Latar Belakang Masalah Pendahuluan

MAKNA TSUUKAGIREI 通過儀礼 通過儀礼 通過儀礼 通過儀礼 DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT JEPANG ~SEJAK KELAHIRAN HINGGA PERNIKAHAN~

1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Masalah

Kepercayaan orang Jepang mungkin merupakan hal yang paling kompleks di dunia, karena mereka bersikap terbuka terhadap semua agama. Misalnya, mereka pergi ke kuil Shinto ketika tahun baru hatsumode, tetapi mereka pergi pula ke kuil Budha ketika musim semi dan musim gugur untuk berziarah ke makam leluhur higan, kemudian mereka pun menyantap kue tart dan memberikan kado kepada anaknya ketika Hari Raya Natal tiba. Selain itu, pada saat perayaan “shichi go san” mereka pergi ke kuil Shinto, tetapi mereka melakukan pernikahan di gereja, dan ritual kematian dilakukan di kuil Budha. Menurut “Catatan Tahunan Agama” yang diterbitkan oleh Lembaga Kebudayaan, populasi umat beragama di Jepang pada tahun 1984 adalah 220 juta orang, sedangkan populasi di Jepang pada saat itu hanya mencapai 120 juta orang. Berdasarkan hal ini, dapat disimpulkan bahwa populasi umat beragama di Jepang hampir dua kali lipat dari jumlah penduduk. Tetapi yang mengejutkan adalah hasil dari survey yang dilakukan oleh NHK pada tahun 1982. Ketika mereka menjawab pertanyaan mengenai agama, sebanyak 33 menjawab bahwa mereka memiliki agama, tetapi 65 menjawab tidak memiliki agama Tanaka, 1989 : 28. Apabila kita melihat hasil survey ini, dapat kita ketahui bahwa kebanyakan orang Jepang tidak mengakui memiliki sebuah agama, tetapi mereka memiliki kepercayaan yang mendasar dalam menjalani kehidupan ini, berdasarkan kepercayaan mereka terhadap alam, yang telah mengakar kuat sejak zaman pramodern. Orang Jepang pramodern biasanya menganut agama Budha dan Shinto sekaligus. Agama Budha menjadi dasar di seluruh kehidupan intelektual, artistik, sosial, dan politik di Jepang sejak abad ke-9 sampai abad ke-16. Shinto tidak mengenal masalah akhirat, sehingga ia bisa rukun berdampingan dengan agama Budha. Kuil-kuil Shinto sering secara administratif berhubungan dengan biara-biara Budha. Tetapi, semangat Budha menurun sesudah abad ke-16, dan Shinto menjadi pusat perhatian baru di Jepang. Shinto merupakan agama yang paling istimewa dari semua agama di Jepang. Ia dianggap sebagai agama asli orang Jepang. Pada awalnya Shinto terpusat pada pemujaan animistis gejala-gejala alam shinzengami--- matahari, gunung, pohon, air, batu karang, dan seluruh proses kesuburan. Kemudian, ada kepercayaan dalam Shinto bahwa orang yang meninggal akan menjadi dewa jinkakugami. Dewa-dewa dipuja dengan mengadakan ritual keagamaan seperti doa dan perayaan pada tempat suci yang memakai gerbang torii, sebagai simbol dari kuil Shinto. Tempat suci ini dipersembahkan kepada leluhur kekaisaran, leluhur uji setempat, dewa padi, atau arwah dari suatu gejala alam yang menyolok. Kemudian kuil Shinto juga menjadi tempat pernikahan, dan di rumah-rumah orang Jepang, biasanya ada “rak dewa kamidana”, sebagai tempat memberikan persembahan untuk dewa-dewa Shinto. Shinto memberikan penekanan pada kemurnian ritual keagamaan. Ritual keagamaan ini dilakukan oleh hampir seluruh orang Jepang, dan merupakan dasar dari kehidupan beragama mereka. Ritual ini sudah ditentukan waktunya. Ritual keagamaan ini ada yang dilakukan sesuai waktunya dalam satu tahun, misalnya perayaan “Bon” pada bulan Juli, “Shougatsu” -Tahun Baru-, dan perayaan-perayaan pada Musim Semi dan Musim Gugur; dan ada yang dilakukan sesuai dengan tahap-tahap tertentu dalam kehidupan, misalnya anak-anak sering dibawa mengunjungi kuil pada tahap-tahap tertentu hidupnya---misalnya segera sesudah lahir, perayaan ketika berumur tiga, lima dan tujuh tahun shichi go san. Ritual keagamaan yang pertama disebut nenchuugyouji, dan yang kedua disebut tsuukagirei tsuuka: transit; girei: ritualupacara. Nenchuugyouji merupakan ritual keagamaan tahunan yang berkaitan dengan peristiwa atau musim dalam satu tahun, sedangkan tsuukagirei merupakan ritual keagamaan yang berkaitan dengan peralihan tahap kehidupan orang Jepang.

1.2 Perumusan Masalah