perangkat hukum yang relevan dengan objek penelitian. Di samping dalam rangka mendukung bahan hukum positif diperlukan juga wawancara dengan informal yakni dengan penyidik


(27)

pada Direktorat Reskrim Polda Sumatera Utara dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara langsung dengan terlebih dahulu merumuskan pertanyaan-pertanyaan dalam tabel wawancaran sebagai pedoman wawancara terhadap informan yang selanjutnya penulis tuangkan ke dalam penelitian setelah terlebih dahulu memverifikasi terhadap jawaban-jawaban informan. Wawancara dengan informal dilakukan dengan cara menunjuk secara langsung informan yang mengetahui terhadap permasalahan.

4. Analisis Data

Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya akan ditelaah dan dianalisis secara kualitatif. Analisis kualitatif ini dilakukan dengan cara pemilihan Pasal-Pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang tindak pidana money laundry, kemudian membuat sistematika dari Pasal-Pasal tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian yang sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya semua data diseleksi dan diolah kemudian dianalisis secara deskriptif sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian dalam skripsi ini.


(28)

G. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini akan membahas tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Keaslian Penelitian, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan BAB II SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA

PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDRY)

Bab ini membahas mengenai Tindak Pidana dan Unsur-Unsurnya, Macam-Macam Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundry)

BAB III KENDALA YANG DIHADAPI HAKIM DALAM

MENJATUHKAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDRY)

Pada bagian ini akan membahas tentang objek dakwaan terlalu umum, bentuk dan jenis tindak pidana pencucian uang (money laundry) dan Integritas Moral Aparat Penegak Hukum

BAB IV PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN

SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUDRY)

Pada bab ini akan membahas tentang Dasar Pertimbangan Hakim dalam dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang (Money Laundry) dan Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundry) dan Sanksi Pidana


(29)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini akan membahas kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang telah dilakukan


(30)

BAB II

FORMULASI SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDRY)

D. Tindak pidana dan unsur-unsurnya

Di dalam pasal-pasal KUHP maupun Undang-Undang di luar KUHP tidak ditemukan satu pun pengertian mengenai tindak pidana, padahal pengertian tindak pidana itu sangat penting untuk dipahami agar dapat diketahui unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Unsur-unsur tindak pidana tersebut merupakan indicator atau tolok ukur dalam memutuskan apakah perbuatan seseorang dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana atau tidak. Apabila perbuatan seseorang telah memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana, tentu ia dapat dipidana. Demikian pula sebaliknya, jika unsur itu tidak dipenuhi, orang tersebut tidak akan dipidana. Karena tidak terdapat di dalam perundang-undangan, para ahli hokum mencoba memberikan pengertian dan unsur-unsur dari perbuatan pidana tersebut. berikut akan diuraikan pendapat beberapa ahli hukum tersebut.

Moeljatno mendefinisikan perbuatan pidana sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. larangan ditujukan kepada perbuatan (suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh


(31)

kelakuan orang), sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.31

Simons mengartikan perbuatan pidana (delik) sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan atau tindakan yang dapat dihukum.32

Dari definisi Simons tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur perbuatan pidana terdiri dari (1) perbuatan manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak berbuat); (2) diancam dengan pidana; (3) melawan hukum; (4) dilakukan dengan kesalahan; dan (5) oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Van Hamel menguraikan perbuatan pidana sebagai perbuatan manusia yang dirumuskan oleh undang-undang, melawan hukum (patut atau bernilai untuk dipidana) dan dapat dicela karena kesalahan.

33

Selanjutnya Vos memberikan definisi singkat mengenai perbuatan pidana yang disebutkan straafbaarfeit, yaitu kelakuan atau tingkah laku manusia yang Dari definisi tersebut dapat dilihat unsur-unsurnya, yaitu (1) perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang; (2) melawan hukum; (3) dilakukan dengan kesalahan; dan (4) patut dipidana.

31

Moljatno, Asas-asa Hukum Pidana, Cetakan Kedua, Jakarta: Bina Aksara, 1984, hal. 54.

32

Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum (Deik), C etakan Pertama, Jakarta: Sinar Grafika, 1991, hal. 4.

33

Sudarto, Hukum Pidana I, Cetakan kedua (Semarang Yayasan Sudarto d/s Fakultas Hukum Universitas Diponegoro), 1990, hal. 41.


(32)

oleh peraturan perundangundangan diberikan pidana. Jadi, unsur-unsurnya adalah (1) kelakuan manusia; dan (2) diancam pidana dalam undang-undang.34

Sementara itu Pompe memberikan dua macam definisi terhadap perbuatan pidana, yaitu yang bersifat teoretis dan yang bersifat perundang-undangan. Menurut Pompe, dari segi definisi teoretis, perbuatan pidana ialah pelanggaran normal/ kaidah/ tata hukum, yang diadakan karena kesalahan pelanggar, dan yang harus diberikan pidana itu dapat mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum. Selanjutnya, menurut hokum positif, perbuatan pidana ialah suatu peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan mengandung perbuatan dan pengabaian atau tidak berbuat. Tidak berbuat biasanya dilakukan di dalam beberapa keadaan yang merupakan bagian suatu peristiwa. Uraian perbuatan dan keadaan yang ikut serta itulah yang disebut uraian delik.

35

Berdasarkan beberapa rumusan tentang pengertian perbuatan pidana tersebut di atas, menurut hemat penulis, tepat apa yang disimpulkan oleh Moljatno mengenai unsur atau elemen yang harus ada dalam suatu perbuatan pidana. Unsur atau elemen tersebut adalah sebagai berikut.36

(a) Kelakuan dan akibat (perbuatan).

(b) Hal atau keadaan yang menyertai perbuatan. (c) Keadaan tambahan yang memberatkan pidana. (d) Unsur melawan hukum yang objektif.

(e) Unsur melawan hukum yang subjektif.

34

A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Cetakan Pertama, Jakarta: Sinar Grafika, 1995, hal. 225.

