7
II METODE PENELITIAN
2.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan mulai Bulan Oktober 2010 sampai dengan April 2011, yang meliputi kegiatan persiapan penelitian, pelaksanaan penelitian,
pengolahan dan analisis data. Lokasi penelitian di hutan hujan tropis tropical rain forest Kabupaten Dairi, Provinsi Sumatera Utara. Kondisi lokasi penelitian relatif
datar, dengan demikian mengurangi efek topografi pada penelitian ini. Secara geografis, lokasi penelitian terletak pada koordinat 98
o
43’00” BT sampai dengan 98
o
64’00” BT dan 2
o
54’00” LU sampai dengan 2
o
86’00” LU dengan ketinggian rata-rata 1.600 m dpl dengan kemiringan lereng datar dan landai. Peta lokasi
penelitian disajikan pada Gambar 2. Pengolahan dan analisis data citra satelit dilakukan di Laboratorium Fisik Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi
Geografis, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Lokasi penelitian berada pada hutan hujan tropis yang memiliki ciri pohon
yang tinggi, rapat, hijau sepanjang tahun, dan memiliki musim kering yang pendek sampai tidak ada Primack dan Corlett 2005. Hutan hujan tropis
mempunyai suhu bulanan rata-rata 20
o
C – 50
o
C dengan curah hujan dalam satu tahun antara 2000 mm dan 5000 mm Arief 2001. Raymond et al. 2003
mencirikan hutan hujan tropis dengan struktur tajuk yang memiliki strata. Strata tajuk yang paling dominan merupakan pohon yang paling besar, selanjutnya strata
tajuk lebih kecil dan strata tajuk semak belukar. Variasi strata tajuk ini disebabkan oleh perbedaan ukuran tumbuhan serta perbedaan waktu tumbuh.
Tipe ekosistem hutan hujan tropis terdapat di wilayah yang memiliki tipe iklim A dan B menurut klasifikasi iklim Schimidt dan Ferguson, atau dapat
dikatakan bahwa tipe ekosistem tersebut berada pada daerah yang selalu basah, pada daerah yang memiliki jenis tanah Podsolik, Latosol, Aluvial dan Regosol
dengan drainase yang baik, dan terletak jauh dari pantai Santoso 1996, diacu dalam Indriyanto 2008
8
Gambar 2 Peta lokasi penelitian.
9
2.2 Data, Hardware, Software dan Alat
2.2.1 Data Penelitian
Data primer yang dipergunakan adalah: 1 Citra ALOS PALSAR Provinsi Sumatera Utara liputan Juni tahun 2009 dengan resolusi spasial 50 meter dan 6,25
meter dan resolusi radiometric 16 bits per piksel. Citra ALOS PALSAR yang digunakan merupakan citra yang telah ortho rektifikasi; dan 2 data hasil
pengukuran tegakan hutan pada lokasi penelitian. Sedangkan data sekunder terdiri dari Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1 : 50.000 dan Peta Penunjukan Kawasan
Hutan Provinsi Sumatera Utara skala 1 : 250.000. Citra ALOS PALSAR resolusi 6,25 meter dan resolusi 50 meter dengan polarisasi HH dan HV disajikan pada
Gambar 3 dan Gambar 4. Citra ALOS PALSAR yang digunakan pada penelitian ini merupakan citra
radar yang menggunakan gelombang mikro. Berdasarkan sifat sumber energi elektromagnetik yang digunakan, radar merupakan penginderaan jauh aktif active
remote sensing yang memanfaatkan microwave dengan panjang gelombang antara 1 mm sampai dengan 1 m. Pada Tabel 1 disajikan tata nama band dan
frekuensi yang digunakan pada radar. Tabel 1 Frekuensi standard dan tata nama band radar. Tata nama band yang
umum digunakan dan yang digunakan yang digunakan NATO Band
Frekuensi GHz Band NATO
Frekuensi GHz UHF
L S
C X
Ku J K
Ka Q 0.3 – 1
1 – 2 2 – 4
4 – 8 8 – 12
12 – 18 18 – 27
27 - 40 B
C D
E
F G
H I
J K
0.25 – 0.5 0.5 – 1
1 – 2 2 – 3
3 – 4 4 – 6
6 – 8 8 – 10
10 – 20 20 – 40
Sumber: Hoekman 1990
10
a
b Gambar 3 Citra ALOS PALSAR resolusi 6,25 meter, a polarisasi HH dan
b polarisasi HV
11
a
b Gambar 4 Citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter, a polarisasi HH dan
b polarisasi HV
12
Sifat sistem radar
Sifat sistem radar dipengaruhi oleh: 1 Panjang gelombang dan kemampuan daya tembusnya terhadap atmosfer dan permukaan tanah, dan 2 Sudut depresi
antena merupakan salah satu aspek geometrik pada citra radar dan penyebab terjadinya efek backscatter radar, efek bayangan pada objek Purwadhi 2001.
