Perkembangan Industri Tanaman Hias Amerika Serikat
5.1.4 Perkembangan Industri Tanaman Hias Amerika Serikat
Negara Amerika Serikat secara geografis berada di kawasan Amerika bagian utara. Amerika Serikat memiliki jumlah penduduk yang sangat tinggi, yakni mencapai 298 juta jiwa pada tahun 2006 dengan jumlah angkatan kerja kurang lebih 149 juta jiwa. Selain negara yang memiliki populasi terbesar, Amerika Serikat juga memiliki tingkat pendapatan per kapita paling tinggi
dibanding Belanda dan Jepang. Tahun 2005, pendapatan per kapita Amerika Serikat sebesar US$ 41.768 dan pada tahun 2006 meningkat menjadi US$ 44.970.
Dalam kegiatan perdagangan perdagangan dunia, Amerika Serikat menduduki peringkat pertama untuk ekspor jasa komersial dan menjadi peringkat kedua untuk ekspor merchandise. Namun Amerika Serikat juga menduduki peringkat utama impor jasa komersial dan merchandise. Hal tersebut menunjukkan bahwa Amerika Serikat sangat aktif melakukan perdagangan internasional. Mitra dagang ekspor utama Amerika Serikat antara lain Kanada (23 persen), Uni-Eropa (20,6 persen), Meksiko (13,3 prsen), Jepang (6,1 persen) dan China (4,6 persen). Dari produk yang diekspor Amerika Serikat, komposisi ekspor produk pertanian sebesar 9,2 persen, terbesar kedua setelah produk manufaktur sebesar 81 persen dan bahan bakar sebesar 5,6 persen.
Dalam industri tanaman hias Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat konsumsi yang tinggi terhadap bunga potong. Tahun 2006 nilai konsumsi bunga potong Amerika Serikat mencapai US$ 1,15 juta. Besarnya tingkat konsumsi bunga potong Amerika Serikat, sebagian besar dipenuhi dengan impor. Tahun 2006 Amerika Serikat mengimpor kurang lebih tiga milyar ikat bunga potong senilai US$ 768 juta, sementara itu untuk ekspor bunga potong
Amerika Serikat nilainya hanya sebesar US$ 27 juta. Jenis bunga potong yang paling diminati dan paling tinggi konsumsinya di Amerika Serikat adalah lili. Tingkat konsumsi lili di tahun 2006 sebesar 66 persen dari total konsumsi tanaman hias Amerika Serikat, sementara itu 34 persen lainnya merupakan tingkat konsumsi mawar dan tulip.
Nilai impor bunga potong Amerika Serikat lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman pot maupun tanaman hias daun. Tahun 1996 Amerika Serikat mengimpor bunga potong sebanyak 30 juta tangkai dan meningkat menjadi 43 juta tangkai di tahun 2006. Hampir semua jenis bunga potong meningkat kuantitas impornya, seperti lili, tulip, anggrek, krisan, anyelir dan mawar. Nilai impor bunga potong Amerika Serikat pada tahun 2006 sebesar US$ 768 juta, meningkat dari US$ 610 juta pada tahun 2000. Di sisi lain nilai ekspor bunga potong Amerika Serikat mengalami penurunan sejak tahun 2000 sampai dengan 2006. Tahun 2000 nilai ekspor bunga potong Amerika Serikat mencapai US$ 39 juta, namun pada tahun 2006 nilainya turun menjadi US$ 27 juta. Penurunan ekspor bunga potong Amerika Serikat disebabkan oleh jumlah produksinya yang menurun setiap tahun. Amerika Serikat hanya unggul dalam produksi lili dan tulip sehingga produksinya meningkat. Sementara itu produksi bunga potong lainnya seperti anggrek, mawar, krisan dan anyelir berfluktuasi setiap tahunnya dan cenderung menurun.
Produksi anggrek potong di Amerika Serikat sejak tahun 1996 sampai tahun 2003 mengalami peningkatan, namun produksinya menurun pada tahun
2004 sampai 2006. Tahun 2003 produksi anggrek potong Amerika Serikat sebesar
12 juta tangkai dan menurun jumlahnya menjadi 9 juta tangkai pada tahun 2006.
Disisi lain, Amerika Serikat mengimpor anggrek potong senilai US$ 4,6 juta di tahun 2000 dan meningkat menjadi US$ 10 juta tahun 2006.
Amerika Serikat mengimpor tanaman hias yang berasal dari banyak negara di belahan dunia. Untuk kawasan Asia Tenggara, eksportir terbesar bunga potong ke Amerika Serikat adalah negara Thailand dan Singapura. Nilai impor bunga potong Amerika Serikat pasca krisis moneter meningkat setiap tahunnya. Nilai impor bunga potong Amerika Serikat dari kawasan Asia Tenggara tahun 2006 sebesar US$ 7,9 juta. Nilai impor bunga potong dari Thailand sebesar US$ 7 juta dan Singapura sebesar US$ 0,4 juta. Berikut ini adalah tabel perkembangan nilai ekspor tanaman hias Indonesia dan Thailand ke Amerika Serikat yang ditampilkan pada Tabel 7.
Tabel 7. Nilai Ekspor Tanaman Hias Indonesia dan Thailand ke Amerika Serikat Tahun 1996-2006
Nilai (US$)
Sumber : UNComtrade, 2007
Data pada Tabel 7 menunjukkan bahwa kinerja ekspor tanaman hias Indonesia ke Amerika Serikat cenderung meningkat setiap tahunnya. Namun demikian jika dibandingkan dengan Thailand, perolehan nilai ekspor tanaman hias
Indonesia ke Amerika Serikat jauh lebih kecil. Amerika Serikat merupakan negara tujuan ekspor kedua Thailand setelah Jepang. Tahun 2006, ekspor tanaman hias Thailand ke Amerika Serikat sebesar 20,3 persen dari total ekspor tanaman hias ke dunia. Kinerja ekspor anggrek Thailand ke Amerika Serikat selalu meningkat setiap tahunnya. Tahun 2002 sampai dengan tahun 2005 volume ekspor anggrek Thailand ke Amerika Serikat berturut-turut adalah 297 ton, 344 ton, 331 ton dan 417 Ton. Pada tahun 2006 Thailand mampu mengekspor anggrek ke Amerika Serikat sebanyak 783 Ton dengan nilai US$ 4,6 juta, sementara itu Indonesia hanya mampu mengekspor anggrek sebanyak 21.333 Kg senilai US$ 217.951. Kinerja ekspor anggrek Indonesia ke Amerika Serikat berfluktuasi setiap tahunnya. Pada tahun 2000, Indonesia mengekspor anggrek ke Amerika Serikat sebanyak 9.550 Kg, hingga tahun 2006 peningkatan volumenya hanya mencapai 11.783 Kg.
Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi anggrek, Amerika Serikat mengimpor tanaman anggrek dari beberapa negara antara lain Taiwan, Thailand, Belanda, Canada, China dan Korea Selatan. Diantara beberapa negara eksportir anggrek tersebut, negara Taiwan, Thailand dan Canada merupakan eksportir terbesar. Tahun 2006 kuantitas impor anggrek dari Taiwan, Thailand dan Canada berturut-turut yakni 1.103 ton, 783 ton dan 612 ton.
5.1.5 Perkembangan Industri Tanaman Hias Belanda
Belanda merupakan negara kaya yang memiliki tingkat pendapatan per kapita yang tinggi setelah Amerika Serikat. Tahun 2005 pendapatan per kapita
Belanda mencapai US$ 38.296 dan meningkat menjadi US$ 42.670 tahun 2006. Tingkat inflasi di Belanda relatif rendah, rata-rata per tahunnya sebesar 1,6 persen Belanda mencapai US$ 38.296 dan meningkat menjadi US$ 42.670 tahun 2006. Tingkat inflasi di Belanda relatif rendah, rata-rata per tahunnya sebesar 1,6 persen
Dalam industri tanaman hias dunia, Belanda berada di peringkat pertama sebagai negara eksportir tanaman hias. Belanda sangat unggul dalam memproduksi tanaman hias. Hampir semua jenis tanaman hias mampu diproduksi Belanda. Pemerintah Belanda sangat serius dalam menangani sektor pertaniannya, salah satu bentuk keseriusannya adalah dengan memberikan subsidi untuk kegiatan produksi pertanian.
Nilai ekspor tanaman hias Belanda ke dunia mencapai US$ 7 miliar. Negara tujuan ekspor utama Belanda yakni Jerman dan Inggris. Tahun 2006 nilai ekspor tanaman hias Belanda ke kedua negara tersebut masing-masing mencapai lebih dari US$ 1 miliar. Setiap tahunnya, Belanda mensuplai tanaman hias ke Jerman lebih dari 170.000 ton. Selain Belanda, negara lain yang menjadi eksportir tanaman hias terbesar yakni Columbia, Kenya, Israel dan Ekuador. Diantara negara-negara eksportir tanaman hias terbesar di dunia, posisi Belanda berada di tingkat teratas. Belanda menguasai pasar tanaman hias dunia sekitar 65 persen. Negara Belanda terkenal dengan bunga tulipnya. Namun demikian hampir semua jenis tanaman hias mampu diproduksi di Belanda.
Pemerintah Belanda selalu mengawasi ekspor dan pelelangan tanaman hias. Belanda mempunyai sistem distribusi yang baik, baik melalui jalur darat maupun jalur udara. Jika di Indonesia penjual tanaman hias umumnya berada di pinggir jalan, lain halnya dengan pedagang tanaman hias di Belanda. Di Belanda, tanaman hias tidak dijajakan di pinggiran jalan, melainkan di pertokoan maupun di supermarket yang khusus menjual tanaman hias. Dengan demikian konsumen Pemerintah Belanda selalu mengawasi ekspor dan pelelangan tanaman hias. Belanda mempunyai sistem distribusi yang baik, baik melalui jalur darat maupun jalur udara. Jika di Indonesia penjual tanaman hias umumnya berada di pinggir jalan, lain halnya dengan pedagang tanaman hias di Belanda. Di Belanda, tanaman hias tidak dijajakan di pinggiran jalan, melainkan di pertokoan maupun di supermarket yang khusus menjual tanaman hias. Dengan demikian konsumen
Bagi bangsa Belanda, tanaman hias bukan hanya sekedar aksesori rumah tinggal melainkan sudah menjadi kebutuhan hidup sehari-hari sebagai pengganti materi dalam menjalin hubungan sosial. Pemerintah negara Belanda sangat serius menggarap potensi tanaman hias yang dimiliki negaranya. Salah satu bentuk keseriusan itu adalah dengan mengadakan pameran bunga internasional setiap 10 tahun sekali yang didukung oleh instansi pemerintah dan pihak swasta. Tujuan dari pameran tersebut adalah untuk mengingatkan masyarakatnya akan kepedulian terhadap keindahan lingkungan. Selama pameran berlangsung, diadakan demonstrasi varietas baru dan rekayasa genetika tanaman hias dan bunga.
Tanaman anggrek begitu diminati hampir di seluruh negara, begitu pula di Belanda. Dengan kemajuan teknologi rekayasa genetika, anggrek yang semula merupakan tanaman khas negara tropis, kini anggrek dapat dibudidayakan di negara empat musim. Di Belanda pengelolaan tanaman hias dilakukan dengan penerapan teknologi yang sangat canggih. Mulai dari pembenihan, pembibitan dan penanaman dalam pot untuk pembesarannya dilakukan bukan dengan tenaga manusia, melainkan dengan menggunakan robot.
