Rumusan Masalah Keaslian Penulisan

13 maka penelitian ini berjudul : “Kewenangan Pengujian Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kedudukan MPR setelah perubahan UUD 1945 dan implikasinya terhadap produk hukum MPR? 2. Bagaimana kedudukan TAP MPR dalam sejarah perkembangan Hirarki Peraturan Perundang-Undangan? 3. Bagaimana apabila TAP MPR bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan lembaga negara manakah yang berwenang untuk menguji TAP MPR tersebut? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Menganalisa pengaturan mengenai kedudukan MPR dalam NRI serta dampak kedudukannya yang diatur dalam UUD terhadap tugas dan wewenanganya. b. Menganalisis kedudukan TAP MPR dalam hirarki peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku dalam sejarah peraturan perundang-undangan. c. Menganalisa kewenangan pengujian TAP MPR 2. Manfaat 14 Diharapkan penelitian yang dilakukan ini akan memberikan manfaat antara lain: a. Secara Teoritis Skripsi ini diharapkan bermanfaat sebagai tambahan khazanah dokumentasi dalam segi hukum terhadap persoalan kewenangan pengujian TAP MPR sebagai ikhtiar pengembangan ilmu pengetahuan Hukum Tara Negara. b. Secara Praktis Penelitian ini secara umum ditujukan kepada segenap elemen Bangsa Indonesia mulai dari akademisi, praktisi hukum, aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan semua pihak yang ingin mengetahui mengenai “Kewenangan Pengujian Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat”.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skirpsi ini merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul “Kewenangan Pengujian Ketetapan Majelis Persmusyawaratan Rakyat,” belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan skripsi ini asli serta bukan plagiat ataupun diambil dari skripsi orang lain. Semua ini merupakan implikasi etis dari sebuah proses penemuan kebenaran ilmiah sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenaranya secara ilmiah pula. Apabila ada skripsi yang sama maka akan dipertanggungjawabkan sepenuhnya. E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengujian Peraturan Perundang-Undangan. 15 Di dalam kepustakaan dan praktek dikenal dua macam hak menguji, yaitu: a. Hak menguji formal Menurut Sri Soemantri hak menguji formal adalah “wewenang untuk menilai apakah suatu produk hukum legislatif seperti UU misalnya terjelma melalui cara-cara seperti yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak.” 27 b. Hak menguji materil Dari uraian diatas, terlihat jelas bahwa yang dinilai adalah tata cara pembentukan suatu UU sudah sesuai atau tidak dengan apa yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Menurut Sri Soemantri hak menguji materil adalah “suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang- undangan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.” 28 Dalam kaitannya dengan hirarki norma hukum, Hans Kelsen mengemukakan teorinya mengenai jenjang norma hukum Stufentheorie. Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam hirarki tata susunan. suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar Grundnorm 29 27 Sri Soematri, Hak Uji Material Di Indonesia, Alumni, Bandung, 1997, hlm. 6. 28 Ibid., hlm. 11. 29 Maria Farida Indrati Soeprapto, Loc. Cit. 16 Menurut Adolf Merkl sebagaimana dikutip oleh Maria Farida, suatu norma hukum itu ke atas apabila ia bersumber dan berdasar pada norma di atasnya. Tetapi ke bawah ia juga menjadi dasar dan menjadi sumber bagi norma hukum di bawahnya sehingga suatu norma hukum itu mempunyai masa berlaku rechtskacht yang relatif oleh karena masa berlakunya suatu norma hukum itu tergantung pada norma hukum yang berada di atasnya sehingga apabila norma hukum yang berada di atasnya dicabut atau dihapus, maka norma-norma hukum yang berada di bawahnya akan tercabut atau terhapus pula. 30 Korelasi dari adanya sebuah norma berjenjang ialah adanya sebuah pengujian norma yang lebih rendah terhadap norma di atasnya. Menurut Jimly Asshiddiqie, peraturan perundang- undangan merupakan bagian dari hukum negara. Hukum negara merupakan hukum yang ditetapkan dengan keputusan negara sebagai hasil tindakan pengaturan, penetapan, dan pengadilan. Pengaturan tersebut akan mengahasilkan Ketetapan atau Keputusan beschiking dan penghakiman atau pengadilan akan menghasilkan Putusan Vonnis. 31 Di Indonesia, sumber utama asas dari suatu peraturan perundang-undangan adalah Pancasila, 32 sedangkan UUD NRI Tahun 1945 Merupakan “hukum dasar tertulis”. 33 Hingga penelitian ini dilakukan, terdapat beberapa ketentuan yang mengatur jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu: 30 Ibid. 31 Jimly Asshiddiqie, Prihal UU, Rajawali Press, Jakarta, 2010, hlm 8. 