Daya tembus terhadap atmosfer paling baik pada panjang gelombang yang lebih besar karena tidak terpengaruh hambatan atmosfer, sedangkan daya tembus
terhadap permukaan tanah tergantung panjang gelombang dan konstanta dielektrik objeknya. Daya tembus besar pada panjang gelombang lebih besar dan material
penutup kurang dari 110 panjang gelombangnya biasanya sekitar 2-3 meter, daya tembus kecil pada konstanta dielektrik tinggi objek yang kelembabannya
tinggi. Panjang gelombang radar lebih dari 3 cm hanya sedikit berpengaruh oleh
awan, kabut tebal, asap dan kabut tipis, dan hanya panjang gelombang yang besar yang benar-benar mampu menembus hujan lebat. Pada panjang gelombang yang
lebih kecil, pantulan radar oleh tetes-tetes air masih dapat berpengaruh sehingga memberikan faktor gangguan yang sangat tinggi. Panjang gelombang yang lebih
besar akan menghasilkan informasi yang jauh lebih sedikit mengenai kekasaran permukaan vegetasi dibandingkan panjang gelombang yang lebih kecil, tetapi
panjang gelombang yang lebih besar akan banyak memberikan informasi mengenai kondisi medan. Di bidang kehutanan, panjang gelombang yang kecil
lebih disukai, sedangkan para ahli tanah dan geologi biasanya lebih menyukai panjang gelombang yang lebih besar, karena akan diperoleh lebih banyak
informasi yang relevan Howard 1996. Ukuran backscatter dari objek sama seperti reflectance dalam sistem optik
adalah rasio antara sinyal emisi dengan sinyal yang diterima dan akan berlainan tergantung kepada jenis objeknya. Nilai ini sering disebut sebagai nilai radar cross
section σ
o
dan dinyatakan dalam besaran desibel db. Intensitas atau kekuatan gelombang radar yang diterima kembali oleh sensor
backscatter menentukan karakteristik spektral objek citra radar. Sebagai bagian dari dari topografi, kekasaran permukaan adalah sifat terrain yang paling
berpengaruh terhadap nilai backscatter objek, tergantung kepada panjang
13
gelombang dan sudut pandang sensor. Sebuah permukaan dapat terlihat kasar apabila perbedaan tinggi mendekati panjang gelombangnya. Permukaan halus
akan terlihat gelap sedangkan permukaan kasar akan terlihat cerah pada citra radar, hal ini merupakan perilaku scattering gelombang radar. Intensitas atau
kekuatan gelombang pantulan pada citra radar dipengaruhi sifat objek dan sifat sistem radarnya Purwadhi 2001. Pada penelitian ini akan dikaji pengaruh sifat
objek terhadap nilai backscatter pada citra radar ALOS PALSAR. Tiga tipe backscatter yang dikenal adalah surface scattering, volume
scattering, dan corner reflector. Jika permukaan objek seragam maka akan terjadi surface scattering backscatter permukaan dan surface scattering dapat terjadi
dalam bentuk specular reflector pantulan cermin atau diffuse reflector pantulan baur tergantung dari panjang gelombang dan kekasaran permukaan objek.
Pantulan baur yaitu pantulan kesegala arah termasuk yang kembali ke sensor yang menyebabkan rona cerah, hal ini terjadi pada objek yang memiliki permukaan
kasar seperti daerah bebatuan, vegetasi yang heterogen dan air dengan ombak besar. Pantulan cermin specular reflector yaitu arah pantulan berlawanan
dengan arah datangnya gelombang atau sensor menyebabkan rona gelap, hal ini terjadi pada objek yang memiliki permukaan halus, seperti permukaan air tenang,
permukaan tanah yang diratakan atau diperkeras. Jika permukaan objek dengan dielektriknya tidak seragam maka akan terjadi
volume scattering dimana gelombang radar penetrasi menembus permukaan dan pantulan gelombangnya berasal dari objek yang berada dibawah permukaan.
Corner reflector atau pantulan sudut terjadi sebagai hasil dari bentuk sudut objek alami maupun objek buatan. Pantulan sudut menyebabkan pantulan gelombang
kembali ke arah sensor yang menyebabkan rona sangat cerah. Objek yang bersudut siku-siku seperti gedung bertingkat dan lereng terjal. Tipe-tipe
backscatter disajikan pada Gambar 5.
