2. b. Lingkar Diri Peter L Berger

kepribadian itu pada ‘ras’ atau pengalaman purba yang menjadi titik kulminatif dari deret hitung generasi masa lampau yang merentang jauh kebelakang sampai asal- usul manusia yang hanya secara samar-samar dapat teraba. Pendapat Jung ini tentu menarik untuk disimak karena penting untuk menggarisbawahi adanya perhubungan antara corak diri dengan pembentukan watak sosial yang dikenal secara umum. 29 Patut dikemukakan jika watak sosial berangkat dari sistem watak. Di dalam sistem watak sendiri terdapat apa yang disebut Erich Fromm sebagai ciri watak. Ciri watak berbeda dengan perilaku karena ciri watak adalah akar dari ciri tingkah laku. Ciri watak dapat dinyatakan dalam satu atau berbagai tingkah laku yang keberadaannya seringkali tidak disadari tetapi dapat disimpulkan dari berbagai fenomena. Mengenai hal itu Erich Fromm mengatakan, “...ciri-ciri watak merupakan bagian dari suatu sistem yang dinamis, yaitu sistem watak. Ciri-ciri itu berubah hanya sejauh seluruh sistem itu berubah, tetapi bukan secara independen. Sistem itu sebagai satu keseluruhan telah dibentuk untuk menjawab susunan sosial penuh. Akan tetapi tanggapan ini tidak bersikap sewenang- wenang melainkan dikondisikan oleh sifat dasar manusia, yang menentukan cara- cara bagaimana energi manusiawi dapat disalurkan. Sistem watak merupakan bentuk yang agak tetap dimana energi manusia disusun secara struktural dalam proses berelasi dengan ornag lain dan dalam proses mengasimilasi alam. Sistem watak adalah hasil interaksi dinamis antara ‘sistem manusia’ dan ‘sistem masyarakat’ tempat ia tinggal” Fromm, 2004: 275-276.

F. 2. b. Lingkar Diri Peter L Berger

Seluruh sistem yang digambarkan Jung akan lebih mudah dipahami apabila proses dialektika ruang yang mengikat individu: keterkaitan diri dengan lingkungan, dengan dunia ‘objektif-nya’ dapat diandaikan sebagai sebuah perjalanan dalam 29 Yang patut ditekankan dari pernyataan Jung ini adalah ‘sistem perhubungan’ antara psikhe dan terbentuknya watak sosial yang merangsak masuk hingga ke dimensi yang ‘samar-samar’. Dalam penelitian ini penyusun menggarisbawahi ‘sistem perhubungannya’ dan bukan diri sebagai individu. Dengan demikian, berangkat dari pernyataan Jung sendiri, sejauh penyusun ketahui, tidak ada ‘keharusan’ untuk menggunakan pribadi atau diri sebagai bahan rujukan utama untuk mengkaji identitas maupun watak sosial. lingkaran yang tak pernah putus—seperti halnya konsep mandala yang pernah disebut-sebut Jung dalam Hall Lindzey, 1993: 191. Peter L. Berger 1991: 4-5 yang memanfaatkan metode pembacaan dialektik Hegel, memaparkan bahwa tiga kanal utama yang secara masif bekerja dalam proses itu adalah eksternalisasi, obyektivikasi dan internalisasi. Triad tersebutlah yang secara aktif mempengaruhi apa yang sebut sebagai ‘Diri’ dalam pandangan Jung. Gambar 1. Skema relasi manusia dengan lingkungannya Triad Dialektika Berger Eksternalisasi merupakan pernyataan lahiriah subjek-individu yang berasal dari pemahaman atas sebuah konteks sosial. Suatu keharusan antropologis yang merupakan “pencurahan kedirian manusia secara terus-menerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas fisis maupun mentalnya.” Kisi kelampauan bertaut erat dengan bagaimana pengalaman-persepsi membentuk pernyataan atas dunia. Pada perjalanan tersebut, mengejewantahlah perilaku—yang dipayungi kesadaran bentukan maupun sang hakiki—menjadi kenyataan objektif yang tidak dapat ditolak, yakni pranata- pranata sosial yang dianggap dibentuk berdasar konsensus atau dalam bahasa Berger, “...disandangnya produk-produk aktivitas itu baik fisis maupun mental, suatu realitas yang berhadapan dengan para produsennya semula, dalam bentuk suatu kefaktaan faktisitas yang eksternal, dan lain dari, para produser itu sendiri” Berger, 1991: 5. Pada titik tersebut, objektifitas akan selalu berkait dengan kekuasaan. Sebab, pada kenyataannya, objektifitas memang lebih dipengaruhi oleh sistem atau mekanisme kerja pengelolaan isue. Artinya, bicara mengenai objektifitas sama dengan berhadap-hadapan dengan ‘sesuatu yang abu - buram ’ dan tegangan tersebut mengerucut pada ruang internalisasi atau “peresapan kembali realitas tersebut oleh manusia, dan mentransformasikannya sekali lagi dari struktur-struktur dunia objektif ke dalam struktur-struktur kesadaran subjektif”. Di ruang inilah terjadi tarik ulur antara pengalaman personal dengan dorongan eksternal yang baru. Internalisasi kemudian menjadi area tawar-menawar yang digunakan subjek untuk memetakan dunia serta menyatakan diri ‘ada’. Pergulatan identitas menjadi nyata dalam kata- kata Berger; “Melalui eksternalisasi, maka masyarakat merupakan produk manusia. Melalui obyektivikasi, maka masyarakat menjadi suatu realitas sui generis, unik. Melalui internalisasi, maka manusia merupakan produk masyarakat” Berger, 1991: 5.

F. 2. c. Sejarah a la Foucault: Medan Dialektika Terbuka