ANALISIS FEMINIS LAKON BARONG KEMIREN
IV. ANALISIS FEMINIS LAKON BARONG KEMIREN
A. Representasi Peran dan Relasi Gender dalam Lakon Jaripah
Tabel 1. Representasi Peran Gender dalam Lakon Jaripah
Peran Gender
Laki-laki di sektor publik
1 Laki-laki di sektor
Penderes
Paman Iris
Blendhung dan Bledhus
Perempuan di sektor
1 publik Perempuan di sektor
Pengelana Jaripah
- domestik
Tabel 2. Representasi Relasi Gender dalam Lakon Jaripah
Relasi Gender
Tokoh
Jumlah
Perempuan dominan
1 Laki-laki dominan
Jaripah
Representasi peran dan relasi gender dalam Lakon Jaripah sebagaimana terlihat pada tabel 1 dan 2 menunjukkan bahwa tidak ada dominasi patriarki dalam Lakon Jaripah. Satu-satunya tokoh perempuan dalam lakon ini memiliki peran di sektor publik, yaitu
Peran dan Relasi Gender Masyarakat Using dalam Lakon Barong Kemiren-Banyuwangi (Wiwin Indiarti dan Abdul Munir)
sebagai pengelana yang hidup menyendiri di tengah hutan (peran yang biasanya dominan dilakukan oleh laki-laki). Sementara relasi gender dalam lakon ini terlihat jelas pada keberadaan tokoh Jaripah yang sangat dominan dalam menentukan jalannya cerita. Jaripah adalah perempuan yang mampu membuat ketiga bersaudara Blendhang, Blendhung dan Bledhus dengan bersemangat turut mencari Sinar Udara yang dikabarkan hilang. Hal yang sama terjadi pada Paman Iris. Walaupun memiliki kelebihan dalam ilmu kesaktian dibandingkan dengan ketiga bersaudara, Paman Iris tak mampu menaklukkan Jaripah. Dengan kecantikan, kecerdikan serta kesaktiannya, Jaripah bisa mendapatkan kembali barong kesayangannya dan mampu mengalahkan Paman Iris.
Pada awal perjumpaan Jaripah dengan Blendhang, Blendhung dan Bledhus, ketiga bersaudara tersebut memberikan komentar-komentar khas laki-laki yang cenderung melecehkan perempuan. Namun, Jaripah memanfaatkan cara pandang ketiga tokoh tersebut sebagai sarana yang malah menguntungkannya karena itu berarti jalan lebar baginya untuk memperalat ketiganya. Pada akhirnya terbukti bahwa ia mampu menguasai ketiga bersaudara tersebut.
Berhadapan dengan jenis laki-laki yang lebih tinggi tingkat kesaktiannya dan lebih memiliki kecerdasan dibanding dengan ketiga bersaudara tersebut, tidak membuat Jaripah kehilangan akal. Paman Iris masuk ke dalam perangkap Jaripah karena dari awal tidak menyadari dan mewaspadai bahwa perempuan yang dihadapinya bukan sembarang perempuan. Sejak awal Jaripah memang bersiasat menyimpan kesaktiannya untuk pertempuran terakhir; dengan musuh yang memang pantas. Pada akhirnya Jaripah berhasil mengalahkan dan menaklukkan Paman Iris.
Dari rentetan kejadian antara Jaripah dan keempat lelaki tersebut nampak jelas bahwa peran Jaripah terlihat dominan karena dia memiliki kualitas yang memang lebih unggul dibandingkan rival lelakinya yang lain. Fakta bahwa Jaripah berkelana sendirian di hutan membuktikan bahwa dia adalah perempuan yang mandiri dalam mencukupi kebutuhan hidupnya dan menyelesaikan segala urusan pribadinya. Kenyataan bahwa dia memiliki binatang peliharaan yang sehebat Sinar Udara juga jelas-jelas menunjukkan bahwa dia bukan perempuan biasa. Terbukti kemudian bahwa dia mampu menundukkan Sinar Udara dan menjadikannya makhluk peliharaan.
Fakta terakhir yang mengejutkan adalah kenyataan bahwa Jaripah memilih untuk hidup berdua saja dengan binatang peliharaannya, Sinar Udara, di tengah hutan belantara dan mampu mengalahkan Paman Iris yang memiliki kesaktian hingga mampu menundukkan Sinar Udara. Hal tersebut menegasikan pendapat umum bahwa perempuan adalah mahluk yang lembut, bergantung pada keberadaan laki-laki, dan inferior. Jaripah telah membuktikan bahwa dia setara dan bahkan bisa lebih unggul daripada laki-laki.