14
Pantulan cermin backscatter rendah Pantulan baur backscatter tinggi
corner reflector pantulan sudut volume scattering
Gambar 5 Tipe backscatter Smith 2006. Kondisi topografi permukaan bumi sangat mempengaruhi backscatter.
Variasi lokal medan mengakibatkan sudut datang gelombang radar yang berbeda- beda. Variasi topografi mengakibatkan backscatter pada lereng yang menghadap
ke sensor akan memantulkan gelombang yang lebih besar dibandingkan lereng sebaliknya, atau lereng yang membelakangi sensor. Kekuatan gelombang pantulan
karena pengaruh kondisi topografi biasanya dikatakan sebagai efek geometri sensor radar terhadap medan. Kekuatan backscatter mempengaruhi rona pada
citra radar. Citra radar bagian lereng depan akan lebih cerah dibandingkan dengan bagian lereng yang membelakangi sensor.
Fisiognomi vegetasi berkayu sangat berpengaruh terhadap rona, dan tekstur citra radar yang terekam. Seringkali batas citra pada formasi tanaman, dan
kadang-kadang juga batas subformasi atau tipe hutan dapat diidentifikasi secara tepat serta didelineasi, tergantung pada panjang gelombang radar yang digunakan,
perekaman dapat berupa sinyal campuran yang dihasilkan oleh kekasaran permukaan tajuk pepohonan, vegetasi dibawahnya understory, dan juga tekstur
medan, yang kadang-kadang juga menyebabkan stratum kanopi utama justru tidak mempunyai pengaruh terbesar Howard 1996.
15
ALOS PALSAR
Advanced Land Observing Satelite ALOS adalah satelit milik Jepang yang merupakan satelit generasi lanjutan dari Japanese Earth Resources Satellite-1
JERS-1 dan Advanced Earth Observing Satellite ADEOS yang dilengkapi dengan teknologi yang lebih maju. Satelit ALOS diluncurkan pada tanggal 24
Januari 2006 dengan menggunakan roket H-IIA milik Jepang dari stasiun peluncuran Tanegashima Space Center. Satelit ini di desain untuk dapat
beroperasi selama tiga sampai lima tahun, dilengkapi dengan tiga instrumen penginderaan jauh yaitu Panchromatik Remote-sensing Instrument for Stereo
Mapping PRISM dengan resolusi spasial 2,5 m yang dirancang untuk memperoleh data Digital Terrain Model DTM, Advanced Visible and Near
Infrared Radiometer type-2 AVNIR-2 dengan resolusi spasial 10 m untuk pemantauan tutupan lahan secara lebih tepat, dan Phased – Array type L-band
Synthetic Apeture Radar PALSAR untuk pemantauan semua kondisi cuaca pada siang dan malam hari.
Tabel 2 Karakteristik PALSAR
Mode Fine
ScanSAR Polarimetric
Experimental mode1
Center Frequency 1270 MHzL-band
Chirp Bandwidth 28MHz
14MHz 14MHz,28MHz
14MHz Polarization
HH or VV
HH+HV or VV+VH
HH or VV HH+HV+VH+VV
Incident angle 8 to
60deg. 8 to 60deg.
18 to 43deg. 8 to 30deg.
Range Resolution 7 to 44m
14 to 88m 100m
24 to 89m multi look
Observation Swath 40 to
70km 40 to 70km
250 to 350km 20 to 65km
Bit Length 5 bits
5 bits 5 bits
3 or 5bits Data rate
240Mbps 240Mbps
120Mbps,240Mb ps
240Mbps NE sigma zero 2
-23dB Swath Width 70km -25dB
-29dB -25dB Swath Width 60km
SA 2,3 16dB Swath Width 70km
21dB 19dB
21dB Swath Width 60km Radiometric
accuracy scene: 1dB orbit: 1.5 dB
Sumber: Jaxa 2006
16
Sensor PALSAR Phased Array Type L-band Synthetic Aperture Radar adalah sensor microwave yang aktif dengan menggunakan gelombang L-band yang dapat
menembus lapisan awan dan dapat mengobservasi siang dan malam hari. Sensor PALSAR yang dipasang pada satelit ALOS, merupakan pengembangan lebih
lanjut sensor SAR synthetic aperture radar yang dibawa oleh satelit pendahulunya JERS-1. Melalui salah satu mode observasinya, yaitu ScanSAR
sensor ini memungkinkan untuk melakukan pengamatan permukaan bumi dengan cakupan area 250 km hingga 350 km. Hal ini merupakan cakupan pengamatan
tiga sampai lima kali lebih luas dibandingkan citra SAR konvensional. Karakeristik PALSAR dapat dilihat pada Tabel 2.