Tahun 2004, tanaman anggrek menjadi populer di pasar tanaman hias Belanda. Pasar Belanda cenderung lebih menyukai anggrek Phalaenopsis diantara berbagai jenis anggrek lainnya. Hal itu dapat dilihat dari tingkat penjualan anggrek pot Phalaenopsis lebih tinggi dibandingkan anggrek jenis lain. Di Belanda terdapat 300 pengusaha anggrek pot dan 90 diantaranya adalah Tahun 2004, tanaman anggrek menjadi populer di pasar tanaman hias Belanda. Pasar Belanda cenderung lebih menyukai anggrek Phalaenopsis diantara berbagai jenis anggrek lainnya. Hal itu dapat dilihat dari tingkat penjualan anggrek pot Phalaenopsis lebih tinggi dibandingkan anggrek jenis lain. Di Belanda terdapat 300 pengusaha anggrek pot dan 90 diantaranya adalah
Tabel 8. Nilai Ekspor Tanaman Hias Indonesia dan Thailand ke Belanda Tahun 1996-2006
Nilai (US$)
Sumber : UNComtrade, 2007
Tahun 2006 Belanda merupakan negara tujuan ekspor tanaman hias Indonesia dengan nilai terbesar ketiga setelah Korea. Begitu pula dengan Thailand, Belanda merupakan salah satu dari lima negara tujuan ekspor terbesar tanaman hias. Data pada Tabel 7 menunjukkan bahwa perolehan nilai ekspor tanaman hias Indonesia ke Belanda cenderung mengalami peningkatan meskipun pada tahun-tahun tertentu mengalami penurunan. Tahun 2006, perolehan nilai ekspor tanaman hias Indonesia ke Belanda sebesar 15 persen dari total nilai Tahun 2006 Belanda merupakan negara tujuan ekspor tanaman hias Indonesia dengan nilai terbesar ketiga setelah Korea. Begitu pula dengan Thailand, Belanda merupakan salah satu dari lima negara tujuan ekspor terbesar tanaman hias. Data pada Tabel 7 menunjukkan bahwa perolehan nilai ekspor tanaman hias Indonesia ke Belanda cenderung mengalami peningkatan meskipun pada tahun-tahun tertentu mengalami penurunan. Tahun 2006, perolehan nilai ekspor tanaman hias Indonesia ke Belanda sebesar 15 persen dari total nilai
Kinerja ekspor anggrek Indonesia ke Belanda setiap tahunnya berfluktuatif. Namun demikian, volume ekspor anggrek pada tahun 2006 menurun apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Tahun 2005, Indonesia mengekspor anggrek ke Belanda sebanyak 129.049 Kg senilai US$ 92.015 dan tahun 2006 jumlahnya menurun menjadi 31.218 Kg senilai US$ 56.040. Indonesia mengalami penurunan kuantitas ekspor anggrek terbesar ke Belanda pada tahun 2004, yakni jumlahnya hanya sebanyak 14.167 Kg dengan nilai US$ 47.390. Saat ini pemerintah Indonesia mengupayakan agar komoditi tanaman hias dan bunga potong Indonesia yang masuk ke Belanda jumlahnya dapat ditingkatkan. Negara Belanda merupakan pasar yang potensial bagi Indonesia. Hal itu dikarenakan Belanda merupakan pintu masuk perdagangan tanaman hias ke Uni Eropa.
BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1 Analisis Keunggulan Komparatif Tanaman Hias Indonesia
Daya saing suatu produk maupun komoditi suatu negara dapat diukur dengan keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif. Pada penelitian ini daya saing komoditi tanaman hias Indonesia diukur dari sisi keunggulan komparatifnya saja. Analisis keunggulan komparatif pada penelitian ini menggunakan metode analisis Revealed Comparative Advantage atau RCA. Nilai RCA yang diperoleh dapat menggambarkan kinerja ekspor tanaman hias Indonesia. Nilai RCA berkisar antara nol sampai tak hingga. Jika nilai RCA lebih dari satu maka maka dianggap memiliki kinerja ekspor yang baik dan sebaliknya. Komoditi dengan nilai RCA lebih dari satu dikatakan memiliki daya saing atau memiliki keunggulan komparatif.
Perkembangan pangsa ekspor relatif komoditi tanaman hias Indonesia dapat diketahui dengan perhitungan indeks RCA tanaman hias antara periode sekarang dan periode sebelumnya. Nilai indeks RCA yang lebih dari satu menunjukkan bahwa ekspor tanaman hias Indonesia mengalami peningkatan relatif dibandingkan negara-negara lain. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pangsa pasar tanaman hias Indonesia di negara tujuan meningkat.
6.1.1 Analisis Keunggulan Komparatif Tanaman Hias Indonesia dan Thailand di Pasar Jepang
Berdasarkan hasil perolehan nilai RCA dapat diketahui bahwa Indonesia tidak mempunyai keunggulan komparatif pada komoditi tanaman hias di pasar Jepang. Hal itu terlihat dari nilai RCA yang kurang dari satu selama periode 1996-
2006. Nilai RCA tanaman hias Indonesia yaitu dengan kisaran angka 0,015 sampai dengan 0,308. Sementara itu, pangsa nilai ekspor tanaman hias Indonesia di pasar Jepang juga relatif kecil dengan jumlah yang kurang dari satu persen. Hal ini dikarenakan kontribusi nilai ekspor tanaman hias Indonesia ke Jepang relatif kecil dibandingkan nilai total ekspor Indonesia ke Jepang. Hal inilah yang menjadi faktor utama mengapa tanaman hias Indonesia tidak mempunyai daya saing di Jepang.
Sementara itu, komoditi tanaman hias Thailand mempunyai keunggulan komparatif cukup baik di pasar Jepang. Hal tersebut ditunjukkan dari perolehan nilai RCA yang selama kurun waktu 11 tahun selalu lebih besar dari satu. Nilai RCA tanaman hias Thailand berkisar antara 1,638 sampai 3,141. Pangsa nilai ekspor tanaman hias Thailand di pasar Jepang lebih besar dibandingkan Indonesia. Periode 1996 sampai dengan 1998, pangsa nilai ekspor tanaman hias Thailand di Jepang sebesar lebih dari delapan persen. Kemudian mengalami penurunan menjadi empat persen pada periode 1999 dan meningkat menjadi enam persen di akhir periode. Melihat tingginya nilai ekspor tanaman hias Thailand ke Jepang yang kemudian tercermin dalam perolehan nilai RCA, maka Thailand merupakan kompetitor utama Indonesia dalam mengekspor tanaman hias ke Jepang. Kontribusi nilai ekspor tanaman hias Thailad ke Jepang dibandingkan dengan nilai total ekspornya relatif lebih besar, sehingga hal inilah yang menjadi faktor utama daya saing tanaman hias Thailand di Jepang. Perolehan nilai RCA dan indeks RCA negara Indonesia dan Thailand dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 9. Keunggulan Komparatif Tanaman Hias Indonesia dan Thailand di Pasar Jepang Tahun 1996-2006
Tahun
Thailand RCA
Indonesia
Indeks RCA
RCA Indeks RCA
Analisis yang lebih spesifik berdasarkan masing-masing periode dapat dijelaskan sebagai berikut :
Periode 1996-1999
Indeks RCA Indonesia periode 1996-1998 adalah kurang dari satu yakni sebesar 0,826 dan 0,395. Rendahnya indeks RCA tersebut menunjukkan daya saing tanaman hias Indonesia melemah dan telah terjadi penurunan pangsa pasar. Nilai ekspor tanaman hias Indonesia tahun 1997 turun sebesar US$ 213.115 atau 28,3 persen dari tahun sebelumnya. Pada saat yang bersamaan, nilai impor tanaman hias Jepang juga mengalami penurunan sebesar US$ 57,863 juta atau 12,9 persen.
Pada tahun 1998 dimana sedang terjadi krisis ekonomi moneter, daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Jepang mencapai tingkat terendah yakni sebesar 0,015. Nilai ekspor tanaman hias Indonesia ke Jepang turun sebesar US$ 366.208 atau 67,8 persen dari tahun sebelumnya. Pada periode ini juga nilai impor tanaman hias Jepang menurun sebesar US$ 36,85 juta atau 9,4 persen. Untuk dapat mempertahankan pangsa nilai ekspor tanaman hias, Indonesia harus mampu Pada tahun 1998 dimana sedang terjadi krisis ekonomi moneter, daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Jepang mencapai tingkat terendah yakni sebesar 0,015. Nilai ekspor tanaman hias Indonesia ke Jepang turun sebesar US$ 366.208 atau 67,8 persen dari tahun sebelumnya. Pada periode ini juga nilai impor tanaman hias Jepang menurun sebesar US$ 36,85 juta atau 9,4 persen. Untuk dapat mempertahankan pangsa nilai ekspor tanaman hias, Indonesia harus mampu
Tahun 1999 kondisi perekonomian Indonesia mengalami masa recovery atau pemulihan. Kondisi industri tanaman hias dalam negeri pun kembali membaik yang dicerminkan dari peningkatan nilai ekspor tanaman hias ke negara tujuan, termasuk Jepang. Nilai ekspor tanaman hias Indonesia ke Jepang naik sebesar US$ 800 ribu atau lebih dari 500 persen, sementara itu impor tanaman hias Jepang naik sebesar 8,37 persen. Indeks RCA menguat dengan nilai sebesar 5,533 yang berarti telah terjadi peningkatan pangsa pasar. Pangsa nilai ekspor tanaman hias Indonesia di Jepang naik menjadi 0,28 persen atau naik sebesar US$ 879.323 terhadap impor tanaman hias Jepang.
Indeks RCA tanaman hias Thailand tahun 1997 menguat dengan nilai sebesar 1,045. Namun pada tahun 1998 sampai tahun 1999, daya saing tanaman hias Thailand di pasar Jepang melemah yang ditunjukkan dari perolehan nilai indeks RCA sebesar 0,971 dan 0,537. Nilai ekspor tanaman hias Thailand ke Jepang dari tahun 1996 sampai dengan tahun 1999 mengalami penurunan. Tahun 1996 nilai ekspor tanaman hias Thailand sebesar US$ 39 juta, namun sampai dengan tahun 1999 nilainya turun menjadi US$ 16 juta.
Pangsa nilai ekspor tanaman hias Thailand pada periode 1996-1998 rata- rata sebesar 8,8 persen terhadap nilai impor tanaman hias Jepang. Pada periode
tersebut pangsa nilai ekspor tanaman hias Thailand tidak mengalami penurunan meskipun nilai ekspornya menurun. Hal ini dikarenakan penurunan nilai impor tersebut pangsa nilai ekspor tanaman hias Thailand tidak mengalami penurunan meskipun nilai ekspornya menurun. Hal ini dikarenakan penurunan nilai impor
Periode 2000-2006
Pada tahun 2000 nilai indeks RCA tanaman hias Indonesia sebesar satu. Artinya tidak terjadi peningkatan maupun penurunan daya saing. Nilai ekspor tanaman hias Indonesia ke Jepang naik sebesar 14,5 persen, sedangkan impor tanaman hias Jepang naik sebesar 1,9 persen. Di tahun 2001, daya saing tanaman hias Indonesia menguat dengan nilai indeks RCA sebesar 1,241. Pangsa nilai ekspor tanaman hias Indonesia meningkat menjadi 0,38 persen seiring dengan peningkatan nilai ekspornya yakni sebesar 18 persen. Tahun 2002, daya saing tanaman hias Indonesia kembali menguat dengan nilai 2,32. Nilai ekspor tanaman hias Indonesia melonjak naik menjadi senilai US$ 3,2 juta dari US$ 1,4 juta pada tahun sebelumnya. Pada periode ini Indonesia memperoleh peningkatan pangsa nilai ekspor tanaman hias sebesar US$ 1,7 juta.
Tahun 2003 daya saing tanaman hias Indonesia menurun dengan nilai indeks RCA kurang dari satu. Pada saat itu diduga Indonesia telah kehilangan pangsa pasar tanaman hias di Jepang. Nilai ekspor tanaman hias Indonesia turun menjadi US$ 2,8 juta (11 persen), sementara itu nilai impor tanaman hias Jepang justru meningkat sebesar 8,6 persen. Di tahun berikutnya, daya saing tanaman hias Indonesia menguat dengan nilai 1,563. Nilai ekspor tanaman hias kembali Tahun 2003 daya saing tanaman hias Indonesia menurun dengan nilai indeks RCA kurang dari satu. Pada saat itu diduga Indonesia telah kehilangan pangsa pasar tanaman hias di Jepang. Nilai ekspor tanaman hias Indonesia turun menjadi US$ 2,8 juta (11 persen), sementara itu nilai impor tanaman hias Jepang justru meningkat sebesar 8,6 persen. Di tahun berikutnya, daya saing tanaman hias Indonesia menguat dengan nilai 1,563. Nilai ekspor tanaman hias kembali
Kondisi daya saing tanaman hias Thailand di pasar Jepang pada periode 2000-2006 berfluktuatif setiap tahunnya. Daya saing tanaman hias Thailand menguat di tahun 2000 dengan nilai lebih dari satu persen. Namun pada tahun selanjutnya, daya saing tanaman hias Thailand kembali menurun dengan nilai 0,986. Menurunnya daya saing tanaman hias Thailand di pasar Jepang yang dicerminkan dari nilai indeks RCA, seharusnya mencerminkan terjadi penurunan pangsa pasar. Akan tetapi kondisi yang terjadi tidak demikian, nilai ekspor tanaman hias Thailand justru meningkat sebesar satu persen dan pangsa nilai ekspor tanaman hias Thailand naik menjadi sebesar 4,8 persen. Hal ini dikarenakan pada periode yang sama, terjadi penurunan nilai total ekspor Thailand, nilai total impor dan nilai impor tanaman hias Jepang.