Jaripah terlihat lebih dominan dalam relasinya dengan lawan jenis. Dia hidup sendirian tanpa laki-laki di Wana Tribaya, sebuah hutan yang masih angker. Dia berhubungan dengan laki-laki dalam posisi yang setara, bahkan dalam beberapa hal mendominasi. Paras cantik, kecerdikan dan kesaktian menjadi modal Jaripah dalam menjalin relasi dengan laki-laki. Pada awalnya dia berpura-pura memperlakukan kecantikannya seperti cara lelaki memandangnya, yaitu sebagai komoditi. Sebagai komoditi kecantikan Jaripah bisa dipertukarkan dengan keberhasilan para lelaki itu menemukan Sinar Udara. Sebagai komoditi keberadaannya penting untuk melayani dan memuaskan laki-laki. Oleh karena Jaripah memiliki kecerdikan dan kesaktian, maka dia berhasil memanfaatkan kecantikannya menjadi sarana untuk melawan dominasi dan bukannya alat penindas perempuan. Nilai-nilai feminisme radikal secara tersirat ada dalam diri Jaripah. Feminisme menyatakan bahwa relasi gender yang bersifat patriarkal menimbulkan penindasan terhadap perempuan, karena perempuan ditempatkan ke dalam kelas inferior dibandingkan dengan kelas laki-laki dengan menggunakan basis gender. Oleh karena itu, maka perempuan harus melakukan kontrol terhadap tubuh dan kehidupan mereka (Humm, 2007: 383-384). Jaripah yang mandiri dan dominan menolak tunduk
Patrawidya . Vol 17, No. 1, April 2016
pada kekuasaan patriarki. Oleh karenanya, kisah lakon Jaripah didasari oleh ideologi feminisme radikal yang melawan dominasi laki-laki, dan bukan hanya menginginkan kesetaraan (gender equity) namun menempatkan keunggulan perempuan atas laki-laki.
Lakon Jaripah secara tersirat menunjukkan dominasi perempuan atas laki-laki. Lakon Jaripah menempatkan posisi dan relasi perempuan lebih dominan dari laki-laki yang merupakan bentuk relasi matriarki atau antetesis dari patriarki. Kedua bentuk relasi tersebut sebenarnya sama-sama tidak menguntungkan kedua belah pihak karena salah satu memiliki status, peran, kekuasaan, wewenang dan hak-hak yang lebih dominan dari jenis kelamin lainnya. Kondisi demikian ini berdampak pada relasi yang tidak setara, dan rentan terjadinya ketidakadilan sosial berbasis gender di masyarakat, dan jika ditinjau dari analisis gender mencerminkan adanya kesenjangan antara laki-laki dan perempuan.
B. Representasi Peran dan Relasi Gender dalam Lakon Panji Sumirah
Tabel 3. Representasi Peran Gender dalam Lakon Panji Sumirah
No. Peran Gender
Bentuk Profesi Tokoh
Jumlah
2 publik
1. Laki-laki di sektor
Bangsawan dan Panji Sumirah
pertapa
dan Mbah Gembreng
2. Laki-laki di sektor
Blendhung dn Bledhus
1 publik
3. Perempuan di sektor Pertapa
Mbok
Gembreng
4. Perempuan di sektor Ibu rumah
1 domestik
Jin perempuan
tangga
Tabel 4. Representasi Relasi Gender dalam Lakon Panji Sumirah
No. Relasi Gender
Tokoh
Jumlah
1. Perempuan dominan
2. Laki-laki dominan
Panji Sumirah
Representasi peran dan relasi gender dalam lakon Panji Sumirah sebagaimana terlihat pada tabel 3 dan 4 menunjukkan adanya dominasi laki-laki. Dominasi tersebut terlihat antara lain dari jumlah peran publik bagi laki-laki yang lebih banyak daripada bagi perempuan, walaupun perbandingan jumlah lelaki yang berperan dalam sektor publik dan domestik berimbang atau selisihnya tidak begitu besar dengan jumlah perempuan yang bergerak dalam kedua sektor tersebut.
