Pengaturan tentang Pembuktian Alat Pendeteksi Kebohongan pada

Selanjutnya, Berdasarkan Pasal 5 angka 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, menyatakan bahwa : “Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik danatau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia”. Penjelasan pasal 5 angka 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah jelas menyatakan bahwa Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik danatau hasil cetaknya merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Hasil dari penggunaan sistem eletronik, khususnya alat pendeteksi kebohongan lie detector dapat dijadikan alat bukti yang sah berdasarkan hukum acara yang berlaku di Indonesia.

B. Pengaturan tentang Pembuktian Alat Pendeteksi Kebohongan pada

Proses Peradilan Pidana Berdasarkan KUHAP dan Undang- undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan, melalui pembuktian tersebut dapat ditentukan nasib terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan oleh undang-undang dan yang dipergunakan oleh hakim untuk membuktikan kesalahan yang dilakukan oleh terdakwa. Pembuktian merupakan suatu cara yang digunakan untuk dapat meyakinkan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan harus dapat membuktikan bahwa tersangka benar-benar bersalah dan dapat dihukum berdasarkan peraturan perundang- undangan. Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHAP yang menyatakan bahwa : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa lah yang bersalah melakukannya”. Putusan dalam kasus-kasus tindak pidana dalam dunia peradilan bergantung dari pertimbangan majelis hakim yang menangani perkara tersebut. Keputusan bersalah atau tidaknya seorang terdakwa mutlak berada di tangan majelis hakim. Di dalam teori dikenal adanya 4 sistem pembuktian, yakni sebagai berikut: 63 1. Sistem Pembuktian Semata-mata Berdasar Keyakinan Hakim Convictim in Time Sistem pembuktian ini menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakimlah yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan oleh hakim, dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Sistem ini 63 M. Taufik Makarso dan Suharsil, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, hal. 103-106. mengandung kelemahan, karena hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas “dasar keyakinan” belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya, hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukannya walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Sistem ini seolah-olah menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata-mata. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini. 64 Menurut Andi Hamzah, sistem ini dianut oleh peradilan jury di Perancis. Praktek peradilan jury di Perancis membuat pertimbangan berdasarkan metode ini dan mengakibatkan banyaknya putusan bebas yang aneh. 65 Pembuktian demikian pernah dianut di Indonesia, yaitu pada pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten. Sistem ini memungkinkan hakim menyebut apa saja yang menjadi dasar keyakinannya, misalnya keterangan medium atau dukun. 66 Keberatan terhadap sistem ini ialah karena di dalamnya terkandung suatu kepercayaan yang besar terhadap ketepatan kesan-kesan pribadi seorang hakim. Lagi pula terhadap putusan-putusan atas dasar sistem pembuktian ini sukar untuk dilakukan penelitian bagi hakim atasan, karena tidak dapat mengetahui pertimbangan hakim yang menjurus ke arah terbitnya putusan. 64 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Jilid II, Pustaka Kartini, Jakarta, 1993, hal. 797-798. 65 Andi Hamzah, Op. cit, hal. 260. 66 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Atjara Pidana di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta, 1974, hal. 75. Oleh karena itu, sistem ini sekarang sudah tidak dapat diterima lagi dalam kehidupan hukum di Indonesia. 67 2. Sistem Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan Logis La Conviction Raisonnee Convictim-Raisonee. Dalam sistem inipun dapat dikatakan, keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya seorang terdakwa. Akan tetapi dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim “dibatasi”. Jika dalam sistem pembuktian convictim in time peran keyakinan hakim leluasa tanpa batas, maka pada sistem ini, keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas. Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima oleh akal. Tidak semata-mata dasar keyakinan tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal. 68 3. Sistem Pembuktian Berdasar Undang-undang Secara Positif Disebut demikian karena hanya didasarkan kepada undang-undang melulu. Artinya, jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut dalam undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal. Menurut M. Yahya Harahap, sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif lebih sesuai dibandingkan dengan sistem pembuktian menurut keyakinan. Sistem pembuktian menurut undang-undang positif lebih dekat kepada prinsip penghukuman berdasar hukum, artinya penjatuhan hukuman terhadap seseorang semata-mata tidak diletakkan di 67 Ansorie Sabuan, Syarifuddin Pettanasse, dan Ruben Achmad, Hukum Acara Pidana, Angkasa, Bandung, 1990, hal 187. 