Pada periode 2002-2005, nilai ekspor tanaman hias Thailand ke Jepang meningkat dengan jumlah yang cukup signifikan. Tahun 2002 nilai ekspor tanaman hias Thailand sebesar US$ 21 juta, dan sampai dengan tahun 2005 nilainya naik hingga mencapai US$ 31,7 juta. Peningkatan nilai ekspor tanaman hias Thailand tidak selalu berimplikasi pada peningkatan daya saingnya. Tahun 2004, daya saing tanaman hias Thailand menurun dengan nilai indeks RCA
sebesar 0,936. Hal ini dikarenakan peningkatan nilai ekspor tanaman hias Thailand diiringi dengan peningkatan yang lebih besar pada nilai impor tanaman hias Jepang. Akibatnya, Thailand kehilangan pangsa nilai ekspor tanaman hias di pasar Jepang senilai US$ 1,8 juta. Secara hipotetik, untuk dapat mempertahankan pangsa nilai ekspornya Thailand butuh mengekspor tanaman hias senilai US$ 26,8 juta, namun aktualnya Thailand hanya mampu mengekspor senilai US$ 24,9 juta. Di akhir periode, nilai ekspor tanaman hias turun menjadi US$ 31,3 juta yang berdampak pada menurunnya daya saing tanaman hias Thailand di pasar Jepang. Pada periode yang sama nilai impor tanaman hias Jepang meningkat sebesar 3,6 persen. Dengan demikian, Thailand telah kehilangan pangsa nilai ekspor tanaman hias sebesar US$ 1,5 juta yang beralih ke negara pesaing.
6.1.2 Analisis Keunggulan Komparatif Tanaman Hias Indonesia dan Thailand di Pasar Korea
Berdasarkan hasil estimasi nilai RCA diketahui bahwa Indonesia mempunyai keunggulan komparatif yang cukup baik pada komoditi tanaman hias di pasar Korea. Hal itu terlihat dari perolehan nilai indeks RCA Indonesia yang pada tahun-tahun tertentu terdapat nilai lebih dari satu selama periode 1996-2006. Meskipun demikian padas beberapa tahun daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Korea melemah dengan nilai indeks RCA kurang dari satu. Adapun perolehan nilai indeks RCA yaitu dengan kisaran angka 0,927 sampai dengan 1,839. Perolehan pangsa nilai ekspor tanaman hias Indonesia di Korea berfluktuasi setiap tahunnya. Pada tahun 2000, pangsa nilai ekspor tanaman hias Indonesia di Korea mencapai angka tertinggi yakni sebesar tujuh persen. Sementara tahun 1998 pangsa nilai ekspor tanaman hias Indonesia berada pada Berdasarkan hasil estimasi nilai RCA diketahui bahwa Indonesia mempunyai keunggulan komparatif yang cukup baik pada komoditi tanaman hias di pasar Korea. Hal itu terlihat dari perolehan nilai indeks RCA Indonesia yang pada tahun-tahun tertentu terdapat nilai lebih dari satu selama periode 1996-2006. Meskipun demikian padas beberapa tahun daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Korea melemah dengan nilai indeks RCA kurang dari satu. Adapun perolehan nilai indeks RCA yaitu dengan kisaran angka 0,927 sampai dengan 1,839. Perolehan pangsa nilai ekspor tanaman hias Indonesia di Korea berfluktuasi setiap tahunnya. Pada tahun 2000, pangsa nilai ekspor tanaman hias Indonesia di Korea mencapai angka tertinggi yakni sebesar tujuh persen. Sementara tahun 1998 pangsa nilai ekspor tanaman hias Indonesia berada pada
Hasil estimasi nilai indeks RCA Thailand pada periode yang sama, menunjukkan bahwa kinerja ekspor tanaman hias Thailand ke Korea berfluktuasi setiap tahunnya. Dengan demikian daya saing tanaman hias Thailand di pasar Korea pun berfluktuasi. Di beberapa tahun daya saing tanaman hias Thailand mengalami peningkatan, namun di tahun-tahun tertentu daya saing tanaman hias Thailand menurun. Kisaran angka perolehan nilai indeks RCA Thailand yakni antara 0,312 sampai 1,433. Jika dibandingkan dengan perolehan nilai indeks RCA Indonesia, maka keberadaan tanaman hias Indonesia di pasar Korea mampu bersaing dengan tanaman hias Thailand. Hal tersebut dikarenakan pada tahun- tahun tertentu penguasaan pangsa ekspor tanaman hias Indonesia di Korea lebih tinggi dibandingkan Thailand. Hasil perolehan nilai RCA dan indeks RCA Indonesia dan Thailand dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 10. Keunggulan Komparatif Tanaman Hias Indonesia dan Thailand di Pasar Korea Tahun 1996-2006
Tahun
Thailand RCA
Indonesia
Indeks RCA
RCA Indeks RCA
11,850 - 1997
Analisis yang lebih spesifik berdasarkan masing-masing periode dapat dijelaskan sebagai berikut :
Periode 1996-1999
Indeks RCA pada tahun 1997 sebesar 0,548 (kurang dari satu). Rendahnya indeks RCA tersebut menunjukkan bahwa daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Korea menurun dan diduga telah terjadi penurunan pangsa pasar. Nilai ekspor tanaman hias Indonesia ke Korea turun sebesar US$ 313.153 atau 38,9 persen. Sementara itu impor Korea justru meningkat sebesar 1,29 persen. Indeks RCA Thailand pada tahun 1997 sebesar 0,763. Perolehan nilai indeks RCA tersebut menunjukkan bahwa daya saing tanaman hias Thailand di pasar Korea juga melemah. Tahun 1997 nilai ekspor tanaman hias Thailand ke Korea turun sebesar 15,15 persen. Indeks RCA Thailand pada tahun 1997 sebesar 0,763. Perolehan nilai indeks RCA tersebut menunjukkan bahwa daya saing tanaman hias Thailand di pasar Korea juga melemah. Tahun 1997 nilai ekspor tanaman hias Thailand ke Korea turun sebesar 15,15 persen.
Daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Korea kembali melemah pada tahun 1998. Dampak yang ditimbulkan oleh krisis ekonomi moneter mengakibatkan ekspor tanaman hias Indonesia ke Korea menurun tajam sebesar 90,3 persen. Pangsa nilai ekspor tanaman hias Indonesia di Korea menurun sebesar 0,85 persen dari tahun sebelumnya. Di sisi lain, impor tanaman hias Korea juga mengalami penurunan senilai US$ 27,4 juta atau 68 persen. Pada tahun 1998 daya saing tanaman hias Thailand di pasar Korea justru meningkat yang ditunjukkan dengan indeks RCA sebesar 1,433. Namun demikian, nilai ekspor tanaman hias Thailand ke Korea turun sebesar US$ 1,8 juta atau 56,58 persen.
Meskipun ekspor tanaman hias Thailand ke Korea mengalami penurunan, namun daya saing tanaman hias Thailand di pasar Korea justru meningkat. Hal itu dikarenakan penurunan impor tanaman hias Korea lebih besar dari penurunan ekspor tanaman hias Thailand.
Melemahnya daya saing tanaman hias Indonesia pada periode 1996-1998 dikarenakan kontribusi nilai ekspor tanaman hias Indonesia terhadap nilai total ekspor ke Korea sangat kecil. Hal ini dikarenakan pada periode tersebut kuantitas ekspor tanaman hias Indonesia belum sebesar pada periode 2000-2006. Hal lain yang mempengaruhi kecilnya perolehan nilai ekspor tanaman hias Indonesia yakni kondisi nilai tukar USD terhadap Rupiah masih relatif rendah jika dibandingkan periode 1998-2006. Sedangkan pada tahun 1998 Indonesia mengalami krisis perekonomian yang berdampak pada semua sektor termasuk usaha tanaman hias. Dengan demikian daya saing tanaman hias Indonesia pada periode 1996-1998 tidak mempunyai keunggulan komparatif di pasar Korea
Pada tahun 1999 daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Korea meningkat dengan indeks RCA sebesar 11,723. Ekspor tanaman hias Indonesia ke Korea meningkat sebesar US$ 983.029 (lebih dari 2.000 persen) dan impor tanaman hias Korea meningkat sebesar 83,7 persen. Untuk mempertahankan besarnya pangsa nilai ekspor tanaman hias seperti tahun lalu, Indonesia hanya butuh mengekspor tanaman hias ke Korea senilai US$ 87.553. Realisasinya Indonesia mampu mengekspor hingga senilai US$ 1.030.690. Artinya, Indonesia memperoleh peningkatan pangsa nilai ekspor tanaman hias sebesar US$ 943.137 yang beralih dari negara pesaing.
Tahun 1999 nilai indeks RCA Thailand mengalami penurunan menjadi 0,312. Hal tersebut memperlihatkan daya saing dan pangsa pasar tanaman hias Thailand di pasar Korea mengalami penurunan. Nilai ekspor tanaman hias Thailand turun hingga 48,5 persen, padahal Thailand butuh mengekspor tanaman hias senilai US$ 2,585 juta untuk mempertahankan pangsa nilai ekspornya. Realisasinya, Thailand hanya mampu mengekspor senilai US$ 0,725 juta. Dengan demikian, Thailand kehilangan pangsa nilai ekspor sebesar US$ 1,86 juta. Pada periode ini, daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Korea lebih tinggi dibandingkan Thailand. Pangsa nilai ekspor tanaman hias Indonesia di Korea sebesar 4,35 persen, sedangkan Thailand hanya sebesar tiga persen saja.
Periode 2000-2006
Indeks RCA tanaman hias Indonesia tahun 2000 sebesar 1,766 yang menunjukkan bahwa Indonesia masih mampu mempertahankan daya saing tanaman hias di pasar Korea. Akan tetapi tahun 2001 terjadi penurunan nilai ekspor tanaman hias ke Korea sebesar 22,65 persen yang mengakibatkan melemahnya daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Korea. Pada tahun 2001 nilai indeks RCA adalah sebesar 0,757 atau turun dari tahun sebelumnya. Di tahun ini impor tanaman hias Korea justru meningkat sebesar US$ 1,5 juta atau 5,28 persen. Pada tahun 2000 nilai indeks RCA Thailand mengalami peningkatan menjadi 1,181. Dengan demikian, daya saing tanaman hias Thailand di pasar Korea kembali menguat. Nilai ekspor tanaman hias Thailand meningkat sebesar 48,8 persen. Kendati daya saing tanaman hias Thailand mulai menguat pada periode ini, namun pangsa nilai ekspor tanaman hias Indonesia di Korea lebih tinggi dibandingkan Thailand. Pangsa nilai ekspor tanaman hias Indonesia di
Korea sebesar 7,64 persen, sedangkan Thailand hanya 3,75 persen saja. Daya saing tanaman hias Thailand di pasar Korea masih menguat dengan nilai indeks RCA sebesar 1,185 di tahun 2001. Nilai ekspor tanaman hias Thailand meningkat sebesar 37,9 persen. Meskipun pada tahun ini nilai ekspor tanaman hias Indonesia menurun, namun pangsa nilai ekspor tanaman hias Indonesia di Korea sebesar 5,6 persen, lebih tinggi dari Thailand yang hanya sebesar 4,9 persen.
