47
terhadap leluhur, adanya ritual-ritual mistis yang dapat membantu masyarakat, dan adat-istiadat, tercermin pula dalam konsep pemena yang merupakan unsur
Budaya Suku Karo itu sendiri. Sesuai dengan salah satu identitas budaya Karo yang terkadang sulit untuk
membedakan mana acara yang dilaksanakan atas dasar kepercayaan, atau suatu adat khusus, atau hanya suatu kebiasaan-kebiasaan saja meskipun begitu
Masyarakat Karo tetap berpandangan bahwa segala sesuatu yang memang telah diadatkan harus dipatuhi, karena sangat berharganya budaya ini maka Orang Karo
akan sangat terhina bila dikatakan tidak beradat Sitepu, dkk, 1996. Berdasarkan penelitian ini, maka dapat diketahui pula bahwa pada
Masyarakat Desa Gunung telah terjadi akulturasi antara nilai-nilai yang sudah ada dari awal yaitu konsep pemena, dengan nilai-nilai baru yang dalam hal ini adalah
agama resmi yang ditetapkan oleh pemerintah. Hasilnya adalah bahwa meskipun mereka sudah memeluk agama resmi tersebut, namun konsep pemena itu sendiri
tidak serta merta menjadi hilang dari diri mereka.
2. Pengetahuan Masyarakat Desa Gunung tentang Perbedaan Pemena dengan Agama Resmi
Perbedaan pemena dengan agama yang ada saat ini adalah, pertama, pemena menyembah leluhur sedangkan agama yang ada saat ini menyembah
Tuhan. Kedua, pemena hanya dianut oleh Orang Karo sedangkan agama yang ada saat ini dianut oleh orang-orang dari berbagai suku bangsa. Ketiga, terletak pada
instrumen keagamaan pemena tidak miliki kitab, sedangkan agama yang ada saat ini sudah memiliki kitab suci. Pemena juga tidak memiliki rumah ibadah
Universitas Sumatera Utara
48
sedangkan agama yang ada saat ini sudah memiliki seperti masjid, dan gereja. Keempat, pemena mempercayai hal-hal mistik sedangkan agama sekarang tidak.
Kelima pemena sendiri tidak percaya Yesus. Keenam pemena mengajarkan kerja sama antar masyarakat sedangkan agama yang ada saat ini tidak.
3. Ritual Pemena yang Masih Dijalankan Saat ini oleh Masyarakat Desa Gunung
Ritual-ritual yang masih dijalankan sampai saat ini adalah, yang pertama, Erpangir ku lau yaitu, ritual yang dilakukan oleh seseorang untuk membersihkan
diri dari hal-hal buruk yang dialami dalam kehidupan sehari-hari atau untuk menenangkan diri karena adanya firasat buruk.
Sitepu dkk 1996 mengatakan pelaksanaan Erpangir ku lau tersebut dipimpin oleh Guru Sibaso, biasanya tempat pelaksaan ritual Erpangir ku lau
dilakukan di sebuah sungai, Guru Sibaso akan mencari tempat yang cocok untuk dilakukannya ritual, adapun bahan-bahan yang diperlukan antara lain seperti
sebelas jenis Jeruk, daun-daun, pisang emas, dan seekor ayam hitam. Guru Sibaso akan meramu semua bahan-bahan tersebut untuk dimandikan ke seseorang yang
melakukan ritual tersebut. Kedua adalahndilo wari udahSarjani 2011 mengatakan ndilo wari
udanyaitu suatu ritual yang dilakukan oleh masyarakat secara beramai-ramai dan juga dipimpin oleh Guru Sibaso, ritual ini dilakukan untuk mendatangkan hujan
adapun peralatan yang dipakai dalam ritual ini berupa tempat air dari bambu, selang dari bambu dan ember yang dibawa masing-masing oleh masyarakat, untuk
Universitas Sumatera Utara
49
memulainya ritual ini Guru Sibaso dan masyarakat berdoa bersama kepada leluhur untuk meminta bantuan agar hujan turun setelah itu semua orang yang ikut
dalam ritual tersebut saling menyiram satu dengan yang lain dan berteriak memanggil hujan agar segera turun.
Ketiga adalah Perumah Begu ritual bertujuan memanggil roh orang-orang yang telah meninggal dunia. Keempat adalah Releng tendi yang merupakan
pemanggilan roh orang yang masih hidup dalam bahasa Karo.Sri Alem 2005 mengatakan roh orang yang masih hidup disebut tendi, roh atau tendi yang keluar
dari tubuh seseorang karena adanya peristiwa atau kejadian yang dialami, kejadian tersebut membuat orang sangat terkejut. Perilaku seseorang yang rohnya tendi
keluar dari tubuh akan menunjukan keanehan seperti tiba-tiba menjadi sangat pendiam, tertawa seorang diri, menanggis secara tiba-tiba, roh atau tendi
seseorang dipercaya telah ditawan oleh makluk gaib yang ada disekitar kampung untuk itu perlu dilaksanakannya ritual releng tendi oleh Guru Sibaso.
Kelima adalah Selok, Sri Alem 2005 menjelaskanSelok merupakan kondisi ketika Guru Sibasokerasukan atau kesurupan, roh-roh yang merasuki
tubuh Guru Sibaso tersebut dipercaya merupakan roh leluhur, yang ingin berkomunikasi dengan masyarakat.
Sejalan dengan definisi ritual menurut Koenjtaraningrat 1985 yang mengatakan ritual adalah tata cara dalam upacara atau suatu perbuatan keramat
yang dilakukan oleh sejumlah umat beragama. Ritual-ritual yang dilakukan memiliki komponen dan unsur bermacam – macam seperti waktu ritual, tempat
Universitas Sumatera Utara
50
dimana dilaksanakannya ritual, peralatan yang diperlukan, dan orang-orang yang menjalankan ritual. Dalam Masyarakat Karo yang tinggal di Desa Gunung juga
terdapat beberapa ritual-ritual yang dianggap keramat seperti yang dijelaskan diatas, dan terdapat orang yang memimpin ritual atau upacara seperti Guru Sibaso
yang akan memandu orang-orang untuk mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam pelaksaan ritual, seperti waktu, peralatan pelaksaan ritual.
Praktek-praktek dari ritual tersebut digambarkan sebagai sarana untuk mengisi sisi spiritual yang ada pada individu seperti yang diungkapkan oleh
Berman dan Snyder 2012 yang mengatakan manusia memiliki kebutuhan unutk menyalurkan dan memenuhi sisi spiritualitasnya.
4. Pandangan terhadap Peran Guru Sibaso dan Leluhur