32 Pasal 2 UU No. 12 Tahun 2011 Lembaran Negara Tahun 2011 No. 82, Tambahan Lembaran Negara 5234, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menyatakan: “Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara” 33 Pasal 3 UU No. 12 Tahun 2011 Lembaran Negara Tahun 2011 No. 82, Tambahan Lembaran Negara No. 5234, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menyatakan: “UUD Negara RI Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam perundang-undangan”. 17 1. Hirarki Peraturan Perundang-Undangan menurut TAP MPRS No. XXMPRS1966 tentang Memorandum DPRGR mengenai sumber tertib Hukum dan tata Urutan Peraturan Perundang-undangan RI adalah: a. UUD 1945; b. Ketetapan MPRS; c. UU Perppu; d. Peraturan Daerah; e. Keputusan Presiden; f. Peraturan Pelaksanaan lainnya, seperti: 1 Peraturan Menteri; 2 Instruksi Menteri dan lain-lainnya. 2. Hirarki Peraturan Perundang-Undangan menurut TAP MPR No. IIIMPR2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan adalah: a. UUD 1945; b. TAP MPRS; c. UU; d. Perppu; e. Peraturan Pemerintah; f. Keputusan Presiden; g. Peraturan Daerah; 3. Hirarki Peraturan Perundang-Undangan menurut UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah: 18 a. UUD NRI Tahun 1945; b. UUPerppu; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah. 4. Hirarki Peraturan Perundang-Undangan menurut UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan: a. UUD NRI Tahun 1945; b. TAP MPR c. UU Perppu; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerh Provinsi; g. Peraturan Daerah Kabupaten. Kehadiran sistem pengujian konstitusional ini ataupun mekanisme ‘judicial review’ yang terus berkembang dalam praktik diberbagai dunia akademis maupun praktisi, bahkan tidak kurang dari lingkungan cabang kekuasaan kehakiman sendiri judicary. Seperti yang dikemukakan oleh Lee Bridges, Geogrs Mezaros, dan Maurice Sunkin sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie : “Judicial review has been increasingly celebrate, Not least by the judiciary it self, as mean by which the citizen can obtain regress againt 19 oppressive goverment, and as akey vechicle for enabling the judiciary to prevent and check the abuse of executive power.” 34 Ada dua peristilahan penting yang harus dipahami terlebih dahulu ketika membahasan pengujian, yaitu “constitusional review” atau pengujian konstitusional, yang harus dibedakan dari istilah “judicial review”. Perbedaan itu sekurang-kurangnya karena dua alasan. Pertama, ‘constitutional review’ selain dilakukan oleh hakim dapat juga dilakukan oleh lembaga selain hakim atau pengadilan, tergantung kepada lembaga mana UUD memberikan kewenangan untuk melakukannya. Kedua, dalam konsep ‘judicial review’ terkait pula pengertian yang lebih luas objeknya, misalnya mencakup soal legalitas peraturan di bawah UU, sedangkan ‘constitusional review’ hanya menyangkut pengujian konstitusionalitasnya, yaitu terhadap UUD. 35 Pendefenisi konsep ‘constitusional review’ itu sendiri sebenarnya dapat dilihat sebagai buah perkembangan gagasan modern tentang sistem pemerintahan demokrasi yang didasarkan atas ide-ide negara hukum rule of law, prinsip pemisahan kekuasaan separation of powers, serta perlindungan dengan pemajuan hak asasi manusia the protection of fundamental rights. 36 34 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm 2. 35 Jimly Asshiddiqie, Model-Model . . . Op.Cit., hlm 9. 36 Himawan Estu, Negara Hukum TAP MPR, LaksBang Grafika, Yogyakarta, 2014, hlm 55. Dalam sistem ‘constitutional review’ itu tercakup dua tugas pokok. Pertama, untuk menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan perimbangan peran atau ‘interplay’ antara cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan lembaga peradilan judiciary. Dengan kata lain, ‘constitustional review’ dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh satu 20 cabang kekuasaan sedemikian rupa terhadap cabang kekuasaan lainnya; Kedua, untuk melindungi setiap individu warga negara dari penyalagunaan kekuasaan oleh lembaga negara yang merugikan hak-hak fundamental mereka yang dijamin dalam konstitusi. 37 Ide pengujian konstitutional contitutional review ini telah demikian luas diterima dan dipraktikkan di dunia sebagai hasil perkembangan ketatanegaraan dimasing-masing negara. Oleh karena itu, perkembangannya di setiap negara berbeda-beda satu sama lain. Yang jelas adalah bahwa tradisi penegakan konstitusi sebagai tolak ukur penyelenggaraan kegiatan bernegara di dunia terus berkembang luas, dan semakin diakui pula bahwa ide pengujian konstitusional itu memang diperlukan dalam rangka melindungi dan mengawal pelaksanaan hukum dan konstitusi dalam praktik sehari-hari. Dalam perjalanan sejarahnya, sistem pengujian konstitusional constitutional review ini telah tumbuh sedemikian rupa melalui tahap-tahap perkembangan. 38 Di Indonesia sendiri ada dua lembaga negara yang berwenang melakukan pengujian peraturan perundang-undangan, yakni MA dan MK. Kewenangan lembaga negara ini diatur dalam Pasal 24 A dan Pasal 24 C UUD NRI Tahun 1945. Pasal 24 A ayat 1 UUD NRI Tahun 1945 berbunyi: “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dan memiliki wewenang lain yang 37 Jimly Asshiddiqie, Model-Model . . . Op.Cit., hlm. 8. 