2.2.2 Hardware, Software dan alat
Hardware atau perangkat keras yang digunakan dalam penelitian ini adalah komputer dan printer, sedangkan alat yang digunakan adalah GPS Global
Positioning System, kompas, clinometer, phiband, tallysheet, kamera digital dengan lensa fish eye. Perangkat lunak atau software untuk pengolahan data
digunakan ERDAS Imagine Ver 9.1, ArcView 3.3 extension clustering, HemiVeiw 2.1 dan SPSS Statistic 17.0.
2.3 Tahapan Penelitian
Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan penelitian yaitu: 1 persiapan, 2 pra pengolahan citra ALOS PALSAR, 3 pengolahan citra ALOS
PALSAR, 4 desain penarikan contoh, 5 pengambilan data lapangan, 6 pengolahan data lapangan, dan 7 pemilihan peubah tegakan. Tahapan penelitian
disajikan pada Gambar 6.
17
Gambar 6 Tahapan penelitian.
2.3.1 Persiapan
Kegiatan pada tahap persiapan adalah pengumpulan data digital berupa data vektor dan data raster, pembuatan tallysheet, dan pengolahan citra ALOS
PALSAR agar dapat diolah dan dianalisis untuk keperluan penelitian.
2.3.2 Pra Pengolahan Citra
Tahapan pra pengolahan citra ALOS PALSAR dimaksudkan untuk memperoleh citra ALOS PALSAR yang siap dianalisis. Kegiatan yang dilakukan
pada tahap ini terdiri dari pemotongan citra cropping dan reduksi noise. 1 Pemotongan citra cropping
Pemotongan citra dilakukan untuk membatasi citra sesuai dengan wilayah penelitian sehingga analisis dapat lebih fokus pada lokasi penelitian dan
pemrosesan citra berlangsung lebih cepat. 2 Reduksi noise
Noise terjadi akibat adanya interaksi sinyal balik yang beragam dari berbagai objek yang ada di area tersebut. Interaksi gelombang akan membuat
Pra pengolahan citra ALOS PALSAR
Clustering Dendrogram
evaluasi Merging
labelling Data lapangan
Analisis
Peubah tegakan yang berpengaruh
mulai
selesai
18
sinyal pancar balik tersebut menghilang atau malah diperkuat sehingga akan menghasilkan piksel yang cerah dan gelap yang disebut spekcle noise.
Citra ALOS PALSAR resolusi 6.25 meter dilakukan reduksi noise, sedangkan pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter tidak dilakukan reduksi
noise karena tidak mengalami gangguan. Metode yang digunakan pada tahap ini adalah filter frost dengan window size 7 x 7.
Filter frost akan mengganti nilai piksel yang menjadi prioritas dengan bobot dari jumlah nilai dalam window size moving window 7 x 7. Faktor bobot akan
berkurang menurut jarak piksel dari piksel prioritas. Rumus yang digunakan adalah:
∑
−
=
nxn
t
e K
α
α
DN
dimana
=
2
I 4
2 2
α
σ
σ n
dan K
= Konstanta Ī
= rata-rata lokal σ
= variance local n
= moving window size σ
= image coefficient of avariation value
rata -
rata keragaman
= σ
t = jarak
X ,Y
= posisi piksel tujuan X,Y = posisi piksel ke-i terhadap piksel tujuan
2.3.3 Pengolahan Citra 1 Konversi Digital Number
Kegiatan ini mengkonversi digital number menjadi nilai backscatter citra ALOS PALSAR yang dilakukan pada setiap polarisasi HH dan HV baik untuk
citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter maupun pada citra ALOS PALSAR Lopes et al. 1990
19
resolusi 6,25 meter. Nilai backscatter tiap piksel dihitung dengan menggunakan persamaan di bawah ini Shimada et al. 2009.
σ° =10 x log10 DN
2
+ CF Keterangan:
σ° = Koefisien backscatter dalam desibel db DN = Digital Number
CF = Calibration Factor -83 2 Klasifikasi tidak terbimbing
Klasifikasi tidak terbimbing atau klastering clustering merupakan suatu teknik klasifikasi yang merupakan serangkaian proses untuk mengelompokkan
observasi piksel ke dalam suatu kelas atau klaster yang benar dalam suatu set kategori yang disusun Jaya 2009. Jumlah klaster awal pada penelitian ini
ditetapkan sebanyak 20 klaster. Proses klastering selanjutnya menggunakan metode rata-rata bergerak migrating means atau dikenal juga dengan istilah
metode K-mean clustering. Agar memudahkan melakukan analisis pengkelasan berdasarkan tingkat kemiripan dari masing-masing ukuran klaster yang
digunakan, maka diperlukan suatu teknik untuk menyusun urutan pengelompokan klaster, dari jumlah yang banyak sampai dengan jumlah yang kecil. Diagram yang
menggambarkan pengelompokan ini dinamakan dendrogram. 3 Dendrogram
Dendrogram adalah kurva yang menggambarkan pengelompokan klaster, untuk memudahkan analisis pengkelasan. Salah satu metode penggambarannya
ialah metode tetangga terdekat nearest neighbor method yaitu metode penggambaran klaster berdasarkan pada jarak terdekat dari anggota klaster.