35

Ibid, hal. 226. 36


(33)

Lima unsur atau elemen tersebut di atas pada dasarnya dapat diklasifikasikan ke dalam dua unsur pokok, yaitu unsur pokok objektif dan unsur pokok subjektif.

a. Unsur Pokok Objektif

1. Perbuatan manusia yang termasuk unsur pokok objektif adalah sebagai berikut:

a) Act ialah perbuatan aktif yang disebut juga perbuatan positif, dan

b) Ommission, ialah tidak aktif berbuat dan disebut juga perbuatan negatif.

2. Akibat perbuatan manusia

Hal itu erat hubungannya dengan kausalitas. Akibat yang dimaksud adalah membahayakan atau menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik/ harta benda, atau kehormatan.

3. Keadaan-keadaan

Pada umumnya keadaan-keadaan ini dibedakan atas: a. Keadaan pada saat perbuatan dilakukan; dan b. Keadaan setelah perbuatan dilakukan. 4. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hokum

Sifat dapat dihukum itu berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan terdakwa dari hukuman. Sifat melawan hukum bertentangan dengan hukum yakni berkenaan dengan larangan atau perintah.


(34)

b. Unsur Pokok Subjektif

Asas pokok hukum pidana ialah “tak ada hukuman kalau tak ada kesalahan” (an act does not make guilty unless the mind is guilty, actus not facit reum nisi mens sit rea). Kesalahan dimaksud di sini adalah sengaja (intention/dolus/opzet) dan kealpaan (negligent/schuld).

1. Kesengajaan

Menurut para pakar, ada tiga bentuk kesengajaan, yaitu : a. Kesengajaan sebagai maksud.

b. Kesengajaan dengan sadar kepastian

c. Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis). d. Kealpaan, adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan dari pada

kesengajaan.

Ada dua bentuk kealpaan, yaitu: a. Tidak berhati-hati; dan

b. Tidak menduga-duga akibat perbuatan itu.37

E. Macam-Macam Tindak Pidana

Hukum pidana dapat dibagi menjadi hukum pidana umum dan hukum pidana khusus (algemeen en byzonder strafrecht). Hukum pidana umum memuat aturan-aturan hukum pidana yang berlaku bagi setiap orang. Aturan-aturan ini misalnya terdapat dalam KUHP, Undang-undang Lalu Lintas dan sebagainya. Hukum pidana khusus memuat aturan-aturan hukum pidana yang menyimpang

37


(35)

dari hukum pidana umum, ialah mengenai golongan-golongan tertentu atau berkenaan dengan jenis-jenis perbuatan tertentu.

1. Pidana Umum

Pengertian dari kata tindak pidana, perbuatan pidana atau peristiwa pidana adalah merupakan terjemahan dari kata “starfbaar feit” yang dibuat oleh para pembuat Undang-Undang di Indonesia. Starfbaar feit sendiri memiliki beberapa definisi seperti dikemukakan oleh :

Pompe membedakan pengertian strafbaar feit menjadi :

a. Definisi menurut teori “straf baar feit “ adalah merupakan pelanggaran terhadap norma yang dilakukan karena kesalahan sipelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan kesejahteraan umum.

b. Definisi menurut hukum positif, starfbaar feit adalah suatu kejadian (feit) yang oleh pengaturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum38

J.E Jonkers memberikan definisi srafbaar feit adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. 39

Starbaar feit dapat juga mempunyai arti atau makna sebagai tindak pidana, peristiwa pidana, suatu perbuatan yang merupakan suatu tindak pidana dan dapat dijatuhi hukuman.40

38

Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Ghalita Indonesia, 1992, hal. 91

39

J.T.C Simorangkir, Rudy T. Erwin, J.T Prasetyo, Kamus Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 2000, hal. 161,


(36)

Setelah melihat arti atau definisi dari starfbaar feit, para sarjana hukum mencoba menerjemahkan dan mencari istilah yang tepat untuk digunakan dalam bahasa Indonesia. Seperti yang dikemukakan oleh Moeljatno bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.41

Ada istilah lain yang dipakai dalam hukum pidana, yaitu “tindak pidana”. Istilah ini tumbuh dari pihak Kementrian Kehakiman, karena sering dipakai dalam sebuah perundang-undangan. Kata “tindak” lebih konkrit menyatakan suatu keadaan dari pada kata “perbuatan”. Kata “tindak” di sini dapat berarti kelakuan, tingkah laku, gerak-gerik atau sikap jasmani seseorang, hal mana lebih dikenal dalam tindak-tanduk, timdakan dan bertindak dan juga sering dipakai “ditindak”.42 Dalam hal ini adalah kelakuan, tingkah laku, gerak-gerik, atau sikap jasmani seseorang yang berkaitan dengan melawan hukum.43

Wirjono Prodjodikoro, merumuskan, istilah “tindak pidana”, berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Dan pelakunya dapat dikatakn merupakan subyek tindak pidana.44

Jika melihat penjelasan dari para ahli hukum dan lembaga hukum, di Indonesia juga masih terjadi ketidak samaan persepsi dalam menterjemahkan arti kata strafbaar feit itu sendiri. Tapi karena dalam skripsi ini telah menggunakan kata “tindak pidana”. Maka mungkin di sini dapat dirumuskan bahwa “tindak

40 Ibid 41

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta, 1993, hal. 54, 43

Ibid 44

Wiryo Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Jakarta-bandung, 1980, hal. 70


(37)

pidana” adalah suatu tindakan baik yang dilakukan maupun yang tidak dilakukan atau aktif maupun pasifnya seseorang atau badan sebagai subyek hukum yang bersifat melawan hukum dan perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan serta telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana, kepadanya akan dikenakan sanksi atau hukuman.