68 M. Yahya Harahap, Op. cit, hal. 231. bawah kewenangan hakim, tetapi di atas kewenangan undang-undang yang berlandaskan asas seorang terdakwa baru dapat dihukum dan dipidana jika yang didakwakan kepadanya benar-benar terbukti berdasar cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. 69 Sistem ini melulu menurut ketentuan undang-undang yang meninggalkan nilai kepercayaan tentang diri pribadi hakim sebagai sumber keyakinan, hingga akan menimbulkan bentuk putusan yang dapat menggoyahkan kehidupan hukum karena kurangnya dukungan dalam masyarakat sebagai akibat putusan-putusan yang tidak dapat mencernakan kehendak masyarakat yang akan tercermin dalam pribadi hakim. Oleh karena itu, sistem ini tidak dapat diterapkan di Indonesia. 70 4. Sistem Pembuktian Berdasar Undang-undang Secara Negatif. Sistem pembuktian ini menekankan pada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah kemudian keyakinan hakim. Menurut teori ini, hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikit-dikitnya alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang itu ada, ditambah dengan keyakinan hakim yang didapat dari adanya alat-alat bukti itu. Sistem ini tercantum dalam Pasal 183 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suat tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. 69 Ibid, hal. 799. 70 Ansorie Sabuan, Op. cit., hal. 187. Atas dasar ketentuan Pasal 183 KUHAP ini, maka dapat disimpulkan bahwa KUHAP memakai sistem pembuktian menurut undang-undang yang negatif. Ini berarti bahwa dalam hal pembuktian harus dilakukan penelitian, apakah terdakwa cukup alasan yang didukung oleh alat pembuktian yang ditentukan oleh undang-undang minimal dua alat bukti dan kalau ini cukup, maka baru dipersoalkan tentang atau tidaknya keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa. 71 71 Ibid., hal. 188. Undang-undang Pokok tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 6, juga mengatur hal ini, yaitu tiada seorang jua pun dapat dijatuhi pidana kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya. HIR juga mengatur tentang hal ini, yaitu dalam Pasal 294 ayat 1 yang berbunyi, tiada seorang pun boleh dikenakan pidana, selain jika hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi perbuatan yang dapat dipidana dan bahwa orang-orang yang didakwa itulah yang bersalah melakukan perbuatan itu. KUHAP dan undang-undang pokok kekuasaan kehakiman menekankan kepada alat bukti yang sah dahulu, kemudian keyakinan hakim, sedangkan HIR mendahulukan keyakinan hakim baru kemudian alat bukti yang sah. KUHAP lebih tegas menekankan dua alat bukti yang sah, sedangkan UUPK dan HIR hanya menyebutkan alat bukti yang sah dan alat pembuktian yang sah. Antara sistem pembuktian undang-undang secara negatif dengan sistem pembuktian yang berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya ialah keduanya mengakui adanya keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim bahwa ia bersalah. Perbedaannya, sistem pembuktian undang- undang secara negatif didasarkan atas dua alat bukti yang sah, diikuti dengan keyakinan hakim, sedangkan sistem pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis harus didasarkan atas keyakinan hakim, dimana keyakinan itu didasarkan kepada suatu kesimpulan yang logis yang tidak didasarkan kepada undang-undang, tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan sendiri, menurut pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang mana yang akan dipergunakan. D. Simons mengemukakan, dalam sistem atau teori pembuktian yang berdasar undang-undang secara negatif negatief wettelijke bewijs theorie ini, pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda dubbel en grondslag, yaitu pada peraturan undang-undang dan pada keyakinan hakim, dan menurut undang-undang, dasar keyakinan hakim itu bersumberkan pada peraturan undang- undang 72 Wirjono prodjodikoro berpendapat, bahwa sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan, pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan aturan yang mengikat hakim dan menyusun . 72 Andi Hamzah, Op.cit, hal. 234. keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu harus dituruti oleh hakim dalam melakukan peradilan. 73 M. Yahya Harahap berpendapat lain, sistem pembuktian ini dalam praktek penegakan hukum akan lebih cenderung pada pendekatan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Sedangkan mengenai keyakinan hakim, hanya bersifat unsur pelengkap dan lebih berwarna sebagai unsur formil dalam model putusan. Unsur keyakinan hakim itu tidak dilandasi oleh pembuktian yang cukup. Sekalipun hakim yakin dengan seyakin-yakinnya akan kesalahan terdakwa, keyakinan itu dapat saja dianggap tidak mempunyai nilai jika tidak dibarengi dengan pembuktian yang cukup. Sebaliknya, seandainya kesalahan terdakwa telah terbukti dengan cukup, dan hakim lalu mencantumkan keyakinannya, kealpaan itu tidak mengakibatkan batalnya putusan. 74 Hal lain berkaitan dengan keyakinan hakim ini adalah seperti apa yang disebutkan dalam Pasal 158 KUHAP, hakim dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa. 75 Barang bukti sebagaimana yang diatur dalam Pasal 39 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana KUHP menjelaskan bahwa barang bukti adalah barang atau alat yang secara langsung atau tidak langsung untuk melakukan tindak pidana atau hasil dari tindak pidana serta alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP, padahal ini masih bersifat kuantitatif karena sistem teori pembuktian di Indonesia masih menganut sistem teori pembuktian secara negatif Negatief Wettlijk Stelsel yaitu salah tidaknya 73 Wirjono Prodjodikoro, Op. cit, hal. 77. 