HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TERHADAP KEPATUHAN MINUM OBAT ANTITUBERKULOSIS (OAT) PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI RS PARU SIDAWANGI, CIREBON, JAWA BARAT

(1)

KARYA TULIS ILMIAH

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TERHADAP KEPATUHAN MINUM OBAT ANTITUBERKULOSIS (OAT) PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI RS

PARU SIDAWANGI, CIREBON, JAWA BARAT

Disusun untuk Memenuhi Sebagai Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun oleh IMAS NURHAYATI

20120350085

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(2)

KARYA TULIS ILMIAH

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TERHADAP KEPATUHAN MINUM OBAT ANTITUBERKULOSIS (OAT) PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI RS PARU SIDAWANGI, CIREBON, JAWA

BARAT

Disusun untuk Memenuhi Sebagai Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun oleh IMAS NURHAYATI

20120350085

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(3)

ii

HALAMAN PENGESAHAN

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TERHADAP KEPATUHAN MINUM OBAT ANTITUBERKULOSIS (OAT) PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI RS PARU SIDAWANGI, CIREBON, JAWA

BARAT

Disusun oleh: IMAS NURHAYATI

20120350085

Telah disetujui dan diseminarkan pada tanggal 22 Agustus 2016 Dosen Pembimbing

Nurul Maziyyah, M.Sc., Apt. NIK:1988 1018 201410 173231

Mengetahui,

Kepala Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Sabtanti Harimurti, S.Si.,M.Sc.,Ph.D.,Apt NIK:19730223 201310 173127

Dosen Penguji 1 Dosen Penguji 2

Indra Putra Taufani, M.Sc.,Apt NIK:1983 0122 201504 173238

M. Theza Ghozali, M.Sc., Apt NIK: 1984 0408 201104 173151


(4)

iii

PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Imas Nurhayati NIM : 20120350085 Program Studi : Farmasi

Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Karya Tulis Ilmiah yang saya tulis benar-benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dalam karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir Karya Tulis Ilmiah ini.

Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan Karya Tulis Ilmiah ini hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Yogyakarta, 22 Agustus 2016 Yang membuat pernyataan

Imas Nurhayati NIM. 20120350085


(5)

iv MOTTO

“ Mengerjakan Skripsi termasuk ibadah. Karena merupakan bentuk bakti kepada papa dan mama ”

(@BERANIBERHIJRAH)

“ Sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan ” (Q.S. Al-Insyiroh : 6)

“ .... Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha

mengetahui apa yang kamu kerjakan ” (QS. Al-Mujadalah : 11)

“ Setiap keberuntungan dan keberhasilan yang sudah kamu dapatkan adalah tanda bahwa salah satu doa Ibumu telah dikabulkan Tuhan ”


(6)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Alhamdulillah, puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga saya mendapat kesempatan untuk menyelesaikan karya tulis ilmiah ini. Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah SWT.

Sholawat serta salam tidak lupa selalu tercurah kepada nabi Muhammad SAW, tauladan seluruh umat manusia. Karya tulis ini saya persembahkan kepada :

Kedua orangtua tercinta. Bapak dan Mamah, serta adikku tersayang Rifky Ramadhan. Tiada kata yang dapat melukiskan betapa bersyukurnya saya atas doa-doa, perjuangan, pengorbanan, dukungan, motivasi dan kasih sayang yang tiada henti dari Mamah dan Bapak. Terimakasih tidak akan pernah cukup atas semua yang telah Mamah dan Bapak berikan kepada saya, semoga ini merupakan salah satu cara membahagiakan dan membanggakan mereka.

Penulis juga mempersembahkan karya tulis ilmiah ini kepada sahabat tercinta Uswatun Niswah dan Rima Fathu Ni’mah yang telah memberikan semangat serta dukungan bagi saya.

Kepada teman-teman terdekat Irna Nurrohmah, Dwi Wahyuni, Muhammad Rizqi Maulana, Nazila, Eka, Mustika, dan Linda yang selalu memberikan semangat serta dukungan agar segera terselesaikannya karya tulis ilmiah ini.


(7)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini yang merupakan tugas akhir untuk memnuhi persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Karya tulis ini berjudul “Hubungan Tingkat Pengetahuan Terhadap Kepatuhan Minum Obat Antituberkulosis (OAT) Pada Penderita Tuberkulosis Paru di RS Paru Sidawangi, Cirebon, Jawa Barat”. Tentunya ada hal-hal yang ingin penulis berikan bagi dunia kesehatan dari hasil karya ilmiah ini nantinya. Oleh karena itu diharapkan karya ilmiah ini dapat menjadi sesuatu yang berguna bagi kita bersama. Tanpa bantuan, dukungan, dan bimbingan dari berbagai pihak, karya tulis ini tidak akan terselesaikan dengan baik. Karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. dr. H. Ardi Pramono, Sp. An., M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

2. Sabtanti Harimurti, S.Si., Ph.D., Apt selaku Kepala Program Studi Farmasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

3. Nurul Maziyyah, M.Sc., Apt selaku dosen pembimbing. Terima kasih atas bantuan, ide, masukkan, dorongan semangat dan bimbingannya dalam melakukan penelitian dan penulisan karya tulis ilmiah ini.

4. Indra Putra Taufani, M.Sc., Apt dan M. Theza Ghozali M.Sc., Apt selaku dosen penguji. Terima kasih atas bimbingannya.

5. Secara khusus penulis sampaikan kepada orang-orang tercinta yaitu Bapak dan Mamah serta adikku Rifky Ramadhan atas segala doa, perhatian, kasih sayang dan dorongan semangat yang tidak pernah putus senantiasa diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini. 6. Seluruh dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta atas ilmu yang sangat bermanfaat.

7. Seluruh karyawan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

8. Teman-teman seperjuangan program studi Farmasi 2012 atas kebersamaannya selama ini.

9. Semua pihak yang telah membantu proses penelitian dan penulisan karya tulis ilmiah ini, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga Allah SWT membalas dengan balasan yang terbaik.

Akhir kata, dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat diharapkan untuk mendukung kemanfaatan hasil penelitian ini. Semoga karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan umumnya bagi pembaca dan peneliti selanjutnya.

Yogyakarta, 22 Agustus 2016


(8)

vii DAFTAR ISI

KARYA TULIS ILMIAH ... i

PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN ... iii

MOTTO... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

INTISARI ... Error! Bookmark not defined. ABSTRACT ... Error! Bookmark not defined. BAB I ... 1

PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Keaslian Penelitian ... 5

D. Tujuan Penelitian ... 5

E. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II ... 7

TINJAUAN PUSTAKA... 7

A. Tuberkulosis ... 7

B. Pengetahuan ... 23

C. Kepatuhan ... 27

D. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan ... 27

E. Profil Rumah Sakit ... 28

F. Kerangka konsep ... 29

G. Hipotesis penelitian ... 29

BAB III... 30

METODE PENELITIAN ... 30


(9)

viii

B. Tempat dan Waktu ... 30

C. Populasi dan Sampel ... 30

D. Kriteria inklusi dan eksklusi... 32

E. Identifikasi Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 32

F. Instrumen Penelitian... 33

G. Analisis data ... 35

H. Cara Kerja ... 39

I. Skema langkah kerja ... 40

BAB IV ... 41

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 41

A. Hasil Uji Validitas Kuesioner ... 41

B. Hasil Uji Reliabilitas Kuesioner... 43

C. Karakteristik Responden ... 43

D. Tingkat Pengetahuan Penderita tentang Tuberkulosis Paru ... 48

E. Kepatuhan Minum Obat Antituberkulosis Paru (OAT) ... 50

F. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Tuberkulosis Paru dengan Kepatuhan Minum OAT ... 51

G. Keterbatasan penelitian ... 53

BAB V ... 54

KESIMPULAN DAN SARAN ... 54

A. Kesimpulan ... 54

B. Saran ... 54


(10)

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Dosis untuk panduan OAT KDT Kategori 1 ... 20 Tabel 2. Dosis untuk panduan OAT KDT untuk kategori 2 ... 21 Tabel 3. Dosis OAT untuk sisipan ... 22 Tabel 4. Item Kuesioner Tingkat Pengetahuan Pasien tentang Tuberkulosis Paru36 Tabel 5. Hasil Uji Validitas Kuesioner Tingkat Pengetahuan ... 41 Tabel 6. Hasil Uji Validitas Kuesioner Kepatuhan Minum OAT ... 42 Tabel 7. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan tentang

Tuberkulosis Paru ... 48 Tabel 8. Distribusi Frekuensi dan Presentase Responden Berdasarkan Kepatuhan

Minum OAT... 50 Tabel 9. Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Kepatuhan Minum OAT ... 51


(11)

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka konsep ... 29 Gambar 2. Skema Langkah Kerja ... 40 Gambar 3. Distribusi Usia Responden di RS Paru Sidawangi, Cirebon, Jawa ... 44 Gambar 4. Distribusi Pendidikan Responden di RS Paru Sidawangi, Cirebon, ... 45 Gambar 5. Distribusi Jenis Kelamin Responden di RS Paru Sidawangi, Cirebon, ... 46 Gambar 6. Distribusi Pekerjaan Responden di RS Paru, Sidawangi, Cirebon, .... 47


(12)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Perizinan ... 61

Lampiran 2. Lembar Pernyataan Menjadi Responden ... 62

Lampiran 3. Identitas Pasien ... 63

Lampiran 4. Kuesioner Tingkat Pengetahuan ... 64

Lampiran 5. Kuesioner MMAS-8 ... 66

Lampiran 6. Uji Validasi Kuesioner Tingkat Pengetahuan ... 67

Lampiran 7. Uji Validasi Kuesioner Kepatuhan Minum OAT ... 68

Lampiran 8. Uji Reliabilitas Kuesioner Tingkat Pengetahuan... 69

Lampiran 9. Uji Reliabilitas Kuesioner Kepatuhan Minum OAT ... 70

Lampiran 10.Uji Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Kepatuhan Minum OAT ... 71


(13)

(14)

(15)

INTISARI

Menurut Global Tuberculosis Control WHO Report tahun 2013, Indonesia merupakan penyumbang Tuberkulosis (TB) terbesar ke-3 di dunia setelah India dan Cina dengan angka kematian 27/100.000 orang. Ketidakpatuhan penderita TB Paru dalam minum OAT menyebabkan angka kesembuhan penderita rendah, angka kematian tinggi, dan resiko kekambuhan meningkat. Pengetahuan mengenai TB Paru sangatlah penting guna menyadarkan pasien agar patuh minum obat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan tentang Tuberkulosis Paru dengan kepatuhan minum OAT pada penderita tuberkulosis di RS Paru Sidawangi, Cirebon, Jawa Barat.