2. Pidana Khusus

Pertama kali dikenal istilah Hukum Pidana Khusus, sekarang diganti dengan istilah Hukum Tindak Pidana Khusus. Timbul pertanyaan apakah ada perbedaan dari kedua istilah ini. Seacara prinsipil tidak ada perbedaan antara kedua istilah ini. Oleh karena yang dimaksud dengan kedua istilah itu adalah UU Pidana45

Hukum tindak pidana khusus mengatur perbuatan tertentu atau berlaku terhadap orang tertentu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain selain orang tertentu. Oleh karena itu hukum tindak pidana khusus harus dilihat dari substansi dan berlaku kepada siapa Hukum Tindak Pidana Khusus itu. Hukum Tindak pidana khusus ini diatur dalam UU di luar Hukum Pidana Umum. Penyimpangan ketentuan hukum pidana yang terdapat dalam UU pidana merupakan indikator apakah UU pidana itu merupakan Hukum Tindak Pidana Khusus atau bukan. Sehingga dapat dikatakan bahwa Hukum Tindak Pidana Khusus adalah UU yang berada di luar Hukum Pidana Umum yang mempunyai penyimpangan dari Hukum Pidana Umum baik dari segi Hukum Pidana Materil maupun dari segi Hukum Pidana Formal. Kalau tidak ada penyimpangan tidaklah disebut hukum Pidana Khusus atau Hukum Tindak Pidana Khusus.

45

Yang dimaksud UU Pidana adalah UU yang memuat atau mengatur perumusan tindak pidana, dan berlakunya ketentuann hukum pidana. Khusus untukm hukum tindak pidana khusus diharuskan adanya indicator penyimpangan terhadap hukum pidana materil dan juga formal.


(38)

Pidana atau Hukum Pidana yang diatur dalam UU pidana tersendiri. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Pompe yang mengatakan :“ Hukum Pidana Khusus mempunyai tujuan dan fungsi tersendiri”

UU Pidana yang dikualifikasikan sebagai Hukum Tindak Pidana Khusus ada yang berhubungan dengan ketentuan Hukum Administrasi Negara terutama mengenai penya-lahgunaan kewenangan. Tindak pidana yang menyangkut penyalahgunaan kewenangan ini terdapat dalam perumusan tindak pidana korupsi.

UU Pidana yang masih dikualifikasikan sebagai Hukum Tindak Pidana Khusus adalah UU No 7 Drt 1955 (Hukum Pidana Ekonomi), UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahn 2002 dan UU No 1 /Perpu/2002 dan UU No 2/Perpu/2002. Hk. Tp. Khusus Mengatur Perbuatan tertentu ; Untuk orang/golongan tertentu Hk Tindak Pidana Khusus Menyimpang dari Hukum Pidana Matriil dan Hukum Pidana Formal. Penyimpangan diperlukan atas dasar kepentingan hukum.

Dasar Hukum UU Pidana Khusus dilihat dari hukum pidana adalah Pasal 103 KUHP. Pasal 103 ini mengandung pengertian :

1. Semua ketentuan yang ada dalam Buku I KUHP berlaku terhadap UU di luar KUHP sepenjang UU itu tidak menentukan lain.

2. Adanya kemungkinan UU termasuk UU Pidana di luar KUHP, karena KUHP tidak mengatur seluruh tindak pidana di dalamnya (tidak lengkap dan tidak mungkin lengkap).


(39)

F. Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundry)

Istilah pencucian uang atau money laundering telah dikenal sejak tahun 1930 di Amerika Serikat, yaitu ketika Al Capone, penjahat terbesar di Amerika masa lalu, mencuci uang hitam dari usaha kejahatannya dengan memakai Meyer Lansky, orang Polansia, yaitu seorang akuntan, mencuci uang kejahatan Al Capone melalui usaha binatu (laundry).46 Al Capone membeli perusahaan yang sah dan resmi, yaitu perusahaan pencucian pakaian atau disebut laundromat yang ketika itu terkenal di Amerika Serikat sebagai salah satu strateginya, yang kemudian usaha pencucian pakaian ini berkembang maju, dan berbagai perolehan uang hasil kejahatan seperti dari cabang usaha lainnya ditanamkan ke perusahaan pencucian pakaian ini, seperti uang hasil minuman keras ilegal, hasil perjudian dan hasil usaha pelacuran.47

Menurut Sarah N. Welling, money laundering dimulai dengan adanya “uang haram” atau “uang kotor” (dirty money). Uang dapat menjadi kotor dengan dua cara, pertama, melalui pengelakan pajak (tax evasion), yang dimaksud dengan “pengelakan pajak” ialah memperoleh uang secara legal, tetapi jumlah yang dilaporkan kepada pemerintah untuk keperluan perhitungan pajak lebih sedikit daripada yang sebenarnya diperoleh, kedua, memperoleh uang melalui cara-cara yang melanggar hukum.

48

46

Adrian Sutedi, Hukum Perbankan Suatu Tinjauan Pencucian Uang Merger, Likuidasi dan Kepailitan, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hal 17

47 Ibid 48

Ibid. hal 22

Teknik-teknik yang biasa dilakukan untuk hal itu, antara lain penjualan obat-obatan terlarang atau perdagangan narkoba secara gelap (drag sales atau drag trafficking), penyuapan (bribery), terorisme


(40)

(terrorism), pelacuran (prostitution), perdagangan senjata (arms trafficking), penyelundupan minuman keras, tembakau, dan pornografi (smuggling of contraband alcohol, tobacco, pornography), penyelundupan imigran gelap (illegal immigration rackets atau people smuggling), dan kejahatan kerah putih (white collar crime).49

Tindak pidana pencucian uang (money laundering) secara populer dapat dijelaskan sebagai aktivitas memindahkan, menggunakan atau melakukan perbuatan lainnya atas hasil dari tindak pidana yang kerap dilakukan oleh kejahatan terorganisir (organized crime) maupun individu yang melakukan tindakan korupsi, perdagangan narkotika dan tindak pidana lainnya.

50

Hal ini bertujuan menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul uang yang berasal dari hasil tindak pidana tersebut sehingga dapat digunakan seolah-olah sebagai uang yang sah tanpa terdeteksi bahwa uang tersebut berasal dari kegiatan ilegal.51

Menurut Sutan Remy Sjahdeini, mendefinisikan pencucian uang atau money laundering sebagai:

52

“Rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram yaitu uang yang berasaldari kejahatan dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana dengan cara terutama memasukkan uang tersebut ke dalam sistem

49 Ibid 50

Yunus Husein, “PPATK: Tugas, Wewenang, dan Peranannya Dalam Memberantas Tindak Pidana Pencucuian Uang”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22 Nomor 3, 2003, hal. 26.