74 M. Yahya Harahap, Op. cit, hal. 804. 75 Lihat juga Pasal 152 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan pada cara dan dengan alat bukti yang sah menurut undang-undang. Berdasarkan penjelasan pada Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana di atas, telah jelas bahwa KUHAP hanya mengatur tentang 5 lima alat bukti yang sah, dan diluar dari alat-alat bukti tersebut tidak dibenarkan untuk dipergunakan sebagai alat bukti dalam membuktikan kesalahan pelaku tindak pidana, namun untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum yang berkenaan dengan alat bukti teknologi informasi, khususnya yang terkait dengan penggunan alat pendeteksi kebohongan lie detector sebagai alat bukti petunjuk, hakim dapat melakukan suatu penafsiran ekstensif yang merupakan pemikiran secara meluas dari peraturan perundang-undang yang berlaku positif dalam hal ini, alat bukti petunjuk di perluas, sehingga alat pendeteksi kebohongan lie detector dapat dijadikan alat bukti yang sah pada proses peradilan pidana. Penafsiran ekstensif yang dilakukan hakim tidak hanya sebatas pada peraturan- peraturan yang ada di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana melainkan dapat mengacu kepada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang merupakan dasar hukum dalam penggunan sistem elektronik Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ini lebih memberikan kepastian hukum karena ruang lingkup berlakunya lebih luas, selain itu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juga mengakui hasil penggunan sistem elektronik, khususnya mengenai hasil tes penggujian alat pendeteksi kebohongan lie detector sebagai alat bukti yang sah, yaitu alat bukti petunjuk. Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dinyatakan bahwa : 1. Informasi elektronik danatau dokumen elektronik danatau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. 2. Informasi eletronik danatau dokumen elektronik danatau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. 3. Informasi eletronik danatau dokumen elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan sistem eletronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini. 4. Ketentuan mengenai informasi elektronik danatau dokumen elektronik sebagaimana dengan dimaksud pada ayat 1 tidak berlaku untuk : a. Surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan b. Surat beserta dokumennya yang menurut undang‐undang harus dibuat dalam bentuk akta notaris atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. Penjelasan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ini membahas mengenai informasi elektronik danatau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah, terkait dengan alat pendeteksi kebohongan lie detector yang dalam hal ini merupakan bagian dari sistem elektronik yang hasil pengujiannya dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah di pengadilan, pembuktian data elektronik pada hal ini adalah salah satu penyelesaian perkara untuk memberikan keyakinan pada hakim dalam memberikan sangsi kepada pelaku tindak pidana. Selanjutnya dijelaskan pada Pasal 5 angka 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menyatakan bahwa Informasi eletronik danatau dokumen elektronik danatau hasil cetaknya merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Berdasarkan penjelasan Pasal 177 Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana RUU KUHAP, bukti elektronik merupakan informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, termasuk setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, danatau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. Alat pendeteksi kebohongan lie detector pada hal ini dapat dikatakan sebagai alat bukti yang sah menurut hukum acara yang berlaku di Indonesia apabila hasil pemeriksaan atas keabsahan dari tes alat pendeteksi kebohongan lie detector diberikan oleh seorang ahli atau keterangan ahli, yang dalam hal ini yaitu ahli laboratorium forensik komputer. Sistem pembuktian dengan menggunakan teknologi informasi saat ini merupakan tantangan yang besar bagi seorang hakim karena hakim harus cermat dan tepat dalam menggunakan defenisi informasi dan transaksi elektronik yang dapat diterima sebagai alat bukti di persidangan, maka pada proses persidangan hakim harus berpegang pada Pasal 28 angka 1 Undang-Undang Nomor 48Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, menyatakan bahwa : “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Hakim dalam hal ini tidak boleh menolak suatu kasus yang telah masuk dalam pengadilan, dengan alasan belum ada aturan hukum tertulis yang mengatur tentang kasus atau perkara yang masuk kepengadilan. Hakim memiliki kewajiban untuk menyelesaikan kasus yang ada dengan mengadili, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, serta memperhatikan kebiasaan-kebiasaan yang terjadi di masyarakat agar tidak terjadi kekosongan hukum dan demi tercapainya kepastian hukum tetap inkracht.