Kenyataan bahwa Panji Sumirah seorang bangsawan yang memiliki kesaktian semakin meneguhkan dominasi dan kuasanya dalam memaksakan kehendak kepada perempuan, dalam hal ini jin perempuan. Jin perempuan tersebut tidak dibunuhnya namun dipaksa menikah dengan salah satu abdinya tanpa menganggap bahwa pendapat pribadi si jin perempuan berharga untuk didengarkan. Memang tidak ada adegan yang menunjukkan penolakan atau keengganan si jin perempuan untuk mengikuti perintah Panji Sumirah, tetapi hal tersebut terjadi karena kesaktiannya tidak lebih unggul daripada Panji Sumirah.
Peran dan Relasi Gender Masyarakat Using dalam Lakon Barong Kemiren-Banyuwangi (Wiwin Indiarti dan Abdul Munir)
Asal-muasal penderitaan si jin perempuan ada pada dirinya sendiri, yaitu kecantikannya. Kecantikan si jin perempuan menjadi alasan kuat bagi Panji Sumirah untuk membiarkannya tetap hidup; karena merupakan yang tercantik di antara ke-44 jin perahyangan tersebut. Kenyataan bahwa dia tidak cukup berdaya (kurang sakti) melawan dominasi Panji Sumirah membuatnya berada pada kondisi penyerahan diri secara total (total submissiveness). Sebenarnya di awal dia sempat memberikan perlawanan terhadap dominasi Panji Sumirah, namun karena kalah sakti dia akhirnya menyerah.
Secara tersirat lakon Panji Sumirah menempatkan relasi dan posisi laki-laki lebih dominan dari perempuan. Kondisi tersebut berdampak pada relasi yang tidak setara, dan rentan terjadinya ketidakadilan sosial berbasis gender. Ditinjau dari analisis gender, kondisi ini mencerminkan adanya kesenjangan antara laki-laki dan perempuan.
Meskipun demikian, dalam lakon Panji Sumirah juga ditampilkan bentuk relasi gender yang relatif setara, yaitu antara Mbah Gembreng dan istrinya. Terbukti Mbah Gembreng tetap meminta pendapat istrinya tentang keinginan Panji Sumirah membabat Wana Tribaya. Hal tersebut dimungkinkan karena keduanya sama-sama pertapa. Akan lain ceritanya apabila istri dari Mbah Gembreng bukan pertapa seperti suaminya. Profesi sebagai „pertapa‟ yang biasanya dilekatkan dengan jenis kelamin laki-laki karena identik dengan penguasaan diri yang kuat, kebijaksanaan serta kesaktian membuat istri Mbah Gembreng dianggap „setara‟ dengan kaum laki-laki. Namun demikian, fakta bahwa istri Mbah Gembreng tidak dipanggil dengan namanya sendiri tetap saja meninggalkan jejak dominasi patriarki.
C. Representasi Peran dan Relasi Gender dalam Lakon Suwarti
Tabel 5. Representasi Peran Gender dalam Lakon Suwarti No Peran Gender
Jumla .
Bentuk Profesi
Tokoh
2 sektor publik
1. Laki-laki di
Penjual sate dan
Paman Sate dan
pegawai perkebunan
Pak Suwarti
2. Laki-laki di
Tak ada namanya 1 sektor domestik
Abdi
3. Perempuan di
sektor publik
4 Perempuan di
2 sektor domestik
Ibu rumah tangga dan Bu Suwarti dan
abdi
seorang abdi lagi yang tidak diketahui namanya
Tabel 6. Representasi Relasi Gender dalam Lakon Suwarti No.
Relasi Gender
Tokoh
Jumlah
1. Perempuan dominan
Suwarti
2. Laki-laki dominan
Pak Suwarti
3 Laki-laki dan Perempuan
2 setara
Suwarno dan Suwarti
Representasi peran dan relasi gender dalam lakon Suwarti, seperti terlihat pada tabel
5 dan 6, menunjukkan masih adanya dominasi laki-laki yang bisa dilihat melalui relasi
Patrawidya . Vol 17, No. 1, April 2016
antara Pak Suwarti dengan istrinya. Sedari awal Pak Suwartilah yang memutuskan untuk menitipkan bayi Suwarti kepada orang lain yang ada di hutan. Semestinya istri Pak Suwarti sebagai seorang ibu tidak akan tega membiarkan bayinya ada dalam penjagaan orang asing apalagi yang tempat tinggalnya di hutan. Semestinya terjadi pertentangan dalam hatinya, tetapi sebagai istri mungkin pendapat suaminyalah yang berlaku sehingga dia tidak berani membantah. Ditinjau dari relasi gender dari pasangan tersebut, jejak patriarki nampak terlihat seperti dalam penentuan keputusan dalam rumah tangga yang masih menjadi hak prerogatif suami dan jumlah peran publik yang masih terbatas bagi kaum perempuan.