38 Himawan Estu, Op.Cit., hlm.53. 21 diberikan oleh undang-undang.” 39 Setelah perubahan UUD 1945, lahir UU No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman yang menggantikan UU No. 14 Tahun 1970 dan UU No. 35 Tahun 1999. Dalam ketentuan Pasal 10 UU No. 4 Tahun 2004 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh MA dan badan- badan peradilan di bawahnya dan oleh sebuah MK. Badan peradilan di bawah MA meliputi, badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. 40 Mahkamah Agung merupakan puncak perjuangan keadilan bagi setiap warga negara. Hakikat fungsinya berbeda dengan MK yang tidak berhubungan dengan tuntutan keadilan bagi warga negara, melainkan dengan sistem hukum yang berdasarkan konstitusi. 41 Hakikat fungsinya sedangkan MK menurut Pasal 24 C UUD NRI Tahun 1945 berwenang: “Mahkamah Konstitusi berwenang pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.” 42 39 Pasal 24A 1 UUD NRI Tahun 1945. 40 Suladri, Menuju Sistem Pemerintahan Presidensiil Murni, Setara Press, Malang, 2012, hlm 148. 41 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Sinar Grafika Cetakan Ketiga, Jakarta, 2014, 197. 42 Pasal 24C ayat 1 UUD NRI Tahun 1945. Sehubungan dengan kewenangan MK menguji UU terhadap UUD, maka yang harus dipahami bahwa rancangan UU yang telah disetujui oleh DPR dan Presiden bukanlah bersifat final, sebab UU yang telah disepakati masih dapat 22 dimohonkan agar diuji di MK. 43 Menurut A. Fickar Hadjar sebagaimana dikutip oleh Sulardi 44 Dalam permohonan pengujian UU terhadap UUD di MK, harus memiliki kedudukan hukum legal standing sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat 1 UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK. Menurut Harjono sebagaimana dikutip oleh MK RI, bahwa kedudukan hukum ialah keadaan dimana , ada empat hal yang melatar belakangi dan menjadi pijakan dalam pembentukan MK, yaitu: “1. Sebagai Implikasi dari paham konstitusionalisme, 2. Mekanisme checks and balances, 3. Penyelenggaraan yang bersih, dan 4. Perlindungan terhadap hak asasi manusia.” Mengenai tata cara permohonan pengujian UU terhadap UUD diatur dalam Pasal 51 UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK, yang berbunyi: “ 1 Pemohon adalah pihak yang menganggap hak danatau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang- undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara. 2 Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang hak danatau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat 1. 3 Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat 2, pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa: a. pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; danatau b. materi muatan dalam ayat, pasal, danatau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 43 Taufiqurrohman Syahuri, Tafsiran Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, Kencana, Jakarta, hlm 111. 44 Sulardi, Op. Cit., hlm 150. 23 seseorang atau suatu pihak ditentukan memenuhi syarat dan oleh karena itu mempunyai hak untuk mengajukan permohonan penyelesaian perselisihan atau sengketa atau perkara di depan MK. 45 a. Perorangan warga negara Indonesia; Kedudukan hukum mencakup syarat formal sebagaimana ditentukan dalam UU, dan syarat Materiil yaitu kerugian hak danatau kewenangan konstitusional dengan berlakunya UU yang dimohonkan pengujiannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat 1 UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK, sebagai berikut: “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak danatau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam UU; c. Badan hukum publik atau privat; d. Lembaga negara.” Pengaturan dalam Pasal 51 ayat 1 UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK diatur lebih lanjut dengan ketentuan yang sama dalam Pasal 3 PMK No. 06PMK2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian UU. Jimly Asshiddiqie sebagaimana dikutip oleh MK RI, mengemukakan tiga syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya kedudukan hukum pemohon dalam perkara pengujian UU terhadap UUD di MK, yaitu: “Keempat pihak atau subjek hukum tersebut di atas perorangan WNI, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik dan private, dan lembaga negara-pen, Pertama, haruslah terlebih dahulu membuktikan identitas dirinya memang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud oleh Pasal 51 UU No. 24 Tahun 2003 tersebut. Kedua, pihak yang bersangkutan haruslah membuktikan bahwa dirinya memang mempunyai hak-hak tertentu yang dijamin atau kewenangan- kewenangan tertentu yang dicantumkan dalam UUD 1945. Ketiga, hak- 45 MK RI, Hukum Acara MK, Sekretariat Jenderal dan kepaniteraan MK, Jakarta, 2010, hlm 98-99. 24 hak atau kewenangan konstitusional dimaksudkan memang terbukti telah dirugikan oleh berlakunya UU yang bersangkutan.” 