Penelitian ini merupakan penelitian non-eksperimental secara analitik korelasi dengan pendekatan Cross Sectional. Pengambilan sampel dilakukan di RS Paru Sidawangi, Cirebon, Jawa Barat pada bulan Juni-Juli 2015 menggunakan purposive sampling dan menghasilkan responden sejumlah 42 orang. Tingkat pengetahuan dan kepatuhan pasien diukur menggunakan kuesioner tingkat pengetahuan dan Morysky Medication Adherence Scale (MMAS-8). Kemudian hubungan tingkat pengetahuan & kepatuhan dianalisis menggunakan uji korelasi Pearson Product Moment dengan tingkat kebermaknaan sebesar 95%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang mempunyai tingkat pengetahuan tinggi sebanyak 83,30%, tingkat pengetahuan sedang sebanyak 14,30% dan tingkat pengetahuan rendah sebanyak 2,40%. Tingkat kepatuhan minum OAT tinggi pada 78,60% responden, tingkat kepatuhan sedang pada 14,30% responden dan tingkat kepatuhan rendah pada 7,10% responden. Analisis hubungan tingkat pengetahuan dengan tingkat kepatuhan minum OAT menunjukkan p value 0,000 (< 0,05) dengan nilai korelasi (r) = 1,000. Kesimpulan penelitian ini adalah sebagian besar pasien TB di RS Paru Sidawangi, Cirebon, Jawa Barat memiliki tingkat pengetahuan dan kepatuhan minum obat yang tinggi serta ada hubungan yang sangat kuat antara tingkat pengetahuan dengan kepatuhan minum OAT.


(16)

ABSTRACT

Global Tuberculosis Control WHO Report 2013 declared that Indonesia is the 3rd largest contributor of Tuberculosis (TB) in the world after India and China with mortality rate 27/ 100,000. TB patient who rarely consume OAT can cause low cure rates, high mortality rate and increase risk of reccurence. Knowledge about TB is crucial to give awareness to patients on the importance of taking medication regularly. The aim of this study is to determine the correlation between knowledge of Pulmonary Tuberculosis with adherence to take OAT in patient with pulmonary tuberculosis in Sidawangi hospital, Cirebon, West Java.

This study is a non-experimental with analytical correlation and cross sectional approach. Sampling was done by using purposive sampling on June-July 2015 in Sidawangi Lung Hospital, Cirebon, West Java with a result of 42 respondents available on that period. The level of knowledge and patient adherence was measured by questionnaire for level of knowledge, and Morysky Medication adherence Scale (MMAS-8). The correlation between level of knowledge and adherence was analyzed by Pearson Product Moment Correlation test with a significance level of 95%.

The result showed that the respondents with high level of knowledge was 83.30%, 14.30% with medium level of knowledge and 2.40% with low level of knowledge. The high level of adherence to consume Anti Tuberculosis drugs was shown in 78,60% respondents, the medium level of adherence was shown in 14,30% respondents and the low level of adherence in 7,10% respondents. Analysis of the correlation between level of knowledge and adherence level showed a p value of 0.000 (<0.05) with correlation value (r) = 1.000. It can be concluded that most of TB patients in Sidawangi Lung Hospital, Cirebon, West Java had high level of knowledge and adherence. There was a very strong correlation between level of knowledge and the adherence level of the patients. Keywords : Pulmonary tuberculosis, Level of knowledge, Adherence.


(17)

(18)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyebab kematian utama yang diakibatkan oleh infeksi. Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh bakteri berbentuk batang (basil) yang dikenal dengan nama Mycobacterium tuberculosis, yang sebagian besar (80%) menyerang paru-paru (Depkes RI, 2005).

Berdasarkan Global Tuberculosis Control WHO Report (2013), Indonesia berada di peringkat ketiga jumlah kasus tuberkulosis terbesar di dunia setelah India dan Cina yaitu hampir 700 ribu kasus dengan angka kematian 27/100.000 penduduk. Menurut KEMENKES, pada tahun 2013 di Indonesia jumlah kasus BTA positif sebanyak 196.310, menurun dibandingkan dengan tahun tahun 2012 yang sebesar 201.301 kasus. Jumlah tertinggi kasus TB terjadi di provinsi Jawa Barat, Jawa timur, dan Jawa Tengah. Kasus terbesar di tiga provinsi tersebut hampir sebesar 40% dari jumlah seluruh kasus baru di Indonesia. Provinsi dengan prevalensi TB paru tertinggi yaitu Jawa Barat sebesar 0,7%. Laporan CNR (Case Notification Rate) pada tahun 2012-2014 menunjukkan Jawa Barat mengalami 141 kasus/100.000 penduduk dan berdasarkan keberhasilan pengobatan TB, Jawa Barat memiliki persentase sebesar 81% untuk keberhasilan pengobatannya.

Diagnosis yang tepat, pemilihan obat serta pemberian obat yang benar dari tenaga kesehatan ternyata belum cukup untuk menjamin keberhasilan suatu pengobatan jika tidak diikuti dengan kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat. Kepatuhan rata-rata pasien pada pengobatan jangka panjang terhadap penyakit kronik di negara maju hanya sebesar 50% sedangkan di negara berkembang, jumlah tersebut bahkan lebih rendah (WHO, 2003). Ketidak patuhan pasien dalam


(19)

2

pengobatan merupakan masalah kesehatan yang serius dan sering kali terjadi pada pasien dengan penyakit kronis, seperti pada penyakit Tuberkulosis Paru (Depkes RI, 2005).

Sejalan dengan meningkatnya kasus TB, pada awal tahun 1990-an WHO dan IUATLD

(International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) mengembangkan strategi pengendalian TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course). Fokus utama DOTS dalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan rantai penularan TB dan dengan demikian menurunkan insidensi TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB (BNPT KEMENKES RI, 2014).

Kebanyakan masyarakat Indonesia masih banyak yang belum mengerti dan mengenal penyakit TB Paru. Hal ini terjadi karena faktor pengetahuan pasien TB Paru yang masih kurang. Pasien masih menganggap bahwa meskipun pengobatan yang telah dijalaninya sudah berjalan lama, namun kondisi penyakit yang dideritanya tidak kunjung sembuh (Sukardja, 2004). Sehingga pasien perlu memiliki pengetahuan terhadap penyakit TB Paru, yaitu dengan cara mengetahui penyebabnya, tanda dan gejala ketika pasien terkena TB Paru, cara penularan serta pencegahan tertularnya TB Paru dari orang lain, dan bagaimana dampaknya jika pasien tidak diobati atau pasien tidak patuh dalam berobat.

Menurut hasil penelitian Dhiyantari dkk tahun 2009, didapat bahwa 94,44% responden patuh minum obat dalam fase intensif OAT. Responden yang sedang dalam pengobatan OAT fase lanjut juga menunjukkan tingkat kepatuhan minum OAT yang tinggi yaitu sebesar 86,67% (Dhiyantari dkk, 2009).

Menurut hasil penelitian Ariani dkk tahun 2003, bahwa dari 32 orang responden diketahui bahwa pengetahuan penderita Tuberkulosis mengenai kepatuhan dalam program pengobatan


(20)

3

sebanyak 71,8% termasuk dalam kategori baik dan 21,8% dalam kategori sedang dan 6,2% dalam kategori buruk (Ariani dkk, 2003).

Berdasarkan hal-hal yang telah dijelaskan sebelumnya, maka kepatuhan minum Obat Antituberkulosis (OAT) sangatlah diperlukan agar kualitas hidup meningkat. Ketidak patuhan penderita TB Paru dalam minum OAT menyebabkan angka kesembuhan penderita rendah, angka kematian tinggi dan kekambuhan meningkat serta yang lebih fatal adalah terjadinya resistensi kuman terhadap beberapa OAT atau multi drug resistance, sehingga penyakit TB Paru sangat sulit disembuhkan (Budiman et all, 2010).

Rasullullah SAW, bersabda :

ًءاَفِش

هَل

لَزْنَأ

الِإ

ًءاَد

ل

َلَزْنَأ

اَم

Artinya :

“Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Dia turunkan untuk penyakit itu obatnya.” (HR. Al-Bukhari ).

Menurut Penelitian Avianty (2005) pengetahuan dan sikap menjadi faktor kepatuhan seseorang dalam minum obat.

Di RS Paru Sidawangi, Jawa Barat belum pernah dilakukan penelitian mengenai Hubungan Tingkat Pengetahuan tentang tuberkulosis paru terhadap kepatuhan minum OAT pada penderita TB Paru. Berdasarkan latar belakang tersebut maka dilakukan penelitian untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan terhadap kepatuhan minum OAT di RS Paru Sidawangi, Cirebon, Jawa Barat. Sehingga diharapkan melalui penelitian ini dapat diperoleh hasil seberapa besar


(21)

4

hubungan tingkat pengetahuan tentang TB Paru terhadap kepatuhan minum obat antituberkulosis pada penderita TB Paru di RS Paru Sidawangi, Cirebon, Jawa Barat.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana gambaran tingkat pengetahuan tentang TB Paru dan kepatuhan minum OAT pada penderita TB Paru di RS Paru Sidawangi, Cirebon, Jawa Barat?

2. Apakah terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan tentang TB Paru terhadap kepatuhan minum OAT di RS Paru Sidawangi, Cirebon, Jawa Barat?

C. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai tingkat pengetahuan tentang TB Paru dengan keteraturan minum OAT ini sudah pernah dilakukan sebelumnya oleh Agus Sukrisno di Puskesmas Kecamatan Pracimantoro 1, Kabupaten Wonogiri, Jawa tengah yang berjudul “ Hubungan Tingkat

Pengetahuan Tentang Tuberkulosis Paru dengan Keteraturan Minum OAT pada Penderita Tuberkulosis Paru di Puskesmas Pracimantoro 1 ” pada tahun 2008, hanya yang berbeda dari penelitian yang sebelumnya tempat dan waktu dilakukannya penelitian. Sampel total pada penelitian Agus Sukrisno yang digunakan berjumlah 30 orang. Hasil penelitian tersebut menunjukkan ada hubungan yang sangat kuat dan bermakna antara pengetahuan penderita tentang penyakit TBC dan keteraturan minum obat, diketahui hasil p value 0,000 < 0,05 dan nilai korelasi (r) = 0,842.

D. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan tentang TB Paru dan kepatuhan minum OAT pada penderita TB Paru di RS Paru Sidawangi, Cirebon, Jawa Barat.


(22)

5

2. Untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan tentang TB Paru terhadap kepatuhan minum OAT pada penderita TB Paru di RS Paru Sidawangi, Cirebon, Jawa Barat.

E. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi : 1. Bagi Peneliti

Menambah wawasan sekaligus memperoleh pengalaman untuk melakukan penelitian lapangan mengenai tingkat pengetahuan tentang TB Paru terhadap kepatuhan minum OAT pada penderita TB Paru.

2. Bagi Unit Pelayanan Kesehatan

Sebagai bahan pertimbangan untuk kebijakan ke depan dalam usaha meningkatkan angka kesembuhan penyakit TB Paru dengan upaya preventif, kuratif maupun promotif khususnya tingkat pengetahuan tentang Tuberkulosis Paru terhadap kapatuhan minum obat.

3. Bagi masyarakat dan penderita

Menambah wawasan dan kesadaran bagi masyarakat dan penderita TB Paru terhadap pentingnya kepatuhan minum obat antituberkulosis paru (OAT).


(23)

1 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Tuberkulosis

1. Definisi dan Etiologi

Tuberkulosis atau dikenal juga dengan sebutan TBC/TB adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. M. Tuberculosis merupakan kelompok bakteri gram positif aerob, berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4 mikron dan tebal 0,3-0,6 mikron. Sebagian besar kuman terdiri atas asam lemak (lipid). Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam dan tahan terhadap gangguan kimia dan fisik. Oleh karena itu, disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Sebagian besar (80%) kuman TB menyerang paru-paru dan sebagian kecil mengenai organ tubuh lainnya. (Amin dan Azril, 2006).

2. Gejala klinis

Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat pada malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan (Depkes RI, 2008).

Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke unit pelayanan kesehatan (UPK) dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (Depkes RI, 2008).


(24)

2 3. Diagnosis Tuberkulosis(Depkes RI, 2008)

Pada program TB nasional, diagnosis TB paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya Basil Tahan Asan (BTA) pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan.

Pemeriksaan dahak untuk penegakkan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS).

a. S (Sewaktu) : dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.

b. P (Pagi) : dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.

c. S (Sewaktu) : dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua saat menyerahkan dahak pagi.

Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga spesimen SPS, hasilnya BTA positif.

Bila hanya 1 spesimen yang positif, maka perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang.

a. Bila hasil rontgen mendukung TB, maka penderita didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif.


(25)

3

b. Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, maka pemeriksaan dahak SPS diulangi. Apabila fasilitas memungkinkan maka dilakukan pemeriksaan lain misalnya biakan.

Bila ketiga spesimen dahak hasilnya negatif, diberikan antibiotik spektrum luas (misalnya kontrimoksazol atau Amoksisilin) selama 1-2 minggu bila tidak ada perubahan namun gejala klinis tetap mencurigakan TB maka ulangi pemeriksaan dahak SPS.

a. Bila SPS positif, didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif. Bila hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen dada untuk mendukung diagnosis TB.

b. Bila hasil rontgen mendukung TB, didiagnosis sebagai penderita TB BTA negatif rontgen positif. Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, maka penderita tersebut bukan TB.

4. Cara penularan (Depkes RI, 2008)

Mycobacterium tuberkulosis ditularkan dari orang ke orang melalui jalan pernafasan. Sumber penularan TB paru adalah pasien TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhidup ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman tuberkulosis masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman tuberkulosis tersebut dapat menyebar ke bagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran pernapasan atau menyebar langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya.

Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang ditularkan dari parunya, makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpejan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dahak dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.


(26)

4

Faktor resiko yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita TB adalah mereka yang tinggal berdekatan dengan orang yang terinfeksi aktif, memiliki daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya mereka yang kekurangan gizi, orang berusia lanjut, bayi atau mereka yang mengidap HIV/AIDS.

5. Klasifikasi Penyakit dan Tipe Penderita (Depkes RI, 2008)

a. Klasifikasi Berdasarkan Organ Tubuh yang Terkena 1) TB Paru

TB Paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.

2) TB Ekstra Paru

TB ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung, kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

b. Klasifikasi Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Dahak Mikroskopis

Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis, TB paru dibagi dalam: 1) TB Paru BTA Positif

Kriteria diagnostik TB paru BTA positif harus meliputi: sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif; 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rongent dada menunjukkan gambaran tuberkulosis; 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif; 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotik non OAT.


(27)

5

Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi: paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif; foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis; tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotik non OAT; ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

c. Klasifikasi Berdasarkan Tingkat Keparahan Penyakit

TB ekstra paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:

1) TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar ardenal.

2) TB ekstra paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin. d. Klasifikasi Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sebelumnya

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu:

1) Kasus Baru

Yaitu pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).

2) Kambuh (Relaps)

Yaitu pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.


(28)

6 3) Pindahan (Transfer-in)

Yaitu penderita yang sedang mendapatkan pengobatan disuatu Kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/ pindahan (Form TB 09).

4) Setelah Lalai (Pengobatan setelah default/ drop out)

Yaitu penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.

5) Gagal

Yaitu penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan atau lebih).

6) Kasus Kronik

Yaitu penderita dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2.

6. Pengobatan Tuberkulosis

a. Tujuan Pengobatan

Pengobatan tuberkulosis (TB) paru bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT (Depkes RI, 2007).

b. Prinsip Pengobatan (Depkes RI, 2007)


(29)

7

1) OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah yang cukup dan dosis yang tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.

2) Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). 3) Pengobatan TB paru diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan (resistensi) terhadap obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan (pada akhir pengobatan tahap intensif). Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama.

Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

7. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

a. Isoniazid (H)

Isoniazid dikenal dengan INH, bersifat tuberkulostatik dan tuberkulosid dengan KHM (kadar hambat minimum) sekitar 0,025-0,05 μg/mL. Efek bakterisidnya hanya terlihat pada kuman yang sedang tumbuh aktif. Mekanisme kerjabelum diketahui, namun ada pendapat bahwa efek utamanya adalah menghambat biosintesis asam mikolat (mycolic acid) yang merupakan unsur penting penyusun dinding sel mikobakterium (Istiantoro dan Setabudy, 2009).


(30)

8

Dosis harian yang dianjurkan 5 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kg BB (Depkes RI, 2002).

Efek samping INH yang dapat berupa tanda-tanda keracunan pada saraf tepi, kesemutan dan nyeri otot atau gangguan kesadaran. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin (vitamin B6 dengan dosis 5-10 mg perhari atau dengan vitamin B kompleks).

Efek samping berat dari INH berupa hepatitis yang dapat timbul pada kurang lebih 0,5% penderita. Bila terjadi ikterus, hentikan pengobatan sampai ikterus membaik. Bila tanda-tanda hepatitisnya berat maka penderita harus dirujuk ke UPK spesialistik (Depkes RI, 2002).

b. Rifampisin (R)

Rifampisin bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semidormant (persister) yang tidak dapat dibunuh oleh Isoniazid. Rifampisin terutama aktif terhadap sel yang sedang tumbuh. Kerjanya menghambat DNA-dependent RNA polymerase dari mikobakteria dan mikroorganisme lain dengan menekan mula terbentuknya rantai dalam sintesis RNA (Istiantoro, Setiabudy, 2009). Dosis Rifampisin 10 mg/kg BB diberikan untuk pengobatan harian maupun intermiten 3 kali seminggu (Depkes RI, 2002).

Efek samping Rifampisin yang ringan dapat berupa sindrom kulit (gatal-gatal kemerahan), sindrom flu (demam, menggigil, nyeri tulang), sindrom perut (nyeri perut, mual, muntah, kadang-kadang diare). Efek samping ringan sering terjadi pada saat pemberian berkala dan dapat sembuh sendiri atau hanya memerlukan pengobatan simtomatik. Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata, dan air liur. Hasil ini harus diberitahukan kepada penderita agar tidak khawatir, warna merah etrsebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya (Depkes RI, 2002).


(31)

9

Efek samping rifampisin yang berat berupa sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak nafas, kadang-kadang disertai dengan kolaps, anemia haemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala ini terjadi, Rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi meskipun gejalanya sudah menghilang. Sebaiknya segera dirujuk ke UPK spesialistik (Depkes RI, 2002).

c. Pirazinamid (Z)

Pirazinamid bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. Mekanisme kerja obat ini belum diketahi secara pasti. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengn dosis 35 mg/kg BB (Depkes RI, 2002).

Efek samping utama dari penggunaan Pirazinamid adalah hepatitis. Juga dapat terjadi nyeri sendi dan kadang-kadang dapat menyebbabkan serangan arthritis gout yang kemungkinan disebabkan berkurangnya eksresi dn penimbunan asam urat, kadang-kadang terjadi reaksi hipersensitivitas misalnya demam, mual, kemerahan, dan reaksi kulit lain (Depkes RI, 2002).

d. Etambutol (E)

Etambutol bersifat sebagai bakteriostatik. Obat ini bekerja dengan cara menghambat pemasukan (incorporation) asam mikolat kedalam dinding sel bakteri (Istiantoro, Setabudy, 2009). Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis 30 mg/kg BB (Depkes RI, 2002).


