2. c. Hermeneutika sebagai Sebuah Pendekatan

3 Creating of meaning atau penciptaan arti, adalah bagian dari konvensi kepuitisan yang berbentuk visual yang tidak mempunyai arti secara linguistik namun menimbulkan makna dalam karya. Misalkan saja pembaitan, enjambemem, persajakan rima, tipografi dan homologues. 49

H. 2. c. Hermeneutika sebagai Sebuah Pendekatan

Sumaryono 1993: 24 mengatakan jika hermeneutika adalah, “Proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti.” Sementara interpretasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti “Hasil penafsiran; pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoritis terhadap sesuatu.” Dapat dirumuskan, proses hermeneutik adalah proses intrepretasi, usaha mendekati pemahaman semesta—yang termuat dalam wacana beserta simbol-simbol dan mekanisme strukturnya—melalui proses proaktif mempertanyakan sesuatu. Dalam pandangan Ricoeur Interpretasi dititikberatkan pada transisi antara penjelasan eksplanasi yang diadopsi dari ilmu-ilmu alam Naturewissenschaften dan pemahaman yang diambil dari pendekatan humaniora Geisteswissenschaften. 50 49 Seperti halnya nonsense, bagian ini tidak akan digunakan karena memang tidak terdapat tampilan visual seperti yang dicirikan. 50 Namun sebelum memasuki lingkar dialektis erklaren dan verstehen, masih ada landasan penafsiran yang harus dicermati, yakni perlunya menebak atau memperkirakan Sumaryono, 1993: 99; Sugiharto, 1996: 92; Thompson, 2003: 287-288. Perkiraan tidak bisa dihindari karena, “Bila makna objektif adalah sesuatu selain daripada maksud pengarang, maka tentulah makna objektif dapat diartikan dalam berbagai cara … untuk mengartikan makna sebagai makna verbal teks harus membuat perkiraan” Ricoeur, 2002: 161. Dan untuk ini tidak ada aturan baku untuk membuat sebuah perkiraan yang baik, sesuai apa yang dikatakan ED Hirsch, “tindakan pemahaman pada awalnya merupakan semata-mata praduga atau salah dan tidak ada metode-metode untuk untuk berpraduga, tak ada aturan dalam menggeneralisasikan pengetahuan wawasan ini. Aktifitas metodologi interpretasi dimulai ketika kita mulai mengetes dan mengkritisi dugaan kita.” Ricoeur, 2002: 161. Menjadi relevanlah bila Heissenberg, dalam Sugiharto 1996: 112 menjadi lebih suka bicara ‘probabilitas yang tinggi’ ketimbang kebenaran ‘objektif’. Oleh karena itu interpretasi dalam hal ini harus dipahami sebagai, “…persoalan validasi daripada verifikasi, atau kemungkinan daripada Di sini teks yang otonom harus di-‘dekontekstualisasi’. Dengan cara ini, ‘kita’ “mengizinkan teks memberi kepercayaan pada diri kita” sehingga ia—teks—dapat menampilkan dirinya sendiri. Selanjutnya upaya ‘rekontekstualisasi’ dapat dilakukan, yakni dengan jalan memberi kesempatan terbuka bagi teks untuk dimaknai sehingga ia dapat menghasilkan sebuah ‘cakrawala baru’ yang dapat menggiring terbentuknya pemahaman ontologis. Dekontekstualisasi tidak lain adalah proses membebaskan diri dari konteks sementara rekontekstualisasi adalah proses kembali menuju pada konteks sebelum akhirnya pemaknaan lahir menjadi fusi horison baru Sumaryono, 1993: 101-102.

H. 2. Subyek Penelitian