Tehnik Pengolahan Data .1 Mengidentifikasi Indeks Dst

10 KHOLIDAH, 2015 KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu 3.4 Tehnik Pengolahan Data 3.4.1 Mengidentifikasi Indeks Dst Setelah diperoleh data kejadian badai geomagnet kuat Indeks Dst -100 nT maka dilihat grafik perubahan Dst dari tiap jam pada hari terjadinya badai geomagnet. Waktu yang dijadikan acuan yaitu waktu saat Dst mencapai nilai terendah. Gambar 3.7. Contoh grafik perubahan Indeks Dst terhadap waktu pada bulan Oktober 1996 yang memberikan nilai Indeks Dst sebesar -105 nT Berdasarkan data indeks Dst yang terlihat pada grafik diatas, hal yang perlu diperhatikan yaitu waktu kejadian mulai turun sampai naik kembali dan tingkat kekuatan badai Dst minimum. 3.4.2 Mengidentifikasi Sumber Gangguan di Matahari Setelah diperoleh data indeks Dst yang meliputi waktu kejadian dan Dst minimum maka selanjutnya dilakukan identifikasi terhadap sumber di Matahari yang menyebabkan terjadinya badai tersebut. 11 KHOLIDAH, 2015 KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu Pemilihan kandidat CME yang diduga sebagai penyebab badai dilakukan dalam selang waktu 2 hari s.d 3 hari . Setelah diperoleh kandidat CME yang berkaitan, selanjutnya dilakukan analisis terhadap kecepatan CME untuk memperkirakan waktu tibanya CME di Bumi. Jika waktu tibanya CME di Bumi sesuai dengan waktu terjadinya badai geomagnet maka CME tersebut dipilih sebagai penyebab badai geomagnet tersebut. Dengan mengetahui jarak Bumi - Matahari dan kecepatan CME maka waktu tibanya CME di Bumi dapat diketahui. Perkiraan waktu tibanya CME di Bumi dapat dilihat pada Tabel 3.1. Tabel 3.1.Waktu Tiba CME di Bumi dengan Asumsi Tidak Ada Perlambatan Sumber : sidc.berwccor2speedcor2speed.html Kecepatan CME kms Waktu Tempuh Jam Hari Jam 300 138,88 5 hari 18,8 jam 400 104,16 4 hari 8,16 jam 500 83,33 3 hari 11,33 jam 600 69,44 2 hari 21,44 jam 700 59,52 2 hari 11,52 jam 800 52,08 2 hari 4,08 jam 900 46,30 1 hari 22,30 jam 1000 41,67 1 hari 17,67 jam 1100 37,88 1 hari 13,88 jam 12 KHOLIDAH, 2015 KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu Kecepatan CME kms Waktu Tempuh Jam Hari jam 1200 34,72 1 hari 10,72 jam 1300 32,05 1 hari 8,05 jam 1400 29,76 1 hari 5,76 jam 1500 27,78 1 hari 3,78 jam 1600 26,04 1 hari 2,04 jam 1700 24,51 1 hari 0,51 jam 1800 23,15 23,15 jam 1900 21,93 21,93 jam 2000 20,83 20,83 jam 2100 19,84 19,84 jam 2200 18,94 18,94 jam Jika telah ditemukan CME yang berkaitan, selanjutnya diidentifikasi pemicu terjadinya CME yaitu flare atau erupsi filamen. Flare terjadi dekat daerah aktif di Matahari sedangkan erupsi filamen dapat terjadi dekat atau jauh dari daerah aktif di Matahari. Selang waktu dipilih antara 2 hari s.d 3 hari sebelum kejadian badai geomagnet. Pemilihan waktu ini disesuaikan dengan pemilihan waktu identifikasi CME. Flare dan erupsi filamen dapat dikatakan sebagai pemicu CME jika adanya kesesuaian antara waktu terjadinya flare atau erupsi filamen dengan waktu terjadinya CME. 13 KHOLIDAH, 2015 KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu Jika telah diidentifikasi flare sebagai pemicu CME maka kita dapat memperoleh data berupa waktu kejadian, kelas flare, lokasi daerah aktif, luas daerah aktif dan konfigurasi medan magnet daerah aktif. Sedangkan jika diidentifikasi bahwa erupsi filamen sebagai pemicu CME maka kita dapat memperoleh data berupa waktu kejadian dan lokasi. Data yang telah diperoleh ditabulasi disesuaikan dengan kejadian badai geomagnet dan CME. Jika tidak ditemukan adanya CME yang berkaitan maka dilakukan identifikasi terhadap lubang korona yang diduga sebagai penyebab terjadinya badai geomagnet. Pemilihan waktu dipilih antara 1 hari s.d 5 hari sebelum terjadinya badai geomagnet. Pemilihan waktu ini disesuaikan dengan kecepatan angin Matahari. Posisi lubang korona yang diduga sebagai pemicu terjadinya badai yaitu terletak didekat ekuator dan berada di bagian barat Matahari. Data yang diperoleh berupa waktu kejadian dan posisi lubang korona. Data yang telah diperoleh ditabulasi disesuaikan dengan kejadian badai geomagnet. Data yang telah diperoleh ditabulasi dan kemudian dibuat grafik untuk melihat penyebab terbanyak terjadinya badai geomagnet. 3.4.3 Mengidentifikasi Luas Daerah Aktif di Matahari dan Konfigurasi Medan Magnet Daerah Aktif di Matahari Sesuai dengan tujuan awal penelitian yaitu mengetahui keterkaitan antara daerah aktif di Matahari dengan kejadian badai geomagnet kuat dengan variabel daerah aktif yaitu luas dan konfigurasi medan magnet, maka pada penelitian ini data kejadian badai geomagnet yang bukan disebabkan oleh CME yang dipicu oleh flare yang terjadi diatas daerah aktif dapat diabaikan. Pada penelitian ini, klasifikasi keluasan daerah aktif di bagi menjadi 3 kategori yaitu sempit, sedang dan luas dengan ukuran keluasan di tunjukan pada Tabel 3.2. Klasifikasi ini di buat berdasarkan kecenderungan distribusi kejadian flare dengan luas daerah aktif . 14 KHOLIDAH, 2015 KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu Pada Gambar 3.8 terlihat bahwa kecenderungan flare kelas B dan C yang memiliki intensitas sinar-X lebih kecil dari 10 -2 ergs cm -2 s -1 memiliki kecenderungan muncul pada luas daerah aktif berkisar 0 Millionth Solar Hemisphere MH s.d 400 MH, flare kelas M yang memiliki intensitas sinar-X 10 -2 ergs cm -2 s -1 s.d lebih kecil dari 10 -1 ergs cm -2 s -1 memiliki kecenderungan muncul pada luas daerah aktif berkisar 100 MH s.d 1000 MH dan flare kelas X yang memiliki intensitas sinar-X lebih besar sama dengan 10 -1 ergs cm -2 s -1 memiliki kecenderungan muncul pada luas daerah aktif berkisar 100 MH s.d 2500 MH, sehingga pengklasifikasian di buat dengan menjadikan kecenderungan distribusi flare kelas B dan C sebagai batas untuk kategori keluasan sempit, flare kelas M sebagai batas untuk kategori keluasan sedang dan flare kelas X sebagai batas untuk kategori keluasan luas. Tabel 3.2. Klasifikasi Keluasan Daerah Aktif Klasifikasi Keluasan Luas MH Sempit L 400 Sedang 400 Luas L 1000 15 KHOLIDAH, 2015 KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu Gambar 3.8. Distribusi kejadian flare terhadap keluasan daerah aktif Klasifikasi konfigurasi medan magnet mengacu pada klasifikasi konfigurasi medan magnet Mount Wilson yaitu . 0.00E+00 2.00E-02 4.00E-02 6.00E-02 8.00E-02 1.00E-01 1.20E-01 50 10 00 15 00 20 00 25 00 In te n si tas Fl ar e Keluasan Daerah Aktif Flare Kelas B Flare Kelas C Flare Kelas M Flare Kelas X KHOLIDAH, 2015 KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu 60 BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

5.1 Simpulan