Metode ini sering disebut dengan metode “single linkage”. 4 Merging
Kelas yang memiliki jarak dekat dengan kelas lainnya digabungkan merge menjadi satu kelas yang sama.
2.3.4 Desain Penarikan Contoh
Penentuan plot contoh dilakukan secara systematic sampling dengan area prioritas area of interest mempertimbangkan kemudahan aksesibilitas dan
ketersebaran plot contoh di lokasi penelitian. Bentuk plot contoh berupa persegi
20
empat berukuran 50 m x 50 m dengan jumlah 45 plot contoh. Peta sebaran plot contoh disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7 Peta sebaran plot contoh.
21
2.3.5 Pengambilan Data Lapangan
Pengambilan data di lapangan dimulai dengan tahapan sebagai berikut: 1 Penentuan Titik Pusat Plot
Posisi titik pusat plot di lapangan ditentukan atas dasar gambaran titik pusat plot dipetacitra. Titik pusat plot ditentukan koordinatnya dengan
menggunakan GPS. 2 Pembuatan plot contoh
Plot contoh berbentuk persegi empat dengan ukuran 50 m x 50 m untuk pengukuran pohon dengan diameter 20 cm ke atas, di dalamnya plot contoh dibuat
sub plot contoh berukuran 10 m x 10 m untuk pengukuran tiang dengan diameter 10 cm sampai dengan diameter kurang dari 20 cm dan sub plot contoh berukuran
5 m x 5 m untuk pengukuran pancang dengan diameter 5 cm sampai dengan
diameter kurang dari 10 cm. Gambar plot contoh disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8 Plot contoh. 3 Pengambilan data lapangan
Data lapangan yang dikumpulkan pada setiap plot contoh merupakan dimensi tegakan yang dapat mempengaruhi nilai backscatter citra ALOS
PALSAR. Data-data plot contoh yang dikumpulkan adalah: a Titik koordinat pusat plot contoh; diambil dengan menggunakan GPS untuk
mendapatkan posisi koordinat x dan y pusat plot di lapangan. b Diameter; diameter diukur pada setinggi dada 130 cm.
1 Tingkat pancang, diukur diameter 5 cm sampai dengan diameter 10 cm, sub plot untuk pengukuran pancang berukuran 5 x 5 meter pada kuadran I.
Titik Pusat Plot 50 m
10m 5
5 10m
Kuadran IV Kuadran I
Kuadran II Kuadran III
50 m
22
2 Tingkat tiang diukur diameter 10 cm sampai dengan diameter 20 cm, sub plot untuk pengukuran pancang berukuran 10 x 10 meter pada kuadran I.
3 Pohon diukur pada diameter ≥ 20 cm, diukur pada plot contoh 50 x 50 m.
c Tinggi total; diukur dari pangkal batang sampai ujung tajuk tanaman. d Diameter tajuk; merupakan diameter rata-rata tajuk yang diukur dua kali pada
arah Utara-Selatan dan Timur-Barat. e Tebal tajuk; diukur dari pangkal bebas cabang sampai ujung tajuk.
f Kemiringan lapangan slope; merupakan beda tinggi pada pusat plot dengan kondisi di sekitarnya.
g Arah kemiringan lapangan Aspect yang ditentukan dari pusat plot sampel. h LAI leaf area index; diambil menggunakan kamera dengan lensa fish eye.
i Gambar dokumentasi plot contoh.
2.3.6 Pengolahan Data Lapangan
Data lapangan yang telah tercatat di tallysheet selanjutnya direkapitulasi dan dilakukan perhitungan untuk mengetahui data setiap plot contoh.
1 Posisi koordinat plot contoh dari GPS. 2 Nilai rata-rata diameter, rata-rata tinggi pohon, rata-rata lebar tajuk, dan rata-
rata tebal tajuk setiap plot. 3 Kerapatan pancang, tiang dan pohon setiap plot dalam hektar ha. Rumus
kerapatan sebagai berikut:
keterangan: K = Kerapatan pancang, tiang dan pohon setiap plotsub plot dalam ha
4 Luas bidang dasar per hektar m
2
ha setiap plot contoh.