Tahun 2002 nilai indeks RCA sebesar 0,936 hal ini menunjukkan bahwa daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Korea masih melemah. Kendati demikian nilai ekspor tanaman hias Indonesia ke Korea meningkat sebesar 6,95 persen, namun peningkatannya diikuti oleh peningkatan total ekspor Indonesia ke Korea yang lebih besar. Impor tanaman hias Korea meningkat sebesar 13,2 persen. Peningkatan impor tanaman hias Korea yang lebih tinggi dibandingkan ekspor tanaman hias Indonesia mengakibatkan pangsa nilai ekspor tanaman hias Indonesia turun sebesar 0,31 persen. Pada tahun 2003 indeks RCA bernilai satu. Hal ini berarti tidak terjadi peningkatan atau penurunan pada daya saing pasar tanaman hias Indonesia di pasar Korea. Pada periode ini penurunan ekspor tanaman hias Indonesia lebih tinggi dibandingkan penurunan impor tanaman hias Korea. Ekspor tanaman hias Indonesia mengalami penurunan sebesar US$ 306.737 atau 16,9 persen. Di sisi lain, penurunan nilai impor tanaman hias Korea sebesar 7,23 persen. Pada tahun 2002 dan 2003 daya saing tanaman hias Thailand masih menguat nilai sebesar 1,064 dan 1,062. Nilai ekspor tanaman hias Thailand ke Korea meningkat sebesar 27 persen di tahun 2002, namun pada tahun 2003 nilai ekspor tanaman hias Thailand ke Korea turun sekitar 4,7 persen. Penurunan nilai ekspor tanaman hias Thailand tidak menyebabkan penurunan daya saing. Hal Tahun 2002 nilai indeks RCA sebesar 0,936 hal ini menunjukkan bahwa daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Korea masih melemah. Kendati demikian nilai ekspor tanaman hias Indonesia ke Korea meningkat sebesar 6,95 persen, namun peningkatannya diikuti oleh peningkatan total ekspor Indonesia ke Korea yang lebih besar. Impor tanaman hias Korea meningkat sebesar 13,2 persen. Peningkatan impor tanaman hias Korea yang lebih tinggi dibandingkan ekspor tanaman hias Indonesia mengakibatkan pangsa nilai ekspor tanaman hias Indonesia turun sebesar 0,31 persen. Pada tahun 2003 indeks RCA bernilai satu. Hal ini berarti tidak terjadi peningkatan atau penurunan pada daya saing pasar tanaman hias Indonesia di pasar Korea. Pada periode ini penurunan ekspor tanaman hias Indonesia lebih tinggi dibandingkan penurunan impor tanaman hias Korea. Ekspor tanaman hias Indonesia mengalami penurunan sebesar US$ 306.737 atau 16,9 persen. Di sisi lain, penurunan nilai impor tanaman hias Korea sebesar 7,23 persen. Pada tahun 2002 dan 2003 daya saing tanaman hias Thailand masih menguat nilai sebesar 1,064 dan 1,062. Nilai ekspor tanaman hias Thailand ke Korea meningkat sebesar 27 persen di tahun 2002, namun pada tahun 2003 nilai ekspor tanaman hias Thailand ke Korea turun sekitar 4,7 persen. Penurunan nilai ekspor tanaman hias Thailand tidak menyebabkan penurunan daya saing. Hal
Tahun 2004 nilai indeks RCA kembali meningkat menjadi 1,6. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Korea. Tahun 2004 nilai ekspor tanaman hias Indonesia ke Korea meningkat sebesar 30,94 persen. Pada tahun 2005 nilai indeks RCA turun menjadi 0,675. Daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Korea kembali mengalami penurunan. Namun demikian nilai ekspor tanaman hias Indonesia justru meningkat sebesar 47,39 persen. Melemahnya daya saing tanaman hias Indonesia dikarenakan kontribusi dari peningkatan nilai ekspor tanaman hias lebih kecil dari peningkatan nilai total ekspornya yang mencapai 107 persen. Nilai impor tanaman hias Korea juga meningkat sebesar 22,72 persen di tahun yang sama.
Pada tahun 2004, nilai indeks RCA Thailand turun menjadi 0,793. Nilai ekspor tanaman hias Thailand ke pasar Korea turun sebesar 4,48 persen. Sementara itu di tahun 2005 daya saing tanaman hias Thailand di pasar Korea masih melemah dengan nilai indeks RCA sebesar 0,892. Nilai ekspor tanaman hias Thailand ke Korea meningkat sebesar 14,4 persen, namun diiringi oleh peningkatan yang lebih besar dari impor tanaman hias Korea dan total ekspor Thailand yakni sebesar 30 persen dan 16,5 persen. Daya saing tanaman hias Thailand di pasar Korea menguat dengan nilai indeks RCA sebesar 1,057. Nilai ekspor tanaman hias Thailand meningkat sebesar 32,2 persen. Untuk mempertahankan pangsa nilai ekspornya Thailand butuh mengekspor tanaman hias ke Korea senilai US$ 2,29 juta. Aktualnya Thailand mampu mengekspor Pada tahun 2004, nilai indeks RCA Thailand turun menjadi 0,793. Nilai ekspor tanaman hias Thailand ke pasar Korea turun sebesar 4,48 persen. Sementara itu di tahun 2005 daya saing tanaman hias Thailand di pasar Korea masih melemah dengan nilai indeks RCA sebesar 0,892. Nilai ekspor tanaman hias Thailand ke Korea meningkat sebesar 14,4 persen, namun diiringi oleh peningkatan yang lebih besar dari impor tanaman hias Korea dan total ekspor Thailand yakni sebesar 30 persen dan 16,5 persen. Daya saing tanaman hias Thailand di pasar Korea menguat dengan nilai indeks RCA sebesar 1,057. Nilai ekspor tanaman hias Thailand meningkat sebesar 32,2 persen. Untuk mempertahankan pangsa nilai ekspornya Thailand butuh mengekspor tanaman hias ke Korea senilai US$ 2,29 juta. Aktualnya Thailand mampu mengekspor
Di akhir periode, daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Korea masih melemah dengan nilai indeks RCA sebesar 0,867. Pada tahun 2006 nilai ekspor tanaman hias Indonesia ke Korea menurun sebesar 7,2 persen. Di sisi lain impor tanaman hias Korea meningkat sebesar US$ 8,4 juta atau 16,72 persen. Indonesia butuh mengekspor tanaman hias sebesar US$ 3,4 juta. Sementara itu aktualnya Indonesia hanya mampu mengekspor senilai US$ 2,7 juta. Dengan demikian Indonesia kehilangan pangsa nilai ekspor tanaman hias sebesar US$ 697.113 yang diduga beralih ke negara pesaing. Pada akhir periode ini Indonesia masih lebih unggul dalam penguasaan pangsa ekspor tanaman hias di Korea. Meskipun mengalami penurunan pangsa ekspor tanaman hias, namun pangsa ekspor tanaman hias Indonesia di Korea masih lebih tinggi dibandingkan Thailand yakni sebesar 4,57 persen, sedangkan Thailand hanya sebesar 4,1 persen.
6.1.3 Analisis Keunggulan Komparatif Tanaman Hias Indonesia dan Thailand di Pasar Singapura
Berdasarkan perolehan estimasi nilai RCA diketahui bahwa Indonesia tidak mempunyai keunggulan komparatif yang cukup baik pada komoditi tanaman hias di pasar Singapura. Hal tersebut ditunjukkan dari perolehan nilai indeks RCA Indonesia yang berkisar antara 0,107 sampai 1,341. Tahun 2000 sampai dengan tahun 2006 daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Singapura melemah dengan nilai kurang dari satu. Daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Singapura menguat pada tahun 1996 dan tahun 1999 yakni sebesar 1,001 dan 1,341, namun kemudian menurun hingga tahun 2006.
Hasil estimasi nilai indeks RCA Thailand menunjukkan bahwa Thailand mempunyai keunggulan komparatif yang lebih baik dibandingkan Indonesia, meskipun pada tahun-tahun tertentu daya saing tanaman hias Thailand di pasar Singapura menurun. Nilai RCA Thailand berkisar antara 0,331 sampai 4,65. Sejak tahun 1997 hingga 2003 daya saing tanaman hias Thailand melemah dengan nilai RCA kurang dari satu, namun dari tahun 2004 sampai 2006 daya saing tanaman hias Thailand di pasar Singapura mengalami peningkatan. Hasil perolehan nilai RCA dan indeks RCA Indonesia dan Thailand dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 11. Keunggulan Komparatif Tanaman Hias Indonesia dan Thailand di Pasar Singapura Tahun 1996-2006
Tahun
Thailand RCA
Indonesia
Indeks RCA
RCA Indeks RCA
Analisis yang lebih spesifik berdasarkan masing-masing periode dapat dijelaskan sebagai berikut :
Periode 1996-1999
Tahun 1996 Indonesia memiliki keunggulan komparatif untuk komoditi tanaman hias di pasar Singapura namun pada tahun 1997 daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Singapura mengalami penurunan yang ditunjukkan oleh nilai indeks RCA 0,159. Nilai ekspor tanaman hias Indonesia turun sebesar US$ 1,4 juta atau 81 persen. Sebaliknya, impor tanaman hias Singapura meningkat sebesar
0,8 persen. Akibat dari penurunan nilai ekspor tanaman hias, Indonesia kehilangan pangsa nilai ekspor tanaman hias di Singapura sebesar 2,85 persen atau senilai US$ 1,4 juta. Hal ini dikarenakan kuantitas ekspor tanaman hias Indonesia ke Singapura mengalami penurunan yang cukup besar yakni sekitar 80 persen sehingga berdampak pada penurunan nilai ekspor yang diperoleh.
Daya saing tanaman hias Thailand di pasar Singapura juga mengalami penurunan dari tahun 1996-1997 dengan nilai indeks RCA sebesar 0,097. Nilai ekspor tanaman hias Thailand turun sebesar US$ 98.456 atau 7,8 persen sedangkan nilai total ekspor Thailand ke Singapura justru meningkat lima persen. Dengan demikian kontribusi ekspor tanaman hias Thailand terhadap nilai total ekspor ke Singapura menjadi lebih kecil dari tahun sebelumnya sehingga nilai RCA Thailand menurun. Pada tahun ini Indonesia dan Thailand mengalami penurunan pangsa nilai ekspor tanaman hias di pasar Singapura.
Tahun 1998 daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Singapura masih melemah dengan nilai indeks RCA sebesar 0,673. Nilai ekspor tanaman hias Indonesia semakin rendah yakni sebesar US$ 222.417, turun sebesar 31,9 persen. Disisi lain, impor tanaman hias Singapura juga mengalami penurunan sebesar 19,2 persen. Nilai ekspor tanaman hias Thailand ke pasar Singapura juga mengalami penurunan sebesar 3,12 persen. Namun demikian hal tersebut tidak menurunkan daya saing tanaman hias Thailand di pasar Singapura. Daya saing tanaman hias Thailand di pasar Singapura justru meningkat yang ditunjukkan oleh nilai indeks RCA sebesar 1,402. Hal ini disebabkan oleh penurunan ekspor tanaman hias Thailand lebih rendah dibandingkan penurunan impor tanaman hias Singapura.
Pada tahun 1999 daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Singapura mengalami peningkatan dengan nilai indeks RCA sebesar 12,53. Pangsa nilai ekspor tanaman hias Indonesia juga mengalami peningkatan yang cukup signifikan yakni sebesar 5,1 persen. Ekspor tanaman hias Indonesia meningkat sebesar US$ 2,3 juta dan nilai total ekspor Indonesia turun sebesar US$ 787,8 juta. Sementara itu, impor tanaman hias Singapura meningkat sebesar 5,73 persen.
Daya saing tanaman hias Thailand di pasar Singapura justru mengalami penurunan, dengan nilai indeks RCA sebesar 0,522. Nilai ekspor tanaman hias Thailand turun sebesar 42,5 persen. Pada tahun 1999, daya saing tanaman hias Indonesia di Singapura lebih tinggi dibandingkan dengan Thailand. Pangsa nilai ekspor tanaman hias Indonesia sebesar 5,6 persen, sedangkan pangsa nilai ekspor tanaman hias Thailand sebesar 1,51 persen saja.
Periode 2000-2006
Tahun 2000 nilai indeks RCA kembali mengalami penurunan menjadi 0,43 yang memperlihatkan bahwa daya saing tanaman hias Indonesia di Singapura juga menurun. Nilai ekspor tanaman hias Indonesia turun sebesar US$ 1,2 juta atau 49 persen. Sementara itu nilai impor tanaman hias Singapura meningkat sebesar 5,46 persen. Nilai indeks RCA Thailand mengalami peningkatan dengan nilai sebesar 1,212. Hal ini berarti daya saing tanaman hias Thailand di pasar Singapura mengalami peningkatan. Nilai ekspor tanaman hias Thailand meningkat sebesar 23 persen. Meskipun Indonesia mengalami penurunan nilai ekspor tanaman hias ke Singapura, namun pangsa nilai ekspor tanaman hias Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan Thailand. Pangsa nilai ekspor tanaman hias Indonesia sebesar 2,87 persen, sedangkan Thailand sebesar 1,76 persen.
