2. b. ‘Konvensi Ketaklangsungan Ekspresi’ Riffaterre.

H. 2. b. ‘Konvensi Ketaklangsungan Ekspresi’ Riffaterre.

Dalam banyak kasus, ungkapan tradisional hanya dibaca dalam arti terjemahan umum. 45 Untuk menyiasati permasalahan ini, penyusun mengira jalan pertama yang harus ditempuh adalah memadu-padankan teks secara kreatif dengan model pembacaan tertentu. Mengingat ungkapan tradisional termasuk dalam genre sastra, pembacaan yang digunakan dapat mengikuti model pembacaan prosa atau puisi, disesuaikan dengan ciri atau sifat dasar dari teks itu sendiri. Penyusun beranggapan ungkapan ini dapat dipadankan dengan genre puisi karena sesuai dengan kaidah yang disyaratkan, seperti yang diungkapkan Rahmat Djoko Pradopo 2002a: 91 bahwa puisi, “Bersifat kompleks, padat, penuh kiasan dan pemikiran yang sukar.” Karena pemadatan inilah, puisi “Hanya mengatakan sesuatu hal secara implisit, sugestif dan mempergunakan ambiguitas.” Dengan demikian puisi; “Merupakan sistem tanda, yang mempunyai satuan-satuan tanda yang minimal seperti kosa kata, bahasa kiasan, diantaranya: personifikasi, simile, metafora, dan metonimi. Tanda-tanda itu mempunyai makna berdasar konvensi-konvensi dalam sastra.” Rahmat Djoko Pradopo, 2002b: 70. 46 Penempatan ungkapan tradisional dalam genre puisi membantu penyusun untuk dapat menggunakan teori yang representatif guna membedah struktur internal teks. Untuk itu penyusun akan menggunakan ‘konvensi ketaklangsungan ekspresi – Riffaterre’ sebagai alat bantu untuk membedah teks. Rahmat Djoko Pradopo menjelaskan 2002b: 71-77 gagasan Riffaterre pada dasarnya cukup sederhana. 45 Itulah mengapa sulit untuk mengetahui dari mana pemaknaan atas ungkapan lahir kecuali dengan menempuh cara mengaitkan sifat subjek atau objek yang terdapat dalam teks dengan konteks teks. 46 Pernyataan ini bagi penulis menegaskan dua hal. Pertama, perbedaan antara puisi dan ungkapan tradisional terletak pada jumlah diksi. Secara kuantitatif, diksi pada ungkapan tradisional cenderung lebih terbatas; Kedua, baik puisi maupun ungkapan tradisional memiliki persamaan mendasar, yakni keduanya menggunakan bahasa kiasaan sebagai instrumen utama. Dengan menggunakan pendekatan hermeneutika, Riffaterre berangkat dari asumsi bahwa puisi khususnya—walau sebenarnya juga dapat diberlakukan pada prosa—selalu memuat ketaklangsungan ekspresi. Menurut Riffaterre hal ini disebabkan tiga hal, yaitu displacing of meaning atau penggantian arti, distorting of meaning atau penyimpangan arti dan creating of meaning atau penciptaan arti. 1 Displacing of meaning atau penggantian arti, menurut Riffaterre disebabkan oleh penggunaan metafora dan metonimi dalam karya sastra atau dalam artian luas disebabkan oleh penggunaan bahasa kiasan atau majas. 47 Bahasa kiasaan atau majas sendiri adalah “Bahasa yang maknanya melampaui batas yang lazim. Hal itu disebabkan oleh pemakaian kata yang khas atau karena pemakaian bahasa yang menyimpang dari kelaziman atau karena rumusannya yang jelas. Oleh karena itu majas erat kaitannya dengan diksi, selanjutnya, diksi, pilihan kata yang tepat akan memperkuat gaya bahasa.” Sugono, 2003: 174-175 2 Sementara distorting of meaning atau penyimpangan arti disebabkan oleh tiga hal, yakni ambiguitas, kontradiksi dan nonsense. a ambiguitas disebabkan karena bahasa sastra, khususnya puisi, berarti ganda polyinterpretable. Kegandaaan arti ini sendiri secara internal berada mulai dari tataran kata, frase maupun kalimat, b kontradiksi berarti mengandung pertentangan, disebabkan oleh paradoks atau ironi, dan c nonsense adalah kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti khusus, sebab hanya berupa rangkaian bunyi dan tidak terdapat dalam kamus. 48 47 Adapun jenis-jenis gaya bahasa itu dapat berupa, metafora, simile, personifikasi, senekdot, perbandingan epos, dan metonimia Taum, 2006: 55-56. 48 Nonsense dalam kajian ini tidak akan digunakan karena memang tidak terdapat dalam teks yang digunakan penulis, dengan demikian, tidak mempengaruhi pembacaan teks. 3 Creating of meaning atau penciptaan arti, adalah bagian dari konvensi kepuitisan yang berbentuk visual yang tidak mempunyai arti secara linguistik namun menimbulkan makna dalam karya. Misalkan saja pembaitan, enjambemem, persajakan rima, tipografi dan homologues. 49

H. 2. c. Hermeneutika sebagai Sebuah Pendekatan