51 Ibid 52

Sutan Remy Sjahdeini, Seluk-Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2007, hal. 5.


(41)

keuangan (finacial system) sehingga uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan dari sistem keuangan itu sebagai uang yang halal.”

Harkristuti Harkrisnowo, sebagai salah satu ahli hukum pidana, memandang pencucian uang sebagai suatu kejahatan yang berupaya menyembunyikan asal-usul uang sehingga dapat digunakan sebagai uang yang diperoleh secara legal.53 Tindak pidana pencucian uang merupakan suatu kejahatan kerah putih (white collar crime) di bidang perbankan, bahwa kejahatan ini dilakukan oleh orang-orang yang memiliki pendidikan dan tingkat sosial serta perekonomian yang tinggi. Dalam ketentuan mengenai pencucian uang antara hasil tindak pidana (proceed of crime) dengan tindak pidana asal (predicate crimes) dijadikan satu ketentuan karena memang terkait sangan erat.54

Dalam Undang-Undang TPPU, disebutkan bahwa pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang tersebut. Dalam pengertian ini, unsur-unsur yang dimaksud adalah unsur pelaku, unsur perbuatan melawan hukum serta unsur merupakan hasil tindak pidana.

55

Sedangkan pengertian tindak pidana pencucian uang dapat dilihat dalam ketentuan Pasal (3), (4), dan (5) Undang-Undang TPPU. Intinya adalah bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan suatu bentuk kejahatan yang dilakukan baik oleh seseorang dan/atau korporasi dengan sengaja menempatkan,

53

Anang, “Money Laundering (Politik Cuci Uang)”, http://meynyeng.wordpress.com/2013/09/26/money-laundering-politik-cuci-uang/.

54

Ni Komang Wiska Ati Sukariyani, “Tinjauan Umum Mengenai Pencucian Uang”, http://www.scribd.com/doc/75635799/Tinjauan-Umum-Mengenai-Pencucian-Uang.

55

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Pasal 1 angka (1).


(42)

mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan itu, termasuk juga yang menerima dan mengusainya.56

Secara etimologis, pencucian uang berasal dari bahasa Inggris yaitu money “uang” dan laundering “pencucian”, jadi, secara harfiah money laundering merupakan pencucian uang atau pemutihan uang hasil kejahatan, yang sebenarnya tidak ada definisi yang universal dan komprehensif mengenai money laundering,

57

laundering dengan pencucian uang.

karena baik negara-negara maju dan negara-negara dunia ketiga masing-masing mempunyai definisi sendiri-sendiri berdasarkan prioritas dan perspektif yang berbeda, namun para ahli hukum di Indonesia telah sepakat mengartikan money

58

Tindak Pidana Pencucian Uang ( money laundering) secara populer dapat dijelaskan sebagai aktivitas memindahkan, menggunakan atau melakukan perbuatan lainnya atas hasil dari tindak pidana yang kerap dilakukan oleh organized crime maupun individu yang melakukan tindakan korupsi, perdagangan narkotik dan tindak pidana lainnya dengan tujuan menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul uang yang berasal dari hasil tindak pidana tersebut

56

Supriadi, “Tindak Pidana Pencucian Uang”, http://www.negarahukum.com/hukum/1562.html. 57

Edi Setiadi dan Rena Yulia, Hukum Pidana Ekonomi, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hal. 153.

58


(43)

sehingga dapat digunakan seolah-olah sebagai uang yang sah tanpa terdeteksi bahwa uang tersebut berasal dari kegiatan illegal.59 Adapun latar belakang para pelaku pencucuian uang melakukan aksinya adalah dengan maksud memindahkan atau menjauhkan para pelaku itu dari kejahatan yang menghasilkan proceeds of crime, memisahkan proceeds of crime dari kejahatan yang dilakukan, menikmati hasil kejahatan tanpa adanya kecurigaan kepada pelakukanya, serta melakukan reinvestasi hasil kejahatan tersebut untuk aksi kejahatan selanjutnya atau ke dalam kegiatan usaha yang sah.60 Sementara itu, Black’s Law Dictionary memberikan batasan tentang pencucian uang sebagai :"Term used to describe investment or other transfer of money flowing from racketeering, drug transaction, and other illegal sources into legitimate channels so that its original source cannot be traced”.61

Kegiatan money laundering dalam sistem keuangan pada umumnya dan sistem perbankan pada khususnya memiliki risiko yang sangat besar. Risiko tersebut antara lain risiko operasional, risiko hukum, risiko terkonsentrasinya transaksi, dan risiko reputasi. Bagi perbankan Indonesia tindakan pencucian uang merupakan suatu hal yang sangat rawan karena pertama, peranan sektor

59

Yunus Husein, “PPATK: Tugas, Wewenang, dan Peranannya Dalam Memberantas Tindak Pidana Pencucuian Uang”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22 No.3, 2003, hal.26.

60

Rick McDonnel, “Regional Implementation, Regional Conference on Combating Money Laundering and Terrorist Financing, Denpasar, 17 Desember 2002.

61

Lihat juga batasan yang digunakan oleh Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa, the United Nation Convention Against Illicit Trafic in Narcotics, Drugs and Psychotropic Substances of 1988 yang mengartikan money laundering sebagai :“The convention or transfer of property, knowing that such property is derived from any serious (indictable) offence or offences, or from act of participation in such offence or offences, for the purpose of concealing or disguising the illicit of the property or of assisting any person who is involved in the commission of such an offence or offences to evade the legal consequences of his action; or The concealment or disguise of the true nature, source, location, disposition, movement, rights with respect to, or ownership of property, knowing that such property is derived from a serious (indictable) offence or offences or from an act of participation in such an offence or offences.”