Pada tahun 2001 daya saing tanaman hias Indonesia mengalami peningkatan. Nilai indeks RCA meningkat menjadi 1,179. Nilai ekspor tanaman hias Indonesia ke Singapura meningkat sebesar 6,6 persen. Disisi lain, impor tanaman hias Singapura justru menurun sebesar 4,61 persen. Daya saing tanaman hias Thailand di pasar Singapura masih menguat dengan nilai indeks RCA sebesar 1,19. Nilai ekspor tanaman hias Thailand meningkat sebesar 16,6 persen. Tahun 2002 daya saing tanaman hias Indonesia mengalami penurunan dengan nilai indeks RCA sebesar 0,756. Nilai ekspor tanaman hias Indonesia menurun sebesar
27 persen. Hal serupa juga terjadi pada nilai impor tanaman hias Singapura yang turun sebesar 2,63 persen. Daya saing tanaman hias Thailand di pasar Singapura juga mengalami penurunan dengan nilai indeks RCA sebesar 0,983. Melemahnya daya saing tanaman hias Thailand dikarenakan peningkatan ekspor tanaman hias diikuti oleh peningkatan yang lebih besar pada total ekspornya. Nilai ekspor tanaman hias Thailand naik sebesar 0,86 persen, sementara nilai total ekspor Thailand ke Singapura naik sebesar 5,8 persen.
Tahun 2003 nilai indeks RCA sebesar 1,198 menunjukkan bahwa daya saing tanaman hias Indonesia mengalami peningkatan. Nilai ekspor tanaman hias Indonesia meningkat sebesar 1,9 persen dan nilai impor tanaman hias Singapura masih mengalami penurunan yakni sebesar 1,43 persen. Nilai indeks RCA Thailand juga mengalami peningkatan menjadi 1,603 yang memperlihatkan bahwa daya saing tanaman hias Thailand di pasar Singapura menguat. Nilai ekspor tanaman hias Thailand meningkat sebesar 42,3 persen.
Tahun 2004 daya saing tanaman hias Indonesia kembali mengalami penurunan. Hal ini ditunjukkan oleh nilai indeks RCA sebesar 0,99. Nilai ekspor Tahun 2004 daya saing tanaman hias Indonesia kembali mengalami penurunan. Hal ini ditunjukkan oleh nilai indeks RCA sebesar 0,99. Nilai ekspor
Daya saing tanaman hias Thailand tahun 2004 masih menguat dengan nilai indeks RCA sebesar 1,684. Nilai ekspor tanaman hias Thailand meningkat sebesar US$ 0,725 juta atau 54,8 persen. Sementara di tahun 2005 daya saing tanaman hias Thailand di pasar Singapura tidak mengalami peningkatan atau penurunan. Hal ini ditunjukkan dari nilai indeks RCA yang bernilai satu. Nilai ekspor tanaman hias Thailand naik sebesar 3,07 persen lebih rendah dari peningkatan impor tanaman hias Singapura.
Pada tahun 2006 periode ini daya saing tanaman hias Indonesia masih melemah dengan nilai indeks RCA sebesar 0,649. Nilai ekspor tanaman hias Indonesia semakin menurun menjadi US$ 648.091 atau turun sebesar 31,3 persen. Disisi lain, nilai impor tanaman hias Singapura meningkat sebesar 11 persen. Indonesia butuh mengekspor tanaman hias senilai US$ 1,04 juta untuk mempertahankan pangsa nilai ekspornya namun realisasinya, nilai ekspor tanaman hias Indonesia lebih rendah dari kebutuhannya.
Thailand mampu mempertahankan daya saing tanaman hiasnya di pasar Singapura. Nilai indeks RCA Thailand meningkat menjadi 1,032 dari periode
sebelumnya. Nilai ekspor tanaman hias Thailand meningkat sebesar 6,48 persen.
Oleh karena peningkatan nilai ekspor Thailand lebih rendah dari peningkatan nilai impor tanaman hias Singapura, maka pangsa nilai ekspor tanaman hias Thailand mengalami penurunan. Daya saing tanaman hias Thailand di pasar Singapura lebih tinggi dibandingkan Indonesia sejak tahun 2004 sampai akhir periode. Nilai ekspor tanaman hias terus menurun sehingga nilainya menjadi kurang dari US$ 1 juta. Pangsa nilai ekspor tanaman hias Indonesia di Singapura cenderung menurun bahkan semakin rendah dibandingkan Thailand. Pangsa nilai ekspor tanaman hias Thailand di Singapura sebesar 4,5 persen, sedangkan pangsa nilai ekspor tanaman hias Indonesia hanya 1,3 persen saja.
Pada periode 2004-2006 tanaman hias Thailand memiliki keunggulan komparatif di pasar Singapura. Pada periode tersebut ekspor tanaman hias Thailand ke Singapura mengalami peningkatan yang cukup signifikan yang juga berdampak pada peningkatan nilai ekspornya. Hal ini diduga karena pada periode tersebut trend tanaman hias yang terjadi adalah Adenium, Euphorbhia dan Aglaonema yang merupakan tanaman hias yang banyak dibudidayakan di Thailand. Dengan demikian ekspor tanaman hias Thailand menjadi meningkat baik ke Singapura maupun ke negara lain.
6.1.4 Analisis Keunggulan Komparatif Tanaman Hias Indonesia dan Thailand di Pasar Amerika Serikat
Komoditi tanaman hias Indonesia di pasar Amerika Serikat tidak mempunyai keunggulan komparatif. Hal ini ditunjukkan oleh hasil estimasi nilai RCA yang berkisar 0,02 sampai 0,232. Indonesia memiliki pangsa ekspor yang relatif kecil di pasar tanaman hias Amerika Serikat. Selama kurun waktu sepuluh Komoditi tanaman hias Indonesia di pasar Amerika Serikat tidak mempunyai keunggulan komparatif. Hal ini ditunjukkan oleh hasil estimasi nilai RCA yang berkisar 0,02 sampai 0,232. Indonesia memiliki pangsa ekspor yang relatif kecil di pasar tanaman hias Amerika Serikat. Selama kurun waktu sepuluh
Komoditi tanaman hias Thailand di pasar Amerika Serikat juga tidak mempunyai keunggulan komparatif yang cukup baik. Namun pada periode 2005 dan 2006 perolehan nilai RCA Thailand meningkat menjadi lebih dari satu. Hal ini berarti, pada periode akhir kinerja ekspor tanaman hias Thailand mengalami peningkatan. Perolehan nilai RCA Thailand berkisar antara 0,33 sampai 1,105. Hasil perolehan nilai RCA dan indeks RCA Indonesia dan Thailand dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Keunggulan Komparatif Tanaman Hias Indonesia dan Thailand di Pasar Amerika Serikat Tahun 1996-2006
Tahun
Thailand RCA
Indonesia
Indeks RCA
RCA Indeks RCA
0,525 - 1997
Analisis yang lebih spesifik berdasarkan masing-masing periode dapat dijelaskan sebagai berikut :
Periode 1996-1999
Nilai indeks RCA tanaman hias Indonesia tahun 1997 sebesar 0,055. Hal ini menunjukkan bahwa daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Amerika Serikat relatif rendah. Nilai ekspor tanaman hias Indonesia turun sebesar 45 persen, sementara itu nilai impor tanaman hias Amerika Serikat meningkat sebesar 7,67 persen. Daya saing tanaman hias Thailand di pasar Amerika Serikat juga mengalami penurunan yang ditunjukkan dari penurunan nilai RCA menjadi 0,46 dan nilai indeks RCA sebesar 0,876. Nilai ekspor tanaman hias Thailand turun sebesar 4,9 persen.
Tahun 1998 nilai indeks RCA Indonesia mengalami peningkatan menjadi sebesar 2,455. Hal ini berarti diduga telah terjadi peningkatan pangsa pasar tanaman hias Indonesia di pasar Amerika Serikat. Kondisi Indonesia yang berada dalam krisis ekonomi justru meningkatkan semangat para pengusaha tanaman hias untuk mengekspor tanaman hias ke Amerika Serikat. Nilai tukar mata uang USD yang terapresiasi terhadap Rupiah akan menguntungkan eksportir tanaman hias karena berimplikasi pada perolehan nilai ekspor yang tinggi. Nilai ekspor tanaman hias Indonesia meningkat sebesar 157 persen. Sementara itu nilai impor tanaman hias Amerika Serikat meningkat sebesar 5,96 persen. Nilai indeks RCA Thailand pada tahun 1998 justru mengalami penurunan yang ditunjukkan dari nilai indeks RCA sebesar 0,717. Nilai ekspor tanaman hias Thailand turun sebesar US$ 1,8 juta atau 23 persen. Nilai ekspor tanaman hias Thailand berada di bawah Tahun 1998 nilai indeks RCA Indonesia mengalami peningkatan menjadi sebesar 2,455. Hal ini berarti diduga telah terjadi peningkatan pangsa pasar tanaman hias Indonesia di pasar Amerika Serikat. Kondisi Indonesia yang berada dalam krisis ekonomi justru meningkatkan semangat para pengusaha tanaman hias untuk mengekspor tanaman hias ke Amerika Serikat. Nilai tukar mata uang USD yang terapresiasi terhadap Rupiah akan menguntungkan eksportir tanaman hias karena berimplikasi pada perolehan nilai ekspor yang tinggi. Nilai ekspor tanaman hias Indonesia meningkat sebesar 157 persen. Sementara itu nilai impor tanaman hias Amerika Serikat meningkat sebesar 5,96 persen. Nilai indeks RCA Thailand pada tahun 1998 justru mengalami penurunan yang ditunjukkan dari nilai indeks RCA sebesar 0,717. Nilai ekspor tanaman hias Thailand turun sebesar US$ 1,8 juta atau 23 persen. Nilai ekspor tanaman hias Thailand berada di bawah
Pada tahun 1999 daya saing tanaman hias Indonesia mengalami peningkatan meskipun masih relatif rendah dengan nilai RCA sebesar 0,109. Di sisi lain nilai RCA tanaman hias Thailand di Amerika Serikat lebih besar dengan nilai 0,384. Ekspor tanaman hias Indonesia meningkat menjadi senilai US$ 906.596 sedangkan ekspor tanaman hias Thailand mencapai US$ 5,8 juta.
Periode 2000-2006
Kinerja ekspor tanaman hias Indonesia di pasar Amerika Serikat mengalami peningkatan sehingga daya saing tanaman hias Indonesia meningkat dan terjadi peningkatan pangsa pasar. Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan nilai RCA dan nilai indeks RCA sebesar 1,128 di tahun 2000. Nilai ekspor tanaman hias Indonesia periode ini sebesar US$ 1,1 juta atau meningkat sebesar 24 persen. Kinerja ekspor tanaman hias Thailand di pasar Amerika Serikat juga mengalami peningkatan. Tahun ini nilai indeks RCA Thailand sebesar 1,320 yang artinya telah terjadi peningkatan daya saing dan pangsa pasar tanaman hias Thailand. Ekspor tanaman hias Thailand meningkat senilai US$ 2,2 juta atau 37,6 persen. Sementara itu nilai impor tanaman hias Amerika Serikat meningkat sebesar 6,3 persen.
Pada tahun 2001 daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Amerika Serikat masih menguat seperti tahun sebelumnya. Nilai indeks RCA sebesar 1,308 menunjukkan bahwa Indonesia mampu meningkatkan pangsa pasar tanaman hias di Amerika Serikat. Peningkatan pangsa pasar tanaman hias di Amerika Serikat juga terjadi pada negara Thailand yang ditunjukkan oleh nilai indeks RCA sebesar
1,27. Tahun 2002 nilai indeks RCA Indonesia masih berkisar lebih besar dari satu yakni sebesar 1,255 yang artinya Indonesia mampu meningkatkan daya saing serta pangsa pasar tanaman hias di pasar Amerika Serikat. Sejalan dengan Indonesia, Thailand juga mampu meningkatkan daya saing serta pangsa pasar tanaman hias di Amerika Serikat. Ekspor tanaman hias Thailand meningkat sebesar 18,6 persen menjadi US$ 11,4 juta.
Pada tahun 2003 daya saing tanaman hias Indonesia mengalami penurunan yang ditunjukkan dari nilai indeks RCA sebesar 0,832. Kinerja ekspor tanaman hias Indonesia ke pasar Amerika Serikat mengalami penurunan sebesar 17,7 persen yang mengakibatkan terjadi penurunan pangsa nilai ekspor. Disisi lain, impor tanaman hias Amerika Serikat meningkat sebesar 10,09 persen. Nilai ekspor tanaman hias Indonesia sebesar US$ 1,3 juta, sedangkan kebutuhan ekspor untuk tetap mempertahankan pangsanya yakni senilai US$ 1,8 juta. Daya saing tanaman hias Thailand masih mengalami peningkatan dengan nilai indeks RCA sebesar 1,196. Kinerja ekspor tanaman hias Thailand meningkat sebesar US$ 2,5 juta atau 22,5 persen. Nilai ekspor tanaman hias Thailand mencapai US$ 13,9 juta, sementara kebutuhan ekspornya sebesar US$ 12,5 juta.