46 Yang dimaksud dengan Perorangan warga Negara Indonesia dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK, dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 51 ayat 1 huruf a bahwa: yang dimaksud dengan “perorangan “ termasuk dalam kelompok orang yang memilik kepentingan yang sama.” 47 “Masyarakat adalah kumpulan individu yang hidup dalam lingkungan pergaulan bersama sebagai suatu Community atau society, kesatuan masyaratakat menunjuk kepada pengertian masyarakat organik, yang tersusun dalam kerangka kehidupan berorganisasi dengan saling mengikatkan diri untuk kepentingan mencapai tujuan bersama. Dengan perkataan lain masyrakat hukum adat sebagai unit organisasi masyarakat hukum adat dan itu haruslah dibedakan dari masyarakat hukum adatnya sendiri sebagai isi dari kesatuan organisasinya itu,” Terkait dengan kesatuan hukum adat terdapat Perbedaan antara masyarakat adat dengan kesatuan masyarakat hukum adat. Menurut Jimly sebagaimana dikutip oleh MK RI, bahwa: 48 Selanjutnya yang dimaksud dengan badan hukum publik atau privat menurut Wirjono Prodjodikoro dalam buku yang berjudul Hukum Acara MK yang diterbitkan oleh MK RI mengemukakan pengertian badan hukum, yaitu: “badan yang di samping manusia perseorangan juga dianggap dapat bertindak dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban dan perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain.” 49 46 Ibid. 47 Pasal 51 ayat 1 UU No. 24 Tahun 2003. Lembaran Negara Tahun 2003 No. 98, Tambahan Lembaran Negara No. 4316, tentang Mahkamah Konstitusi 48 MK RI, Op. Cit., hlm 103. 49 Ibid., hlm. 107. Selanjutnya sehubungan dengan kedudukan hukum lembaga negara, Jimly asshiddiqie dan Muruarar Siahaan dalam buku Hukum Acara MK yang diterbitkan oleh MK RI. juga mengemukakan bahwa lembaga negara yang memiliki kedudukan hukum 25 adalah lembaga negara sebagai auxiliary institution yang dalam praktiknya banyak dibentuk oleh UU. 50 “a. Adanya hak danatau kewenangan Konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945; b.hak danatau kewenangan konstitusional tersebut oleh pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; c. Kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik khusus dan aktual atau setidak-tidaknya Pontensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. Adanya hubungan sebab-akibat causal verband antara kerugian yang dimaksud dan berlakunya undang- undang yang dimohonkan pengujian; e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak terjadi lagi.” Sejak Putusan No. 006PUU-III2005 yang disempurnakan dengan Putusan No. 11PUU-V2007, hingga saat ini MK berpendapat bahwa untuk dapat dikatakan ada kerugian hak danatau kewenangan konstitusional harus dipenuhi syarat-syarat: 51 2. MPR UUD 1945 dikenal sebagai konstitusi yang tidak menganut paham pemisahan kekuasaan dalam arti formil formal separation of power, melainkan hanya menganut prinsip pembagian kekuasaan distribution of power. 52 50 Ibid., hlm. 111. 51 Maruarar Siahaan, Hukum Acara . . . Op. Cit., hlm 139 52 Jimly Asshiddiqie, Reformasi Hukum dan Konstitusi Mewujudkan Cita Negara Hukum, Pidato Ilmiah Milad ke-44 Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, hlm. 6. Dalam hubungan ini, UUD 1945 menganut sistem supremasi parlemen, yaitu sistem kedaulatan rakyat yang terjelma dalam lembaga tertinggi negara yang bernama MPR. Dalam rangka pemikiran demikian, kedaulatan rakyat yang terjelma di lembaga tertinggi MPR dibagi-bagikan ke lembaga negara di bawahnya. Dalam proses pembagian itu, terutama antara fungsi eksekutif dan legislatif, tidak 26 terpisah secara tegas dan karena itu tidak terdapat hubungan ‘checks and balances’ antara satu sama lain. Setelah adanya perubahan UUD 1945 dengan ditetapkannya Pasal 5 ayat 1 dan pasal 20 ayat 1 melalui perubahan kedua UUD 1945 resmi menganut pemisahan kekuasaan separation of power dengan mengembangkan mekanisme hubungan ‘checks and balances’ yang lebih fungsional. 53 Dengan perubahan ini, ditambah lagi dengan diadopsinya ketentuan mengenai pemilihan Presiden secara langsung oleh rakyat sehingga presiden tidak dipilih oleh MPR dan tidak lagi bertanggungjawab kepada MPR, maka kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara mengalami perubahan mendasar. MPR kehilangan sebagian fungsi dan kewenangannya. Kedudukan MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi, namun merupakan lembaga tinggi negara yang sederajat dengan lembaga-lembaga negara lainnya seperti: Presiden, Badan Pemeriksa Keuangan BPK, MA, MK, dan Komisi Yudisial KY, sebagaimana terdapat dalam UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. Pasal 10 UU No. 22 Tahun 2003 tersebut menyatakan bahwa MPR merupakan lembaga negara. Demikian pula dalam TAP MPR No. IMPR2003 tentang perubahan kelima atas TAP MPR No. IIMPR1999 tentang Peraturan Tata Tertib MPR. Pasal 2 TAP MPR No. IIMPR1999 yang semula berbunyi: “Majelis adalah penjelmaan seluruh rakyat Indonesia dan merupakan lembaga tertinggi negara, pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat,” 54 53 Ibid. 54 Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 . diubah menjadi selengkapnya berbunyi: “Majelis adalah lembaga negara, 27 pemegang, dan pelaksana kedaulatan rakyat menurut ketentuan UUD NRI Tahun 1945.” 