Lp d
LBDSj
n i
∑
=
=
1 2
. .
4 1
π
keterangan: LBDSj = Luas Bidang Dasar m
2
ha dari plot ke j π
= 3.14 d
= DBH m Lp
= Luas plotsub plot ha
23
5 Luas tajuk per hektar m
2
ha setiap plot contoh L
Tjk
=
Lp .D
¼.
1 2
tjk
∑
=
=
n i
Tjk
L
π
keterangan: L
Tjk
= Luas tajuk m
2
ha
π
= 3.14 D
tjk
= diameter tajuk pohon m Lp = luas plotsub plot ha
6 Penghitungan biomasa Pendugaan biomasa pohon di atas permukaan tanah pada hutan hujan tropis
dengan ketinggian 1600 m di atas permukaan laut menggunakan allometric yang dikembangkan oleh Basuki et al. 2009
lnTAGB = c + αlnd keterangan:
TAGB = total above-ground biomass c
= -1.201 α
= 2.196 d
= diameter 7 Pengukuran LAI
Pengukuran LAI dilakukan dengan menggunakan kamera berlensa fisheye. Pengambilan foto dilakukan di tengah plot mengarah ke atas dari lantai hutan.
Posisi kamera foto pada tripot dengan ketinggian 150 cm. Penghitungan nilai LAI menggunakan software Hemiview 2.1
2.3.7 Pemilihan Peubah Tegakan
Pada penelitian ini, analisis diskriminan digunakan sebagai alat analisis untuk mengetahui peubah tegakan yang menjadi faktor pembeda kelas pada hutan
hujan tropis. Peubah-peubah tegakan yang menjadi variabel independen dianalisis untuk mengetahui pengaruhnya terhadap nilai backscatter.
Analisis diskriminan merupakan metode statistik untuk mengelompokkan atau mengklasifikasi sejumlah obyek ke dalam beberapa kelompok, berdasarkan
beberapa peubah. Pada prinsipnya analisis diskriminan bertujuan untuk mengelompokkan setiap obyek ke dalam dua atau lebih kelompok berdasar pada
24
kriteria sejumlah peubah bebas. Pengelompokkan ini bersifat mutually exclusive, dalam artian jika obyek A sudah masuk kelompok 1, maka ia tidak mungkin juga
dapat menjadi anggota kelompok 2. Analisis kemudian dapat dikembangkan pada peubah mana saja yang membuat kelompok 1 berbeda dengan kelompok 2, berapa
persen yang masuk ke kelompok 1, berapa persen yang masuk ke kelompok 2. Ciri analisis diskriminan adalah jenis data dari peubah dependent bertipe nominal
kategori, seperti kode 0 dan 1, atau kode 1, 2 dan 3 serta kombinasi lainnya Santoso et al. 2001.
Model analisis diskriminan yang digunakan bentuknya sebagai berikut: D = b
+ b
1
X
1
+ b
2
X
2
+ b
3
X
3
+ ….. + b
n
X
n
dimana X
1
~ X
n
prediktor atau peubah tegakan secara berturut-turut terdiri dari kerapatan pancang, kerapatan tiang, kerapatan pohon, diameter batang pancang,
diameter batang tiang, diameter batang pohon, tinggi pancang, tinggi tiang, tinggi pohon, LBDS pancang, LBDS tiang, LBDS pohon, biomasa pancang, biomasa
tiang, biomasa pohon, tebal tajuk pancang, tebal tajuk tiang, tebal tajuk pohon, diameter tajuk pancang, diameter tajuk tiang, diameter tajuk pohon, persentasi
tutupan tajuk, dan Leaf Area Index LAI. Metode analisis fungsi diskriminan pada penelitian ini adalah metode
stepwise, yaitu dengan memasukkan semua peubah tegakan dalam analisis untuk menentukan peubah tegakan mana saja yang dapat membedakan kelas pada hutan
hujan tropis. Setelah semua peubah tegakan dimasukkan dalam fungsi diskriminan, kemudian dilakukan evaluasi kontribusi dari masing-masing peubah
tegakan dimana peubah tegakan yang tidak memberikan kontribusi dihilangkan, dan peubah tegakan yang memberikan kontribusi paling besar dalam membedakan
kelas merupakan peubah tegakan yang mempengaruhi backscatter. Peubah tegakan yang memberikan kontribusi besar adalah peubah-peubah tegakan yang
memiliki nilai F hitung yang lebih lebih besar. Untuk evaluasi keakuratan fungsi diskriminan dilakukan penghitungan hit
ratio. Hit ratio merupakan persentase jumlah contoh yang kelasnya dapat diprediksi secara tepat keanggotaanya dengan menggunakan fungsi diskriminan.