(44)

perbankan dalam sistem keuangan di Indonesia diperkirakan mencapai 93%. Oleh sebab itu sistem perbankan menjadi perhatian utama dalam pelaksanaan rezim anti money laundering. Kedua, tingginya tingkat perkembangan teknologi dan arus globalisasi di sektor perbankan membuat industri perbankan menjadi lahan yang empuk bagi tindak kejahatan pencucian uang dan merupakan sarana yang paling efektif untuk melakukan kegiatan money laundering. Pelaku kejahatan dapat memanfaatkan bank untuk kegiatan pencucian uang karena jasa dan produk perbankan memungkinkan terjadinya lalu lintas atau perpindahan dana dari satu bank ke bank atau lembaga keuangan lainnya, sehingga asal usul uang tersebut sulit dilacak oleh penegak hukum.

Keterlibatan perbankan dalam kegiatan pencucian uang dapat berupa: a. Penyimpanan uang hasil kejahatan dengan nama palsu atau dalam safe

deposit box;

b. Penyimpanan uang dalam bentuk deposito/tabungan/ giro; c. Penukaran pecahan uang hasil perbuatan illegal;

d. Pengajuan permohonan kredit dengan jaminan uang yang disimpan pada bank yang bersangkutan;

e. Penggunaan fasilitas transfer atau EFT;

f. Pemalsuan dokumen-dokumen L/C yang bekerjasama dengan oknum pejabat bank terkait; dan

g. pendirian/pemanfaatan bank gelap.

Hal tersebut dapat terjadi mengingat adanya kemudahan dalam proses pengelolaan hasil kejahatan pada berbagai kegiatan usaha bank. Disamping itu,


(45)

karena organisasi kejahatan membutuhkan pengelolaan cash flow keuangan dengan cara menempatkan dananya dalam kegiatan usaha perbankan maka penggunaan bank merupakan suatu hal yang sangat diperlukan dalam upaya mengaburkan asal-usul sumber dana. Hal tersebut menunjukkan eratnya keterkaitan antara organisasi kejahatan dan lembaga keuangan terutama bank.62

Secara sederhana terdapat tiga tahap dalam proses pencucian yaitu placement, layering dan integration.

Disamping itu, dengan berlakunya sistem Real Time Gross Settlement (RTGS), maka dalam hitungan detik pelaku kejahatan dapat dengan mudah memindahkan dana hasil kejahatan yang dilakukan. Penggunaan media pembayaran yang bersifat elektronik (electronic funds transfer) akan lebih menyulitkan pelacakan ditambah pula apabila dana tersebut masuk ke dalam sistem perbankan di negara yang ketat dalam menerapkan ketentuan rahasia bank.

63

62

Guy Stessens, Money Laundering : A New International Law Enforcement Model,

Cambridge University Press, First Published 2000, hal.9 63

Jane E. Hughes dan Scott B. MacDonald, International Banking Text and Cases,

Boston: Addison Wesley, 2002, hal 317.

Placement merupakan upaya menempatkan atau memasukkan dana atau instrument keuangan lainnya yang dihasilkan dari suatu aktifitas kejahatan pada system keuangan yaitu bank atau lembaga keuangan lainnya. Dalam hal ini terdapat pergerakan phisik dari uang tunai atau surat berharga, misalnya melalui penyeludupan uang tunai atau instrumen keuangan dari suatu negara ke negara lain, menggabungkan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah, ataupun dengan memecah uang tunai atau instrumen keuangan dalam jumlah besar menjadi jumlah kecil ataupun didepositokan di bank atau dibelikan surat berharga


(46)

seperti misalnya saham-saham atau juga mengkonversikan kedalam mata uang lainnya atau ditukarkan kedalam valuta asing. Inilah tahap yang apaling rawan dari proses pencucian uang, karena proses inilah yang paling mudah dideteksi.

Dalam rangka mencegah industri jasa keuangan dipakai oleh para pelaku tindak pidana untuk mencuci uangnya dan untuk mendeteksi proses placement diciptakanlah Cash Transaction Report atau CTR (laporan transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai). Kadangkala placement ini dapat dideteksi juga dengan menggunakan Laporan Transaksi Yang Mencurigakan (Suspicious Transaction Report atau STR). Kedua laporan ini diatur dalam Pasal 13 UU NO. 15 Tahun 2002.. Laporan transaksi tunai yang diatur undang-undang adalah untuk transaksi tunai yang berjumlah kumulatif sebesar lima ratus juta atau lebih suatu jumlah yang dianggap oleh sementara orang sebagai jumlah yang terlalu besar.

Proses placement ini dideteksi juga dengan adanya kewajiban orang yang membawa uang tunai ke dalam atau ke luar wilayah negara Republik Indonesia sejumlah seratus juta ruliah atau lebih untukmelaporkan kepada Direktorat Jenderal Bea Cukai. Kemudian Direktorat Jenderal Bea Cukai melaporkannya kepada PPATK (Pasal 16 UU No. 15 Tahun 2002). Layering, diartikan sebagai memindah-mindahkan hasil kejahatan dari suatu tempat ke tempat lainnya dengan maksud agar sumber dan pemiliknya dapat dikaburkan. Dalam hal ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ketempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks yang didesain untuk menyamarkan/mengelabui sumber dana “haram” tersebut. Layering dapat pula dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin


(47)

rekening-rekening perusahaan-perusahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank, terutama di negara-negara yang tidak kooperatif dalam upaya memerangi kegiatan pencucian uang.

Proses “layering” ini dideteksi dengan adanya laporan transaksi keuangan yang mencurigakan (suspicious transaction report atau STR) seperti diatur dalam Pasal 13. Laporan STR ini mengingat memerlukan judgement dari bank sudah tentu lebih berbobot dibandingkan CTR. Sementara itu yang dimaksud dengan tarnsaksi keuangan yang mencurigakan adalah transaksi yang menyimpang dari profil dan karakteristik nasabah serta kebiasan nasabah termasuk transaksi yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh penyedia jasa keuangan.(Pasal 1 angka 6). Integration, yaitu suatu proses dimana uang hasil kejahatan yang telah dicuci di investasikan kembali pada suatu bisnis yang legal sehingga tampak tidak berhubungan sama sekali dengan aktifitas kejahatan sebelumnya yang menjadi sumber dari uang yang di-laundry. Pada tahap ini uang yang telah dicuci dimasukkan kembali kedalam sirkulasi dengan bentuk yang sejalan dengan aturan hukum. Proses integration ini dideteksi dengan CTR atau STR.