55 Bagir Manan mengemukakan, Susunan keanggotaan MPR juga berubah secara struktural karena dihapuskannya keberadaan utusan golongan yang mencerminkan prinsip perwakilan fungsional dari unsur keanggotaan MPR. Dengan demikian, anggota MPR hanya terdiri atas anggota DPR yang mencerminkan prinsip perwakilan politik dan anggota Dewan Perwakilan Daerah DPD yang mencerminkan prinsip perwakilan daerah. 56 3. TAP MPR perubahan kedudukan keanggotaan MPR selain untuk menutup peluang penyalagunaan sebagai jalan penyimpangan praktik dari kehendak UUD, juga dimaksudkan sebagai jalan mewujudkan gagasan meniadakan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. MPR bukan satu-satunya lembaga negara yang menjalankan kedaulatan rakyat. Setiap lembaga yang mengemban tugas-tugas politik negara dan pemerintahan tidak termasuk kekuasaan kehakiman adalah pelaksana kedaulatan rakyat dan harus tunduk dan bertanggung jawab kepada rakyat. Penting untuk diketahui mengenai terminologi Peraturan, Keputusan dan Ketetapan. Istilah peraturan berasal dari asal kata atur, mengatur, peraturan yang menyangkut kegiatan yang berfungsi sebagai pengatur. Artinya istilah peraturan lebih tepat untuk dikaitkan dengan pengertian regels dan regeling dalam bahasa Belanda. 55 Pasal 1 ayat 2 UUD NRI Tahun 1945.. 56 Bagir Manan, DPR, DPR dan MPR dalam UUD 1945 Baru, Cetakan Pertama. FH-UII Press, Yogyakarta, 2003, hlm 74-76. 28 Istilah keputusan berasal dari kata putus, pemutus, memutuskan menyangkut kegiatan penyelesaian suatu masalah problem solving. Sedangkan istilah ketetapan, dikaitkan dengan produk-produk keputusan yang berkaitan dengan kegiatan administrasi yaitu keputusan administrasi yang sifatnya menetapkan sesuatu menjadi tidak ada, ataupun dari keadaan tidak ada menjadi ada, atau keadaan sementara menjadi tetap. Jadi sangatlah tepat apabila perbuatan tersebut disebut dengan penetapan dan hasilnya adalah ketetapan. 57 UUD tidak secara tegas menentukan adanya TAP MPR sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan. Bentuk TAP MPR dan sifatnya sebagai peraturan perundang-undangan tumbuh sebagai praktik ketatanegaraan. 58 Dalam ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UUD 1945, ditemukan istilah menetapkan atau ditetapkan. Hasil dari menetapkan atau ditetapkan adalah ketetapan. Konstitusi tidak keliru, tetapi tidak selalu menetapkan menghasilkan ketetapan. Istilah ketetapan dapat diartikan menjadi dua, yakni pengertian yang umum dan khusus. Dalam pengertian yang umum, tindakan menetapkan dapat berwujud UU menetapkan UU, dan lain sebagainya. Sedangkan dalam pengertian khusus, keluaran dari tindakan menetapkan adalah ketetapan, dan kalangan Ilmu Hukum Admistrasi Negara, istilah ketetapan biasanya dipakai sebagai nama perbuatan administrasi negara yang bersifat individual, konkrit, atau yang lazim disebut beschiking. 59 57 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press Cetakan Pertama, Jakarta 2010, hlm. 265. 58 Bagir Manan, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1997, hlm 107. 59 Ibid., hlm 107-108 Sejak tahun 1960 MPRS telah menerbitkan berbagai produk hukum yang berupa: TAP MPRS, Keputusan MPRS, Resolusi, Keputusan Pimpinan 29 MPRS. UUD tidak menyebutkan secara tegas mengenai bentuk TAP MPR. Bentuk ini mulai dikenal sejak sidang-sidang MPRS Tahun 1960. Pilihan bentuk putusan TAP MPR, sebagaimana dikemukakan oleh Bagir Manan, bahwa kehadiran TAP MPR dapat didasarkan pada dua hal, yaitu: 60 Pertama, Ketentuan-ketentuan yang tersirat dalam UUD 1945. Adanya ketentuan- ketentuan yang tersirat yang sekaligus mengadung kekuasaan tersirat implied power diakui oleh setiap UUD. MPR menurut UUD 1945 mempunyai berbagai wewenang untuk melakukan tindakan atau membuat keputusan hukum seperti menetapkan Garis-garis besar dari pada haluan negara, memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden, serta merubah UUD 1945. Keputusan-keputusan hukum ini harus diberi bentuk hukum tertentu. Keputusan hukum MPR antara lain diberi nama Ketetapan. Hal ini didasarkan pada Pasal 3 UUD 1945 yang menyebutkan: “MPR menentapkan UUD dan Garis-garis besar dari pada haluan negara”. Karena Menetapkan maka bentuknya diberi nama TAP MPR. TAP MPR adalah praktik ketatanegaraan atau kebiasaan ketatanegaraan. Praktik atau kebiasaan ketatanegaraan merupakan salah satu sumber hukum tata negara yang terdapat pada setiap negara. 