25
III HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Eksplorasi Data Lapangan
Data lapangan yang dikumpulkan merupakan peubah-peubah tegakan yang terdiri dari peubah kerapatan pancang, kerapatan tiang, kerapatan pohon, diameter
batang pancang, diameter batang tiang, diameter batang pohon, tinggi total pancang, tinggi total tiang, tinggi total pohon, luas bidang dasar pancang, luas
bidang dasar tiang, luas bidang dasar pohon, biomasa pancang, biomasa tiang, biomasa pohon, tebal tajuk pancang, tebal tajuk tiang, tebal tajuk pohon, diameter
tajuk pancang, diameter tajuk tiang, diameter tajuk pohon, persentasi tutupan tajuk dan Leaf Area Index LAI. Peubah tegakan diukur pada tingkat pancang, tingkat
tiang dan tingkat pohon. Rekapitulasi data untuk setiap tingkat pertumbuhan disajikan pada Lampiran 1.
3.1.1 Kerapatan Tegakan
Peubah kerapatan tegakan yang digunakan adalah kerapatan pancang, kerapatan tiang dan kerapatan pohon. Berdasarkan rumus kerapatan, maka
diperoleh hasil kerapatan rata-rata, kerapatan minimal dan kerapatan maksimal pada tingkat pancang, tiang dan pohon seperti yang disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Kerapatan tegakan menurut tingkat pertumbuhan
Tingkat Kerapatan nha
pertumbuhan minimal
maksimal rataan
Pancang 400
6800 1470
Tiang 100
1300 512
Pohon 20
368 214
3.1.2 Diameter Batang
Hasil pengukuran lapangan, diperoleh nilai minimal, nilai maksimal dan nilai rataan diameter batang untuk tingkat pancang, tingkat tiang dan tingkat
pohon. Pada Tabel 4 ditunjukkan bahwa tingkat pancang memiliki diameter batang paling rendah 5 cm dan paling tinggi 9 cm dengan rata-rata diameter
batang 6,8 cm. Tingkat tiang memiliki diameter batang paling rendah 11 cm dan paling tinggi 18 cm dengan rata-rata diameter batang 14,3 cm, sedangkan tingkat
pohon memiliki diameter batang paling rendah 25 cm dan paling tinggi 42 cm dengan rata-rata diameter batang 31,3 cm.
26
Tabel 4 Diameter batang menurut tingkat pertumbuhan
Tingkat Diameter batang cm
pertumbuhan minimal
maksimal rataan
ragam Pancang
5 9
6.8 1
Tiang 11
18 14.3
4 Pohon
25 42
31.3 14
3.1.3 Tinggi Total
Tinggi total tumbuhan diukur dari permukaan tanah sampai puncak tajuk. Dari data yang diperoleh di lapangan, data tinggi total minimal, tinggi total
maksimal dan tinggi total rata-rata dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Tinggi total menurut tingkat pertumbuhan
Tingkat Tinggi total m
pertumbuhan minimal
maksimal rataan
Ragam Pancang
3 15
8.2 9
Tiang 6
19 12.6
7 Pohon
11 23
17.3 8
Pada Tabel 5 ditunjukkan bahwa tinggi total tingkat pancang berkisar antara 3 m sampai dengan 15 m. Tingkat tiang memiliki tinggi total antara 6 m sampai
dengan 19 m, sedangkan tingkat pohon, tinggi total paling rendah 11 m dan tinggi total paling tinggi 23 m.