Sementara dalam relasi gender yang terjalin antara gadis Suwarti dengan Suwarno, nampak adanya kesetaraan. Suwarti mencintai Suwarno dan memutuskan untuk menikah dengan pemuda tersebut atas keinginan hatinya sendiri, tidak atas paksaan siapapun (baik Suwarno maupun orangtuanya). Hal ini menunjukkan bahwa sebagai perempuan Suwarti memiliki hak dan diberikan kebebasan oleh lingkungannya (keluarga dan masyarakat) untuk menentukan pilihan hidupnya sendiri.
Relasi pasangan Suwarti-Suwarno dalam lakon Suwarti ini menyiratkan kondisi ideal relasi gender antara laki-laki dan perempuan yang lebih setara, terutama hubungannya dengan tema perkawinan. Relasi gender yang setara antar tokoh ditunjukkan dengan tidak adanya dominasi yang didasarkan atas status, peran, kekuasaan, wewenang dan hak yang berbasis gender. Suwarno dan Suwarti memiliki kebebasan dan hak yang sama dalam menentukan pilihan hidupnya. Kondisi ideal relasi gender ini secara simbolik dirayakan dalam bentuk pesta perkawinan penuh kegembiraan sebagai penutup lakon Suwarti.
D. Representasi Peran dan Relasi Gender dalam Lakon Singa Lundaya
Tabel 7. Representasi Peran Gender dalam Lakon Singa Lundaya No. Peran Gender
1 sektor publik
1. Laki-laki di
Pertapa,
Guru Lundaya,
Pak Mantri
3 sektor domestik
2. Laki-laki di
Abdi
Blendhang,
Blendhung dan Bledhus
3. Perempuan di
- sektor publik Perempuan di
2 sektor domestik
Ibu rumah
Siti Sundari dan
tangga
Siti Ambari
Tabel 8. Representasi Relasi Gender dalam Lakon Singa Lundaya
No. Relasi Gender
Tokoh
Jumlah
1. Perempuan dominan
Siti Ambari
2. Laki-laki dominan
Pak Mantri dan Lundaya
Representasi peran dan relasi gender dalam lakon Singa Lundaya sebagaimana dalam tabel 7 dan 8 masih menunjukkan adanya ketimpangan gender. Hal tersebut paling
Peran dan Relasi Gender Masyarakat Using dalam Lakon Barong Kemiren-Banyuwangi (Wiwin Indiarti dan Abdul Munir)
kentara pada kehidupan rumah tangga Pak Mantri. Kenyataan bahwa Pak Mantri memiliki dua orang istri sudah merupakan bukti dominasi kekuasaan laki-laki atas perempuan. Istri baginya bukanlah individu merdeka yang punya keinginan sendiri seperti halnya laki-laki. Cara pandang Pak Mantri terhadap istrinya terwakili juga dengan sikapnya saat tahu bahwa istrinya dibawa lari oleh Lundaya. Pak Mantri menantang Lundaya untuk diuji kesaktiannya. Sebagai imbalannya, jika Lundaya mampu melewati uji kesaktian tersebut, Pak Mantri akan menghadiahkan istrinya kepada Lundaya. Jelas kemudian bahwa Siti Ambari sekedar properti yang bisa dengan mudah dipindahtangankan oleh Pak Mantri. Keputusannya untuk mengadakan uji kesaktian terhadap Lundaya juga merupakan kamuflase untuk menjaga harkat martabatnya di mata masyarakat lain.
Di antara kedua istri Pak Mantri, nampaknya hanya Siti Ambari yang bereaksi terhadap dominasi sang suami. Meskipun demikian, reaksi perlawanan Siti Ambari diwujudkan dalam bentuk “hubungan terlarang” dengan Lundaya. Pada saat dia bertemu dengan Lundaya dan jatuh cinta, Siti Ambari berani mengambil keputusan untuk pergi bersama kekasih barunya itu. Dalam hal ini keputusan Siti Ambari mencerminkan penolakannya untuk terus ada dalam dominasi suaminya. Dia ingin bebas menentukan apa yang diinginkannya. Dia menolak dominasi patriarki. Namun pada akhirnya Siti Ambari kembali jatuh dalam dominasi laki-laki lain yaitu Lundaya. Ketika akhirnya menyadari keputusannya yang keliru dalam memilih bentuk perlawanan terhadap dominasi laki-laki tersebut, Siti Ambari memutuskan untuk meninggalkan Lundaya.