61 Apabila ditinjau dari segi sifat isinya, TAP MPRS dapat digolongkan menjadi: 62 “1 ketetapan yang bersifat mengatur, ketetapan semacam ini tepat kalau digolongkan sebagai salah satu bentukjenis peraturan perundang- undangan seperti dimaksudkan TAP MPRS No. XXMPRS1996; misalnya, TAP MPR tentang referendum. 2 ketetapan yang bersifat 60 Bagir Manan, Dasar-Dasar Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, Penerbit Ind- Hill-Co Cetakan Pertama, Jakarta, 1992, hlm 31-33. 61 Riri Nazriyah, Op. Cit., hlm 171 . 62 Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan . . . Op. Cit., hlm 29. 30 “Penetapanbeschiking”. Misalnya ketetapan pengangkatan Presiden dan tentang GBHN. 3 ketetapan yang bersifat deklaratur, misalnya ketetapan tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.” Dalam perkembangan selanjutnya, di samping materi yang dirumuskan dalam TAP MPRS tersebut, terdapat pula materi-materi yang lebih bervariasi sebagai berikut: 63 Dalam kaitan dengan hal di atas, A. Hamid S Atamimi mengatakan bahwa, munculnya pengelompokan muatan TAP MPRS tanpa identifikasi kedudukan MPR lebih dahulu akan menimbulkan kerancuan dan salah paham. MPR harus digolongkan sebagai badan pembentukan hukum dasar tertulis konstituante, lembaga yang menetapkan Garis-garis besar dari pada haluan negara, serta lembaga negara yang memilih dan mengangkat PresidenWakil Presiden. Dari pengkategorian ini akan dihasilkan peringkat norma yang berbeda. “a. TAP MPRS yang bersifat deklaratur; b. TAP MPRS yang bersifat rekomendasi; c. TAP MPRS yang bersifat perundang-undangan yang berlaku bersifat umum”. 64 1. Meninjau materi dan status hukum setiap TAP MPRS; Melihat akan pentingnya pengelompok terhadap produk hukum MPR yakni TAP MPR, maka MPR mengeluarkan TAP MPR No. IMPR2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum TAP MPR Tahun 1960 sampai 2002, yang memiliki Tujuan : 63 Jimly Asshiddiqie, Laporan Penelitian “Tinjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS RI Tahun 1960-2002”, Kerja sama dengan Sekretaris Jendral MPR RI Jakarta, Mei 2003, hlm. 8. 64 A. Hamid S Attamimi. Peran Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Fakultas Pasca Sarjana UI, Jakarta, hlm. 137. 31 2. Menentapkan keberadaan eksistensi dari TAP MPRS saat ini dan masa yang akan datang; 3. Memberi kepastian hukum atas TAP MPRS yang telah ditinjau. 65 Dalam TAP MPR No. IMPR2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum TAP MPRS Indonesia Tahun 1960 Sampai dengan Tahun 2002, bahwa ada 139 TAP MPRS yang ditinjau, yang selanjutnya dikelompokkan menjadi enam pasal berdasarkan materi dan status hukumnya, yang terdiri dari: 1. Pasal 1, TAP MPRS yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku 8 TAP 2. Pasal 2, TAP MPRS yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan ketentuan 3 TAP 3. Pasal 3, TAP MPRS yang dinyatakan berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil pemilu 2004 8 TAP 4. Pasal 4, TAP MPRS yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya UU 11 TAP 5. Pasal 5, TAP MPR yang dinyatakan masih berlaku sampai dengan ditetapkannya peraturan tata tertib baru oleh MPR hasil pemilu 2004 5 TAP 6. Pasal 6, TAP MPRS yang dinyatakan tidak berlaku dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final einmalig, telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan 104 TAP. 65 Majelis Permusyawaratan Rakyat, Bahan Tayangan Materi Sosialisasi UUD NRI Tahun 1945 Dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, Sekretaris Jendral MPR RI, 2010, hlm 51. 32 Dari uraian di atas menunjukan masih adanya TAP MPRS yang masih berlaku dan mengikat secara umum. Diantaranya TAP MPR No. IMPR2003, Pasal 2 dua: 66 1. TAP MPRS No. XXVMPRS1966, tentang Pembubaran PKI, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah NRI bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran KomunismeMarxisme-Leninnisme. Dinyatakan tetap berlaku, dengan ketentuan Seluruh ketentuan dalam TAP MPRS No. XXVMPRS1966 ini, ke depan diberlakukan dengan keadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. 2. TAP MPR No. XVIMPR1998, tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan: pemerintah berkewajiban mendorong politik ekonomi yang lebih memberikan kesempatan dukungan dan pengembangan ekonomi, usaha kecil menengah, dan koperasi sebagai pilar ekonomi dalam membangkitkan terlaksannya pembangungan nasional dalam rangka demokrasi ekonomi sesuai dengan hakikat Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945. 3. TAP MPR No. VMPR1999, tentang Penentuan Pendapat di Timor- Timor. Dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan: Ketetapan ini tetap berlaku sampai terlaksananya ketentuan dalam Pasal 5 dan Pasal 6 TAP MPR No. VMPR1999. Karena masih adanya masalah-masalah 66 MPR RI, Bahan Tayangan Materi . . . Op. Cit., hlm 57. 