3.1.4 Biomasa
Kandungan biomasa dihitung menggunakan persamaan allometrik yang dikembangkan oleh Basuki et al. 2009. Nilai minimal, nilai maksimal dan nilai
rataan kandungan biomasa pada tingkat pancang, tingkat tiang dan tingkat pohon disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Biomasa menurut tingkat pertumbuhan
Tingkat Biomasa tonha
pertumbuhan minimal
maksimal rataan
ragam Pancang
4.3 163.8
31.3 1087
Tiang 5.8
119.4 53.7
894 Pohon
24.5 454.1
157.0 8152
27
3.1.5 Luas Bidang Dasar
Luas bidang dasar dihitung dengan rumus luas bidang dasar dengan satuan m
2
ha. Adapun luas bidang dasar paling besar pada tingkat pohon adalah 43,51 m
2
ha dan luas bidang dasar paling kecil untuk tingkat pohon adalah 3,00 m
2
ha. Tingkat tiang memiliki luas bidang dasar paling besar yaitu 20,29 m
2
ha dan luas bidang dasar tingkat tiang paling kecil yaitu 0,22 m
2
ha. Sedangkan luas bidang dasar untuk tingkat pancang paling besar yaitu sebesar 28,55 m
2
ha dan luas bidang dasar tingkat pancang paling kecil yaitu sebesar 0,82 m
2
ha. Luas bidang dasar menurut tingkat pertumbuhan tanaman disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Luas bidang dasar menurut tingkat pertumbuhan
Tingkat Luas bidang dasar m
2
ha pertumbuhan
minimal maksimal
rataan ragam
Pancang 0.82
28.55 5.54
34 Tiang
0.22 20.29
8.44 25
Pohon 3.00
43.51 19.54
88
3.1.6 Tebal Tajuk
Hasil pengukuran tebal tajuk di lapangan, tebal tajuk pohon paling tinggi sebesar 5,3 meter dan yang paling rendah sebesar 2,5 meter. Tingkat tiang
memiliki tebal tajuk paling tinggi 4,8 meter dan paling rendah 1,0 meter, sedangkan tingkat pancang tebal tajuk paling tinggi 2 meter dan paling
rendah 0,3 meter. Tebal tajuk menurut tingkat pertumbuhan tanaman disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Tebal tajuk menurut tingkat pertumbuhan
Tingkat Tebal tajuk m
pertumbuhan minimal
maksimal rataan
ragam Pancang
0.3 2.0
1.1 1
Tiang 1.0
4.8 2.3
24 Pohon
2.5 5.3
3.8 33
3.1.7 Diameter Tajuk
Diameter tajuk merupakan rata-rata hasil pengukuran arah Utara Selatan dan Timur Barat. Hasil pengukuran lapangan diperoleh diameter tajuk pohon paling
besar adalah 9,4 meter dan diameter tajuk pohon paling kecil sebesar 4,7 meter.
28
Tingkat tiang memiliki diameter tajuk paling besar 7,5 meter dan diameter paling kecil 1,6 meter. Sedangkan tingkat pancang, 5,3 meter merupakan diameter
tajuk paling besar dan 0,5 meter diameter tajuk paling kecil. Ukuran minimal, maksimal dan rataan diameter tajuk dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Diameter tajuk menurut tingkat pertumbuhan
Tingkat Diameter tajuk m
pertumbuhan minimal
maksimal rataan
ragam Pancang
0.5 5.3
1.9 11408
Tiang 1.6
7.5 3.8
5812 Pohon
4.7 9.4
6.6 1713
3.1.8 Persentasi Tutupan Tajuk
Persentasi tutupan tajuk dihitung menggunakan software ArcView 3.3 extension IHMB yang dikembangkan oleh Jaya tahun 2008. Dari hasil
perhitungan, persentasi tutupan tajuk paling kecil yaitu 4 dan persentasi tutupan tajuk paling besar 96 dengan rata-rata persentasi tutupan tajuk 50.
3.1.9 Leaf Area Index
Nilai leaf area index diketahui dengan menggunakan software HemiView versi 2.1. Leaf area index paling besar yaitu 1,94 dan leaf area index paling kecil
yaitu 0,27 serta rata-rata leaf area index yaitu 1,16.
3.2 Pra Pengolahan Citra ALOS PALSAR
Citra ALOS PALSAR Provinsi Sumater Utara liputan Juni tahun 2009 dipotong sesuai dengan lokasi penelitian yang dibutuhkan, hal ini dilakukan untuk
membatasi citra sehingga analisis dapat lebih fokus dan pemrosesan citra berlangsung lebih cepat. Citra dipotong pada koordinat 98
o
43’00” BT sampai dengan 98
o
64’00” BT dan 2
o
54’00” LU sampai dengan 2
o
86’00” LU. Citra ALOS PALSAR yang digunakan dalam penelitian ini hanya terdiri
dari dua polarisasi yaitu HH dan HV yang dapat diperlakukan sebagai band. Untuk menampilkan warna citra komposit diperlukan tiga band pada Red, Green
Blue, sehingga diperlukan penambahan satu band sintetis. Dalam penelitian ini akan menggunakan band sintetis yang berasal dari turunan HH dan HV, yaitu HH
dibagi HV ratio.
29
Citra komposit ALOS PALSAR resolusi 6,25 meter memiliki gangguan noise sehingga dilakukan reduksi noise menggunakan metode Filter Frost
dengan moving window 7 x 7.
3.3 Pengolahan Citra ALOS PALSAR 3.3.1 Konversi