Dalam ketiga tahap proses pencucian uang tersebut, laporan yang disampaikan oleh penyedian jasa keuangan sangat penting untuk digunakan sebagai upaya melakukan deteksi. Itu pulalah sebabnya mengapa penyedia jasa keuangan yang dengan sengaja tidak menyampaikan laporan kepada PPATK dipidana dengan denda paling banyak dua ratus lima puluh juta rupiah dan paling banyak satu miliar rupiah. Denda pidana ini sudah tentu diputuskan melalui proses


(48)

pengadilan. (Pasal 8) Selain itu, apabila tindakpidana pencucian uang dilakukan oleh korporasi, misalnya penyedia jasa keuangan, maka terhadap korporasi tersebut dapat dijatuhkan pidana denda dengan ketentuan maksimumpidana ditambah satu pertiga. Korporasi tersebut dapat juga dikenakan hukuman tambahan berupa pemcabutan izin usaha dan/atau pembubaran korporasi yang diikuti denganlikuidasi. (Pasal 5) Untuk bank, sanksi seperti ini merupakan suatu hal yang sangat berat, karena bank begitu banyak memiliki kreditur, debitur dan pegawai serta mengingat begitu pentingnya peranan perbankan dalam perekonomian. Tingginya tingkat perkembangan teknologi dan arus globalisasi di sektor perbankan membuat industri ini menjadi lahan yang empuk bagi tindak kejahatan pencucian uang . Pelaku kejahatan dapat memanfaatkan bank untuk kegiatan pencucian uang karena jasa dan produk perbankan memungkinkan terjadinya lalu lintas atau perpindahan dana dari satu bank ke bank atau lembaga keuangan lainnya sehingga asal usul uang tersebut sulit dilacak oleh penegak hukum. Bahkan melalui sistem perbankan pelaku dalam waktu yang sangat cepat dapat memindahkan dana hasil kejahatan melampaui batas yurisdiksi negara, sehingga pelacakannya akan bertambah sulit apalagi kalau dana tersebut masuk ke dalam sistem perbankan yang negaranya menerapkan ketentuan rahasia bank yang sangat ketat.


(49)

BAB III

FAKTA HUKUM DALAM MENJATUHKAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PENCUCIAN UANG (MONEY LAUDRY)

D. Objek dakwaan terlalu umum

Undang-undang Dasar menyebutkan bahwa salah satu pemegang kekuasaan kehakiman tertinggi adalah Mahkamah Agung disamping Mahkamah Konstitusi (Pasal 24 ayat (1) UUD jo Pasal 10, Pasal 11 UU No. 4 Tahun 2004). Harapan masyarakat kepada Mahkamah Agung dalam upaya mewujudkan penegakan hukum yang adil dan bermartabat sangatlah besar. Memang pengadilan adalah muara terakhir semua upaya penegakan hukum. Sorotan kritikan bahkan hujatan orang kepada dunia peradilan pada umumnya, Mahkamah Agung pada khususnya, yang marak akhir-akhir ini adalah sisi negatif dari perhatian dan ekspektasi atau harapan besar masyarakat kepada dunia peradilan.64

Dalam suatu negara hukum ”Kekuasaan Kehakiman” merupakan badan yang sangat menentukan isi dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif dan konkritisasi oleh Hakim pada putusan-putusannya di depan pengadilan. Dengan ungkapan lain bahwa bagaimanapun baiknya segala peraturan hokum yang diciptakan dalam suatu negara dalam usaha menjamin keselamatan masyarakat menuju kesejahteraan rakyat, tidak ada artinya apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang dilakukan Hakim yang mempunyai kewenangan untuk memberi

64


(50)

isi dan kekuatan kepada norma-norma hukum dalam undang-undang dan lain-lain peraturan hukum.

Tampaklah badan-badan peradilan merupakan forum dimana segala lapisan penduduk dapat mencari keadilan serta menyelesaikan persoalan-persoalan tentang hak dan kewajiban masing-masing menurut hukum. Oleh sebab itu dapat dimaklumi keperluan akan adanya dan terselenggaranya peradilan yang baik, teratur serta memenuhi rasa keadilan masyarakat sangat diperlukan bagi terselenggaranya Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut disini figur Hakim sangat menentukan, melalui putusan-putusannya karena pada hakekatnya Hakimlah yang menjalankan kekuasaan hukum peradilan demi terselenggaranya fungsi peradilan itu.

Tugas Hakim dalam menyelenggarakan peradilan adalah menegakkan Hukum”, yang di dalamnya tersimpul : bahwa Hakim sendiri dalam memutus perkara, harusnya berdasar hukum, artinya tidak boleh bertentangan dengan hukum. Sebab Hakim bertugas mempertahankan tertib hukum, menetapkan apa yang ditentukan oleh hukum dalam suatu perkara yang diajukan kepadanya Pendapat tersebut di atas apabila dihubungkan dengan yang tersurat di dalam Undang-undang Dasar 1945 mengenai : “Kebebasan Hakim” atau kebebasan Peradilan yang secara konstitusional dijamin oleh Undang-undang Dasar 1945, maka kebebasan Hakim bukan merupakan hak Istimewa yang dimiliki Hakim untuk berbuat dengan sebebas-bebasnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa kebebasan yang dimiliki oleh Hakim adalah kebebasan yang terikat/terbatas (Genbonden Vrijheid).


(51)

Meskipun telah secara jelas kebebasan Hakim dalam menjalankan tugasnya dibatasi oleh Undang-undang, namun disisi lain Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan dituntut pula wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang berlaku dalam masyarakat (Pasal 28 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004).

Rasa keadilan dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat itu berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat itu sendiri atau bersifat dinamis, sementara hukum berkembang dengan sangat lambat atau cenderung statis. Seiring dengan bergulirnya waktu kedua hal tersebut pada suatu ketika akan bertentangan. Hal ini tentunya sangat menyulitkan bagi Hakim dalam memutus suatu perkara yang diadilinya.