Tahun 2004 kinerja ekspor tanaman hias Indonesia meningkat sebesar 42,5 persen sehingga daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Amerika Serikat kembali menguat. Pangsa pasar tanaman hias Indonesia mengalami peningkatan yang ditunjukkan oleh nilai indeks RCA sebesar 1,042. Sebaliknya, daya saing tanaman hias Thailand di pasar Amerika Serikat mengalami penurunan. Nilai indeks RCA Thailand sebesar 0,78. Nilai ekspor tanaman hias Thailand Tahun 2004 kinerja ekspor tanaman hias Indonesia meningkat sebesar 42,5 persen sehingga daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Amerika Serikat kembali menguat. Pangsa pasar tanaman hias Indonesia mengalami peningkatan yang ditunjukkan oleh nilai indeks RCA sebesar 1,042. Sebaliknya, daya saing tanaman hias Thailand di pasar Amerika Serikat mengalami penurunan. Nilai indeks RCA Thailand sebesar 0,78. Nilai ekspor tanaman hias Thailand
Tahun 2005 daya saing tanaman hias Indonesia kembali mengalami peningkatan. Nilai indeks RCA Indonesia sebesar 1,326 menunjukkan bahwa Indonesia telah mampu meningkatkan kembali pangsa pasarnya. Kinerja ekspor tanaman hias Indonesia meningkat sebesar 9,4 persen menjadi senilai US$ 2,15 juta. Daya saing tanaman hias Thailand juga masih menguat dengan nilai RCA 1,046. Artinya, Thailand memiliki keunggulan komparatif cukup baik untuk komoditi tanaman hias di Amerika Serikat.
Pada akhir periode, daya saing tanaman hias Indonesia justru mengalami penurunan. Nilai indeks RCA Indonesia yakni sebesar 0,978. Hal ini diakibatkan peningkatan nilai ekspor tanaman hias Indonesia diikuti oleh peningkatan yang lebih besar pada total ekspornya. Nilai ekspor tanaman hias Indonesia meningkat sebesar 6,1 persen, sementara peningkatan total ekspor Indonesia sebesar 13,8 persen. Daya saing tanaman hias Thailand masih menguat dengan nilai indeks RCA sebesar 1,056. Kinerja ekspor tanaman hias Thailand meningkat sebesar 16 persen. Sementara itu peningkatan impor tanaman hias Amerika Serikat hanya sebesar 5,55 persen. Nilai RCA Thailand masih berkisar lebih dari satu, artinya Thailand masih memiliki keunggulan komparatif yang cukup baik untuk komoditi tanaman hias di pasar Amerika Serikat.
6.1.5 Analisis Keunggulan Komparatif Tanaman Hias Indonesia dan Thailand di Pasar Belanda
Indonesia tidak mempunyai keunggulan komparatif untuk komoditi tanaman hias di pasar Belanda. Hal ini ditunjukkan oleh hasil estimasi nilai RCA Indonesia tidak mempunyai keunggulan komparatif untuk komoditi tanaman hias di pasar Belanda. Hal ini ditunjukkan oleh hasil estimasi nilai RCA
Komoditi tanaman hias Thailand di pasar Belanda juga tidak mempunyai keunggulan komparatif. Nilai estimasi RCA Thailand berkisar antara 0,145 sampai 0,676. Pangsa ekspor tanaman hias Thailand di Belanda juga kurang dari satu selama periode sepuluh tahun. Namun, pangsa nilai ekspor tanaman hias Thailand lebih besar dibandingkan Indonesia. Indonesia dan Thailand tidak memiliki keunggulan komparatif untuk ekspor tanaman hias ke Belanda. Kontribusi nilai ekspor tanaman hias Indonesia terhadap nilai total ekspor ke Belanda sangat kecil. Dengan demikian Indonesia tidak memiliki daya saing untuk ekspor tanaman hias ke Belanda. Jika dibandingkan dengan Indonesia, nilai ekspor tanaman hias Thailand ke Belanda lebih besar, namun hal ini juga tidak menjadikan Thailand memiliki keunggulan komparatif di Belanda. Belanda merupakan negara yang sangat maju dalam pembudidayaan tanaman hias di dunia. Belanda menguasai pasar tanaman hias dunia dengan tingkat produksi dan ekspor tanaman hias yang sangat tinggi. Selain itu Uni Eropa menetapkan syarat yang sangat ketat untuk tanaman hias yang akan diperdagangkan. Dengan demikian patut diduga bahwa untuk memasuki pasar tanaman hias Belanda relatif lebih sulit dibandingkan ke negara lainnya. Hasil perolehan nilai RCA dan indeks RCA Indonesia dan Thailand dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Keunggulan Komparatif Tanaman Hias Indonesia dan Thailand di Pasar Belanda Tahun 1996-2006
Tahun
Thailand RCA
Indonesia
Indeks RCA
RCA Indeks RCA
Analisis yang lebih spesifik berdasarkan masing-masing periode dapat dijelaskan sebagai berikut :
Periode 1996-1999
Pada tahun 1997 nilai indeks RCA Indonesia sebesar 0,138. Hal ini memperlihatkan bahwa daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Belanda melemah. Kinerja ekspor tanaman hias Indonesia menurun sebesar 84,4 persen. Sementara itu, nilai impor tanaman hias Belanda naik sebesar 5,56 persen. Nilai indeks RCA Thailand sebesar 0,94. Daya saing tanaman hias Thailand juga melemah di pasar tanaman hias Belanda. Kinerja ekspor tanaman hias Thailand turun sebesar 1,04 persen.
Tahun 1998 daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Belanda menguat meskipun masih relatif rendah karena nilai RCA bernilai kurang dari satu. Nilai indeks RCA meningkat menjadi sebesar 28,33 yang menunjukkan bahwa pangsa pasar tanaman hias Indonesia mengalami peningkatan. Kinerja ekspor tanaman hias Indonesia naik senilai US$ 361.717 atau lebih dari 2000 persen. Nilai indeks RCA Thailand sebesar 1,264 yang berarti daya saing tanaman hias Thailand di Tahun 1998 daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Belanda menguat meskipun masih relatif rendah karena nilai RCA bernilai kurang dari satu. Nilai indeks RCA meningkat menjadi sebesar 28,33 yang menunjukkan bahwa pangsa pasar tanaman hias Indonesia mengalami peningkatan. Kinerja ekspor tanaman hias Indonesia naik senilai US$ 361.717 atau lebih dari 2000 persen. Nilai indeks RCA Thailand sebesar 1,264 yang berarti daya saing tanaman hias Thailand di
Tahun 1999 kinerja ekspor tanaman hias Indonesia kembali meningkat, yang ditunjukkan dari peningkatan nilai indeks RCA menjadi 4,941. Peningkatan nilai ekspor tanaman hias Indonesia lebih besar dari peningkatan impor tanaman hias Belanda yakni sebesar 3,71 persen. Nilai ekspor tanaman hias Indonesia naik sebesar US$ 1,46 juta atau 388 persen. Daya saing tanaman hias Thailand di pasar Belanda justru melemah dengan nilai indeks RCA sebesar 0,214. Kinerja ekspor tanaman hias Thailand turun sebesar US$ 2 juta atau 57,7 persen.
Periode 2000-2006
Daya saing tanaman hias Indonesia melemah di tahun 2000. Nilai indeks RCA Indonesia turun menjadi 0,489 yang artinya Indonesia mengalami penurunan pangsa pasar. Kinerja ekspor tanaman hias Indonesia turun sebesar 42,3 persen. Disisi lain, nilai impor tanaman hias Belanda naik 3,2 persen. Daya saing tanaman hias Thailand di pasar Belanda menguat dengan nilai indeks RCA sebesar 1,428. Kinerja ekspor tanaman hias Thailand naik 45 persen yang nilainya menjadi US$ 2,18 juta. Tahun 2001 nilai indeks RCA Indonesia meningkat menjadi sebesar 1,496. Artinya, Indonesia telah mampu meningkatkan pangsa pasar tanaman hias di Belanda dari tahun sebelumnya. Kinerja ekspor tanaman hias Indonesia naik sebesar 26,5 persen. Nilai ekspor tanaman hias Indonesia meningkat menjadi US$ 1,34 juta. sementara itu daya saing tanaman hias Thailand masih menguat yang ditunjukkan dengan nilai indeks RCA sebesar 1,043.
Pada tahun 2002 daya saing tanaman hias Indonesia mengalami penurunan. Nilai indeks RCA sebesar 0,522 yang berarti diduga pangsa pasar
tanaman hias Indonesia juga mengalami penurunan. Nilai ekspor tanaman hias Indonesia turun sebesar 35,5 persen, sedangkan nilai impor tanaman hias Belanda naik sebesar 13 persen. Nilai indeks RCA Thailand sebesar 1,46. Hal ini menunjukkan bahwa daya saing tanaman hias Thailand masih menguat di pasar Belanda. Nilai ekspor tanaman hias Thailand meningkat sebesar 54,5 persen. Tahun 2003 daya saing tanaman hias Indonesia di pasar Belanda kembali menguat yang ditunjukkan dengan nilai indeks RCA sebesar 1,896. Kinerja ekspor tanaman hias Indonesia meningkat lebih besar yakni 47,9 persen sedangkan nilai impor tanaman hias Belanda hanya meningkat sebesar 16,36 persen. Di tahun yang sama nilai indeks RCA Thailand sebesar satu yang artinya tidak terjadi peningkatan maupun penurunan daya saing tanaman hias Thailand di pasar Belanda.
Pada tahun 2004 daya saing tanaman hias Indonesia melemah yang ditunjukkan oleh nilai indeks RCA sebesar 0,577. Kinerja ekspor tanaman hias Indonesia turun sebesar 25,3 persen, sedangkan impor tanaman hias Belanda naik 24,9 persen. Daya saing tanaman hias Thailand di pasar Belanda juga mengalami penurunan dengan nilai indeks RCA sebesar 0,86. Nilai ekspor tanaman hias Thailand turun sebesar 5,13 persen. Selanjutnya, ditahun 2005 daya saing tanaman hias Indonesia kembali mengalami peningkatan dengan nilai indeks RCA sebesar 1,086. Kinerja ekspor tanaman hias Indonesia meningkat sebesar 61 persen dan impor tanaman hias Belanda meningkat sebesar 30,5 persen. Thailand juga mengalami peningkatan daya saing tanaman hias di pasar Belanda. Nilai indeks RCA Thailand sebesar 1,073, yang artinya Thailand mampu meningkatkan pangsa pasar tanaman hias di Belanda dari tahun sebelumnya.
Di akhir periode, daya saing tanaman hias Indonesia masih menguat dengan nilai RCA sebesar 0,218. Nilai indeks RCA Indonesia sebesar 1,912, yang artinya pangsa pasar Indonesia mengalami peningkatan. Kinerja ekspor tanaman hias Indonesia naik sebesar 50,6 persen, sementara impor tanaman hias Belanda turun sebesar 23,74 persen. Indonesia butuh megekspor tanaman hias senilai US$ 1,17 juta untuk mempertahankan pangsa nilai ekspornya. Sementara itu, Indonesia mampu mengekspor tanaman hias hingga mencapai US$ 2,3 juta. Hal ini berarti, Indonesia mampu meningkatkan pangsa nilai ekspor tanaman hias senilai US$ 1,14 juta. Daya saing Thailand juga kembali menguat di akhir periode ini. Nilai RCA Thailand sebesar 0,333 dan nilai indeks RCA sebesar 1,140. Kinerja ekspor tanaman hias Thailand menurun sebesar 11,8 persen. Oleh karena penurunan impor tanaman hias Belanda lebih besar dari penurunan ekspor tanaman hias Thailand, maka Thailand tidak mengalami penurunan daya saing.
6.2 Aliran Perdagangan Ekspor Anggrek Indonesia ke Negara Tujuan
Aliran perdagangan ekspor anggrek Indonesia ke negara tujuan pada penelitian ini dianalisis dengan menggunakan gravity model. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor- faktor yang mempengaruhi ekspor anggrek Indonesia ke negara tujuan. Pengolahan data panel dalam penelitian ini, dilakukan dengan menggunakan metode pooled OLS dan fixed effect. Hal ini karena jumlah cross section lebih sedikit daripada jumlah variabel yang digunakan dalam model sehingga metode random effect tidak dapat dilakukan. Secara umum gravity model aliran perdagangan ekspor anggrek Indonesia yang dilakukan telah memenuhi beberapa asumsi seperti multikoleniaritas, heteroskedastisitas dan autokolerasi.