33 kewarganegaraan, pengungsi, pengembalian asset negara, dan hak perdata perseorangan. TAP MPR No. IMPR2003 Pasal 4 empat, dinyatakan berlaku sampai dengan terbentuknya UU, ada sebelas ketetapan, yaitu: 67 1. TAP MPRS No. XXIXMPRS1996 tentang Pengangkatan Pahlawan Ampera. Substansi dari ketetapan ini ialah bahwa setiap korban perjuangan menegakkan dan melaksanakan amanat penderitaan rakyat dalam melanjutkan pelaksanaan revolusi 1945 mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila adalah Pahlawan Ampera. Amanat TAP MPR No. IMPR2003, memerintahan pembentukan UU tentang pemberian gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan. Hasil kajian, saat ini sudah dibentuk UU No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. 2. TAP MPR No. XIMPR1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Substansi dari Tap ini ialah perlu berfungsinya lembaga-lembaga negara dan penyelenggara negara, menghindari praktik KKN serta upaya pemberantasan KKN harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga. Mengamanatkan terlaksannya seluruh ketentuan yang terdapat di dalam TAP MPR No. XIMPR1998. Hasil kajian dari ketetapan ini ialah amanat TAP MPR RI No. XIMPR1998 belum dilaksanakan danatau dituangkan ke dalam UU, maka ketetapan ini tetap berlaku memiliki daya laku dan daya gunaefficacy. 67 MPR RI, Op. Cit., hlm 60-71 34 3. TAP MPR No. XVMPR1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; sarta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan RI. Substansi dari TAP MPR ini ialah, bahwa Penyelanggaraan Otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab di daerah secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah. Amanat dari ketetapan ini ialah pembentukan UU tentang pemerintahan daerah sebagaimana diamanatkan oleh pasal 18, 18A, dan 18B UUD 1945. Hasil kajian, karena amanat dari TAP MPR No. XVMPR1998 belum seluruhnya dituangkan ke dalam UU maka ketetapan ini tetap berlaku memiliki daya lakuvaliditydan daya gunaefficacy. 4. TAP MPR No. IIIMPR2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. Substansi dari ketetapan ini ialah Tata urutan pembentukan peraturan perundang-undangan; Lembaga Negara yang berwenang menguji UU terhadap UUD; Lembaga Negara yang berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU. Amanat dari ketetapan ini ialah dibentuknya UU sesuai dengan substansi TAP MPR No. IIIMPR2000. Hasil kajian dari ketetapan ini ialah telah terbentuknya tiga UU yang mengatur tiga substansi utama dalam TAP MPR No. IIIMPR2000, yaitu: UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU No. 12 Tahun 2011 tentang 35 Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan; UU No. 24 Tahun 2003 tentang TAP MPR yang mengatur kewenangan menguji UU terhadap UUD dilakukan oleh MK; UU No. 5 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang menegaskan bahwa kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU dilakukan oleh MA; maka ketetapan ini dinyatakan tidak berlaku lagi. 5. TAP MPR No. VMPR2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. Substansi ketetapan ini adalah ingin mempertegas perlunya kesadaran dan komitmen yang kuat untuk memantapkan persatuan dan kesatuan nasional dalam mengahadapi berbagai masalah mencapai tujuan nasional. Amanat dari TAP MPR ini ialah perlu diwujudkannya persatuan dan kesatuan nasional antara lain melalui pemerintahan yang mapu mengelolah kehidupan secara baik dan adil, serta mampu mengatasi berbagai permasalahan sesuai dengan arah kebijakan dan kaidah pelaksanaan dalam TAP MPR No. VMPR2000. Hasil kajian, amanat yang terdapat dalam ketetapan ini diperlukan sebagai pedoman dalam penyusunan berbagai kebijakan maupun penyusunan peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan Persatuan dan Kesatuan Nasional serta menjamin keutuhan Negara Kesatuan RI, maka ketetapan ini tetap berlaku memiliki daya lakuvalidity dan daya gunaefficacy. 6. TAP MPR No. VIMPR2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara RI. 36 Substansi dari tap ini mengamanatkan pemisahan kekuasaan lembaga TNI dan Polri, menentukan peran dan fungsi masing-masing, serta terwujudnya kerjasama dan saling membantu. Amanat dari tap ketetapan ini, memerintahkan pembentukan UU yang terkait dengan pemisahan kelembagaan TNI dan Polri. Hasil kajian, pemisahan kekuasaan TNI dan Polri secara kelembagaan telah diatur dengan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, dan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, namun kerjasama dan saling membantu antara TNI dan Polri masih perlu diatur dengan UU, maka ketetapan ini tetap berlaku memiliki daya laku, validity dan daya gunaefficacy. 7. TAP MPR No. VIIMPR2000 tentang Peran TNI dan Polri. Substansi dari ketetapan ini ialah mengamanatkan tentang jati diri, peran, susunan, dan kedudukan, tugas bantuan, dan keikutsertaan TNI dan Polri dalam penyelenggaraan negara. Amanat dari ketetapan ini ialah memerintahkan pembentukan UU yang terkait dengan penyempurnaan pasal 5 ayat 4 dan pasal 10 ayat 2 tentang hak memilih dan dipilh TNI dan Polri yang disesuaikan dengan UUD, dan pembentukan UU tentang penyelenggaraan wajib militer dan yang berkaitan dengan tugas bantuan antara TNI dan Polri. Hasil kajian, belum terbentuknya UU mengenai penyelenggaraan wajib militer, dan tugas bantuan antara TNI dan Polri maka ketetapan ini tetap berlaku memiliki daya lakuvalidity dan daya gunaefficacy. 