Ketentuan Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang menentukan ”Jika pengadilan berpendapat bahwa hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan menyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. Secara formal Pasal 191 ayat (1) KUHAP setelah dicermati dengan baik sebenarnya membatasi ruang gerak Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara Pidana. Pembatasan tersebut semakin jelas apabila ketentuan Pasal tersebut dihubungkan dengan Pasal 143 KUHAP yang mengatur tentang Surat Dakwaan Pasal 143 KUHAP, secara eksplisit memang tidak dengan tegas menyatakan membatasi kewenangan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara-perkara pidana, namun dilihat dari pengertian surat dakwaan sendiri yaitu : ”surat yang diberikan tanggal dan ditanda tangani oleh penuntut umum, yang memuat uraian tentang identitas lengkap terdakwa,


(52)

perumusan tindak pidana yang didakwakan yang dipadukan dengan unsur-unsur tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan pidana yang bersangkutan, disertai uraian tentang waktu dan tempat tindak pidana dilakukan oleh terdakwa, surat mana menjadi dasar dan batas ruang lingkup pemeriksaan di siding pengadilan.” Pasal 191 ayat (1) KUHAP jika dihubungkan dengan pengertian surat dakwaan nampak adanya pembatasan kewenangan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara pidana, karena dari pengertian tersebut Hakim pada prinsipnya tidak dapat menjatuhkan hukuman kepada terdakwa apabila perbuatan tersebut tidak didakwakan oleh Penuntut Umum dalam surat dakwaannya. Meskipun sudah ada ketentuan larangan bagi Hakim untuk tidak boleh menjatuhkan hukuman kepada terdakwa apabila perbuatan tersebut tidak terbukti, atau tidak didakwakan oleh Penuntut Umum dalam surat dakwaannya, ternyata dalam praktek peradilan ada Hakim yang menjatuhkan putusan diluar dakwaan yang diajukan jaksa Penuntut Umum.

E. Bentuk dan jenis tindak pidana pencucian uang (money laundry)

Sebagaimana dituangkan dalam UU Nomor 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, yang disebut dengan pencucian uang yakni; setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau


(53)

patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaannya.65

F. Integritas Moral Aparat Penegak Hukum

Dalam UU tersebut, juga disebutkan, bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana pencucian uang diancam dengan hukuman penjara paling lama 20 tahun. Adapun jenis tindak pidana yang dikategorikan sebagai hasil pencucian uang diantaranya, korupsi, penyuapan, narkotika, penyelundupan tenaga kerja, kepabeanan, terorisme, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, perpajakan, lingkungan hidup dan lainnya. Sejak satu tahun terakhir, aksi tindak pidana pencucuian uang yang dilakukan baik oleh aparatur negara, maupun kalangan pengusaha, begitu akrab di telinga kita. Nyaris setiap hari media massa memberitakan seputar tindak pidana pencucian uang yang dilakukan sejumlah kalangan di negara ini.

Berdasarkan UUD 1945 Indonesia merupakan Negara hukum. Semua rakyatnya memiliki kedudukan yang sama di mata hukum. Tetapi apakah dalam penerapannya sudah sesuai dengan UUD tersebut? Sepertinya amanat itu belum dapat terealisasikan bahkan setelah Indonesia telah lebih dari ½ abad memperoleh kemerdekaan. Sepertinya kita pun hanya berangan untuk mendapatkan keadilan yang setara di Indonesia. Apabila kita cermati hukum di Indonesia saat ini penuh dengan kebobrokan kalaupun hukum ditegakan unsur diskriminatif terlihat jelas dalam proses penegakan hukum tersebut.

65


(54)

Praktik-praktik penyelewengan dalam proses hukum seperti mafia peradilan, proses peradilan hukum yang diskriminatif, jual-beli putusan hakim, atau tebang pilih kasus merupakan realitas sehari-hari yang secara nyata dapat kita lihat dalam praktik penegakan hukum di Negara ini. Dampak dari penyelewangan hukum ini adalah kerusakan dan kehancuran di segala bidang (politik, perekonomian, budaya dan social). Selain itu menyebabkan masyarakat kehilangan rasa hormat dan timbulnya ketidak percayaan terhadap aparat penegak hukum di negeri ini. Sehingga membuat masyarakat mencari keadilan sendiri. Oleh karena, itu praktik main hakim sendiri sangat terlihat di masyarakat kita. Contoh kasus upaya pembacokan seorang hakim yang terlibat kasus korupsi oleh seorang aktivis LSM karena sang pelaku geram dengan para pelaku korupsi yang merugikan Negara ini.

Sebenarnya apakah masalah yang menyebabkan sulitnya penegakan hukum di Indonesia? Jika dikaji secara mendalam terdpat beberapa factor sulitanya penegakan hukum di Indonesia yaitu:

1. Lemahnya “politic will” dan “politic action” para pemimpin Negara.

Dimana supermasi hukum masih sebatas retrorika dan jargo-jargon politik belaka yang berngaung ketika kampanye tanpa bukti yang pasti.

2. Campur tangan politik

Banyak sekali kasus hukum di Indonesia yang terhambat karena adanya campur tangan politik didalamnya. Sebut saja kasus Bank Century yang berpotensi menyeret kalangan eksekutif ke jalur hukum, mudurnya Sri Mulyani dari mentri keuangan lantaran diduga terkait kasus ini. Serta kasus


(1)

dinyatakan terbukti adalah unsur “pegawai negeri atau penyelenggara negara”, dalam dakwaan kesatu subsidair yang terpenuhi dan dinyatakan terbukti adalah unsur “setiap gratifikasi” dan unsur “kepada pegawai negeri dan penyelenggara negara”, dan dalam dakwaan kesatu lebih subsidair yang terpenuhi dan dinyatakan terbukti adalah unsur “pegawai negeri atau penyelenggara negara”. Dalam dakwaan kedua primair yang terpenuhi dan dinyatakan terbukti adalah unsur “setiap orang yang dengan sengaja membayarkan atau membelanjakan harta kekayaan” dan dalam dakwaan kedua subsidair yang terpenuhi dan dinyatakan terbukti adalah unsur “setiap orang yang menerima atau menguasai pentransferan harta kekayaan”. Sedangkan empat belas unsur lainnya dalam dakwaan kesatu dan kedua tidak terpenuhi dan dinyatakan tidak terbukti oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pontianak

D. Saran

1. Hakim dalam memberikan pertimbangan terhadap unsur-unsur perbuatan yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum kepada Terdakwa harus objektif dan logis dengan mempertimbangkan fakta-fakta dalam persidangan karena pertimbangan ini yang selanjutnya akan digunakan sebagai dasar dalam menjatuhkan putusan.