Kondisi terjadinya multikolinearitas ditunjukkan dengan menghitung koefisien korelasi antar variabel independen. Apabila koefisiennya rendah, maka tidak terdapat multikolinearitas. Dari perolehan nilai hasil estimasi, terlihat bahwa nilai R² cukup besar (>0.8) dan hanya terdapat satu koefisien dugaan yang tidak berpengaruh nyata, sehingga patut diduga adanya hubungan linear antar variabel. Multikolinearitas dapat diatasi dengan memberi perlakuan GLS (cross section weights ), sehingga parameter dugaan pada taraf uji tertentu menjadi signifikan.
Asumsi selanjutnya yang telah dipenuhi adalah heteroskedastisitas. Heteroskedasitas ditunjukkan dengan ragam yang tidak konstan. Untuk melihat kehomogenan ragam dapat dilakukan dengan uji Barlett. Selain itu dapat pula dideteksi dengan membandingkan sum square residual pada weighted statistics dengan sum square residual unweigthed statistics. Apabila sum square residual pada weighted statistics lebih kecil dibandingakan sum square residual unweigthed statistics maka dapat disimpulkan terjadi heteroskedasitas. Berdasarkan perolehan hasil nilai estimasi, dapat dilihat bahwa pada taraf nyata lima persen, nilai P-value kurang dari lima persen yang berarti bahwa ragam tidak homogen (terjadi heteroskedasitas).
Untuk mengetahui ada atau tidaknya autokolerasi dapat dilakukan dengan uji Durbin Watson (DW) yang dapat dilihat pada hasil output estimasi data panel. Berdasarkan hasil output estimasi dengan metode pooled OLS maupun fixed effect , dapat dilihat bahwa tidak terdapat autokorelasi. Ini terlihat pada output pooled OLS dimana nilai DW sebesar 1.69 serta pada output fixed effect nilai DW sebesar 2.02. Kedua nilai tersebut berada dalam selang 1,56-2,46 yang artinya tidak ada autokorelasi.
6.2.1 Analisis Regresi Gravity Model Aliran Perdagangan Ekspor Anggrek Indonesia ke Negara Tujuan
Untuk mengetahui metode yang terbaik diantara keduanya dalam mengestimasi aliran perdagangan ekspor anggrek Indonesia di negara tujuan maka perlu dilakukan pengujian kesesuaian model dengan Chow Test (uji F) yang perhitungannya adalah sebagai berikut.
Chow test
Ho: Model PLS (Restricted) H1 : Model Fixed Effect (Unrestricted)
(RRSS-URSS)/(N-1)
F hitung =
URSS/(NT-N-K)
Dimana: RSSS = Restricted Residual Sum Square (Sum Square Residual PLS) URSS = Unrestricted Residual Sum Square (Sum Square Residual Fixed) N = Jumlah data cross section T = Jumlah data time series K = Jumlah variabel penjelas
F hitung = (132,2102-99,2724)/(5-1) = 3,65
99,2724/(5 X 11-5-6)
Ftabel = F (4,44) = berkisar antara 2,53 – 2,61 Hasil Chow Test dari metode pooled OLS dan metode fixed effect menghasilkan nilai Fhitung sebesar 3,65 sedangkan nilai F tabel yang diperoleh berkisar diantara 2,53-2,61. Dari perhitungan tersebut, maka dapat disimpulkan tolak Ho, yang berarti bahwa metode fixed effect merupakan metode yang sesuai
dalam gravity model aliran perdagangan ekspor anggrek Indonesia ke negara tujuan. Estimasi gravity model yang menggunakan metode fixed effect telah diberi bobot dengan estimasi GLS dan white heteroscedacity untuk menghilangkan adanya heteroskedasitas. Dari hasil output estimasi diketahui bahwa variabel independent atau peubah bebas yang berpengaruh nyata terhadap aliran perdagangan ekspor anggrek Indonesia ke negara tujuan berdasarkan nilai probabilitas yang diperoleh pada selang kepercayaan 95 persen (taraf nyata lima persen) adalah pendapatan per kapita di negara tujuan, waktu tempuh dari Indonesia ke negara tujuan, populasi negara tujuan, biaya transportasi dari Indonesia ke negara tujuan dan nilai tukar mata uang asing negara tujuan. Sedangkan variabel yang tidak signifikan pada selang kepercayaan 95 persen adalah harga anggrek Indonesia yang diekspor ke negara tujuan. Hasil estimasi dari pengolahan regresi gravity model dengan fixed effect sebagai berikut :
Tabel 14. Hasil Pengolahan Gravity Model Dengan Menggunakan Metode Pooled OLS
0.0011 Log(Waktu Tempuh) * -0.01563 0.0000
Log(Pendapatan per Kapita) * 0.22737 0.0000 Log(Populasi) * -0.29735 0.0000
Log(Harga Anggrek Negara Tujuan)
0.7412 Log(Harga Anggrek Indonesia) * -0.06965 0.0000
Log(Nilai Tukar USD di Negara Tujuan) * 1.42956 0.0000 Fixed Effects (Cross)
_JPN—C
Adjusted R-squared
Catatan: * Signifikan pada taraf nyata 5 persen
Berdasarkan hasil analisis regresi gravity model aliran perdagangan ekspor anggrek Indonesia ke negara tujuan dengan metode fixed effect diperoleh persamaan :
d d d Log(X d
ij ) = 31.073 + C - 0.015*log(D ij ) + 0.227*log(Y j ) - 0.297*log(N j )
j ) - 0.069*log(P i ) – 1.429*log(ER j ) Ket : d = dummy untuk negara Jepang, Korea, Singapura, Belanda dan Amerika Serikat.
d d -0.346*log(P d
Berdasarkan hasil estimasi output pada Tabel 14 menunjukkan bahwa yang mempengaruhi aliran perdagangan anggrek Indonesia ke negara tujuan adalah waktu tempuh, pendapatan perkapita, populasi, harga anggrek Indonesia dan nilai tukar mata uang USD terhadap negara tujuan. Nilai koefisien
determinasi (R 2 ) yang diperoleh dari metode fixed effect adalah sebesar 84,2 persen. Hal ini menunjukkan bahwa 84,2 persen perubahan volume ekspor
anggrek yang diperdagangkan dari Indonesia ke negara tujuan dapat diterangkan oleh variasi peubah-peubah bebas dalam model, sedangkan sisanya diterangkan oleh faktor-faktor lain yang tidak terdapat dalam model.
6.2.2 Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Aliran Perdagangan Ekspor Anggrek Indonesia Ke Negara Tujuan
Waktu Tempuh (D ij )
Variabel waktu tempuh dalam gravity model merupakan proksi dari jarak antar negara yang melakukan perdagangan. Lamanya waktu tempuh pengiriman ekspor anggrek terhitung mulai dari barang dikirim sampai dengan tiba di negara tujuan melalui jalur laut. Variabel waktu tempuh memiliki nilai koefisien -0,0156 yang berarti setiap penambahan waktu tempuh antara Indonesia dengan negara tujuan ekspor maka akan menurunkan volume ekspor anggrek sebesar 0,0156 satuan, cateris paribus. Selain berpengaruh negatif, variabel jarak juga signifikan Variabel waktu tempuh dalam gravity model merupakan proksi dari jarak antar negara yang melakukan perdagangan. Lamanya waktu tempuh pengiriman ekspor anggrek terhitung mulai dari barang dikirim sampai dengan tiba di negara tujuan melalui jalur laut. Variabel waktu tempuh memiliki nilai koefisien -0,0156 yang berarti setiap penambahan waktu tempuh antara Indonesia dengan negara tujuan ekspor maka akan menurunkan volume ekspor anggrek sebesar 0,0156 satuan, cateris paribus. Selain berpengaruh negatif, variabel jarak juga signifikan
Dalam hal ini, waktu tempuh merupakan hambatan pada kinerja ekspor anggrek Indonesia ke negara tujuan. Semakin jauh jarak antar kedua negara berimplikasi terhadap biaya pengiriman yang harus ditanggung. Selain itu pengiriman anggrek melalui jalur laut berarti semakin membutuhkan waktu yang lama, maka teknologi yang digunakan pun akan semakin tinggi, seperti menggunakan kotak pendingin atau perlakuan khusus agar kualitas anggrek tetap terjaga. Variabel waktu tempuh dapat dipengaruhi oleh Indonesia, artinya Indonesia dapat beralih sarana transportasi untuk ekspor anggrek seperti menggunakan jalur udara. Namun pengiriman ekspor anggrek melalui jalur udara akan menurunkan daya saing anggrek itu sendiri karena harga anggrek Indonesia di negara tujuan akan lebih mahal karena biaya pengiriman ekspor melalui jalur udara lebih besar.
GDP Per Kapita Negara Tujuan
Sebagai ukuran ekonomi suatu negara, GDP per kapita yang nilainya besar maka mengindikasikan semakin besar peluang kemampuan dari negara tersebut untuk menyerap produk yang dihasilkan oleh negara pengekspor. Dari hasil estimasi regresi gravity model menunjukkan variabel GDP per kapita negara tujuan (Y j ) memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan volume ekspor anggrek Indonesia. GDP per kapita negara tujuan berpengaruh positif dengan nilai koefisien 0.227. Jika pendapatan per kapita di negara tujuan meningkat sebesar satu satuan maka volume ekspor anggrek yang diperdagangkan dari Indonesia ke negara tujuan akan mengalami peningkatan sebesar 0.227 satuan, cateris paribus.
Apabila terjadi peningkatan GDP per kapita dari salah satu negara tujuan ekspor anggrek Indonesia, maka hal ini akan berdampak pada peningkatan ekspor anggrek Indonesia. Hasil ini sesuai dengan hipotesis yang ditetapkan pada kerangka pemikiran penelitian, dimana diharapkan variabel GDP per kapita negara tujuan ekspor berpengaruh positif pada peningkatan ekspor anggrek Indonesia. Dapat dikatakan juga bahwa dengan meningkatnya GDP per kapita suatu negara, maka peluang daya beli masyarakat akan meningkat termasuk kemampuan membeli komoditi anggrek. Mengingat kebutuhan akan tanaman hias merupakan kebutuhan tersier dan harga jual tanaman hias di pasar bervariasi menurut jenisnya, maka diasumsikan bahwa pasar tanaman hias terutama anggrek secara umum adalah masyarakat kelas menengah atas. Dengan demikian variabel GDP per kapita negara tujuan menjadi variabel yang penting dalam model aliran perdagangan ini, namun variabel ini tidak dapat dipengaruhi oleh Indonesia. Pendapatan per kapita negara tujuan merupakan faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor anggrek Indonesia, oleh karena itu hal ini dapat dijadikan strategi oleh para eksportir untuk memperluas pasarnya.
Populasi Negara Tujuan (N j )
Jumlah populasi di negara tujuan berpengaruh negatif dan signifikan pada taraf lima persen terhadap aliran perdagangan ekspor anggrek Indonesia ke negara tujuan. Nilai koefisien populasi negara tujuan adalah sebesar -0.297 yang artinya setiap penambahan jumlah populasi negara tujuan maka akan mengakibatkan penurunan ekspor anggrek ke negara tujuan sebesar 0,297 satuan, cateris paribus. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis yang diharapkan bahwa populasi akan berpengaruh positif terhadap ekspor anggrek Indonesia ke negara tujuan.
Jumlah populasi suatu negara merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi jumlah komoditas yang dibeli. Namun fakta yang terjadi justru sebaliknya, negara yang mempunyai populasi cukup besar memiliki jumlah impor anggrek Indonesia yang lebih rendah dibandingkan negara dengan populasi lebih kecil. Hal ini kemungkinan terjadi karena negara tujuan ekspor anggrek Indonesia yang memiliki jumlah populasi tinggi berada pada jarak yang jauh sehingga membutuhkan waktu tempuh yang cukup lama dalam pengiriman ekspor anggrek Indonesia.
Harga Anggrek Indonesia
Harga anggrek Indonesia berpengaruh negatif dengan nilai koefisien sebesar -0.069. Hal ini berarti kenaikan harga anggrek Indonesia sebesar satu satuan akan menurunkan volume anggrek yang diperdagangkan, cateris paribus. Hasil yang diperoleh sesuai dengan hipotesis yang diharapkan bahwa jika harga anggrek Indonesia lebih mahal dibandingkan dengan harga di negara tujuan maka anggrek Indonesia tidak memiliki daya saing terhadap anggrek dari negara lain. Dengan demikian hal tersebut akan berdampak pada penurunan kuantitas ekspor anggrek Indonesia ke negara tujuan.