8. TAP MPR No. VIMPR2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. 37 Substansi ketetapan ini ialah, mengamanatkan untuk meningkatkan kualitas manusia yang beriman, bertaqwa, dan berahklak mulia sarta berkepribadian Indonesia dalam kehidupan berbangsa. Pokok-pokok etika kehidupan berbangsa mengacu pada cita-cita persatuan dan kesatuan, ketahanan, kemandirian, keunggulan dan kejayaan, serta kelestarian lingkungan yang dijiwai oleh nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Amanat ketetapan ini adalah perlu ditegakkannya etika berbangsa yang meliputi, etika sosial dan budaya, etika politik dan pemerintahan, etika ekonomi dan bisnis, etika penegakan hukum yang berkeadilan dan berkesetaraaan, etika keilmuan dan etika lingkungan untuk dijadikan acuan dasar dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan arahan kebijakan dan kaidah pelaksananya, serta menjiwai seluruh pembentukan UU. Hasil kajiannya, ketetapan ini belum sepenuhnya dijadikan pedoman dalam merumuskan berbagai kebijakan maupun penyusunan peraturan perundang-undangan terutama yang berkaitan dengan etika kehidupan berbangsa dan bernegara maka ketetapan ini tetap berlaku memiliki daya laku,validitydan daya guna,efficacy. 9. TAP MPR No. VIIMPR2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan. Substansi dari ketetapan ini ialah visi Indonesia masa depan diperlukan untuk menjaga kesinambungan arah penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia melalui visi ideal, visi antara, dan lima tahun. Amanat ketetapan ini adalah perlu diwujudkan masyarakat Indonesia yang religius, manusiawi, bersatu, demokratis, adil, sejahtera, maju, mandiri serta baik dan bersih dalam penyelenggaraan negara 38 sesuai dengan arah kebijakan dan kaidah pelaksanaan. Hasil kajian, dengan dijadikannya TAP MPR No. IMPR2001 tentang Visi Pribadi Indonesia Masa Depan, sebagai salah satu landasan operasional dari UU tentang rencana pembangunan jangka panjang nasional Tahun 2005-2025, bahkan menjadi sumber inspirasi, motivasi, kreativitas, serta arah kebijakan penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara maka ketetapan ini tetap berlaku memiliki daya laku, validity dan daya gunaefficacy. 10. TAP MPR No. VIIIMPR2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi. Substansi dari ketetapan ini ialah mengamanatkan untuk mempercepat dan lebih menjamin efektifitas pemberatasan KKN sebagaimana diamanatkan dalam TAP MPR No. XIMPR1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN, serta berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait. Amanat dari ketetapan ini adalah memerintahkan pembentukan UU serta peraturan pelaksananya untuk percepatan dan efektifitas pemberantasan dan pencegahan KKN sampai terlaksananya seluruh ketentuan dalam ketetapan ini. Hasil kajian, karena amanat dari ketetpan ini belum dilaksanakan danatau dituangkan ke dalam UU maka ketetapan ini tetap berlaku memiliki daya lakuvaliditydan daya gunaefficacy. 11. TAP MPR No. IXMPR2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Substansi dari ketetapan ini mendorong pembaharuan agraria melalui proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, 39 pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum. Pengelolaan sumber daya alam yang terkandung di daratan, laut dan angkasa dilakukan secara optimal, adil, berkelanjutan, dan ramah lingkungan untuk keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Amanat dari ketetapan ini adalah, memerintahkan pembentukan UU untuk mendorong pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang harus dilaksanakan berdasarkan prinsip- prinsip keutuhan NKRI, HAM supremasi hukum, KESRA, demokrasi, kepatuhan hukum, partisipasi rakyat, keadilan termasuk kesetaraaan gender, pemeliharaan sumber agrariasumber daya alam, memelihara keberlanjutan untuk generasi kini dan generasi yang akan datang, memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan, keterpaduan dan koordinasi antar sektor dan antar daerah, menghormati dan melindungi hak masyarakat hukum adat, desentralisasi, keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintahan, masyarakat dan individu sesuai dengan arah kebijakan sampai terlaksananya seluruh ketentuan dalam ketetapan ini. Hasil kajian dari ketetapan ini diperlukan untuk mendorong percepatan pembentukan dan pengharmonisasian berbagai UU, terutama yang berkaitan dengan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam secara komperhensif. Oleh karena itu ketetapan ini tetap berlaku memiliki daya lakuvalidity dan daya gunaefficacy.

F. Metode Penelitian