(32)

10

Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman penglihatan, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai. Efek samping jarang terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan tiga kali seminggu (Depkes RI, 2002). Setiap penderita yang menerima Etambutol harus diingat bahwa bila terjadi gejala-gejala gangguan penglihatan supaya segera dilakukan pemeriksaan mata. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Karena resiko kerusakan okuler sulit dideteksi pada anak-anak, maka sebaiknya tidak diberikan pada anak (Depkes RI, 2002).

e. Streptomisin (S)

Streptomisin bersifat bakterisid dengan mekanisme kerja menghambat sintesis protein sel mikroba, yaitu mengubah bentuk bagian 30 S sehingga mengakibatkan salah baca kode mRNA (Istiantoro, Setiabudy, 2009). Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama. Penderita berumur sampai 60 tahun dosisnya 0,75 gram/hari sedangkan untuk berumur 60 tahun atau lebih diberikan 0,50 gram/hari (Depkes RI, 2002).

Efek samping utama dari Streptomisin adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Resiko efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur penderita. Kerusakan alat keseimbangan biasanya terjadi pada 2 bulan pertama dengan tanda-tanda telinga mendenging (tinitus), pusing, dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi menjadi 0,25 gram, jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan akan semakin parah. Resiko ini terutama akan


(33)

11

meningkat pada penderita dengan gangguan fungsi eksresi ginjal. Reaksi hipersensitivitas kadang-kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai dengan sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Hentikan pengobatan dan segera rujuk penderita ke UPK spesialistik (Depkes RI, 2002).

Streptomisin dapat menembus barrier plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada wanita hamil sebab dapat merusak saraf pendengaran janin.

8. Panduan Obat Antituberkulosis (OAT) di Indonesia (Depkes RI, 2008)

Panduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia merupakan rekomendasi dari WHO dan IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease). Panduan OAT disediakan dalam bentuk paket berupa obat Dosis Tetap (OAT KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Panduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien salam satu masa pengobatan.

a. OAT Kategori 1 (2HRZE/4H3R3)

Tahap intensif terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisisn (R), Pirazinamid (Z) dan Etambutol (E). Obat-obat tersebut diberikan satu kali sehari selama 2 bulan (2HRZE). Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari Isoniazid (H) dan Rifampisin (R), diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3).

Obat kategori 1 diberikan untuk:

1) Penderita baru TB Paru BTA positif.

2) Penderita TB Paru BTA negatif dengan rongent positif. 3) Penderita TB Ekstra Paru.


(34)

12 Tabel 1. Dosis untuk panduan OAT KDT Kategori 1

Berat Badan (Kg)

Tahap Intensif Tiap hari selama 56 hari RHZE

(150/ 75/ 400/ 275)

Tahap Lanjutan 3 kali seminggu selama 16 minggu RH (150/ 150) 30 – 37 2 tablet 4 KDT 2 tablet 2 KDT 38 – 54 3 tablet 4 KDT 3 tablet 2 KDT 55 – 70 4 tablet 4 KDT 4 tablet 2 KDT

≥ 70 5 tablet 4 KDT 5 tablet 4 KDT

(Depkes RI, 2008)

b. OAT Kategori 2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)

Tahap intensif diberikan selama 3 bulan yang terdiri dari 2 bulan dengan HRZE dan suntikan Streptomisin setiap hari dari UPK. Dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu.

Obat kategori 2 diberikan untuk : 1) Penderita kambuh (relaps).

2) Penderita gagal (failure).

3) Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default).

Tabel 2. Dosis untuk panduan OAT KDT untuk kategori 2 Berat Badan

(Kg)

Tahap Intensif Tiap hari

RHZE (150/75/ 400/ 275) + S

Tahap Lnajutan 3 kali seminggu RH (150/ 150) + E

(400) selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu 30 – 37 2 tablet 4 KDT

+ 500 mg streptomisin inj.

2 tablet 4 KDT

2 tablet 2 KDT + 2 tablet Etambutol


(35)

13 38 – 54 3 tablet 4 KDT

+ 750 mg

Streptomisin inj.

3 tablet 4 KDT

3 tablet 2 KDT + 3 tablet Etambutol 55 – 70 4 tablet 4 KDT

+ 1000 mg Streptomisin inj.

3 tablet 4 KDT

3 tablet 2 KDT + 3 tablet Etambutol ≥ 70 5 tablet 4 KDT

+ 1000 mg Streptomisin inj.

5 tablet 4 KDT

5 tablet 2 KDT + 5 tablet Etambutol (Depkes RI, 2008)

c. OAT Sisipan (HRZE)

Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA posiitif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2 hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, maka diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan.

Tabel 3. Dosis OAT untuk sisipan Berat Badan

(Kg)

Tahap Intensif Tiap hari selama 28 hari RHZW (150/ 75/ 400/ 275)

30 – 37 2 tablet 4 KDT 38 – 54 3 tablet 4 KDT 55 – 70 4 tablet 4 KDT

≥ 70 5 tablet 4 KDT

(Depkes RI, 2008)

9. Hasil pengobatan (Depkes RI, 2008)

Hasil pengobatan seorang penderita dapat dikategorikan sebagai sembuh, pengobatan lengkap, meninggal, pindah, putus berobat, dan gagal.


(36)

14

Penderita dinyatakan sembuh bila telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow up) hasilnya negatif pada Akhir Pengobatan (AP) dan minimal satu pemeriksaan follow up sebelumnya negatif.

b. Pengobatan Lengkap

Penderita yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.

c. Meninggal

Penderita yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun. d. Pindah

Penderita yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui.

e. Putus berobat

Penderita yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.

B. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil “tahu”, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Karena dari pengalaman dan penelitian ternyata


(37)

15

perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2007).

Sedangkan pengetahuan tentang pengobatan TBC Paru adalah pengertian dari responden tentang pengobatan TB Paru dengan menggunakan paduan OAT paru secara tepat, teratur dalam jangka waktu yang telah ditetapkan.

1. Tingkat pengetahuan (Notoatmodjo, 2007)

Pengetahuan yang dicakup dalam dominan kognitif mempunyai 6 tingkatan, yaitu: a. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.

b. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterpretasik materi tersebut secara benar.

c. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk mengunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi lain.


(38)

16

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

e. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjukan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungan bagian-bagian di dalam bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atas penilaian suatu materi atau obyek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

2. Faktor yang mempengaruhi pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :

a. Pengalaman

Pengalaman dapat diperoleh dari pengalaman sendiri maupun pengalaman orang lain. Pengalaman yang diperoleh dapat memperluas pengetahuan seseorang.

b. Tingkat pendidikan

Secara umum, orang yang berpendidikan lebih tinggi akan memiliki pengetahuan yang lebih luas daripada orang yang berpendidikan lebih rendah.


(39)

17

Biasanya keyakinan diperoleh secara turun-temurun, baik keyakinan yang positif maupun keyakinan yang negatif, tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu.

d. Fasilitas

Fasilitas sebagai sumber informasi yang dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang adalah majalah, radio, koran, televisi, buku, dan lain-lain.

e. Penghasilan

Penghasilan tidak berpengaruh secara langsung terhadap seseorang. Namun, jika seseorang berpenghasilan cukup besar, maka mampu menyediakan fasilitas yang lebih baik.

f. Sosial budaya

Kebudayaan setempat dan kebiasaan dalam keluarga dapat mempengaruhi pengetahuan, persepsi, dan sikap seseorang terhadap sesuatu.

C. Kepatuhan

Secara umum, istilah kepatuhan (compliance atau adherence) dideskripsikan dengan sejauh mana pasien mengikuti instruksi-instruksi atau saran medis (Sabate, 2001). Terkait dengan terapi obat, kepatuhan pasien didefinisikan sebagai derajat kesesuaian antara riwayat dosis yang sebenarnya dengan rejimen dosis obat yang diresepkan. Oleh karena itu, pengukuran kepatuhan pada dasarnya merepresentasikan perbandingan antara dua rangkaian kejadian, yaitu bagaimana nyatanya obat diminum dengan bagaimana obat seharusnya diminum sesuai resep (Dusing, et al, 2001).

Dalam konteks pengendalian tuberkulosis, kepatuhan terhadap pengobatan dapat didefinisikan sebagai tingkat ketaatan pasien-pasien yang memiliki riwayat pengambilan obat terapeutik terhadap resep pengobatan (WHO, 2003).


(40)

18 D. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan

Menurut Smet (1994), faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan adalah : 1. Faktor komunikasi

Berbagai aspek komunikasi antara pasien dengan dokter mempengaruhi tingkat ketidaktaatan, misalnya informasi dengan pengawasan yang kurang, ketidakpuasan terhadap aspek hubungan emosional dengan dokter, ketidak puasan terhadap obat yang diberikan.

2. Pengetahuan

Ketetapan dalam memberikan informasi secara jelas dan eksplisit terutama penting sekali dalam pemberian antibiotik. Karena sering kali pasien menghentikan obat tersebut setelah gejala yang dirasakan hilang bukan saat obat itu habis.

3. Fasilitas kesehatan

Fasilitas kesehatan merupakan sarana penting dimana dalam memberikan penyuluhan terhadap penderita menerima penjelasan dari tenaga kesehatan yang meliputi jumlah tenaga kesehatan, gedung serbaguna untuk penyuluhan.

E. Profil Rumah Sakit

Rumah Sakit Paru Provinsi Jawa Barat terletak di Jalan Pangeran Kejaksan No. 4, Desa Sidawangi, Kecamatan Sumber, Kabupaten Cirebon. Letak Rumah Sakit tepat di perbatasan Kabupaten Cirebon dengan Kabupaten Kuningan. Rumah sakit ini merupakan rumah sakit milik pemerintah Provinsi Jawa Barat dengan kategori setara tipe C. Berdasarkan keputusan Menteri


(41)

19

Kesehatan RI Nomor : 909/Menkes/SK/VIII/2001, ditetapkan sebagai Rumah Sakit Paru Sidawangi.

Lokasi penelitian di RS Paru Sidawangi, Cirebon, Jawa Barat yang dilaksanakan di lantai satu yaitu Unit DOTs menyatu dengan poliklinik Spesialis Paru, Faal Paru dan poliklinik asma dan PPOK.

F. Kerangka konsep

Keterangan :

Variabel yang diteliti Variabel yang tidak diteliti G. Hipotesis penelitian

1. Ada gambaran tingkat pengetahuan tentang TB Paru dan kepatuhan minum OAT pada penderita TB Paru di RS Paru Sidawangi, Cirebon, Jawa Barat tinggi.

2. Ada hubungan tingkat pengetahuan terhadap kepatuhan minum OAT pada penderita Tuberkulosis Paru di RS Paru Sidawangi, Cirebon, Jawa Barat.

TINGKAT PENGETAHUAN

KEPATUHAN MINUM

OBAT - Komunikasi

- Fasilitas kesehatan


(42)

1 BAB III

METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian non-eksperimental secara analitik korelasi dengan pendekatan Cross Sectional. Jenis ini dipilih untuk mencari hubungan antara variabel pengetahuan tentang tuberkulosis dengan variabel kepatuhan minum OAT pada pasien Tuberkulosis Paru di RS Paru Sidawangi, Cirebon, Jawa Barat.

B. Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Unit DOTs (Directly Observed Treatment, Short-course) RS Paru Sidawangi, Cirebon, Jawa Barat. Waktu penelitian dilaksanakan pada Juni-Juli 2015.

C. Populasi dan Sampel

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti (Notoatmodjo, 2005). Populasi dalam penelitian ini adalah penderita TB Paru di RS Paru Sidawangi, Cirebon, Jawa Barat. Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewaklili populasi (Notoatmodjo, 2005). Sampel pada penelitian ini adalah pasien TB Paru yang datang berobat ke RS Paru Sidawangi, Cirebon, Jawa Barat yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi melalui teknik purposive sampling. Purposive sampling adalah metode pengambilan sampel yang dipilih dengan cermat sehingga relevan dengan struktur penelitian, dimana pengambilan sampel dengan mengambil sampel orang-orang yang dipilih oleh penulis menurut ciri-ciri spesifik dan karakteristik tertentu (Djarwanto dan Subagyo, 1998).

n = [

2 + 3


(43)

2 Keterangan :

n : Besar sampel minimal

Zα : Derivat baku alpha (Kesalahan tipe 1) = 5% = 1,96 Zβ : Derivat baku beta (Kesalahan tipe II) = 10% = 1,28

r : Perkiraan koefisien korelasi = 0,46 Jadi perhitungannya :

n = [

2 + 3

n = [

2

+ 3

n = [

2 + 3

n = 24,85

Jumlah sampel minimal 24,85 dibulatkan menjadi 25 orang.

Hasil perhitungan sampel menunjukkan diperlukan minimal 25 responden dalam penelitian ini.

D. Kriteria inklusi dan eksklusi 1. Kriteria inklusi

a. Pasien TB Paru di RS Paru Sidawangi, Cirebon, Jawa Barat yang telah menjalani pengobatan OAT selama 2 bulan atau lebih.

b. Pasien TB Paru yang bersedia menjadi responden dalam penelitian. 2. Kriteria eksklusi


(44)

3

E. Identifikasi Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel penelitian

Data dalam penelitian ini terdiri dari variabel bebas (independent) dan variabel terikat

(dependent). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah tingkat pengetahuan tentang TB Paru. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kepatuhan minum obat antituberkulosis (OAT). 2. Definisi operasional

a. Pengetahuan tentang TB Paru adalah kemampuan responden untuk menjawab pertanyaan tentang penyakit TB Paru yang meliputi pengertian, penyebab, tanda dan gejala, penularan, dan penatalaksanaannya. Untuk mengetahui hal tersebut responden diberi kuesioner yang terdiri dari 10 pertanyaan. Tingkat pengetahuan penderita TB Paru tentang penyakit TB Paru diukur dengan Skala Ordinal berdasarkan persentase jawaban benar dengan kategori tinggi, sedang, rendah.

b. Kepatuhan minum obat antituberkulosis adalah sejauh mana pasien teratur dalam minum obat antituberkulosis berdasarkan hasil pengisian kuesioner, kemudian dikategorikan tinggi, sedang, rendah.

F. Instrumen Penelitian

1. Kuesioner tentang tingkat pengetahuan

Instrumen pada penelitian ini menggunakan kuesioner untuk mengetahui tingkat pengetahuan tentang TB Paru. Kuesioner ini sebelumnya dibuat oleh Alwi (2004) dan juga digunakan oleh Purnomo (2009).

Kuesioner tingkat pengetahuan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas 16 pertanyaan yang terdiri dari 1 pertanyaan tentang pengertian Tuberkulosis Paru, 4 pertanyaan


(45)

4

tentang penularan Tuberkulosis Paru, 1 pertanyaan tentang penyebab Tuberkulosis Paru, 3 pertanyaan tentang tanda & gejala Tuberkulosis Paru, 4 pertanyaan tentang pengobatan responden Tuberkulosis Paru dan 3 pertanyaan tentang pencegahan Tuberkulosis Paru.

Pertanyaan pada kuesioner ini dibuat dalam 2 tipe yaitu favourable dan unfavourable. Pengertian dari favourable adalah pernyataan yang mendukung atau memihak objek penelitian, sedangkan pernyataan unfavourable adalah pernyataan yang tidak mendukung atau tidak memihak.

2. Kuesioner tentang kepatuhan minum OAT.

Morisky Medication Adherence Scale (MMAS-8) adalah instrumen yang digunakan untuk menilai kepatuhan terapi. Pada awalnya kuesioner ini dibuat untuk membantu para praktisi memprediksi kepatuhan pasien dalam pengobatan hipertensi. Kuesioner dengan 4 pertanyaan ini dapat mengukur ketidakpatuhan yang disengaja maupun yang tidak disengaja antara lain lupa, kecerobohan, menghentikan pengobatan karena merasa kondisi memburuk. Morisky Medication Adherence Scale merupakan kuesioner yang memiliki reliabilitas dan validitas yang tinggi. Beberapa penelitian kemudian memperluas aplikasi dari instrumen ini agar dapat digunakan untuk mengukur kepatuhan pada penyakit kronik lainnya seperti DM dan obstruksi saluran pernafasan (Hasmi dkk., 2007).

Tingkat kepatuhan penggunaan obat berdasarkan self report pasien yang dinilai dengan kuesioner MMAS-8 lebih bisa menangkap hambatan yang berhubungan dengan kebiasaan kepatuhan penggunaan obat. Kuesioner ini tersusun atas 8 pertanyaan dan kategori respon terdiri dari jawaban ya atau tidak dan 5 skala likert untuk satu item pertanyaan terakhir. Nilai kepatuhan penggunaan obat MMAS-8 adalah 8 skala untuk mengukur kebiasaan penggunaan obat dengan


(46)

5

rentang 0 sampai 8 dan dikategorikan menjadi 3 tingkatan kepatuhan yaitu kepatuhan tinggi (nilai=8), kepatuhan sedang (nilai=6-7) dan kepatuhan rendah (nilai=<6) (Morisky dkk., 2008).

G. Analisis data

1. Uji Validitas dan Reliabilitas a. Uji Validitas

Validitas merupakan pernyataan tentang sejauh mana alat ukur (pengukuran, tes, instrumen) mengukur apa yang memang sesungguhnya hendak diukur (Notoatmodjo, 2002). Untuk mengukur uji validitas kuesioner dilakukan dengan membandingkan antara r tabel dan r hitung.

Untuk mengukur uji validitas kuesioner dilakukan dengan membandingkan antara antara rtabel dan rhitung. Jika rhitung > rtabel maka dinyatakan valid, dan jika rhitung < rtabel maka instrumen tidak valid.

b. Uji Reliabilitas

Reliabilitas adalah ukuran yang menunjukkan sejauhmana hasil pengukuran tetap sama bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama (Notoatmodjo, 2002).

Untuk menguji reliabilitas dengan membandingkan nilai Cronbach Alpha, jika nilai

Cronbach Alpha lebih besar dari 0,600 maka pertanyaan kuesioner dapat dikatakan reliabel. 2. Penilaian kuesioner

a. Pengetahuan

Bentuk kuesioner yang digunakan adalah pernyataan Benar (B) dan S (Salah) dengan jumlah 16 item pertanyaan. Pertanyaan dibuat dalam 2 tipe yaitu favourable dan


(47)

6

unfavourable terhadap objek. Untuk kepentingan analisis kuantitatif maka setiap jawaban diberi skor untuk item favourable B (Benar) bernilai 1 dan S (salah) bernilai 0. Sedangkan untuk penskoran data item unfafourable B (Benar) bernilai 0 dan S (Salah) bernilai 1. Kategori :

1) Tinggi : ≥ 75 % 2) Sedang : 55 – 75 % 3) Rendah : ≤ 55 %

Tabel 1. Item Kuesioner Tingkat Pengetahuan Pasien tentang Tuberkulosis Paru Aspek yang dinilai Nomer Item Kuesioner Total

Favourable Unfavourable

a. Pengertian b. Penularan c. Penyebab d. Tanda & Gejala e. Pengobatan f. Pencegahan

3 2, 14, 15

1 4, 6 7, 16

10

- 12

- 5 8, 13 9, 11

1 4 1 3 4 3

Total 16

Sebelum digunakan untuk penelitian, kuesioner tingkat pengetahuan yang berjumlah 16 item pertanyaan di uji validitasnya terlebih dahulu kepada 30 responden. Dan hasilnya bahwa dari 16 item pertanyaan tersebut ada 6 item yaitu pertanyaan nomer 2, 4, 5, 6, 8 dan 14 yang dinyatakan tidak valid karena memiliki nilai r hitung < t tabel.

Selanjutnya setelah di uji validitas nya lalu di uji reliabilitasnya. Dan hasilnya adalah bahwa 10 item pertanyaan kuesioner tingkat pengetahuan dinyatakan reliabel dengan didapatkan nilai cornbach alpha >0,60.


(48)

7 b. Kepatuhan minum OAT

Kuesioner ini tersusun atas 8 pertanyaan dan kategori respon terdiri dari jawaban ya atau tidak dan 5 skala likert untuk satu item pertanyaan terakhir. Nilai kepatuhan penggunaan obat MMAS-8 adalah 8 skala untuk mengukur kebiasaan penggunaan obat dengan rentang nilai 0 sampai 8 dan dikategorikan menjadi 3 tingkatan kepatuhan yaitu kepatuhan tinggi (nilai=8), kepatuhan sedang (nilai=6-7) dan kepatuhan rendah (nilai=<6) (Morysky dkk., 2008).

Kategori respon terdiri dari ya atau tidak untuk item pertanyaan nomor 1 sampai 7. Pada item pertanyaan nomor 1-4 dan 6-7 nilai 1 bila jawaban tidak dan 0 bila jawaban ya sedangkan item pertanyaan nomor 5 dinilai 1 bila jawaban ya dan 0 bila jawaban tidak. Item pertanyaan nomor 8 dinilai dengan 5 skala likert dengan nilai 1=tidak pernah, 0,75=sesekali, 0,5=kadang-kadang, 0,25=biasanya dan 0=selalu (Mulyani, 2012).

3. Hubungan tingkat pengetahuan dan kepatuhan

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan komputasi SPSS 15.0 for windows.

a. Uji univariat

Uji ini dilakukan untuk mengetahui distribusi dan presentasi dari variabel tingkat pengetahuan tentang TB Paru dan kepatuhan minum OAT.

b. Uji bivariat

Untuk menguji hubungan antara variabel tingkat pengetahuan penderita tentang penyakit TB Paru dengan kepatuhan minum OAT menggunakan uji statistik korelasi Pearson Product


(49)

8

Moment dengan tingkat kemaknaan sebesar 95%. Uji ini digunakan untuk menguji variabel bebas (pengetahuan tentang TB Paru) dan variabel terikat (kepatuhan minum OAT). Tingkat kuat dan lemahnya korelasi dapat dilihat melalui rentang nilai KK (Sugiyono, 1999) yaitu Korelasi sangat lemah = 0,000 – 0,199; korelasi lemah = 0,2 – 0,399; korelasi sedang = 0,4 – 0,599; korelasi kuat = 0,6 – 0,799; dan korelasi sangat kuat = 0,8 – 0,999.

H. Cara Kerja 1. Tahap persiapan

Meliputi pembuatan proposal, perizinan penelitian dan persiapan kuesioner.Peneliti mempersiapkan pembuatan proposal dari Bab 1 meliputi pendahuluan, Bab II meliputi tinjauan pustaka, dan Bab III meliputi metode penelitian. Peneliti juga mempersiapkan alat penelitian yaitu berupa kuesioner. Setelah proposal disetujui oleh dosen pembimbing maka peneliti siap untuk melakukan ujian proposal. Setelah itu peneliti mempersiapkan perizinan untuk penelitian, peneliti mengajukan perizinan untuk penelitian ke bagian Diklat RS Paru Sidawangi, Cirebon, Jawa Barat.

2. Tahap pelaksanaan

Meliputi penyebaran kuesioner, yaitu peneliti akan menggunakan kuesioner sebagai alat penelitiannya. Setelah kuesioner disebar dan diisi oleh pasien yang telah masuk ke dalam kriteria inklusi maupun eksklusi lalu data masuk ke pengolahan dan analisis data.


(50)

9

Meliputi laporan hasil penelitian yang telah dilakukan, pelaporan hasil penelitian ini yaitu berupa sidang tebuka dan tertutup.

I. Skema langkah kerja Perizinan Pembuatan proposal Penyebaran kuesioner

Pengolahan dan Analisis data

Pembuatan laporan hasil penelitian

Tahap persiapan

Tahap Pelaksanaan

Tahap pelaporan


(51)

1 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Uji Validitas Kuesioner

Sebelum digunakan dalam penelitian, kuesioner disebarkan kepada 30 orang responden non sampel penelitian, dengan tetap memenuhi kriteria inklusi. Kuesioner ini diuji validitas dan reliabilitasnya dengan menggunakan program SPSS dengan melihat nilai pearson correlation. Pertanyaan dinyatakan valid apabila nilai r hitung > r tabel yaitu 0,3061. Berikut ini adalah hasil uji validitas kuesioner penelitian.

Tabel 1. Hasil Uji Validitas Kuesioner Tingkat Pengetahuan No

Item

Pertanyaan r hitung r tabel Keterangan 1 Infeksi kuman mycobakterium TB selalu menyebabkan orang

menderita penyakit TB Paru.

0,787 0,3061 Valid 2 Orang yang tinggal serumah dengan penderita TB paru mudah

tertular.

0,236 0,3061 Tidak Valid 3 Penyakit TB paru hanya dapat menyerang bagian paru saja. 0,515 0,3061 Valid 4 Berkeringat pada malam hari tanpa melakukan kegiatan bukan

merupakan gejala dari penyakit TB paru.

0,172 0,3061 Tidak Valid 5 Penderita TB yang sering influenza perlu diwaspadai menderita Tb

paru.

0,188 0,3061 Tidak Valid 6 Orang yang gejala batuk terus-menerus dan berdahak 3 minggu

bisa langsung di obati sebagai penderita TB paru.

0,194 0,3061 Tidak Valid 7 Lama pengobatan terhadap TB paru adalah 6 bulan. 0,515 0,3061 Valid 8 Apabila pengobatan di hentikan sebelum waktunya, obat dapat di

lanjutkan jika batuk kambuh lagi.

0,291 0,3061 Tidak Valid 9 Pemberantasan penyakit TB paru hanya tanggung jawab

departement kesehatan saja.

0,644 0,3061 Valid 10 Kebersihan lingkungan dapat menurunkan resiko penularan. 0,745 0,3061 Valid 11 Perbaikan gizi masyarakat tidak ada pengaruhnya terhadap

pencegahan penyakit.

0,320 0,3061 Valid 12 Penyakit TB paru merupakan penyakit yang tidak bisa

disembuhkan.

0,371 0,3061 Valid 13 Penderita TB paru tidak perlu patuh dalam berobat dan minum

obat.

0,392 0,3061 Valid 14 Penularan penyakit TB paru dapat melalui peralatan makan dan

minum.

0,236 0,3061 Tidak Valid 15 Penularan penyakit TB paru dapat melalui percikan dahak

penderita yang terhisap oleh orang lain.

0,787 0,3061 Valid 16 Jenis pengobatan yang saya jalani sekarang adalah pengobatan

jangka panjang.

0,787 0,3061 Valid

Item pertanyaan yang valid dilihat jika r hitung positif dan r hitung > r tabel, sebaliknya item pertanyaan dikatakan dikatakan tidak valid jika r hitung negatif dan r hitung < r tabel (Ghozali, 2007). Butir item kuesioner tingkat pengetahuan tentang TB Paru yang terdiri atas 16 pertanyaan


(52)

2

tidak semuanya valid. Ada beberapa pertanyaan yang menunjukkan hasil tidak valid, yaitu pertanyaan nomor 2, 4, 5, 6, 8 dan 14. Butir item tidak valid dapat terjadi karena tidak adanya perbedaan jawaban dari responden dan nilai r hitung < r tabel yaitu <0,3061 maka dari itu item yang tidak valid tidak digunakan sebagai data penelitian.

Tabel 2. Hasil Uji Validitas Kuesioner Kepatuhan Minum OAT No

Item

Pertanyaan r hitung r tabel Keterangan 1 Apakah anda kadang-kadang lupa menggunakan obat atau

minum obat untuk penyakit anda?

0,486 0,3061 Valid 2 Orang kadang-kadang tidak sempat minum obat bukan karena

lupa. Selama 2 pekan terakhir ini, pernahkah anda dengan sengaja tidak menggunakan obat atau meminum obat anda?

0,486 0,3061 Valid 3 Pernahkah anda mengurangi atau berhenti menggunakan obat

atau minum obat tanpa memberitahu dokter anda karena anda merasa kondisi anda tambah parah ketika menggunakan obat atau meminum obat tersebut?

0,576 0,3061 Valid

4 Ketika anda pergi berpergian atau meninggalkan rumah, apakah anda kadang-kadang lupa membawa obat anda?

0,576 0,3061 Valid 5 Apakah anda menggunakan obat anda atau minum obat

kemarin ?

0,576 0,3061 Valid 6 Ketika anda merasa agak sehat, apakah anda juga kadang

berhenti menggunakan obat atau meminum obat?

0,337 0,3061 Valid 7 Minum obat setiap hari merupakan hal yang tidak

menyenangkan bagi sebagian orang. Apakah anda pernah merasa terganggu dengan kewajiban anda terhadap pengobatan tuberkulosis yang harus anda jalani?

0,486 0,3061 Valid

8 Seberapa sering anda mengalami kesulitan menggunakan obat atau minum semua obat anda?

 Tidak pernah/jarang  Sekali-kali  Kadang-kadang  Biasanya  Selalu

0,549 0,3061 Valid

Berdasarkan hasil analisis uji validitas semua item pertanyaan dalam kuesioner MMAS-8 dinyatakan valid karena nilai r hitung > r tabel. Semua item pertanyaan dapat digunakan untuk mengukur kepatuhan minum OAT.

B. Hasil Uji Reliabilitas Kuesioner

Berdasarkan hasil analisis uji reliabilitas terdapat 10 item pertanyaan yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat pengetahuan pasien dengan total nilai Cornbach Alpha


(53)

3

Cornbach Alpha 0, 688 dikatakan reliabel, karena variabel dikatakan reliabel jika nilai Cornbach Alpha >0,60 (Ghozali, 2007).

C. Karakteristik Responden

Responden yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah penderita Tuberkulosis Paru yang telah menjalani pengobatan lebih dari 2 bulan di RS Paru Sidawangi Cirebon, Jawa Barat, yaitu sebanyak 42 orang responden. Dari keseluruhan responden yang ada, diperoleh gambaran mengenai karakteristiknya meliputi : usia, pendidikan, jenis kelamin dan pekerjaan responden. Data mengenai karakteristik responden dapat dilihat pada tabel-tabel dibawah ini :

1. Usia Responden

Karakteristik umur responden dikelompokkan berdasarkan kategori usia menurut Depkes RI, 2009 yaitu remaja awal = 12-16 tahun, remaja akhir = 17-25 tahun, dewasa awal = 26-35 tahun, dewasa akhir = 36-45 tahun, lansia awal = 46-55 tahun, lansia akhir = 56-65 tahun, dan manula = 66-75 tahun. Hasil pada saat penelitian dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 1. Distribusi Usia Responden di RS Paru Sidawangi, Cirebon,Jawa Barat

Dari data di atas menunjukkan bahwa responden yang paling banyak adalah responden yang berumur >45 tahun sebanyak 18 responden (42,86%). Responden masuk dalam rentang usia

26,19 %

11,90%

19,05 %

42,86%

Usia

<25 26-35 36-45 >45


(54)

4

produktif. Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 2013, bahwa penduduk usia produktif adalah penduduk yang berusia 15 hingga 59 tahun. Sedangkan menurut Undang-Undang Tenaga Kerja No. 13 tahun 2003, bahwa penduduk usia produktif adalah yang berusia 15-64 tahun yang sudah mempunyai pekerjaan, maupun yang sedang mencari pekerjaan.

Di Indonesia setiap tahun ditemukan 528.000 penderita baru TB dengan angka kematian 41 orang/10.000 sebagian besar penderita TB atau sebesar 75% adalah penduduk usia produktif antara 15-49 tahun (Yoga, 2007). Faktor usia diduga kuat memiliki hubungan dengan terjadinya kasus penyakit Tuberkulosis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 75% penderita Tuberkulosis adalah kelompok usia produktif (15-50) tahun. Orang-orang pada usia produktif biasanya memiliki lebih banyak aktivitas yang mengharuskan bertemu dengan banyak orang sehingga kemungkinan tertular dari penderita lain juga lebih besar (Depkes RI, 2002).

2. Pendidikan Responden

Untuk mengetahui data karakteristik pendidikan responden dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar 2. Distribusi Pendidikan Responden di RS Paru Sidawangi, Cirebon, Jawa Barat

Dari hasil analisis yang didapatkan bahwa persentase yang paling banyak yaitu pada responden yang memiliki tingkat pendidikan SD dan SMP, yaitu pendidikan yang termasuk

38,10%

28,57% 18,05% 2,38%

4,76% 7,14% Pendidikan

SD SMP SMA D3 S1


(55)

5

rendah. Wilkinson dkk tahun 2007, membuktikan pendidikan rendah tidak selalu berhubungan dengan rendahnya kepatuhan. Hubungan tingkat pendidikan dengan pengetahuan TB dan dampaknya terhadap kepatuhan berobat bervariasi diberbagai negara. Hal ini sejalan dengan penelitian Suswanti (2007) bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan kepatuhan minum obat pada penderita TB Paru.

3. Jenis Kelamin Responden

Untuk mengetahui data karakteristik jenis kelamin responden dapat dilihat pada gambar 5.

Gambar 3. Distribusi Jenis Kelamin Responden di RS Paru Sidawangi, Cirebon, Jawa Barat

Pada data di atas menunjukkan bahwa responden yang paling banyak adalah perempuan sebanyak 23 responden (52,38 %), sedangkan pada laki-laki ada 19 responden (47,62 %). Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Rokhmah pada tahun 2010, bahwa perbedaan gender berdampak pada angka kejadian Tuberkulosis, baik pada proses penemuan kasus, diagnosis, maupun pengobatan.

Hasil penelitian ini juga sejalan dengan apa yang dilakukan Suswanti (2007) di kabupaten Jember yang menyatakan bahwa sebanyak 55% penderita TB Paru adalah perempuan yang sebagian besar respondennya berprofesi sebagai ibu rumah tangga.

52,38% 48,62%

Jenis Kelamin

Perempuan


(1)

I m a s N u r h a y a t i [ F a r m a s i F K I K U M Y ] 6 kondisi anda tambah parah ketika

menggunakan obat atau meminum obat tersebut? Ketika anda pergi berpergian atau meninggalkan rumah, apakah anda kadang-kadang lupa membawa obat anda?

Valid

Apakah anda menggunakan obat anda atau minum obat kemarin ?

Valid

Ketika anda merasa agak sehat, apakah anda juga kadang berhenti menggunakan obat atau

meminum obat?

Valid

Minum obat setiap hari merupakan hal yang tidak menyenangkan bagi sebagian orang. Apakah anda pernah merasa terganggu dengan kewajiban anda terhadap pengobatan tuberkulosis yang harus anda jalani?

Valid

Seberapa sering anda mengalami kesulitan menggunakan obat atau minum semua obat anda?

 Tidak pernah/jarang  Sekali-kali

 Kadang-kadang  Biasanya  Selalu

Valid

Berdasarkan hasil analisis uji reliabilitas terdapat 10 item pertanyaan yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat pengetahuan pasien dengan total nilai Cornbach Alpha sebesar 0,824 dan 8 pertanyaan untuk mengukur kepatuhan minum OAT dengan total nilai Cornbach Alpha 0, 688 dikatakan reliabel, karena variabel dikatakan reliabel jika nilai

Cornbach Alpha >0,60 (Ghozali, 2007).

B. Karakteristik Responden

a. Usia

Karakteristik umur responden dikelompokkan berdasarkan kategori usia menurut Depkes RI, 2009.

Gambar 1. Distribusi Usia Responden di RS Paru Sidawangi, Cirebon, Jawa Barat.

Faktor usia diduga kuat memiliki hubungan dengan terjadinya kasus penyakit Tuberkulosis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 75% penderita Tuberkulosis adalah kelompok usia produktif (15-50) tahun. Orang-orang pada usia produktif biasanya memiliki lebih banyak aktivitas yang mengharuskan bertemu dengan banyak orang sehingga kemungkinan tertular dari penderita lain juga lebih besar (Depkes RI, 2002).

b. Pendidikan

Gambar 2. Distribusi Pendidikan

Responden di RS Paru Sidawangi, Cirebon, Jawa Barat.

26,19 %

11,90% 19,05 % 42,86%

Usia

<25

26-35

36-45

>45

38,10%

28,57% 18,05%

2,38%

4,76% 7,14% Pendidikan

SD

SMP


(2)

I m a s N u r h a y a t i [ F a r m a s i F K I K U M Y ] 7 Dari hasil analisis yang didapatkan

bahwa persentase yang paling banyak yaitu pada responden yang memiliki tingkat pendidikan SD dan SMP, yaitu pendidikan yang termasuk rendah. Wilkinson dkk tahun 2007, membuktikan pendidikan rendah tidak selalu berhubungan dengan rendahnya kepatuhan. Hubungan tingkat pendidikan dengan pengetahuan TB dan dampaknya terhadap kepatuhan berobat bervariasi diberbagai negara. Hal ini sejalan dengan penelitian Suswanti (2007) bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan kepatuhan minum obat pada penderita TB Paru.

c. Jenis Kelamin

Gambar 3. Distribusi Jenis Kelamin Responden di RS Paru Sidawangi, Cirebon, Jawa Barat.

Pada data di atas menunjukkan bahwa responden yang paling banyak adalah perempuan sebanyak 23 responden (52,38 %), sedangkan pada laki-laki ada 19 responden (47,62 %). Menurut hasil

penelitian yang telah dilakukan oleh Rokhmah pada tahun 2010, bahwa perbedaan gender berdampak pada angka kejadian Tuberkulosis, baik pada proses penemuan kasus, diagnosis, maupun pengobatan.

d. Pekerjaan

Gambar 4. Distribusi Pekerjaan

Responden di RS Paru, Sidawangi, Cirebon, Jawa Barat.

Pada responden yang terkena penyakit Tuberkulosis Paru ada yang bekerja dan ada yang tidak bekerja, responden yang bekerja sebanyak 16 orang (38,10%) dan 26 orang yang tidak bekerja (61,90%). Dari hasil tersebut persentase lebih besar responden yang tidak bekerja dan presentase lebih kecil adalah pada responden yang bekerja. Hasil ini sesuai dengan usia dari responden yang kebanyakan dalam usia dewasa tua dan dalam keadaan sakit, sehingga responden lebih memilih istirahat dan berhenti bekerja (Azhari, 2015).

52,38% 48,62%

Jenis Kelamin

Perempuan

Laki-laki

38% 62%

Pekerjaan

Bekerja Tidak Bekerja


(3)

I m a s N u r h a y a t i [ F a r m a s i F K I K U M Y ] 8

e. Tingkat Pengetahuan Penderita

tentang Tuberkulosis Paru

Tabel 1. Distribusi Responden

Berdasarkan Tingkat Pengetahuan tentang Tuberkulosis Paru

No Tingkat

Pengetahuan

Jumlah Responden

Presentase (%)

1 Tinggi 35 83,30

2 Sedang 6 14,30

3 Rendah 1 2,40

Jumlah 42 100,00

Dari hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa responden Tuberkulosis Paru di RS Sidawangi, Cirebon, Jawa Barat mempunyai tingkat pengetahuan yang baik yaitu sebanyak 35 responden (83,30%) masuk dalam kategori tingkat pengetahuan tinggi, lalu sebanyak 6 responden (14,30%) masuk dalam kategori tingkat pengetahuan sedang dan hanya 1 responden (2,40%) yang masuk dalam kategori pengetahuannya rendah.

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia yaitu indra penglihatan, indra pendengaran, penciuman, rasa dan raba dimana sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2003).

Para responden di RS Paru Sidawangi, Cirebon, Jawa Barat dari segi riwayat pendidikan yang mereka miliki sebagian besar yaitu tingkat SD dan SMP. Meskipun pendidikan mereka tidak sampai ke tingkat tinggi namun mereka selalu mendapatkan informasi yang cukup mengenai pencegahan dan penanggulangan penyakit Tuberkulosis Paru yang diperoleh dari bimbingan yang diberikan oleh petugas kesehatan setempat. Seperti yang telah dikemukakan oleh Notoatmodjo (2003) bahwa banyaknya informasi yang pernah diperoleh oleh individu dapat menjadikan individu tersebut kaya dengan pengetahuan. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan masyarakat salah satunya adalah informasi, sehingga penderita mengetahui dengan jelas akan bahaya penyakit Tuberkulosis Paru. Hal inilah yang menyebabkan tingkat pengetahuan penderita Tuberkulosis Paru mengenai penyakit Tuberkulosis Paru tinggi.