Variabel harga anggrek Indonesia dalam aliran perdagangan anggrek ke negara tujuan dapat dipengaruhi oleh eksportir maupun pengusaha anggrek dari dalam negeri. Para pengusaha anggrek dalam negeri dapat memperluas skala usaha maupun efisiensi produksi sehingga dapat menekan harga anggrek, sehingga diharapkan anggrek Indonesia memiliki harga yang bersaing di pasar internasional.
Nilai Tukar USD Negara Tujuan (ER j )
Nilai tukar yang digunakan dalam aliran perdagangan ekspor anggrek Indonesia adalah nilai tukar mata uang Dollar Amerika Serikat terhadap negara tujuan. Berdasarkan hipotesis yang diharapkan, nilai tukar mata uang USD berpengaruh positif terhadap ekspor anggrek Indonesia ke negara tujuan. Hal ini sesuai dengan parameter yang diharapkan. Variabel nilai tukar berpengaruh positif dan signifikan pada taraf lima persen dengan nilai koefisien sebesar 1.429. Hal ini berarti setiap terjadi peningkatan nilai tukar USD terhadap mata uang negara tujuan maka akan meningkatkan ekspor anggrek ke negara tujuan sebesar 1.429 satuan, cateris paribus.
Nilai tukar USD yang tinggi terhadap mata uang negara tujuan maka akan meningkatkan keuntungan bagi eksportir Indonesia karena memperoleh peningkatan nilai ekspornya. Dengan demikian para eksportir akan berupaya untuk meningkatkan kuantitas ekspor anggrek ke negara yang memiliki nilai tukar yang relatif besar terhadap USD. Variabel nilai tukar mata uang USD terhadap mata uang negara tujuan merupakan faktor yang mempengaruhi penawaran ekspor anggrek Indonesia, sehingga variabel ini tidak dapat dipengaruhi. Akan tetapi variabel ini dapat menjadi penentuan strategi bagi eksportir untuk perluasan pasarnya.
Berdasarkan data yang diperoleh, negara tujuan ekspor yang memiliki nilai tukar relatif lebih tinggi terhadap USD adalah Korea dan Jepang. Hal ini sesuai dengan perolehan nilai ekspor tanaman hias Indonesia ke kedua negara tersebut merupakan nilai tertinggi dibandingkan ke negara tujuan lainnya. Dengan demikian, Korea dan Jepang dapat dikatakan sebagai negara yang mempunyai potensi besar untuk usaha peningkatan ekspor tanaman hias Indonesia terutama Berdasarkan data yang diperoleh, negara tujuan ekspor yang memiliki nilai tukar relatif lebih tinggi terhadap USD adalah Korea dan Jepang. Hal ini sesuai dengan perolehan nilai ekspor tanaman hias Indonesia ke kedua negara tersebut merupakan nilai tertinggi dibandingkan ke negara tujuan lainnya. Dengan demikian, Korea dan Jepang dapat dikatakan sebagai negara yang mempunyai potensi besar untuk usaha peningkatan ekspor tanaman hias Indonesia terutama
6.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Daya Saing Tanaman Hias Indonesia Dan Aliran Perdagangan Ekspor Anggrek Indonesia
Dalam industri tanaman hias di Indonesia banyak faktor yang mempengaruhi terciptanya komoditi tanaman hias yang mempunyai daya saing tinggi. Faktor-faktor tersebut juga diduga menjadi faktor lain yang tidak dapat dijelaskan oleh model aliran perdagangan ekspor anggrek Indonesia ke negara tujuan. Berdasarkan hasil regresi model aliran perdagangan ekspor anggrek Indonesia ke negara tujuan, diperoleh nilai koefisien determinasi R² sebesar 84,2 persen. Artinya, sebesar 84,2 persen perubahan volume perdagangan anggrek Indonesia ke lima negara tujuan dapat diterangkan oleh faktor-faktor di dalam model, sedangkan 15,8 persen faktor lainnya tidak dapat dijelaskan oleh model. Berdasarkan berbagai informasi yang diperoleh baik berupa literatur maupun hasil diskusi dengan eksportir dan pengusaha tanaman hias, maka diperoleh beberapa faktor yang mempengaruhi ekspor anggrek serta mengakibatkan rendahnya daya saing tanaman hias Indonesia di pasar internasional. Berikut ini adalah beberapa faktor yang mempengaruhi daya saing tanaman hias Indonesia dan ekspor anggrek Indonesia ke negara tujuan antara lain :
Kebijakan Pemerintah
Kebijakan pemerintah untuk perdagangan dan investasi di bidang tanaman hias belum banyak membantu pelaku usaha dalam pengembangan agribisnis tanaman hias. Kebijakan penurunan tarif impor produk hortikultura sebesar lima persen dan benih sebesar nol persen menyebabkan komoditi tanaman hias terutama anggrek Indonesia kalah bersaing dengan negara lain. Sementara itu tarif Kebijakan pemerintah untuk perdagangan dan investasi di bidang tanaman hias belum banyak membantu pelaku usaha dalam pengembangan agribisnis tanaman hias. Kebijakan penurunan tarif impor produk hortikultura sebesar lima persen dan benih sebesar nol persen menyebabkan komoditi tanaman hias terutama anggrek Indonesia kalah bersaing dengan negara lain. Sementara itu tarif
tanaman hias umumnya mengalami kendala dalam permodalan. 14 Pemerintah Thailand menaruh perhatian yang cukup besar terhadap
komoditi pertanian, terutama hortikultura. Para pengusaha hortikultura diberikan kemudahan untuk memperoleh fasilitas kredit dan fasilitas lainnya yang menunjang bisnis tersebut. Di Indonesia sendiri, pemerintah sudah mengalokasikan dana untuk memberikan kredit yang murah bagi produsen anggrek. Namun demikian kredit yang diberikan untuk produsen tanaman hias jumlahnya masih relatif lebih kecil dibandingkan dengan kredit untuk sektor usaha lainnya. Fasilitas kredit yang terbatas bagi produsen tanaman hias mengakibatkan dalam hal perolehannya dinilai sangat sulit oleh sebagian pengusaha tanaman hias. Di lain pihak, untuk melakukan penelitian, percobaan, persilangan dan pembibitan diperlukan biaya yang besar. Maka hanya beberapa produsen saja yang mampu dengan biaya sendiri melakukan usaha seperti itu.
Penelitian
Kurangnya perhatian pemerintah terhadap lembaga penelitian tanaman hias merupakan salah satu permasalahan yang menyebabkan industri tanaman hias
Indonesia sulit untuk berkembang. 15 Hal ini sangat bertolak belakang jika dilihat keberadaan Indonesia yang kaya akan ragam dan jenis tanaman hias, namun untuk
mengembangkan jenis varietas baru, bibitnya harus diimpor dari luar negeri. Pemerintah mengalokasikan dana yang jauh lebih sedikit untuk kepentingan penelitian dan pengembangan tanaman hias. Saat ini pemerintah lebih banyak menyediakan alokasi untuk pembangunan lain (konstruksi, transportasi dan informasi) daripada untuk penelitian pertanian.
Untuk dapat memproduksi tanaman hias jenis tertentu, para petani harus membeli bibit dari luar negeri dengan harga yang cukup tinggi. Para penangkar sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan pasar oleh karena keterbatasan menghasilkan bibit dari varietas baru. Ketergantungan terhadap produk impor belakangan ini juga berdampak pada industri tanaman hias. Untuk memenuhi selera dan permintaan masyarakat, beberapa jenis tanaman hias harus didatangkan dari luar untuk dibudidayakan para petani lokal. Bibit-bibit bunga yang diimpor tersebut jelas memerlukan biaya yang cukup besar yang berdampak pada peningkatan biaya produksi per satuan tanaman. Hal tersebut merupakan dampak dari keterbatasan teknologi budidaya karena kurangnya perhatian terhadap penelitian dan pengembangan tanaman hias. Dengan demikian tanaman hias Indonesia akan sulit memiliki daya saing yang tinggi karena mempunyai harga relatif lebih mahal.
Berbeda dengan negara-negara tetangga seperti Thailand dan Singapura yang mengalokasikan dana dalam jumlah yang sangat besar untuk penelitian dan
pengembangan tanaman hias. Dengan demikian banyak kultivar-kultivar baru yang dihasilkan dan masuk di pasar internasional. Namun sebagaimana diketahui, pengembangan tanaman hias. Dengan demikian banyak kultivar-kultivar baru yang dihasilkan dan masuk di pasar internasional. Namun sebagaimana diketahui,
Biaya Produksi dan Non Produksi
Menurut beberapa pengusaha tanaman hias, salah satu penyebab tanaman hias Indonesia sulit bersaing di pasar internasional adalah tingginya beban biaya yang harus ditanggung oleh petani dan eksportir. Di tingkat usahatani, petani harus menanggung biaya mulai dari pengadaan input sampai dengan izin usaha dan pajak penghasilan yang sangat memberatkan para pengusaha. Selain itu kenaikan harga bahan bakar minyak berimplikasi pada melonjaknya biaya transportasi. Di tingkat eksportir, biaya yang harus ditanggung meliputi izin pengangkutan, biaya pemeriksaan (karantina), biaya pengiriman, pajak perdagangan dan pungutan lainnya. Panjangnya jalur birokrasi dalam pengurusan izin ekspor tanaman hias sering mengakibatkan keterlambatan pengiriman dan
menyulitkan para eksportir. 16 Selain itu biaya pengiriman ekspor dari Indonesia ke luar negeri merupakan biaya yang paling mahal dibandingkan dengan negara lain.
Dengan demikian eksportir anggrek Indonesia akan menanggung biaya yang lebih besar untuk dapat mengirimkan produk ke negara tujuan. Hal tersebut akan berimplikasi pada peningkatan nilai jual anggrek Indonesia di negara tujuan.
Penanganan Pasca Panen
Tingkat kehilangan akibat penanganan pasca panen yang kurang baik untuk komoditi pertanian masih relatif tinggi. Tingkat kehilangannya berkisar Tingkat kehilangan akibat penanganan pasca panen yang kurang baik untuk komoditi pertanian masih relatif tinggi. Tingkat kehilangannya berkisar
Sarana Pengiriman
Dalam hal pengiriman ekspor komoditi tanaman hias, adanya sentra-sentra produksi berskala kecil dan letaknya menyebar dapat menghambat proses pengiriman. Akibatnya pasokan tanaman menjadi terhambat yang berdampak pada ketepatan waktu pengiriman pada eksportir. Akibatnya, banyak eksportir yang terkena klaim akibat pengiriman yang tidak tepat waktu.
Rendahnya daya saing produk florikultur di pasar dunia, termasuk anggrek, dipengaruhi oleh belum adanya kebijakan pemerintah dalam transportasi udara. Tidak tersedianya fasilitas cargo pada maskapai penerbangan domestik menyebabkan biaya angkut produk florikultura dikenakan tarif komersial, yang
berimplikasi pada tingginya harga tanaman hias Indonesia di pasar dunia. 25 Thailand memiliki jaringan pemasaran yang luas dan kegiatan promosi yang rutin.
Bahkan untuk angkutan pengiriman, Thai Airways memprioritaskan pengiriman ekspor anggrek potong dengan biaya pengiriman yang rendah. Dengan demikian, eksportir Thailand dapat memenuhi permintaan anggrek potong dari negara- negara di dunia dengan kualitas bunga yang tetap terjaga.
Selain biaya pengiriman ekspor yang cukup mahal dengan melalui jalur udara, sarana dan prasarana transportasi untuk ekspor tanaman hias Indonesia juga masih terbatas. Untuk ekspor impor komoditi tanaman hias khususnya bunga potong anggrek, memerlukan fasilitas ruang pendingin, namun demikian fasilitas tersebut masih terbatas dan memerlukan biaya tinggi.
Selera Konsumen
Selera konsumen terhadap tanaman hias Indonesia terutama anggrek dari masing-masing negara tujuan sangat bervariasi. Hal ini dikarenakan setiap negara tujuan ekspor tanaman hias Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain. Dari kelima negara tujuan ekspor tanaman hias Indonesia, selera terhadap komoditi anggrek secara umum memiliki kesamaan. Negara Jepang, Korea, Singapura dan Amerika Serikat menyukai anggrek potong jenis Dendrobium sedangkan Belanda cenderung menyukai anggrek Phalaenopsis. Selera konsumen memungkinkan untuk disertakan menjadi faktor yang mempengaruhi daya saing dan aliran ekspor anggrek Indonesia, karena setiap individu memiliki selera yang berbeda dalam menyukai tanaman hias termasuk anggrek.
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN