dasar pembuktian, kecuali kalau perbuatan atau peristiwa itu telah diketahui umum.
57
5. Keterangan Terdakwa
KUHAP jelas dan sengaja mencantumkan keterangan terdakwa sebagai alat bukti dalam Pasal 184 butir c, berbeda dengan peraturan lama, yaitu
HIR yang menyebut “pengakuan terdakwa” sebagai alat bukti menurut Pasal 295. Disayangkan bahwa KUHAP tidak menjelaskan apa perbedaan
antara keterangan terdakwa sebagai alat bukti dan pengakuan terdakwa sebagai alat bukti.
58
a. keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang
tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri;
Mengenai keterangan terdakwa ini diatur dalam Pasal 189 KUHAP, yakni sebagai berikut:
b. keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan
untuk menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang
didakwakan kepadanya;
c. keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri;
d. keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia
bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.
Bentuk keterangan yang dapat diklasifikasikan sebagai keterangan
terdakwa yang diberikan di luar sidang adalah: a.
keterangan yang diberikannya dalam pemeriksaan penyidikan; b.
keterangan itu dicatat dalam berita acara penyidikan;
57
Hendrastanto, Op. cit, hal. 255.
58
Andi Hamzah., Op. cit, hal. 286.
c. berita acara penyidikan itu ditandatangani oleh pejabat penyidik dan
terdakwa.
59
Jika terdakwa tidak mau menjawab atau menolak untuk menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, hakim ketua sidang menganjurkan
untuk menjawab dan setelah itu pemeriksaan dilanjutkan.
60
Jika terdakwa bertingkah laku yang tidak patut sehingga mengganggu ketertiban sidang, hakim ketua sidang menegurnya dan jika teguran itu
tidak diindahkan ia memerintahkan supaya terdakwa dikeluarkan dari ruang sidang, kemudian pemeriksaan perkara pada waktu itu dilanjutkan
tanpa hadirnya terdakwa. Dalam hal terdakwa secara terus menerus bertingkah laku yang tidak patut sehingga mengganggu ketertiban sidang,
hakim ketua sidang mengusahakan upaya sedemikian rupa sehingga putusan tetap dapat diajukan dengan hadirnya terdakwa.
61
a. jika terdakwa dipanggil secara tidak sah, hakim ketua sidang menunda
persidangan dan memerintahkan supaya terdakwa dipanggil lagi untuk hadir pada sidang berikutnya ayat 3
Apabila di saat dibutuhkan keterangan terdakwa sebagai alat bukti dan ternyata terdakwa tidak hadir dalam persidangan, maka hakim dapat
menggunakan ketentuan dalam Pasal 154 KUHAP, yakni sebagai berikut:
b. jika terdakwa ternyata telah dipanggil secara sah tetapi tidak datang di
sidang tanpa alasan yang sah, pemeriksaan perkara tersebut tidak dapat dilangsungkan dan hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa
dipanggil sekali lagi ayat 4
c. hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa yang tidak hadir
tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara sah untuk kedua kalinya, dihadirkan dengan paksa pada sidang pertama berikutnya
ayat 6.
59
M. Yahya Harahap, Op. cit, hal. 851.
60
Pasal 175 KUHAP.
61
Pasal 176 ayat 1 dan 2 KUHAP.
Ketidakhadiran, ketidakbenaran untuk memberikan keterangan sebagai alat bukti ini, pada umumnya manusia merasa takut dalam menerima pidana,
Sehingga ia menghindari dari tujuan keterangan yang dimaksudkan oleh para aparat penegak hukum khususnya para hakim yang bersangkutan yang memimpin
sidang. Juga ketidakbenaran keterangan yang diharapkan, walaupun dalam hati terdakwa tersebut tertanam rasa ingin mengungkapkan keterangan yang
sebenarnya, namun karena ia merasa takut untuk menerima pidana atas perbuatan yang dilakukan, maka dari rasa ketakutan tersebut menimbulkan dorongan kuat
untuk memberikan keterangan yang tidak sesungguhnya, dimana dalam hal ini memang dapat diterima oleh nalar. Maka di sini benar-benar dituntut adanya
psikologi yang benar-benar berperan dalam kasus-kasus semacam ini.
62
62
Hendrastanto, Op. cit, hal. 257.
Berdasarkan Pasal 5 angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, menyatakan bahwa :
“Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik danatau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah”.
Penjelasan Pasal 5 angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyatakan bahwa informasi
elektronik danatau dekumen elektronik merukan alat bukti hukum yang sah, berdasarkan Pasal 5 angka1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik diatas, penggunaan sistem elektronik khususnya alat pendeteksi kebohongan lie detector dapat dijadikan alat bukti
yang sah dalam proses peradilan yaitu sebagai alat bukti petunjuk.
Selanjutnya, Berdasarkan Pasal 5 angka 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, menyatakan bahwa :
“Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik danatau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan perluasan dari
alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia”.
Penjelasan pasal 5 angka 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah jelas menyatakan bahwa
Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik danatau hasil cetaknya merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang
berlaku di Indonesia. Hasil dari penggunaan sistem eletronik, khususnya alat pendeteksi kebohongan lie detector dapat dijadikan alat bukti yang sah
berdasarkan hukum acara yang berlaku di Indonesia.
B. Pengaturan tentang Pembuktian Alat Pendeteksi Kebohongan pada