(4)

I m a s N u r h a y a t i [ F a r m a s i F K I K U M Y ] 9

f. Kepatuhan Minum Obat

Antituberkulosis Paru (OAT)

Tabel 2. Distribusi Frekuensi dan

Presentase Responden Berdasarkan Kepatuhan Minum OAT

No Kepatuhan Minum OAT

Jumlah Presentase (%)

1 Tinggi 33 78,60

2 Sedang 6 14,30

3 Rendah 3 7,10

Jumlah 42 100,00

Data di atas menunjukkan bahwa responden yang memiliki tingkat kepatuhan minum obatnya tinggi sebanyak 33 responden (78,6%), tingkat kepatuhannya sedang sebanyak 6 responden (14,3%) dan responden dengan tingkat kepatuhan minum obatnya rendah sebanyak 3 responden (7,1%).

Kepatuhan dalam minum OAT sangat berperan penting dalam proses penyembuhan penyakit Tuberkulosis Paru, sebab hanya dengan meminum obat secara teratur dan patuh maka penderita Tuberkulosis Paru akan sembuh secara total. Menurut Niven (2002) menyebutkan bahwa kepatuhan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap agar menjadi biasa dengan perubahan dengan mengatur, meluangkan waktu dan kesempatan yang dibutuhkan untuk menyesuaikan diri. Kepatuhan terjadi bila aturan pakai obat

yang diresepkan serta pemberiannya diikuti dengan benar.

g. Hubungan antara Tingkat

Pengetahuan Tuberkulosis Paru dengan Kepatuhan Minum OAT Dari hasil analisa data menggunakan

Pearson Moment Product dengan program SPSS for windows versi 15.0 dengan tingkat kepercayaan 95% atau  : 0,05 diperoleh hasil seperti terlihat tabel dibawah ini.

Tabel 2. Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Kepatuhan Minum OAT

Variabel p Value Nilai Korelasi (r)

Tingkat

Pengetahuan 0,000 (<0,05) 1,000 Kepatuhan

Minum OAT

Nilai p value menunjukkan hasil 0,000 (< 0,05) dan nilai korelasi (r) = 1,000 yang berarti bahwa ada hubungan (korelasi) yang sangat kuat antara tingkat pengetahuan penderita Tuberkulosis Paru dengan kepatuhan minum OAT di RS Paru Sidawangi, Cirebon, Jawa Barat.

Interpretasi angka korelasi menurut Sugiyono (1999) adalah sebagai berikut: 0,000 – 0,199 korelasi sangat rendah; 0,200 – 0,399 korelasi rendah; 0,400 – 0,599 korelasi sedang; 0,600 – 0,799


(5)

I m a s N u r h a y a t i [ F a r m a s i F K I K U M Y ] 10 korelasi kuat; dan 0,800 – 1,000 korelasi

sangat kuat. Hal ini berarti secara statistik dapat disimpulkan bahwa ada hubungan bermakna antara tingkat pengetahuan dengan kepatuhan minum OAT, bahwa semakin tinggi pengetahuan seseorang tentang Tuberkulosis Paru akan berpengaruh terhadap kesadaran yang selanjutnya pada perilakunya, dalam hal ini penderita Tuberkulosis Paru yang memiliki tingkat pengetahuan yang baik mempunyai kesadaran dan pandangan positif mengenai pentingnya pengobatan yang teratur sampai selesai, yang pada akhirnya bisa mengalami kesembuhan yang optimal (Sukrisno, 2008).

KETERBATASAN PENELITIAN Penelitian yang dilakukan memiliki keterbatasan dimana pada hasil uji validitas kuesioner tingkat pengetahuan, tidak semua item kuesioner dinyatakan valid. Dalam kuesioner terdapat 6 aspek yaitu pengertian, penularan, penyebab, tanda & gejala, pengobatan dan pencegahan. Setelah dilakukan uji validitas dan reliabilitas ternyata terdapat aspek yang hilang karena dinyatakan tidak valid dan tidak reliabel, yaitu aspek tanda & gejala. Maka peneliti tidak bisa memasukkan item pertanyaan mengenai aspek tanda & gejala, sehingga tidak ada item pertanyaan mengenai tanda & gejala TB Paru dalam kuesioner tingkat

pengetahuan. Dampaknya adalah item kuesioner tingkat pengetahuan tidak memiliki kelengkapan berbagai aspek pengetahuan tentang TB Paru.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

1. Responden yang memiliki tingkat pengetahuan tinggi sebesar 83,30%, tingkat pengetahuan sedang sebesar 14,30% dan tingkat pengetahuan rendah sebesar 2,40%.

2. Tingkat kepatuhan minum OAT pasien Tuberkulosis Paru tinggi sebesar 78,60%, tingkat kepatuhan sedang sebesar 14,30% dan tingkat kepatuhan rendah 7,10%.

3. Ada hubungan yang sangat kuat dan bermakna antara Tingkat Pengetahuan penderita tentang penyakit Tuberkulosis Paru dan kepatuhan minum OAT.

Saran

1. Bagi tenaga kesehatan

Memberikan informasi kepada pasien TB Paru mengenai pentingnya pengetahuan kepatuhan minum obat agar mengoptimalkan hasil terapi. 2. Peneliti Selanjutnya

- Kuesioner tingkat pengetahuan perlu dipersiapkan dengan baik agar dapat mengukur pengetahuan responden terkait semua aspek TB Paru secara lengkap. Yaitu dengan memperbaiki


(6)

I m a s N u r h a y a t i [ F a r m a s i F K I K U M Y ] 11 kata-kata dalam item kuesioner yang

tidak valid.

Melihat hubungan faktor-faktor lain terhadap peningkatan kepatuhan pasien TB Paru untuk mengoptimalkan terapi TB Paru. Seperti karakteristik responden (usia, tingkat pendidikan, jenis kelamin dan pekerjaan) terhadap kepatuhan minum OAT.

DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan RI, 2005,

Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Tuberkulosis, Ditjen Bina Farmasi & Alkes, Jakarta.

2. World Health Organization Report, 2013, Global Tuberculosis Control, World Health Organization, Geneva.

3. Kementrian Kesehatan RI, 2013,

Laporan Akuntabilitas Kinerja Kementerian Kesehatan Tahun 2013, Kemenkes RI, Jakarta. 4. World Health Organization, 2003,

Adherence to Long-Term Therapies Evidence for Action, World Health Organization, Geneva.

5. Departemen Kesehatan RI, 2005,

Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Tuberkulosis, Ditjen Bina Farmasi & Alkes, Jakarta.

6. Sukardja, 2004, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesembuhan Penderita TB Paru. Dalam Masniari, Priyanti, Aditama, Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UI, Jakarta.

7. Purnomo, E., 2009, Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap Pasien Tuberkulosis (TB) Dengan Kepatuhan Penataksanaan Tuberkulosis (TB) Di Kecamatan Umbulharjo Yogyakarta, Skripsi, Program Studi Keperawatan UMY, Yogyakarta.

8. Sugiyono, 1999, Statistika Untuk Penelitian Bisnis, Alfabeta, Bandung.

9. Djarwanto dan Subagyo, P., 1998,

Statistik Induktif Edisi Keempat, BPFE, Yogyakarta.

10. Ghozali, I., 2007, Analisis Multivariate SPSS, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.

11. Departemen Kesehatan RI, 2002,

Pedoman Nasional

Penanggulangan Tuberkulosis Cetakan ke-8, Ditjen Bina Farmasi & Alkes, Jakarta.

12. Wilkinson, M. Judith, 2007, Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC, EGC, Jakarta. 13. Suswanti, E., 2007, Karakteristik

Penderita Tuberkulosis Paru di Kabupaten Jember, Biomedis 2007, Vol.1, No.1.

14. Azhari, M. Reza, 2015, Hubungan Antara Pengobatan Tuberkulosis Pada Pasien Tuberkulosis dengan Gizi Kurang Terhadap Kejadian Hepatitis Imbas Obat di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakata, Skripsi, Program Studi Pendidikan Dokter, UMS.

15. Notoatmojo, S., 2003, Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Cetakan I, Rineke Cipta, Jakarta.

16. Niven, N., 2002, Psikologi Kesehatan : Pengantar untuk Perawat dan Profesional Kesehatan Lain Edisi 2, EGC, Jakarta.


Dokumen yang terkait

Tingkat Kepatuhan Minum Obat Penderita Tuberculosis Paru Di Poli Paru Rumah Sakit Haji Medan 2012

4 85 65

Faktorfaktor yang mempengaruhi kepatuhan minum obat anti Tuberkulosis pada pasien Tuberkulosis Paru di Puskemas Pamulang Tangerang Selatan Provinsi Banten periode Januari 2012 – Januari 2013

5 51 83

HUBUNGAN KEJADIAN EFEK SAMPING OBAT ANTITUBERKULOSIS TERHADAP KEPATUHAN MINUM OBAT PADA PENDERITA TUBERKULOSIS DI KABUPATEN TULANG BAWANG BARAT

8 43 52

HUBUNGAN PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN PENGAWAS MINUM OBAT (PMO) TERHADAP KETERATURAN MINUM OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT) PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI KABUPATEN TULANG BAWANG BARAT

3 16 52

HUBUNGAN PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN PENGAWAS MINUM OBAT (PMO) TERHADAP KEPATUHAN MINUM OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT) PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS RAWAT INAP PANJANG TAHUN 2015

18 56 67

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN DENGAN KEPATUHAN PENGGUNAAN OBAT ANTITUBERKULOSIS Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Dengan Kepatuhan Penggunaan Obat Antituberkulosis Oleh Pasien Tuberkulosis Paru Di Instalasi Rawat Jalan Balai Besar Kesehatan Paru

0 0 11

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN DENGAN KEPATUHAN PENGGUNAAN OBAT ANTITUBERKULOSIS Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Dengan Kepatuhan Penggunaan Obat Antituberkulosis Oleh Pasien Tuberkulosis Paru Di Instalasi Rawat Jalan Balai Besar Kesehatan Paru

0 1 15

Hubungan antara Karakteristik Penderita Tuberkulosis Paru dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Kayen Kabupaten Pati.

0 0 1

Analisis Hubungan Tingkat Pengetahuan Terhadap Kepatuhan Minum Obat Pada Pasien Tuberkulosis Paru di Puskesmas Teladan Kota Medan

0 0 14

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TUBERKULOSIS PARU DENGAN KEPATUHAN PASIEN MINUM OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS IMOGIRI 1 NASKAH PUBLIKASI - HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TUBERKULOSIS PARU DENGAN KEPATUHAN PASIEN MINUM OBAT ANTI TUBERK

0 1 20