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan atas permasalahan di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, peranan alat pendeteksi kebohongan lie detector pada proses peradilan pidana yaitu sebagai alat bukti petunjuk, namun harus didukung oleh alat-alat bukti lainnya antara lain yaitu alat bukti keterangan ahli dan alat bukti surat yang berupa salinan data data recording dari hasil tes pengujian alat pendeteksi kebohongan lie detector. 2. Penggunan sistem elektronik, khususnya pada hal ini alat pendeteksi kebohongan lie detector belum diatur secara tegas di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP. Berdasarkan penjelasan pada Pasal 184 angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP, KUHAP hanya mengatur tentang 5 lima alat bukti yang sah, dan diluar dari alat-alat bukti tersebut tidak dibenarkan untuk dipergunakan sebagai alat bukti dalam membuktikan pelaku tindak pidana. Berkenaan dengan alat bukti teknologi informasi, khususnya yang terkait dengan penggunan alat pendeteksi kebohongan lie detector sebagai alat bukti dapat mengacu kepada Pasal 5 angka 1 dan Pasal 5 angka 2 Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi

Dokumen yang terkait

Hasil Penyadapan KPK Sebagai Alat Bukti Dalam Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

1 64 77

Tinjauan Hukum Penyadapan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai Alat Bukti Ditinjau Dari Udang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Juncto Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

0 7 1

Tinjauan hukum Mengenai Penggunaan Alat Pendeteksi Kebohongan (LIe Detector) Pada Proses Pengadilan Pidana Dihubungkan Dengan Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Juncto Undang - Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Tr

0 4 1

Tinjauan Hukum Mengenai Kekuatan Pembuktian Secara elektronik Dalam Perkara Cyber Crime Dihubungkan Dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Juncto Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

1 10 29

Perlindungan Hukum Terhadap Saksi (Justice Collaborator) Dalam Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Juncto Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban

1 8 50

IDENTIFIKASI TINDAK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008)

0 5 16

IDENTIFIKASI TINDAK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008)

1 12 77

DATA ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PIDANA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

2 21 96

SITUS LAYANAN PEMBUNUH BAYARAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK, KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

0 0 16

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU KEJAHATAN PENGGUNAAN SISTEM ELEKTRONIK DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK - repo unpas

0 0 37