2. Putusan hakim harus berisi keseimbangan antara kepastian hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Hendaknya hakim dalam memutus perkara atas suatu kejahatan yang luar biasa berat dan serius (extra ordinary crime)


(2)

lebih bersikap seksama dan hati-hati dalam rangka memberikan keadilan bagi pencari keadilan.

3. Pemidanaan terhadap pelaku money laundering sebaiknya juga mempertimbangkan keadaan sosial, ekonomi serta hukum termasuk mempertimbangkan pemidanaan dengan jumlah harta kekayaan yang dicuci sehingga ancaman pidana lebih berat serta dapat memberikan efek jera kepada terpidana dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana money laundering.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta, 2005 Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Penerbit Alumni,

Bandung, 2008

Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang. 2005.

Ahmad Rifai, 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar Grafika.

Adrian Sutedi, Hukum Perbankan Suatu Tinjauan Pencucian Uang Merger, Likuidasi dan Kepailitan, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Cetakan Pertama, Jakarta: Sinar Grafika, 1995.

Bambang Sutiyoso, Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum Di Indonesia, Yogyakarta: UII Press.2010.

Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Ghalita Indonesia, 1992 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Sebagaimana dikutip dari

Seojono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajawali Press, 1990.

Darwan Prinst. Hukum Acara Pidana dalam Praktik. Jakarta: Djambatan, 1998. Edi Setiadi dan Rena Yulia, Hukum Pidana Ekonomi, Yogyakarta: Graha Ilmu,

2010.

Guy Stessens, Money Laundering: A New International Law Enforcement Model, Cambridge University Press, First Published 2000

Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung. 2003.

H.A Mukhsin Asyrof Varia Peradilan No. 252 November 2006

J.T.C Simorangkir, Rudy T. Erwin, J.T Prasetyo, Kamus Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 2000


(4)

Jane E. Hughes dan Scott B. MacDonald, International Banking Text and Cases, Boston: Addison Wesley, 2002.

Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktik dan Masalahnya, P.T. Alumni, Bandung. 2007.

Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum (Deik), C etakan Pertama, Jakarta: Sinar Grafika, 1991.

Munir Fuady. 2001. Hukum Perbankan Indonesia. CirtraAditya Bakti Bandung. Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Undip. Semarang. Moljatno, Asas-asa Hukum Pidana, Cetakan Kedua, Jakarta: Bina Aksara, 1984 Nanda Agung Dewantara, 1987. Masalah Kebebasan Hakim Dalam Menangani

Suatu Masalah Perkara Pidana. Jakarta: Aksara Persada Indonesia.

Rick McDonnel, “Regional Implementation, Regional Conference on Combating Money Laundering and Terrorist Financing, Denpasar, 17 Desember 2002. Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan Di

dalam Penelitian Hukum, Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999.

Sudarto, Hukum Pidana I, Cetakan kedua Semarang Yayasan Sudarto d/s Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1990.

Sutan Remy Sjahdeini, Seluk-Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2007.

Wiryo Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Jakarta-Bandung, 1980.

Yunus Husein, “PPATK: Tugas, Wewenang, dan Peranannya Dalam Memberantas Tindak Pidana Pencucuian Uang”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22 Nomor 3, 2003.

Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa, the United Nation Convention Against Illicit Trafic in Narcotics, Drugs and Psychotropic Substances of 1988 yang mengartikan money laundering sebagai :“The convention or transfer of property, knowing that such property is derived from any serious (indictable) offence or offences, or from act of participation in such offence or offences, for the purpose of concealing or disguising the illicit of the property or of assisting any person who is involved in the commission of such an offence or offences to evade the legal consequences of his action; or


(5)

The concealment or disguise of the true nature, source, location, disposition, movement, rights with respect to, or ownership of property, knowing that such property is derived from a serious (indictable) offence or offences or from an act of participation in such an offence or offences.”

Sidik Sunaryo. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Malang: UMM Press. 2004

United Nation Convention Against Illicit Traffic in Narcotic, Drugs and Psycotropic Substances, 1988.

“Indonesia Termasuk Daftar Hitam”, Suara Pembaruan, Jakarta, 21 Juni 2001, hal.6. Ke 17 negara itu adalh Rusia, Filipina, Kepulauan Nauru, Kepulauan Cook, Dominika, Mesir, Guatemala, Hongaria, Indonesia, Israel, Lebanon, Kepulauan Marshall, Myanmar, Nigeria, Niue, St.Kitt and Nevis, St. Vincent and Granadies. Dikutip dalam Ganarsih, ibid., hal.9. Lihat: Yunus Husein, Upaya Indonesia Keluar Dari Daftar NCCTs: Kerja Keras yang Berkelanjutan

Wantjik Saleh, Tindak Pidana Korupsi Dan Suap. Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983 Zulfa, Eva Achjani, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Bandung: Lubuk Agung, 2012

B. Peraturan Perundang-Undang

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Titik Terang.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), R. Soesilo, Politeia, Bandung Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan


(6)

C. Internet

http://www.negarahukum.com/hukum/1562.html.

Anang, “Money Laundering (Politik Cuci Uang)”,

http://meynyeng.wordpress.com/2013/09/26/money-laundering-politik-cuci-uang/.

1

Ni Komang Wiska Ati Sukariyani, “Tinjauan Umum Mengenai Pencucian Uang”,

http://www.scribd.com/doc/75635799/Tinjauan-Umum-Mengenai-Pencucian-Uang.

diakses tanggal 19 September 2013